Buku Penguasaan Lahandan Ketahanan Pangan 2018
Buku Penguasaan Lahandan Ketahanan Pangan 2018
Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan buku ini dengan judul
“Penguasaan Lahan dan Ketahanan Pangan”. Tujuan penulisan buku ini untuk
berbagi pengetahuan dengan para pembaca dan menambah wawasan serta
membantu khalayak umum dan mahasiswa, khususnya Fakultas Pertanian, dan
fakultas lain untuk mengetahui dan memahami isi dari buku ini.
Buku ini disusun dengan sederhana, mudah dimengerti dan dipahami yang
didasarkan pada kebutuhan dalam proses belajar mengajar baik di tingkat
perguruan tinggi maupun pembaca umum. Penulis merasakan masih banyak
kekurangan dalam buku ini sebagai bahan referensi. Dengan menggali dan
menambah referensi lain yang sudah ada, diharapkan buku ini akan banyak
memberikan manfaat dan berguna untuk perkembangan ilmu pengetahuan.
Penulis menyadari sepenuhnya masih banyak kekurangan dan kesalahan
walaupun sudah dengan hati-hati dan cermat, bahwa buku ini bukanlah
merupakan sebuah kesempurnaan. Oleh karena itu, masukan, saran, dan kritik
konstruktif dari para pembaca sangat kami harapkan untuk kesempurnaan buku ini
di waktu yang akan datang. Akhirnya, semoga upaya penulis dalam menulis buku
ini memberikan kebaikan, pahala, dan amal kebajikan yang dapat bermanfaat di
dunia dan akhirat serta mendapat rahmat dari Allah SWT. Amin Ya Rabbal
Alamin.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
iii
BAB 7. KETAHANAN PANGAN BERDASARKAN
PENGUASAAN LAHAN ...................................................... 154
A. Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga Tani ................. 154
B. Faktor yang Mempengaruhi Ketahanan Pangan
Rumah Tangga Tani ............................................................. 157
iv
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
v
DAFTAR TABEL
No. Halaman
vi
12. Nilai F dan Koefisien Variasi Produksi Usahatani Padi
Berdasarkan Penguasaan Lahan di Kabupaten Pinrang
Tahun 2012 ......................................................................................... 123
vii
BAB 1
PENDAHULUAN
53
Pembangunan pertanian di pedesaan yang bergantung pada sumberdaya
lahan sangat penting bagi petani maupun bagi pembangunan pertanian dan
ekonomi nasional secara keseluruhan. Oleh karena itu, peran lahan sangat penting
bukan hanya sebagai faktor produksi dan ekonomi, tetapi juga sebagai fungsi
sosial budaya dan religius. Kepemilikan lahan yang sempit menjadi salah satu
penyebab usahatani tidak efesien. Kondisi pemilikan yang demikian sangat rentan
terhadap alih fungsi lahan. Konversi lahan pertanian ke non pertanian
menyebabakan makin berkurangnya lahan pertanian dan menyebabkan
ketimpangan dalam distribusi lahan. Kurang terkontrolnya alih fungsi lahan
pertanian di luar pertanian menyebabkan lahan pertanian yang subur dan produktif
semakin terbatas.
Peranan kelembagaan penguasaan lahan yang secara dinamis mampu
mempengaruhi pengusaan lahan pada kondisi ketimpangan distribusi lahan yang
semakin sempit, mengakibatkan penggunaan komponen paket teknologi baru
kurang efisien dan akan semakin efisien pada penguasaan lahan yang luas.
Pranadji (2003), mengemukakan bahwa dengan peranan kelembagaan lahan dan
perkembangannya telah terjadi konsentrasi atau polarisasi oleh sekelompok kecil
orang, dan muncul rumahtangga yang tidak mempunyai lahan atau petani yang
berlahan sempit yang menguasai lahan kurang 0,10 hektar dan meningkatnya
jumlah petani yang memilik tanah diatas 2 hektar. Hasil Sensus Pertanian (1993),
menunjukkan bahwa ada kecenderungan yang semakin meningkat dari petani
berlahan sempit dibawah 0,5 hektar dalam piramida struktur pemilikan dan
penguasaan lahan di pedesaan. Kondisi ini di perkuat bahwa sekitar 88,00 persen
rumahtangga petani di Jawa mengusai lahan sawah kurang dari 0,50 hektar
(Sugiarto, 2009).
Penguasaan lahan dapat dijadikan sebagai gambaran pemerataan
penguasaan faktor utama di sektor pertanian. Perubahan struktur penguasaan
lahan pertanian akan berpengaruh terhadap kegiatan produksi pertanian baik dari
segi efisiensi usahatani maupun dari segi pendapatan usahatani. Keadaan
pemilikan lahan sering dijadikan suatu indikator bagi tingkat kesejahteraan
masyarakat, walaupun belum mencerminkan keadaan yang sebenarnya bagi
54
tingkat kesejahteraan itu sendiri. Namun pola pemilikan lahan dapat dijadikan
gambaran tentang pemerataan pengusahaan faktor produksi utama di sektor
pertanian, yang dapat dijadikan sumber pendapatan bagi pemiliknya (Hernanto,
1984).
Roumasset (1976) mengungkapkan bahwa teknologi usahatani yang
selama ini diyakini mampu meningkatkan produktivitas dan kualitas serta
meminimalkan risiko, ternyata menunjukkan hubungan yang nyata dalam
meningkatkan risiko. Faktor risiko seperti serangan hama dan penyakit, bencana
alam, iklim yang kurang menguntungkan, fluktuasi harga, dan sosial ekonomi
petani menyebabkan terjadinya senjang produktivitas. Dikemukakan oleh Herdt
(1971) bahwa dampak ketidakpastian hasil panen akan mengakibatkan produsen
enggan memasuki pasar produksi. Pengaruh perilaku demikian akan menyebabkan
senjang produktivitas yang semakin tinggi terutama pada negara-negara sedang
berkembang.
Dalam menghadapi risiko, petani menerapkan strategi yang berbeda-beda.
Umumnya, mereka menerapkan satu atau kombinasi dari beberapa strategi
berikut: (1) strategi produksi, mencakup diversifikasi atau memilih usahatani yang
pembiayaan dan pengelolaan produksinya fleksibel, yaitu dengan menerapkan
strategi diversifikasi usahatani; (2) strategi pemasaran, misalnya menjual hasil
panen secara berangsur, memanfaatkan sistem kontrak untuk penjualan produk
yang akan dihasilkan, dan melakukan perjanjian harga antara petani dan pembeli
untuk hasil panen yang akan datang. Upaya yang banyak dilakukan petani
Indonesia adalah dengan cara menjual hasil panen secara berangsur; (3) strategi
finansial, mencakup melakukan pencadangan dana yang cukup, melakukan
investasi pada kegiatan berdaya hasil tinggi, dan membuat proyeksi arus tunai
berdasarkan perkiraan biaya produksi, harga jual produk, dan produksi; (4)
pemanfaatan kredit informal, seperti meminjam uang atau barang kebutuhan
pokok dari pedagang atau pemilik modal perorangan (Anonim, 2009).
Adanya risiko menyebabkan petani pada hakekatnya bersifat rasional
enggan untuk menanggung risiko terlebih petani kecil. Petani sebagai subyek
pengambil keputusan akan enggan untuk meningkatkan dan memperluas
55
usahataninya (Mufriantie, 2005). Petani dalam berusahatani selain memperhatikan
keuntungan yang akan diperoleh juga mempertimbangkan tinggi rendahnya risiko
yang dihadapi. Perbedaan interpersonal dalam keengganan terhadap risiko akan
menyebabkan perbedaan dalam pengambilan keputusan di sektor pertanian
(Sriyadi, 2008).
Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk besar menghadapi
tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan
penduduknya. Oleh karena itu kebijakan (pemantapan) ketahanan pangan menjadi
isu sentral dalam pembangunan serta merupakan fokus utama dalam
pembangunan pertanian (Suryana, 2005). Peningkatan kebutuhan pangan seiring
dengan peningkatan jumlah penduduk dan peningkatan kesempatan kerja bagi
penduduk guna memperoleh pendapatan yang layak agar akses terhadap pangan
dapat terjangkau dan tercapai. Kebijakan pemantapan ketahanan pangan dalam hal
ini termasuk di dalamnya terwujud stabilitas pangan nasional.
Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia untuk dapat
mempertahankan hidup dan karenanya kecukupan pangan bagi setiap orang setiap
waktu merupakan hak azasi yang layak dipenuhi. Berdasarkan kenyataan tersebut
masalah pemenuhan kebutuhan pangan bagi seluruh penduduk setiap saat di suatu
wilayah menjadi sasaran utama kebijakan pangan bagi pemerintahan suatu negara.
Untuk memenuhi kecukupan pangan, baik pemerintah pusat maupun
daerah terus berupaya mendorong sektor pertanian di desa sebagai salah satu
ujung tombak penyedia pangan melalui program intensifikasi dan ekstensifikasi
tanaman pangan. Upaya yang dilakukan antara lain penyediaan input, penyediaan
teknologi, sarana air, pemasaran hasil dan lain sebagainya yang memungkinkan
untuk lebih menggairahkan para petani berusahatani yang lebih optimal, sehingga
pada akhirnya akan terjadi peningkatan produksi dan produktivitas (Suryana,
2005).
Ketahanan pangan merupakan pilar bagi pembangunan sektor-sektor
lainnya. Hal ini strategis karena tidak satupun negara dapat membangun
perekonomiannya tanpa terlebih dahulu menyelesaikan pangannya. Khusus bagi
Indonesia sektor pangan adalah sekaligus sektor penentu tingkat kesejahteraan
56
sebagian besar penduduk yang bekerja di off-farm yang terdapat di perdesaan
yang terdiri atas petani berlahan sempit dan buruh tani yang sebagian besar adalah
rakyat miskin. Tidak kalah pentingnya pangan juga menentukan kesejahteraan
konsumen miskin perkotaan yang sebagian besar porsi pendapatannya digunakan
untuk pangan (Widowati dan Minantyorini, 2005).
Peningkatan ketahanan pangan masyarakat masih menghadapi berbagai
masalah baik pada tingkat mikro maupun makro. Pada sisi mikro, upaya
pemantapan ketahanan pangan menghadapi tantangan utama dengan masih
besarnya proporsi penduduk yang mengalami kerawanan pangan mendadak,
karena bencana alam dan musibah serta kerawanan pangan kronis karena
kemiskinan. Pada sisi makro, upaya pemantapan ketahanan pangan menghadapi
tantangan utama pada peningkatan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya pangan
domestik dan peningkatan kapasitas produksi pangan dalam era keterbukaan
ekonomi dan perdagangan global (Nainggolan, 2005).
Kebijakan peningkatan kesejahteraan petani padi mempunyai arti yang
sangat strategis, mengingat peran beras dalam perekonomian Indonesia masih
cukup besar. Ada empat indikator yang dapat digunakan untuk menilai peran
tersebut yaitu: (1) usahatani padi menghidupi sekitar 20 juta keluarga petani dan
buruh tani, serta menjadi urat nadi perekonomian pedesaan; (2) permintaan
terhadap beras terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk,
karena belum berhasilnya program diversifikasi pangan; (3) produksi beras di
Indonesia masih menunjukkan kecenderungan yang fluktuatif akibat bencana
alam, serangan hama penyakit, dan kenaikan harga pupuk dan pestisida; dan (4)
usahatani padi masih menjadi andalan dalam penyerapan tenaga kerja di pedesaan
(Suryana et al., 2008).
Padi merupakan komoditas pangan strategis utama di Sulawesi Selatan,
karena merupakan bagian dari pengembangan tanaman yang terus dipacu.
Pengembangan tanaman padi di Sulawesi Selatan selain berfungsi untuk
ketahanan pangan (food security) regional, kelebihan produksi petani juga
berfungsi sebagai sumber pendapatan. Selain sebagai konsumsi makanan, padi
57
juga memiliki peran penting sebagai bahan baku industri dan penyerapan tenaga
kerja, dan peningkatan pendapatan (Kariyasa dan Sinaga, 2004).
Sulawesi selatan sebagai salah satu daerah sentra produksi padi di
Indonesia dan merupakan lumbung pangan dan pemasok kebutuhan pangan untuk
kawasan Indonesia Timur, sangat diharapkan dan memberikan kontribusi guna
pemenuhan kebutuhan pangan secara nasional. Sebagai daerah sentra produksi
padi akan berkaitan dengan ketahanan pangan. Artinya apabila terjadi peningkatan
produksi padi maka ketahanan pangan juga meningkat dan dapat terjaga. Oleh
karena itu diperlukan kebijakan dan dukungan dari pihak terkait untuk memacu
peningkatan produksi guna mendukung ketahanan pangan baik di Sulawesi
Selatan maupun secara nasional.
Tabel 1. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi Sulawesi Selatan
Tahun Luas Panen Produksi Produktivitas
(ha) (ton) (ton/ha)
2013 983.107 5.035.830 5,12
2014 1.052.565 5.464.972 5,19
2015 1.044.030 5.471.807 5,24
2016 1.129.122 5.727.081 5,07
2017 1.152.675 6.225.942 5,40
Sumber : BPS, 2017.
Sulawesi Selatan sebagai salah satu daerah penghasil padi mempunyai
lahan sawah seluas 628.552 ha, dengan rincian sebagai berikut : pengairan teknis
188.659 ha (30,01%), pengairan setengah teknis 79.508 ha (12,65%), pengairan
sederhana 131.525 ha (20,93%), tadah hujan 227.845 ha (36,25%), dan pasang
surut 1.015 ha (0,16%) (BPS, 2010). Meskipun lahan sawah beririgasi teknis,
setengah teknis dan sederhana cukup luas 340.492 ha (59,87%), namun belum
dimanfaatkan secara optimal untuk meningkatkan produksi dan pendapatan
petani.
Hasil penelitian Sistem Usaha Tani Padi (SUTPA) di Sulawesi Selatan
yang dilaksanakan tahun 1995/1996, menunjukkan bahwa daerah sentra produksi
padi, yaitu : Kabupaten Bone, Soppeng, Wajo, Sidrap, Pinrang, dan Luwu.
58
Tabel 2. Luas Lahan Sawah Daerah Sentra Produksi Padi Sulawesi Selatan
Tadah Psg
Lahan Sawah Berpengairan (ha) Total
Hujan Srt
No. Kab.
Seder-
Teknis ½ Tek. Jumlah (ha) (ha) (ha)
hana
1. Bone 13.990 5.136 14.652 33.778 61.614 1.015 96.407
2. Soppeng 10.251 4.482 6.152 20.885 2.338 - 23.223
3. Wajo 8.930 - 11.350 20.280 65.712 - 85.992
4. Sidrap 30.020 2.745 6.141 38.906 4.015 - 42.921
5. Pinrang 36.390 2.568 4.520 43.478 2.785 - 46.263
6. Luwu 14.802 4.695 13.642 33.139 1.629 - 34.768
Jumlah 1 - 6 114.383 19.626 56.457 190.466 138.093 1.015 329.574
Persentase (%) 34,71 5,95 17,13 57,79 41,90 0,31 100,00
Sumber : BPS Sulsel, 2010.
Tabel 2 memperlihatkan bahwa Kabupaten Pinrang sebagai salah satu
sentra produksi padi di Sulawesi Selatan mempunyai luas lahan sawah beririgasi
teknis yang besar diantara kabupaten lain. Dengan demikian potensi lahan tersebut
cukup penting dan perlu dikembangkan dengan penggunaan teknologi yang sesuai
dengan kondisi daerah guna meningkatkan produksi dan pendapatan petani.
Sejalan dengan terjadinya peningkatan produksi padi petani, maka di satu sisi
petani dapat mengkonsumsi hasil produksi yang diperoleh dari usahataninya guna
pemenuhan kebutuhan pangan dalam kelurga. Di sisi lain apabila ada kelebihan
dari hasil produksinya, maka dapat dijual sebagai pendapatan yang diterima dari
usahatani tersebut untuk pemenuhan kebutuhan lain disamping ada pendapatan
dari sumber lain diluar usahatani yang diusahakan.
Lahan pertanian mempunyai manfaat yang cukup luas. Manfaat tersebut
adalah: (1) secara ekonomi, lahan pertanian adalah masukan paling esensial dalam
keberlangsungan proses produksi; (2) secara sosial, eksistensi lahan pertanian
terkait dengan eksistensi tatanan kelembagaan masyarakat petani dan aspek
budaya lainya; dan (3) secara lingkungan, aktivitas pertanian pada umumnya
relatif lebih selaras dengan prinsip-prinsip pelestarian lingkungan (Bappenas dan
PSE-KP, 2006).
Pengertian lahan disini adalah pemanfaatan lahan khususnya sawah dalam
menghasilkan produksi dan pendapatan. Kondisi sekarang lahan pertanian banyak
yang beralih fungsi mengikuti pertumbuhan penduduk dan kebutuhan dalam
59
perkembangan ekonomi (eksternal) serta berlakunya sistem warisan keluarga
(internal). Kondisi ini mengakibatkan berkurangnya produksi pertanian dan
sekaligus mengurangi pendapatan petani.
Salah satu pembatas bagi lahan sebagai sumber daya pertanian guna
peningkatan produktivitas usahatani adalah jumlah lahan yang terbatas bagi
usahatani yang mempengaruhi produksi total bagi suatu usahatani. Sehubungan
dengan jumlah lahan yang terbatas dibandingkan dengan penggunaan lahan di
Indonesia yang semakin meningkat, maka dapat menyebabkan semakin sempitnya
penguasaan terhadap lahan. Penguasaan lahan yang sempit berdampak pada
besarnya produksi dan pendapatan yang diterima oleh petani menjadi salah satu
penyebab tidak efesiensinya usahatani.
Petani yang mempunyai lahan yang relatif sempit mempunyai
kecenderungan untuk meningkatkan produksinya dengan menggunakan teknologi
untuk intensifikasi usahataninya. Hal ini disebabkan karena semakin sempit lahan
usaha, maka semakin tidak efisien usahatani yang dilakukan kecuali jika usahatani
dijalankan dengan teknologi yang tepat. Demikian juga usahatani lahan luas,
masih terjadi ketidakefisienan dalam penggunaan teknologi disebabkan oleh : (1)
lemahnya pengawasan penggunaan faktor produksi seperti benih, pupuk, obat-
obatan, dan tenaga kerja; (2) terbatasnya persediaan tenaga kerja di sekitar daerah
tersebut; (3) terbatasnya persediaan modal untuk membiayai usaha pertanian
dalam skala luas. Sehingga bagi pemilik lahan luas seringkali menyakapkan atau
menyewakan lahannya kepada petani lain yang memiliki lahan sempit.
Teknologi usahatani padi adalah salah satu upaya meminimalkan risiko
produksi sekaligus meningkatkan produksi telah lama dilakukan. Penerapan
sistem pertanian intensif dengan penggunaan varietas unggul yang peka terhadap
perubahan suplai air dan responsif terhadap pupuk dan pestisida telah berhasil
meningkatkan produktivitas dan pendapatan. Namun risiko dalam usahatani
adalah kemungkinan terjadinya kegagalan produksi atau perolehan hasil panen
yang merugi disebabkan oleh faktor-faktor di luar kekuatan petani. Dengan
adanya risiko menyebabkan petani yang pada hakekatnya bersifat rasional enggan
untuk menanggung risiko terlebih bagi petani kecil.
60
Jumlah produksi dan pendapatan serta risiko usahatani padi sangat
mempengaruhi petani dalam pengambilan keputusan. Petani dalam memilih
usahatani padi mempunyai alasan tertentu, dimana hal ini tergantung preferensi
petani terhadap risiko maupun faktor lingkungan. Risiko yang dihadapi petani
berdasarkan penguasaan lahan akan berdampak pada produksi dan pendapatan,
serta akan mempengaruhi perilaku petani dalam pengambilan keputusan
berproduksi. Peluang terjadinya kegagalan produksi akan tinggi pada daerah
dimana risiko selalu terjadi. Teknologi atau inovasi dalam usahatani padi sebagai
salah satu upaya meminimalkan risiko produksi yang sekaligus meningkatkan
produksi telah lama dilakukan oleh petani.
Pangan adalah kebutuhan esensial dalam kehidupan manusia. Gangguan
terhadap pemenuhan kebutuhan tersebut secara langsung akan berhadapan dengan
persoalan hidup mati. Oleh karena itu setiap individu akan berusaha
mengamankan pemenuhan kebutuhan pangan dengan melakukan kiat-kiat dalam
rangka mempertahankan hidupnya. Bentuk-bentuk perilaku tersebut yang
dimunculkan sangat beragam tergantung determinan apa yang menjadi sumber
gangguan terhadap pemenuhan kebutuhan pangan.
Apabila produksi pangan rumah tangga tani yang berasal dari usahatani
tidak mampu memenuhi persyaratan konsumsi pangan, maka kekurangan
konsumsi pangan tersebut dipenuhi dengan membeli bahan pangan di pasar. Daya
beli rumah tangga tani terhadap bahan pangan ditentukan oleh dua hal pokok,
yaitu (1) pendapatan rumah tangga berupa kas masuk (cash supply) yang berasal
dari seluruh sumber kas rumah tangga, dan (2) harga bahan pangan yang dibeli.
Pada tingkat harga makanan yang tetap, daya beli rumah tangga terhadap pangan
dapat ditingkatkan dengan memperbaiki pendapatan rumah tangga.
Peningkatan dalam jumlah pendapatan pada masyarakat di pedesaan akan
memberikan kesempatan kerja kepada masyarakat untuk memperbaiki dan
meningkatkan mutu, jumlah, dan ragam, baik barang dan jasa yang akan mereka
perlukan. Namun jumlah pendapatan yang diperoleh tiap-tiap rumah tangga tidak
sama besarnya. Perbedaan jumlah pendapatan ini disebabkan oleh adanya
perbedaan-perbedaan dalam: (1) pemilikan tanah pertanian; (2) modal usaha; (3)
61
kesempatan untuk memperoleh lapangan kerja baik di sektor pertanian maupun
luar sektor pertanian. Khususnya untuk pemilikan lahan antara petani pemilik,
gadai, penyewa dan penyakap terdapat perbedaan pendapatan yang diperoleh dari
usahatani yang diusahakan. Perbedaan pendapatan tersebut berdampak pada
kesejahteraan bagi petani. Petani yang sejahtera akan mempunyai ketahanan
pangan yang lebih baik dibanding dengan petani yang kurang sejahtera.
Perbedaan tingkat pendapatan ini jelas akan menimbulkan perbedaan-
perbedaan pola konsumsi rumah tangga dan penguasaan modal bukan tanah
(kekayaan) sehingga berdampak dan berpengaruh pada ketahanan pangan rumah
tangga tersebut. Rumah tangga petani miskin di pedesaan yang pendapatannya
relatif kecil hanya mampu membeli kebutuhan pokok saja, itupun seringkali tidak
dapat terpenuhi. Sebaliknya rumah tangga yang berpenghasilan relatif tinggi,
disamping mampu membeli barang kebutuhan pokok juga mampu membeli
barang kebutuhan sekunder atau kebutuhan tambahan.
62
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA PENGUASAAN LAHAN DAN
KETAHANAN PANGAN
70
akan terjadi pada kegiatan usahataninya (Dillon et al, 1979; Hadisapoetra, 1981;
Mardikanto, 1994).
Hasil analisis risiko usahatani di beberapa daerah Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta (DIY) menunjukkan bahwa risiko produksi padi lebih kecil
dibandingkan usahatani sayuran (Astuti, 1994; Darmadi, 1997; Widiyanto, 2001).
Hartono dan Iwamoto (2002) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa
pendapatan petani dari luar usahatani lebih stabil daripada pendapatan dari
usahatani. Hasil ini mengindikasikan bahwa aktivitas usahatani lebih berisiko
daripada aktivitas di luar usahatani.
Studi tentang risiko produktivitas usahatani padi di Republik Dominica
oleh Roe and Tomasi (Senjawati, 2008) memberikan suatu bukti bahwa risiko
produktivitas mempengaruhi keputusan petani dalam produksi. Jika petani
dihadapkan pada risiko produktivitas yang tinggi, maka kemampuan untuk
berproduksi juga menjadi rendah. Produktivitas yang semakin berfluktuasi
mendorong meningkatnya sewa lahan, jumlah penggunaan tenaga kerja luar, dan
menyebabkan berkurangnya waktu luang petani.
Istiyanti (1999) dalam penelitiannya mengenai analisis pendapatan dan
perilaku petani terhadap risiko dalam pengembangan usahatani bawang merah,
menunjukkan hasil bahwa risiko dan pendapatan hasil usahatani bawang merah
relatif lebih besar dibanding tanaman alternatif. Sebagian besar petani bawang
merah berperilaku enggan terhadap risiko. Untuk mengembangkan usahatani
bawang merah dan meningkatkan produksi perlu adanya jaminan terhadap
pendapatan petani melalui penggunaan varietas unggul, pemberantasan hama dan
penyakit yang lebih efektif serta program stabilisasi harga.
74
BAB 3
PERSPEKTIF TEORITIS PENGUASAAN LAHAN DAN
KETAHANAN PANGAN
A. Penguasaan Lahan
Menurut Siahaan (Suhardjo, 1988) penguasaan lahan adalah total dari luas
lahan, dimana keluarga petani yang bersangkutan memperoleh pendapatan.
Penguasaan lahan menunjukkan pada kondisi atas kemampuan, kesempatan dan
hak untuk memperoleh dan memiliki lahan pertanian dalam rangka memperoleh
hasil produksi pertanian atau produksi lain yang berasal dari lahan tersebut.
Salah satu aspek penting berkenaan dengan dimensi yang dipunyai tanah
dalam hubungannya dengan manusia adalah bahwa tanah merupakan property
yang mempunyai makna kepemilikan beserta entitlement yang berkaitan dengan
hak kepemilikan (Barlowe, 1978). Hal ini berarti bahwa segala sesuatu yang
menyangkut hak kepemilikan tanah berimplikasi luas dalam hak pengelolaan
sumberdaya tanah termasuk juga hak memiliki dan menggunakan tanah, hak
untuk menjual, membagi-bagi, menyewakan, menggadaikan, mewariskan ataupun
hak untuk menghibahkannya.
Status penguasaan lahan pertanian, umumnya di klasifikasikan menjadi
lahan milik, lahan sewa, lahan gadai, dan lahan sakap. Nilai atau harga lahan
dengan status milik seringkali lebih mahal bila dibandingkan dengan lahan yang
bukan milik. Lahan milik, biasanya dinyatakan dengan bukti sertifikat lahan selalu
harganya lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena adanya kepastian hukum
pemilikan lahan. Dalam pertanian faktor produksi yang berupa lahan mempunyai
kedudukan paling penting. Hal tersebut dapat dilihat dari tingginya balas jasa
(harga jual dan sewa) yang diterima dibandingkan dengan faktor lainnya.
Soentoro (1983) mengemukakan bahwa lahan sebagai faktor produksi yang
diberikan oleh alam, adalah pemegang peranan utama dalam usahatani.
Menurut Kasryno (1988) distribusi pemilikan lahan dalam sektor pertanian
menunjukan tendensi semakin buruk dan jumlah rumah tangga ”tuan tanah”
semakin besar. Indek Gini pemilikan tanah di 45 desa di Jawa Barat, Jawa
Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan antara 0,50 – 0,91, dan ini
75
menunjukkan ketimpangan yang berat. Selanjutnya Mintoro dan Soentoro (1983)
menyatakan bahwa ada gejala penguasaan lahan pertanian akan semakin terpusat
pada masyarakat tertentu. Akibatnya terjadi perbedaan tingkat pendapatan yang
semakin besar antara petani kaya dengan petani miskin. Hal ini pertanda adanya
ketimpangan dalam distribusi pendapatan. Seperti yang dijelaskan oleh Wiradi
dan Makali (1984) bahwa ketidakmerataan dalam penguasaan lahan pertanian
merupakan sumber utama dari ketidakmerataan distribusi pendapatan masyarakat
di pedesaan.
Penguasaan lahan dapat menunjukkan pada kondisi kemampuan,
kesempatan atau hak memperoleh dan memiliki lahan pertanian dalam rangka
memperoleh hasil produksi pertanian atau produksi lain dari lahan tersebut.
Penguasaan lahan dapat berupa penguasaan pemilikan dan penguasaan non
pemilikan. Penguasaan lahan yang berupa pemilikan, lahan pertanian yang
dikuasai sekaligus merupakan hak milik sehingga dapat dipindah tangankan
dengan cara dijual, dihibahkan atau cara-cara lainnya sehingga milik tersebut
berpindah penguasaannya. Pada penguasaan non pemilikan sifatnya hanya
sementara dan mudah sekali terjadi mutasi hak penguasaan menurut situasi dan
kondisi (Astuti, 1995). Suhardjo (1984) membedakan bentuk-bentuk penguasaan
lahan (tidak termasuk lahan milik yang sifatnya permanen) menjadi empat, yaitu
lahan gadai, lahan sewa, lahan bengkok dan lahan sakapan.
Penguasaan lahan sebagai sumberdaya yang terbatas dan jumlah penduduk
yang semakin bertambah menyebabkan distribusi penguasaan lahan yang tidak
merata dan berubah status penguasaan lahan akibat transaksi jual beli, pertukaran,
hibah, waris, transaksi sewa, bagi hasil, dan gadai, menyebabkan petani
bekerjasama dalam suatu bentuk pemilikan lahan. Luas pemilikan lahan banyak
mempengaruhi tingkah laku petani dalam berproduksi. Penyebaran dari
sumberdaya lahan di muka bumi ini tidak merata, sehingga menyebabkan
ketidakmerataan dalam luas penguasaan lahan dari setiap petani. Ketidakmerataan
penguasaan lahan ini menurut White dan Wiradi (1989) merupakan sumber utama
dalam ketidakmerataan penyebaran pendapatan.
76
Status penguasaan lahan bervariasi menurut variabilitas produksi tanah,
risiko dalam proses produksi dan tingkat upah. Oleh sebab itu, bagi daerah yang
mempunyai kualitas tanah yang tinggi dalam hal ini adalah daerah sawah dengan
sistem irigasi teknis akan menyebabkan tingkat penyakapan rendah sehingga bagi
rumah tangga tidak mempunyai lahan akan sulit mendapatkan tanah garapan.
Penyakapan yang rendah ini disebabkan pula risiko gagal panen yang makin kecil
jika dibandingkan dengan sawah irigasi non teknis. Pada kondisi tanah rendah dan
risiko gagal panen tinggi, maka bagian hasil untuk pemilik cenderung
berhubungan positif dengan kualitas tanah dan cenderung berhubungan negatif
dengan risiko gagal panen. Makin besar tingkat risiko dalam proses produksi
makin kecil bagian untuk pemilik tanah. Pada kondisi tanah berproduksi rendah
dan tingkat risiko yang tinggi, maka penggarap cenderung menanggung biaya
produksi dan memperoleh bagian hasil yang lebih besar untuk penggarap (Astuti,
1995).
Sehubungan dengan luas penguasaan lahan, Daniel (2004) menjelaskan
bahwa luas penguasaan lahan merupakan sesuatu yang penting dalam proses
produksi ataupun usahatani. Dalam usahatani misalnya pemilikan atau penguasaan
lahan sempit kurang efisien dibandingkan lahan yang lebih luas. Semakin sempit
lahan usaha, semakin tidak efisien usahatani yang dilakukan kecuali jika usahatani
dijalankan dengan teknologi yang tepat. Tetapi pada usahatani yang lahan luas
juga sering terjadi ketidakefisienan dalam penggunaan teknologi yang disebabkan
oleh : (i) lemahnya pengawasan pada faktor produksi seperti benih, pupuk,
pestisida, dan tenaga kerja; (ii) terbatasnya ketersediaan tenaga kerja disekitar
daerah tersebut; (iii) terbatasnya persediaan modal untuk membiayai usaha
pertanian dalam skala luas.
Hubungan yang berupa pemindahan hak milik dan hak atas menggarap
akan menimbulkan pemusatan penguasaan lahan sebagai faktor produksi penting
kepada salah seorang atau golongan orang yang mempunyai modal kuat. Keadaan
tersebut dari segi ekonomi akan berakibat pada pemusatan pendapatan kepada
segolongan orang yang kaya. Keadaan tersebut akan menyebabkan pola distribusi
pemilikan lahan akan semakin timpang (Santoso dan Hermanto, 1983).
77
Kondisi yang berbeda ditunjukkan oleh hasil penelitian Schrevel (1989)
bahwa pemilikan atas tanah dan akses atas tanah merupakan prediktor yang lemah
untuk melihat kekayaan yang dinikmati individu rumah tangga petani di pedesaan.
Kegiatan luar usahatani menyumbang setengah atau lebih pendapatan per tahun
sebagian besar penduduk, dan jumlah uang yang diterima dari kerja luar usahatani
tidak tergantung pada tanah yang dimiliki. Meskipun akses terhadap lahan, baik
sebagai pemilik maupun sebagai penyakap sering dilihat sebagai faktor penentu
pendapatan rumah tangga petani. Tetapi bagi mayoritas rumah tangga petani,
khususnya yang berlahan sempit atau tidak mempunyai lahan sama sekali,
kegiatan luar usahatani merupakan suatu keharusan. Bagi rumah tangga yang lain
kegiatan luar usahatani merupakan cara untuk menambah pendapatan.
Ciri umum struktur pertanian di Jawa adalah satuan usahatani sangat
sempit dan penguasaan lahan yang timpang. Bagi golongan berlahan sempit dan
golongan buruh tani diamana umumnya pendapatan mereka rendah dan pekerjaan
tidak dapat diharapkan secara tetap, maka mereka mudah meninggalkan sektor
pertanian untuk mencari tambahan pendapatan dari sektor non pertanian, bahkan
mereka beralih atau meninggalkan sektor pertanian. Peran sektor non pertanian
secara teoritis dapat berpengaruh terhadap pemerataan pendapatan di pedesaan
(Astuti, 1995).
Hubungan penguasaan atas lahan bervariasi dengan bervariasinya
produktivitas. Bentuk hubungan penguasaan lahan berupa pemilik-penggarap,
penyakap, penggarap murni dimana seluruh tenaga kerja berasal tenaga keluarga,
sedangkan pada bentuk pemilik pengelola seluruh tenaga kerja dibayar, disini
pemilik hanya berfungsi sebagai pengelola (Anwar, 2000).
Pada keadaan produktivitas lahan yang rendah, distribusi pemilikan atau
penguasaan lahan biasanya merata. Dalam keadaan demikian petani belum
mampu membayar tenaga kerja, karena upah tidak mungkin ditekan sampai sama
dengan produktivitas marginal tenaga kerja. Dalam pemilikan lahan yang merata
dan produktivitas rendah ini, dan tenaga kerja dalam keluarga tidak dapat
menyelesaikan suatu pekerjaan usahatani, maka petani terpaksa meminta bantuan
petani lainnya dan berkembanglah saling tukar menukar tenaga kerja.
78
Perkembangan teknologi meningkatkan produktivitas lahan yang juga
meningkatkan produksi rata-rata per tenaga kerja, sehingga memungkinkan untuk
membayar upah tenaga kerja. Dengan meningkatnya produktivitas lahan,
distribusi pemilikan lahan menjadi timpang, sehingga ada rumah tangga
menguasai lahan luas dan sebagian lainnya tidak memiliki lahan (Anwar, 2000).
B. Penyakapan (Sakap)
Penyakapan pada hakekatnya adalah kontrak hubungan kerja dan agraria.
Dengan sistem ini semua unsur risiko dan pendapatan dibagi antara pemilik dan
buruh tani dengan perbandingan tertentu. Sistem bagi hasil memberikan dorongan
bagi buruh tani untuk bekerja dengan baik, karena hasil yang diperoleh tergantung
dari intensitas kerja yang dikorbankan. Bagi pemilik lahan yang memakai sistem
ini masalah biaya transaksi dan pengawasan tenaga kerja dapat dihemat.
Penyakapan dapat pula dianggap sebagai alternatif lain dari pasar tenaga kerja dan
pasar lahan. Dalam hal ini penyakapan dapat dianggap sebagai sistem hubungan
kerja (Kasryno, 1988).
Mengenai hak-hak penguasaan lahan yang sifatnya sementara menurut
pasal 53 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 tahun 1960 yaitu hak
gadai, hak bagi hasil, hak menumpang, dan hak sewa. Bentuk penguasaan lahan
berupa sewa, sakap, dan gadai adalah bentuk-bentuk penguasaan lahan yang di
dalamnya terdapat pengalihan hak garap dari seorang pemilik lahan kepada orang
lain. Bentuk kelembagaan ini sudah menjadi bagian dari masyarakat desa, namun
tidak bersifat statis. Dibandingkan gadai, sewa dan sakap memiliki aturan yang
lebih lengkap, tidak terlalu merugikan salah satu pihak. Pada sewa dan sakap
hubungan kerja sudah ada kejelasan informasi tentang besarnya biaya yang
dibebankan, bagian hasil masing-masing pihak, atau tanggung jawab lain yang
harus dipenuhi. Pada gadai pemilik lahan biasanya cenderung sebagai pihak yang
menanggung rugi, karena tidak adanya bagian hasil untuk pemilik lahan, serta
kurang jelasnya batas waktu pengalihan hak garap lahan (Tohir 1990; Pakpahan et
al., 1992 dalam Suwarto, 2007). Mengenai hak menumpang, dalam hal ini
pemberian hak garap diberikan atas maksud membantu kepada yang lemah.
79
Jangka waktu pemberian hak ditentukan oleh yang pemilik lahan atau yang
memberi tumpangan.
Berkenaan dengan penyakapan, pemerintah melalui Undang-undang No. 2
Tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil (penyakapan) bermaksud mengatur
hubungan antara pemilik lahan dan penyakap agar berlaku imbangan pembagian
hasil yang adil. Pasal 1d mengenai pembagian pembebanan input yaitu: (1) pajak
lahan dibayar pemilik, (2) bibit, pupuk, ternak, biaya pengolahan lahan, biaya
tanam, biaya panen dikembalikan kepada pemberi dan tanpa bunga, (3) keperluan
tenaga kerja lainnya ditanggung penyakap. Pasal 7 menetapkan besarnya
pembagian hasil tersebut yaitu bagi penyakap dan pemilik lahan ditetapkan secara
beturut-turut 1:1 untuk padi sawah dan 2/3:1/3 untuk palawija dan tanaman di
lahan kering. Bagi daerah-daerah yang memberlakukan imbangan pembagian
hasil yang lebih menguntungkan bagi penyakap dari pada ketentuan UU No.2
tahun 1960 dinyatakan tetap berlaku (Partadireja, 1972). Undang-undang tersebut
yang sering disebut dengan UUPBH tahun 1960 juga menjamin kedudukan
hukum yang layak bagi penyakap dengan maksud menggairahkan para penyakap
untuk bekerja sehingga produktivitas lahan, dan produksi nasional meningkat.
Pasal 4 ayat 1 UUPBH tersebut mengatur lama perjanjian minimal 3 tahun pada
lahan sawah dan 5 tahun pada lahan kering (Darsono, 1986).
Newbery (1977), Hayami dan Kikuchi (Suwarto, 2007) mengupas
pengaruh kelembagaan lahan atas penggunaan input produksi yang dapat
berpengaruh terhadap produktivitas lahan. Penelitian mengenai sistem sewa tanah
menemukan bahwa produktivitas dari petani yang hanya menyewa tanah tidak
jauh berbeda dengan produktivitas yang dihasilkan oleh petani pemilik sekaligus
pengolah tanah (Mangahas, 1975; Berry & Cline, 1979; Fujimoto (Widodo,
1989), meskipun dalam teori neoklasik tentang sistem sewa tanah disebutkan
bahwa adalah hal biasa bila terdapat pihak tertentu yang menyalahkan petani
dengan sistem sewa bagi hasil karena ketidakmampuan mereka dalam
memanfaatkan lahan secara maksimal.
Teori yang terkait dengan sistem sewa tanah yang dikemukakan oleh
Cheung menyatakan bahwa baik petani yang hanya berstatus sebagai penyewa
80
tanah maupun petani yang berstatus sebagai pemilik sekaligus pengolah lahannya
adalah sama-sama efisien Hayami dan Kikuchi (Widodo, 1989). Teori neoklasik
tentang ketidakefisienan sistem bagi hasil menekankan pada harga atau
ketidakefisienan alokasi terhadap output yang dibagi yang menyebabkan
produktivitas marginalnya menurun, selain itu bila tanpa sistem bagi hasil biaya
dan input dari suatu produksi juga akan menurun (Widodo, 1989).
Feder dan Feeny (Suwarto, 2007) mengungkapkan bahwa suatu bentuk
lembaga sosial yang penting adalah kepemilikan. Pada kepemilikan melekat
adanya tata hubungan antara lain hak-hak, kewajiban-kewajiban, status dan
penguasaan. Dalam hal ini, peningkatan hak pemilikan lahan meningkatkan nilai
lahan, meningkatkan intensitas budidaya, dan meningkatkan penggunaan kredit
usahatani.
Hubungan penyakapan (tenancy relation) dalam pertanian yang memiliki
pengertian yang luas, mencakup berbagai bentuk hubungan yang terjadi akibat
penguasaan tanah oleh pengelola yang bukan pemilik, mencakup sewa dan bagi
hasil. Namun dalam perkembangannya, istilah penyakapan hanya untuk bagi
hasil, tidak termasuk sewa. Pada usahatani padi, adakalanya input produksi
ditanggung sendiri oleh pemilik atau ditanggung bersama dengan penggarap.
Demikian pula dalam keterlibatan pengelolaan, adakalanya pemilik tanah terlibat
atau tidak sama sekali (Syahyuti, 2011).
Secara teoritis penyakapan dapat dianalisis dengan menggunakan prinsip-
prinsip ekonomi neoklasik, seperti dikemukakan oleh Hayami dan Kikuchi, 1981;
Kasryno (Yaya, 2002), sebagaimana terlihat pada Gambar 1. berikut ini :
81
q/w
A
MP
D (1-r)MP
E C
W
O L2 L1 B L
C. Ketahanan Pangan
Undang-Undang RI No. 7 tahun 1996 tentang pangan mendefinsikan
ketahanan pangan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang
tercermin dari tersedianya pangan yang cukup dalam jumlah maupun mutunya,
aman, merata dan terjangkau. Ketahanan pangan dipandang sebagai suatu sistem
yang merupakan rangkaian dari komponen ketersediaan dan stabilitas pangan
(food availability and stability), kemudahan memperoleh pangan (food
accessibility), dan pemanfaatan pangan (food utilization) (Depkes, 2003; Baliwati
et al, 2004; BPPN, 2007). Menurut definisi tersebut maka ketahanan pangan
terdiri dari elemen :
1. Ketersediaan pangan.
2. Aksesbilitas yang menggambarkan kemampuan untuk menguasai pangan yang
cukup.
3. Keamanan yang dapat diartikan sebagai stabilitas (menunjukkan pada
ketahanan internal seperti penurunan produksi) dan keandalan (menunjuk pada
kerentanan eksternal seperti fluktuasi perdagangan internasional).
4. Keberlanjutan merupakan kontinuitas dari akses dan ketersediaan pangan yang
ditunjukkan oleh keberlanjutan usahatani.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 3 tahun 2007 dinyatakan bahwa
ketahanan pangan menjadi urusan wajib sedangkan pertanian justru menjadi
urusan pilihan. Hal ini mengisyaratkan bahwa permasalahan ketahanan pangan
merupakan urusan yang sangat penting dan prioritas dalam pembangunan
nasional.
Ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka
pembangunan nasional untuk membentuk manusia Indonesia yang berkualitas,
mandiri dan sejahtera melalui perwujudan ketersediaan pangan yang cukup, aman,
84
bermutu, bergizi dan beragam serta tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia
dan terjangkau oleh daya beli masyarakat (Deptan, 2006).
Krisnamurthi (2003), ketahanan pangan merupakan bagian terpenting dari
pemenuhan hak atas pangan sekaligus merupakan salah satu pilar utama hak asasi
manusia. Ketahanan pangan juga merupakan bagian sangat penting dari ketahanan
nasional. Usaha pengembangan ketahanan pangan tidak dapat dipisahkan dari
usaha penanggulangan masalah kemiskinan. Ketahanan pangan tidak hanya
mencakup pengertian ketersediaan pangan yang cukup, tetapi juga kemampuan
mengakses (termasuk membeli) pangan dan tidak terjadinya ketergantungan
pangan pada pihak manapun.
Soekirman (2000), juga menyebutkan ketahanan pangan pada dasarnya
adalah ketersediaan (food availability), stabilitas harga pangan (food price
stability), dan keterjangkauan pangan (food accessability). Ketahanan pangan
merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan nasional untuk
membentuk manusia Indonesia yang berkualitas, mandiri, dan sejahtera melalui
perwujudan ketersediaan pangan yang cukup, aman, bermutu, bergizi dan
beragam serta tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia dan terjangkau oleh
daya beli masyarakat.
Kebijaksanaan peningkatan ketahanan pangan bertujuan untuk menjamin
tersedianya pangan yang adil dan merata ditingkat masyarakat, rumah tangga dan
perorangan, sesuai dengan kemampuan daya beli sehingga terpenuhi kebutuhan
konsumsi pangan dan gizi. Meskipun kebijaksanaan ketahanan pangan diarahkan
sampai pada tingkat rumah tangga dan perorangan, ketahanan pangan pada tingkat
daerah tetap perlu diperhatikan karena keadaan tersebut merupakan prasyarat
untuk mencapai ketahanan pangan perorangan atau rumah tangga (Bappenas,
2004).
Studdert et al, (2001) paradigma ketahanan pangan berkelanjutan
menegaskan bahwa ketersediaan pangan yang cukup adalah penting tetapi tidak
memadai untuk menjamin ketahanan pangan. Sesungguhnya tidak akan ada
ketahanan pangan bila tidak ada ketersediaan pangan yang cukup untuk di akses,
dalam hal ini ketahanan pangan sangat berhubungan dengan lokasi tempat tinggal
85
dalam mengakses pangan. Meskipun tersedia pangan yang cukup, sebagian orang
masih menderita kelaparan karena tidak mempunyai cukup akses terhadap
pangan.
Simatupang (2003), esensi kebijakan pangan dicirikan oleh keterlibatan
aktif pemerintah dalam mengarahkan, merangsang dan mendorong elemen-
elemen terkait sehingga terbentuk suatu sistem ketahanan pangan nasional yang
tangguh dan berkelanjutan. Sistem ketahanan pangan merupakan bagian integral
dari sistem perekonomian nasional secara keseluruhan, sehingga perumusannya
harus terpadu dan serasi dengan kebijakan ekonomi makro. Secara spesifik,
kebijakan ketahanan pangan hendaknya dirumuskan sebagian integral dari
kebijakan pengentasan kemiskinan.
Konsep ketahanan pangan dan pencapaiannya mempunyai banyak
pengertian, antara lain: (1) peran stok biji-bijian nasional dan internasional; (2)
pencapaian swasembada pangan setiap negara; (3) penghilangan hambatan
perdagangan pangan, sehingga memperbaiki stabilisasi dan efisiensi pasar uang
tunai, pola konsumsi per kapita, rata-rata biaya per pangan pokok per bulan; (4)
impor dan ekspor (ton/tahun; uang tunai) (Darmawan, 2001).
Beberapa metode pengukuran ketahanan pangan terus dikembangkan dan
secara konseptual ukuran ketahanan pangan yang telah diterima oleh Sidang
Komite Pangan Dunia ke-18 pada tahun 1993 mencakup tiga aspek atau dimensi
penting, yaitu: (1) ketersediaan pangan; (2) stabilisasi penyediaan bahan pangan
dan (3) akses individu dan rumah tangga untuk pangan. Ketiga aspek inilah yang
dicoba dimanifestasikan dalam konteks yang mengukur ketahanan pangan
(Darmawan, 2001).
88
BAB 4
PRODUKSI, PENDAPATAN DAN RISIKO
A. Produksi
Produksi merupakan suatu proses yang mengubah faktor-faktor (input)
menjadi suatu produk (output). Beattie dan Taylor (1994) menyatakan bahwa
produksi adalah suatu proses kombinasi dan koordinasi material-material dan
kekuatan-kekuatan (faktor produksi, sumberdaya atau jasa/hasil produksi). Tinggi
rendahnya produksi tergantung pada keputusan petani, berapa jumlah sumberdaya
(input) yang akan digunakan, berapa luas tanah yang dipakai, berapa banyaknya
bibit, pupuk, pestisida, tenaga kerja dan lain-lain.
Hubungan kuantitatif antara input dan output disebut dengan fungsi
produksi, sedangkan analisis dan pendugaan hubungan itu disebut analisis fungsi
produksi (Soekartawi, 1994). Bishop dan Toussaint (1986), menyatakan bahwa
fungsi produksi adalah suatu hubungan matematis yang menggambarkan bahwa
jumlah hasil produksi tertentu tergantung pada jumlah input tertentu yang
digunakan. Jadi suatu fungsi produksi memberikan keterangan mengenai jumlah
output yang mungkin diharapkan apabila input tertentu dikombinasikan dalam
suatu cara yang khusus.
Petani dalam mengalokasikan input berusaha secara efisien agar diperoleh
produksi yang maksimal. Banyaknya hasil produksi yang dihasilkan oleh suatu
proses produksi akan dipengaruhi oleh jumlah dan kombinasi faktor-faktor
produksi yang digunakan. Hubungan antara jumlah input yang digunakan dengan
output yang dihasilkan dapat dinyatakan dalam suatu fungsi produksi. Menurut
Pappas (1995) fungsi produksi menggambarkan keluaran maksimal yang dapat
diproduksi dengan jumlah masukan tertentu atau jumlah minimum yang
diperlukan untuk memproduksi satu tingkat keluaran tertentu.
Konsep dasar yang digunakan untuk analisis produktivitas adalah fungsi
produksi (Jamison and Lau, 1982). Dengan demikian faktor-faktor yang
mempengaruhi produktivitas identik dengan faktor-faktor yang mempengaruhi
produksi. Fungsi produksi adalah hubungan antara jumlah input yang diperlukan
90
dan jumlah output yang dapat diperoleh (Pindyck and Rubinfield, 2001;
Samuelson and Nordhaus, 2001). Menurut Doll and Orazem (1984), dalam proses
produksi terdapat dua jenis input, yaitu input variabel dan input tetap. Input
variabel adalah input yang habis dipakai dalam satu periode produksi, sedangkan
input tetap adalah input yang tidak habis dipakai dalam satu periode produksi.
Secara matematis fungsi produksi dapat ditulis sebagai berikut:
Y = f (Xi, Zj) ……..……………….......................................... (4.1)
Keterangan: Y adalah produksi (output), Xi adalah input variabel dan Zj adalah
input tetap.
Fungsi produksi yang sering digunakan sebagai alat analisis pada
penelitian yang menggunakan pendekatan ekonometrika adalah fungsi produksi
Cobb-Douglas (Yotopoulus and Nugent, 1976; Debertin, 1986; Nicholson, 1998 ).
Secara matematis fungsi produksi Cobb-Douglas adalah sebagai berikut:
Y AX 1b1 X 2b 2 ... X ibi ... X nbn e u ..................................................... (4.2)
Keterangan : Y= output atau variabel yang dijelaskan
X= input atau variabel yang menjelaskan
A= intersep (konstan)
b = parameter untuk masing-masing input Xi
U= kesalahan (disturbance term)
e = 2,718 (logaritma natural)
Agar pendugaan dengan fungsi produksi Cobb-Douglas lebih mudah
dilakukan, persamaan (4.2) terlebih dahulu diubah ke dalam bentuk logaritma
berikut :
Log Y = log A + b1logX1 + b2logX2 + bilogXi + ... + bnlogXn ..... (4.3)
Dalam bentuk logaritma, persamaan (2.3) dapat diestimasi menggunakan metode
kuadrat terkecil (OLS). Dimana nilai parameter ataupun koefisien regresi dapat
dicari (Gujarati, 1997).
Salah satu ciri fungsi produksi Cobb-Douglas adalah besarnya elastisitas
produksi bagi setiap faktor produksi sama dengan nilai parameter faktor produksi
tersebut dan menunjukkan besarnya hubungan antara setiap faktor produksi
terhadap produksi (Hayami and Ruttan, 1985). Penjumlahan elastisitas (n),
91
merupakan ukuran return to scale. Apabila n = 1, berarti constant return to scale,
jika n > 1, berarti increasing return to scale, dan jika n < 1, berarti decreasing
return to scale (Soekartawi, 1994).
Fungsi produksi Cobb-Douglas memiliki beberapa kelebihan antara lain
(Soekartawi, 1994) :
a. Penyelesaian relatif lebih muda dibanding dengan fungsi yang lain misalnya
fungsi kuadratik, karena fungsi Cobb-Douglas dapat dengan mudah ditransfer
ke bentuk linier.
b. Hasil pendugaan garis melalui fungsi Cobb-Douglas akan menghasilkan
koefisien regresi yang sekaligus menunjukkan elastisitas.
c. Besaran elastisitas tersebut sekaligus menunjukkan tingkat besaran return to
scale.
Namun ada beberapa kelemahan model fungsi Cobb-Douglas (Soekartawi,
1994), yaitu :
a. Tidak pernah mencapai tingkat produksi maksimum.
b. Ada multicolinearity yang sulit dihindari.
c. Karena dalam pengoperasiannya menggunakan bentuk logaritma, maka untuk
variabel yang mempunyai nilai nol atau negatif tidak dapat dianalisis kecuali
dalam bentuk variabel dummy. Untuk mengatasi masalah ini variabel bernilai
nol dapat diganti dengan bilangan positif yang relatif kecil.
Faktor produksi sering disebut korbanan produksi karena faktor produksi
dikorbankan untuk menghasilkan produksi (Soekartawi, 2003; Jatileksono, 1993).
Dalam praktek pertanian, faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dibedakan
menjadi dua kelompok, yaitu :
a. Faktor biologis, seperti lahan pertanian dengan macam dan tingkat
kesuburannya, bibit, varietas, pupuk, pestisida, gulma, dan sebagainya.
b. Faktor sosial ekonomi, seperti biaya produksi, harga, tenaga kerja, tingkat
pendidikan, tingkat pendapatan, risiko dan ketidakpastian, kelembagaan,
tersedianya kredit dan sebagainya.
Dalam menganalisis data hasil survei, output tanaman pangan (Y)
seringkali tidak merupakan produk yang homogen dihasilkan oleh setiap petani,
92
sehingga Y sebaiknya diukur dengan nilai produksi, yang merupakan perkalian
antara kuantitas Y dengan harganya (Py). Dalam hal ini perbedaan Py antar petani
dapat dianggap mencerminkan perbedaan kualitas output tanaman pangan yang
dihasilkan (Jatileksono, 1993). Berdasarkan pemikiran tersebut maka dapat
dianalogikan untuk usahatani tanaman pangan yang menghasilkan lebih dari satu
jenis, outputnya dapat diukur dengan jumlah nilai produksi dari masing-masing
jenis tanaman pangan. Cara analisis tersebut telah dilakukan oleh Herdt (1971)
untuk menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produktivitas
pertanian di India dengan variabel dependen total nilai produksi pertanian; dan
oleh Yamin (2003) untuk menganalisis faktor faktor yang berpengaruh terhadap
produksi tanaman padi dengan variabel dependen nilai produksi padi.
Keterangan:
π = keuntungan jangka pendek
p = harga output
ci = harga faktor produksi variabel
Keuntungan maskimum tercapai pada saat nilai produksi marginal sama
dengan harga input (marginal factor cost). Secara matematik dapat dirumuskan:
F ( X , Z )
p ci i = 1, 2, .... m ............................................ (4.8)
X 1
Menurut Yotopoulus dan Lau (1972), dengan menyatakan ci* = ci/p
sebagai harga input ke-i yang dinormalkan, maka persamaan (2.8) dapat dituliskan
sebagai berikut:
F
ci* i = 1, 2, .... m ..................................................... (4.9)
X t
Dengan menormalkan persamaan (2.7), maka persamaannya menjadi:
m
F ( X 1 ,...., X m ; Z 1 ,...., Z n ) c1* X 1* ........................ (4.10)
p i 1
96
m
pF ( X 1* ,...., X m* ; Z 1 ,...., Z m ) c1 X i*
i 1
* *
atau : π = G (c1 , ...., cm*; Z1, ...., Zn) ...................................... (4.12)
Fungsi keuntungan memberikan nilai maksimum keuntungan untuk setiap
set nilai (p, c*, Z). Dengan melihat fungsi pada persamaan (4.12), maka
selanjutnya dapat ditulis:
π = PG* (ci ; Zj) ....................................................................... (4.13)
Fungsi keuntungan yang dinormalkan menjadi:
* G * (ci ,...., c n ; Z j ,...., Z m ) ......................................... (4.14)
p
Dengan mengasumsikan hubungan antara faktor-faktor produksi dengan
merupakan fungsi produksi Cobb Douglas, maka fungsi keuntungan yang
dinormalkan dapat ditulis sebagai berikut:
m n
A
* *
(c
i 1
* i
i ) (Z
j 1
j ) j ..................................................... (4.15)
Keterangan:
π* = keuntungan yang dinormalkan
A* = intersep
αi* = koefisien harga faktor produksi variabel
*
βj = koefisien faktor produksi tetap
ci* = harga faktor produksi variabel yang dinormalkan
Zj = faktor produksi tetap.
97
terjadinya tidak dapat diketahui sedangkan pada keadaan risiko baik hasil yang
mungkin diperoleh maupun kemungkinan terjadinya dapat diketahui.
Setiap usaha mengandung ketidakpastian dan risiko, namun di balik risiko
tersebut terdapat peluang keuntungan bahkan semakin besar risiko maka semakin
besar pula keuntungan potensialnya. Usaha pertanian mempunyai risiko yang
cukup tinggi karena melibatkan proses biologis secara alami yang sulit diatur dan
mudah terpengaruh oleh lingkungan dengan musim yang sulit dikontrol. Risiko
dalam produksi pertanian menurut Soekartawi et al. (1993), diakibatkan oleh
adanya ketergantungan aktivitas pertanian pada alam, dimana pengaruh alam telah
banyak mempengaruhi total hasil panen pertanian. Berkaitan dengan penjelasan
tersebut, adanya ketidakpastian dimaksudkan pada risiko berproduksi dalam usaha
pertanian yang dihadapi masing-masing petani dan nampak dari variasi dalam
perolehan produksi maupun penerimaannya.
Soekartawi et al. (1993) mengatakan bahwa disebut risiko (risk) bila
diketahui berapa besar peluang terjadinya suatu kejadian. Misalnya, bila tahun
depan dikatakan akan ada musim kemarau panjang sehingga diperkirakan
produksi turun 30% maka secara tidak langsung peluang terhadap besarnya risiko
adalah 30% atau 0,3. Dapat diartikan bahwa bila petani tetap menanam padi maka
mereka mengetahui dan sadar kalau produksi yang diperoleh akan berkurang
sebesar 30%. Ketidakpastian (uncertainty) adalah ketika peluang terjadinya suatu
kejadian tidak diketahui sehingga petani atau produsen bertindak ’judi’
(gambling). Mereka menyadari adanya ketidakpastian yang tinggi bila dilakukan
penanaman sehingga mereka sadar akan terjadi kemungkinan yang terjelek,
misalnya tidak terjadi hasil sekalipun.
Hasan (2002) mengatakan bahwa risiko dapat menimbulkan beberapa
akibat, antara lain :
a. Timbul kerugian, artinya adanya risiko maka hasil positif yang akan diperoleh
atau diharapkan nantinya (keuntungan) akan berkurang dari semestinya.
b. Adanya ketidakpastian, artinya adanya risiko, maka tidak mungkin lagi
dipastikan hasil positif yang mungkin akan diterima karena risiko tidak bisa
dihitung secara pasti.
98
Darmadi (1997) menyatakan bahwa risiko dan ketidakpastian tidak
dianggap berbeda, karena kedua-duanya sama-sama dapat dihitung
probabilitasnya tetapi hanya dibedakan kalau risiko berhubungan dengan peluang
obyektif sedangkan ketidakpastian berhubungan dengan peluang subyektif.
Peluang subyektif tergantung pada subyektifitas orang yang mengetahui
berlangsungnya peristiwa yang terjadi pada suatu saat.
Snodgrass dan Wallace (1980) mengatakan bahwa dalam pertanian,
perubahan-perubahan yang dihadapi dalam pembuatan keputusan manajerial
berasal dari fluktuasi harga, iklim dan cuaca, serangga dan hama pengganggu
lainnya, kekeringan, banjir atau kebakaran, teknologi dan inovasi, perdagangan
asing dan kebijakan nasional, beberapa tipe regulasi pemerintah mengenai
penggunaan pestisida, pengairan, dan penggunaan lahan. Beberapa hal tersebut
dapat dikontrol oleh petani dan beberapa lainnya tidak dapat dikontrol. Petani
harus responsif atau adaptif terhadap perubahan-perubahan yang tidak dapat
dikontrol, sedangkan pada perubahan-perubahan yang dapat dikontrol petani dapat
memilih kapan dan bagaimana mengantisipasinya.
Faktor stochastic lingkungan sangat mempengaruhi proses produksi
pertanian sehingga menyebabkan ketidakpastian dalam penerimaan. Faktor
lingkungan tersebut adalah keadaan iklim dan biologi (seperti, penyakit), yang
menyebabkan variasi dalam produksi fisik. Sumber ketidakpastian yang kedua
adalah variabilitas harga pasar yang disebabkan oleh adanya variasi pada harga-
harga input dan harga produk pertanian. Faktor-faktor penyebab ketidakpastian
tersebut tidak dapat diprediksi dan dikendalikan oleh petani (Smidts, 1990).
Kay (1981) mengatakan bahwa di bidang pertanian, risiko yang terjadi
dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain : (a) penggunaan teknologi pada
usahatani yang umumnya dapat meningkatkan produksi, (b) harga produksi
pertanian yang berfluktuasi secara musiman, (c) finansial dipengaruhi oleh harga
dan produksi pertanian, (d) kebijakan pemerintah, dan (e) sifat individu petani
terutama dalam menjalin hubungan dengan pihak luar. Sejalan dengan itu menurut
Kadarsan (1995) ada beberapa hal penyebab risiko yaitu : ketidakpastian produksi,
99
tingkat harga, perkembangan teknologi. Penjelasan mengenai jenis risiko
usahatani adalah :
a. Risiko Produksi
Risiko produksi di sektor pertanian lebih besar dibandingkan dengan
sektor non pertanian karena pertanian sangat dipengaruhi oleh alam seperti cuaca,
hama, penyakit, suhu, kekeringan, dan banjir. Risiko produksi berubah secara
regional dan tergantung pada jenis tanah, iklim, penggunaan irigasi, dan variabel
lain. Perubahan untuk tanaman tertentu berbeda secara geografis dan tergantung
pada jenis dan kualitas tanah, iklim dan penggunaan irigasi. Perubahan
produktivitas seringkali diukur dengan indikator yang dikenal dengan coeficient of
variation yang mengukur keacakan yang berkaitan dengan nilai rata-rata dalam
produktivitas (Kadarsan, 1995).
Risiko dalam produksi pertanian menurut Soekartawi et al. (1986)
diakibatkan oleh adanya ketergantungan aktivitas pertanian pada alam, dimana
pengaruh buruk alam telah banyak mempengaruhi total hasil pertanian. Di sektor
pertanian, setiap aktivitas proses produksi selalu dihadapkan pada situasi
ketidakpastian. Hilang atau gagalnya produksi yang diharapkan berpengaruh
terhadap keputusan bagi usahatani berikutnya. Bagi petani, kegagalan berproduksi
yang seringkali terjadi akan mempengaruhi sikap dan perilakunya dalam
pengambilan keputusan berusahatani. Misalnya, petani tidak atau menolak
terhadap usaha-usaha penerapan inovasi baru yang mengandung risiko meskipun
akan menghasilkan keuntungan yang lebih besar.
b. Risiko Harga
Menurut Kadarsan (1995) bahwa risiko harga disebabkan harga pasar
sehingga tidak dapat dikuasai oleh petani. Naik turunnya harga lebih sering terjadi
pada hasil pertanian. Risiko pasar atau harga dapat dikaitkan dengan pembelian
input maupun penjualan output komoditi. Fluktuasi harga pembelian input
menimbulkan suatu risiko biaya usahatani. Fluktuasi harga input maupun output
menyebabkan kenaikan ataupun penurunan penghasilan sehingga menimbulkan
risiko pendapatan.
100
Harga hasil-hasil pertanian cenderung berfluktuasi dalam jangka pendek.
Ketidakstabilan harga tersebut disebabkan oleh permintaan dan penawaran ke atas
barang pertanian yang sifatnya tidak elastis. Sifat ini menyebabkan perubahan
yang sangat besar ke atas tingkat harga apabila permintaan dan penawaran
mengalami perubahan. Faktor yang menimbulkan ketidakstabilan harga pertanian
dalam jangka pendek dapat dibedakan dengan dua sumber, yaitu (a) naik turunnya
penawaran, dan (b) naik turunnya permintaan (Sukirno, 1999). Dalam jangka
panjang, perubahan harga, tingkat suku bunga, dan harga yang berkaitan adalah
faktor risiko yang mempengaruhi banyak keputusan (Patrick, 2003).
102
Dari ketiga bentuk fungsi produksi stokastik yang telah diperkenalkan
sebelumnya, yakni persamaan (4.17), (4.18), dan (4.19), persamaan (4.19)
merupakan bentuk fungsi produksi yang paling baik untuk dimodifikasi agar
memenuhi kriteria risiko. Persamaan (4.20) yang telah dimodifikasi dapat
dituliskan :
q = F3 (X) ≡ f (X) + h (X)ε, ................................................... (4.20)
Jika : E (ε) = 0, V (ε) = σ dan E(q) = f (X)
Maka :
∂E(q)/∂Xi = fi
∂2E(q)/∂X2i = fii
Melalui penjabaran tersebut maka kriteria (p0), (p1), dan (p2) dapat terpenuhi.
Selanjutnya berdasarkan (p3) dimana :
∂E(q)/∂V(ε) = 0 dan V(q) = E[q-E(q)]2
maka V(q) = h2 (X) σ
sehingga :
∂V(q)/∂Xi = 2hhiσ
Marjinal risiko dapat bersifat decreasing, increasing, atau constant (p4) tergantung
pada nilai h(X). Ketika ekspektasi output independen terhadap varian error V(ε)
(p5) juga terpenuhi. Selanjutnya untuk membuktikan kriteria (p6), adalah sebagai
berikut :
∂V(q)/∂Xi = fi + hiε
V [∂(q)/∂Xi] = hiiσ
V [(q) / X i ]
2hi hij
X i
Varian marjinal produk tersebut akan bernilai positif, negatif, dan nol, tergantung
pada nilai hij. Yang terakhir, kriteria (8) terpenuhi apabila :
F3 (θX) = f(θX) + h(θX)ε = θ[f(X) + h(X)ε = θF3(X)
Estimasi terhadap fungsi risiko produksi h(X)ε dapat dilakukan dengan
meregres σ2i terhadap variabel X. Oleh karena biasanya σ2i tidak diketahui, Just
and Pope (Roumasset, 1976) menyarankan untuk menggunakan residual (μi)
sebagai pendekatan dengan prosedur sebagai berikut. Mula-mula lakukan estimasi
103
fungsi produksi dengan metode heteroskedasticity sehingga diperoleh nilai μi
dimana μi ≡ h(xi)ε = qi - f ( X i ). Selanjutnya meregres μ2 terhadap h2(X)σ atau
dalam bentuk yang lebih sederhana yakni lnμ2 terhadap ½lnh2(X)σ. Langkah
berikutnya lakukan estimasi fungsi produksi f(X) dan fungsi risiko h(X) secara
bersama-sama dengan pendekatan maximum likelihood dengan meminimalkan
jumlah kuadrat dari kedua fungsi tersebut dengan formulasi :
2
q f (X )
SS = ln h( X ) ............................................ (4.21)
h( X )
Jika data produksi yang digunakan berdistribusi normal, pendekatan
maximum likelihood yaitu model multiplicative heteroskedasticity akan
memberikan hasil estimasi β yang lebih efisien daripada ketiga prosedur tersebut.
104
BAB 5
PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI PADI
BERDASARKAN PENGUASAAN LAHAN
106
Tenaga kerja merupakan salah satu bagian terpenting dalam melakukan
usahatani padi. Tenaga kerja yang digunakan adalah tenaga mesin dan tenaga
manusia yang berasal dari dalam dan luar keluarga. Di daerah penelitian kegiatan
usahatani dilakukan secara manual menggunakan tenaga kerja manusia dan
menggunakan tenaga mesin. Penghitungan jumlah tenaga kerja adalah dalam Hari
Kerja Pria (HKP) yang dikonversi berdasarkan tingkat upah. Penggunaan tenaga
kerja di sajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Rata-rata Penggunaan Tenaga Kerja per Hektar Usahatani Padi
Berdasarkan Penguasaan Lahan di Kabupaten Pinrang Tahun 2012
Penguasaan Lahan
Jenis Pekerjaan Milik Gadai Sakap
DK LK DK LK DK LK
Pengolahan 1,27 0,09 1,18 0,03 1,15 0,00
Persemaian 1,39 0,05 1,15 0,00 1,13 0,00
Tanam 1,33 0,13 1,23 0,15 1,13 0,00
Pemupukan 1,37 0,07 1,18 0,03 1,15 0,00
Penyiangan 1,34 0,03 1,21 0,00 1,16 0,00
Pengendalian OPT 1,26 0,07 1,15 0,00 1,11 0,00
Pengairan 0,23 0,01 0,38 0,00 0,17 0,00
Panen 0,00 1,00 0,00 1,00 0,00 1,00
Sumber : Arifin, 2012.
Keterangan : DK = tenaga kerja dalam keluarga
LK = tenaga kerja luar keluarga
107
musim tanam. Kedua musim tanam tersebut yaitu musim tanam I (MT I) dan
musim tanam II (MT II). Produksi yang diperoleh petani dari usahatani padi
berdasarkan penguasaan lahan berbeda antara petani pemilik-penggarap (pemilik)
dengan petani gadai dan penyakap (non pemilik). Dimana produksi yang
diperoleh petani pemilik lebih besar dari petani non pemilik. Hasil analisis
penggunaan faktor produksi dan produksi berdasarkan penguasaan lahan dan
musim tanam dapat diuraikan pada tabel berikut.
Tabel 6. Rata-rata Penggunaan Faktor Produksi dan Produksi Usahatani Padi per
Hektar Berdasarkan Penguasaan Lahan di Kabupaten Pinrang Tahun
2012
Petani Pemilik- Petani Gadai
Uraian Satuan Penggarap dan Penyakap t-hitung
(Pemilik) (Non Pemilik)
A. MT I
1. Benih kg 64,11 52,45 1,614 *
2. Tenaga kerja HOK 40,46 30,80 2,899 ***
3. Pupuk Urea kg 204,79 161,63 1,558 *
4. Pupuk KCl kg 40,53 35,47 1,450 *
5. Pupuk Phonska kg 92,45 69,13 2,291 **
6. Pestisida lt 1,39 1,09 2,749 ***
7. Produksi kg 5.137,23 3640,70 3,097 ***
8. Produktivitas kg/ha 5.834,33 5.620,92 2,024 **
B. MT II
1. Benih kg 64,04 52,84 1,552 *
2. Tenaga kerja HOK 40,62 30,92 2,916 ***
3. Pupuk Urea kg 202,66 159,01 1,566 *
4. Pupuk KCl kg 43,19 35,93 1,990 **
5. Pupuk Phonska kg 92,45 70,00 2,212 **
6. Pestisida lt 1,32 1,06 2,169 **
7. Produksi kg 5.191,49 3.693,02 3,080 ***
8. Produktivitas kg/ha 5.913,52 5.761,00 1,712 *
Rerata MT I + MT II
1. Benih kg 64,08 52,65 1,818 *
2. Tenaga kerja HOK 40,54 30,86 2,908 ***
3. Pupuk Urea kg 203,73 160,32 1,685 *
4. Pupuk KCl kg 41,86 35,70 1,750 *
5. Pupuk Phonska kg 92,45 69,57 2,254 **
6. Pestisida lt 1,36 1,08 2,575 **
7. Produksi kg 5164,36 3666,86 3,094 ***
8. Produktivitas kg/ha 5.873,93 5.690,96 1,757 *
Total luas lahan ha 41,70 42,49
Rata-rata luas lahan ha 0,44 0,49
108
Jumlah sampel 94 86
Sumber : Arifin, 2012.
Keterangan
*** = signifikan pada α : 1%
** = signifikan pada α : 5%
* = signifikan pada α : 10%
Tabel 7. Rata-rata Penggunaan Faktor Produksi dan Produksi Usahatani Padi per
Hektar Berdasarkan Penguasaan Lahan di Kabupaten Pinrang Tahun
2012
Petani Garap
Petani Garap
Uraian Satuan Lahan Orang t-hitung
Lahan Sendiri
Lain
A. MT I
1. Benih kg 65,37 46,46 2,544 **
2. Tenaga kerja HOK 39,20 29,89 2,677 ***
3. Pupuk Urea kg 209,57 139,23 2,466 **
4. Pupuk KCl kg 39,87 35,00 1,754 *
5. Pupuk Phonska kg 89,48 66,85 2,134 **
6. Pestisida lt 1,32 1,12 1,778 *
7. Produksi kg 4.972,17 2.934,62 3,027 ***
8. Produktivitas kg/ha 5.849,89 5.662,80 2,631 ***
B. MT II
1. Benih kg 65,31 46,97 2,467 **
2. Tenaga kerja HOK 39,35 30,04 2,682 ***
3. Pupuk Urea kg 207,17 136,92 2,447 **
4. Pupuk KCl kg 42,04 35,62 1,689 *
5. Pupuk Phonska kg 89,91 67,23 2,148 **
6. Pestisida lt 1,24 1,11 1,837 *
7. Produksi kg 5.039,13 2.923,54 3,084 ***
8. Produktivitas kg/ha 5.962,60 5.676,56 2,440 **
Rerata MT I + MT II
1. Benih kg 65,34 46,72 2,507 **
2. Tenaga kerja HOK 39,27 29,97 2,680 ***
3. Pupuk Urea kg 208,37 138,08 2,458 **
4. Pupuk KCl kg 40,96 35,31 1,996 **
5. Pupuk Phonska kg 89,70 67,04 2,143 **
6. Pestisida lt 1,28 1,12 1,748 *
7. Produksi kg 5.005,65 2.929,08 3,062 ***
8. Produktivitas kg/ha 5.906,24 5.669,68 2,543 **
Total luas lahan ha 57,07 27,12
Rata-rata luas lahan ha 0,50 0,42
Jumlah sampel 115 65
Sumber : Arifin, 2012.
109
Keterangan
*** = signifikan pada α : 1%
** = signifikan pada α : 5%
* = signifikan pada α : 10%
1. Benih
Penggunaan benih tertinggi berdasarkan penguasaan lahan terjadi pada
petani pemilik yang lebih besar dibandingkan dengan petani non pemilik di kedua
musim yaitu MT I dan MT II. Demikian juga pada petani garap lahan sendiri lebih
besar daripada petani garap lahan orang lain. Berdasarkan hasil uji t beda rata-rata
menunjukkan bahwa penggunaan benih berdasarkan penguasaan lahan yang
dilakukan oleh petani pemilik lebih besar dibandingkan dengan petani non
pemilik pada kedua musim tanam. Untuk penggunaan benih petani garap lahan
sendiri lebih besar daripada petani garap lahan orang lain pada kedua musim
tanam.
Varietas benih padi yang digunakan petani pemilik, petani non pemilik,
petani garap lahan sendiri, dan petani garap lahan orang lain adalah lebih banyak
menggunakan varietas ciliwung dan kristal. Asal benih padi yang digunakan
petani dalam usahatani adalah sama yaitu berasal dari hasil panen dan membeli
bibit padi yang telah disiapkan oleh pedagang. Penggunaan benih untuk sistem
tabela yang dianjurkan sesuai dengan rekomendasi adalah 50 – 60 kg/ha.
Berdasarkan penguasaan lahan (Tabel 6 dan Tabel 7) penggunaan benih yang
dilakukan oleh petani pemilik dan petani garap lahan sendiri sudah sesuai dengan
anjuran bahkan berlebih. Sedangkan petani non pemilik dan petani garap lahan
orang lain masih dibawah anjuran yang direkomendasikan.
Penggunaan benih lebih banyak digunakan oleh petani pemilik
dibandingkan dengan petani non pemilik. Sedangkan petani garap lahan sendiri
lebih besar daripada petani garap lahan orang lain. Hal ini disebabkan secara rata-
rata luasan lahan yang digunakan untuk usahatani padi petani pemilik lebih luas
dari petani non pemilik. Demikian juga petani garap lahan sendiri lebih luas
daripada petani garap lahan orang lain. Apabila lahan yang digunakan petani
dalam usahatani padi yaitu petani pemilik, petani non pemilik, petani garap lahan
110
sendiri, dan petani garap lahan orang lain semakin bertambah luas, maka
kebutuhan benih juga semakin bertambah.
2. Tenaga Kerja
Tenaga kerja yang digunakan dalam usahatani padi berasal dari dalam
keluarga dan luar keluarga petani, terdiri dari tenaga kerja wanita dan laki-laki.
Tenaga kerja wanita hanya digunakan pada saat panen, karena banyak
menggunakan tenaga kerja. Penggunaan tenaga kerja terbanyak berdasarkan status
penguasaan lahan yaitu pada petani pemilik lebih besar daripada petani non
pemilik di kedua musim yaitu MT I dan MT II. Untuk petani garap lahan sendiri
lebih besar daripada petani garap lahan orang lain. Hasil uji t beda rata-rata
menunjukkan bahwa penggunaan tenaga kerja usahatani padi yang dilakukan oleh
petani pemilik lebih besar dibandingkan dengan petani non pemilik pada kedua
musim tanam. Demikian juga petani garap lahan sendiri lebih besar daripada
petani garap lahan orang lain.
Jika dihitung berdasarkan penguasaan lahan yaitu antara petani pemilik
dengan petani non pemilik (tanpa membedakan musim tanam), maka jumlah tenaga
kerja terbanyak yang digunakan petani untuk usahatani padi adalah petani pemilik
lebih besar dibanding petani non pemilik. Demikian juga pada petani garap lahan
sendiri lebih besar daripada petani garap lahan orang lain. Hal ini terjadi secara
rata-rata luasan lahan yang digunakan untuk usahatani padi petani pemilik lebih
besar dari petani non pemilik, dan juga petani garap lahan sendiri lebih besar
daripada petani garap lahan orang lain.
3. Pupuk
Pupuk yang digunakan petani berbagai jenis dan berbeda komposisinya.
Adapun jenis pupuk yang digunakan petani adalah pupuk urea, pupuk KCl dan
pupuk phonska. Perbandingan penggunaan pupuk tersebut oleh petani bervariasi,
tergantung kondisi tanaman padi. Petani biasanya menggunakan pupuk lebih
banyak apabila tanaman padi telah mengalami serangan hama. Untuk memulihkan
tanaman padi agar lebih sehat lagi, maka petani menggunakan pupuk dari
berbagai variasi jenis pupuk tersebut. Jumlah penggunaan pupuk terbanyak (urea,
KCl, dan phonska) terjadi pada petani pemilik dan petani garap lahan sendiri di
111
kedua musim tanam (MT I dan MT II). Berdasarkan hasil uji t, beda rata-rata
menunjukkan bahwa penggunaan pupuk urea, pupuk KCl dan pupuk phonska
pada petani pemilik lebih banyak daripada petani non pemilik di kedua musim
tanam. Demikian juga pada petani garap lahan sendiri lebih banyak penggunaan
pupuk tersebut daripada petani garap lahan orang lain.
Jika dihitung berdasarkan penguasaan lahan tanpa membedakan musim
tanam, maka jumlah penggunaan pupuk urea, pupuk KCl dan pupuk phonska
terbanyak yang digunakan petani untuk usahatani padi adalah petani pemilik lebih
banyak daripada petani non pemilik. Untuk petani garap lahan sendiri lebih banyak
penggunaan pupuk tersebut daripada petani garap lahan orang lain.
Namun demikian petani pemilik, petani non pemilik, petani garap lahan
sendiri dan petani garap lahan orang lain belum menggunakan pupuk sesuai
anjuran yang direkomendasikan. Pupuk urea anjuran yang direkomendasikan yaitu
200 – 250 kg/ha, pupuk KCl anjuran yang direkomendasikan yaitu 100 – 150
kg/ha, dan pupuk phonska anjuran yang direkomendasikan yaitu 100 – 150 kg/ha.
Berdasarkan status penguasaan lahan (Tabel 6 dan Tabel 7) penggunaan pupuk
yang dilakukan oleh petani masih dibawah anjuran yang direkomendasikan.
4. Pestisida
Penggunaan pestisida yang dilakukan oleh petani pemilik, petani non
pemilik, petani garap lahan sendiri, dan petani garap lahan orang lain pada
usahatani padi adalah berbagai macam jenis. Petani biasanya menggunakan
pestisida apabila adanya gejala-gejala serangan hama pada tanaman padi.
Umumnya petani melakukan penyemprotan dengan mencampur antara pestisida
satu dengan lainnya apabila ada serangan hama pada tanaman padi meskipun
seringkali tidak diperlukan. Tujuan petani menggunakan pestisida lebih dari satu
dalam satu kali penyemprotan adalah, disamping tidak menimbulkan efek negatif
yaitu tidak terjadi kerusakan pada tanaman padi juga dapat menghemat waktu dan
tenaga dalam melakukan penyemprotan.
Penggunaan pestisida terbanyak berdasarkan penguasaan lahan adalah
petani pemilik lebih banyak dari petani non pemilik. Sedangkan petani garap
lahan sendiri lebih banyak penggunaan pestisida daripada petani garap lahan
112
orang lain. Berdasarkan hasil uji t, beda rata-rata menunjukkan bahwa
penggunaan pestisida pada petani pemilik lebih banyak daripada petani non
pemilik di kedua musim tanam. Demikian juga pada petani garap lahan sendiri
lebih banyak penggunaan pestisida daripada petani garap lahan orang lain. Jika
dihitung berdasarkan tanpa membedakan musim tanam, maka jumlah penggunaan
pestisida terbanyak yang digunakan petani untuk usahatani padi adalah petani
pemilik lebih banyak daripada petani non pemilik, dan petani garap lahan sendiri
lebih banyak daripada petani garap lahan orang lain.
5. Produksi
Berdasarkan penguasaan lahan pada usahatani padi, maka produksi padi
tertinggi secara rata-rata terjadi pada petani pemilik daripada petani non pemilik.
Sedangkan petani garap lahan sendiri lebih tinggi daripada petani garap lahan
orang lain. Hasil uji t, beda rata-rata menunjukkan bahwa produksi tanaman padi
pada petani pemilik dan petani garap lahan sendiri lebih tinggi daripada petani
non pemilik dan petani garap lahan orang lain. Hal ini disebabkan secara rata-rata
penggunaan input yang digunakan petani pemilik dan petani garap lahan sendiri
lebih besar daripada petani non pemilik dan petani garap lahan orang lain.
Demikian juga luas lahan secara rata-rata petani pemilik dan petani garap lahan
sendiri lebih luas daripada petani non pemilik dan petani garap lahan orang lain.
6. Produktivitas
Berdasarkan penguasaan lahan pada usahatani padi, maka produktivitas
tertinggi secara rata-rata terjadi pada petani pemilik daripada petani non pemilik.
Sedangkan petani garap lahan sendiri lebih tinggi daripada petani garap lahan
orang lain. Hasil uji t, beda rata-rata menunjukkan bahwa produktivitas tanaman
padi pada petani pemilik lebih tinggi daripada petani non pemilik. Demikian juga
pada petani garap lahan sendiri lebih tinggi daripada petani garap lahan orang lain.
Hal ini disebabkan secara rata-rata penggunaan input (benih, pupuk urea, KCl,
phonska, pestisida), tenaga kerja, produksi, dan luas lahan pada petani pemilik dan
petani garap lahan sendiri lebih besar daripada petani non pemilik dan petani
garap lahan orang lain. Besarnya produktivitas yang diperoleh petani pemilik dan
petani garap lahan sendiri, terkait lemahnya kekuatan tawar dari petani penyakap
113
yang ada pada petani non pemilik dan petani garap lahan orang lain. Petani
penyakap di daerah penelitian rata-rata kurang mampu membiayai usahataninya
dan lebih banyak menggantungkan pada pemilik lahan, serta petani penyakap
hanya mengandalkan tenaga kerja sendiri. Berdasarkan keadaan di daerah
penelitian mengindikasikan ada gejala kelebihan tenaga kerja (labor surplus
economy) dalam berusahatani.
114
Tabel 8. Rata-rata Pendapatan Usahatani Padi per Hektar Berdasarkan Penguasaan Lahan MT I dan MT II di Kabupaten Pinrang
Tahun 2012
MT I MT II
Uraian Pemilik Non Pemilik t-hitung Pemilik Non Pemilik t-hitung
(Rp) (Rp) (Rp) (Rp)
1. Nilai produksi 11.976.276,60 8.564.651,16 3,097 *** 12.025.638,30 8.599.302,33 3,080 ***
2. Total biaya variabel :
2.1. Biaya benih 309.135,42 240.598,84 308.968,75 241.267,44
2.2. Biaya tenaga kerja luar
keluarga 1.148.252,86 795.022,78 1.547.949,85 1.185.092,19
2.3. Biaya pupuk urea 274.557,29 266.482,56 272.864,58 260.203,49
2.4. Biaya pupuk KCl 98.882,81 93.270,35 99.247,40 101.430,23
2.5. Biaya pupuk phonska 171.531,25 167.186,05 173.367,19 167.069,77
2.6. Biaya pestisida 221.958,33 180.668,60 209.281,25 171.618,60
3. Total biaya tetap :
3.1. Biaya pajak 111.848,96 94.593,02 111.848,96 94.593,02
3.2. Biaya penyusutan alat 59.765,61 58.027,73 59.765,61 58.027,73
4. Total biaya variabel dan
tetap 2.395.932,54 1.895.849,93 2.783.293,59 2.279.302,47
Pendapatan : (1 – 4) 9.376.469,06 6.668.801,23 3,110 *** 9.242.344,71 6.319.999,86 3,258 ***
Total luas lahan (ha) 41,70 42,49 41,70 42,49
Rata-rata luas lahan (ha) 0,44 0,49 0,44 0,49
Jumlah sampel 94 86 94 86
Sumber : Arifin, 2012.
Keterangan
*** = signifikan pada α : 1%
115
Hasil perhitungan usahatani padi Tabel 8 berdasarkan penguasaan lahan
(petani pemilik dengan petani non pemilik) pada MT I dan MT II menunjukkan
bahwa, nilai produksi atau penerimaan dari hasil usahatani padi tertinggi adalah
petani pemilik. Hasil uji t, beda rata-rata menunjukkan bahwa nilai produksi
usahatani padi petani pemilik lebih tinggi dibandingkan dengan nilai produksi
usahatani tanaman padi petani non pemilik.
Biaya yang dikeluarkan petani untuk usahatani padi meliputi biaya tetap
dan biaya variabel. Biaya tetap terdiri atas biaya pembayaran pajak dan
penyusutan alat. Biaya variabel terdiri atas biaya pembelian faktor produksi dan
upah tenaga kerja. Total biaya usahatani padi tertinggi yaitu petani pemilik, dan
total biaya terendah pada petani non pemilik.
Pendapatan usahatani padi tertinggi adalah petani pemilik dan pendapatan
terendah pada petani non pemilik di kedua musim tanam. Hasil uji t, beda rata-rata
menunjukkan bahwa total pendapatan usahatani padi petani pemilik lebih besar
dibandingkan dengan petani non pemilik.
Hasil perhitungan usahatani padi Tabel 9 tentang rerata (MT I + MT II)
berdasarkan penguasaan lahan (petani pemilik dengan petani non pemilik)
menunjukkan bahwa, nilai produksi atau penerimaan dari hasil usahatani padi
tertinggi adalah petani pemilik. Hasil uji t beda rata-rata, menunjukkan bahwa
nilai produksi usahatani padi petani pemilik lebih tinggi dibandingkan dengan
nilai produksi usahatani tanaman padi petani non pemilik.
Biaya yang dikeluarkan petani untuk usahatani padi meliputi biaya tetap
dan biaya variabel. Biaya tetap terdiri atas biaya pembayaran pajak dan
penyusutan alat. Biaya variabel terdiri atas biaya pembelian faktor produksi dan
upah tenaga kerja. Berdasarkan hasil perhitungan, petani pemilik lebih besar total
biaya usahatani padi daripada petani non pemilik.
Pendapatan usahatani padi tertinggi adalah petani pemilik yaitu sebesar
Rp. 9.242.344,71, dan pendapatan terendah pada petani non pemilik yaitu sebesar
Rp. 6.319.999,86. Hasil uji t beda rata-rata, menunjukkan bahwa total pendapatan
usahatani padi petani pemilik lebih besar dibandingkan dengan petani non
pemilik.
116
Tabel 9. Rerata (MT I + MT II) Pendapatan Usahatani Padi per Hektar
Berdasarkan Penguasaan Lahan di Kabupaten Pinrang Tahun 2012
Petani Pemilik- Petani Gadai
Penggarap dan Penyakap
Uraian t-hitung
(Pemilik) (Non Pemilik)
(Rp) (Rp)
1. Nilai produksi 12.000.957,45 8.581.976,75 3,017 ***
2. Total biaya variabel :
2.1. Biaya benih 309.052,09 240.933,14
2.2. Biaya tenaga kerja luar
keluarga 1.348.101,36 990.057,49
2.3. Biaya pupuk urea 273.710,94 263.343,03
2.4. Biaya pupuk KCl 99.065,11 97.350,29
2.5. Biaya pupuk phonska 172.449,22 167.127,91
2.6. Biaya pestisida 215.619,79 176.143,60
3. Total biaya tetap :
3.1. Biaya pajak 111.848,96 94.593,02
3.2. Biaya penyusutan alat 59.765,61 58.027,73
4. Total biaya variabel dan
tetap 2.589.613,08 2.087.576,21
Pendapatan : (1 – 4) 9.411.344,37 6.494.400,54 3,198 ***
Total luas lahan (ha) 41,70 42,49
Rata-rata luas lahan (ha) 0,44 0,49
Jumlah sampel 94 86
Sumber : Arifin, 2012.
Keterangan
*** = signifikan pada α : 1%
Berdasarkan hasil perhitungan kedua musim tanam (MT I dan MT II)
menunjukkan bahwa, nilai produksi atau penerimaan dari hasil usahatani padi
tertinggi pada petani pemilik pada MT II. Sedangkan nilai produksi terendah
diperoleh petani non pemilik pada MT I. Hasil uji t, beda rata-rata menunjukkan
bahwa nilai produksi usahatani padi pada petani pemilik lebih tinggi dibandingkan
dengan nilai produksi usahatani tanaman padi petani non pemilik pada kedua
musim. Untuk total biaya usahatani padi tertinggi adalah MT II yaitu petani
pemilik. Sedangkan total biaya terendah adalah MT I pada petani non pemilik.
Pendapatan usahatani padi tertinggi diperoleh MT I pada petani pemilik
yaitu sebesar Rp. 9.376.469,06. Sedangkan pendapatan terendah adalah MT II
pada petani non pemilik yaitu sebesar Rp. 6.319.999,86. Hasil uji t, beda rata-rata
menunjukkan bahwa total pendapatan usahatani padi petani pemilik lebih besar
117
dibandingkan dengan petani non pemilik pada kedua musim. Jika dihitung
berdasarkan musim tanam saja (tanpa membedakan petani pemilik dan non
pemilik) maka pendapatan dari usahatani padi tertinggi adalah pada MT I.
Dari hasil analisis pendapatan tersebut maka dapat diinterpretasikan
bahwa, nilai produksi dari usahatani padi dengan status pemilikan lahan petani
pemilik lebih tinggi dibandingkan dengan petani non pemilik pada kedua musim.
Ditinjau total biaya yang dikeluarkan untuk usahatani padi berdasarkan musim
tanam tanpa memperhitungkan status kepemilikan lahan (petani pemilik dan
petani non pemilik), maka MT II lebih besar daripada MT I. Hal ini disebabkan
oleh biaya benih, biaya/upah tenaga kerja luar keluarga, biaya pupuk KCl, dan
biaya pupuk phonska lebih tinggi pada MT II dibandingkan dengan MT I.
118
Tabel 10. Rata-rata Pendapatan Usahatani Padi per Hektar Berdasarkan Penguasaan Lahan MT I dan MT II di Kabupaten Pinrang
Tahun 2012
MT I MT II
Garap Lahan Garap Lahan Garap Lahan Garap Lahan
Uraian t-hitung t-hitung
Sendiri Orang Lain Sendiri Orang Lain
(Rp) (Rp) (Rp) (Rp)
1. Nilai produksi 11.663.478,26 8.074.461,54 3,003 *** 11.696.260,87 8.075.076,92 3,076 ***
2. Total biaya variabel :
2.1. Biaya benih 315.369,57 216.938,46 315.230,43 217.823,08
2.2. Biaya tenaga kerja luar
keluarga 1.162.725,73 690.627,29 1.577.337,02 1.036.497,80
2.3. Biaya pupuk urea 294.760,87 236.576,92 291.956,52 230.730,77
2.4. Biaya pupuk KCl 101.958,70 89.057,69 104.436,96 96.007,69
2.5. Biaya pupuk phonska 176.082,61 163.007,69 177.528,26 163.007,69
2.6. Biaya pestisida 213.495,65 189.130,77 200.826,09 180.849,23
3. Total biaya tetap :
3.1. Biaya pajak 116.517,39 84.200,00 116.517,39 84.200,00
3.2. Biaya penyusutan alat 63.374,75 52.919,81 63.374,75 52.919,81
4. Total biaya variabel dan
tetap 2.444.285,27 1.722.458,63 2.847.207,42 2.062.036,07
Pendapatan : (1 – 4) 9.219.192,99 6.352.002,91 2,834 *** 8.849.053,45 6.013.040,85 2,996 ***
Total luas lahan (ha) 57,07 27,12 57,07 27,12
Rata-rata luas lahan (ha) 0,50 0,42 0,50 0,42
Jumlah sampel 115 65 115 65
Sumber : Arifin, 2012.
Keterangan : *** = signifikan pada α : 1%
119
Hasil perhitungan usahatani padi Tabel 10 berdasarkan penguasaan lahan
(petani garap lahan sendiri dengan petani garap lahan orang lain) pada MT I dan
MT II menunjukkan bahwa, nilai produksi atau penerimaan dari hasil usahatani
padi tertinggi adalah petani garap lahan sendiri. Hasil uji t, beda rata-rata
menunjukkan bahwa nilai produksi usahatani padi petani garap lahan sendiri lebih
tinggi dibandingkan dengan nilai produksi usahatani tanaman padi petani garap
lahan orang lain.
Biaya yang dikeluarkan petani untuk usahatani padi meliputi biaya tetap
dan biaya variabel. Biaya tetap terdiri atas biaya pembayaran pajak dan
penyusutan alat. Biaya variabel terdiri atas biaya pembelian faktor produksi dan
upah tenaga kerja. Total biaya usahatani padi tertinggi yaitu petani garap lahan
sendiri, dan total biaya terendah pada petani garap lahan orang lain pada kedua
musim.
Pendapatan usahatani padi tertinggi adalah petani garap lahan sendiri dan
pendapatan terendah pada petani garap lahan orang lain pada kedua musim. Hasil
uji t, beda rata-rata menunjukkan bahwa total pendapatan usahatani padi petani
garap lahan sendiri lebih besar dibandingkan dengan petani garap lahan orang
lain.
Hasil perhitungan usahatani padi Tabel 11 tentang rerata (MT I + MT II)
berdasarkan status penguasaan lahan (petani garap lahan sendiri dengan petani
garap lahan orang lain) menunjukkan bahwa, nilai produksi atau penerimaan dari
hasil usahatani padi tertinggi adalah petani garap lahan sendiri. Hasil uji t beda
rata-rata, menunjukkan bahwa nilai produksi usahatani padi petani garap lahan
sendiri lebih tinggi dibandingkan dengan nilai produksi usahatani tanaman padi
petani garap lahan orang lain.
Biaya yang dikeluarkan petani untuk usahatani padi meliputi biaya tetap
dan biaya variabel. Biaya tetap terdiri atas biaya pembayaran pajak dan
penyusutan alat. Biaya variabel terdiri atas biaya pembelian faktor produksi dan
upah tenaga kerja. Berdasarkan hasil perhitungan, petani garap lahan sendiri lebih
besar total biaya usahatani padi daripada petani garap lahan orang lain.
120
Tabel 11. Rerata (MT I + MT II) Pendapatan Usahatani Padi per Hektar
Berdasarkan Penguasaan Lahan di Kabupaten Pinrang Tahun 2012
Petani Garap Petani Garap
Uraian Lahan Sendiri Lahan Orang Lain t-hitung
(Rp) (Rp)
1. Nilai produksi 11.663.478,26 8.074.461,54 3,047 ***
2. Total biaya variabel :
2.1. Biaya benih 315.300,00 217.380,77
2.2. Biaya tenaga kerja
luar keluarga 1.370.031,37 877.062,55
2.3. Biaya pupuk urea 293.358,70 233.653,85
2.4. Biaya pupuk KCl 103.197,83 92.532,69
2.5. Biaya pupuk phonska 176.805,43 163.007,69
2.6. Biaya pestisida 207.160,87 184.990,00
3. Total biaya tetap :
3.1. Biaya pajak 116.517,39 84.200,00
3.2. Biaya penyusutan alat 63.374,75 52.919,81
4. Total biaya variabel dan
tetap 2.645.746,34 1.905.747,36
Pendapatan : (1 – 4) 9.017.731,92 6.168.714,18 2,927 ***
Total luas lahan (ha) 57,07 27,12
Rata-rata luas lahan (ha) 0,50 0,42
Jumlah sampel 115 65
Sumber : Arifin, 2012.
Keterangan
*** = signifikan pada α : 1%
Pendapatan usahatani padi tertinggi adalah petani garap lahan sendiri yaitu
sebesar Rp. 9.017.731,92, dan pendapatan terendah pada petani garap lahan orang
lain yaitu sebesar Rp. 6.168.714,18. Hasil uji t beda rata-rata, menunjukkan bahwa
total pendapatan usahatani padi petani garap lahan sendiri lebih besar
dibandingkan dengan petani garap lahan orang lain.
Berdasarkan hasil perhitungan kedua musim tanam (MT I dan MT II)
menunjukkan bahwa, nilai produksi atau penerimaan dari hasil usahatani padi
tertinggi pada petani garap lahan sendiri pada MT II. Sedangkan nilai produksi
terendah diperoleh petani garap lahan orang lain pada MT I. Hasil uji t, beda rata-
rata menunjukkan bahwa nilai produksi usahatani padi pada petani garap lahan
sendiri lebih tinggi dibandingkan dengan nilai produksi usahatani tanaman padi
petani garap lahan orang lain pada kedua musim. Untuk total biaya usahatani padi
121
tertinggi adalah MT II yaitu petani garap lahan sendiri. Sedangkan total biaya
terendah adalah MT I pada petani garap lahan orang lain.
Pendapatan usahatani padi tertinggi diperoleh MT I pada petani garap
lahan sendiri yaitu sebesar Rp. 9.219.192,99. Sedangkan pendapatan terendah
adalah MT II pada petani garap lahan orang lain yaitu sebesar Rp. 6.013.040,85.
Hasil uji t, beda rata-rata menunjukkan bahwa total pendapatan usahatani padi
petani garap lahan sendiri lebih besar dibandingkan dengan petani garap lahan
orang lain pada kedua musim. Jika dihitung berdasarkan musim tanam saja (tanpa
membedakan petani garap lahan sendiri dan petani garap lahan orang lain) maka
pendapatan dari usahatani padi tertinggi adalah pada MT I.
Dari hasil analisis pendapatan tersebut maka dapat diinterpretasikan
bahwa, nilai produksi dari usahatani padi dengan penguasaan lahan petani garap
lahan sendiri lebih tinggi dibandingkan dengan usahatani padi pada penguasaan
lahan petani garap lahan orang lain pada kedua musim. Ditinjau total biaya yang
dikeluarkan untuk usahatani padi berdasarkan musim tanam tanpa
memperhitungkan penguasaan lahan (petani garap lahan sendiri dan garap lahan
orang lain), maka MT II lebih besar daripada MT I. Hal ini disebabkan oleh biaya
benih, biaya/upah tenaga kerja luar keluarga, biaya pupuk KCl, dan biaya pupuk
phonska lebih tinggi pada MT II dibandingkan dengan MT I.
122
BAB 6
RISIKO PRODUKSI DAN PENDAPATAN
123
sendiri dan petani garap lahan orang lain baik pada MT I maupun MT II, yang
mencerminkan besar kecilnya risiko produksi.
Hasil analisis uji beda varian yang ditunjukkan pada Tabel 12, dimana
nilai Fhitung dan Ftabel memiliki perbedaan yang berpengaruh nyata pada petani
pemilik dengan petani non pemilik baik pada MT I maupun MT II. Demikian juga
pada petani garap lahan sendiri dan petani garap lahan orang lain. Hal ini dapat
dijelaskan bahwa pada MT I dan MT II terdapat perbedaan risiko produksi antara
petani pemilik dengan petani non pemilik. Dimana risiko produksi pada petani
non pemilik lebih kecil daripada petani pemilik. Demikian juga pada petani garap
lahan sendiri dan petani garap lahan orang lain, dimana petani garap lahan orang
lain lebih kecil risiko produksinya daripada petani garap lahan sendiri. Perbedaan
risiko produksi tersebut, terkait dimana petani non pemilik dan petani garap lahan
orang lain tidak berani terhadap berisiko apabila keinginan untuk memperoleh
hasil produksi yang semakin besar maka dihadapkan pada risiko yang juga
semakin besar. Hal ini disebabkan karena kebanyakan petani non pemilik dan
petani garap lahan orang lain adalah petani yang kurang mampu dan hanya
mengandalkan tenaga kerja dalam keluarga. Keterbatasan petani tersebut
berdampak pada kemampuan dalam penggunaan input produksi untuk
meningkatkan hasil usahataninya. Rata-rata penggunaan input yang digunakan
masih kurang dan belum memenuhi anjuran yang seharusnya.
Selanjutnya dilihat dari besarnya nilai koefisien variasi dapat diketahui
bahwa risiko produksi petani pemilik tidak ada perbedaan dengan petani non
pemilik. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis uji Chi Kuadrat (χ2) menunjukkan
nilai χ2hitung lebih kecil dari nilai χ2tabel, berarti risiko produksi petani gadai dan
penyakap (non pemilik) lebih kecil atau sama dengan risiko produksi petani
pemilik-penggarap (pemilik) baik pada MT I maupun MT II. Sedangkan hasil
analisis uji Chi Kuadrat (χ2) menunjukkan nilai χ2hitung lebih besar dari nilai χ2tabel,
berarti risiko produksi petani garap lahan sendiri lebih besar daripada risiko
produksi petani garap lahan orang lain.
Namun dilihat dari nilai varian, maka petani pemilik mempunyai nilai
varian lebih besar dibandingkan dengan nilai varian pada petani non pemilik.
124
Demikian juga pada petani garap lahan sendiri dengan petani garap lahan orang
lain tidak ada perbedaan nilai koefisien variasinya, namun nilai varian petani
garap lahan sendiri lebih besar petani garap lahan orang lain.
125
independen dalam model. Hasil uji menunjukkan bahwa nilai F hitung (α: 1%),
sebesar 440,44 lebih besar dari F tabel (1,49) berarti bahwa variabel independen
secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap produksi MT I.
Hasil uji t terhadap variabel independen menunjukkan variabel independen
yang berpengaruh nyata terhadap produksi MT I adalah luas lahan, jumlah pupuk
urea, jumlah pupuk KCl, jumlah pupuk phonska, jumlah pestisida, umur petani,
pengalaman berusahatani, dummy status kepemilikan lahan dan dummy status
penguasaan lahan. Variabel jumlah tenaga kerja, jumlah benih, dan pendidikan
petani, tidak berpengaruh nyata terhadap produksi MT I. Koefisien regresi luas
lahan, jumlah pupuk urea, jumlah pupuk KCl, jumlah pupuk phonska, jumlah
pestisida, umur petani, pengalaman berusahatani, dummy status kepemilikan lahan
dan dummy status penguasaan lahan bertanda positif. Berarti setiap penambahan
faktor produksi tersebut akan menaikkan produksi MT I.
Langkah kedua untuk membahas risiko produksi MT I adalah
menganalisis faktor produksi yang mempengaruhi produksi melalui fungsi
produksi model Just and Pope. Hasil analisis fungsi produksi model Just and Pope
secara lengkap tersaji pada Tabel 14.
Berdasarkan hasil analisis yang tersaji pada Tabel 14, diketahui bahwa
nilai koefisien determinasi (Adjusted R2) sebesar 0.983. Hal ini berarti sebanyak
98,30 persen variasi dari risiko produksi dapat dijelaskan oleh variasi variabel
independen dalam model. Hasil uji menunjukkan bahwa nilai F hitung (α: 1%),
sebesar 836,80 lebih besar dari F tabel (1,49) berarti bahwa variabel independen
secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap risiko produksi MT I.
Hasil uji t terhadap variabel independen menunjukkan variabel independen
yang berpengaruh nyata dan negatif terhadap risiko produksi MT I adalah luas
lahan, jumlah pupuk urea, jumlah pupuk phonska, dan jumlah pestisida.
Sedangkan variabel dummy status kepemilikan lahan berpengaruh nyata dan
positif terhadap risiko produksi MT I.
1. Luas Lahan
Koefisien regresi luas lahan (Ln LL) mempunyai koefisien regresi positif
dan berpengaruh nyata terhadap produksi, sedangkan terhadap risiko produksi
126
berpengaruh nyata dan negatif. Koefisien regresi luas lahan sebesar -0.069, hasil
uji t berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 95 persen. Hal ini menunjukkan
bahwa luas lahan berpengaruh nyata dan negatif terhadap risiko produksi. Berarti
setiap kenaikan luas lahan sebesar 1 persen akan menurunkan risiko produksi
sebesar 0,069 persen. Penambahan luas lahan yang digarap baik petani pemilik-
penggarap, petani gadai dan petani sakap masih memungkinkan untuk menaikkan
produksi. Penduduk di daerah penelitian sebagian besar mata pencahariannya
adalah sebagai petani, dan umumnya luas lahan yang digarap masih kurang.
Apabila luas lahan yang digarap petani tersebut ditambah dan sistem pengelolaan
yang baik, maka akan dapat menaikkan produksi dan menurunkan risiko produksi.
Tabel 14. Hasil Analisis Regresi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Risiko
Produksi MT I
Tanda Koefisien Standar
Variabel t-hitung Prob. Signifikan
Harapan Regresi Eror
C +/- 6.000 0.191 31.429 0.000 ***
Ln LL - -0.069 0.031 -2.203 0.029 **
Ln JTK - 0.003 0.011 0.247 0.805 ns
Ln JB - -0.029 0.029 -1.002 0.318 ns
Ln JPU - -0.025 0.012 -2.071 0.040 **
Ln JPK - 0.002 0.006 0.400 0.690 ns
Ln JPP - -0.066 0.018 -3.591 0.000 ***
Ln JP - -0.159 0.032 -4.934 0.000 ***
Ln UP +/- 0.008 0.013 0.586 0.559 ns
Ln PUT - -0.001 0.030 -0.024 0.981 ns
Ln PP - -0.047 0.038 -1.223 0.223 ns
D1 + 0.019 0.011 1.789 0.076 **
D2 + 0.002 0.005 0.375 0.709 ns
2
R 0.984 *** : Signifikan pada tingkat Kesalahan 1%
Adjusted R-squared 0.983 ** : Signifikan pada tingkat Kesalahan 5%
S.E. of regression 0.024 ns : Tidak signifikan
F-statistik 836.801 ***
Sumber : Arifin, 2012.
2. Jumlah Tenaga Kerja
Koefisien regresi jumlah tenaga kerja (Ln JTK) mempunyai koefisien
regresi positif dan tidak berpengaruh nyata terhadap produksi dan risiko produksi.
Hal ini disebabkan karena di daerah penelitian semua petani sudah menggunakan
traktor tangan pada saat pengolahan lahan dan menggunakan mesin prontok padi
127
pada saat panen. Sedangkan pada saat pemeliharaan tanaman umumnya petani
sendiri yang mengerjakan. Sehingga apabila jumlah tenaga kerja ditambah, maka
akan menaikkan risiko produksi terutama terkait dengan semakin banyak biaya
yang harus dikeluarkan petani.
3. Jumlah Benih
Koefisien regresi jumlah benih (Ln JB) mempunyai koefisien regresi
positif dan tidak berpengaruh nyata terhadap produksi dan risiko produksi. Di
daerah penelitian pada umumnya cara tanam yang digunakan petani adalah tanam
benih langsung (tabela). Cara tabela lebih banyak menggunakan jumlah benih
dibandingkan dengan cara tanam pindah (tapin). Penambahan benih masih dapat
dilakukan petani untuk mengantisipasi kekurangan akibat cara tabela boros
menggunakan benih. Benih yang digunakan petani berasal dari berbagai macam
sumber, antara lain dari hasil panen petani sendiri, hasil penangkaran benih, dan
beli di kios benih.
4. Jumlah Pupuk Urea
Koefisien regresi jumlah pupuk urea (Ln JPU) mempunyai koefisien
regresi positif dan berpengaruh nyata terhadap produksi, sedangkan terhadap
risiko produksi berpengaruh nyata dan negatif. Koefisien regresi jumlah pupuk
urea sebesar -0,025, hasil uji t berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 95
persen. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah pupuk urea berpengaruh nyata dan
negatif terhadap risiko produksi. Berarti setiap kenaikan jumlah pupuk urea
sebesar 1 persen akan menurunkan risiko produksi sebesar 0,025 persen. Hasil
tersebut mengindikasikan bahwa penggunaan pupuk urea belum mencapai
kebutuhan maksimum, sehingga dengan menambah jumlah pemakaian urea dalam
batas tertentu maka produksi padi dapat ditingkatkan dan risiko produksi
menurun.
5. Jumlah Pupuk KCl
Variabel jumlah pupuk KCl (Ln JPK) mempunyai koefisien regresi positif
dan berpengaruh nyata terhadap produksi sedangkan terhadap risiko produksi
tidak berpengaruh nyata. Berarti peningkatan penggunaan pupuk KCl tidak
128
mempengaruhi risiko produksi, tetapi akan meningkatkan produksi karena
pemakaian pupuk KCl belum maksimum.
6. Jumlah Pupuk Phonska
Koefisien regresi jumlah pupuk phonska (Ln JPP) mempunyai koefisien
regresi positif dan berpengaruh nyata terhadap produksi, sedangkan terhadap
risiko produksi berpengaruh nyata dan negatif. Koefisien regresi jumlah pupuk
phonska sebesar -0.066, hasil uji t berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 99
persen. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah pupuk phonska berpengaruh nyata
dan negatif terhadap risiko produksi. Berarti setiap kenaikan jumlah pupuk
phonska sebesar 1 persen akan menurunkan risiko produksi sebesar 0.066 persen.
Hasil tersebut mengindikasikan bahwa penggunaan pupuk phonska belum
mencapai kebutuhan maksimum, sehingga dengan menambah jumlah pemakaian
phonska produksi padi dapat ditingkatkan dan risiko produksi menurun.
7. Jumlah Pestisida
Koefisien regresi jumlah pestisida (Ln JP) mempunyai koefisien regresi
positif dan berpengaruh nyata terhadap produksi, sedangkan terhadap risiko
produksi berpengaruh nyata dan negatif. Koefisien regresi jumlah pestisida
sebesar -0,159, hasil uji t berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 99 persen.
Hal ini menunjukkan bahwa jumlah pestisida berpengaruh nyata dan negatif
terhadap risiko produksi. Berarti setiap kenaikan jumlah pestisida sebesar 1 persen
akan menurunkan risiko produksi sebesar 0,159 persen. Hasil tersebut
mengindikasikan bahwa penggunaan pestisida belum mencapai kebutuhan
pemakaian maksimum, sehingga dengan menambah jumlah pestisida dalam
rangka menanggulangi serangan hama dan penyakit pada tanaman padi, maka
produksi dapat ditingkatkan dan risiko produksi menurun.
8. Umur Petani
Variabel umur petani (Ln UP) mempunyai koefisien regresi positif dan
berpengaruh nyata terhadap produksi sedangkan terhadap risiko produksi tidak
berpengaruh nyata. Berarti umur petani bertambah maka pengalaman petani
semakin bertambah dalam mengelola usahataninya, sehingga produksi dapat
meningkat dan risiko produksi dapat menurun.
129
9. Pengalaman Berusahatani
Variabel pengalaman berusahatani (Ln PUT) mempunyai koefisien regresi
positif dan berpengaruh nyata terhadap produksi sedangkan terhadap risiko
produksi tidak berpengaruh nyata. Berarti pengalaman berusahatani bertambah
maka petani tersebut semakin luas dan bertambah pengetahuannya dalam
mengelola usahatani yang diusahakan, sehingga produksi dapat meningkat dan
risiko produksi menurun.
10. Pendidikan Petani
Variabel Pendidikan petani (Ln PP) mempunyai koefisien regresi positif
dan tidak berpengaruh nyata terhadap produksi dan risiko produksi. Berdasarkan
petani responden di daerah penelitian, rata-rata pendidikan formal petani adalah
menengah ke bawah (dominan pendidikan SD dan SMP). Kecenderungan ini
terkait dengan peran petani dalam usahatani padi yang cukup intensif,
menyebabkan petani memiliki keterbatasan waktu melanjutkan pendidikan formal
yang lebih tinggi dan juga memiliki keterbatasan akses untuk mengembangkan
diri melalui pendidikan formal lainnya (kursus dan pelatihan).
11. Status Kepemilikan Lahan
Koefisien regresi status kepemilikan lahan (D1) mempunyai koefisien
regresi positif dan berpengaruh nyata terhadap produksi, sedangkan terhadap
risiko produksi berpengaruh nyata dan positif. Koefisien regresi status
kepemilikan lahan sebesar 0,019, hasil uji t berpengaruh nyata pada tingkat
kepercayaan 90 persen. Hal ini menunjukkan bahwa status kepemilikan lahan
berpengaruh nyata dan positif terhadap risiko produksi. Berarti setiap kenaikan
status pemilikan lahan sebesar 1 persen akan menaikkan risiko produksi sebesar
0.019 persen. Status kepemilikan lahan adalah status antara petani pemilik dengan
petani non pemilik. Dapat diartikan bahwa baik petani pemilik maupun petani non
pemilik berdampak terhadap risiko produksi. Namun petani non pemilik lebih
kecil risiko produksinya daripada petani pemilik. Perbedaan risiko produksi
tersebut, terkait dimana petani non pemilik tidak berani terhadap risiko apabila
keinginan untuk memperoleh hasil produksi yang semakin besar maka dihadapkan
pada risiko yang juga semakin besar. Hal ini disebabkan karena kebanyakan
130
petani non pemilik adalah petani yang kurang mampu dan hanya mengandalkan
tenaga kerja dalam keluarga. Keterbatasan petani tersebut berdampak pada
kemampuan dalam penggunaan input produksi untuk meningkatkan hasil
usahataninya. Rata-rata penggunaan input yang digunakan masih kurang dan
belum memenuhi anjuran yang seharusnya. Hal ini terkait dimana petani non
pemilik lebih banyak yang kurang mampu memberikan input produksi sesuai
anjuran karena keterbatasan modal untuk membiayai usahataninya dan hanya
mengandalkan tenaga kerja keluarga.
12. Status Penguasaan Lahan
Variabel status Penguasaan lahan (D2) mempunyai koefisien regresi positif
dan berpengaruh nyata terhadap produksi dan tidak berpengaruh nyata terhadap
risiko produksi. Status penguasaan lahan adalah antara petani garap lahan sendiri
dengan petani garap lahan orang lain. Berarti antara petani garap lahan sendiri
dengan petani garap lahan orang lain terdapat perbedaan terhadap dampak pada
produksi. Dimana petani garap lahan sendiri produksi yang diperoleh lebih besar
daripada petani garap lahan orang lain. Namun mempunyai peluang yang sama
terhadap dampak risiko produksi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi MT II dan risiko produksi MT
II adalah luas lahan, tenaga kerja, benih, pupuk urea, pupuk KCl, pupuk phonska,
pestisida, umur petani, pengalaman berusahatani, pendidikan petani, status
kepemilikan lahan, dan status penguasaan lahan. Langkah pertama adalah
menganalisis faktor produksi yang mempengaruhi produksi melalui fungsi
produksi Cobb Douglas. Hasil analisis fungsi Cobb Douglas secara lengkap tersaji
pada Tabel 15.
Berdasarkan hasil analisis yang tersaji pada Tabel 15, diketahui bahwa
nilai koefisien determinasi (Adjusted R2) sebesar 0,988. Hal ini berarti sebanyak
98,80 persen variasi dari produksi MT II dapat dijelaskan oleh variasi variabel
independen dalam model. Hasil uji menunjukkan bahwa nilai F hitung (α: 1%),
sebesar 1188,75 lebih besar dari F tabel (1,49) berarti bahwa variabel independen
secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap produksi MT II.
131
Tabel 15. Hasil Analisis Regresi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi
MT II
Tanda Koefisien Standar
Variabel t-hitung Prob. Signifikan
Harapan Regresi Eror
C +/- 3.037 0.313 9.691 0.000 ***
Ln LL + 0.108 0.032 3.386 0.001 ***
Ln JTK + 0.136 0.028 4.889 0.000 ***
Ln JB + 0.035 0.016 2.218 0.028 **
Ln JPU + 0.141 0.042 3.371 0.001 ***
Ln JPK + 0.024 0.021 1.151 0.251 ns
Ln JPP + 0.016 0.030 0.535 0.593 ns
Ln JP + 0.138 0.053 2.627 0.009 ***
Ln UP + 0.008 0.027 0.302 0.763 ns
Ln PUT + 0.349 0.047 7.472 0.000 ***
Ln PP + 0.425 0.050 8.502 0.000 ***
D1 + 0.037 0.017 2.145 0.033 **
D2 + 0.003 0.016 0.171 0.864 ns
*** : Signifikan pada tingkat Kesalahan
R2 0.988 1%
** : Signifikan pada tingkat Kesalahan
Adjusted R-squared 0.988 5%
S.E. of regression 0.079 ns : Tidak signifikan
F-statistik 1188.746***
Sumber : Arifin, 2012.
Hasil uji t terhadap variabel independen menunjukkan variabel independen
yang berpengaruh nyata terhadap produksi MT II adalah luas lahan, jumlah tenaga
kerja, jumlah benih, jumlah pupuk urea, jumlah pestisida, pengalaman
berusahatani, pendidikan petani, dan dummy status kepemilikan lahan. Variabel
jumlah pupuk KCl, jumlah pupuk phonska, umur petani, dan dan dummy status
penguasaan lahan tidak berpengaruh nyata terhadap produksi MT II. Koefisien
regresi luas lahan, jumlah tenaga kerja, jumlah benih, jumlah pupuk urea, jumlah
pestisida, pengalaman berusahatani, pendidikan petani, dan dummy status
kepemilikan lahan bertanda positif. Berarti setiap penambahan faktor produksi
tersebut akan menaikkan produksi MT II.
Langkah kedua untuk membahas risiko produksi MT II adalah
menganalisis faktor produksi yang mempengaruhi produksi melalui fungsi
produksi model Just and Pope. Hasil analisis fungsi produksi model Just and Pope
secara lengkap tersaji pada Tabel 16.
132
Tabel 16. Hasil Analisis Regresi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Risiko
Produksi MT II
Tanda Koefisien Standar
Variabel t-hitung Prob. Signifikan
Harapan Regresi Eror
C +/- 8.987 1.025 8.767 0.000 ***
Ln LL - -0.218 0.091 -2.396 0.018 **
Ln JTK - -0.011 0.023 -0.482 0.631 ns
Ln JB - -0.553 0.084 -6.555 0.000 ***
Ln JPU - -0.113 0.054 -2.096 0.038 **
Ln JPK - -0.003 0.023 -0.130 0.897 ns
Ln JPP - -0.080 0.047 -1.728 0.086 *
Ln JP - -0.111 0.061 -1.836 0.068 *
Ln UP - 0.037 0.032 1.170 0.244 ns
Ln PUT - -0.155 0.059 -2.640 0.009 ***
Ln PP - -0.037 0.030 -1.222 0.224 ns
D1 + 0.103 0.037 2.755 0.007 ***
D2 + 0.002 0.017 0.102 0.919 ns
2
R 0.952 *** : Signifikan pada tingkat Kesalahan 1%
Adjusted R-squared 0.949 ** : Signifikan pada tingkat Kesalahan 5%
S.E. of regression 0.092 * : Signifikan pada tingkat Kesalahan 10%
F-statistik 277.094 *** ns : Tidak signifikan
Sumber : Arifin, 2012.
Berdasarkan hasil analisis yang tersaji pada Tabel 16, diketahui bahwa
nilai koefisien determinasi (Adjusted R2) sebesar 0,949. Hal ini berarti sebanyak
94,90 persen variasi dari risiko produksi MT II dapat dijelaskan oleh variasi
variabel independen dalam model. Hasil uji menunjukkan bahwa nilai F hitung (α:
1%), sebesar 277,09 lebih besar dari F tabel (1,49) berarti bahwa variabel
independen secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap risiko produksi MT
II.
Hasil uji t terhadap variabel independen menunjukkan variabel independen
yang berpengaruh nyata dan negatif terhadap risiko produksi MT II adalah luas
lahan, jumlah benih, jumlah pupuk urea, jumlah pupuk phonska, jumlah pestisida,
dan pengalaman berusahatani. Sedangkan variabel dummy status kepemilikan
lahan berpengaruh nyata dan positif terhadap risiko produksi MT II.
1. Luas Lahan
Koefisien regresi luas lahan (Ln LL) mempunyai koefisien regresi positif
dan berpengaruh nyata terhadap produksi, sedangkan terhadap risiko produksi
133
berpengaruh nyata dan negatif. Koefisien regresi luas lahan sebesar -0,218, hasil
uji t berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 95 persen. Hal ini menunjukkan
bahwa luas lahan berpengaruh nyata dan negatif terhadap risiko produksi. Berarti
setiap kenaikan luas lahan sebesar 1 persen akan menurunkan risiko produksi
sebesar 0,218 persen. Penambahan luas lahan yang digarap baik petani pemilik
dan petani non pemilik masih memungkinkan untuk kenaikan produksi. Penduduk
di daerah penelitian sebagian besar mata pencahariannya adalah sebagai petani,
dan umumnya luas lahan yang digarap masih kurang. Apabila luas lahan yang
digarap petani tersebut ditambah dengan sistem pengelolaan yang baik, maka akan
dapat menaikkan produksi dan resiko produksi dapat dikendalikan atau
diturunkan.
2. Jumlah Tenaga Kerja
Koefisien regresi jumlah tenaga kerja (Ln JTK) mempunyai koefisien
regresi positif dan berpengaruh nyata terhadap produksi, sedangkan terhadap
risiko produksi berpengaruh tidak nyata dan negatif. Hal ini disebabkan karena di
daerah penelitian semua petani sudah menggunakan traktor tangan pada saat
pengolahan lahan dan menggunakan mesin perontok padi pada saat panen.
Sedangkan pada saat pemeliharaan tanaman umumnya petani sendiri yang
mengerjakan. Sehingga apabila jumlah tenaga kerja ditambah, maka akan
menaikkan risiko produksi terutama terkait dengan semakin banyak biaya yang
harus dikeluarkan petani.
3. Jumlah Benih
Koefisien regresi jumlah benih (Ln JB) mempunyai koefisien regresi
positif dan berpengaruh nyata terhadap produksi, sedangkan terhadap risiko
produksi berpengaruh nyata dan negatif. Koefisien regresi jumlah benih sebesar -
0,553, hasil uji t berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 99 persen. Hal ini
menunjukkan bahwa jumlah benih berpengaruh nyata dan negatif terhadap risiko
produksi. Berarti setiap kenaikan jumlah benih sebesar 1 persen akan menurunkan
risiko produksi sebesar 0,553 persen. Di daerah penelitian pada umumnya cara
tanam yang digunakan petani adalah tanam benih langsung (tabela). Cara tabela
lebih banyak menggunakan jumlah benih dibandingkan dengan cara tanam pindah
134
(tapin). Penambahan benih masih dapat dilakukan petani untuk mengantisipasi
kekurangan akibat cara tabela boros menggunakan benih. Benih yang digunakan
petani berasal dari berbagai macam sumber, antara lain dari hasil panen petani
sendiri, hasil penangkaran benih, dan beli di kios benih.
4. Jumlah Pupuk Urea
Koefisien regresi jumlah pupuk urea (Ln JPU) mempunyai koefisien
regresi positif dan berpengaruh nyata terhadap produksi, sedangkan terhadap
risiko produksi berpengaruh nyata dan negatif. Koefisien regresi jumlah pupuk
urea sebesar -0,113, hasil uji t berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 95
persen. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah pupuk urea berpengaruh nyata dan
negatif terhadap risiko produksi. Berarti setiap kenaikan jumlah pupuk urea
sebesar 1 persen akan menurunkan risiko produksi sebesar 0,113 persen. Hasil
tersebut mengindikasikan bahwa penggunaan pupuk urea belum mencapai
kebutuhan maksimum, sehingga dengan menambah jumlah pemakaian pupuk urea
maka produksi padi dapat ditingkatkan dan risiko produksi menurun.
5. Jumlah Pupuk KCl
Variabel jumlah pupuk KCl (Ln JPK) mempunyai koefisien regresi positif
dan tidak berpengaruh nyata terhadap produksi sedangkan terhadap risiko
produksi tidak berpengaruh nyata dan negatif. Berarti penggunaan pupuk KCl
tidak mempengaruhi risiko produksi, dan juga tidak meningkatkan produksi
karena pemakaian pupuk KCl belum maksimum. Umumnya petani di daerah
penelitian masih kurang memakai pupuk KCl, disebabkan para petani tidak
mampu membeli karena harga mahal.
6. Jumlah Pupuk Phonska
Koefisien regresi jumlah pupuk phonska (Ln JPP) mempunyai koefisien
regresi positif dan tidak berpengaruh nyata terhadap produksi, sedangkan terhadap
risiko produksi berpengaruh nyata dan negatif. Koefisien regresi jumlah pupuk
phonska sebesar -0,080, hasil uji t berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 90
persen. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah pupuk phonska berpengaruh nyata
dan negatif terhadap risiko produksi. Berarti setiap kenaikan jumlah pupuk
phonska sebesar 1 persen akan menurunkan risiko produksi sebesar 0,080 persen.
135
Hasil tersebut mengindikasikan bahwa penggunaan pupuk phonska belum
mencapai kebutuhan maksimum, sehingga dengan menambah jumlah pemakaian
phonska produksi padi dapat ditingkatkan dan risiko produksi menurun.
Umumnya petani di daerah penelitian masih kurang memakai pupuk phonska,
disebabkan para petani tidak mampu membeli karena harga mahal.
7. Jumlah Pestisida
Koefisien regresi jumlah pestisida (Ln JP) mempunyai koefisien regresi
positif dan berpengaruh nyata terhadap produksi, sedangkan terhadap risiko
produksi berpengaruh nyata dan negatif. Koefisien regresi jumlah pestisida
sebesar -0,111, hasil uji t berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 90 persen.
Hal ini menunjukkan bahwa jumlah pestisida berpengaruh nyata dan negatif
terhadap risiko produksi. Berarti setiap kenaikan jumlah pestisida sebesar 1 persen
akan menurunkan risiko produksi sebesar 0,111 persen. Hasil tersebut
mengindikasikan bahwa penggunaan pestisida belum mencapai kebutuhan
pemakaian maksimum, sehingga dengan menambah jumlah pestisida dalam
rangka mengurangi serangan hama dan penyakit pada tanaman sehingga produksi
padi dapat ditingkatkan dan risiko produksi menurun.
8. Umur Petani
Variabel umur petani (Ln UP) mempunyai koefisien regresi positif dan
tidak berpengaruh nyata terhadap produksi dan risiko produksi. Berarti petani
yang memiliki umur yang telah berusia lanjut akan memperoleh produksi
usahatani padi yang lebih rendah. Petani umur usia lanjut akan menurun
kemampuan untuk mengelola usahatani, sehingga mengakibatkan risiko produksi
jadi naik.
9. Pengalaman Berusahatani
Variabel pengalaman berusahatani (Ln PUT) mempunyai koefisien regresi
positif dan berpengaruh nyata terhadap produksi sedangkan risiko produksi
berpengaruh nyata dan negatif. Koefisien regresi pengalaman berusahatani sebesar
-0,155, hasil uji t berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 99 persen. Hal ini
menunjukkan bahwa pengalaman berusahatani berpengaruh nyata dan negatif
terhadap risiko produksi. Berarti setiap kenaikan pengalaman berusahatani sebesar
136
1 persen akan menurunkan risiko produksi sebesar 0,155 persen. Berarti
pengalaman berusahatani bertambah maka petani tersebut semakin luas dan
bertambah pengetahuannya dalam mengelola usahatani yang diusahakan,
sehingga produksi dapat meningkat dan risiko produksi menurun.
10. Pendidikan
Variabel Pendidikan petani (Ln PP) mempunyai koefisien regresi positif
dan berpengaruh nyata terhadap produksi dan tidak berpengaruh nyata dan negatif
terhadap risiko produksi. Berdasarkan petani responden di daerah penelitian, rata-
rata pendidikan formal petani adalah menengah ke bawah (dominan pendidikan
SD dan SMP). Kecenderungan ini terkait dengan peran petani dalam usahatani
padi yang cukup intensif, menyebabkan petani memiliki keterbatasan waktu
melanjutkan pendidikan formal yang lebih tinggi dan juga memiliki keterbatasan
akses untuk mengembangkan diri melalui pendidikan formal lainnya (kursus dan
pelatihan). Oleh karena itu pendidikan petani masih perlu ditingkatkan melalui
jenjang pendidikan formal (kursus dan pelatihan), sehingga produksi bisa
meningkat dan risiko produksi dapat ditekan atau menurun.
11. Status Kepemilikan Lahan
Koefisien regresi status kepemilikan lahan (D1) mempunyai koefisien
regresi positif dan berpengaruh nyata terhadap produksi dan risiko produksi.
Koefisien regresi status kepemilikan lahan petani pemilik sebesar 0,103, hasil uji t
berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 99 persen. Hal ini menunjukkan
bahwa status kepemilikan lahan berpengaruh nyata dan positif terhadap risiko
produksi. Berarti setiap kenaikan status kepemilikan lahan sebesar 1 persen akan
menaikkan risiko produksi sebesar 0,103 persen. Status kepemilikan lahan adalah
status antara petani pemilik dengan petani non pemilik. Dapat diartikan bahwa
baik petani pemilik maupun petani non pemilik berdampak terhadap risiko
produksi. Namun petani non pemilik lebih kecil risiko produksinya daripada
petani pemilik. Perbedaan risiko produksi tersebut, terkait dimana petani non
pemilik tidak berani terhadap risiko apabila keinginan untuk memperoleh hasil
produksi yang semakin besar maka dihadapkan pada risiko yang juga semakin
besar. Hal ini disebabkan karena kebanyakan petani non pemilik adalah petani
137
yang kurang mampu dan hanya mengandalkan tenaga kerja dalam keluarga.
Keterbatasan petani tersebut berdampak pada kemampuan dalam penggunaan
input produksi untuk meningkatkan hasil usahataninya. Rata-rata penggunaan
input yang digunakan masih kurang dan belum memenuhi anjuran yang
seharusnya. Hal ini terkait dimana petani non pemilik lebih banyak yang kurang
mampu memberikan input produksi sesuai anjuran karena keterbatasan modal
untuk membiayai usahataninya dan hanya mengandalkan tenaga kerja keluarga.
12. Status Penguasaan Lahan
Variabel status penguasaan lahan (D2) mempunyai koefisien regresi positif
dan tidak berpengaruh nyata terhadap produksi dan risiko produksi. Status
penguasaan lahan adalah antara petani garap lahan sendiri dengan petani garap
lahan orang lain. Berarti antara petani garap lahan sendiri dengan petani garap
lahan orang lain tidak ada perbedaan terhadap dampak pada produksi. Namun
mempunyai peluang yang sama baik petani garap lahan sendiri maupun petani
garap lahan orang lain berdampak terhadap risiko produksi.
139
Tabel 17. Nilai F dan Koefisien Variasi Pendapatan Usahatani Padi Berdasarkan
Penguasaan Lahan di Kabupaten Pinrang Tahun 2012
Musim Tanam I Musim Tanam II
(MT I) (MT II)
Uraian
Koef. Koef.
Varian Varian
Variasi Variasi
Petani 47.338.772.101.962,90 0,748 44.643.973.210.073,60 0,755
Pemilik-
Penggarap
(Pemilik)
Petani 25.073.126.370.524,30 0,786 21.117.141.050.284,10 0,763
Gadai dan
Penyakap
(Non
Pemilik)
Uji Beda
Variance :
Fhitung 12,185 *** - 14,286 *** -
Ftabel (α=5%) 1,49 - 1,49 -
χ2hitung 0,360 0,360
χ2tabel (α=5%) 3,841 3,841
Petani 44.395.484.030.599,80 0,756 41.096.971.080.903,80 0,757
Garap
Lahan
Sendiri
Petani 23.985.089.022.013,70 0,800 20.601.485.780.320,20 0,788
Garap
Lahan
Orang Lain
Uji Beda
Variance :
Fhitung 9,993 *** - 11,246 *** -
Ftabel (α=5%) 1,49 - 1,49 -
χ2hitung 13,890*** 13,890***
χ2tabel (α=5%) 3,841 3,841
Sumber : Arifin, 2012.
Keterangan
*** = signifikan pada α : 1%
141
Langkah kedua untuk membahas risiko pendapatan MT I adalah
menganalisis faktor pendapatan yang mempengaruhi pendapatan MT I melalui
fungsi produksi model Just and Pope. Hasil analisis fungsi produksi model Just
and Pope secara lengkap tersaji pada Tabel 19.
Tabel 19. Hasil Analisis Regresi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Risiko
Pendapatan MT I
Tanda Koefisien Standar Signifi-
Variabel t-hitung Prob.
Harapan Regresi Eror kan
C +/- -10.257 0.722 -14.208 0.000 ***
Ln LL - -0.343 0.132 -2.591 0.010 ***
Ln UTK + 2.684 0.084 31.823 0.000 ***
Ln HB + 0.088 0.082 1.080 0.028 **
Ln HPU + -0.154 0.235 -0.655 0.513 ns
Ln HPP + 1.060 0.232 4.574 0.000 ***
Ln UP +/- -0.004 0.011 -0.329 0.743 ns
Ln PUT - -0.194 0.018 -10.570 0.000 ***
D1 + 0.018 0.010 1.811 0.072 *
D2 + -0.016 0.011 -1.470 0.143 ns
2
R 0.980 *** : Signifikan pada tingkat Kesalahan 1%
Adjusted R-squared 0.978 ** : Signifikan pada tingkat Kesalahan 5%
S.E. of regression 0.032 * : Signifikan pada tingkat Kesalahan 10%
F-statistik 903.243*** ns : Tidak signifikan
Sumber : Arifin, 2012.
Berdasarkan hasil analisis yang tersaji pada Tabel 19, diketahui bahwa
nilai koefisien determinasi (Adjusted R2) sebesar 0,978. Hal ini berarti sebanyak
98,48 persen variasi dari risiko pendapatan MT I dapat dijelaskan oleh variasi
variabel independen dalam model. Hasil uji menunjukkan bahwa nilai F hitung (α:
1%), sebesar 903,24 lebih besar dari F tabel (1,49) berarti bahwa variabel
independen secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap risiko pendapatan
MT I.
Hasil uji t terhadap variabel independen menunjukkan variabel independen
yang berpengaruh nyata dan negatif terhadap risiko pendapatan MT I adalah luas
lahan, dan pengalaman berusahatani. Sedangkan variabel upah tenaga kerja, harga
benih, harga pupuk phonska, dan dummy status kepemilikan lahan berpengaruh
nyata dan positif terhadap risiko pendapatan MT I.
142
1. Luas Lahan
Koefisien regresi luas lahan (Ln LL) mempunyai koefisien regresi positif
dan berpengaruh nyata terhadap pendapatan MT I sedangkan risiko pendapatan
MT I berpengaruh nyata dan negatif. Koefisien regresi luas lahan sebesar -0, 343,
hasil uji t berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 99 persen. Hal ini
menunjukkan bahwa luas lahan berpengaruh nyata dan negatif terhadap risiko
pendapatan MT I. Berarti setiap kenaikan luas lahan sebesar 1 persen akan
menurunkan risiko pendapatan MT I sebesar 0,343 persen. Semakin besar luas
lahan yang diperoleh dari usahatani padi maka semakin besar pendapatan yang
diperoleh petani, sehingga risiko pendapatan menurun. Hal ini disebabkan petani
mampu mengelola usahatani secara maksimal apabila lahan yang dikelola tersebut
bertambah. Dengan penambahan luas lahan yang dikelola, maka peluang untuk
mendapatkan produksi semakin besar dan pendapatan juga dapat meningkat.
2. Upah Tenaga Kerja
Koefisien regresi upah tenaga kerja dinormalkan (Ln UTK) mempunyai
koefisien regresi negatif dan berpengaruh nyata terhadap pendapatan MT I,
sedangkan terhadap risiko pendapatan MT I berpengaruh nyata dan positif.
Koefisien regresi upah tenaga kerja dinormalkan sebesar 2,684, hasil uji t
berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 99 persen. Hal ini menunjukkan
bahwa upah tenaga kerja dinormalkan berpengaruh nyata dan positif terhadap
risiko pendapatan MT I. Berarti setiap kenaikan upah tenaga kerja dinormalkan
sebesar 1 persen akan menaikkan risiko pendapatan MT I sebesar 2,684 persen.
Setiap kenaikan upah tenaga kerja akan menurunkan pendapatan yang diperoleh
petani dan berdampak pada kenaikan risiko pendapatan. Kenaikan upah tenaga kerja
berarti kenaikan biaya yang harus dikeluarkan petani, sehingga berdampak pada
penurunan pendapatan. Kenaikan upah tenaga kerja dilokasi penelitian terjadi pada
saat panen dan pengangkutan hasil panen diperlukan penanganan cepat, sehingga
upah tenaga kerja akan bertambah. Disisi lain dapat mengurangi risiko penyusutan
hasil panen dan harga gabah yang diterima petani.
143
3. Harga Benih
Koefisien regresi harga benih dinormalkan (Ln HB) mempunyai koefisien
regresi negatif dan berpengaruh nyata terhadap pendapatan MT I, sedangkan
terhadap risiko pendapatan MT I berpengaruh nyata dan positif. Koefisien regresi
harga benih dinormalkan sebesar 0,088, hasil uji t berpengaruh nyata pada tingkat
kepercayaan 95 persen. Hal ini menunjukkan bahwa harga benih dinormalkan
berpengaruh nyata dan positif terhadap risiko pendapatan MT I. Berarti setiap
kenaikan harga benih dinormalkan sebesar 1 persen akan menambah risiko
pendapatan MT I sebesar 0,088 persen. Semakin tinggi harga benih semakin kecil
pendapatan yang diterima petani. Sebagian besar petani di lokasi penelitian
membeli benih dengan harga yang bervariasi. Oleh karena itu, apabila terjadi
kenaikan harga benih akan berdampak pada semakin besarnya pengeluaran petani
sehingga pendapatan berkurang dan risiko pendapatan menjadi bertambah.
4. Harga Pupuk Urea
Koefisien regresi harga pupuk urea dinormalkan (Ln HPU) mempunyai
koefisien regresi negatif dan berpengaruh nyata terhadap pendapatan MT I,
sedangkan terhadap risiko pendapatan MT I tidak berpengaruh nyata. Berarti
berapapun harga pupuk urea, maka petani tetap menggunakan pupuk urea. Hal ini
disebabkan petani di lokasi penelitian semua menggunakan pupuk urea dan sangat
tergantung pada pupuk urea. Demikian juga bahwa proporsi penggunaan pupuk
urea lebih banyak dibanding dengan jenis pupuk lain.
5. Harga Pupuk Phonska
Koefisien regresi harga pupuk phonska dinormalkan (Ln HPP) mempunyai
koefisien regresi positif dan berpengaruh nyata terhadap pendapatan MT I dan
risiko pendapatan MT I. Koefisien regresi harga pupuk phonska dinormalkan
sebesar 1,060, hasil uji t berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 99 persen.
Hal ini menunjukkan bahwa harga pupuk phonska dinormalkan berpengaruh nyata
dan positif terhadap risiko pendapatan MT I. Berarti setiap kenaikan harga pupuk
phonska dinormalkan sebesar 1 persen akan menaikkan risiko pendapatan MT I
sebesar 1,06 persen. Berarti setiap kenaikan harga pupuk phonska maka akan
menambah pengeluaran karena besarnya biaya yang harus dikeluarkan dan
144
mengurangi pendapatan. Umumnya petani di lokasi penelitian menggunakan
pupuk phonska, walaupun harga pupuk phonska lebih mahal dibanding dengan
harga pupuk lain. Konsekuensinya adalah berdampak pada semakin besarnya
pengeluaran dan terjadi penurunan pendapatan yang diperoleh petani, yang
mengakibatkan risiko pendapatan bertambah.
6. Umur Petani
Variabel umur petani (Ln UP) mempunyai koefisien regresi positif dan
berpengaruh nyata terhadap pendapatan MT I, sedangkan pada risiko pendapatan
MT I tidak berpengaruh nyata. Berarti petani yang memiliki umur yang telah
berusia lanjut akan memperoleh pendapatan usahatani padi yang lebih rendah
dibandingkan petani berumur produktif. Petani umur usia lanjut akan menurun
kemampuan untuk mengelola usahatani yang lebih banyak mengandalkan fisik
kuat, sehingga berpotensi menaikkan risiko pendapatan.
7. Pengalaman Berusahatani
Variabel pengalaman berusahatani (Ln PUT) mempunyai koefisien regresi
positif dan berpengaruh nyata terhadap pendapatan MT I, sedangkan risiko
pendapatan MT I berpengaruh nyata dan negatif. Koefisien regresi pengalaman
berusahatani sebesar -0,194, hasil uji t berpengaruh nyata pada tingkat
kepercayaan 99 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pengalaman berusahatani
berpengaruh nyata dan negatif terhadap risiko pendapatan. Berarti setiap kenaikan
pengalaman berusahatani sebesar 1 persen akan menurunkan risiko pendapatan
sebesar 0,194 persen. Pengalaman petani mencerminkan proses pembelajaran
terhadap pengelolaan usahatani. Berarti pengalaman berusahatani bertambah
maka petani tersebut semakin luas dan bertambah pengetahuannya dalam
mengelola usahatani yang diusahakan, sehingga pendapatan dapat meningkat dan
menurunkan risiko pendapatan.
8. Status Kepemilikan Lahan
Koefisien regresi status kepemilikan lahan (D1) mempunyai koefisien
regresi negatif dan berpengaruh nyata terhadap pendapatan MT I dan risiko
pendapatan MT I. Koefisien regresi status kepemilikan lahan sebesar 0,018, hasil
uji t berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 90 persen. Hal ini menunjukkan
145
bahwa status kepemilikan lahan berpengaruh nyata dan positif terhadap risiko
pendapatan MT I. Berarti setiap kenaikan status kepemilikan lahan sebesar 1
persen akan menaikkan risiko pendapatan MT I sebesar 0,018 persen. Status
kepemilikan lahan adalah antara petani pemilik dengan petani non pemilik. Dapat
diartikan bahwa baik petani pemilik maupun petani non pemilik berdampak
terhadap risiko pendapatan. Namun risiko pendapatan petani non pemilik lebih
kecil daripada petani pemilik. Perbedaan risiko pendapatan tersebut, terkait
dimana petani non pemilik tidak berani berisiko apabila keinginan untuk
memperoleh hasil pendapatan yang semakin besar maka dihadapkan pada risiko
yang juga semakin besar. Keberanian petani dalam mengambil keputusan sangat
dipengaruhi oleh kondisi risiko dari usahataninya. Hal ini disebabkan karena
kebanyakan petani non pemilik adalah petani yang kurang mampu atau
keterbatasan modal dan hanya mengandalkan tenaga kerja dalam keluarga.
Keterbatasan petani tersebut berdampak pada kemampuan dalam membiayai
penggunaan input produksi untuk meningkatkan hasil usahataninya.
9. Status Penguasaan Lahan
Variabel status penguasaan lahan (D2) mempunyai koefisien regresi positif
dan tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan MT I dan risiko pendapatan MT
I. Status penguasaan lahan adalah antara petani garap lahan sendiri dengan petani
garap lahan orang lain. Dapat diartikan bahwa baik petani garap lahan sendiri
maupun petani garap lahan orang lain berdampak terhadap pendapatan dan risiko
pendapatan. Namun petani garap lahan orang lain lebih kecil dampak penurunan
pendapatan dan risiko pendapatan dibanding dengan petani garap lahan sendiri.
Hal ini disebabkan petani garap lahan orang lain hasil yang diperoleh harus dibagi
dengan pemilik lahan, sehingga potensi besar terhadap dampak penurunan
pendapatan dan risiko pendapatan. Demikian juga petani garap lahan orang lain
kebanyakan kurang mampu membiayai usahataninya karena kurang modal,
sehinga produksi yang diperoleh tidak maksimal.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan MT II dan risiko
pendapatan MT II adalah luas lahan, upah tenaga kerja dinormalkan, harga benih
dinormalkan, harga pupuk urea dinormalkan, harga pupuk phonska dinormalkan,
146
umur petani, pengalaman berusahatani, status kepemilikan lahan, dan status
penguasaan lahan. Langkah pertama adalah menganalisis faktor pendapatan yang
mempengaruhi pendapatan II melalui fungsi produksi Cobb Douglas. Hasil
analisis fungsi Cobb Douglas secara lengkap tersaji pada Tabel 20.
Tabel 20. Hasil Analisis Regresi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pendapatan
MT II
Tanda Koefisien Standar Signifi-
Variabel t-hitung Prob.
Harapan Regresi Eror kan
C +/- 0.591 1.810 0.327 0.744 ns
Ln LL + 0.877 0.142 6.190 0.000 ***
Ln UTK - -0.953 0.047 -20.333 0.000 ***
Ln HB - -0.047 0.025 -1.856 0.065 *
Ln HPU - 3.515 0.372 9.452 0.000 ***
Ln HPP - -0.884 0.266 -3.328 0.001 ***
Ln UP +/- 0.030 0.023 1.267 0.207 ns
Ln PUT + 0.405 0.108 3.770 0.000 ***
D1 + 0.119 0.024 5.074 0.000 ***
D2 + 0.009 0.015 0.645 0.520 ns
*** : Signifikan pada tingkat kesalahan
R2 0.993 1%
* : Signifikan pada tingkat kesalahan
Adjusted R-squared 0.993 10%
S.E. of regression 0.069 ns : Tidak signifikan
F-statistik 2637.361 ***
Sumber : Arifin, 2012.
Berdasarkan hasil analisis yang tersaji pada Tabel 20, diketahui bahwa
nilai koefisien determinasi (Adjusted R2) sebesar 0,993. Hal ini berarti sebanyak
99,30 persen variasi dari pendapatan MT II dapat dijelaskan oleh variasi variabel
independen dalam model. Hasil uji menunjukkan bahwa nilai F hitung (α: 1%),
sebesar 2637,361 lebih besar dari F tabel (1,49) berarti bahwa variabel independen
secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap pendapatan MT II.
Hasil uji t terhadap variabel independen menunjukkan variabel independen
yang berpengaruh nyata dan positif terhadap pendapatan MT II adalah luas lahan,
harga pupuk urea, dan pengalaman berusahatani. Berpengaruh nyata dan negatif
terhadap pendapatan MT II adalah upah tenaga kerja, harga benih, harga pupuk
phonska, dan dummy status kepemilikan lahan. Sedangkan variabel umur petani,
147
dan dummy status penguasaan lahan tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan
MT II.
Langkah kedua untuk membahas risiko pendapatan MT II adalah
menganalisis faktor pendapatan yang mempengaruhi pendapatan MT II melalui
fungsi produksi model Just and Pope. Hasil analisis fungsi produksi model Just
and Pope secara lengkap tersaji pada Tabel 21.
Tabel 21. Hasil Analisis Regresi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Risiko
Pendapatan MT II
Tanda Koefisien Standar Signifi-
Variabel t-hitung Prob.
Harapan Regresi Eror kan
C +/- 2.084 1.393 1.496 0.136 ns
Ln LL - -0.517 0.113 -4.582 0.000 ***
Ln UTK + 0.465 0.197 2.363 0.019 **
Ln HB + 0.135 0.023 5.728 0.000 ***
Ln HPU + 0.406 0.191 2.125 0.035 **
Ln HPP + 0.758 0.123 6.185 0.000 ***
Ln UP +/- -0.011 0.013 -0.784 0.434 ns
Ln PUT - -0.049 0.027 -1.781 0.077 *
D1 + 0.044 0.013 3.453 0.001 ***
D2 + 0.008 0.013 0.627 0.1126 ns
2
R 0.980 *** : Signifikan pada tingkat Kesalahan 1%
Adjusted R-squared 0.979 ** : Signifikan pada tingkat Kesalahan 5%
S.E. of regression 0.039 ns : Tidak signifikan
F-statistik 929.902 ***
Sumber : Arifin, 2012.
Berdasarkan hasil analisis yang tersaji pada Tabel 21, diketahui bahwa
nilai koefisien determinasi (Adjusted R2) sebesar 0,980. Hal ini berarti sebanyak
98,00 persen variasi dari risiko pendapatan MT II dapat dijelaskan oleh variasi
variabel independen dalam model. Hasil uji menunjukkan bahwa nilai F hitung (α:
1%), sebesar 929,902 lebih besar dari F tabel (1,49) berarti bahwa variabel
independen secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap risiko pendapatan
MT II.
Hasil uji t terhadap variabel independen menunjukkan variabel independen
yang berpengaruh nyata dan negatif terhadap risiko pendapatan MT II adalah luas
lahan, dan pengalaman berusahatani. Sedangkan variabel upah tenaga kerja, harga
148
benih, harga pupuk urea, harga pupuk phonska, dan dummy status kepemilikan
lahan berpengaruh nyata dan positif terhadap risiko pendapatan MT II.
1. Luas Lahan
Koefisien regresi luas lahan (Ln LL) mempunyai koefisien regresi positif
dan berpengaruh nyata terhadap pendapatan II, sedangkan terhadap risiko
pendapatan II berpengaruh nyata dan negatif. Koefisien regresi variabel luas lahan
sebesar -0,517, hasil uji t berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 99 persen.
Hal ini menunjukkan bahwa luas lahan berpengaruh nyata dan negatif terhadap
risiko pendapatan II. Berarti setiap kenaikan luas lahan sebesar 1 persen akan
menurunkan risiko pendapatan II sebesar 0,517 persen. Semakin besar luas lahan
yang diperoleh dari usahatani padi maka semakin besar pendapatan yang
diperoleh petani, sehingga risiko pendapatan menurun. Hal ini disebabkan petani
mampu mengelola usahatani secara maksimal apabila lahan yang dikelola tersebut
bertambah. Dengan penambahan luas lahan yang dikelola, maka peluang untuk
mendapatkan produksi semakin besar dan pendapatan juga dapat meningkat.
2. Upah Tenaga Kerja
Koefisien regresi upah tenaga kerja dinormalkan (Ln UTK) mempunyai
koefisien regresi negatif dan berpengaruh nyata terhadap pendapatan II,
sedangkan pada risiko pendapatan II berpengaruh nyata dan positif. Koefisien
regresi upah tenaga kerja dinormalkan sebesar 0,465, hasil uji t berpengaruh nyata
pada tingkat kepercayaan 95 persen. Hal ini menunjukkan bahwa upah tenaga
kerja dinormalkan berpengaruh nyata dan positif terhadap risiko pendapatan II.
Berarti setiap kenaikan upah tenaga kerja dinormalkan sebesar 1 persen akan
menambah risiko pendapatan II sebesar 0,465 persen. Setiap kenaikan upah tenaga
kerja akan menurunkan pendapatan yang diperoleh petani dan berdampak pada
kenaikan risiko pendapatan. Kenaikan upah tenaga kerja berarti kenaikan biaya yang
harus dikeluarkan petani, sehingga berdampak pada penurunan pendapatan. Kenaikan
upah tenaga kerja dilokasi penelitian terjadi pada saat panen dan pengangkutan hasil
panen diperlukan penanganan cepat, sehingga upah tenaga kerja akan bertambah.
Disisi lain dapat mengurangi risiko penyusutan hasil panen dan harga gabah yang
diterima petani.
149
3. Harga Benih
Koefisien regresi harga benih dinormalkan (Ln HB) mempunyai koefisien
regresi negatif dan berpengaruh nyata terhadap pendapatan II, sedangkan pada
risiko pendapatan II berpengaruh nyata dan positif. Koefisien regresi harga benih
dinormalkan sebesar 0,135, hasil uji t berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan
99 persen. Hal ini menunjukkan bahwa harga benih dinormalkan berpengaruh
nyata dan positif terhadap risiko pendapatan II. Berarti setiap kenaikan harga
benih dinormalkan sebesar 1 persen akan menaikkan risiko pendapatan II sebesar
0,135 persen. Semakin tinggi harga benih semakin kecil pendapatan yang diterima
petani karena adanya pengeluaran dari harga benih. Sebagian besar petani di
lokasi penelitian membeli benih dengan harga yang bervariasi. Oleh karena itu,
apabila terjadi kenaikan harga benih akan berdampak pada semakin besarnya
pengeluaran petani sehingga pendapatan berkurang dan risiko pendapatan menjadi
bertambah.
4. Harga Pupuk Urea
Koefisien regresi harga pupuk urea dinormalkan (Ln HPU) mempunyai
koefisien regresi positif dan berpengaruh nyata terhadap pendapatan II dan risiko
pendapatan II. Koefisien regresi harga pupuk urea dinormalkan sebesar 0,406,
hasil uji t berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 95 persen. Hal ini
menunjukkan bahwa harga pupuk urea dinormalkan berpengaruh nyata dan positif
terhadap risiko pendapatan II. Berarti setiap kenaikan harga pupuk urea
dinormalkan sebesar 1 persen akan menambah risiko pendapatan II sebesar 0,406
persen. Hampir semua petani di lokasi penelitian proporsi penggunaan pupuk urea
lebih banyak dibanding dengan jenis pupuk lain. Harga pupuk setiap musim
tanam selalu mengalami kenaikan harga. Apabila harga pupuk urea naik maka
biaya produksi meningkat dan berdampak pada semakin besarnya pengeluaran
sehingga terjadi penurunan pendapatan yang diperoleh petani, akibatnya risiko
pendapatan naik.
5. Harga Pupuk Phonska
Koefisien regresi harga pupuk phonska dinormalkan (Ln HPP) mempunyai
koefisien regresi negatif dan berpengaruh nyata terhadap pendapatan II,
150
sedangkan terhadap risiko pendapatan II berpengaruh nyata dan positif. Koefisien
regresi harga pupuk phonska dinormalkan sebesar 0,758, hasil uji t berpengaruh
nyata pada tingkat kepercayaan 99 persen. Hal ini menunjukkan bahwa harga
pupuk phonska dinormalkan berpengaruh nyata dan positif terhadap risiko
pendapatan II. Berarti setiap kenaikan harga pupuk phonska dinormalkan sebesar
1 persen akan menambah risiko pendapatan II sebesar 0,758 persen. Berarti setiap
kenaikan harga pupuk phonska maka akan menambah pengeluaran karena
besarnya biaya yang harus dikeluarkan dan mengurangi pendapatan. Umumnya
petani di lokasi penelitian menggunakan pupuk phonska, walaupun harga pupuk
phonska lebih mahal dibanding dengan harga pupuk lain. Konsekuensinya adalah
berdampak pada semakin besarnya pengeluaran dan terjadi penurunan pendapatan
yang diperoleh petani, yang mengakibatkan risiko pendapatan bertambah.
6. Umur Petani
Variabel umur petani (Ln UP) mempunyai koefisien regresi positif dan
tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan II dan risiko pendapatan II. Berarti
petani yang memiliki umur yang telah berusia lanjut akan memperoleh
pendapatan usahatani padi yang lebih rendah dibandingkan petani berumur
produktif. Petani umur usia lanjut akan menurun kemampuan untuk mengelola
usahatani yang lebih banyak mengandalkan fisik kuat, sehingga berpotensi
menaikkan risiko pendapatan.
7. Pengalaman Berusahatani
Variabel pengalaman berusahatani (Ln PUT) mempunyai koefisien regresi
positif dan berpengaruh nyata terhadap pendapatan II, sedangkan risiko
pendapatan II berpengaruh nyata dan negatif. Koefisien regresi pengalaman
berusahatani sebesar -0,049, hasil uji t berpengaruh nyata pada tingkat
kepercayaan 90 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pengalaman berusahatani
berpengaruh nyata dan negatif terhadap risiko pendapatan. Berarti setiap kenaikan
pengalaman berusahatani sebesar 1 persen akan menurunkan risiko pendapatan
sebesar 0,049 persen. Pengalaman petani mencerminkan proses pembelajaran
terhadap pengelolaan usahatani. Berarti pengalaman berusahatani bertambah
maka petani tersebut semakin luas dan bertambah pengetahuannya dalam
151
mengelola usahatani yang diusahakan, sehingga pendapatan dapat meningkat dan
menurunkan risiko pendapatan. Hal ini dapat diduga sebagian besar petani
responden pengalaman berusahatani sudah mampu mengelola usahatani padi
secara baik, sehingga memberikan peningkatan produksi dari usahatani padi yang
diusahakan. Apabila petani responden semakin berpengalaman mengelola
usahatani, maka produksi dan pendapatan dapat ditingkatkan sehingga
menurunkan risiko pendapatan.
8. Status Kepemilikan Lahan
Koefisien regresi status kepemilikan lahan petani pemilik (D1) mempunyai
koefisien regresi negatif dan berpengaruh nyata terhadap pendapatan II dan risiko
pendapatan II. Koefisien regresi status kepemilikan lahan sebesar 0,044, hasil uji t
berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 99 persen. Hal ini menunjukkan
bahwa status kepemilikan lahan berpengaruh nyata dan negatif terhadap risiko
pendapatan. Berarti setiap kenaikan status kepemilikan lahan sebesar 1 persen
akan menurunkan risiko pendapatan sebesar 0.044 persen. Status kepemilikan
lahan adalah status antara petani pemilik dengan petani non pemilik. Dapat
diartikan bahwa baik petani pemilik maupun petani non pemilik berdampak
terhadap risiko pendapatan. Namun risiko pendapatan petani non pemilik lebih
kecil daripada petani pemilik. Perbedaan risiko pendapatan tersebut, terkait
dimana petani non pemilik tidak berani berisiko apabila keinginan untuk
memperoleh hasil pendapatan yang semakin besar maka dihadapkan pada risiko
yang juga semakin besar. Keberanian petani dalam mengambil keputusan sangat
dipengaruhi oleh kondisi risiko dari usahataninya. Hal ini disebabkan karena
kebanyakan petani non pemilik adalah petani yang kurang mampu atau
keterbatasan modal dan hanya mengandalkan tenaga kerja dalam keluarga.
Keterbatasan petani tersebut berdampak pada kemampuan dalam membiayai
penggunaan input produksi untuk meningkatkan hasil usahataninya.
9. Status Penguasaan Lahan
Variabel status penguasaan lahan (D2) mempunyai koefisien regresi positif
dan tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan II, sedangkan risiko pendapatan
II tidak berpengaruh nyata dan negatif. Status penguasaan lahan adalah antara
152
petani garap lahan sendiri dengan petani garap lahan orang lain. Dapat diartikan
bahwa baik petani garap lahan sendiri maupun petani garap lahan orang lain
berdampak terhadap pendapatan dan risiko pendapatan. Untuk status penguasaan
lahan baik petani garap lahan sendiri maupun petani garap lahan orang lain
mempunyai peluang yang sama terhadap dampak risiko pendapatan.
153
BAB 7
KETAHANAN PANGAN BERDASARKAN PENGUASAAN LAHAN
154
besar daripada tidak tahan pangan. Besarnya proporsi tahan pangan tersebut
terkait dengan produksi yang diperoleh dari usahatani yang dapat dimiliki
sepenuhnya, sehingga mampu memenuhi dan mencukupi beberapa kebutuhan
pangan dan mengurangi pengeluaran pangan. Untuk non pemilik (petani gadai dan
penyakap), dimana proporsi tidak tahan pangan lebih besar daripada tahan
pangan. Hal ini disebabkan khususnya bagi petani penyakap, hasil produksi
usahatani yang diperoleh harus dibagi dengan pemilik lahan. Berkurangnya hasil
produksi yang diperoleh petani penyakap tersebut, berdampak pada kurang
mampu memenuhi atau mencukupi beberapa kebutuhan pangan dan
bertambahnya pengeluaran pangan.
Berdasarkan pada Tabel 22, petani garap lahan sendiri (petani pemilik-
penggarap dan petani gadai) proporsi rumah tangga tani tahan pangan lebih besar
daripada tidak tahan pangan. Hal ini terkait dengan produksi yang diperoleh dari
usahatani yang dapat dimiliki sepenuhnya, sehingga mampu memenuhi dan
mencukupi beberapa kebutuhan pangan dan mengurangi pengeluaran pangan.
Sedangkan petani garap lahan orang lain (petani gadai dan sakap), proporsi tidak
tahan pangan lebih besar daripada tahan pangan. Hal ini disebabkan karena, hasil
produksi usahatani yang diperoleh harus dibagi dengan pemilik lahan.
Berkurangnya hasil produksi yang diperoleh petani garap lahan orang lain
tersebut, berdampak pada kurang mampu memenuhi atau mencukupi beberapa
kebutuhan pangan dan bertambahnya pengeluaran pangan.
Tabel 23. Distribusi Rumah Tangga Tani Menurut Pangsa Pengeluaran Pangan
Berdasarkan Jumlah Keseluruhan Responden Penguasaan Lahan di
Kabupaten Pinrang Tahun 2012
Tahan Pangan Tidak Tahan
Uraian Total
(< 60%) Pangan (≥ 60%)
Pemilik (orang) 69 (73,40%) 25 (26,60%) 94 (100,00%)
Non Pemilik (orang) 34 (39,54%) 52 (60,46%) 86 (100,00%)
Total 103 (57,22%) 77 (42,78%) 180 (100,00%)
Garap lahan sendiri
84 (73,04%) 31 (26,96%) 115 (100,00%)
(orang)
Garap lahan orang lain
19 (29,23%) 46 (70,77%) 65 (100,00%)
(orang)
Total 103 (57,22%) 77 (42,78%) 180 (100,00%)
Sumber : Arifin, 2012.
155
Tabel 23 menjelaskan proporsi ketahanan pangan ditinjau dari petani
pemilik dan non pemilik, masih lebih besar tahan pangan daripada tidak tahan
pangan. Kontribusi petani pemilik terhadap tahan pangan lebih besar dibanding
dengan petani non pemilik. Sedangkan kontribusi petani non pemilik terhadap
tidak tahan pangan lebih besar dibanding dengan petani pemilik.
Berdasarkan Tabel 23 proporsi ketahanan pangan pada petani garap lahan
sendiri dan petani garap lahan orang lain masih lebih besar tahan pangan daripada
tidak tahan pangan. Kontribusi petani garap lahan sendiri terhadap tahan pangan
lebih besar dibanding dengan petani garap lahan orang lain. Kontribusi petani
garap lahan orang lain terhadap tidak tahan pangan lebih besar dibanding dengan
petani garap lahan sendiri.
Tabel 24. Rata-rata Pangsa Pengeluaran Pangan Berdasarkan Penguasaan Lahan
di Kabupaten Pinrang Tahun 2012 Berdasarkan Uji t
Uraian Pangsa Pengeluaran Pangan t-hitung
A. Status Pemilikan :
Pemilik (orang) 94 (58,27 = TP) 2.195 ***
Non Pemilik (orang) 86 (62,18 = TTP)
B. Status Penguasaan
Garap lahan sendiri (orang) 115 (56,95 = TP) 5,017 ***
Garap lahan orang lain (orang) 65 (65,77 = TTP)
Sumber : Arifin, 2012.
Keterangan :
TP = Tahan Pangan
TTP = Tidak Tahan Pangan
*** = signifikan pada α : 1%
Berdasarkan Tabel 24 menjelaskan bahwa terjadi perbedaan pangsa
pengeluaran pangan antara petani pemilik dengan petani non pemilik. Hasil uji t
menunjukkan petani pemilik lebih kecil pangsa pengeluaran pangan dibanding
dengan petani non pemilik. Berarti petani pemilik lebih tahan pangan daripada
petani non pemilik. Perbedaan tersebut disebabkan petani non pemilik lebih
banyak mengalokasikan pendapatan yang diperoleh dari hasil usahatani dan non
usahatani untuk memenuhi konsumsi pangan. Kontribusi petani penyakap paling
besar menyebabkan petani non pemilik menjadi tidak tahan pangan. Petani
penyakap sebagian besar adalah petani yang kurang mampu dan lebih banyak
156
berharap dari usahataninya sebagai kebutuhan pokok. Demikian juga produksi
hasil usahatani yang diperoleh petani penyakap harus dibagi dua dengan pemilik
lahan, sehingga berdampak pada kekurangan dalam pemenuhan kebutuhan
konsumsi pangan.
Demikian juga yang tersaji Tabel 24, dimana terjadi perbedaan pangsa
pengeluaran pangan antara petani garap lahan sendiri dengan petani garap lahan
orang lain. Hasil uji t menunjukkan petani garap lahan sendiri lebih kecil pangsa
pengeluaran pangan dibanding dengan petani garap lahan orang lain. Berarti
petani garap lahan sendiri lebih tahan pangan daripada petani garap lahan orang
lain. Perbedaan tersebut disebabkan petani garap lahan orang lain lebih banyak
mengalokasikan pendapatan yang diperoleh dari hasil usahatani dan non usahatani
untuk memenuhi konsumsi pangan.
158
(pengeluaran) pangan berkurang dan lebih memilih pada makanan sehat dan
mengurangi asupan kalori atau karbohidrat.
2. Pendidikan
Koefisien regresi pendidikan (Ln PP) sebesar 0,037, hasil uji t signifikan
pada tingkat kepercayaan 95 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan
berpengaruh nyata dan positif terhadap ketahanan pangan. Berarti setiap kenaikan
pendidikan sebesar 1 persen akan menaikkan ketahanan pangan sebesar 0,037
persen. Pendidikan dapat merubah sikap dan perilaku rumah tangga dalam
memenuhi kebutuhannya. Makin tinggi tingkat pendidikan maka makin mudah
menerima informasi dan inovasi baru yang dapat merubah pola konsumsinya
(Anonim, 2009). Dengan pengetahuan tersebut, maka dapat mengatur pola
konsumsi yang dapat memenuhi kecukupan energi sesuai dengan yang diharapkan
sehingga menjadi tahan pangan. Makin tinggi tingkat pendidikan formal maka
kemungkinan mempunyai tingkat pendapatan yang relatif lebih tinggi
(Simanjuntak, 1985). Tingkat pendidikan dapat diinterpretasikan sebagai bentuk
pelaksanaan investasi sumber daya manusia. Tingkat pendidikan menentukan
pilihan bahan makanan yang dikonsumsi, artinya tingkat pendidikan yang tinggi
berarti pengetahuan tentang komoditas yang tepat akan menambah peluang
terhadap tahan pangan. Tingkat pendidikan yang tinggi berarti dapat menentukan
pilihan alokasi pendapatan untuk pengeluaran pangan dan non pangan. Rumah
tangga yang tidak mampu mengalokasikan pendapatan untuk pengeluaran pangan
dan non pangan memliki peluang tidak tahan pangan lebih besar.
3. Pengalaman Berusahatani
Koefisien regresi pengalaman berusahatani (Ln PUT) sebesar 0,126, hasil
uji t signifikan pada tingkat kepercayaan 90 persen. Hal ini menunjukkan bahwa
pengalaman berusahatani berpengaruh nyata dan positif terhadap ketahanan
pangan. Berarti setiap penambahan pengalaman berusahatani sebesar 1 persen
akan menaikkan ketahanan pangan sebesar 0,126 persen. Hal ini menunjukkan
bahwa semakin lama berusahatani maka akan semakin berpengalamam dalam
mengelola usahataninya, sehingga produksi yang dihasilkan juga akan lebih
meningkat. Apabila produksi yang dihasilkan oleh rumah tangga tani meningkat,
159
maka akan meningkatkan ketahanan pangan. Hasil produksi yang dihasilkan dari
usahataninya dapat digunakan sebagai tabungan untuk mengurangi pengeluaran
konsumsi terutama kebutuhan pokok bahan makanan.
4. Jumlah Tanggungan Keluarga
Koefisien regresi jumlah tanggungan keluarga (Ln JTK) sebesar -0,316,
hasil uji t signifikan pada tingkat kepercayaan 99 persen. Hal ini menunjukkan
bahwa jumlah tanggungan keluarga berpengaruh nyata dan negatif terhadap
ketahanan pangan. Berarti setiap penambahan jumlah tanggungan keluarga
sebesar 1 persen akan menurunkan ketahanan pangan sebesar 0,316 persen. Hal
ini berarti jumlah anggota rumah tangga menentukan peluang tingkat ketahanan
pangan dan jumlah anggota keluarga besar sangat mempengaruhi porsi kecukupan
bahan pangan masing-masing anggota rumah tangga. Jumlah anggota rumah
tangga berpengaruh negatif terhadap tingkat ketahanan pangan rumah tangga,
semakin besar jumlah anggota rumah tangga maka rumah tangga akan semakin
tidak tahan pangan. Semakin besar jumlah anggota keluarga berdampak pada
semakin banyak bagian pendapatan dibelanjakan untuk pangan, atau semakin
besar proporsi pengeluaran rumah tangga untuk pangan, dan akan berakibat pada
keadaan semakin tidak tahan pangan. Sebaliknya, semakin kecil jumlah anggota
rumah tangga, semakin kecil pula bagian pendapatan dibelanjakan untuk pangan,
dan membawa pada keadaan semakin tahan pangan.
5. Pendapatan
Koefisien regresi pendapatan (Ln PDT) sebesar 0,185, hasil uji t signifikan
pada tingkat kepercayaan 90 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pendapatan
berpengaruh nyata dan positif terhadap ketahanan pangan. Berarti setiap
penambahan pendapatan sebesar 1 persen akan menaikkan ketahanan pangan
sebesar 0,185 persen. Pendapatan merupakan faktor utama dalam ketahanan
pangan rumah tangga. semakin tinggi pendapatan rumah tangga, maka rumah
tangga akan semakin tahan pangan. Dengan pendapatan tinggi yang dimiliki maka
rumah tangga mempunyai daya beli atau kemampuan untuk membeli segala
keperluan rumah tangganya, mempunyai kemampuan membeli pangan dan
fasilitas lain (pendidikan, perumahan, kesehatan, dan lain-lain) yang dapat
160
mempengaruhi status gizi (Suhardjo, 1986). Semakin tinggi pendapatan maka
semakin tinggi daya beli sehingga semakin banyak jumlah dan macam barang
yang dapat dibeli, termasuk jumlah dan macam kualitas pangan yang dapat dibeli.
Semakin banyak jumlah dan macam pangan yang dapat dibeli maka tingkat
ketahanan pangan akan semakin tinggi. Ketika pendapatan rumah tangga
meningkat, maka peluang rumah tangga ke arah tahan pangan lebih besar.
Sebaliknya pendapatan rendah menyebabkan daya beli rendah, sehingga tidak
mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan, keadaan ini membawa
pada tingkat ketahanan pangan yang rendah. Pendapatan tetap atau turun, rumah
tangga cenderung melakukan strategi dengan mengurangi pengeluaran non
pangan agar tetap berada pada tingkat tahan pangan. Tetapi jika pendapatan tidak
cukup untuk alokasi pengeluaran rumah tangga maka peluang ke arah tidak tahan
pangan lebih besar.
6. Harga Beras
Koefisien regresi harga beras (Ln HB) sebesar -0,184, hasil uji t signifikan
pada tingkat kepercayaan 90 persen. Hal ini menunjukkan bahwa harga beras
berpengaruh nyata dan negatif terhadap ketahanan pangan. Berarti setiap
penambahan harga beras sebesar 1 persen akan menurunkan ketahanan pangan
sebesar 0,184 persen. Rumah tangga dengan pendapatan rendah daya beli
terhadap produk beras berpengaruh terhadap peluang rumah tangga ke arah tidak
tahan pangan, karena beras sebagai makanan pokok apabila mengalami kenaikan
harga, maka rumah tangga tetap membelinya untuk pemenuhan kebutuhan bahan
makan. Harga pangan berpengaruh negatif terhadap tingkat ketahanan pangan
rumah tangga, semakin tinggi harga pangan maka rumah tangga akan semakin
tidak tahan pangan. Harga pangan yang meningkat dengan asumsi pendapatan
tetap, maka secara riil pendapatan akan menurun. Dengan menurunnya
pendapatan riil maka rumah tangga menghadapi keterbatasan dalam
mengkonsumsi jumlah pangan, atau dalam rangka mempertahankan jumlah
pangan tertentu yang dikonsumsi maka rumah tangga mengurangi pangan lainnya
yang akan berakibat mengurangi macam pangan yang dikonsumsi. Dengan
tindakan tersebut maka ketahanan pangan rumah tangga menjadi rendah.
161
7. Harga Gula
Koefisien regresi harga gula (Ln HG) sebesar -0,993, hasil uji t signifikan
pada tingkat kepercayaan 99 persen. Hal ini menunjukkan bahwa harga gula
berpengaruh nyata dan negatif terhadap ketahanan pangan. Berarti setiap
penambahan harga gula sebesar 1 persen akan menurunkan ketahanan pangan
sebesar 0,993 persen. Gula merupakan bagian kebutuhan pokok yang harus
dipenuhi, dan apabila mengalami kenaikan harga maka rumah tangga petani tetap
membelinya untuk pemenuhan kebutuhan. Gula juga merupakan bagian barang
yang bersifat komplementer terhadap barang lain seperti kopi, teh dan susu.
Sebagian besar rumah tangga petani di daerah penelitian adalah mengkonsumsi
atau minum kopi dan sebagian kecil konsumsi atau minum teh dan susu. Hampir
setiap hari konsumsi minum kopi, teh dan susu sudah menjadi kebiasaan terutama
kepala keluarga sebelum melakukan aktivitas sehari-hari.
8. Harga Sayur
Variabel harga sayur (Ln HS) tidak berpengaruh nyata terhadap ketahanan
pangan, hal ini disebabkan karena harga sayur yang diperoleh rumah tangga
petani tidak jauh berbeda. Sayur adalah makanan yang banyak dikonsumsi
masyarakat dan juga terjangkau bagi setiap lapisan masyarakat jika dikonsumsi
dalam jumlah banyak. Rumah tangga petani juga tidak sulit mendapatkan sayur,
karena sebagian besar rumah tangga petani menanam sayur dan kalaupun tidak
menanam, maka rumah tangga lain dapat memberikan dan membagikan sayur ke
yang lain atau membeli dengan harga yang murah.
9. Harga Daging
Variabel harga daging (Ln HD) tidak berpengaruh nyata terhadap
ketahanan pangan, hal ini disebabkan karena harga daging yang diterima rumah
tangga petani belum terjangkau secara merata dan hanya sebagian kecil yang
mampu menjangkau harga daging tersebut. Konsumsi daging bagi rumah tangga
petani di daerah penelitian terjadi pada waktu tertentu saja yaitu hari raya
keagamaan, perayaan pernikahan dan syukuran. Konsumsi daging dalam setiap
bulan terjadi hanya bagi rumah tangga petani yang mempunyai pendapatan lebih
tinggi.
162
10. Harga Ikan
Koefisien regresi harga ikan (Ln HI) sebesar -0,335, hasil uji t signifikan
pada tingkat kepercayaan 99 persen. Hal ini menunjukkan bahwa harga ikan
berpengaruh nyata dan negatif terhadap ketahanan pangan. Berarti setiap
penambahan harga ikan sebesar 1 persen akan menurunkan ketahanan pangan
sebesar 0,335 persen. Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia
yang harus dipenuhi setiap saat dalam jumlah dan kualitas yang cukup untuk
eksistensi hidup. Ikan merupakan bagian dari bahan pangan yang harus dipenuhi
oleh setiap rumah tangga petani. Berdasarkan hal tersebut, di daerah penelitian
ikan sudah menjadi kebiasaan sebagai makanan sehari-hari di konsumsi. Oleh
karena itu, apabila harga ikan mengalami kenaikan harga maka berdampak pada
penurunan ketahanan pangan rumah tangga petani. Untuk mempertahankan
jumlah pangan tertentu yang dikonsumsi, maka rumah tangga petani mengurangi
pangan lainnya yang akan berakibat mengurangi macam pangan dikonsumsi.
11. Harga Telur
Variabel harga telur (Ln HT) tidak berpengaruh nyata terhadap ketahanan
pangan, hal ini disebabkan karena harga telur yang diperoleh rumah tangga petani
tidak jauh berbeda dan relatif lebih mudah mendapatkan dan memperoleh telur.
Sebagian rumah tangga petani mengusahakan ternak ayam dan itik petelur,
sehingga mempermudah mendapatkan telur dengan harga relatif murah dibanding
dengan harga pasaran. Telur adalah makanan yang dikonsumsi rumah tangga
petani sebagai makanan tambahan bukan merupakan bagian dari makanan pokok
dan juga terjangkau bagi setiap lapisan masyarakat.
12. Harga Minyak Goreng
Variabel harga minyak goreng (Ln HMG) tidak berpengaruh nyata
terhadap ketahanan pangan, hal ini disebabkan karena harga minyak goreng yang
diperoleh rumah tangga petani tidak jauh berbeda dan relatif lebih mudah
mendapatkan dan memperoleh. Sebagian rumah tangga petani mengusahakan dan
membuat minyak goreng yang bahan dasarnya dari kelapa. Harga minyak goreng
yang diproduksi rumah tangga petani di lokasi penelitian relatif lebih murah
dibandingkan dengan harga minyak goreng yang dipasarkan pada umumnya.
163
13. Status Kepemilikan Lahan
Koefisien regresi dummy status kepemilikan lahan (D1) sebesar 0,139,
hasil uji t signifikan pada tingkat kepercayaan 99 persen. Hal ini menunjukkan
bahwa status kepemilikan lahan berpengaruh nyata dan positif terhadap ketahanan
pangan. Berarti setiap penambahan status kepemilikan lahan sebesar 1 persen
akan menaikkan ketahanan pangan sebesar 0,139 persen. Status kepemilikan lahan
adalah status antara petani pemilik dengan petani non pemilik. Dapat diartikan
bahwa baik petani pemilik maupun petani non pemilik berdampak terhadap
ketahanan pangan. Namun dampak ketahanan pangan petani non pemilik lebih
rendah daripada petani pemilik. Hal ini disebabkan karena kebanyakan petani non
pemilik adalah petani kurang mampu. Sedangkan petani pemilik mampu menutupi
alokasi pengeluaran konsumsi pangan dari pendapatan hasil usahatani dan
mendapatkan kelebihan pendapatan dari hasil usahatani tersebut sebagai tabungan.
14. Status Penguasaan Lahan
Variabel dummy status penguasaan lahan (D2) tidak berpengaruh nyata
terhadap ketahanan pangan, dan status penguasaan lahan yang dimaksud adalah
petani garap lahan sendiri dan petani garap lahan orang lain. Artinya antara petani
garap lahan sendiri dan petani garap lahan orang lain tidak terdapat perbedaan
peluang tahan pangan. Hal ini disebabkan karena status penguasaan lahan rumah
tangga petani tidak berpengaruh terhadap besar kecilnya produksi yang dihasilkan
dari usahatani dan non usahatani. Status penguasaan lahan lebih fokus mengelola
usahatani yang diusahakan secara baik dan efisien untuk mendapatkan produksi
tinggi dan mengalokasikan waktu lain untuk bekerja di non usahatani.
164
DAFTAR PUSTAKA
Ariani, M., 2004. Analisis Perkembangan Konsumsi Pangan dan Gizi. ICASERD
Working Paper No. 67.
Ariani, M., dan Rachman, H.,2003. Analisis Tingkat Ketahanan Pangan Rumah
Tangga. Media Gizi dan Keluarga. Bogor. 27 (2) : 1-6.
Astuti, Ari, 1994. Analisis Risiko dan Perilaku Petani Bawang Putih di
Kabupaten Bantul. Tesis. Program Pascasarjana UGM. Yogyakarta.
165
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2007. Rencana Aksi Nasional
Pangan dan Gizi 2006 - 2010. Jakarta.
Baliwati, Y. F., Khomsan, A., Dwiriani, C. M., 2004. Pengantar Pangan dan
Gizi. Penebar Swadaya. Jakarta.
Bappenas dan PSE-KP. 2006. Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian.
Kerjasama Bappenas dan PSE-KP. Jakarta.
Barlowe, R., 1978. Land Resource Economics : The Economics of Real Estate.
3rd. Prentice Hall. USA.
Bishop, C.E., dan W.D. Toussaint, 1986. Pangantar Analisis Ekonomi Pertanian.
Terjemahan Wisnuaji. Cetakan Kedua. Mutiara Sumber Widya.
Jakarta.
Boediono, 1982. Pengantar Ilmu Ekonomi. No. 1, Seri Sinopsis, Edisi 2. BPFE.
Yogyakarta.
Brown, M.L., 1979. Farm Budgets, from Farm Income Analysis to Agriculture
Project Analysis. The Hopkins University Press. Baltimore & London.
Darmadi, 1997. Perilaku Petani terhadap Risiko pada Usahatani Lombok (Studi
Kasus di Kecamatan Cangkirangan Sleman). Tesis. Pascasarjana
UGM. Yogyakarta.
166
Darsono, 1986. Masalah Perjanjian Bagi Hasil. Jurnal Agro Ekonomi. Jurusan
Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta. April 1986 : 52-59.
Doll, J. P., dan F. Orazem, 1984. Production Economic Theory with Aplication.
John Willey and Sons Inc. New York.
Fivintari, Francy R., 2003. Analisis Risiko Usahatani Padi Secara Organik di
Kabupaten Bantul. Tesis. Pascasarjana UGM. Yogyakarta.
Just, R. E., dan R. D. Pope, 1976. On The Relationship of Input Decision and
Risk. Roumasset, J. A., Boussard, J. M. Singh, I. (eds). Risk
Uncertainty and Agricultural Development. Agricultural Development
Council. New York. USA : 178-197.
Handewi, P.S. Rahcman, Mewa Ariani, dan T.B. Purwantini, 2005. Distribusi
Provinsi di Indonesia Menurut Derajat Ketahanan Pangan Rumah
Tangga. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
Bogor.
167
Hasan, I., 2002. Pokok-pokok Materi Teori Pengambilan Keputusan. Ghalia
Indonesia. Jakarta.
Hartono, S., dan Iwamoto, N., 2002. Risk and Rice Farming Intensification in
Rural Java. Jpn. J. Rural Econ. 4 : 32-43.
Hayami, Yujiro and Kikuchi, Masao, 1981. Asian Village Economy at The
Crossroads, An Economic Approach to Instituonal Change.
University of Tokyo Press.
Hernanto, 1984. Pola Pemilikan dan Penguasaan Lahan di Jawa Timur. Forum
Penelitian Agro Ekonomi. 3 (2) : 12-18. Pusat penelitian Agro
Ekonomi. Departemen Pertanian.
Istiyanti, Eni, 1999. Analisis Pendapatan dan Perilaku Petani Terhadap Risiko
dalam Pengembangan Usahatani Bawang Merah. Studi Kasus di
Kecamatan Panjatan kabupaten Kulon Progo. Tesis. Pascasarjana
UGM. Yogyakarta.
Jamison, D. T., and L. J. Lau, 1982. Farmer Education and Farm Efficiency. A
World Bank Research Publication. The Johns Hopkins University
Press. Baltimore.
168
Kariyasa, Ketut dan Sinaga, Bonar M., 2004. Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Perilaku Pasar Padi di Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi (JAE). 22 (2)
Oktober 2004.
Kasryno, Faisal, A.M. Fagi, dan E. Pasandaran, 2003. Kebijakan Produksi Padi
dan Diversifikasi Pertanian. Buku I. Ekonomi Padi dan Beras
Indonesia. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.
Lamba, Since Erna, 2006. Ketahanan Pangan Rumah Tangga (Studi Kasus
Rumah Tangga Petani Jagung di Desa Rumbia Kabupaten
Jeneponto). J. Sains & Teknologi. 6 (2) : 87 - 102.
Lestari, Eny, 2007. Perubahan Sistem Penguasaan Lahan dan Hubungan Kerja
Agraris pada Usahatani Padi Sawah di Kecamatan Polanharja
Kabupaten Klaten Jawa Tengah.
Matheson, D. M., Varady, J., Varady, A., and Killen, J. D., 2002. Household Food
Security and Nutritional Status of Hispanic Children in the Fifth
Grade. Am J Clin Nutr. 76: 210-217.
Mufriantie, Fithri, 2005. Analisis Risiko Berbagai Pola Tanam pada Lahan
Sawah di Kecamatan Cangkingan Kabupaten Sleman. Tesis.
Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Pappas, JL., Hirsehiy, M., 1995. Ekonomi Manajerial. Jilid 2. Binaputra Aksara.
Jakarta.
Purwantini, Tri Bastuti, Handewi, P. S., dan Yuni Marisa, 2000. Analisis
Ketahanan Pangan Regional dan Tingkat Rumah Tangga (Studi
Kasus di Provinsi Sulawesi Utara). Pusat Analisis Sosial Ekonomi
dan Kebijakan Pertanian. Bogor.
Roumasset, J. A., 1976. Risk Aversion, Indirect Utility Function Market Failure,
In : Roumasset, J. A., Boussard, J. M., Singh, I. (eds) Risk and
Uncertainty an Agriculture Development. Agriculture Development
Council. New York : 91-113.
Sajogyo, 1982. Lapisan Masyarakat yang Paling Lemah di Pedesaan. Prisma, No.
3, April. Jakarta.
170
Santoso dan Hermanto, 1983. Pola Pemilikan Lahan dan Produktivitas Tenaga
Kerja pada Berbagai Daerah dengan Kondisi Pengairan yang
Berbeda. Forum Penelitian Agro Ekonomika. Vol. 1 No. 2. Januari
1983. Pusat Penelitian Agro Ekonomika. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
Saptana, Ashari dan Sayaka B., 2008. Struktur Penguasaan dan Kelembagaan
Lahan di Lahan Sub Optimal Implikasinya Bagi Peningkatan
Produksi Padi. Jurnal Ilmiah SOCA. 8 (3) : 230-242.
Senjawati, N. D., 2008. Analisis Risiko Usaha Tani Berbasis Padi di Kabupaten
Kulon Progo. Disertasi. Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta.
Sing, I. J., Lyn Squire, dan John Strauss, 1986. Agricultural Household Models
Extensions, Application, and Policy. The John Hopkins University
Press. Baltimore and London.
Sriyadi, 2008. Efisiensi Relatif dan Perilaku Petani Terhadap Risiko Usahatani
Bawang Putih dan bawang Merah di Kabupaten Karanganyar.
Disertasi. Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Studdert, L. J., Frongillo, E. A., and Valois, P., 2001. Household Food Insecurity
was Prevalent in Java During Indonesia’s Economic Crisis. J. Nutr.
131: 2685-2691.
171
Soekartawi, 2003. Teori Ekonomi Produksi dengan Pokok Bahasan Analisis
Fungsi Produksi Cobb-Douglas. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Soekartawi, 1994. Prinsip dasar Ekonomi, Teori dan Aplikasi. PT Raja Grafindo
Persada. Jakarta.
Soekartawi, Soeharjo, J. L., Dillon dan J. B. Hardaker, 1986. Ilmu Usahatani dan
Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. UI Press. Jakarta.
Soekirman, 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan
Nasional. Jakarta.
Sukrino, S., 1999. Pengantar Teori Mikroekonomi. PT. Raja Grafindo Persada.
Jakarta.
172
Supriyati, Saptana, dan Supriyatna Y., 2002. Hubungan Penguasaan Lahan dan
Pendapatan Rumah Tangga di Pedesaan (Kasus di Propinsi Jawa
Tengah, Sumatera Barat dan Kalimantan Barat). Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Suwarto, 2007. Kelembagaan Lahan dan Tenaga Kerja pada Usahatani Tanaman
Pangan di Kabupaten Gunung Kidul Zone Selatan. Disertasi. Sekolah
Psacasarjana. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Syahyuti, 2011. Bank Syahriah dan Bagi Hasil di Masyarakat Kita. Pusat Analisis
Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. http://teori
penyakapan.com. Diakses tanggal : 13 April 2011.
Widiyanto, 2001. Perilaku Petani Terhadap Risiko Pilihan Pola Tanam di Desa
Wukirsari Kecamatan Cangkingan Kabupaten Sleman. Tesis. Program
Pasca Sarjana UGM. Yogyakarta.
Widodo, Sri, 2006. Strategi Mengatasi Rawan Pangan : 1-7. Seminar Nasional
Forum Komunikasi Kebijakan dan Pusat Studi Asia Pasifik -
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
173
Widowati, S., dan Minantyorini, 2005. Diversifikasi pangan Sebagai Upaya
Mengatasi Kerawanan Pangan. Artikel Pangan edisi No
45/XIV/Juli/2005.
Wiradi dan Makali, 1984. Penguasaan Tanah dan Kelembagaan. SDP – SAE.
Bogor.
Yotopoulus, P.A., and Lau, 1972. A Test for Relative Efficiency and Application
Indian Agriculture. The American economic Review. 63 (1) : 214-
223.
174
DAFTAR SINGKATAN
175
INDEKS SUBYEK
Halaman
Bagi hasil 31
Benih 52, 57
Biaya tetap 42, 67
Biaya variabel 42, 67
Cobb-Douglas 38
Efisien 25
Faktor biologis 39
Faktor ketahanan pangan 104
Faktor pendapatan 87, 94
Faktor produksi 39, 42, 72, 79
Faktor sosial ekonomi 39
Faktor risiko pendapatan 89, 95
Faktor risiko produksi 73, 80
Fungsi keuntungan 44
Fungsi produksi 37
Fungsi produksi empiris 48
Fungsi produksi stokastik 48
Garap lahan orang lain 70
Garap lahan sendiri 70
Hama dan penyakit 53
Harga input 43
Individu 36
Input 37, 52
Input tetap 38
Input variabel 38
Keluarga 36
Kepemilikan 29
Ketahanan pangan 4, 19, 32, 101
Ketersediaan pangan 33
Ketidakpastian 44
Keuntungan 42, 61
Konsumsi 36
Lahan 7
Luas lahan 73
Nilai produksi marginal 43
Output 37
Padi 5
176
Pangan 9
Pedesaan 35
Pembangunan pertanian 1
Pemupukan 52
Pendapatan 24, 40, 52, 61
Pendapatan ekonomi 40
Pendapatan finansial 40
Pendapatan kotor 41
Pendekatan keuntungan 41
Pendekatan pendapatan 40
Penerimaan usahatani 42
Pengeluaran usahatani 40
Penguasaan lahan 2, 11, 16, 23
Penyakapan 27
Perkotaan 35
Pestisida 53, 59
Petani gadai 53
petani non pemilik 55, 70
Petani pemilik 55, 70
Petani pemilik-penggarap 53
Petani sakap 53
Produksi 37, 52, 60
Produktivitas 37, 60
Proporsi 35
Pupuk 52, 58
Risiko 3, 16, 44
Risiko harga 47
Risiko pendapatan 85
Risiko produksi 47, 70
Rumah tangga 34
Tenaga kerja 54, 58, 74
Usahatani 26
Variabel dependen 40
177
BIODATA PENULIS
178
Kabupaten Pinrang, tahun 2012; Risiko Produksi dan Pendapatan Kepemilikan
Lahan Daerah Sentra Produksi Padi di Kabupaten Pinrang, tahun 2013; Ketahanan
Pangan Rumah Tangga Tani Berdasarkan Kepemilikan dan Penguasaan Lahan di
Daerah Sentra Produksi Padi Kabupaten Pinrang, tahun 2013; Risiko Produksi
dan Ketahanan Pangan Sistem Penguasaan Lahan di Daerah Sentra Padi
Kabupaten Pinrang, tahun 2014; Ketahanan Pangan dan Kontribusi Usahatani
Padi pada Sawah Tadah Hujan di Kabupaten Maros, tahun 2015; Faktor-faktor
Produksi Sistem Penguasaan Lahan di Daerah Sentra Usahatani Padi, tahun 2015;
dan Faktor-faktor Pendapatan Usahatani Padi Sistem Penguasaan Lahan di Daerah
Sentra Padi, tahun 2016. Penulis juga aktif melakukan penulisan ilmiah dan telah
diterbitkan di beberapa jurnal ilmiah nasional dan jurnal internasional. Artikel
yang terbit di International Journal of Science & Research adalah “Income and
Foof Security Land Tenure System in Regional Center of Rice”, (Februari, 2017)
dan “Application of Polyclonal Planting System of Cocoa (Theobroma cacao L.)
by Side Grafting Technology in South Sulawesi-Indonesia”, (Oktober, 2017).
Demikian juga penulis sudah menerbitkan buku yaitu Pengantar Ekonomi
Pertanian (2015), Tanaman Herbal Kebun Raya Pucak (2015), Pengantar
Agroindustri (2016) dan Pengantar Agribisnis (2017) yang diterbitkan oleh
Mujahid Press. Buku Penguasaan Lahan dan Ketahanan Pangan adalah buku
kelima yang diterbitkan.
179