Anda di halaman 1dari 27

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Gagal ginjal kronik (GGK) adalah suatu sindrom klinis
yang disebabkan penurunan fungsi ginjal yang bersifat
menahun, berlangsung progresif dan cukup lanjut, serta
bersifat persisten dan irreversible.
Dalam mengatasi berbagai permasalahan yang timbul pada
pasien gagal ginjal kronik, peran perawat sangat penting,
diantaranya sebagai pelaksana, pendidik, pengelola,
peneliti, advocate. Sebagai pelaksana, perawat berperan
dalam memberikan asuhan keperawatan secara profesional dan
komprehensif yang meliputi: mempertahankan pola nafas yang
efektif, mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit,
meningkatkan asupan nutrisi yang adekuat, meningkatkan
aktivitas yang dapat ditoleransi dan mencegah injury.
Sebagai pendidik perawat memberikan pendidikan
kesehatan, khususnya tentang perbatasan diet, cairan, dll.
Perawat sebagai pengelola, yaitu perawat harus membuat
perencanaan asuhan keperawatan dan bekerja sama dengan
tenaga kesehatan lainnya sehingga program pengobatan dan
perawatan dapat berjalan dengan baik.

B. RUMUSAN MASALAH
Bagaimana konsep teori dan asuhan keperawatan pada pasien
dengan Gagal Ginjal Kronis?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui konsep teori gagal ginjal kronis
2. Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan pada pasien
dengan gagal ginjal kronis
2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Gagal ginjal kronik adalah suatu proses
patofisiologis dengan etiologi yang beragam,
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif,
dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Gagal
ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan
menurunnya fungsi ginjal yang bersifat irreversible, dan
memerlukan terapi pengganti ginjal yaitu berupa dialisis
atau transplantasi ginjal.
Selain itu gagal ginjal kronik juga dapat diartikan
dengan terjadinya kerusakan ginjal (renal damage) yang
terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural
atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju
filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi adanya
kelainan patologis, adanya kelainan ginjal seperti
kelainan dalam komposisi darah atau urin serta adanya
kelainan pada tes pencitraan (imaging tests) serta laju
filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/mnt/1.73 m2
(Nurchayati, 2010).
Gagal ginjal kronik merupakan gangguan fungsi
ginjal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan
tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan
keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia
atau terjadi retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam
darah (Smeltzer & Bare, 2008).
Penyakit gagal ginjal kronik terjadi bila kedua
ginjal sudah tidak mampu mempertahankan lingkungan dalam
yang cocok untuk kelangsungan hidup. Penyebab gagal
ginjal kronik antara lain penyakit infeksi, penyakit
peradangan, penyakit vaskuler hipertensif, gangguan
jaringan ikat, gangguan kongenital dan herediter,
3

penyakit metabolik, nefropati toksik, nefropati


obstruktif (Prince & Wilson, 2005).
B. ETIOLOGI
Penyebab utama gagal ginjal ginjal kronik sangat
bervariasi antara satu negara dengan negara lain.
Penyebab utama gagal ginjal kronik di Amerika Serikat
diantaranya yaitu Diabetes Mellitus (DM) tipe 2
merupakan penyebab terbesar gagal ginjal kronik sebesar
37% sedangkan tipe 1 7%. Hipertensi menempati urutan
kedua sebesar 27%. Urutan ketiga penyebab gagal ginjal
kronik adalah glomerulonefrtitis sebesar 10%, nefrtitis
interstisialis 4%, dilanjutkan dengan nefritis
interstisialis, kista, neoplasma serta penyakit lainnya
yang masing-masing sebesar 2%.
Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun
2014 menyebutkan bahwa penyebab gagal ginjal di
Indonesia diantaranya adalah glomerulonefritis 46.39%,
DM 18.65% sedangkan obstruksi dan infeksi sebesar 12.85%
dan hipertensi 8.46% sedangkan penyebab lainnya 13,65%
(Drakbar, 2008).
Dikelompokkan pada sebab lain diantaranya,
nefritis lupus, nefropati urat, intoksikasi obat,
penyakit ginjal bawaan, tumor ginjal, dan penyebab yang
tidak diketahui. Etiologi gagal ginjal kronik dapat
disebabkan oleh penyakit sistemik seperti diabetes
mellitus, glomerulonefritis kronis, pielonefritis,
hipertensi yang tidak dapat dikontrol, obstruksi traktus
urinarius, lesi herediter seperti penyakit ginjal
polikistik (Brunner & Suddarth, 2008).
C. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya
tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam
perkembangannya proses yang terjadi sama. Pengurangan
massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan
fungsional nefron yang masih tersisa (surviving
nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai
4

oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth


factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya
hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan
kapiler dan aliran darah glomerulus.
Pada stadium paling dini pada penyakit ginjal
kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal
reserve), dimana basal Laju Filtrasi Glomerulus (LFG)
masih normal atau dapat meningkat. Kemudian secara
perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi
nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan
kadar urea dan kreatinin serum.
Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum
merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum sampai pada
LFG sebesar 30%. Kerusakan ginjal dapat menyebabkan
terjadinya penurunan fungsi ginjal, produk akhir
metabolik yang seharusnya dieksresikan ke dalam urin,
menjadi tertimbun dalam darah.
Kondisi seperti ini dinamakan sindrom uremia.
Terjadinya uremia dapat mempengaruhi setiap sistem
tubuh. Semakin banyak timbunan produk metabolik
(sampah), maka gejala akan semakin berat (Brunner &
Suddarth, 2008).
Kondisi ini dapat menyebabkan gangguan
keseimbangan cairan seperti hipovolemi atau
hipervolemi, gangguan keseimbangan elektrolit antara
lain natrium dan kalium. LFG di bawah 15% akan terjadi
gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien
memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement
therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal,
pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium
gagal ginjal (Suharyanto dalam Hidayati, 2012).
5

D. PATHWAY
6

E. GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis pada pasien dengan gagal ginjal kronik,
yaitu (Sudoyo, 2014):
1. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti
diabetes mellitus, infeksi traktus urinarius, batu
traktus urinarius, hipertensi, hiperuremia, Lupus
Erimatosus Sistemik (LES) dan lain sebagainya.
2. Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi,
anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan volume
cairan,(volume overload), neuropati perifer,
pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang
sampai koma.
3. Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi,
anemia, osteodstrofi renal, payah jantung, asidosis
metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium,
kalium dan klorida).
F. STADIUM GAGAL GINJAL KRONIK
Perjalanan umum gagal ginjal progresif dapat dibagi
menjadi 3 (tiga) stadium, yaitu (Brunner & Suddarth,
2008) :
1. Stadium I.
Dinamakan penurunan cadangan ginjal. Pada stadium ini
kreatinin serum dan kadar BUN normal, dan penderita
asimptomatik. Gangguan fungsi ginjal hanya dapat
diketahui dengan test pemekatan kemih dan test Laju
Filtrasi Glomerulus (LFG) secara seksama.
2. Stadium II
Dinamakan insufisiensi ginjal, pada stadium ini, 75%
lebih jaringan yang berfungsi telah rusak, LFG
besarnya 25% dari normal, kadar BUN dan kreatinin
serum mulai meningkat dari normal, gejala-gejala
nokturia atau sering berkemih di malam hari sampai 700
ml dan poliuria (akibat dari kegagalan pemekatan).
7

3. Stadium III.
Dinamakan gagal ginjal stadium akhir atau uremia,
sekitar 90% dari massa nefron telah hancur atau rusak,
atau hanya sekitar 200.000 nefron saja yang masih utuh
dan nilai LFG hanya 10% dari keadaan normal.
G. PENATALAKSANAAN GAGAL GINJAL KRONIK.
Pengobatan gagal ginjal kronik dapat dibagi menjadi 2
(dua) tahap, yaitu tindakan konservatif dan dialisis
atau transplantasi ginjal.
1. Tindakan Konservatif
Tujuan pengobatan pada tahap ini adalah untuk
meredakan atau memperlambat gangguan fungsi ginjal
progresif, pengobatan antara lain:
a) Pengaturan diet protein, kalium, natrium, dan
cairan.
b) Pencegahan dan pengobatan komplikasi; hipertensi,
hiperkalemia, anemia, asidosis.
c) Diet rendah fosfat.
2. Pengobatan hiperurisemia
Adapun jenis obat pilihan yang dapat mengobati
hiperuremia pada penyakit gagal ginjal lanjut adalah
alopurinol. Efek kerja obat ini mengurangi kadar asam
urat dengan menghambat biosintesis sebagai asam urat
total yang dihasilkan oleh tubuh (Guyton, 2007).
3. Dialisis
a. Hemodialisa
1) Definisi
Hemodialisa merupakan suatu proses yang
digunakan pada pasien dalam keadaan sakit akut
dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek
(beberapa hari sampai beberapa minggu) atau
pada pasien dengan gagal ginjal kronik stadium
akhir atau End Stage Renal Desease (ESRD) yang
memerlukan terapi jangka panjang atau
permanen. Sehelai membran sintetik yang
semipermeabel menggantikan glomerulus serta
8

tubulus renal dan bekerja sebagai filter bagi


ginjal yang terganggu fungsinya itu.
Pada penderita gagal ginjal kronik,
hemodialisa akan mencegah kematian. Namun
demikian, hemodialisa tidak menyembuhkan atau
memulihkan penyakit ginjal dan tidak mampu
mengimbangi hilangnya aktivitas metabolik atau
endokrin yang dilaksanakan ginjal dan dampak
dari gagal ginjal serta terapinya terhadap
kualitas hidup pasien.
Pasien dengan gagal ginjal kronik yang
mendapatkan replacement therapy harus
menjalani terapi dialisis sepanjang hidupnya
atau biasanya tiga kali seminggu selama paling
sedikit 3 atau 4 jam per kali terapi atau
sampai mendapat ginjal pengganti atau baru
melalui operasi pencangkokan yang berhasil.
Pasien memerlukan terapi dialisis yang
kronis kalau terapi ini diperlukan untuk
mempertahankan kelangsungan hidupnya dan
mengendalikan gejala uremia (Price & Wilson,
2006).
2) Tujuan
Tujuan dilakukan hemodialisa adalah untuk
mengeluarkan zat-zat nitrogen yang bersifat
toksik atau racun dari dalam darah dan
mengeluarkan air yang berlebihan. Terdapat
tiga prinsip yang mendasari kerja
hemodialisis, yaitu difusi, osmosis, dan
ultrafiltrasi.
Toksin dan zat limbah di dalam darah
dikeluarkan melalui proses difusi dengan cara
bergerak dari darah yang memiliki konsentrasi
tinggi, ke cairan dialisat dengan konsentrasi
yang lebih rendah. Cairan dialisat tersusun
dari semua elektrolit yang penting dengan
9

konsentrasi ekstrasel yang ideal (Hudak &


Gallo, 2010).
3) Komplikasi
Adapun komplikasi dialisis secara umum dapat
mencakup hal-hal sebagai berikut (Price &
Wilson, 2006):
a) Hipotensi, dapat terjadi selama terapi
dialisis ketika cairan dikeluarkan.
b) Emboli udara, merupakan komplikasi yang
jarang terjadi tetapi dapat terjadi jika
udara memasuki sistem vaskuler pasien.
c) Nyeri dada dapat terjadi karena PCO2 menurun
bersamaan dengan terjadinya sirkulasi darah
di luar tubuh.
d) Pruritus, dapat terjadi selama terapi
dialisis ketika produk akhir metabolisme
meninggalkan kulit.
e) Gangguan keseimbangan dialisis, terjadi
karena perpindahan cairan serebral dan
muncul sebagai serangan kejang.
f) Kram otot, terjadi ketika cairan dan
elektrolit dengan cepat meninggalkan ruang
ekstrasel.
g) Mual, muntah, merupakan peristiwa yang
paling sering terjadi.
b. CAPD
Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD)
merupakan salah satu cara dialisis lainnya, CAPD
dilakukan dengan menggunakan permukaan peritoneum
yang luasnya sekitar 22.000 cm2. Permukaan
peritoneum berfungsi sebagai permukaan difusi
(Price & Wilson, 2006).
c. Transplantasi Ginjal (TPG)
Tranplantasi ginjal telah menjadi terapi
pilihan bagi mayoritas pasien dengan penyakit
renal tahap akhir hampir di seluruh dunia.
10

Manfaat transplantasi ginjal sudah jelas


terbukti lebih baik dibandingkan dengan
dialisis terutama dalam hal perbaikan kualitas
hidup. Salah satu diantaranya adalah
tercapainya tingkat kesegaran jasmani yang
lebih baik.
11

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Pengkajian primer
Pengkajian dilakukan secara cepat dan sistemik,antara
lain :
a. Airway
1) Lidah jatuh kebelakang
2) Benda asing/ darah pada rongga mulut
3) Adanya secret
b. Breathing
1) Pasien sesak nafas dan cepat letih
2) Pernafasan Kusmaul
3) Dispnea
4) Nafas berbau amoniak
c. Circulation
1) TD meningkat
2) Nadi kuat
3) Disritmia
4) Adanya peningkatan JVP
5) Terdapat edema pada ekstremitas bahkan anasarka
6) Capillary refill > 3 detik
7) Akral dingin
8) Cenderung adanya perdarahan terutama pada
lambung
d. Disability :
1) Pemeriksaan neurologis GCS menurun bahkan
terjadi koma, kelemahan dan keletihan, konfusi,
disorientasi, kejang, kelemahan pada tungkai
2) A: Allert sadar penuh, respon bagus
3) V: Voice Respon kesadaran menurun, berespon
terhadap suara
4) P: Pain Respons kesadaran menurun, tdk berespon
terhadap suara, berespon thd rangsangan nyeri
12

5) U: Unresponsive kesadaran menurun, tdk berespon


thd suara, tdk bersespon thd nyeri
2. Pengkajian sekunder
Pemeriksaan sekunder dilakukan setelah memberikan
pertolongan atau penenganan pada pemeriksaan primer.
Pemeriksaan sekunder meliputi:
a. AMPLE: alergi, medication, past illness, last meal,
event
b. Pemeriksaan seluruh tubuh: Head to toe
c. Pemeriksaan penunjang: lebih detail, evaluasi ulang
d. Keluhan Utama:
Badan lemah, cepat lelah, nampak sakit, pucat keabu-
abuan, kadang-kadang disertai udema
ekstremitas, napas terengah-engah.
e. Riwayat kesehatan
Faktor resiko (mengalami infeksi saluran nafas atas,
infeksi kulit, infeksi saluran kemih, hepatitis,
riwayat penggunaan obat nefrotik, riwayat keluarga
dengan penyakit polikistik, keganasan, nefritis
herediter)
f. Anamnesa
1) Oliguria, anuria 100 cc/hari, infeksi, urine
(leucosit, erytrosit, WBC, RBC).
2) Cardiovaskuler: Oedema, hipertensi, tachicardi,
aritmia, peningkatan kalium
3) Kulit: pruritus, ekskortiasis, pucat kering.
4) Elektrolit: Peningkatan kalium, peningkatan H+, PO,
Ca, Mg, penurunan HCO3
5) Gastrointestinal: Halitosis, stomatitis,
ginggivitis, pengecapan menurun, nausea,
ainoreksia, vomitus, hematomisis, melena,
gadtritis, haus.
6) Metabolik: Urea berlebihan, creatinin meningkat.
7) Neurologis: Gangguan fungsi kognitif, tingkah laku,
penurunan kesadaran, perubahan fungsi motoric
8) Oculair: Mata merah, gangguan penglihatan
13

9) Reproduksi: Infertil, impoten, amenhorea, penurunan


libido
10) Respirasi : edema paru, hiperventilasi, pernafasan
kusmaul
11) Lain-lain : Penurunan berat badan
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan pertukaran gas
2. Penurunan cardiac output
3. Pola nafas tidak efektif
4. Kelebihan volume cairan
5. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
6. Intoleransi aktivitas
14

C. INTERVENSI KEPERAWATAN
NO. DIAGNOSA TUJUAN INTERVENSI
KEPERAWATAN
1. Gangguan NOC : NIC :
a. Respiratory Airway Management
pertukaran gas
Status : Gas 1. Buka jalan nafas,
guanakan teknik
exchange
chin lift atau
b. Respiratory jaw thrust bila
Status : perlu
ventilation 2. Posisikan pasien
c. Vital Sign Status untuk
memaksimalkan
Kriteria Hasil : ventilasi
3. Identifikasi
a. Mendemonstrasikan pasien perlunya
peningkatan pemasangan alat
ventilasi dan jalan nafas
oksigenasi yang buatan
4. Pasang mayo bila
adekuat
perlu
b. Memelihara 5. Lakukan
kebersihan paru fisioterapi dada
paru dan bebas jika perlu
dari tanda tanda 6. Keluarkan sekret
distress dengan batuk atau
suction
pernafasan
7. Auskultasi suara
c. Mendemonstrasikan nafas, catat
batuk efektif dan adanya suara
suara nafas yang tambahan
bersih, tidak ada 8. Lakukan suction
sianosis dan pada mayo
dyspneu (mampu 9. Berikan
bronkodilator
mengeluarkan
bial perlu
sputum, mampu 10. Atur intake untuk
bernafas dengan cairan
mudah, tidak ada mengoptimalkan
pursed lips) keseimbangan.
d. Tanda tanda vital 11. Monitor respirasi
dalam rentang dan status O2
normal Respiratory
Monitoring:

1. Monitor rata-rata,
kedalaman, irama
dan usaha
respirasi
2. Catat pergerakan
dada,amati
15

kesimetrisan,
penggunaan otot
tambahan, retraksi
otot
supraclavicular
dan intercostal
3. Monitor suara
nafas, seperti
dengkur
4. Monitor pola nafas
: bradipena,
takipenia,
kussmaul,
hiperventilasi,
cheyne stokes,
5. Catat lokasi
trakea
6. Monitor kelelahan
otot diagfragma (
gerakan
paradoksis)
7. Auskultasi suara
nafas, catat area
penurunan / tidak
adanya ventilasi
dan suara tambahan
8. Tentukan kebutuhan
suction dengan
mengauskultasi
crakles dan ronkhi
pada jalan napas
utama
9. Uskultasi suara
paru setelah
tindakan untuk
mengetahui
hasilnya

AcidBase Managemen

1. Monitor IV line
2. Pertahankan jalan
nafas paten
3. Monitor AGD,
tingkat elektrolit
4. Monitor status
hemodinamik(CVP,
MAP, PAP)
5. Monitor adanya
tanda tanda gagal
nafas
6. Monitor pola
respirasi
16

7. Lakukan terapi
oksigen
8. Monitor status
neurologi
9. Tingkatkan oral
hygiene

2. Penurunan NOC : NIC :


curah jantung
a. Cardiac Pump Cardiac Care
effectiveness
b. Circulation 1. Evaluasi adanya
Status nyeri dada
c. Vital Sign Status (intensitas,lokasi
, durasi)
Kriteria Hasil: 2. Catat adanya
disritmia jantung
a. Tanda Vital dalam 3. Catat adanya tanda
rentang normal dan gejala
(Tekanan darah, penurunan cardiac
Nadi, respirasi) putput
b. Dapat 4. Monitor status
mentoleransi kardiovaskuler
aktivitas, tidak 5. Monitor status
ada kelelahan pernafasan yang
c. Tidak ada edema menandakan gagal
paru, perifer, jantung
dan tidak ada 6. Monitor abdomen
asites sebagai indicator
d. Tidak ada penurunan perfusi
penurunan 7. Monitor balance
kesadara cairan
8. Monitor adanya
perubahan tekanan
darah
9. Monitor respon
pasien terhadap
efek pengobatan
antiaritmia
10. Atur periode
latihan dan
istirahat untuk
menghindari
kelelahan
11. Monitor toleransi
aktivitas pasien
12. Monitor adanya
dyspneu, fatigue,
tekipneu dan
ortopneu
13. Anjurkan untuk
menurunkan stress
17

Vital Sign Monitoring

1. Monitor TD, nadi,


suhu, dan RR
2. Catat adanya
fluktuasi tekanan
darah
3. Monitor VS saat
pasien berbaring,
duduk, atau
berdiri
4. Auskultasi TD pada
kedua lengan dan
bandingkan
5. Monitor TD, nadi,
RR, sebelum,
selama, dan
setelah aktivitas
6. Monitor kualitas
dari nadi
7. Monitor adanya
pulsus paradoksus
8. Monitor adanya
pulsus alterans
9. Monitor jumlah dan
irama jantung
10. Monitor bunyi
jantung
11. Monitor frekuensi
dan irama
pernapasan
12. Monitor suara paru
13. Monitor pola
pernapasan
abnormal
14. Monitor suhu,
warna, dan
kelembaban kulit
15. Monitor sianosis
perifer
16. Monitor adanya
cushing triad
(tekanan nadi yang
melebar,
bradikardi,
peningkatan
sistolik)
17. Identifikasi
penyebab dari
perubahan vital
sign
18

3. Pola Nafas NOC : NIC


tidak efektif
a. Respiratory Fluid management
status :
Ventilation 1. Pertahankan
b. Respiratory catatan intake dan
status : Airway output yang akurat
patency 2. Pasang urin
c. Vital sign Status kateter jika
diperlukan
Kriteria Hasil : 3. Monitor hasil lAb
yang sesuai dengan
a. Mendemonstrasikan retensi cairan
batuk efektif dan (BUN , Hmt ,
suara nafas yang osmolalitas urin)
bersih, tidak ada 4. Monitor status
sianosis dan hemodinamik
dyspneu (mampu termasuk CVP, MAP,
mengeluarkan PAP, dan PCWP
sputum, mampu 5. Monitor vital sign
bernafas dengan 6. Monitor indikasi
mudah, tidak ada retensi /kelebihan
pursed lips) cairan (cracles,
b. Menunjukkan jalan CVP , edema,
nafas yang paten distensi vena
(klien tidak leher, asites)
merasa tercekik, 7. Kaji lokasi dan
irama nafas, luas edema
frekuensi 8. Monitor masukan
pernafasan dalam makanan /cairan
rentang normal, dan hitung intake
tidak ada suara kalori harian
nafas abnormal) 9. Monitor status
c. Tanda Tanda vital nutrisi
dalam rentang 10. Berikan diuretik
normal (tekanan sesuai interuksi
darah, nadi, 11. Batasi masukan
pernafasan) cairan pada
keadaan
hiponatrermi
dilusi dengan
serum Na < 130
mEq/l
12. Kolaborasi dokter
jika tanda cairan
berlebih muncul
memburuk

Fluid Monitoring

1. Tentukan riwayat
jumlah dan tipe
intake cairan dan
eliminasi
19

2. Tentukan
kemungkinan faktor
resiko dari
ketidak seimbangan
cairan
(Hipertermia,
terapi diuretik,
kelainan renal,
gagal jantung,
diaporesis,
disfungsi hati,
dll
3. Monitor serum dan
elektrolit urine
4. Monitor serum dan
osmilalitas urine
5. Monitor BP, HR,
dan RR
6. Monitor tekanan
darah orthostatik
dan perubahan
irama jantung
7. Monitor parameter
hemodinamik
infasif
8. Monitor adanya
distensi leher,
rinchi, eodem
perifer dan
penambahan BB
9. Monitor tanda dan
gejala dari odema

4. Kelebihan NOC : NIC :


volume cairan
a. Electrolit and Fluid management
acid base balance
b. Fluid balance 1. Timbang
popok/pembalut
Kriteria Hasil: jika diperlukan
2. Pertahankan
1. Terbebas dari catatan intake dan
edema, efusi, output yang akurat
anaskara 3. Pasang urin
2. Bunyi nafas kateter jika
bersih, tidak ada diperlukan
dyspneu/ortopneu 4. Monitor hasil lab
3. Terbebas dari yang sesuai dengan
distensi vena retensi cairan
jugularis, reflek (BUN , hematokrit,
hepatojugular (+) osmolalitas urin)
4. Memelihara 5. Monitor status
tekanan vena hemodinamik
20

sentral, tekanan termasuk CVP, MAP,


kapiler paru, PAP, dan PCWP
output jantung 6. Monitor vital sign
dan vital sign 7. Monitor indikasi
dalam batas retensi /
normal kelebihan cairan
5. Terbebas dari (cracles, CVP,
kelelahan, edema, distensi
kecemasan atau vena leher,
kebingungan asites)
6. Menjelaskan 8. Kaji lokasi dan
indikator luas edema
kelebihan cairan 9. Monitor masukan
makanan / cairan
dan hitung intake
kalori harian
10. Monitor status
nutrisi
11. Berikan diuretik
sesuai interuksi
12. Batasi masukan
cairan pada
keadaan
hiponatrermi
dilusi dengan
serum Na < 130
mEq/l
13. Kolaborasi dokter
jika tanda cairan
berlebih muncul
memburuk

Fluid Monitoring

1. Tentukan riwayat
jumlah dan tipe
intake cairan dan
eliminasi
2. Tentukan
kemungkinan faktor
resiko dari
ketidak seimbangan
cairan
(Hipertermia,
terapi diuretik,
kelainan renal,
gagal jantung,
diaporesis,
disfungsi hati,
dll)
3. Monitor berat
badan
4. Monitor serum dan
elektrolit urine
21

5. Monitor serum dan


osmilalitas urine
6. Monitor BP, HR,
dan RR
7. Monitor tekanan
darah orthostatik
dan perubahan
irama jantung
8. Monitor parameter
hemodinamik
infasif
9. Catat secara
akutar intake dan
output
10. Monitor adanya
distensi leher,
rinchi, eodem
perifer dan
penambahan BB
11. Monitor tanda dan
gejala dari odema

5. Ketidakseimban NOC : NIC :


gan nutrisi
kurang dari Nutritional Status: Nutrition Management
kebutuhan food and Fluid
tubuh Intake 1. Kaji adanya alergi
makanan
Kriteria Hasil: 2. Kolaborasi dengan
ahli gizi untuk
a. Adanya menentukan jumlah
peningkatan berat kalori dan nutrisi
badan sesuai yang dibutuhkan
dengan tujuan pasien.
b. Berat badan ideal 3. Anjurkan pasien
sesuai dengan untuk meningkatkan
tinggi badan intake Fe
c. Mampu 4. Anjurkan pasien
mengidentifikasi untuk meningkatkan
kebutuhan nutrisi protein dan
d. Tidak ada tanda vitamin C
tanda malnutrisi 5. Berikan substansi
e. Tidak terjadi gula
penurunan berat 6. Yakinkan diet yang
badan yang dimakan mengandung
berarti tinggi serat untuk
mencegah
konstipasi
7. Berikan makanan
yang terpilih
(sudah
dikonsultasikan
dengan ahli gizi)
22

8. Ajarkan pasien
bagaimana membuat
catatan makanan
harian.
9. Monitor jumlah
nutrisi dan
kandungan kalori
10. Berikan informasi
tentang kebutuhan
nutrisi
11. Kaji kemampuan
pasien untuk
mendapatkan
nutrisi yang
dibutuhkan
Nutrition Monitoring

1. BB pasien dalam
batas normal
2. Monitor adanya
penurunan berat
badan
3. Monitor tipe dan
jumlah aktivitas
yang biasa
dilakukan
4. Monitor interaksi
anak atau orangtua
selama makan
5. Monitor lingkungan
selama makan
6. Jadwalkan
pengobatan dan
tindakan tidak
selama jam makan
7. Monitor kulit
kering dan
perubahan
pigmentasi
8. Monitor turgor
kulit
9. Monitor
kekeringan, rambut
kusam, dan mudah
patah
10. Monitor mual dan
muntah
11. Monitor kadar
albumin, total
protein, Hb, dan
kadar Ht
12. Monitor makanan
kesukaan
23

13. Monitor
pertumbuhan dan
perkembangan
14. Monitor pucat,
kemerahan, dan
kekeringan
jaringan
konjungtiva
15. Monitor kalori dan
intake nuntrisi
16. Catat adanya
edema, hiperemik,
hipertonik papila
lidah dan cavitas
oral.

6. Intoleransi NOC : NIC :


aktivitas
a. Energy Energy Management
conservation
b. Self Care : ADLs 1. Observasi adanya
pembatasan klien
Kriteria Hasil : dalam melakukan
aktivitas
a. Berpartisipasi 2. Dorong anal untuk
dalam aktivitas mengungkapkan
fisik tanpa perasaan terhadap
disertai keterbatasan
peningkatan 3. Kaji adanya factor
tekanan darah, yang menyebabkan
nadi dan RR kelelahan
b. Mampu melakukan 4. Monitor
aktivitas sehari nutrisi dan
hari (ADLs) sumber energi
secara mandiri tangadekuat
5. Monitor pasien
akan adanya
kelelahan fisik
dan emosi secara
berlebihan
6. Monitor respon
kardivaskuler ter
hadap aktivitas
7. Monitor pola
tidur dan
lamanya
tidur/istiraha
t pasien

Activity Therapy

1. Kolaborasikan
dengan Tenaga
Rehabilitasi Medik
24

dalammerencanakan
progran terapi
yang tepat.
2. Bantu klien untuk
mengidentifikasi
aktivitas yang
mampu dilakukan
3. Bantu untuk
memilih aktivitas
konsisten
yangsesuai dengan
kemampuan fisik,
psikologi dan
social
4. Bantu untuk
mengidentifikasi
dan mendapatkan
sumber yang
diperlukan untuk
aktivitas yang
diinginkan
5. Bantu untuk
mendpatkan alat
bantuan aktivitas
seperti kursi
roda, krek
6. Bantu untuk
mengidentifikasi
aktivitas yang
disukai
7. Bantu klien untuk
membuat jadwal
latihan diwaktu
luang
8. Bantu
pasien/keluarga
untuk
mengidentifikasi
kekurangan dalam
beraktivitas
9. Sediakan penguatan
positif bagi yang
aktif beraktivitas
10. Bantu pasien untuk
mengembangkan
motivasi diri dan
penguatan
11. Monitor respon
fisik, emoi,
social dan
spiritual.
25

BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Cronik Kidney Desease adalah suatu gangguan fungsi
renal yang progresif irreversible yang disebabkan oleh
adanya penimbunan limbah metabolik di dalam darah,
sehingga kemampuan tubuh tidak mampu mengekskresikan sisa-
sisa sampah metabolisme dan mempertahankan keseimbangan
cairan dan elektrolit dalam tubuh.
Yang di tandai dengan manifestasi klinis sistem
kardiovaskuler: hipertensi, pitting edema, edema
periorbital, pembesaran vena leher, friction sub
pericardial. sistem pulmoner: krekel, nafas dangkal,
kusmaull, sputum kental dan liat. sistem gastrointestinal:
anoreksia, mual dan muntah, perdarahan saluran GI,
ulserasi dan pardarahan mulut, nafas berbau ammonia.
sistem musculoskeletal: kram otot.
B. SARAN
Dalam mengatasi berbagai permasalahan yang timbul
pada pasien gagal ginjal kronik, peran perawat sangat
penting, diantaranya sebagai pelaksana, pendidik,
pengelola, peneliti, advocate. Sebagai pelaksana, perawat
berperan dalam memberikan asuhan keperawatan secara
profesional dan komprehensif yang meliputi: mempertahankan
pola nafas yang efektif, mempertahankan keseimbangan
cairan dan elektrolit, meningkatkan asupan nutrisi yang
adekuat, meningkatkan aktivitas yang dapat ditoleransi dan
mencegah injury.
Sebagai pendidik perawat memberikan pendidikan
kesehatan, khususnya tentang perbatasan diet, cairan, dll.
Perawat sebagai pengelola, yaitu perawat harus membuat
perencanaan asuhan keperawatan dan bekerja sama dengan
tenaga kesehatan lainnya sehingga program pengobatan dan
26

perawatan dapat berjalan dengan baik. Peran perawat


sebagai peneliti adalah menerapkan hasil penelitian di
bidang keperawatan untuk meningkat mutu asuhan
keperawatan. Peran perawat sebagai advocate adalah membela
hak klien selama perawatan, seperti hak klien untuk
mengetahui rasional penatalaksanaan medis, pemeriksaan
penunjang, dan sebagainya.
27

DAFTAR PUSTAKA

Rab, T. 2008. Agenda Gawat Darurat (Critical Care). Bandung:


Penerbit PT Alumni
Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA
2005-2006. Jakarta: Prima Medika
Udjianti, WJ. 2010. Keperawatan Kardiovaskuler. Jakarta:
Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai