Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

Abses peritonsil adalah salah satu dari abses leher dalam yang paling sering
ditemukan. Abses leher dalam terbentuk di dalam ruang potensial di antara fasia leher
dalam sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber seperti gigi, mulut,
tenggorok dan sekitarnya. Abses leher dalam merupakan salah satu penyakit infeksi
yang mengancam jiwa, dibentuk oleh lapisan fasia serfikalis yang profunda, morbiditas
dan mortalitasnya berkisar antara 1,6 - 40 %.1
Sekalipun penyakit tonsilitis akut merupakan penyakit yang benigna, tetapi
komplikasinya dapat terjadi abses peritonsil yang merupakan penyakit yang dapat
mengancam jiwa, apabila tidak diobati dengan segera dan adekuat. Pada abses peritonsil
ditemukan kumpulan pus yang berlokasi antara kapsul fibrosa tonsil palatina (biasanya
di pul atas) dan otot konstriktor faringeal superior. Daerah ini terdiri atas jaringan ikat
longgar, infeksi dapat menjalar dengan cepat membentuk cairan yang purulen. Inflamasi
yang progresif dapat meluas secara langsung ke arah palatum mole, dinding lateral
faring, dan jarang ke arah basis lidah.1
Abses peritonsil sering mengenai orang dewasa pada usia 20 sampai 40 tahun.
Pada anak jarang terjadi, kecuali yang mengalami gangguan penyakit kekebalan tubuh,
tetapi pada anak infeksi dapat menyebabkan gangguan obstruksi jalan nafas. Persentase
2
efek gangguan jalan nafas sama pada anak laki-laki dan perempuan. Insiden abses
peritonsil di A.S terjadi 30 per 100.000 orang/ tahun. Dikutip dari Hanna BC3, Herzon
melaporkan data insiden terjadinya abses peritonsil; 1/6500 populasi atau 30.1/40.000
orang per tahun di Amerika Serikat. Di Irlandia Utara dilaporkan 1 per 10.000 pasien
per tahun, dengan rata-rata usia 26.4 tahun. 3
Laporan kasus ini akan membahas lebih lanjut tentang kasus abses peritonsil
pada anak perempuan berusia 12 tahun. Diharapkan laporan ini dapat menjadi bahan
pembelajaran bagi kasus pasien dengan abses peritonsil.

1
BAB II
STATUS PASIEN

2.1 Identitas Pasien


- Nama : An. MD
- Umur : 13 Tahun
- Jenis kelamin : Perempuan
- Alamat : Perumahan Mahakarya Residence Kenali
- Agama : Islam
- Pendidikan : SMP
- Pekerjaan ayah/ibu : POLRI/IRT

2.2 Anamnesis
Keluhan Utama :
Nyeri Menelan

Riwayat Perjalanan Penyakit :


Pasien datang dengan keluhan nyeri menelan ± 1 minggu SMRS. Pasien
merasa ada yang mengganjal di tenggorokan. ± 3 hari SMRS pasien mengeluh
semakin nyeri sehingga tidak bisa menelan makanan. Pasien juga mengeluh
demam dan leher sebelah kanan nya membengkak berwarna kemerahan.
Keluhan disertai adanya nyeri pada telinga sebelah kanan. Pasien merasa nafas
nya bau dan air ludahnya banyak sehingga ingin terus meludah. Keluhan lain
yang menyertai yaitu pasien sulit membuka mulut karena terasa nyeri dan kaku.

Riwayat Pengobatan :
Pasien minum jamu jamuan yang diperoleh dari berobat alternatif, setelah
minum jamu tersebut keluhan hilang namun berulang kembali.

Riwayat Penyakit Dahulu :


- ± 1 tahun terakhir pasien sering mengalami nyeri menelan dan susah
menelan.

2
- Riwayat alergi (-)

Riwayat Penyakit Keluarga :


Keluarga tidak ada yang mengeluhkan hal serupa.

Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi, dan Kebiasaan :


Pasien seorang pelajar SMP. Pasien sering mengkonsumsi gorengan dan es.

2.3 Pemeriksaan Fisik


- Kesadaran : compos mentis
- Pernapasan : 20x/menit
- Suhu : 36,7 °C
- Nadi : 80x/menit
- TD : 100/80 mmHg

a) Telinga
Daun Telinga Kanan Kiri
Anotia/mikrotia/makrotia - -
Keloid - -
Perikondritis - -
Kista - -
Fistel - -
Ott hematoma - -
Liang Telinga Kanan Kiri
Atresia - -
Serumen prop - -
Epidermis prop - -
Korpus alineum - -
Jaringan granulasi - -
Exositosis - -
Osteoma - -
Furunkel - -

3
Membrana Timpani Kanan Kiri
Hiperemis - -
Retraksi - -
Bulging - -
Atropi - -
Perforasi - -
Bula - -
Sekret - -
Retro-aurikular Kanan Kiri
Fistel - -
Kista - -
Abses - -
Pre-aurikular Kanan Kiri
Fistel - -
Kista - -
Abses - -

b) Hidung
Rinoskopi Anterior Kanan Kiri
Vestibulum nasi Hiperemis (-), edema (-) Hiperemis (-), edema (-)
Kavum nasi Sekret (-), hiperemis (-) Sekret (-), hiperemis (-)
Septum nasi Deviasi (-) Deviasi (-)
Lantai + dasar hidung Tidak ditemukan Tidak ditemukan kelainan
kelainan
Konka inferior Edema (-), hiperemis (-) Edema (-), hiperemis (-)
Meatus nasi inferior Sekret (-), hiperemis (-) Sekret (-), hiperemis (-)
Konka media Edema (-), hiperemis (-) Edema (-), hiperemis (-)
Meatus nasi media Sekret (-), hiperemis (-) Sekret (-), hiperemis (-)
Polip - -
Korpus alineum - -
Massa tumor - -

4
Rinoskopi Posterior Kanan Kiri
Kavum nasi Sekret (-), hiperemis (-) Sekret (-), hiperemis (-)
Selaput lender Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Koana Hiperemis (-) edema (-) Hiperemis (-) Edema (-)
Septum nasi Deviasi (-) Deviasi (-)
Konka superior Edema (-), hiperemis (-) Edema (-), hiperemis (-)
Meatus nasi media Sekret (-), hiperemis (-) Sekret (-), hiperemis (-)
Adenoid - -
Massa tumor - -
Polip - -
Transiluminasi Sinus Kanan Kiri
Sinus Maxillaris Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Sinus Frontalis Tidak dilakukan Tidak dilakukan

c) Mulut
Hasil
Selaput lendir mulut Dbn
Bibir Kering (-) , Sianosis (-), Stomatitis (-)
Lidah Atropi papil (-), deviasi (-)
Gigi Karies (-)

d) Faring
Hasil
Uvula Edema (+) terdorong kearah kontralateral, hiperemis (+)
Palatum mole Edema (+) menonjol kedepan, hiperemis (+)
Palatum durum Hiperemis (-), edema (-)
Tonsil Dekstra : Tonsil T4 terdorong ke arah tengah, hiperemis (+)
Detritus (-)
Sinistra : tonsil T2, hiperemis (+), detritus (-)
Mukosa faring Hiperemis (-), massa (-)

5
e) Laringoskopi indirect
Hasil
Pangkal lidah Hiperemis (-) edema (-)
Epiglotis Hiperemis (-), edema (-)
Plika vestibularis Edema (-) Hiperemis (-)
Plika vokalis Edema (-) Hiperemis (-)
Massa -

f) Kelenjar Getah Bening Leher


Kanan Kiri
Regio I Dbn Dbn
Regio II Dbn Dbn
Regio III Dbn Dbn
Regio IV Dbn Dbn
Regio V Dbn Dbn
Regio VI Dbn Dbn
area Parotis Dbn Dbn
Area postauricula Dbn Dbn
Area occipital Dbn Dbn
Area supraclavicular Dbn Dbn

PEMERIKSAAN NERVUS CRANIALIS


Nervus Cranialis
NI Normosmia
N II Tajam penglihatan dbn
N III, IV, VI Ptosis (-/-) strabismus (-/-) nistagmus (-/-) pupil isokor,
reflek cahaya langsungg (+/+) reflek cahaya tidak langsung
(+/)
NV Reflek masseter (+) Reflek kornea (+)
N VII Parese (-)
N VIII Tes Rinne positif, tes weber tidak ada lateralisasi, tes

6
schwabach sama dengan pemeriksa.
N IX, X Reflek muntah (-) disfonia (-)
N XI M. sternocleidomastoideus dan M trapezius dalam batas
normal
N XII Atropi papil (-) deviasi lidah (-) fasikulasi (-)

PEMERIKSAAN AUDIOLOGI
Tes Pendengaran Kanan Kiri
Tes rinne (N) Rinne positif (N) Rinne positif
Tes weber (N) Tidak ada lateralisasi (N) tidak ada lateralisasi
Tes schwabach Swabach normal Swabach normal

Kesimpulan : Pada pemeriksaan tenggorokan didapatkan tonsil dextra T4 hiperemis


kearah tengah dan terdapat deritus, uvula edema, hiperemis ke sisi kontralateral,
palatum mole edema, hiperemis, dan menonjol kedepan, Pada pemeriksaan telinga
dan hidung tidak ditemukan kelainan.

2.4 Pemeriksaan Penunjang :


Laboratorium :
PARAMETER HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN
WBC 19,64 (↑) 109/L 4-10
RBC 4,69 1012/L 3,5-5,5
HGB 13,7 g/dL 11-16
HCT 37,2 % 35-50
PLT 364 109/L 100-300
Faal Ginjal
Ureum 15 mg/dl 15-39
L 0,9-1,3
Kreatinin 0,8 mg/dl
P 0,6-1,1

2.5. Diagnosis
Abses Peritonsil

7
2.6. Diagnosis Banding
Abses Retrofaring
Abses Parafaring

2.7 Penatalaksanaan
Diagnostik:
- Insisi abses peritonsil
- Tonsilektomi jika infeksi sudah tenang, 2-3 minggu setelah insisi abses.

Terapi :
Non Farmakologi :
- Posisi Trendelenburg
- Kumur kumur dengan betadine

Farmakologi :
- IVFD RL + Ketorolac 1 amp 20 gtt/menit
- Inj. Ceftriaxone 1x1 gr
- Inj. Gentamicin 2x80 mg
- Inj Metronidazole 3x50 mg

2.8 Monitoring
- Follow up keluhan
Tanda tanda vital
Tanda tanda perdarahan

2.9 KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi)


1. Menjelaskan penyakit yang diderita pasien
2. Menjelaskan rencana pengobatan, indikasi tindakan dan komplikasi nya
3. Disarankan untuk melakukan tonsilektomi, karena keluhan dapat berulang
kembali.
4. Menjaga kebersihan mulut (oral hygiene), misalnya menganjurkan sikat gigi
dan kumur kumur teratur.

8
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi Tonsil


Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh
jaringan ikat dengan kriptus di dalamnya. Jaringan limfoid yang terdapat disekitar
pintu masuk respirasi dan pencernaan membentuk sebuah cincin. Bagian lateral
cincin dibentuk oleh tonsila palatina dan tonsila tubaria (jaringan limfoid disekitar
muara tuba auditiva di dinding lateral nasopharynx). Bagian atasnya dibentuk oleh
tonsila pharyngeus yang terdapat terdapat diatap nasopharynx, dan bagian
bawahnya dibentuk oleh tonsila lingualis yang terdapat pada sepertiga bawah
posterior lidah. 4

3.1.1 Tonsila Palatina


Tonsila palatina berbentuk dua massa jaringan limfoid, masing- masing
terletak di dalam cekungan di dinding lateral oropharynx di antara arcus
palatoglossus dan palatopharyngeus. Setiap tonsil diliputi oleh membrana mucosa,
dan permukaan medialnya yang bebas menonjol ke dalam pharynx. Permukaannya
berbintik-bintik yang disebabkan oleh banyak muara kelenjar, yang terbuka ke
crypta tonsillaris. 4

Gambar 3.1 Tonsila Palatina

9
Gambar 3.1 Bagian Bagian Tonsila Palatina
Permukaan lateral tonsila palatina diliputi oleh capsula fibrosa. Capsula ini
dipisahkan dari musculus constrictor pharyngis superior oleh jaringan areolar
jarang, vena palatina externa berjalan turun dari palatum molle di dalam jaringan
ikat jarang untuk bergabung dengan plexus venosus pharyngeus. Lateral terhadap
musculus constrictor pharynges superior terdapat musculus styloglossus, lengkung
arteria facialis dan arteria carotis interna. 4
Tonsila palatina mencapai ukuran maksimum pada masa kanak-kanak dan
ukurannya menjadi sangat berkurang. 4
Permukaan tonsil palatina ditutupi epitel berlapis gepeng yang juga melapisi
invaginasi atau kripti tonsila. Banyak limfanodulus terletak di bawah jaringan ikat
dan tersebar sepanjang kriptus. Limfonoduli terbenam di dalam stroma jaringan
ikat retikular dan jaringan limfatik difus. Limfonoduli merupakan bagian penting
mekanisme pertahanan tubuh yang tersebar di seluruh tubuh sepanjang jalur
pembuluh limfatik. Noduli sering saling menyatu dan umumnya memperlihatkan
pusat germinal.5

Tonsil terletak di lateral orofaring, dibatasi oleh: 6


 Lateral : M. Konstriktor faring
 Anterior : M. Palatoglossus
 Posterior M. Palatofaringeus
 Superior : Palatum mole
 Inferior : Tonsil lingual

Fosa Tonsil
Fosa tonsil atau sinus tonsil yang di dalamnya terletak tonsil palatina,
dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah muskulus palatoglosus
atau disebut pilar posterior, batas lateral atau dinding luarnya adalah muskulus
konstriktor faring superior. Pilar anterior mempunyai bentuk seperti kipas pada
rongga mulut, mulai dari palatum mole dan berakhir di sisi lateral lidah. Pilar
posterior adalah otot vertikal yang ke atas mencapai palatum mole, tuba eustachius
dan dasar tengkorak dan ke arah bawah meluas hingga dinding lateral esofagus,
sehingga pada tonsilektomi harus hati-hati agar pilar posterior tidak terluka. 7,8 Pilar

10
anterior dan pilar posterior bersatu di bagian atas pada palatum mole, ke arah
bawah terpisah dan masuk ke jaringan di pangkal lidah dan dinding lateral faring.
7,8

Kapsul Tonsil
Bagian permukaan lateral tonsil ditutupi oleh suatu membran jaringan ikat,
yang disebut kapsul. Walaupun para pakar anatomi menyangkal adanya kapsul ini,
tetapi para klinisi menyatakan bahwa kapsul adalah jaringan ikat putih yang
menutupi 4/5 bagian tonsil. Kapsul tonsil mempunyai trabekula yang berjalan ke
dalam parenkim. Trabekula ini mengandung pembuluh darah, saraf-saraf dan
pembuluh eferen. 7

Kriptus Tonsil
Kriptus tonsil berbentuk saluran yang tidak sama panjang dan masuk ke
bagian dalam jaringan tonsil. Umumnya terdiri dari 8-20 buah dan kebanyakan
terjadi penyatuan beberapa kriptus. Permukaan kriptus ditutupi oleh epitel yang sama
dengan epitel permukaan medial tonsil. Saluran kriptus ke arah luar, biasanya
bertambah luas. Pada fosa supratonsil, kriptus meluas kearah bawah dan luar, maka
fosa ini dianggap pula sebagai kriptus yang besar. Hal ini membuktikan adanya sisa
perkembangan berasal dari kantong brakial ke II. Secara klinik terlihat bahwa kriptus
merupakan sumber infeksi, baik lokal maupun sistemik karena dapat terisi sisa
makanan, epitel yang terlepas dan kuman. 7

Plika Triangularis
Di antara pangkal lidah dan bagian anterior kutub bawah tonsil terdapat plika
triangularis yang merupakan suatu struktur normal yang telah ada sejak masa embrio.
Serabut ini dapat menjadi penyebab kesukaran saat pengangkatan tonsil dengan jerat.
Komplikasi yang sering terjadi adalah terdapatnya sisa tonsil atau terpotongnya
pangkal lidah. Kadang-kadang plika triangularis membentuk suatu kantong atau
saluran buntu. Keadaan ini dapat merupakan sumber infeksi lokal maupun umum
karena kantong tersebut terisi sisa makanan atau kumpulan debris. 7,8

Perdarahan tonsil
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna, yaitu : 9

11
1. Arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteritonsilaris dan
arteri palatina asenden
2. Arteri maksilaris interna dengan cabangnya arteri palatina desenden
3. Arteri lingualis dengan cabangnya arteri lingualis dorsal
4. Arteri faringeal asenden

Gambar 3.2 Vaskularisasi Tonsil

Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh arteri lingualis dorsal
dan bagian posterior oleh arteri palatina asenden, diantara kedua daerah tersebut
diperdarahi oleh arteri tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh arteri faringeal
asenden dan arteri palatina desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus
yang bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran balik melalui pleksus vena di
sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus faringeal. 9

Aliran Getah Bening


Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening
servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah muskulus
sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju duktus
torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferan sedangkan
pembuluh getah bening aferen tidak ada. 4

12
Gambar 3.3 Aliran life kepala dan leher

2.5 Persarafan
Tonsil bagian bawah mendapat sensasi dari cabang serabut saraf ke IX
(nervus glosofaringeal) dan juga dari cabang desenden lesser palatine nerves. 4

Gambar 3.4 Persarafan Tonsil

3.2 Epidemiologi
Abses peritonsil kira kira 30% dari abses leher dalam, sekalipun sudah di era
antibiotik, abses peritonsil masih sering ditemukan dengan jumlah yang menurun
menjadi 18% di United Kingdom dalam sepuluh tahun terahir ini. Tonsilitis banyak

13
ditemukan anak-anak. Abses peritonsil biasanya ditemukan pada orang dewasa dan
dewasa muda, sekalipun dapat terjadi pada anak - anak. Abses peritonsil umumnya
terjadi akibat komplikasi tonsilitis akut, dikatakan bahwa abses peritonsil merupakan
salah satu komplikasi umum dari tonsilitis akut pada penelitian di seluruh dunia
dilaporkan insidens abses peritonsil ditemukan 10-37 per 100.000 orang. Di Amerika
dilaporkan 30 kasus per 100 orang per tahun, 45.000 kasus baru per tahun. Data yang
akurat secara internasional belum dilaporkan. Biasanya unilateral, bilateral jarang
ditemukan.3 Yang Lin melaporkan sebuah kasus bilateral abses peritonsil. Usia
bervariasi paling tinggi pada usia 15-35 tahun, tidak ada perberdaan antara laki-laki
dan perempuan. 10

3.3 Etiologi
Abses peritonsil terjadi sebagai akibat dari komplikasi tonsilitis akut atau
infeksi yang bersumber dari kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya
kuman penyebabnya sama dengan kuman penyebab tonsilitis. Abses peritonsil
disebabkan oleh organisme yang bersifat aerob maupun yang bersifat anaerob. 11

Gambar 3.5 Bakteri penyebab abses peritonsil

Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsil adalah


Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus),
Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme anaerob
yang berperan adalah Fusobacterium, Prevotella, Porphyromonas, dan

14
Peptostreptococcus sp. Untuk kebanyakan abses peritonsil diduga disebabkan karena
kombinasi antara organisme aerobik dan anaerobik.12

3.4 Patologi
Abses peritonsil merupakan kumpulan pus yang terlokalisir pada jaringan
peritonsil yang umumnya merupakan komplikasi dari tonsilitis akut berulang atau
bentuk abses dari kelenjar Weber pada kutub atas tonsil. Infeksi yang terjadi akan
menembus kapsul tonsil yang umumnya pada kutub atas tonsil dan meluas ke dalam
ruang jaringan ikat di antara kapsul dan dinding posterior fosa tonsil. Perluasan
infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses parafaring.11
Pada fosa tonsil ditemukan suatu kelompok kelenjar di ruang supra tonsil
yang disebut kelenjar Weber. Fungsi kelenjar-kelenjar ini adalah mengeluarkan
cairan ludah ke dalam kripte-kripte tonsil, membantu untuk menghancurkan sisa-sisa
makanan dan debris yang terperangkap di dalamnya lalu dievakuasi dan dicerna. Jika
terjadi infeksi berulang, terjadi gangguan pada proses tersebut lalu timbul sumbatan
sekresi kelenjar Weber yang mengakibatkan pembesaran kelenjar. Jika tidak diobati
secara maksimal, akan terjadi infeksi berulang selulitis peritonsil atau infeksi kronis
pada kelenjar Weber dan system saluran kelenjar tersebut akan membentuk pus
sehingga menyebabkan terjadinya abses. 11
Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar,
oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati
daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak. Abses peritonsil juga dapat
terbentuk di bagian inferior, namun jarang. Pada stadium permulaan (stadium
infiltrat), selain pembengkakan tampak juga permukaan yang hiperemis. Bila proses
berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah tersebut lebih lunak dan berwarna
kekuning-kuningan. Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil ke tengah,
depan, bawah, dan uvula bengkak terdorong ke sisi kontra lateral.11
Bila proses terus berlanjut, peradangan jaringan di sekitarnya akan
menyebabkan iritasi pada m. pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat
pecah spontan, sehingga dapat terjadi aspirasi ke paru.11

15
3.5 Gejala Klinik
Gejala yang dikeluhan pasien antara lain demam, odinofagia yang menonjol
dan pasien mungkin mendapatkan kesulitan untuk makan bahkan menelan ludah.
Akibat tidak dapat mengatasi sekresi ludah sehingga terjadi hipersalivasi dan ludah
seringkali menetes keluar, keluhan juga disertai nyeri telinga (otalgia) ipsilateral,
Penderita mengalami kesulitan berbicara, suara menjadi seperti suara hidung,
membesar seperti mengulum kentang panas (hot potato’s voice) karena penderita
berusaha mengurangi rasa nyeri saat membuka mulut, mengunyah terasa sakit karena
m. Masseter menekan tonsil yang meradang, muntah (regurgitasi), mulut berbau
(foetor ex ore), suara sengau (rinolalia) karena oedem palatum molle yang terjadi
karena infeksi menjalar ke radix lingua dan epiglotis atau oedem perifokalis, dan
kadang-kadang sukar membuka mulut (trismus) yang bervariasi, trismus
menandakan adanya inflamasi dinding lateral faring dan m. Pterigoid interna,
sehingga menimbulkan spasme muskulus tersebut. Keparahan dan progresivitasnya
ditunjukkan dari trismus. Pernafasan terganggu biasanya akibat pembengkakan
mukosa dan submukosa faring. Sesak akibat perluasan edema ke jaringan laring
jarang terjadi. Bila kedua tonsil terinfeksi maka gejala sesak nafas lebih berat dan
lebih menakutkan. Akibat limfadenopati dan inflamasi otot, pasien sering
mengeluhkan nyeri leher dan terbatasnya gerakan leher (torticolis). 11,12

3.6 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang.
1. Anamnesis
Informasi dari pasien sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosis abses
peritonsil. Adanya riwayat pasien mengalami nyeri pada tenggorokan adalah salah
satu yang mendukung terjadinya abses peritonsil. Riwayat adanya faringitis akut
yang disertai tonsilitis dan rasa kurang nyaman pada pharingeal unilateral. 11

2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan secara klinis seringkali sukar dilakukan karena adanya trismus.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan palatum mole tampak membengkak dan menonjol
ke depan, dapat teraba fluktuasi. Tonsil bengkak, hiperemis, mungkin banyak

16
detritus, terdorong ke arah tengah, depan dan bawah. Uvula terdorong ke arah kontra
lateral. 11

A B

Gambar 3.6 (A) Palatum mole bengkak menonjol kedepan (B) Uvula bengkak
terdorong ke sisi kontralateral

3. Pemeriksaan Penunjang
Pada penderita abses peritonsil perlu dilakukan pemeriksaan:
 Pemeriksaan laboratorium darah berupa faal hemostasis, terutama adanya
leukositosis sangat membantu diagnosis.
 Peripheral Rim Enhancement Ultrasound, contohnya: intraoral
ultrasonography. Intraoral ultrasonografi mempunyai sensifitas 95,2 % dan
spesifitas 78,5 %. Transcutaneous ultrasonografi mempunyai sensifitas 80%
dan spesifisitas 92,8 %. merupakan teknik yang simple dan noninvasif dan
dapat membantu dalam membedakan antara selulitis dan awal dari abses.

Gambar 3.7 Intraoral Ultrasonografi

17
Pemeriksaan ini juga bias menentukan pilihan yang lebih terarah sebelum
melakukan operasi dan drainase secara pasti. Ultrasonografi juga dapat
digunakan di ruang pemeriksaan gawat darurat untuk membantu
mengidentifikasi ruang abses sebelum dilakukan aspirasi dengan jarum.
 Computerized tomography (CT scan) biasanya tampak kumpulan cairan
hypodense di apex tonsil yang terinfeksi menandakan adanya cairan pada
tonsil yang terkena disamping itu juga dapat dilihat pembesaran yang
asimetris pada tonsil. Pemeriksaan ini dapat membantu untuk rencana
operasi. 12

Gambar 3.8 CT Scan menunjukkan abses peritonsilar dextra

3.7 Diagnosis Banding


1. Abses retrofaring
2. Abses parafaring
3. Abses submandibula
4. Angina ludovici
Abses peritonsil dapat di diagnosis banding dengan penyakit-penyakit abses
leher dalam lainnya yang disebutkan diatas. Hal ini karena pada semua penyakit
abses leher dalam, nyeri tenggorok, demam, serta terbatasnya gerakan membuka
mulut merupakan keluhan yang paling umum. Untuk membedakan abses peritonsil

18
dengan penyakit leher dalam lainnya, diperlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik
yang cermat.12

3.8 Terapi
Terapi antibiotika
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika, dan obat simtomatik, kumur-
kumur dengan cairan hangat dan kompres dingin pada leher (untuk mengendurkan
tegangan otot).11
Dengan mengutamakan pemeriksaan kultur dan sensitifitas, pemberian terapi
antibiotika ditunjukkan pada jenis bakteri mana yang lebih banyak muncul. Penisilin
dan sefalosporin (generasi pertama kedua atau ketiga) biasanya merupakan obat
pilihan. Penisilin dalam dosis tinggi sebagai obat pilihan diberikan dengan
mempertimbangkan kontra indikasi seperti alergi atau timbulnya kemungkinan
adanya reaksi koagulasi organisme. 12

Gambar 3.9 Terapi Antibiotik Abses Peritonsil

19
Penisilin dapat digunakan pada penderita abses peritonsil yang diperkirakan
disebabkan oleh kuman staphylococcus. Metronidazol merupakan antimikroba yang
sangat baik untuk infeksi anaerob. Tetrasiklin merupakan antibiotika alternatif yang
sangat baik bagi orang dewasa, meskipun klindamisin saat ini dipertimbangkan
sebagai antibiotik pilihan untuk menangani bakteri yang memproduksi beta
laktamase. 11

Insisi dan drainase abses


Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian di
insisi untuk mengeluarkan nanah. Lokasi insisi yaitu pada pertengahan garis
horizontal antara pertengahan basis uvula dan M3 atas. Pada pertemuan garis
vertikal melalui pinggir medial M3 bawah dengan garis horizontal melalui basis
uvula Insisi diperdalam dengan klem dan pus yang keluar langsung dihisap dengan
menggunakan alat penghisap. 11,12

Gambar 3.10 Lokasi insisi abses peritonsil

Tindakan ini (menghisap pus) penting dilakukan untuk mencegah aspirasi


yang dapat mengakibatkan timbulnya pneumonitis. Biasanya bila insisi yang dibuat
tidak cukup dalam, harus lebih dibuka lagi dan diperbesar. Setelah cukup banyak pus
yang keluar dan lubang insisi yang cukup besar, penderita kemudian disuruh
berkumur dengan antiseptik dan diberi terapi antibiotika.

20
Umumnya setelah drainase terjadi, rasa nyeri akan segera berkurang. Pus yang keluar
juga sebaiknya diperiksakan untuk tes kultur dan sensitifitas, biasanya diambil saat
aspirasi (diagnosis).

Tonsilektomi
Filosofi dari tindakan tonsilektomi pada abses peritonsil adalah karena
berdasarkan pemikiran bahwa kekambuhan pada penderita abses peritonsil terjadi
cukup banyak sehingga tindakan pengangkatan kedua tonsil ini dilakukan untuk
memastikan tidak terjadinya kekambuhan. 11

Gambar 3.11 Tonsilektomi

Sementara insisi dan drainase abses merupakan tindakan yang paling banyak
diterima sebagai terapi utama untuk abses peritonsil, beberapa bentuk tonsilektomi
kadang-kadang dilakukan. Waktu pelaksanaan tonsilektomi sebagai terapi abses
peritonsil, bervariasi : 11
1. Tonsilektomi a chaud: dilakukan segera / bersamaan dengan drainase abses.
2. Tonsilektomi a tiede : dilakukan 3-4 hari setelah insisi dan drainase.
3. Tonsilektomi a froid : dilakukan 4-6 minggu setelah drainase.
Pada umumnya, tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu
sesudah drainase abses.

21
3.9 Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi ialah: 11
 Abses pecah spontan, mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru, atau piemia.
 Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses
parafaring. Kemudian dapat terjadi penjalaran ke mediastinum menimbulkan
mediastinitis.
 Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakranial, dapat mengakibatkan thrombus
sinus kavernosus, meningitis, dan abses otak.

Sejumlah komplikasi klinis lainnya dapat terjadi jika diagnosis abses peritonsil
diabaikan. Beratnya komplikasi tergantung dari kecepatan progresi penyakit. Untuk
itulah diperlukan penanganan dan intervensi sejak dini.

3.10 Prognosis
Abses peritonsil merupakan penyakit yang jarang menyebabkan kematian
kecuali jika terjadi komplikasi berupa abses pecah spontan dan menyebabkan
aspirasi ke paru. Selain itu komplikasi ke intrakranial juga dapat membahayakan
nyawa pasien. Abses peritonsil hampir selalu berulang bila tidak diikuti dengan
tonsilektomi, maka ditunda sampai 6 minggu berikutnya. Pada saat tersebut
peradangan telah mereda, biasanya terdapat jaringan fibrosa dan granulasi pada saat
operasi. 13

22
BAB IV
ANALISA KASUS

Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan nyeri menelan sejak 1 minggu SMRS.
Pasien didiagnosa abses peritonsil. Diagnosa abses peritonsil itu sendiri bisa
ditegakkan berdasarkan hasil temuan klinis yang didapat dalam anamnesis pasien,
lalu temuan yang ditemukan pada pemeriksaan fisik serta hasil lain yang mendukung
dari pemeriksaan laboratorium.
Berdasarkan teori, gejala dan tanda abses peritonsilar adalah terdapatnya
odinofagia (nyeri menelan) yang hebat, biasanya pada sisi yang sama juga terjadi
otalgia (nyeri telinga), mungkin terdapat muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor
ex ore), banyak ludah (hipersalivasi), suara gumam (hot potato voice) dan kadang
kadang sukar membuka mulut (trismus), serta pembengkakan kelenjar submandibula
dengan nyeri tekan.
Sesuai dengan teori, dari anamnesis didapatkan keluhan keluhan nyeri menelan
± 1 minggu SMRS, rasa ada yang mengganjal di tenggorokan. ± 3 hari SMRS nyeri
bertambah hebat sehingga sulit menelan makanan, nyeri pada telinga sebelah kanan ,
demam dan leher sebelah kanan bengkak, nafas nya bau dan air ludahnya banyak,
pasien juga mengeluh sulit membuka mulut karena terasa nyeri dan kaku.
Faktor predisposisi yaitu rangsangan yang menahun dari beberapa jenis makanan
(makanan pedas, berminyak, serta minuman dingin), hygiene mulut yang buruk,
pengobatan tonsilitis yang tidak adekuat.
Berdasarkan teori pemeriksaan fisik yang dapat ditemukan pada abses
peritonsil yaitu kadang adanya trismus, palatum mole tampak membengkak dan
menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi. Tonsil bengkak, hiperemis, mungkin
banyak detritus, terdorong ke arah tengah, depan dan bawah. Uvula terdorong ke
arah kontra lateral.
Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar,
oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati
daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak. Pada stadium permulaan
(stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak juga permukaan yang hiperemis.
Bila proses berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah tersebut lebih lunak dan

23
berwarna kekuning-kuningan. Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil ke
tengah, depan, bawah, dan uvula bengkak terdorong ke sisi kontra lateral.
Dari pemeriksaan fisik terhadap pasien ditemukan Palatum mole edema,
hiperemis, dan menonjol kedepan. Uvula edema, hiperemis, ke arah kontralateral.
Tonsil dextra ukuran T4, hiperemis, terdapat detritus, terdorong ke arah tengah.
Tonsil sinistra ukuran T2, hiperemis, tidak ada detritus.
Penisilin dan sefalosporin (generasi pertama kedua atau ketiga) biasanya
merupakan obat pilihan. Penisilin dapat digunakan pada penderita abses peritonsil
yang diperkirakan disebabkan oleh kuman staphylococcus. Metronidazol merupakan
antimikroba yang sangat baik untuk infeksi anaerob. Pasien diberikan antibiotika
yaitu ceftriaxone 1x1 gr, gentamisin 2x80 mg dan metronidazole 3x500 mg.
Tindakan yang dilakukan pada pasien yaitu insisi abses peritonsil. Pada hari
pertama dilakukan insisi didapatkan darah ±10 cc. Pada hari kedua dilakukan insisi
kembali dan tidak didapatkan darah ataupun pus. Tonsil dextra berkuran T3
hiperemis (-), detritus (-), tonsil sinistra berukuran T2 hiperemis (-), detritus (-),
uvula edema (-) hiperemis (-).
Post insisi hari ke III, Tonsil dextra berkuran T2 hiperemis (-), detritus (-),
tonsil sinistra berukuran T1 hiperemis (-), detritus (-), uvula edema (-) hiperemis (-).
Hari keempat post insisi abses peritonsil kondisi pasien sudah baik dan dibolehkan
pulang.
Pada pasien ini dianjurkan untuk dilakukan tonsilektomi apabila infeksi sudah
tenang yaitu 2-13 minggu setelah dilakukan insisi abses karena keluhan yang sama
dapat berulang.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Marbun EM. Diagnosis, Tatalaksana dan Komplikasi Abses Peritonsil. Kedokt


Meditek Volume 22, No. 60 Sept-Des 2016.
2. Hanna B, Ronan MM. The Epidemiology of Peritonsillar Abscess Disease in
Northern Ireland. Journal of Infection 2006; 52:247-53.
3. Marom T, Cinamon U. Changing Trends of Peritonsillar Abscess. Am J of Otol
HNS 2010; 31:162-67.
4. Snell RS. Saluran Pernapasan Atas dan Bawah Serta Struktur Terkait. Dalam:
Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Jakarta: EGC; 2014. hal. 59.
5. Anggraini, D., Sikumbang, T. Atlas Histologi Di Fiore Dengan Korelasi
Fungsional. Edisi 9. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001.
6. Wanri, A. Tonsilektomi. Palembang: Departemen Telinga, Hidung Dan
Tenggorok, Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya; 2007.
7. Scott BA, Stiernberg CM. Infection of the Deep Spaces of The Neck. In: Bayle
BJ. editor. Head and Neck Surgery Otolaryngology. 3rd ed. Philadelphia; 2001
p. 701-15.
8. Weed H.G, Forest LA. Deep Neck Infection. In: Cummings CW. editors.
Otolaryngology Head and Neck Surgery. 4th ed. Philadelphia: Pennsylvania;
2005 p.2515-24.
9. Wiatrak, B.J., Woolley, A.L. Pharyngitis and Adenotonsillar Disease dalam
Cummings Otolaryngology – Head & Neck Surgery. 4th Edition. Elsevier
Mosby Inc.; 2005.
10. Lin YY MD, Lee JC MD . Bilateral peritonsillar abssses complicating acute
tonsillitis. CMAJ,August 9,2011,183 (11).
11. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Abses Leher Dalam.
Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala &
Leher. Edisi Ketujuh. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2012.
12. Galioto NJ. Peritonsillar Abscess. Am Fam Physician Volume 95, Number 8
April 15, 2017.
13. Prijadi NJ. Diagnosa dan Penatalaksanaan Abses Peritonsil. Bagian Telinga
Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas/RSUP Dr. M. Djamil Padang.

25

Anda mungkin juga menyukai