Anda di halaman 1dari 136

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan buku ini dengan judul
“Penguasaan Lahan dan Ketahanan Pangan”. Tujuan penulisan buku ini untuk
berbagi pengetahuan dengan para pembaca dan menambah wawasan serta
membantu khalayak umum dan mahasiswa, khususnya Fakultas Pertanian, dan
fakultas lain untuk mengetahui dan memahami isi dari buku ini.
Buku ini disusun dengan sederhana, mudah dimengerti dan dipahami yang
didasarkan pada kebutuhan dalam proses belajar mengajar baik di tingkat
perguruan tinggi maupun pembaca umum. Penulis merasakan masih banyak
kekurangan dalam buku ini sebagai bahan referensi. Dengan menggali dan
menambah referensi lain yang sudah ada, diharapkan buku ini akan banyak
memberikan manfaat dan berguna untuk perkembangan ilmu pengetahuan.
Penulis menyadari sepenuhnya masih banyak kekurangan dan kesalahan
walaupun sudah dengan hati-hati dan cermat, bahwa buku ini bukanlah
merupakan sebuah kesempurnaan. Oleh karena itu, masukan, saran, dan kritik
konstruktif dari para pembaca sangat kami harapkan untuk kesempurnaan buku ini
di waktu yang akan datang. Akhirnya, semoga upaya penulis dalam menulis buku
ini memberikan kebaikan, pahala, dan amal kebajikan yang dapat bermanfaat di
dunia dan akhirat serta mendapat rahmat dari Allah SWT. Amin Ya Rabbal
Alamin.

Makassar, Januari 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL ....................................................................... i


KATA PENGANTAR ........................................................................ ii
DAFTAR ISI ........................................................................................ iii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................... v
DAFTAR TABEL ............................................................................... vi

BAB 1. PENDAHULUAN ................................................................. 53

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA PENGUASAAN LAHAN


DAN KETAHANAN PANGAN .......................................... 63
A. Penguasaan Lahan dan Produksi ........................................ 63
B. Penguasaan Lahan dan Risiko ............................................. 68
C. Ketahanan Pangan Rumah Tangga ..................................... 71

BAB 3. PERSPEKTIF TEORITIS PENGUASAAN LAHAN


DAN KETAHANAN PANGAN ......................................... 75
A. Penguasaan Lahan .............................................................. 75
B. Penyakapan (Sakap) ............................................................ 79
C. Ketahanan Pangan .............................................................. 84
D. Ketahanan Pangan Rumah Tangga ..................................... 86

BAB 4. PRODUKSI, PENDAPATAN DAN RISIKO ................... 90


A. Produksi .............................................................................. 90
B. Pendapatan Usahatani dan Fungsi Keuntungan ................. 93
C. Risiko dan Ketidakpastian dalam Pertanian ....................... 97
D. Fungsi Produksi Berisiko ................................................... 101

BAB 5. PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI


PADI BERDASARKAN PENGUASAAN LAHAN .......... 105
A. Penggunaan Faktor Produksi Usahatani Padi ..................... 105
B. Penggunaan Faktor Produksi dan Produksi Usahatani
Padi Berdasarkan Penguasaan Lahan ................................. 107
C. Pendapatan Usahatani Padi Berdasarkan
Penguasaan Lahan .............................................................. 114

BAB 6. RISIKO PRODUKSI DAN PENDAPATAN ..................... 123


A. Risiko Produksi Usahatani Padi Berdasarkan
Penguasaan Lahan .............................................................. 123
B. Faktor yang Mempengaruhi Risiko Produksi ..................... 125
C. Risiko Pendapatan Usahatani Padi Berdasarkan
Penguasaan Lahan .............................................................. 138
D. Faktor yang Mempengaruhi Risiko Pendapatan ................ 140

iii
BAB 7. KETAHANAN PANGAN BERDASARKAN
PENGUASAAN LAHAN ...................................................... 154
A. Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga Tani ................. 154
B. Faktor yang Mempengaruhi Ketahanan Pangan
Rumah Tangga Tani ............................................................. 157

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 165


DAFTAR SINGKATAN ...................................................................... 175
INDEKS SUBYEK ................................................................................ 176
BIODATA PENULIS ............................................................................ 178

iv
DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Model Pilihan Penguasaan Lahan (Kasryno (Yaya, 2002) ................ 82

v
DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi Sulawesi Selatan ....... 58

2. Luas Lahan Sawah Daerah Sentra Produksi Padi


Sulawesi Selatan ................................................................................. 59

3. Rata-rata Penggunaan Pupuk per Hektar Usahatani Padi


Berdasarkan Status Penguasaan Lahan di Kabupaten Pinrang
Tahun 2012 ......................................................................................... 105

4. Rata-rata Penggunaan Pestisida per Hektar Usahatani Padi


Berdasarkan Penguasaan Lahan di Kabupaten Pinrang
Tahun 2012 ......................................................................................... 106

5. Rata-rata Penggunaan Tenaga Kerja per Hektar Usahatani Padi


Berdasarkan Penguasaan Lahan di Kabupaten Pinrang
Tahun 2012 ......................................................................................... 107

6. Rata-rata Penggunaan Faktor Produksi dan Produksi


Usahatani Padi per Hektar Berdasarkan Penguasaan Lahan
di Kabupaten Pinrang Tahun 2012 ..................................................... 108

7. Rata-rata Penggunaan Faktor Produksi dan Produksi


Usahatani Padi per Hektar Berdasarkan Penguasaan Lahan
di Kabupaten Pinrang Tahun 2012 ..................................................... 109

8. Rata-rata Pendapatan Usahatani Padi per Hektar Berdasarkan


Penguasaan Lahan MT I dan MT II di Kabupaten Pinrang
Tahun 2012 ......................................................................................... 115

9. Rerata (MT I + MT II) Pendapatan Usahatani Padi per Hektar


Berdasarkan Penguasaan Lahan di Kabupaten Pinrang
Tahun 2012 ......................................................................................... 117

10. Rata-rata Pendapatan Usahatani Padi per Hektar Berdasarkan


Penguasaan Lahan MT I dan MT II di Kabupaten Pinrang
Tahun 2012 ......................................................................................... 119

11. Rerata (MT I + MT II) Pendapatan Usahatani Padi per Hektar


Berdasarkan Penguasaan Lahan di Kabupaten Pinrang
Tahun 2012 ......................................................................................... 121

vi
12. Nilai F dan Koefisien Variasi Produksi Usahatani Padi
Berdasarkan Penguasaan Lahan di Kabupaten Pinrang
Tahun 2012 ......................................................................................... 123

13. Hasil Analisis Regresi Faktor-faktor yang Mempengaruhi


Produksi MT I .................................................................................. 125

14. Hasil Analisis Regresi Faktor-faktor yang Mempengaruhi


Risiko Produksi MT I ........................................................................ 127

15. Hasil Analisis Regresi Faktor-faktor yang Mempengaruhi


Produksi MT II ................................................................................ 132

16. Hasil Analisis Regresi Faktor-faktor yang Mempengaruhi


Risiko Produksi MT II ...................................................................... 133

17. Nilai F dan Koefisien Variasi Pendapatan Usahatani Padi


Berdasarkan Penguasaan Lahan di Kabupaten Pinrang
Tahun 2012 ......................................................................................... 140

18. Hasil Analisis Regresi Faktor-faktor yang Mempengaruhi


Pendapatan MT I ................................................................................ 141

19. Hasil Analisis Regresi Faktor-faktor yang Mempengaruhi


Risiko Pendapatan MT I .................................................................... 142

20. Hasil Analisis Regresi Faktor-faktor yang Mempengaruhi


Pendapatan MT II .............................................................................. 147

21. Hasil Analisis Regresi Faktor-faktor yang Mempengaruhi


Risiko Pendapatan MT II ................................................................... 148

22. Distribusi Rumah Tangga Tani Menurut Pangsa Pengeluaran


Pangan Berdasarkan Jumlah Masing-masing Responden
Penguasaan Lahan di Kabupaten Pinrang Tahun 2012 ..................... 154

23. Distribusi Rumah Tangga Tani Menurut Pangsa Pengeluaran


Pangan Berdasarkan Jumlah Keseluruhan Responden
Penguasaan Lahan di Kabupaten Pinrang Tahun 2012 ..................... 155

24. Rata-rata Pangsa Pengeluaran Pangan Berdasarkan Penguasaan


Lahan di Kabupaten Pinrang Tahun 2012 Berdasarkan Uji t ........... 156

25. Hasil Analisis Regresi Faktor-faktor yang Mempengaruhi


Ketahanan Pangan Rumah Tangga Tani di Kabupaten Pinrang
Tahun 2012 ....................................................................................... 158

vii
BAB 1
PENDAHULUAN

Hasil pembangunan pertanian selama tiga dasawarsa yang lalu dan


dampak krisis ekonomi, meyakinkan bahwa sektor pertanian telah mampu
berperan sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi nasional untuk
meningkatkan kesejahteraan penduduk dan menanggulangi kemiskinan serta
memantapkan ketahanan pangan nasional. Peran pertumbuhan berlangsung
melalui mekanisme: (1) terobosan teknologi maju menghemat biaya produksi dan
tenaga kerja, dana yang terhemat dimanfaatkan oleh sektor ekonomi lainnya; (2)
meningkatnya produksi pangan telah mengakibatkan harga produk turun, daya
saing produk non pertanian di pasar luar negeri meningkat, ekspor terpacu dan
pasar meluas, produk pertanian terjangkau oleh daya beli penduduk miskin; (3)
menurunnya impor berarti menghemat devisa dan meningkatnya ekspor
meningkatkan devisa yang bisa digunakan untuk impor barang modal dan jasa
bagi pembangunan sektor non pertanian; (4) meningkatnya pendapatan petani dan
masyarakat pedesaan berarti meningkatkan daya beli, maka desa merupakan pasar
potensial bagi produk dan jasa yang diproduksi sektor ekonomi lainnya (Kasryno
et al, 2003).
Pembangunan pertanian yang dikembangkan tidak terlepas oleh
ketersediaan sumber daya alam pertanian, disamping dibutuhkan sumberdaya
modal dan sumberdaya manusia, serta dukungan kebijakan mulai dari
perencanaan hingga implementasinya. Ketersediaan sumberdaya alam dan
sumberdaya manusia yang dikelola secara tepat akan merupakan strategi yang
sangat kuat didalam pembangunan pertanian. Oleh karena itu ketersediaan
sumberdaya alam terutama lahan dan sumberdaya manusia yang berkaitan dengan
ketenagakerjaan ikut berperan dalam pembangunan pertanian. Hal ini cukup
beralasan, karena sebagian besar penduduk yang bekerja disektor pertanian
tinggal di pedesaan dan bergantung pada ketersediaan lahan sebagai sumber
matapencaharian (Sugiarto, 2009).

53
Pembangunan pertanian di pedesaan yang bergantung pada sumberdaya
lahan sangat penting bagi petani maupun bagi pembangunan pertanian dan
ekonomi nasional secara keseluruhan. Oleh karena itu, peran lahan sangat penting
bukan hanya sebagai faktor produksi dan ekonomi, tetapi juga sebagai fungsi
sosial budaya dan religius. Kepemilikan lahan yang sempit menjadi salah satu
penyebab usahatani tidak efesien. Kondisi pemilikan yang demikian sangat rentan
terhadap alih fungsi lahan. Konversi lahan pertanian ke non pertanian
menyebabakan makin berkurangnya lahan pertanian dan menyebabkan
ketimpangan dalam distribusi lahan. Kurang terkontrolnya alih fungsi lahan
pertanian di luar pertanian menyebabkan lahan pertanian yang subur dan produktif
semakin terbatas.
Peranan kelembagaan penguasaan lahan yang secara dinamis mampu
mempengaruhi pengusaan lahan pada kondisi ketimpangan distribusi lahan yang
semakin sempit, mengakibatkan penggunaan komponen paket teknologi baru
kurang efisien dan akan semakin efisien pada penguasaan lahan yang luas.
Pranadji (2003), mengemukakan bahwa dengan peranan kelembagaan lahan dan
perkembangannya telah terjadi konsentrasi atau polarisasi oleh sekelompok kecil
orang, dan muncul rumahtangga yang tidak mempunyai lahan atau petani yang
berlahan sempit yang menguasai lahan kurang 0,10 hektar dan meningkatnya
jumlah petani yang memilik tanah diatas 2 hektar. Hasil Sensus Pertanian (1993),
menunjukkan bahwa ada kecenderungan yang semakin meningkat dari petani
berlahan sempit dibawah 0,5 hektar dalam piramida struktur pemilikan dan
penguasaan lahan di pedesaan. Kondisi ini di perkuat bahwa sekitar 88,00 persen
rumahtangga petani di Jawa mengusai lahan sawah kurang dari 0,50 hektar
(Sugiarto, 2009).
Penguasaan lahan dapat dijadikan sebagai gambaran pemerataan
penguasaan faktor utama di sektor pertanian. Perubahan struktur penguasaan
lahan pertanian akan berpengaruh terhadap kegiatan produksi pertanian baik dari
segi efisiensi usahatani maupun dari segi pendapatan usahatani. Keadaan
pemilikan lahan sering dijadikan suatu indikator bagi tingkat kesejahteraan
masyarakat, walaupun belum mencerminkan keadaan yang sebenarnya bagi
54
tingkat kesejahteraan itu sendiri. Namun pola pemilikan lahan dapat dijadikan
gambaran tentang pemerataan pengusahaan faktor produksi utama di sektor
pertanian, yang dapat dijadikan sumber pendapatan bagi pemiliknya (Hernanto,
1984).
Roumasset (1976) mengungkapkan bahwa teknologi usahatani yang
selama ini diyakini mampu meningkatkan produktivitas dan kualitas serta
meminimalkan risiko, ternyata menunjukkan hubungan yang nyata dalam
meningkatkan risiko. Faktor risiko seperti serangan hama dan penyakit, bencana
alam, iklim yang kurang menguntungkan, fluktuasi harga, dan sosial ekonomi
petani menyebabkan terjadinya senjang produktivitas. Dikemukakan oleh Herdt
(1971) bahwa dampak ketidakpastian hasil panen akan mengakibatkan produsen
enggan memasuki pasar produksi. Pengaruh perilaku demikian akan menyebabkan
senjang produktivitas yang semakin tinggi terutama pada negara-negara sedang
berkembang.
Dalam menghadapi risiko, petani menerapkan strategi yang berbeda-beda.
Umumnya, mereka menerapkan satu atau kombinasi dari beberapa strategi
berikut: (1) strategi produksi, mencakup diversifikasi atau memilih usahatani yang
pembiayaan dan pengelolaan produksinya fleksibel, yaitu dengan menerapkan
strategi diversifikasi usahatani; (2) strategi pemasaran, misalnya menjual hasil
panen secara berangsur, memanfaatkan sistem kontrak untuk penjualan produk
yang akan dihasilkan, dan melakukan perjanjian harga antara petani dan pembeli
untuk hasil panen yang akan datang. Upaya yang banyak dilakukan petani
Indonesia adalah dengan cara menjual hasil panen secara berangsur; (3) strategi
finansial, mencakup melakukan pencadangan dana yang cukup, melakukan
investasi pada kegiatan berdaya hasil tinggi, dan membuat proyeksi arus tunai
berdasarkan perkiraan biaya produksi, harga jual produk, dan produksi; (4)
pemanfaatan kredit informal, seperti meminjam uang atau barang kebutuhan
pokok dari pedagang atau pemilik modal perorangan (Anonim, 2009).
Adanya risiko menyebabkan petani pada hakekatnya bersifat rasional
enggan untuk menanggung risiko terlebih petani kecil. Petani sebagai subyek
pengambil keputusan akan enggan untuk meningkatkan dan memperluas
55
usahataninya (Mufriantie, 2005). Petani dalam berusahatani selain memperhatikan
keuntungan yang akan diperoleh juga mempertimbangkan tinggi rendahnya risiko
yang dihadapi. Perbedaan interpersonal dalam keengganan terhadap risiko akan
menyebabkan perbedaan dalam pengambilan keputusan di sektor pertanian
(Sriyadi, 2008).
Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk besar menghadapi
tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan
penduduknya. Oleh karena itu kebijakan (pemantapan) ketahanan pangan menjadi
isu sentral dalam pembangunan serta merupakan fokus utama dalam
pembangunan pertanian (Suryana, 2005). Peningkatan kebutuhan pangan seiring
dengan peningkatan jumlah penduduk dan peningkatan kesempatan kerja bagi
penduduk guna memperoleh pendapatan yang layak agar akses terhadap pangan
dapat terjangkau dan tercapai. Kebijakan pemantapan ketahanan pangan dalam hal
ini termasuk di dalamnya terwujud stabilitas pangan nasional.
Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia untuk dapat
mempertahankan hidup dan karenanya kecukupan pangan bagi setiap orang setiap
waktu merupakan hak azasi yang layak dipenuhi. Berdasarkan kenyataan tersebut
masalah pemenuhan kebutuhan pangan bagi seluruh penduduk setiap saat di suatu
wilayah menjadi sasaran utama kebijakan pangan bagi pemerintahan suatu negara.
Untuk memenuhi kecukupan pangan, baik pemerintah pusat maupun
daerah terus berupaya mendorong sektor pertanian di desa sebagai salah satu
ujung tombak penyedia pangan melalui program intensifikasi dan ekstensifikasi
tanaman pangan. Upaya yang dilakukan antara lain penyediaan input, penyediaan
teknologi, sarana air, pemasaran hasil dan lain sebagainya yang memungkinkan
untuk lebih menggairahkan para petani berusahatani yang lebih optimal, sehingga
pada akhirnya akan terjadi peningkatan produksi dan produktivitas (Suryana,
2005).
Ketahanan pangan merupakan pilar bagi pembangunan sektor-sektor
lainnya. Hal ini strategis karena tidak satupun negara dapat membangun
perekonomiannya tanpa terlebih dahulu menyelesaikan pangannya. Khusus bagi
Indonesia sektor pangan adalah sekaligus sektor penentu tingkat kesejahteraan
56
sebagian besar penduduk yang bekerja di off-farm yang terdapat di perdesaan
yang terdiri atas petani berlahan sempit dan buruh tani yang sebagian besar adalah
rakyat miskin. Tidak kalah pentingnya pangan juga menentukan kesejahteraan
konsumen miskin perkotaan yang sebagian besar porsi pendapatannya digunakan
untuk pangan (Widowati dan Minantyorini, 2005).
Peningkatan ketahanan pangan masyarakat masih menghadapi berbagai
masalah baik pada tingkat mikro maupun makro. Pada sisi mikro, upaya
pemantapan ketahanan pangan menghadapi tantangan utama dengan masih
besarnya proporsi penduduk yang mengalami kerawanan pangan mendadak,
karena bencana alam dan musibah serta kerawanan pangan kronis karena
kemiskinan. Pada sisi makro, upaya pemantapan ketahanan pangan menghadapi
tantangan utama pada peningkatan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya pangan
domestik dan peningkatan kapasitas produksi pangan dalam era keterbukaan
ekonomi dan perdagangan global (Nainggolan, 2005).
Kebijakan peningkatan kesejahteraan petani padi mempunyai arti yang
sangat strategis, mengingat peran beras dalam perekonomian Indonesia masih
cukup besar. Ada empat indikator yang dapat digunakan untuk menilai peran
tersebut yaitu: (1) usahatani padi menghidupi sekitar 20 juta keluarga petani dan
buruh tani, serta menjadi urat nadi perekonomian pedesaan; (2) permintaan
terhadap beras terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk,
karena belum berhasilnya program diversifikasi pangan; (3) produksi beras di
Indonesia masih menunjukkan kecenderungan yang fluktuatif akibat bencana
alam, serangan hama penyakit, dan kenaikan harga pupuk dan pestisida; dan (4)
usahatani padi masih menjadi andalan dalam penyerapan tenaga kerja di pedesaan
(Suryana et al., 2008).
Padi merupakan komoditas pangan strategis utama di Sulawesi Selatan,
karena merupakan bagian dari pengembangan tanaman yang terus dipacu.
Pengembangan tanaman padi di Sulawesi Selatan selain berfungsi untuk
ketahanan pangan (food security) regional, kelebihan produksi petani juga
berfungsi sebagai sumber pendapatan. Selain sebagai konsumsi makanan, padi

57
juga memiliki peran penting sebagai bahan baku industri dan penyerapan tenaga
kerja, dan peningkatan pendapatan (Kariyasa dan Sinaga, 2004).
Sulawesi selatan sebagai salah satu daerah sentra produksi padi di
Indonesia dan merupakan lumbung pangan dan pemasok kebutuhan pangan untuk
kawasan Indonesia Timur, sangat diharapkan dan memberikan kontribusi guna
pemenuhan kebutuhan pangan secara nasional. Sebagai daerah sentra produksi
padi akan berkaitan dengan ketahanan pangan. Artinya apabila terjadi peningkatan
produksi padi maka ketahanan pangan juga meningkat dan dapat terjaga. Oleh
karena itu diperlukan kebijakan dan dukungan dari pihak terkait untuk memacu
peningkatan produksi guna mendukung ketahanan pangan baik di Sulawesi
Selatan maupun secara nasional.
Tabel 1. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi Sulawesi Selatan
Tahun Luas Panen Produksi Produktivitas
(ha) (ton) (ton/ha)
2013 983.107 5.035.830 5,12
2014 1.052.565 5.464.972 5,19
2015 1.044.030 5.471.807 5,24
2016 1.129.122 5.727.081 5,07
2017 1.152.675 6.225.942 5,40
Sumber : BPS, 2017.
Sulawesi Selatan sebagai salah satu daerah penghasil padi mempunyai
lahan sawah seluas 628.552 ha, dengan rincian sebagai berikut : pengairan teknis
188.659 ha (30,01%), pengairan setengah teknis 79.508 ha (12,65%), pengairan
sederhana 131.525 ha (20,93%), tadah hujan 227.845 ha (36,25%), dan pasang
surut 1.015 ha (0,16%) (BPS, 2010). Meskipun lahan sawah beririgasi teknis,
setengah teknis dan sederhana cukup luas 340.492 ha (59,87%), namun belum
dimanfaatkan secara optimal untuk meningkatkan produksi dan pendapatan
petani.
Hasil penelitian Sistem Usaha Tani Padi (SUTPA) di Sulawesi Selatan
yang dilaksanakan tahun 1995/1996, menunjukkan bahwa daerah sentra produksi
padi, yaitu : Kabupaten Bone, Soppeng, Wajo, Sidrap, Pinrang, dan Luwu.

58
Tabel 2. Luas Lahan Sawah Daerah Sentra Produksi Padi Sulawesi Selatan
Tadah Psg
Lahan Sawah Berpengairan (ha) Total
Hujan Srt
No. Kab.
Seder-
Teknis ½ Tek. Jumlah (ha) (ha) (ha)
hana
1. Bone 13.990 5.136 14.652 33.778 61.614 1.015 96.407
2. Soppeng 10.251 4.482 6.152 20.885 2.338 - 23.223
3. Wajo 8.930 - 11.350 20.280 65.712 - 85.992
4. Sidrap 30.020 2.745 6.141 38.906 4.015 - 42.921
5. Pinrang 36.390 2.568 4.520 43.478 2.785 - 46.263
6. Luwu 14.802 4.695 13.642 33.139 1.629 - 34.768
Jumlah 1 - 6 114.383 19.626 56.457 190.466 138.093 1.015 329.574
Persentase (%) 34,71 5,95 17,13 57,79 41,90 0,31 100,00
Sumber : BPS Sulsel, 2010.
Tabel 2 memperlihatkan bahwa Kabupaten Pinrang sebagai salah satu
sentra produksi padi di Sulawesi Selatan mempunyai luas lahan sawah beririgasi
teknis yang besar diantara kabupaten lain. Dengan demikian potensi lahan tersebut
cukup penting dan perlu dikembangkan dengan penggunaan teknologi yang sesuai
dengan kondisi daerah guna meningkatkan produksi dan pendapatan petani.
Sejalan dengan terjadinya peningkatan produksi padi petani, maka di satu sisi
petani dapat mengkonsumsi hasil produksi yang diperoleh dari usahataninya guna
pemenuhan kebutuhan pangan dalam kelurga. Di sisi lain apabila ada kelebihan
dari hasil produksinya, maka dapat dijual sebagai pendapatan yang diterima dari
usahatani tersebut untuk pemenuhan kebutuhan lain disamping ada pendapatan
dari sumber lain diluar usahatani yang diusahakan.
Lahan pertanian mempunyai manfaat yang cukup luas. Manfaat tersebut
adalah: (1) secara ekonomi, lahan pertanian adalah masukan paling esensial dalam
keberlangsungan proses produksi; (2) secara sosial, eksistensi lahan pertanian
terkait dengan eksistensi tatanan kelembagaan masyarakat petani dan aspek
budaya lainya; dan (3) secara lingkungan, aktivitas pertanian pada umumnya
relatif lebih selaras dengan prinsip-prinsip pelestarian lingkungan (Bappenas dan
PSE-KP, 2006).
Pengertian lahan disini adalah pemanfaatan lahan khususnya sawah dalam
menghasilkan produksi dan pendapatan. Kondisi sekarang lahan pertanian banyak
yang beralih fungsi mengikuti pertumbuhan penduduk dan kebutuhan dalam

59
perkembangan ekonomi (eksternal) serta berlakunya sistem warisan keluarga
(internal). Kondisi ini mengakibatkan berkurangnya produksi pertanian dan
sekaligus mengurangi pendapatan petani.
Salah satu pembatas bagi lahan sebagai sumber daya pertanian guna
peningkatan produktivitas usahatani adalah jumlah lahan yang terbatas bagi
usahatani yang mempengaruhi produksi total bagi suatu usahatani. Sehubungan
dengan jumlah lahan yang terbatas dibandingkan dengan penggunaan lahan di
Indonesia yang semakin meningkat, maka dapat menyebabkan semakin sempitnya
penguasaan terhadap lahan. Penguasaan lahan yang sempit berdampak pada
besarnya produksi dan pendapatan yang diterima oleh petani menjadi salah satu
penyebab tidak efesiensinya usahatani.
Petani yang mempunyai lahan yang relatif sempit mempunyai
kecenderungan untuk meningkatkan produksinya dengan menggunakan teknologi
untuk intensifikasi usahataninya. Hal ini disebabkan karena semakin sempit lahan
usaha, maka semakin tidak efisien usahatani yang dilakukan kecuali jika usahatani
dijalankan dengan teknologi yang tepat. Demikian juga usahatani lahan luas,
masih terjadi ketidakefisienan dalam penggunaan teknologi disebabkan oleh : (1)
lemahnya pengawasan penggunaan faktor produksi seperti benih, pupuk, obat-
obatan, dan tenaga kerja; (2) terbatasnya persediaan tenaga kerja di sekitar daerah
tersebut; (3) terbatasnya persediaan modal untuk membiayai usaha pertanian
dalam skala luas. Sehingga bagi pemilik lahan luas seringkali menyakapkan atau
menyewakan lahannya kepada petani lain yang memiliki lahan sempit.
Teknologi usahatani padi adalah salah satu upaya meminimalkan risiko
produksi sekaligus meningkatkan produksi telah lama dilakukan. Penerapan
sistem pertanian intensif dengan penggunaan varietas unggul yang peka terhadap
perubahan suplai air dan responsif terhadap pupuk dan pestisida telah berhasil
meningkatkan produktivitas dan pendapatan. Namun risiko dalam usahatani
adalah kemungkinan terjadinya kegagalan produksi atau perolehan hasil panen
yang merugi disebabkan oleh faktor-faktor di luar kekuatan petani. Dengan
adanya risiko menyebabkan petani yang pada hakekatnya bersifat rasional enggan
untuk menanggung risiko terlebih bagi petani kecil.
60
Jumlah produksi dan pendapatan serta risiko usahatani padi sangat
mempengaruhi petani dalam pengambilan keputusan. Petani dalam memilih
usahatani padi mempunyai alasan tertentu, dimana hal ini tergantung preferensi
petani terhadap risiko maupun faktor lingkungan. Risiko yang dihadapi petani
berdasarkan penguasaan lahan akan berdampak pada produksi dan pendapatan,
serta akan mempengaruhi perilaku petani dalam pengambilan keputusan
berproduksi. Peluang terjadinya kegagalan produksi akan tinggi pada daerah
dimana risiko selalu terjadi. Teknologi atau inovasi dalam usahatani padi sebagai
salah satu upaya meminimalkan risiko produksi yang sekaligus meningkatkan
produksi telah lama dilakukan oleh petani.
Pangan adalah kebutuhan esensial dalam kehidupan manusia. Gangguan
terhadap pemenuhan kebutuhan tersebut secara langsung akan berhadapan dengan
persoalan hidup mati. Oleh karena itu setiap individu akan berusaha
mengamankan pemenuhan kebutuhan pangan dengan melakukan kiat-kiat dalam
rangka mempertahankan hidupnya. Bentuk-bentuk perilaku tersebut yang
dimunculkan sangat beragam tergantung determinan apa yang menjadi sumber
gangguan terhadap pemenuhan kebutuhan pangan.
Apabila produksi pangan rumah tangga tani yang berasal dari usahatani
tidak mampu memenuhi persyaratan konsumsi pangan, maka kekurangan
konsumsi pangan tersebut dipenuhi dengan membeli bahan pangan di pasar. Daya
beli rumah tangga tani terhadap bahan pangan ditentukan oleh dua hal pokok,
yaitu (1) pendapatan rumah tangga berupa kas masuk (cash supply) yang berasal
dari seluruh sumber kas rumah tangga, dan (2) harga bahan pangan yang dibeli.
Pada tingkat harga makanan yang tetap, daya beli rumah tangga terhadap pangan
dapat ditingkatkan dengan memperbaiki pendapatan rumah tangga.
Peningkatan dalam jumlah pendapatan pada masyarakat di pedesaan akan
memberikan kesempatan kerja kepada masyarakat untuk memperbaiki dan
meningkatkan mutu, jumlah, dan ragam, baik barang dan jasa yang akan mereka
perlukan. Namun jumlah pendapatan yang diperoleh tiap-tiap rumah tangga tidak
sama besarnya. Perbedaan jumlah pendapatan ini disebabkan oleh adanya
perbedaan-perbedaan dalam: (1) pemilikan tanah pertanian; (2) modal usaha; (3)
61
kesempatan untuk memperoleh lapangan kerja baik di sektor pertanian maupun
luar sektor pertanian. Khususnya untuk pemilikan lahan antara petani pemilik,
gadai, penyewa dan penyakap terdapat perbedaan pendapatan yang diperoleh dari
usahatani yang diusahakan. Perbedaan pendapatan tersebut berdampak pada
kesejahteraan bagi petani. Petani yang sejahtera akan mempunyai ketahanan
pangan yang lebih baik dibanding dengan petani yang kurang sejahtera.
Perbedaan tingkat pendapatan ini jelas akan menimbulkan perbedaan-
perbedaan pola konsumsi rumah tangga dan penguasaan modal bukan tanah
(kekayaan) sehingga berdampak dan berpengaruh pada ketahanan pangan rumah
tangga tersebut. Rumah tangga petani miskin di pedesaan yang pendapatannya
relatif kecil hanya mampu membeli kebutuhan pokok saja, itupun seringkali tidak
dapat terpenuhi. Sebaliknya rumah tangga yang berpenghasilan relatif tinggi,
disamping mampu membeli barang kebutuhan pokok juga mampu membeli
barang kebutuhan sekunder atau kebutuhan tambahan.

62
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA PENGUASAAN LAHAN DAN
KETAHANAN PANGAN

A. Penguasaan Lahan dan Produksi


Penguasaan lahan pada umumnya menunjukkan kondisi pada kemampuan,
kesempatan atau hak memperoleh dan memiliki lahan pertanian untuk
memperoleh hasil produksi pertanian atau produksi lain dari lahan tersebut.
Penguasaan lahan dapat berupa penguasaan pemilikan dan penguasaan non
pemilikan dengan sewa atau penyakapan. Penguasaan lahan pemilikan, yaitu
lahan pertanian yang dikuasai sekaligus merupakan hak miliknya sehingga dapat
dipindah tangankan atau dijual pada orang lain dan berpindah penguasaannya.
Tetapi lahan non pemilikan sifatnya hanya sementara sesuai perjanjian kedua
belah pihak dan mudah terjadi penggantian hak penguasaan lahan non pemilikan
pada orang lain (Astuti, 1995).
Perbedaan pemilikan lahan dapat mengakibatkan perbedaan produksi yang
diterima petani. Menurut Setyabudi (1982) bahwa pada usahatani jagung
umumnya petani non pemilik akan memperoleh hasil yang lebih tinggi
dibandingkan dengan petani pemilik kecuali untuk propinsi Sumatera Utara dan
NTB. Secara rata-rata petani non pemilik akan memperoleh hasil sebanyak 12,8
kuintal per hektar, sedangkan petani pemilik sebanyak 12,3 kuintal per hektar.
Hasil penelitian Saptana et al, (2008), mengatakan bahwa struktur
penguasaan lahan milik dan lahan garapan di tiga kabupaten (Kabupaten Blora
Jawa Tengah, Kabupaten Lombok Barat NTB dan Kabupaten Bone Sulsel)
memberikan gambaran yang relatif sama, menunjukkan tingkat ketimpangan
ringan. Nilai indek gini pemilikan lahan di pedesaan Blora 0,454, di Lombok
Barat 0,388 dan di pedesaan Bone 0,422. Sedangkan nilai indek gini penggarapan
lahan untuk pedesaan Blora 0,366, pedesaan Lombok Barat 0,391 dan pendesaan
Bone 0,425. Nampak bahwa ketimpangan pemilikan lahan sedikit lebih tinggi
dibandingkan ketimpangan dalam penguasaan lahan garapan. Ini menunjukkan
adanya transfer garapan dari pemilik garapan kepada petani penggarap baik
melalui sistem sewa menyewa, sakap menyakap, sistem gadai dan lainnya. Masih
63
ada peluang peningkatan produktivitas padi di lahan sub optimal dengan
mengurangi inefisiensi dalam hal aplikasi sarana produksi. Di samping itu
peningkatan produksi bisa diatasi melalui penambahan IP padi.
Suwarto (2008), dalam penelitiannya dengan judul produktivitas lahan dan
biaya usahatani tanaman pangan di kabupaten Gunung Kidul mengatakan bahwa
penggunaan tenaga kerja, pupuk nitrogen, pupuk phosfat, dan pupuk organik
meningkatkan produktivitas lahan. Tingkat pendidikan berpengaruh nyata
terhadap produktivitas lahan, namun umur petani tidak berpengaruh nyata
terhadap produktivitas lahan. Produktivitas lahan para petani pemilik penggarap
lebih tinggi dari produktivitas lahan petani lainnya. Sebaliknya, produktivitas
lahan para petani peminjam lahan Kehutanan lebih rendah dari produktivitas lahan
petani lainnya. Produktivitas lahan para petani penyewa LKP (lahan lungguh)
tidak berbeda dengan produktivitas lahan petani lainnya. Produktivitas lahan para
petani yang mengerjakan sendiri usahataninya lebih tinggi dari produktivitas lahan
petani yang menggunakan tenaga kerja luar keluarga. Produktivitas lahan para
petani yang dekat pasar atau kota lebih tinggi dari produktivitas lahan para petani
yang jauh dari pasar atau kota.
Penguasaan lahan di pedesaan Jawa sangat timpang, dimana hasil
penelitian Wiradi (Astuti, 1995) sepuluh desa yang diteliti menunjukkan tujuh
diantaranya menunjukkan angka koefisien Gini di atas 0,70, dan tiga desa lainnya
0,55. Distribusi pendapatan menunjukkan yang sama, besarnya indeks Gini
tersebut untuk penguasaan tanah dan pendapatan mempunyai korelasi yang sangat
signifikan. Studi kasus tentang kehidupan sosial ekonomi petani di pedesaan Jawa
menunjukkan struktur agraris ditandai oleh ketimpangan penguasaan lahan yang
cukup tajam (Hayami dan Kikuchi, 1981).
Produksi pangan sangat memegang peranan penting dalam rangka
pembinaan ketahanan nasional khususnya yang menunjang keberhasilan
pembangunan sektor pertanian (Bintarto, 1989). Keberhasilan pembangunan
sektor pertanian yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan, pemerataan
kesempatan kerja dan peluang berusaha, sangat tergantung pada besarnya
penguasaan lahan. Penguasaan lahan banyak mempengaruhi penggunaan faktor
64
produksi dalam rangka peningkatan produksi. Sempitnya lahan yang dikuasai
petani, mengakibatkan permasalahan upaya peningkatan kesejahteraan. Kenyataan
menunjukkan sempitnya lahan yang dikuasai petani merupakan kendala untuk
meningkatkan produksi pertanian, sehingga mempengaruhi pendapatan.
Hasil penelitian Wiradi dan Makali (Astuti, 1995) mengatakan bahwa ada
hubungan yang cukup kuat antara struktur pemilikan lahan dengan struktur
pendapatan di daerah pedesaan. Struktur pemilikan tanah menunjukkan adanya
kepemilikan tanah sempit dan yang tidak memiliki tanah, serta proporsi keluarga
miskin yang lebih besar daripada pemilik tanah yang luas. Ini berarti pemilikan
tanah tetap merupakan faktor yang turut menentukan tingkat hidup di pedesaan.
Hasil penelitian tersebut juga menyatakan di daerah pedesaan Jawa sedang terjadi
proses pemusatan penguasaan tanah, baik melalui sewa menyewa, gadai maupun
melalui pembelian.
Menurut Sajogyo (1982) semakin luas usahatani semakin besar
penghasilan rumah tangga petani, tetapi bagi rumah tangga petani yang memiliki
lahan kurang dari 0,25 ha atau tidak mempunyai lahan, maka usaha di bidang jasa,
dagang dan kerajinan mempunyai arti yang sangat penting. Jika rumah tangga
mempunyai tingkat pendapatan semakin rendah, maka semakin banyak dan
beraneka sumber mata pencahariannya.
Satu hal yang tidak dapat diabaikan ialah masalah penguasaan lahan dan
bukan pemilikan lahan yang dapat menentukan pendapatan. Ketidakmerataan
dalam penguasaan tanah merupakan sumber utama dari ketidakmerataan dalam
penyebaran pendapatan. Faktor yang menjadi pertimbangan adalah bahwa
pemilikan baik yang terlalu sempit atau terlalu luas tidak selalu berpengaruh
dalam menentukan pembagian pendapatan. Faktor yang perlu diperhatikan adalah
penguasaan lahan dengan sewa atau penyakapan. Lahan yang dimiliki seseorang
di pedesaan belum tentu digarap sendiri. Pemilik lahan yang terlalu sempit ada
kalanya menyewakan lahannya pada petani pemilik lahan luas dan cenderung
menjual tenaganya sebagai buruh tani (Raharjo, 1984).
Darwis (2008), melakukan penelitian tentang keragaan penguasaan lahan
sebagai faktor utama penentu pendapatan petani. Hasil penelitiannya
65
menunjukkan bahwa Di desa Tugu dan Carawali setengah responden yang
disensus tidak memiliki lahan dan 20 persen di desa Simpar dan Salu Jambu.
Untuk mengatasinya para responden terpaksa memanfaatkan lahan orang lain
dengan cara gadai, menyakap atau bagi hasil. Sumber pendapatan berdasarkan
strata penguasaan lahan, maka kontribusi pendapatan dari pertanian bagi petani
yang menguasai lahan antara 0,1 – 0,25 Ha hanya 29 persen di Jawa Barat dan 24
persen di Sulawesi Selatan. Kontribusi ini menjadi lebih besar apabila petani
memiliki lahan lebih dari satu hektar, hal ini terlihat di provinsi Jawa Barat
sebesar 79 persen dan 52 persen di Provinsi Sulawesi Selatan. Ini mengartikan
pendapatan petani sangat tergantung dari luasan garapan lahan. Input penting
dalam mengusahakan lahan adalah pupuk dan benih, sudah banyak kebijakan
yang diterapkan dalam mengatur kedua faktor tersebut. Dalam menjalankan
kebijakannya ternyata tidaklah mudah masih banyak kendala dan penyimpangan
yang mengarah pada usaha mencari keuntungan.
Supriyati et al, (2002) dalam penelitiannya tentang hubungan penguasaan
lahan dan pendapatan rumah tangga di pedesaan menyatakan bahwa, keragaan
luas pemilikan lahan dan jumlah persil di masing-masing desa contoh di peroleh
gambaran sebagai berikut. Untuk pedesaan Klaten, Jawa Tengah (0,42 – 0,514
ha), pedesaan Landak, Kalimantan Barat ( 2,56 – 3,96 ha), dan pedesaan Pasaman,
Sumatera Barat (1,50 –1,99 ha). Berdasarkan analisis Indek Gini di peroleh nilai
koefisien indek gini untuk lahan milik untuk pedesaan Klaten 0.21, Landak 0.32,
dan pedesaan Pasaman 0.46, sedangkan untuk lahan garapan untuk masing-
masing pedesaan Kabupaten contoh 0,16, 0,28, dan 0,46. Hasil tersebut
menunjukkan relatif meratanya pemilikan dan penggarapan lahan, kecuali di
Pasaman menunjukkan adanya ketimpangan yang ringan. Namun, yang perlu
diungkap bahwa semua responden adalah petani pemilik yang sekaligus
penggarap lahan, sehingga tidak tercakup rumah tangga buruh tani atau petani
murni penggarap. Korelasi antara total pendapatan dengan lahan milik di
Sumatera Barat nyata dengan koefisien korelasi 0,29. Sementara korelasi pada
kasus yang lain tidak nyata. Kasus di Jawa Tengah dan Kalimantan Barat
menunjukkan bahwa ada hubungan terbalik antara total pendapatan dan luas
66
pemilikan lahan, dan terjadi hubungan yang searah antara total pendapatan dan
luas garapan. Pada kasus di Jawa Tengah menunjukkan peran kegiatan usaha di
luar pertanian sudah cukup besar terutama pada desa contoh yang dekat sentra
industri. Sedangkan di Kalimantan Barat menunjukkan masih banyaknya lahan
milik yang belum tergarap dengan baik atau penggarapan di lakukan dengan cara
gilir balik, serta masih rendahnya teknologi produksi yang diterapkan.
Lestari (2007), meneliti tentang perubahan sistem penguasaan lahan dan
hubungan kerja agraris pada usahatani padi sawah di Kecamatan Polanharja
Kabupaten Klaten. Hasil yang diperoleh adalah perubahan yang menyangkut
sistem penguasaan lahan (pada status penguasaan hak milik) dengan aspek
perubahan struktur pemilikan lahan sawah, menunjukkan bahwa pemilikan lahan
sawah dimiliki oleh masyarakat semakin merata hal ini tunjukan dengan semakin
banyaknya jumlah pemilik sawah (tahun 1980 ada 36 orang, tahun 2007 ada 59
orang) dan rata-rata luas pemilikannya berkurang dari 0,34 ha menjadi 0,33 ha,
tetapi keadaan ini bukan berarti lahan sawah bertambah luas, hanya terjadi
perpindahan hak milik saja, dikarenakan sebagaian besar (57%) responden
memperoleh pemilikan lahan sawah karena mendapat warisan. Perubahan yang
menyangkut status penguasaan lahan (pada status penguasaan hak sewa)
menunjukkan bahwa terjadi perubahan kesepakatan-kesepakatan dalam sewa
menyewa lahan sawah, antara lain dari aspek: besar uang sewa, penentuan
besarnya sewa lahan, dan jangka waktu sewa. Perubahan yang menyangkut status
penguasaan lahan (pada status penguasaan hak sakap) menunjukkan bahwa terjadi
perubahan proporsi hak dan kewajiban antara pemilik lahan dan penyakap:
proporsi hak penyakap meningkat, proporsi kewajiban penyakap menurun,
kekuatan tawar menawar (bargaining power) penyakap meningkat dan begitu
sebaliknya, bagi pemilik lahan sawah. Perubahan hubungan kerja agraris yang
berkaitan dengan tipe hubungan kerja menunjukkan bahwa, perubahan dari tipe
hubungan kerja harian menuju kepada tipe hubungan kerja borongan.
Penelitian yang dilakukan oleh Sugiarto (2009) dengan judul keragaan
ketenagakerjaan dan distribusi penguasaan lahan di daerah agroekosistem sawah
irigasi (kasus di pedesaan Patanas). Hasilnya adalah tingkat partisipasi angkatan
67
kerja rumah tangga yang bekerja di pedesaan didominasi oleh mereka yang
bekerja disektor pertanian dibanding diluar sektor pertanian. Jenis pekerjaan di
sektor pertanian yang utama adalah mereka yang bekerja pada bidang produksi
hasil pertanian dibanding bidang pasca panen dan pemasaran hasil pertanian.
Sedangkan diluar sektor jenis pekerjaan yang dominan adalah pekerja sebagai jasa
atau perdagangan. Dari sisi penguasaan lahan di pedesaan telah terjadi
ketimpangan yang mengarah dari ketimpangan sedang menuju ketimpangan
penguasaan lahan yang semakin tinggi, dengan penyebaran penguasaan lahan
dibawah 0,5 hektar semakin banyak jumlahnya hingga 40 persen, diantaranya
hingga 19 persen adalah rumahtangga tidak berlahan. Didalam kelembagaan
penguasaan lahan, selain yang digarap sindiri, juga berlaku kelembagaan dengan
sistem sakap/bagi hasil atau sewa. Sistem sewa dan sakap banyak dijumpai pada
kondisi jenis lahan sawah, seperti sawah irigasi, irigasi sederhana dan tadah hujan.
Utamanya banyak terjadi di wilayah yang berpotensi pengusahaan komoditas
gagal panen rendah, nilai jual tinggi dan tanpa kesulitan dalam pemasaran. Sistem
sakap/bagi hasil dan sistem sewa, di kedua agroekosistem tidak terjadi pada
rumahtangga yang tidak berlahan/tunakisma, tetapi terjadi hubungan garapan
antara petani berlahan sempit dengan petani berlahan luas atau ada upaya untuk
mempeluas usaha, karena milik yang digarap terbatas.

B. Penguasaan Lahan dan Risiko


Status penguasaan lahan bervariasi menurut variabilitas produksi tanah,
tingkat risiko dalam proses produksi dan tingkat upah (Kasryno, 1988). Bagi
daerah yang mempunyai kualitas tanah tinggi, dalam hal ini daerah sawah dengan
sistem irigasi teknis akan menyebabkan tingkat penyakapan rendah sehingga bagi
rumah tangga tidak mempunyai lahan akan sulit mendapatkan lahan garapan.
Penyakapan yang rendah disebabkan risiko gagal panen makin kecil jika
dibandingkan sawah dengan irigasi sederhana dan tadah hujan. Untuk kondisi
tanah rendah dan risiko gagal panen yang tinggi, maka bagian hasil untuk pemilik
cenderung berhubungan positif dengan kualitas tanah dan cenderung berhubungan
negatif dengan risiko gagal panen. Makin besar tingkat risiko dalam proses
68
produksi makin kecil bagian hasil untuk pemilik tanah. Pada kondisi tanah yang
berproduksi rendah dan tingkat risiko yang tinggi, maka penggarap cenderung
menanggung biaya produksi dan memperoleh bagian hasil yang lebih besar.
Soekartawi et al. (1993) di Brazil memberikan indikasi bahwa sebagian
besar petani subsisten mempunyai keengganan memikul risiko, dengan
kecenderungan yang lebih besar pada petani pemilik lahan sempit daripada petani
penyakap. Perilaku petani terhadap risiko juga dipengaruhi oleh tingkat
pendapatan, dan variabel-variabel sosial ekonomi seperti umur, pendapatan,
jumlah keluarga dan kehendak untuk bertaruh.
Fivintari (2003) meneliti tentang perilaku petani terhadap risiko usahatani
kedelai dan hasilnya menyebutkan bahwa petani pemilik dan sebagian besar
petani penyakap berperilaku enggan terhadap risiko. Sedangkan petani penyewa
cenderung berperilaku netral sampai dengan berani menanggung risiko.
Hartono et al. (2002) dalam penelitian tentang risiko dan intensifikasi
usahatani padi di daerah Jawa menyimpulkan bahwa rumah tangga tani di daerah
penelitian mengadopsi berbagai tindakan untuk mengurangi risiko, seperti
pengiriman uang dari keluarga dan diversifikasi pendapatan untuk memperkecil
sumber risiko. Hal tersebut berpengaruh positif dalam mendorong peningkatan
produktivitas, tetapi tidak demikian halnya dengan kontrak bagi hasil.
Abdullah (2007) melakukan studi komparatif perilaku petani terhadap
risiko usahatani padi non organik dan semi organik di Kabupaten Sragen. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa biaya dan produksi lebih tinggi serta
pendapatan lebih rendah pada usahatani padi non organik dibandingkan usahatani
semi organik. Umur dan jumlah tanggungan keluarga meningkatkan keberanian
petani terhadap risiko usahataninya. Sedangkan pertambahan luas lahan dan
tenaga kerja keluarga meningkatkan keengganan petani terhadap risiko.
Menurut Collender (Sriyadi, 2008) menyatakan bahwa keputusan untuk
enggan terhadap risiko dibutuhkan jika mereka yakin dan layak dengan kenaikan
pendapatan. Sedangkan penelitian Hanson et al (Sriyadi, 2008) yang
membandingkan antara keuntungan usahatani sistem konvensional dengan
usahatani sistem organik selama 10 tahun berproduksi menyimpulkan bahwa,
69
rata-rata keuntungan untuk usahatani sistem konvensional lebih tinggi daripada
usahatani sistem organik.
Menurut Soekartawi et al (1986), risiko dalam produksi pertanian
diakibatkan oleh adanya ketergantungan aktivitas pertanian pada alam. Dikatakan
bahwa pengaruh buruk alam telah banyak mempengaruhi total hasil pertanian.
Selanjutnya dikatakan sumber ketidakpastian yang penting di sektor pertanian
adalah fluktuasi hasil pertanian dan fluktuasi harga (Doll and Orazem, 1984;
Soekartawi, 1990). Menurut Kadarsan (1992), sebab-sebab terjadinya risiko di
bidang pertanian ada lima, yaitu ketidakpastian produksi, ketidakpastian harga,
tindakan perusahaan dan pihak lain, risiko karena sakit, kecelakaan atau kematian,
serta perkembangan teknologi.
Menurut Widodo (2006), instability atau risiko dapat bersumber pada
siklus bisnis, fluktuasi musim, inflasi, iklim, hama penyakit, nilai tukar rupiah,
dan teknologi. Sementara menurut Kay (1981) sumber risiko dan ketidakpastian
bidang pertanian diantaranya adalah production and technical risk yaitu risiko
produksi yang terjadi oleh adanya hubungan teknis antara output dan tingkat
penggunaan input, harga, finansial, kebijakan pemerintah dan individu.
Just dan Pope (1976) menyatakan bahwa penelitian-penelitian pertanian
baik secara teoritis maupun ekonometri seringkali gagal mencerminkan adanya
efek risiko dan hubungan antara input dengan risiko produksi. Hal tersebut dapat
mengakibatkan kegagalan suatu kebijakan pertanian. Pertimbangan-pertimbangan
risiko menjadi sangat penting dalam mengevaluasi berbagai macam kebijakan
ekonomi pertanian. Dikatakan pula oleh Roe dan Tomasi dalam Singh et al.
(1986) suatu model rumahtangga yang mengasumsikan tidak adanya risiko,
sementara sebenarnya risiko itu ada, maka model tersebut akan memberikan suatu
kesimpulan yang menyesatkan.
Program intensifikasi sangat diyakini dapat meningkatkan produksi dan
produktivitas. Namun adanya faktor ketidakpastian hasil setelah produsen
mengkombinasikan berbagai input produksi, menyebabkan produsen cenderung
menolak program tersebut karena petani tidak berani menanggung risiko yang

70
akan terjadi pada kegiatan usahataninya (Dillon et al, 1979; Hadisapoetra, 1981;
Mardikanto, 1994).
Hasil analisis risiko usahatani di beberapa daerah Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta (DIY) menunjukkan bahwa risiko produksi padi lebih kecil
dibandingkan usahatani sayuran (Astuti, 1994; Darmadi, 1997; Widiyanto, 2001).
Hartono dan Iwamoto (2002) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa
pendapatan petani dari luar usahatani lebih stabil daripada pendapatan dari
usahatani. Hasil ini mengindikasikan bahwa aktivitas usahatani lebih berisiko
daripada aktivitas di luar usahatani.
Studi tentang risiko produktivitas usahatani padi di Republik Dominica
oleh Roe and Tomasi (Senjawati, 2008) memberikan suatu bukti bahwa risiko
produktivitas mempengaruhi keputusan petani dalam produksi. Jika petani
dihadapkan pada risiko produktivitas yang tinggi, maka kemampuan untuk
berproduksi juga menjadi rendah. Produktivitas yang semakin berfluktuasi
mendorong meningkatnya sewa lahan, jumlah penggunaan tenaga kerja luar, dan
menyebabkan berkurangnya waktu luang petani.
Istiyanti (1999) dalam penelitiannya mengenai analisis pendapatan dan
perilaku petani terhadap risiko dalam pengembangan usahatani bawang merah,
menunjukkan hasil bahwa risiko dan pendapatan hasil usahatani bawang merah
relatif lebih besar dibanding tanaman alternatif. Sebagian besar petani bawang
merah berperilaku enggan terhadap risiko. Untuk mengembangkan usahatani
bawang merah dan meningkatkan produksi perlu adanya jaminan terhadap
pendapatan petani melalui penggunaan varietas unggul, pemberantasan hama dan
penyakit yang lebih efektif serta program stabilisasi harga.

C. Ketahanan Pangan Rumah Tangga


Persediaan pangan yang cukup secara nasional ternyata tidak menjamin
adanya ketahanan pangan tingkat regional maupun rumah tangga/individu (Saliem
et al., 2001). Penentu utama di tingkat rumah tangga adalah akses (fisik dan
ekonomi) terhadap pangan, ketersediaan pangan dan resiko yang terkait dengan
akses serta ketersediaan pangan tersebut. Indikator ketahanan pangan juga dapat
71
dilihat dari pangsa pengeluaran rumah tangga. Semakin besar pangsa pengeluaran
pangan suatu rumah tangga semakin rendah ketahanan pangannya (Pakpahan dkk,
1993).
Ilham dan Sinaga (2007) meneliti penggunaan pangsa pengeluaran pangan
sebagai indikator komposit ketahanan pangan. Data yang digunakan adalah data
Susenas tahun 1996, 1999, dan tahun 2002 serta data PDRB provinsi tahun 2002
yang bersumber dari BPS dan dianalisis dengan pendekatan ekonometrika teknik
Ordinary Least Squares. Hasilnya adalah (1) Ketahanan pangan individu tidak
hanya ditentukan oleh akses fisik dan ekonomi seseorang, tetapi ditentukan juga
oleh akses informasi yang direfleksikan oleh tingkat pendidikan, kesadaran hidup
sehat, pengetahuan tentang gizi, pola asuh dalam keluarga, dan gaya hidup. (2)
PDRB per kapita suatu daerah belum cukup digunakan sebagai indikator yang
menentukan ketahanan pangan atau tingkat kesejahteraan penduduk, tetapi perlu
dilengkapi dengan ketersediaan pangan, pengetahuan gizi dan pola konsumsi
masyarakat. (3) Pangsa pengeluaran pangan layak dijadikan indikator ketahanan
pangan karena mempunyai hubungan yang erat dengan berbagai ukuran ketahanan
pangan yaitu tingkat konsumsi, keanekaragaman pangan, dan pendapatan serta
cukup sederhana untuk memperoleh dan menafsirkannya, obyektif, dan responsif
terhadap perubahan-perubahan akibat adanya perubahan kondisi perekonomian,
kebijakan dan program pembangunan.
Purwantini et al. (2000) meneliti ketahanan pangan tingkat regional dan
tingkat rumah tangga di propinsi Sulawesi Utara. Ketahanan pangan regional
dianalisis dengan metode perbandingan antara tingkat ketersediaan pangan di
wilayah dengan Norma Kecukupan Energi (NKE) yang dibutuhkan, menggunakan
data Neraca Bahan Makanan (NBM) selama lima tahun (1995 - 1999). Ketahanan
pangan rumah tangga dilakukan dengan mengukur derajat ketahanan pangan
rumah tangga, yaitu klasifikasi silang dua indikator ketahanan pangan : pangsa
pengeluaran pangan dan kecukupan energi (Kkal), menggunakan data Susenas
1999. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara regional (propinsi) tergolong
tahan pangan terjamin, sehingga persediaan pangan cukup. Namun pada tingkat
rumah tangga, masih terdapat rumah tangga yang rawan pangan (21%), dimana
72
rumah tangga rawan pangan di pedesaan lebih tinggi dibanding di perkotaan (23%
dibanding 17%).
Handewi et al. (2005) meneliti distribusi provinsi di Indonesia menurut
derajat ketahanan pangan rumah tangga dengan indikator Jonsson and Toole
(Maxwell et al, 2000), yaitu klasifikasi antara pangsa pengeluaran pangan dan
kecukupan energi (Kkal). Data yang digunakan adalah data Survei Sosial
Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 1999 dari Badan Pusat Statistik. Hasilnya
adalah : (1) Secara nasional, lebih dari 30 persen rumah tangga di Indonesia
tergolong rawan pangan, di daerah perkotaan sekitar 27 persen dan di
pedesaan sekitar 33 persen; (2) Dari 26 provinsi di Indonesia, 7 provinsi yang
tergolong memiliki tingkat kerawanan pangan rumah tangga tinggi, 3 provinsi
memiliki tingkat kerawanan pangan rendah, sisanya berada di antara kedua
kategori tersebut; (3) Proporsi rumah tangga yang tergolong rentan pangan di
Indonesia mencapai lebih dari 47 persen, di perkotaan dan pedesaaan masing--
masing sekitar 34 persen dan 56 persen; (4) Proporsi rumah tangga yang
termasuk kurang pangan sekitar 10 persen, di perkotaan dan pedesaan masing-
masing sebesar 18 persen dan 5 persen.
Penelitian Lamba (2006) yang berjudul ketahanan pangan rumah tangga
dengan indikator yang digunakan adalah 3 aspek yaitu ketersediaan pangan rumah
tangga petani jagung, akses rumah tangga jagung terhadap pangan dan
pemanfaatan pangan rumah tangga petani jagung. Data yang digunakan adalah
data primer yang diambil dari hasil wawancara pada petani jagung sebagai sampel
didaerah sentra pengembangan jagung Kabupaten Jeneponto tahun 2006. Hasilnya
adalah ketersediaan pangan pada rumah tangga petani jagung di Desa Rumbia
Kabupaten Jeneponto mengalami surplus tinggi. Indek gabungan akses pangan
dan mata pencaharian (IFLA) rumah tangga petani jagung sebesar 15 persen atau
0,15. Besarnya nilai IFLA rumah tangga petani jagung menunjukkan bahwa rumah
tangga petani jagung sangat tahan walaupun masih dijumpai adanya rumah tangga
petani jagung yang miskin sebanyak 33,33 persen; rendahnya tingkat pendidikan
kepala rumah tangga petani jagung yang tidak tamat pendidikan dasar sebanyak
26,67 persen. Indeks pemanfaatan pangan (IFU) rumah tangga petani jagung di
73
Desa Rumbia Kabupaten Jeneponto sebesar 49,16 persen atau 0,49. Hal ini
menunjukkan ketahanan pangan rumah tangga petani jagung dari aspek
pemanfaatan pangan cukup rawan. Rumah tangga petani jagung ditinjau dari
aspek ketersediaan, akses pangan dan mata pencaharian, pemanfaatan pangan
menunjukkan rumah tangga petani jagung cukup tahan.

74
BAB 3
PERSPEKTIF TEORITIS PENGUASAAN LAHAN DAN
KETAHANAN PANGAN

A. Penguasaan Lahan
Menurut Siahaan (Suhardjo, 1988) penguasaan lahan adalah total dari luas
lahan, dimana keluarga petani yang bersangkutan memperoleh pendapatan.
Penguasaan lahan menunjukkan pada kondisi atas kemampuan, kesempatan dan
hak untuk memperoleh dan memiliki lahan pertanian dalam rangka memperoleh
hasil produksi pertanian atau produksi lain yang berasal dari lahan tersebut.
Salah satu aspek penting berkenaan dengan dimensi yang dipunyai tanah
dalam hubungannya dengan manusia adalah bahwa tanah merupakan property
yang mempunyai makna kepemilikan beserta entitlement yang berkaitan dengan
hak kepemilikan (Barlowe, 1978). Hal ini berarti bahwa segala sesuatu yang
menyangkut hak kepemilikan tanah berimplikasi luas dalam hak pengelolaan
sumberdaya tanah termasuk juga hak memiliki dan menggunakan tanah, hak
untuk menjual, membagi-bagi, menyewakan, menggadaikan, mewariskan ataupun
hak untuk menghibahkannya.
Status penguasaan lahan pertanian, umumnya di klasifikasikan menjadi
lahan milik, lahan sewa, lahan gadai, dan lahan sakap. Nilai atau harga lahan
dengan status milik seringkali lebih mahal bila dibandingkan dengan lahan yang
bukan milik. Lahan milik, biasanya dinyatakan dengan bukti sertifikat lahan selalu
harganya lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena adanya kepastian hukum
pemilikan lahan. Dalam pertanian faktor produksi yang berupa lahan mempunyai
kedudukan paling penting. Hal tersebut dapat dilihat dari tingginya balas jasa
(harga jual dan sewa) yang diterima dibandingkan dengan faktor lainnya.
Soentoro (1983) mengemukakan bahwa lahan sebagai faktor produksi yang
diberikan oleh alam, adalah pemegang peranan utama dalam usahatani.
Menurut Kasryno (1988) distribusi pemilikan lahan dalam sektor pertanian
menunjukan tendensi semakin buruk dan jumlah rumah tangga ”tuan tanah”
semakin besar. Indek Gini pemilikan tanah di 45 desa di Jawa Barat, Jawa
Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan antara 0,50 – 0,91, dan ini
75
menunjukkan ketimpangan yang berat. Selanjutnya Mintoro dan Soentoro (1983)
menyatakan bahwa ada gejala penguasaan lahan pertanian akan semakin terpusat
pada masyarakat tertentu. Akibatnya terjadi perbedaan tingkat pendapatan yang
semakin besar antara petani kaya dengan petani miskin. Hal ini pertanda adanya
ketimpangan dalam distribusi pendapatan. Seperti yang dijelaskan oleh Wiradi
dan Makali (1984) bahwa ketidakmerataan dalam penguasaan lahan pertanian
merupakan sumber utama dari ketidakmerataan distribusi pendapatan masyarakat
di pedesaan.
Penguasaan lahan dapat menunjukkan pada kondisi kemampuan,
kesempatan atau hak memperoleh dan memiliki lahan pertanian dalam rangka
memperoleh hasil produksi pertanian atau produksi lain dari lahan tersebut.
Penguasaan lahan dapat berupa penguasaan pemilikan dan penguasaan non
pemilikan. Penguasaan lahan yang berupa pemilikan, lahan pertanian yang
dikuasai sekaligus merupakan hak milik sehingga dapat dipindah tangankan
dengan cara dijual, dihibahkan atau cara-cara lainnya sehingga milik tersebut
berpindah penguasaannya. Pada penguasaan non pemilikan sifatnya hanya
sementara dan mudah sekali terjadi mutasi hak penguasaan menurut situasi dan
kondisi (Astuti, 1995). Suhardjo (1984) membedakan bentuk-bentuk penguasaan
lahan (tidak termasuk lahan milik yang sifatnya permanen) menjadi empat, yaitu
lahan gadai, lahan sewa, lahan bengkok dan lahan sakapan.
Penguasaan lahan sebagai sumberdaya yang terbatas dan jumlah penduduk
yang semakin bertambah menyebabkan distribusi penguasaan lahan yang tidak
merata dan berubah status penguasaan lahan akibat transaksi jual beli, pertukaran,
hibah, waris, transaksi sewa, bagi hasil, dan gadai, menyebabkan petani
bekerjasama dalam suatu bentuk pemilikan lahan. Luas pemilikan lahan banyak
mempengaruhi tingkah laku petani dalam berproduksi. Penyebaran dari
sumberdaya lahan di muka bumi ini tidak merata, sehingga menyebabkan
ketidakmerataan dalam luas penguasaan lahan dari setiap petani. Ketidakmerataan
penguasaan lahan ini menurut White dan Wiradi (1989) merupakan sumber utama
dalam ketidakmerataan penyebaran pendapatan.

76
Status penguasaan lahan bervariasi menurut variabilitas produksi tanah,
risiko dalam proses produksi dan tingkat upah. Oleh sebab itu, bagi daerah yang
mempunyai kualitas tanah yang tinggi dalam hal ini adalah daerah sawah dengan
sistem irigasi teknis akan menyebabkan tingkat penyakapan rendah sehingga bagi
rumah tangga tidak mempunyai lahan akan sulit mendapatkan tanah garapan.
Penyakapan yang rendah ini disebabkan pula risiko gagal panen yang makin kecil
jika dibandingkan dengan sawah irigasi non teknis. Pada kondisi tanah rendah dan
risiko gagal panen tinggi, maka bagian hasil untuk pemilik cenderung
berhubungan positif dengan kualitas tanah dan cenderung berhubungan negatif
dengan risiko gagal panen. Makin besar tingkat risiko dalam proses produksi
makin kecil bagian untuk pemilik tanah. Pada kondisi tanah berproduksi rendah
dan tingkat risiko yang tinggi, maka penggarap cenderung menanggung biaya
produksi dan memperoleh bagian hasil yang lebih besar untuk penggarap (Astuti,
1995).
Sehubungan dengan luas penguasaan lahan, Daniel (2004) menjelaskan
bahwa luas penguasaan lahan merupakan sesuatu yang penting dalam proses
produksi ataupun usahatani. Dalam usahatani misalnya pemilikan atau penguasaan
lahan sempit kurang efisien dibandingkan lahan yang lebih luas. Semakin sempit
lahan usaha, semakin tidak efisien usahatani yang dilakukan kecuali jika usahatani
dijalankan dengan teknologi yang tepat. Tetapi pada usahatani yang lahan luas
juga sering terjadi ketidakefisienan dalam penggunaan teknologi yang disebabkan
oleh : (i) lemahnya pengawasan pada faktor produksi seperti benih, pupuk,
pestisida, dan tenaga kerja; (ii) terbatasnya ketersediaan tenaga kerja disekitar
daerah tersebut; (iii) terbatasnya persediaan modal untuk membiayai usaha
pertanian dalam skala luas.
Hubungan yang berupa pemindahan hak milik dan hak atas menggarap
akan menimbulkan pemusatan penguasaan lahan sebagai faktor produksi penting
kepada salah seorang atau golongan orang yang mempunyai modal kuat. Keadaan
tersebut dari segi ekonomi akan berakibat pada pemusatan pendapatan kepada
segolongan orang yang kaya. Keadaan tersebut akan menyebabkan pola distribusi
pemilikan lahan akan semakin timpang (Santoso dan Hermanto, 1983).
77
Kondisi yang berbeda ditunjukkan oleh hasil penelitian Schrevel (1989)
bahwa pemilikan atas tanah dan akses atas tanah merupakan prediktor yang lemah
untuk melihat kekayaan yang dinikmati individu rumah tangga petani di pedesaan.
Kegiatan luar usahatani menyumbang setengah atau lebih pendapatan per tahun
sebagian besar penduduk, dan jumlah uang yang diterima dari kerja luar usahatani
tidak tergantung pada tanah yang dimiliki. Meskipun akses terhadap lahan, baik
sebagai pemilik maupun sebagai penyakap sering dilihat sebagai faktor penentu
pendapatan rumah tangga petani. Tetapi bagi mayoritas rumah tangga petani,
khususnya yang berlahan sempit atau tidak mempunyai lahan sama sekali,
kegiatan luar usahatani merupakan suatu keharusan. Bagi rumah tangga yang lain
kegiatan luar usahatani merupakan cara untuk menambah pendapatan.
Ciri umum struktur pertanian di Jawa adalah satuan usahatani sangat
sempit dan penguasaan lahan yang timpang. Bagi golongan berlahan sempit dan
golongan buruh tani diamana umumnya pendapatan mereka rendah dan pekerjaan
tidak dapat diharapkan secara tetap, maka mereka mudah meninggalkan sektor
pertanian untuk mencari tambahan pendapatan dari sektor non pertanian, bahkan
mereka beralih atau meninggalkan sektor pertanian. Peran sektor non pertanian
secara teoritis dapat berpengaruh terhadap pemerataan pendapatan di pedesaan
(Astuti, 1995).
Hubungan penguasaan atas lahan bervariasi dengan bervariasinya
produktivitas. Bentuk hubungan penguasaan lahan berupa pemilik-penggarap,
penyakap, penggarap murni dimana seluruh tenaga kerja berasal tenaga keluarga,
sedangkan pada bentuk pemilik pengelola seluruh tenaga kerja dibayar, disini
pemilik hanya berfungsi sebagai pengelola (Anwar, 2000).
Pada keadaan produktivitas lahan yang rendah, distribusi pemilikan atau
penguasaan lahan biasanya merata. Dalam keadaan demikian petani belum
mampu membayar tenaga kerja, karena upah tidak mungkin ditekan sampai sama
dengan produktivitas marginal tenaga kerja. Dalam pemilikan lahan yang merata
dan produktivitas rendah ini, dan tenaga kerja dalam keluarga tidak dapat
menyelesaikan suatu pekerjaan usahatani, maka petani terpaksa meminta bantuan
petani lainnya dan berkembanglah saling tukar menukar tenaga kerja.
78
Perkembangan teknologi meningkatkan produktivitas lahan yang juga
meningkatkan produksi rata-rata per tenaga kerja, sehingga memungkinkan untuk
membayar upah tenaga kerja. Dengan meningkatnya produktivitas lahan,
distribusi pemilikan lahan menjadi timpang, sehingga ada rumah tangga
menguasai lahan luas dan sebagian lainnya tidak memiliki lahan (Anwar, 2000).

B. Penyakapan (Sakap)
Penyakapan pada hakekatnya adalah kontrak hubungan kerja dan agraria.
Dengan sistem ini semua unsur risiko dan pendapatan dibagi antara pemilik dan
buruh tani dengan perbandingan tertentu. Sistem bagi hasil memberikan dorongan
bagi buruh tani untuk bekerja dengan baik, karena hasil yang diperoleh tergantung
dari intensitas kerja yang dikorbankan. Bagi pemilik lahan yang memakai sistem
ini masalah biaya transaksi dan pengawasan tenaga kerja dapat dihemat.
Penyakapan dapat pula dianggap sebagai alternatif lain dari pasar tenaga kerja dan
pasar lahan. Dalam hal ini penyakapan dapat dianggap sebagai sistem hubungan
kerja (Kasryno, 1988).
Mengenai hak-hak penguasaan lahan yang sifatnya sementara menurut
pasal 53 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 tahun 1960 yaitu hak
gadai, hak bagi hasil, hak menumpang, dan hak sewa. Bentuk penguasaan lahan
berupa sewa, sakap, dan gadai adalah bentuk-bentuk penguasaan lahan yang di
dalamnya terdapat pengalihan hak garap dari seorang pemilik lahan kepada orang
lain. Bentuk kelembagaan ini sudah menjadi bagian dari masyarakat desa, namun
tidak bersifat statis. Dibandingkan gadai, sewa dan sakap memiliki aturan yang
lebih lengkap, tidak terlalu merugikan salah satu pihak. Pada sewa dan sakap
hubungan kerja sudah ada kejelasan informasi tentang besarnya biaya yang
dibebankan, bagian hasil masing-masing pihak, atau tanggung jawab lain yang
harus dipenuhi. Pada gadai pemilik lahan biasanya cenderung sebagai pihak yang
menanggung rugi, karena tidak adanya bagian hasil untuk pemilik lahan, serta
kurang jelasnya batas waktu pengalihan hak garap lahan (Tohir 1990; Pakpahan et
al., 1992 dalam Suwarto, 2007). Mengenai hak menumpang, dalam hal ini
pemberian hak garap diberikan atas maksud membantu kepada yang lemah.
79
Jangka waktu pemberian hak ditentukan oleh yang pemilik lahan atau yang
memberi tumpangan.
Berkenaan dengan penyakapan, pemerintah melalui Undang-undang No. 2
Tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil (penyakapan) bermaksud mengatur
hubungan antara pemilik lahan dan penyakap agar berlaku imbangan pembagian
hasil yang adil. Pasal 1d mengenai pembagian pembebanan input yaitu: (1) pajak
lahan dibayar pemilik, (2) bibit, pupuk, ternak, biaya pengolahan lahan, biaya
tanam, biaya panen dikembalikan kepada pemberi dan tanpa bunga, (3) keperluan
tenaga kerja lainnya ditanggung penyakap. Pasal 7 menetapkan besarnya
pembagian hasil tersebut yaitu bagi penyakap dan pemilik lahan ditetapkan secara
beturut-turut 1:1 untuk padi sawah dan 2/3:1/3 untuk palawija dan tanaman di
lahan kering. Bagi daerah-daerah yang memberlakukan imbangan pembagian
hasil yang lebih menguntungkan bagi penyakap dari pada ketentuan UU No.2
tahun 1960 dinyatakan tetap berlaku (Partadireja, 1972). Undang-undang tersebut
yang sering disebut dengan UUPBH tahun 1960 juga menjamin kedudukan
hukum yang layak bagi penyakap dengan maksud menggairahkan para penyakap
untuk bekerja sehingga produktivitas lahan, dan produksi nasional meningkat.
Pasal 4 ayat 1 UUPBH tersebut mengatur lama perjanjian minimal 3 tahun pada
lahan sawah dan 5 tahun pada lahan kering (Darsono, 1986).
Newbery (1977), Hayami dan Kikuchi (Suwarto, 2007) mengupas
pengaruh kelembagaan lahan atas penggunaan input produksi yang dapat
berpengaruh terhadap produktivitas lahan. Penelitian mengenai sistem sewa tanah
menemukan bahwa produktivitas dari petani yang hanya menyewa tanah tidak
jauh berbeda dengan produktivitas yang dihasilkan oleh petani pemilik sekaligus
pengolah tanah (Mangahas, 1975; Berry & Cline, 1979; Fujimoto (Widodo,
1989), meskipun dalam teori neoklasik tentang sistem sewa tanah disebutkan
bahwa adalah hal biasa bila terdapat pihak tertentu yang menyalahkan petani
dengan sistem sewa bagi hasil karena ketidakmampuan mereka dalam
memanfaatkan lahan secara maksimal.
Teori yang terkait dengan sistem sewa tanah yang dikemukakan oleh
Cheung menyatakan bahwa baik petani yang hanya berstatus sebagai penyewa
80
tanah maupun petani yang berstatus sebagai pemilik sekaligus pengolah lahannya
adalah sama-sama efisien Hayami dan Kikuchi (Widodo, 1989). Teori neoklasik
tentang ketidakefisienan sistem bagi hasil menekankan pada harga atau
ketidakefisienan alokasi terhadap output yang dibagi yang menyebabkan
produktivitas marginalnya menurun, selain itu bila tanpa sistem bagi hasil biaya
dan input dari suatu produksi juga akan menurun (Widodo, 1989).
Feder dan Feeny (Suwarto, 2007) mengungkapkan bahwa suatu bentuk
lembaga sosial yang penting adalah kepemilikan. Pada kepemilikan melekat
adanya tata hubungan antara lain hak-hak, kewajiban-kewajiban, status dan
penguasaan. Dalam hal ini, peningkatan hak pemilikan lahan meningkatkan nilai
lahan, meningkatkan intensitas budidaya, dan meningkatkan penggunaan kredit
usahatani.
Hubungan penyakapan (tenancy relation) dalam pertanian yang memiliki
pengertian yang luas, mencakup berbagai bentuk hubungan yang terjadi akibat
penguasaan tanah oleh pengelola yang bukan pemilik, mencakup sewa dan bagi
hasil. Namun dalam perkembangannya, istilah penyakapan hanya untuk bagi
hasil, tidak termasuk sewa. Pada usahatani padi, adakalanya input produksi
ditanggung sendiri oleh pemilik atau ditanggung bersama dengan penggarap.
Demikian pula dalam keterlibatan pengelolaan, adakalanya pemilik tanah terlibat
atau tidak sama sekali (Syahyuti, 2011).
Secara teoritis penyakapan dapat dianalisis dengan menggunakan prinsip-
prinsip ekonomi neoklasik, seperti dikemukakan oleh Hayami dan Kikuchi, 1981;
Kasryno (Yaya, 2002), sebagaimana terlihat pada Gambar 1. berikut ini :

81
q/w

A
MP
D (1-r)MP

E C
W

O L2 L1 B L

Gambar 1. Model Pilihan Penguasaan Lahan (Kasryno (Yaya, 2002)


Keterangan :
q/w = produksi marginal akan upah nyata
L = penggunaan tenaga kerja
W = tingkat upah
r = bagi hasil penggarap
MP = kurva produksi marginal
Kurva ACB atau MP adalah kurva produksi marginal penggunaan buruh
tani untuk penguasaan lahan berstatus pemilik penggarap dan penyewa. Pada
tingkat upah W atau OW, jumlah buruh yang digunakan OL1, dengan jumlah
pembayaran upah buruh tani sebesar area OWCL1, dan penerimaan petani sebesar
WAC. Kurva DEB adalah kurva produksi marginal bagi petani penyakap dengan
memperoleh pembagian hasil sebesar (1-r) bagian dimana r merupakan bagian
hasil untuk pemilikan lahan. Pada tingkat upah OW penyakap akan menggunakan
tenaga kerja sebesar OL2 dan memperoleh hasil masukan tenaga kerja buruh tani
sebesar area WDE.
Dalam keadaan persaingan bebas dan tidak adanya biaya transaksi
sebagaimana diasumsikan oleh teori ekonomi neoklasik, maka pemilik lahan akan
berusaha agar penyakap meningkatkan penggunaan tenaga kerja sampai ke L1,
82
sehingga penerimaan petani sebesar WAC (total). Dari sisi penyakap, dalam
keadaan pasar tenaga kerja dan pasar lahan yang bersaing bebas dan tidak ada
biaya transaksi, penyakap akan menerima bagian seluas area WDE yang
merupakan kelebihan (surplus) sebagai penyakap dibandingkan dengan buruh
tani. Dengan demikian, dalam keadaan pasar lahan dan tenaga kerja yang bersaing
bebas dan tidak ada biaya transaksi, maka tingkat penerimaan pemilik lahan akan
sama, baik tanahnya disewakan, dibagi hasil, maupun dikerjakan sendiri. Karena
akan bertahan untuk meminta nilai sewa maupun bagian (bila disakapkan) yang
sama dengan hasil yang diperoleh apabila diusahakan sendiri. Tetapi dalam
kenyataan sehari-hari hal ini tidak pernah terjadi (Hayami dan Kikuchi, 1981;
Kasryno (Yaya, 2002).
Bagi pemilik lahan, resiko terkecil terdapat pada sistem sewa, dan terbesar
pada sistem pemilik penggarap dengan upah tenaga kerja. Dari segi buruh tani
dengan besarnya fluktuasi kebutuhan tenaga kerja, tingginya ketidakpastian
pendayagunaan tenaga kerja, maka ketidakpastian pendapatan dari berburuh tani
mungkin sama atau lebih besar dari ketidakpastian pendapatan pada penyakapan
(Yaya, 2002).
Sistem bagi hasil ini bervariasi, tergantung dari produktivitas lahan,
distribusi lahan (pemilikan) lahan, tekanan penduduk atas lahan serta ketersediaan
kesempatan kerja di luar sektor pertanian. Sistem bagi hasil akan bias ke arah
pemilik lahan pada keadaan tekanan penduduk atas lahan yang tinggi, distribusi
pemilikan yang timpang dan produktivitas lahan yang tinggi. Sebaliknya pada
keadaan tenaga kerja langka dan produktivitas lahan rendah maka sistem bagi
hasil akan bias ke arah buruh tani (penyakap) yang akan memperoleh bagian
terbesar dari produksi (Yaya, 2002).
Untuk usaha pertanian padi sawah, sampai saat ini umumnya pembagian
dilakukan terhadap hasil kotor, meskipun menginginkan yang dibagi adalah hasil
bersih. Pembagian dari hasil kotor mengandung sifat sosial berupa kebersamaan.
Ini lebih adil, karena penyakap yang investasinya berupa kerja, dan pemilik
dengan investasi tanah dan modal lain (bibit, pupuk, dan pestisida), sama-sama
menanggung risiko. Jika hasil panen anjlok, maka kedua belah pihak masih tetap
83
sama-sama memperoleh bagian meskipun kecil. Namun jika pembagian dari hasil
bersih, penyakap memiliki resiko yang lebih besar. Jika panen sedikit, maka bisa
saja itu sudah habis untuk membayar sarana produksi, sehingga penggarap tidak
memperoleh apapun (Syahyuti, 2011).

C. Ketahanan Pangan
Undang-Undang RI No. 7 tahun 1996 tentang pangan mendefinsikan
ketahanan pangan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang
tercermin dari tersedianya pangan yang cukup dalam jumlah maupun mutunya,
aman, merata dan terjangkau. Ketahanan pangan dipandang sebagai suatu sistem
yang merupakan rangkaian dari komponen ketersediaan dan stabilitas pangan
(food availability and stability), kemudahan memperoleh pangan (food
accessibility), dan pemanfaatan pangan (food utilization) (Depkes, 2003; Baliwati
et al, 2004; BPPN, 2007). Menurut definisi tersebut maka ketahanan pangan
terdiri dari elemen :
1. Ketersediaan pangan.
2. Aksesbilitas yang menggambarkan kemampuan untuk menguasai pangan yang
cukup.
3. Keamanan yang dapat diartikan sebagai stabilitas (menunjukkan pada
ketahanan internal seperti penurunan produksi) dan keandalan (menunjuk pada
kerentanan eksternal seperti fluktuasi perdagangan internasional).
4. Keberlanjutan merupakan kontinuitas dari akses dan ketersediaan pangan yang
ditunjukkan oleh keberlanjutan usahatani.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 3 tahun 2007 dinyatakan bahwa
ketahanan pangan menjadi urusan wajib sedangkan pertanian justru menjadi
urusan pilihan. Hal ini mengisyaratkan bahwa permasalahan ketahanan pangan
merupakan urusan yang sangat penting dan prioritas dalam pembangunan
nasional.
Ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka
pembangunan nasional untuk membentuk manusia Indonesia yang berkualitas,
mandiri dan sejahtera melalui perwujudan ketersediaan pangan yang cukup, aman,
84
bermutu, bergizi dan beragam serta tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia
dan terjangkau oleh daya beli masyarakat (Deptan, 2006).
Krisnamurthi (2003), ketahanan pangan merupakan bagian terpenting dari
pemenuhan hak atas pangan sekaligus merupakan salah satu pilar utama hak asasi
manusia. Ketahanan pangan juga merupakan bagian sangat penting dari ketahanan
nasional. Usaha pengembangan ketahanan pangan tidak dapat dipisahkan dari
usaha penanggulangan masalah kemiskinan. Ketahanan pangan tidak hanya
mencakup pengertian ketersediaan pangan yang cukup, tetapi juga kemampuan
mengakses (termasuk membeli) pangan dan tidak terjadinya ketergantungan
pangan pada pihak manapun.
Soekirman (2000), juga menyebutkan ketahanan pangan pada dasarnya
adalah ketersediaan (food availability), stabilitas harga pangan (food price
stability), dan keterjangkauan pangan (food accessability). Ketahanan pangan
merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan nasional untuk
membentuk manusia Indonesia yang berkualitas, mandiri, dan sejahtera melalui
perwujudan ketersediaan pangan yang cukup, aman, bermutu, bergizi dan
beragam serta tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia dan terjangkau oleh
daya beli masyarakat.
Kebijaksanaan peningkatan ketahanan pangan bertujuan untuk menjamin
tersedianya pangan yang adil dan merata ditingkat masyarakat, rumah tangga dan
perorangan, sesuai dengan kemampuan daya beli sehingga terpenuhi kebutuhan
konsumsi pangan dan gizi. Meskipun kebijaksanaan ketahanan pangan diarahkan
sampai pada tingkat rumah tangga dan perorangan, ketahanan pangan pada tingkat
daerah tetap perlu diperhatikan karena keadaan tersebut merupakan prasyarat
untuk mencapai ketahanan pangan perorangan atau rumah tangga (Bappenas,
2004).
Studdert et al, (2001) paradigma ketahanan pangan berkelanjutan
menegaskan bahwa ketersediaan pangan yang cukup adalah penting tetapi tidak
memadai untuk menjamin ketahanan pangan. Sesungguhnya tidak akan ada
ketahanan pangan bila tidak ada ketersediaan pangan yang cukup untuk di akses,
dalam hal ini ketahanan pangan sangat berhubungan dengan lokasi tempat tinggal
85
dalam mengakses pangan. Meskipun tersedia pangan yang cukup, sebagian orang
masih menderita kelaparan karena tidak mempunyai cukup akses terhadap
pangan.
Simatupang (2003), esensi kebijakan pangan dicirikan oleh keterlibatan
aktif pemerintah dalam mengarahkan, merangsang dan mendorong elemen-
elemen terkait sehingga terbentuk suatu sistem ketahanan pangan nasional yang
tangguh dan berkelanjutan. Sistem ketahanan pangan merupakan bagian integral
dari sistem perekonomian nasional secara keseluruhan, sehingga perumusannya
harus terpadu dan serasi dengan kebijakan ekonomi makro. Secara spesifik,
kebijakan ketahanan pangan hendaknya dirumuskan sebagian integral dari
kebijakan pengentasan kemiskinan.
Konsep ketahanan pangan dan pencapaiannya mempunyai banyak
pengertian, antara lain: (1) peran stok biji-bijian nasional dan internasional; (2)
pencapaian swasembada pangan setiap negara; (3) penghilangan hambatan
perdagangan pangan, sehingga memperbaiki stabilisasi dan efisiensi pasar uang
tunai, pola konsumsi per kapita, rata-rata biaya per pangan pokok per bulan; (4)
impor dan ekspor (ton/tahun; uang tunai) (Darmawan, 2001).
Beberapa metode pengukuran ketahanan pangan terus dikembangkan dan
secara konseptual ukuran ketahanan pangan yang telah diterima oleh Sidang
Komite Pangan Dunia ke-18 pada tahun 1993 mencakup tiga aspek atau dimensi
penting, yaitu: (1) ketersediaan pangan; (2) stabilisasi penyediaan bahan pangan
dan (3) akses individu dan rumah tangga untuk pangan. Ketiga aspek inilah yang
dicoba dimanifestasikan dalam konteks yang mengukur ketahanan pangan
(Darmawan, 2001).

D. Ketahanan Pangan Rumah Tangga


Berdasarkan hasil lokakarya ketahanan pangan nasional, ketahanan pangan
rumah tangga didefinisikan dalam beberapa alternatif rumusan, yaitu: (1)
kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan pangan anggota rumah
tangga dalam jumlah, mutu dan ragam sesuai budaya setempat dari waktu ke
waktu agar hidup sehat; (2) kemampuan rumah tangga untuk memenuhi
86
kecukupan pangan anggotanya dari produksi sendiri atau membeli dari waktu ke
waktu agar dapat hidup; (3) kemampuan rumah tangga untuk memenuhi
kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar dapat hidup sehat
(Deptan, 1996).
Ketahanan pangan tingkat rumah tangga adalah kondisi terpenuhinya
pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup,
baik jumlah maupun mutunya dan terjangkau bagi seluruh anggota keluarga.
Selain itu ketahanan pangan dapat berarti stabilnya penyediaan pangan yang
cukup (adequate) dalam jangka waktu dua belas bulan. Persediaan pangan dalam
rumah tangga (food supply) adalah tercapainya penyediaan pangan dalam jangka
waktu satu bulan, dalam jumlah dan keadaan gizi yang optimal bagi seluruh
anggota keluarga (Matheson et al, 2002).
Konteks analisis ketahanan pangan, tentang proporsi atau pangsa
pengeluaran pangan terhadap total pengeluaran pangan rumah tangga merupakan
indikator ketahanan pangan rumah tangga yang sangat penting. Hukum working
yang dikutip Pakpahan et al, (1993) menyatakan bahwa pangsa pengeluaran
pangan mempunyai hubungan yang negatif dengan pengeluaran rumah tangga.
Sedangkan ketahanan pangan mempunyai hubungan negatif dengan pangsa
pengeluaran pangan. Hal ini berarti semakin besar pangsa pengeluaran pangan
suatu rumah tangga, semakin rendah ketahanan pangannya.
Pangsa pengeluaran pangan rumah tangga di pedesaan lebih tinggi
daripada di perkotaan, ini menunjukkan tingkat kesejahteraan masyarakat di
perkotaan lebih baik daripada di pedesaan. Dengan kata lain, pembangunan
perekonomian yang dilaksanakan oleh pemerintah dan sektor swasta masih
terfokus pada perkotaan dan hasilnya lebih banyak dinikmati penduduk perkotaan.
Kondisi tersebut menyebabkan terjadinya kesenjangan kesejahteraan antara
penduduk kota dan desa (Ariani, 2004).
Status ketahanan pangan tingkat rumah tangga, dikategorikan sebagai
berikut : pertama, food secure yaitu tidak adanya tanda-tanda kerawanan pangan
dalam rumah tangga. Kedua, food insecure without hunger yaitu ketidaktahanan
pangan dan mengurangi kualitas pangan dalam keluarga merupakan perhatian
87
khusus, dengan kata lain tidak adanya pengurangan asupan makanan bagi seluruh
anggota keluarga. Ketiga, food insecure with hunger yaitu asupan makanan bagi
orang tua dan anak-anak dalam rumah tangga telah dikurangi untuk menjamin
ketersediaan pangan dalam keluarga (Ariani, 2004).
Komponen ketersediaan dan stabilitas pangan dipengaruhi oleh
sumberdaya (alam, manusia, sosial dan produksi pangan). Akses pangan
menunjukkan jaminan bahwa setiap rumah tangga dan individu mempunyai
sumberdaya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan sesuai dengan norma
gizi. Kondisi tersebut tercermin dari kemampuan rumah tangga untuk
meningkatkan pendapatan rumah tangga dan produksi pangan. Hal ini tergantung
pada harga pangan maupun tingkat sumberdaya yang terdapat dalam keluarga,
yaitu meliputi tenaga kerja dan modal. Ketersediaan tenaga kerja merupakan
dimensi fisik dari sumberdaya keluarga yang diperlukan untuk proses produksi,
juga tergantung pada pengetahuan atau dimensi sumberdaya manusia dan
sumberdaya sosial. Untuk mewujudkan ketahanan pangan rumah tangga dan
individu perlu memperhatikan faktor ketersediaan pangan, daya beli dan
pengetahuan gizi (Baliwati, et al, 2004).
Tantangan utama dalam pemantapan ketahanan pangan di tingkat keluarga
adalah membangun kapasitas dan kemandirian masyarakat agar mampu menolong
dirinya sendiri dalam mewujudkan ketahanan pangan pada tingkat keluarga serta
mengatasi dan menangani masalah pangan yang terjadi baik di dalam keluarga
maupun di tingkatan masyarakat lainnya (Apriyantono, 2005).
Tingkat konsumsi energi berkorelasi positif dengan tingkat konsumsi
protein. Dalam arti rumah tangga yang konsumsi energinya tinggi, juga
mengkonsumsi protein dalam jumlah yang tinggi (Ariani dan Rachman, 2003).
Menurut Ariani (2004), pencapaian ketahanan pangan tingkat rumah tangga dapat
dilihat dari tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein.

88
BAB 4
PRODUKSI, PENDAPATAN DAN RISIKO

A. Produksi
Produksi merupakan suatu proses yang mengubah faktor-faktor (input)
menjadi suatu produk (output). Beattie dan Taylor (1994) menyatakan bahwa
produksi adalah suatu proses kombinasi dan koordinasi material-material dan
kekuatan-kekuatan (faktor produksi, sumberdaya atau jasa/hasil produksi). Tinggi
rendahnya produksi tergantung pada keputusan petani, berapa jumlah sumberdaya
(input) yang akan digunakan, berapa luas tanah yang dipakai, berapa banyaknya
bibit, pupuk, pestisida, tenaga kerja dan lain-lain.
Hubungan kuantitatif antara input dan output disebut dengan fungsi
produksi, sedangkan analisis dan pendugaan hubungan itu disebut analisis fungsi
produksi (Soekartawi, 1994). Bishop dan Toussaint (1986), menyatakan bahwa
fungsi produksi adalah suatu hubungan matematis yang menggambarkan bahwa
jumlah hasil produksi tertentu tergantung pada jumlah input tertentu yang
digunakan. Jadi suatu fungsi produksi memberikan keterangan mengenai jumlah
output yang mungkin diharapkan apabila input tertentu dikombinasikan dalam
suatu cara yang khusus.
Petani dalam mengalokasikan input berusaha secara efisien agar diperoleh
produksi yang maksimal. Banyaknya hasil produksi yang dihasilkan oleh suatu
proses produksi akan dipengaruhi oleh jumlah dan kombinasi faktor-faktor
produksi yang digunakan. Hubungan antara jumlah input yang digunakan dengan
output yang dihasilkan dapat dinyatakan dalam suatu fungsi produksi. Menurut
Pappas (1995) fungsi produksi menggambarkan keluaran maksimal yang dapat
diproduksi dengan jumlah masukan tertentu atau jumlah minimum yang
diperlukan untuk memproduksi satu tingkat keluaran tertentu.
Konsep dasar yang digunakan untuk analisis produktivitas adalah fungsi
produksi (Jamison and Lau, 1982). Dengan demikian faktor-faktor yang
mempengaruhi produktivitas identik dengan faktor-faktor yang mempengaruhi
produksi. Fungsi produksi adalah hubungan antara jumlah input yang diperlukan

90
dan jumlah output yang dapat diperoleh (Pindyck and Rubinfield, 2001;
Samuelson and Nordhaus, 2001). Menurut Doll and Orazem (1984), dalam proses
produksi terdapat dua jenis input, yaitu input variabel dan input tetap. Input
variabel adalah input yang habis dipakai dalam satu periode produksi, sedangkan
input tetap adalah input yang tidak habis dipakai dalam satu periode produksi.
Secara matematis fungsi produksi dapat ditulis sebagai berikut:
Y = f (Xi, Zj) ……..……………….......................................... (4.1)
Keterangan: Y adalah produksi (output), Xi adalah input variabel dan Zj adalah
input tetap.
Fungsi produksi yang sering digunakan sebagai alat analisis pada
penelitian yang menggunakan pendekatan ekonometrika adalah fungsi produksi
Cobb-Douglas (Yotopoulus and Nugent, 1976; Debertin, 1986; Nicholson, 1998 ).
Secara matematis fungsi produksi Cobb-Douglas adalah sebagai berikut:
Y  AX 1b1 X 2b 2 ... X ibi ... X nbn e u ..................................................... (4.2)
Keterangan : Y= output atau variabel yang dijelaskan
X= input atau variabel yang menjelaskan
A= intersep (konstan)
b = parameter untuk masing-masing input Xi
U= kesalahan (disturbance term)
e = 2,718 (logaritma natural)
Agar pendugaan dengan fungsi produksi Cobb-Douglas lebih mudah
dilakukan, persamaan (4.2) terlebih dahulu diubah ke dalam bentuk logaritma
berikut :
Log Y = log A + b1logX1 + b2logX2 + bilogXi + ... + bnlogXn ..... (4.3)
Dalam bentuk logaritma, persamaan (2.3) dapat diestimasi menggunakan metode
kuadrat terkecil (OLS). Dimana nilai parameter ataupun koefisien regresi dapat
dicari (Gujarati, 1997).
Salah satu ciri fungsi produksi Cobb-Douglas adalah besarnya elastisitas
produksi bagi setiap faktor produksi sama dengan nilai parameter faktor produksi
tersebut dan menunjukkan besarnya hubungan antara setiap faktor produksi
terhadap produksi (Hayami and Ruttan, 1985). Penjumlahan elastisitas (n),
91
merupakan ukuran return to scale. Apabila n = 1, berarti constant return to scale,
jika n > 1, berarti increasing return to scale, dan jika n < 1, berarti decreasing
return to scale (Soekartawi, 1994).
Fungsi produksi Cobb-Douglas memiliki beberapa kelebihan antara lain
(Soekartawi, 1994) :
a. Penyelesaian relatif lebih muda dibanding dengan fungsi yang lain misalnya
fungsi kuadratik, karena fungsi Cobb-Douglas dapat dengan mudah ditransfer
ke bentuk linier.
b. Hasil pendugaan garis melalui fungsi Cobb-Douglas akan menghasilkan
koefisien regresi yang sekaligus menunjukkan elastisitas.
c. Besaran elastisitas tersebut sekaligus menunjukkan tingkat besaran return to
scale.
Namun ada beberapa kelemahan model fungsi Cobb-Douglas (Soekartawi,
1994), yaitu :
a. Tidak pernah mencapai tingkat produksi maksimum.
b. Ada multicolinearity yang sulit dihindari.
c. Karena dalam pengoperasiannya menggunakan bentuk logaritma, maka untuk
variabel yang mempunyai nilai nol atau negatif tidak dapat dianalisis kecuali
dalam bentuk variabel dummy. Untuk mengatasi masalah ini variabel bernilai
nol dapat diganti dengan bilangan positif yang relatif kecil.
Faktor produksi sering disebut korbanan produksi karena faktor produksi
dikorbankan untuk menghasilkan produksi (Soekartawi, 2003; Jatileksono, 1993).
Dalam praktek pertanian, faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dibedakan
menjadi dua kelompok, yaitu :
a. Faktor biologis, seperti lahan pertanian dengan macam dan tingkat
kesuburannya, bibit, varietas, pupuk, pestisida, gulma, dan sebagainya.
b. Faktor sosial ekonomi, seperti biaya produksi, harga, tenaga kerja, tingkat
pendidikan, tingkat pendapatan, risiko dan ketidakpastian, kelembagaan,
tersedianya kredit dan sebagainya.
Dalam menganalisis data hasil survei, output tanaman pangan (Y)
seringkali tidak merupakan produk yang homogen dihasilkan oleh setiap petani,
92
sehingga Y sebaiknya diukur dengan nilai produksi, yang merupakan perkalian
antara kuantitas Y dengan harganya (Py). Dalam hal ini perbedaan Py antar petani
dapat dianggap mencerminkan perbedaan kualitas output tanaman pangan yang
dihasilkan (Jatileksono, 1993). Berdasarkan pemikiran tersebut maka dapat
dianalogikan untuk usahatani tanaman pangan yang menghasilkan lebih dari satu
jenis, outputnya dapat diukur dengan jumlah nilai produksi dari masing-masing
jenis tanaman pangan. Cara analisis tersebut telah dilakukan oleh Herdt (1971)
untuk menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produktivitas
pertanian di India dengan variabel dependen total nilai produksi pertanian; dan
oleh Yamin (2003) untuk menganalisis faktor faktor yang berpengaruh terhadap
produksi tanaman padi dengan variabel dependen nilai produksi padi.

B. Pendapatan Usahatani dan Fungsi Keuntungan


Pendapatan adalah pembayaran atas jasa-jasa faktor produksi yang
digunakan dalam suatu kegiatan ekonomi. Misalnya, pembayaran upah untuk
tenaga kerja, pembayaran bunga untuk pemilik modal, sewa tanah untuk pemilik
tanah dan keuntungan yang diterima oleh pemilik perusahaan. Pendapatan dari
seseorang adalah hasil penjualan dari faktor-faktor produksi yang dimilikinya
kepada sektor produksi. Sektor produksi membeli faktor-faktor produksi itu untuk
digunakan sebagai input proses produksi dengan harga yang berlaku di pasar
faktor produksi (Boediono, 1982). Perhitungan pendapatan ada dua, yaitu
pendapatan secara finansial dan secara ekonomi. Pendapatan finansial yang
diterima adalah selisih penerimaan dan biaya (tanpa biaya tenaga kerja keluarga)
dalam usahatani padi. Pendapatan secara ekonomi yaitu selisih antara total biaya
termasuk biaya tenaga kerja keluarga (Suratiyah, 2006; Anonim, 1981; Wibisono,
1999; Soekartawi et al., 1993 ).
Berdasarkan cara menghitung pendapatan usahatani dapat dianalisis
melalui dua pendekatan yaitu (Soekartawi, 1994) :
1) Pendekatan pendapatan (income approach) dengan rumus :
NR = TR - TCEksplisit ..................................................................... (4.4)
NR = TR - (TVC + TFC)Eksplisit
93
NR = Py.Y - (Px.X + TFC)Eksplisit
Keterangan :
NR : Net Revenue (pendapatan)
TR : Total Revenue (total penerimaan)
TCEksplisit : Total CostEksplisit (total biayaEksplisit)
TFC : Total Fixed Cost (total biaya tetap)
TVC : Total Variable Cost (total biaya variabel)
Py : Harga output
Y : jumlah output
Px : Harga input
X : Jumlah input
2) Pendekatan keuntungan (profit approach) dengan rumus :
π = TR - TCEksplisit + Implisit .............................................................. (4.5)
π = TR - (TVC + TFC)Eksplisit + Implisit
π = Py.Y - (Px.X + TFC)Eksplisit + Implisit
Keterangan :
π : Profit (keuntungan)
TR : Total revenue (total penerimaan)
TCEksplisit + Implisit : Total CostEksplisit + Implisit (total biayaEksplisit + Implisit)
TFC : Total Fixed Cost (total biaya tetap)
TVC : Total Variable Cost (total biaya variabel)
Py : Harga output
Y : Jumlah output
Px : Harga input
X : Jumlah input
Menurut Soekartawi et al. (1993), pendapatan kotor usahatani secara
operasional dapat dihitung. Pendapatan kotor untuk tanaman meliputi (1) nilai
hasil yang dijual, (2) nilai hasil yang dikonsumsi dalam rumah tangga petani, (3)
nilai hasil yang digunakan untuk bibit, (4) nilai hasil yang digunakan untuk
pembayaran, dan (5) nilai hasil yang masih disimpan. Pengeluaran usahatani
meliputi seluruh biaya yang digunakan dalam proses produksi. Biaya dapat
94
berwujud biaya variabel dan biaya tetap. Biaya variabel adalah biaya faktor-faktor
produksi variabel yaitu faktor produksi yang terpakai proses produksi atau habis
terpakai dalam jangka waktu analisis usahatani. Biaya variabel sangat
mempengaruhi jumlah produk yang dihasilkan. Biaya tetap adalah biaya faktor-
faktor produksi tetap yaitu faktor produksi yang tidak habis terpakai dalam proses
produksi atau tidak habis terpakai selama jangka waktu analisis usahatani.
Penerimaan usahatani dari usahataninya merupakan hasil kali harga jual
dengan produk yang dihasilkan. Produk yang dihasilkan dari suatu usahatani
dipengaruhi oleh beberapa faktor yang disebut dengan faktor produksi. Menurut
Kadarsan (1995) dalam Widiyanto (2001) faktor produksi merupakan faktor-
faktor yang digunakan dalam proses produksi antara lain kekayaan sumberdaya
alam, sumberdaya manusia, keterampilan dan modal. Oleh karena itu dalam
berusahatani dimungkinkan petani mengkombinasikan jenis usahatani yang
menguntungkan, mampu mengevaluasi kegagalan usahatani yang dahulu, mampu
memprediksikan jenis tanaman yang mempunyai prospek yang baik di pasar dan
mampu menekan risiko yang ada dengan faktor produksi yang dimiliki.
Menurut Widiyanto dalam (Mufriantie, 2005) petani dalam melakukan
usahataninya perlu memperhatikan hubungan ekonomi yang akan terjadi pada
usahataninya yaitu keunggulan usahatani yang dibandingkan, usahatani yang
dilakukan dengan biaya rendah, perubahan suatu usaha yang dianggap usaha
perusahaan dan pengalokasian sumberdaya tersedia. Dengan memperhatikan hal
tersebut maka untuk mencapai output diinginkan harus melihat hubungan antara
faktor produksi dengan output dihasilkan.
Menurut Yotopoulus dan Nugent (1976), keuntungan didefinisikan sebagai
current revenue yang dikurangi oleh total variable cost. Sedangkan Debertin
(1986) mendefinisikan sebagai nilai total produk (TVP) dikurangi total biaya
(TC). Fungsi keuntungan secara matematik dirumuskan sebagai berikut:
π = TVP – TC ………………………………………………… (4.6)
Keterangan:
π = keuntungan
TVP = nilai total produksi
95
TC = total biaya produksi
Fungsi produksi Cobb-Douglas dapat dipergunakan untuk mengetahui
hubungan antara input dan output serta mengukur pengaruh berbagai perubahan
harga input terhadap produksi (Soekartawi, 1994). Model fungsi keuntungan
jangka pendek (Yotopoulus and Lau, 1972) dapat dirumuskan sebagai berikut:
m
  pF ( X 1 ,... X m ; Z 1 ,...Z n )   ci X i ....................................... (4.7)
i 1

Keterangan:
π = keuntungan jangka pendek
p = harga output
ci = harga faktor produksi variabel
Keuntungan maskimum tercapai pada saat nilai produksi marginal sama
dengan harga input (marginal factor cost). Secara matematik dapat dirumuskan:
F ( X , Z )
p  ci i = 1, 2, .... m ............................................ (4.8)
X 1
Menurut Yotopoulus dan Lau (1972), dengan menyatakan ci* = ci/p
sebagai harga input ke-i yang dinormalkan, maka persamaan (2.8) dapat dituliskan
sebagai berikut:
F
 ci* i = 1, 2, .... m ..................................................... (4.9)
X t
Dengan menormalkan persamaan (2.7), maka persamaannya menjadi:
 m
   F ( X 1 ,...., X m ; Z 1 ,...., Z n )   c1* X 1* ........................ (4.10)
p i 1

Dimana : π* = keuntungan yang dinormalkan.


Persamaan (2.9) dapat memecahkan kuantitas optimal input variabel, yang
dinyatakan sebagai Xi*, yaitu sebagai fungsi harga input variabel yang
dinormalkan dan kuantitas input tetap, maka persamaannya menjadi:
Xi* = fi (c, Z) i = 1, 2, ...., m ............................................ (4.11)
Dengan mensubstitusi persamaan (4.11) ke persamaan (4.7), fungsi
keuntungan menjadi:

96
m
  pF ( X 1* ,...., X m* ; Z 1 ,...., Z m )   c1 X i*
i 1

* *
atau : π = G (c1 , ...., cm*; Z1, ...., Zn) ...................................... (4.12)
Fungsi keuntungan memberikan nilai maksimum keuntungan untuk setiap
set nilai (p, c*, Z). Dengan melihat fungsi pada persamaan (4.12), maka
selanjutnya dapat ditulis:
π = PG* (ci ; Zj) ....................................................................... (4.13)
Fungsi keuntungan yang dinormalkan menjadi:

*   G * (ci ,...., c n ; Z j ,...., Z m ) ......................................... (4.14)
p
Dengan mengasumsikan hubungan antara faktor-faktor produksi dengan
merupakan fungsi produksi Cobb Douglas, maka fungsi keuntungan yang
dinormalkan dapat ditulis sebagai berikut:
m n
 A
* *
 (c
i 1
* i
i )  (Z
j 1
j ) j ..................................................... (4.15)

Dalam bentuk logaritma natural, persamaan (4.15) dapat ditulis sebagai


berikut:
m n
ln  *  ln A*    1 ln ci*  j  1  *j ln Z j ........................... (4.16)
i 1

Keterangan:
π* = keuntungan yang dinormalkan
A* = intersep
αi* = koefisien harga faktor produksi variabel
*
βj = koefisien faktor produksi tetap
ci* = harga faktor produksi variabel yang dinormalkan
Zj = faktor produksi tetap.

C. Risiko dan Ketidakpastian dalam Pertanian


Debertin (1986) membedakan antara risiko dan ketidakpastian. Pada
keadaan ketidakpastian hasil yang mungkin diperoleh dan kemungkinan

97
terjadinya tidak dapat diketahui sedangkan pada keadaan risiko baik hasil yang
mungkin diperoleh maupun kemungkinan terjadinya dapat diketahui.
Setiap usaha mengandung ketidakpastian dan risiko, namun di balik risiko
tersebut terdapat peluang keuntungan bahkan semakin besar risiko maka semakin
besar pula keuntungan potensialnya. Usaha pertanian mempunyai risiko yang
cukup tinggi karena melibatkan proses biologis secara alami yang sulit diatur dan
mudah terpengaruh oleh lingkungan dengan musim yang sulit dikontrol. Risiko
dalam produksi pertanian menurut Soekartawi et al. (1993), diakibatkan oleh
adanya ketergantungan aktivitas pertanian pada alam, dimana pengaruh alam telah
banyak mempengaruhi total hasil panen pertanian. Berkaitan dengan penjelasan
tersebut, adanya ketidakpastian dimaksudkan pada risiko berproduksi dalam usaha
pertanian yang dihadapi masing-masing petani dan nampak dari variasi dalam
perolehan produksi maupun penerimaannya.
Soekartawi et al. (1993) mengatakan bahwa disebut risiko (risk) bila
diketahui berapa besar peluang terjadinya suatu kejadian. Misalnya, bila tahun
depan dikatakan akan ada musim kemarau panjang sehingga diperkirakan
produksi turun 30% maka secara tidak langsung peluang terhadap besarnya risiko
adalah 30% atau 0,3. Dapat diartikan bahwa bila petani tetap menanam padi maka
mereka mengetahui dan sadar kalau produksi yang diperoleh akan berkurang
sebesar 30%. Ketidakpastian (uncertainty) adalah ketika peluang terjadinya suatu
kejadian tidak diketahui sehingga petani atau produsen bertindak ’judi’
(gambling). Mereka menyadari adanya ketidakpastian yang tinggi bila dilakukan
penanaman sehingga mereka sadar akan terjadi kemungkinan yang terjelek,
misalnya tidak terjadi hasil sekalipun.
Hasan (2002) mengatakan bahwa risiko dapat menimbulkan beberapa
akibat, antara lain :
a. Timbul kerugian, artinya adanya risiko maka hasil positif yang akan diperoleh
atau diharapkan nantinya (keuntungan) akan berkurang dari semestinya.
b. Adanya ketidakpastian, artinya adanya risiko, maka tidak mungkin lagi
dipastikan hasil positif yang mungkin akan diterima karena risiko tidak bisa
dihitung secara pasti.
98
Darmadi (1997) menyatakan bahwa risiko dan ketidakpastian tidak
dianggap berbeda, karena kedua-duanya sama-sama dapat dihitung
probabilitasnya tetapi hanya dibedakan kalau risiko berhubungan dengan peluang
obyektif sedangkan ketidakpastian berhubungan dengan peluang subyektif.
Peluang subyektif tergantung pada subyektifitas orang yang mengetahui
berlangsungnya peristiwa yang terjadi pada suatu saat.
Snodgrass dan Wallace (1980) mengatakan bahwa dalam pertanian,
perubahan-perubahan yang dihadapi dalam pembuatan keputusan manajerial
berasal dari fluktuasi harga, iklim dan cuaca, serangga dan hama pengganggu
lainnya, kekeringan, banjir atau kebakaran, teknologi dan inovasi, perdagangan
asing dan kebijakan nasional, beberapa tipe regulasi pemerintah mengenai
penggunaan pestisida, pengairan, dan penggunaan lahan. Beberapa hal tersebut
dapat dikontrol oleh petani dan beberapa lainnya tidak dapat dikontrol. Petani
harus responsif atau adaptif terhadap perubahan-perubahan yang tidak dapat
dikontrol, sedangkan pada perubahan-perubahan yang dapat dikontrol petani dapat
memilih kapan dan bagaimana mengantisipasinya.
Faktor stochastic lingkungan sangat mempengaruhi proses produksi
pertanian sehingga menyebabkan ketidakpastian dalam penerimaan. Faktor
lingkungan tersebut adalah keadaan iklim dan biologi (seperti, penyakit), yang
menyebabkan variasi dalam produksi fisik. Sumber ketidakpastian yang kedua
adalah variabilitas harga pasar yang disebabkan oleh adanya variasi pada harga-
harga input dan harga produk pertanian. Faktor-faktor penyebab ketidakpastian
tersebut tidak dapat diprediksi dan dikendalikan oleh petani (Smidts, 1990).
Kay (1981) mengatakan bahwa di bidang pertanian, risiko yang terjadi
dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain : (a) penggunaan teknologi pada
usahatani yang umumnya dapat meningkatkan produksi, (b) harga produksi
pertanian yang berfluktuasi secara musiman, (c) finansial dipengaruhi oleh harga
dan produksi pertanian, (d) kebijakan pemerintah, dan (e) sifat individu petani
terutama dalam menjalin hubungan dengan pihak luar. Sejalan dengan itu menurut
Kadarsan (1995) ada beberapa hal penyebab risiko yaitu : ketidakpastian produksi,

99
tingkat harga, perkembangan teknologi. Penjelasan mengenai jenis risiko
usahatani adalah :
a. Risiko Produksi
Risiko produksi di sektor pertanian lebih besar dibandingkan dengan
sektor non pertanian karena pertanian sangat dipengaruhi oleh alam seperti cuaca,
hama, penyakit, suhu, kekeringan, dan banjir. Risiko produksi berubah secara
regional dan tergantung pada jenis tanah, iklim, penggunaan irigasi, dan variabel
lain. Perubahan untuk tanaman tertentu berbeda secara geografis dan tergantung
pada jenis dan kualitas tanah, iklim dan penggunaan irigasi. Perubahan
produktivitas seringkali diukur dengan indikator yang dikenal dengan coeficient of
variation yang mengukur keacakan yang berkaitan dengan nilai rata-rata dalam
produktivitas (Kadarsan, 1995).
Risiko dalam produksi pertanian menurut Soekartawi et al. (1986)
diakibatkan oleh adanya ketergantungan aktivitas pertanian pada alam, dimana
pengaruh buruk alam telah banyak mempengaruhi total hasil pertanian. Di sektor
pertanian, setiap aktivitas proses produksi selalu dihadapkan pada situasi
ketidakpastian. Hilang atau gagalnya produksi yang diharapkan berpengaruh
terhadap keputusan bagi usahatani berikutnya. Bagi petani, kegagalan berproduksi
yang seringkali terjadi akan mempengaruhi sikap dan perilakunya dalam
pengambilan keputusan berusahatani. Misalnya, petani tidak atau menolak
terhadap usaha-usaha penerapan inovasi baru yang mengandung risiko meskipun
akan menghasilkan keuntungan yang lebih besar.
b. Risiko Harga
Menurut Kadarsan (1995) bahwa risiko harga disebabkan harga pasar
sehingga tidak dapat dikuasai oleh petani. Naik turunnya harga lebih sering terjadi
pada hasil pertanian. Risiko pasar atau harga dapat dikaitkan dengan pembelian
input maupun penjualan output komoditi. Fluktuasi harga pembelian input
menimbulkan suatu risiko biaya usahatani. Fluktuasi harga input maupun output
menyebabkan kenaikan ataupun penurunan penghasilan sehingga menimbulkan
risiko pendapatan.

100
Harga hasil-hasil pertanian cenderung berfluktuasi dalam jangka pendek.
Ketidakstabilan harga tersebut disebabkan oleh permintaan dan penawaran ke atas
barang pertanian yang sifatnya tidak elastis. Sifat ini menyebabkan perubahan
yang sangat besar ke atas tingkat harga apabila permintaan dan penawaran
mengalami perubahan. Faktor yang menimbulkan ketidakstabilan harga pertanian
dalam jangka pendek dapat dibedakan dengan dua sumber, yaitu (a) naik turunnya
penawaran, dan (b) naik turunnya permintaan (Sukirno, 1999). Dalam jangka
panjang, perubahan harga, tingkat suku bunga, dan harga yang berkaitan adalah
faktor risiko yang mempengaruhi banyak keputusan (Patrick, 2003).

D. Fungsi Produksi Berisiko


Sumber ketidakpastian usahatani umumnya pada variabel harga dan
produktivitas. Kedua variabel ini berisiko tinggi (high risk), karena bila harga dan
produksi berubah maka pendapatan yang diterima juga berubah. Pertimbangan
risiko menjadi sangat penting dalam mengevaluasi berbagai macam kebijakan
ekonomi pertanian (Senjawati, 2008).
Teori yang membahas rumusan fungsi produksi stokastik yang
mempertimbangkan variabel risiko masih sangat terbatas. Fungsi produksi empiris
pada umumnya dipilih berdasarkan hakekat teori tentang hasil produksi (output)
terhadap penggunaan faktor produksi (input). Just and Pope (Roumasset, 1976)
menyatakan secara teoritis maupun dalam penggunaan empiris, fungsi produksi
stokastik diformulasikan dalam 3 bentuk :
q = F1 (X) ≡ f (x)eε E (ε) = 0 ................................. (4.17)
q = F2 (X) ≡ f (x)ε E (ε) = 1 ................................. (4.18)
q = F3 (X) ≡ f (x) + ε E (ε) = 0 ................................. (4.19)
Keterangan :
q : produksi
f (x) : fungsi produksi deterministik
Fi : fungsi produksi stokastik
X : vektor input
ε : variabel gangguan stokastik
101
Spesifikasi dari ketiga persamaan tersebut belum mempertimbangkan variabel
risiko dengan baik. Dengan mempertimbangkan variabel risiko, spesifikasi unsur
stokastik dapat diperbaiki. Berikut ini diuraikan beberapa postulat atau kriteria
yang mencerminkan hubungan teknis input-output dengan unsur stokastik Just
and Pope (Roumasset, 1976).
(p0) Produksi yang diharapkan bernilai positif [E(q) > 0].
(p1) Marjinal produk yang diharapkan bernilai positif [∂E(q)/∂Xi > 0].
(p2) Marjinal produk yang diharapkan mengikuti hukum penambahan yang
semakin berkurang [∂2E(q)/∂X2i < 0]. Kriteria ini sesuai dengan kondisi
konkavitas yang berlaku pada teori produksi deterministik.
(p3) Perubahan risiko produksi tidak diikuti perubahan output yang diharapkan,
apabila seluruh faktor dapat dikendalikan [∂E(q)/∂V(ε) = 0].
(p4) Marjinal risiko produksi dapat bersifat decreasing, increasing, atau constant
[∂V(q)/∂Xi >=< 0], dimana V(q) = E[q-E(q)]2.
(p5) Bagi produsen yang netral terhadap risiko dan bertujuan memaksimalkan
keuntungan, perubahan risiko tidak mempengaruhi keputusan penggunaan
input [∂X*i/∂V(ε) = 0, dimana X* merupakan tingkat input optimal].
(p6) Perubahan varian marjinal produk terhadap perubahan penggunaan input
dapat bersifat decreasing, increasing, atau constant [∂V(∂q/∂Xi)/∂Xj >=< 0].
(p7) Constant stochastic return to scale memungkinkan [F(θX) = θF(X), untuk
scalar θ].
Selanjutnya Just and Pope (Roumasset, 1976) menyatakan bahwa
spesifikasi fungsi produksi yang lazim digunakan belum memenuhi kriteria risiko
sehingga perlu disusun suatu rumusan fungsi produksi yang secara umum dapat
memenuhi kriteria risiko. Dalam membuat rumusan tersebut, Just and Pope
memodifikasi variabel pengganggu (ε) menjadi suatu fungsi risiko h(X)ε, dan
selanjutnya menambahkan fungsi tersebut pada fungsi produksi yang akan
digunakan untuk estimasi. Melalui fungsi yang telah di modifikasi ini dapat
diketahui hubungan antara input dengan ekspektasi output sekaligus dapat
ditentukan pula hubungan input dengan risiko produksi.

102
Dari ketiga bentuk fungsi produksi stokastik yang telah diperkenalkan
sebelumnya, yakni persamaan (4.17), (4.18), dan (4.19), persamaan (4.19)
merupakan bentuk fungsi produksi yang paling baik untuk dimodifikasi agar
memenuhi kriteria risiko. Persamaan (4.20) yang telah dimodifikasi dapat
dituliskan :
q = F3 (X) ≡ f (X) + h (X)ε, ................................................... (4.20)
Jika : E (ε) = 0, V (ε) = σ dan E(q) = f (X)
Maka :
∂E(q)/∂Xi = fi
∂2E(q)/∂X2i = fii
Melalui penjabaran tersebut maka kriteria (p0), (p1), dan (p2) dapat terpenuhi.
Selanjutnya berdasarkan (p3) dimana :
∂E(q)/∂V(ε) = 0 dan V(q) = E[q-E(q)]2
maka V(q) = h2 (X) σ
sehingga :
∂V(q)/∂Xi = 2hhiσ
Marjinal risiko dapat bersifat decreasing, increasing, atau constant (p4) tergantung
pada nilai h(X). Ketika ekspektasi output independen terhadap varian error V(ε)
(p5) juga terpenuhi. Selanjutnya untuk membuktikan kriteria (p6), adalah sebagai
berikut :
∂V(q)/∂Xi = fi + hiε
V [∂(q)/∂Xi] = hiiσ
V [(q) / X i ]
 2hi hij
X i
Varian marjinal produk tersebut akan bernilai positif, negatif, dan nol, tergantung
pada nilai hij. Yang terakhir, kriteria (8) terpenuhi apabila :
F3 (θX) = f(θX) + h(θX)ε = θ[f(X) + h(X)ε = θF3(X)
Estimasi terhadap fungsi risiko produksi h(X)ε dapat dilakukan dengan
meregres σ2i terhadap variabel X. Oleh karena biasanya σ2i tidak diketahui, Just
and Pope (Roumasset, 1976) menyarankan untuk menggunakan residual (μi)
sebagai pendekatan dengan prosedur sebagai berikut. Mula-mula lakukan estimasi
103
fungsi produksi dengan metode heteroskedasticity sehingga diperoleh nilai μi
dimana μi ≡ h(xi)ε = qi - f ( X i ). Selanjutnya meregres μ2 terhadap h2(X)σ atau
dalam bentuk yang lebih sederhana yakni lnμ2 terhadap ½lnh2(X)σ. Langkah
berikutnya lakukan estimasi fungsi produksi f(X) dan fungsi risiko h(X) secara
bersama-sama dengan pendekatan maximum likelihood dengan meminimalkan
jumlah kuadrat dari kedua fungsi tersebut dengan formulasi :
2
q  f (X )
SS =     ln h( X ) ............................................ (4.21)
 h( X ) 
Jika data produksi yang digunakan berdistribusi normal, pendekatan
maximum likelihood yaitu model multiplicative heteroskedasticity akan
memberikan hasil estimasi β yang lebih efisien daripada ketiga prosedur tersebut.

104
BAB 5
PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI PADI
BERDASARKAN PENGUASAAN LAHAN

A. Penggunaan Faktor Produksi Usahatani Padi


Produksi dan pendapatan yang diperoleh petani dalam usahatani padi
tergantung kombinasi dari berbagai faktor yang mendukung untuk memperoleh
hasil yang maksimal. Tinggi rendahnya produksi tergantung pada keputusan
petani, berapa jumlah sumberdaya (input) yang akan digunakan, berapa luas lahan
yang dipakai, berapa banyaknya benih, pupuk, pestisida, dan tenaga kerja. Pada
bagian ini membahas tentang penggunaan input, biaya sarana produksi, produksi
dan pendapatan usahatani padi pada berbagai status penguasaan lahan.
Input yang digunakan oleh para petani di daerah penelitian meliputi benih,
pupuk, obat-obatan dan tenaga kerja. Untuk mendapatkan pupuk dan obat-obatan
petani membeli di kios saprodi atau di toko pengecer yang ada di pasar.
Sedangkan benih, ada dua cara petani untuk mendapatkan yaitu petani yang
membeli dan petani membuat benih sendiri dengan cara menyemai hasil panen.
Bagi benih yang dibeli, petani dapat membeli di kios saprodi atau di toko
pengecer ada di pasar.
Pemupukan merupakan salah satu cara untuk meningkatkan produksi
dalam usahatani padi. Adapun jenis pupuk yang digunakan para petani adalah
pupuk urea, KCl, dan Phonska. Pemupukan dilakukan tiga kali dalam satu kali
musim panen, dimana pemupukan I dilakukan pada umur antara 21 – 25 hari
setelah tanam, pemupukan II dilakukan pada umur 45 – 50 hari setelah tanam, dan
pemupukan III dilakukan pada umur 65 – 70 hari setelah tanam.
Tabel 3. Rata-rata Penggunaan Pupuk per Hektar Usahatani Padi Berdasarkan
Penguasaan Lahan di Kabupaten Pinrang Tahun 2012
Penguasaan Lahan
Jenis Pupuk Satuan Milik Gadai Sakap
MT I MT II MT I MT II MT I MT II
Pupuk urea kg 205 203 185 183 143 139
Pupuk KCl kg 41 43 38 38 34 34
Pupuk Phonska kg 92 92 76 78 63 64
Sumber : Arifin, 2012.
105
Tabel 3 memperlihatkan bahwa secara rata-rata penggunaan pupuk dari
semua jenis pupuk (urea, KCl dan Phonska) lebih besar petani pemilik-penggarap
dibandingkan dengan petani gadai dan petani sakap baik pada musim tanam
pertama (MT I) maupun musim tanam kedua (MT II). Perbedaan jumlah
pemakaian pupuk tersebut disebabkan karena petani pemilik-penggarap lebih
berani membiayai usahataninya dalam hal ini pemakaian pupuk.
Pengendalian hama dan penyakit yang dilakukan oleh para petani
merupakan bagian untuk mencegah dan membebaskan tanaman padi dari serangan
hama dan penyakit tersebut. Ada beberapa macam dan jenis pestisida yang
digunakan petani untuk mengurangi serangan hama dan penyakit pada tanaman
padi. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4 sebagai berikut.
Tabel 4. Rata-rata Penggunaan Pestisida per Hektar Usahatani Padi Berdasarkan
Penguasaan Lahan di Kabupaten Pinrang Tahun 2012
Penguasaan Lahan
Jenis
Satuan Milik Gadai Sakap
Pestisida
MT I MT II MT I MT II MT I MT II
Billy bks 5,81 5,72 3,95 3,51 4,64 4,38
Cliffer lt 0,78 0,77 0,64 0,77 0,88 0,99
Lindomind lt 0,55 0,54 0,45 0,42 0,69 0,69
DMA 6 lt 0,53 0,54 0,56 0,55 0,68 0,67
Skor lt 0,05 0,06 0,04 0,04 0,09 0,13
Rumpas lt 0,15 0,20 0,03 0,03 0,22 0,28
Arrivo lt 0,10 0,08 0,08 0,07 0,12 0,14
Decis lt 0,34 0,25 0,12 0,11 0,41 0,26
Furadan bks 1,09 0,62 0,87 0,44 0,28 0,28
Sumber : Arifin, 2012.
Tabel 4 menjelaskan bahwa rata-rata penggunaan pestisida oleh para
petani berdasarkan status penguasaan lahan berbeda antara petani pemilik-
penggarap dengan petani gadai dan petani penyakap. Dimana petani pemilik-
penggarap lebih banyak menggunakan pestisida dibanding dengan petani gadai
dan petani penyakap baik MT I maupun MT II. Penggunaan pestisida lebih
banyak pada petani pemilik-penggarap, karena lebih berani membiayai
usahataninya yang terkait terhadap tingkat serangan hama yang terjadi pada
tanaman padi.

106
Tenaga kerja merupakan salah satu bagian terpenting dalam melakukan
usahatani padi. Tenaga kerja yang digunakan adalah tenaga mesin dan tenaga
manusia yang berasal dari dalam dan luar keluarga. Di daerah penelitian kegiatan
usahatani dilakukan secara manual menggunakan tenaga kerja manusia dan
menggunakan tenaga mesin. Penghitungan jumlah tenaga kerja adalah dalam Hari
Kerja Pria (HKP) yang dikonversi berdasarkan tingkat upah. Penggunaan tenaga
kerja di sajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Rata-rata Penggunaan Tenaga Kerja per Hektar Usahatani Padi
Berdasarkan Penguasaan Lahan di Kabupaten Pinrang Tahun 2012
Penguasaan Lahan
Jenis Pekerjaan Milik Gadai Sakap
DK LK DK LK DK LK
Pengolahan 1,27 0,09 1,18 0,03 1,15 0,00
Persemaian 1,39 0,05 1,15 0,00 1,13 0,00
Tanam 1,33 0,13 1,23 0,15 1,13 0,00
Pemupukan 1,37 0,07 1,18 0,03 1,15 0,00
Penyiangan 1,34 0,03 1,21 0,00 1,16 0,00
Pengendalian OPT 1,26 0,07 1,15 0,00 1,11 0,00
Pengairan 0,23 0,01 0,38 0,00 0,17 0,00
Panen 0,00 1,00 0,00 1,00 0,00 1,00
Sumber : Arifin, 2012.
Keterangan : DK = tenaga kerja dalam keluarga
LK = tenaga kerja luar keluarga

Kebutuhan tenaga kerja terbesar secara rata-rata yaitu pengolahan tanah


dan panen. Pada pengolahan tanah petani menggunakan traktor tangan untuk
membajak sawah yang diolah. Sehingga apabila dikonversi ke penggunaan tenaga
manusia, maka tenaga traktor tangan setara dengan 20 tenaga manusia. Sedangkan
panen juga membutuhkan tenaga manusia yang banyak, dimana alat yang
digunakan adalah mesin perontok padi dan mempunyai 25 orang sebagai tenaga
pembantu yang ikut dalam mesin perontok tersebut.

B. Penggunaan Faktor Produksi dan Produksi Usahatani Padi Berdasarkan


Penguasaan Lahan
Usahatani padi di Kabupaten Pinrang Propinsi Sulawesi Selatan pada
umumnya dilakukan dua kali tanam dalam satu tahun dan terbagi menjadi dua

107
musim tanam. Kedua musim tanam tersebut yaitu musim tanam I (MT I) dan
musim tanam II (MT II). Produksi yang diperoleh petani dari usahatani padi
berdasarkan penguasaan lahan berbeda antara petani pemilik-penggarap (pemilik)
dengan petani gadai dan penyakap (non pemilik). Dimana produksi yang
diperoleh petani pemilik lebih besar dari petani non pemilik. Hasil analisis
penggunaan faktor produksi dan produksi berdasarkan penguasaan lahan dan
musim tanam dapat diuraikan pada tabel berikut.
Tabel 6. Rata-rata Penggunaan Faktor Produksi dan Produksi Usahatani Padi per
Hektar Berdasarkan Penguasaan Lahan di Kabupaten Pinrang Tahun
2012
Petani Pemilik- Petani Gadai
Uraian Satuan Penggarap dan Penyakap t-hitung
(Pemilik) (Non Pemilik)
A. MT I
1. Benih kg 64,11 52,45 1,614 *
2. Tenaga kerja HOK 40,46 30,80 2,899 ***
3. Pupuk Urea kg 204,79 161,63 1,558 *
4. Pupuk KCl kg 40,53 35,47 1,450 *
5. Pupuk Phonska kg 92,45 69,13 2,291 **
6. Pestisida lt 1,39 1,09 2,749 ***
7. Produksi kg 5.137,23 3640,70 3,097 ***
8. Produktivitas kg/ha 5.834,33 5.620,92 2,024 **
B. MT II
1. Benih kg 64,04 52,84 1,552 *
2. Tenaga kerja HOK 40,62 30,92 2,916 ***
3. Pupuk Urea kg 202,66 159,01 1,566 *
4. Pupuk KCl kg 43,19 35,93 1,990 **
5. Pupuk Phonska kg 92,45 70,00 2,212 **
6. Pestisida lt 1,32 1,06 2,169 **
7. Produksi kg 5.191,49 3.693,02 3,080 ***
8. Produktivitas kg/ha 5.913,52 5.761,00 1,712 *
Rerata MT I + MT II
1. Benih kg 64,08 52,65 1,818 *
2. Tenaga kerja HOK 40,54 30,86 2,908 ***
3. Pupuk Urea kg 203,73 160,32 1,685 *
4. Pupuk KCl kg 41,86 35,70 1,750 *
5. Pupuk Phonska kg 92,45 69,57 2,254 **
6. Pestisida lt 1,36 1,08 2,575 **
7. Produksi kg 5164,36 3666,86 3,094 ***
8. Produktivitas kg/ha 5.873,93 5.690,96 1,757 *
Total luas lahan ha 41,70 42,49
Rata-rata luas lahan ha 0,44 0,49
108
Jumlah sampel 94 86
Sumber : Arifin, 2012.
Keterangan
*** = signifikan pada α : 1%
** = signifikan pada α : 5%
* = signifikan pada α : 10%

Tabel 7. Rata-rata Penggunaan Faktor Produksi dan Produksi Usahatani Padi per
Hektar Berdasarkan Penguasaan Lahan di Kabupaten Pinrang Tahun
2012
Petani Garap
Petani Garap
Uraian Satuan Lahan Orang t-hitung
Lahan Sendiri
Lain
A. MT I
1. Benih kg 65,37 46,46 2,544 **
2. Tenaga kerja HOK 39,20 29,89 2,677 ***
3. Pupuk Urea kg 209,57 139,23 2,466 **
4. Pupuk KCl kg 39,87 35,00 1,754 *
5. Pupuk Phonska kg 89,48 66,85 2,134 **
6. Pestisida lt 1,32 1,12 1,778 *
7. Produksi kg 4.972,17 2.934,62 3,027 ***
8. Produktivitas kg/ha 5.849,89 5.662,80 2,631 ***
B. MT II
1. Benih kg 65,31 46,97 2,467 **
2. Tenaga kerja HOK 39,35 30,04 2,682 ***
3. Pupuk Urea kg 207,17 136,92 2,447 **
4. Pupuk KCl kg 42,04 35,62 1,689 *
5. Pupuk Phonska kg 89,91 67,23 2,148 **
6. Pestisida lt 1,24 1,11 1,837 *
7. Produksi kg 5.039,13 2.923,54 3,084 ***
8. Produktivitas kg/ha 5.962,60 5.676,56 2,440 **
Rerata MT I + MT II
1. Benih kg 65,34 46,72 2,507 **
2. Tenaga kerja HOK 39,27 29,97 2,680 ***
3. Pupuk Urea kg 208,37 138,08 2,458 **
4. Pupuk KCl kg 40,96 35,31 1,996 **
5. Pupuk Phonska kg 89,70 67,04 2,143 **
6. Pestisida lt 1,28 1,12 1,748 *
7. Produksi kg 5.005,65 2.929,08 3,062 ***
8. Produktivitas kg/ha 5.906,24 5.669,68 2,543 **
Total luas lahan ha 57,07 27,12
Rata-rata luas lahan ha 0,50 0,42
Jumlah sampel 115 65
Sumber : Arifin, 2012.

109
Keterangan
*** = signifikan pada α : 1%
** = signifikan pada α : 5%
* = signifikan pada α : 10%
1. Benih
Penggunaan benih tertinggi berdasarkan penguasaan lahan terjadi pada
petani pemilik yang lebih besar dibandingkan dengan petani non pemilik di kedua
musim yaitu MT I dan MT II. Demikian juga pada petani garap lahan sendiri lebih
besar daripada petani garap lahan orang lain. Berdasarkan hasil uji t beda rata-rata
menunjukkan bahwa penggunaan benih berdasarkan penguasaan lahan yang
dilakukan oleh petani pemilik lebih besar dibandingkan dengan petani non
pemilik pada kedua musim tanam. Untuk penggunaan benih petani garap lahan
sendiri lebih besar daripada petani garap lahan orang lain pada kedua musim
tanam.
Varietas benih padi yang digunakan petani pemilik, petani non pemilik,
petani garap lahan sendiri, dan petani garap lahan orang lain adalah lebih banyak
menggunakan varietas ciliwung dan kristal. Asal benih padi yang digunakan
petani dalam usahatani adalah sama yaitu berasal dari hasil panen dan membeli
bibit padi yang telah disiapkan oleh pedagang. Penggunaan benih untuk sistem
tabela yang dianjurkan sesuai dengan rekomendasi adalah 50 – 60 kg/ha.
Berdasarkan penguasaan lahan (Tabel 6 dan Tabel 7) penggunaan benih yang
dilakukan oleh petani pemilik dan petani garap lahan sendiri sudah sesuai dengan
anjuran bahkan berlebih. Sedangkan petani non pemilik dan petani garap lahan
orang lain masih dibawah anjuran yang direkomendasikan.
Penggunaan benih lebih banyak digunakan oleh petani pemilik
dibandingkan dengan petani non pemilik. Sedangkan petani garap lahan sendiri
lebih besar daripada petani garap lahan orang lain. Hal ini disebabkan secara rata-
rata luasan lahan yang digunakan untuk usahatani padi petani pemilik lebih luas
dari petani non pemilik. Demikian juga petani garap lahan sendiri lebih luas
daripada petani garap lahan orang lain. Apabila lahan yang digunakan petani
dalam usahatani padi yaitu petani pemilik, petani non pemilik, petani garap lahan

110
sendiri, dan petani garap lahan orang lain semakin bertambah luas, maka
kebutuhan benih juga semakin bertambah.
2. Tenaga Kerja
Tenaga kerja yang digunakan dalam usahatani padi berasal dari dalam
keluarga dan luar keluarga petani, terdiri dari tenaga kerja wanita dan laki-laki.
Tenaga kerja wanita hanya digunakan pada saat panen, karena banyak
menggunakan tenaga kerja. Penggunaan tenaga kerja terbanyak berdasarkan status
penguasaan lahan yaitu pada petani pemilik lebih besar daripada petani non
pemilik di kedua musim yaitu MT I dan MT II. Untuk petani garap lahan sendiri
lebih besar daripada petani garap lahan orang lain. Hasil uji t beda rata-rata
menunjukkan bahwa penggunaan tenaga kerja usahatani padi yang dilakukan oleh
petani pemilik lebih besar dibandingkan dengan petani non pemilik pada kedua
musim tanam. Demikian juga petani garap lahan sendiri lebih besar daripada
petani garap lahan orang lain.
Jika dihitung berdasarkan penguasaan lahan yaitu antara petani pemilik
dengan petani non pemilik (tanpa membedakan musim tanam), maka jumlah tenaga
kerja terbanyak yang digunakan petani untuk usahatani padi adalah petani pemilik
lebih besar dibanding petani non pemilik. Demikian juga pada petani garap lahan
sendiri lebih besar daripada petani garap lahan orang lain. Hal ini terjadi secara
rata-rata luasan lahan yang digunakan untuk usahatani padi petani pemilik lebih
besar dari petani non pemilik, dan juga petani garap lahan sendiri lebih besar
daripada petani garap lahan orang lain.
3. Pupuk
Pupuk yang digunakan petani berbagai jenis dan berbeda komposisinya.
Adapun jenis pupuk yang digunakan petani adalah pupuk urea, pupuk KCl dan
pupuk phonska. Perbandingan penggunaan pupuk tersebut oleh petani bervariasi,
tergantung kondisi tanaman padi. Petani biasanya menggunakan pupuk lebih
banyak apabila tanaman padi telah mengalami serangan hama. Untuk memulihkan
tanaman padi agar lebih sehat lagi, maka petani menggunakan pupuk dari
berbagai variasi jenis pupuk tersebut. Jumlah penggunaan pupuk terbanyak (urea,
KCl, dan phonska) terjadi pada petani pemilik dan petani garap lahan sendiri di

111
kedua musim tanam (MT I dan MT II). Berdasarkan hasil uji t, beda rata-rata
menunjukkan bahwa penggunaan pupuk urea, pupuk KCl dan pupuk phonska
pada petani pemilik lebih banyak daripada petani non pemilik di kedua musim
tanam. Demikian juga pada petani garap lahan sendiri lebih banyak penggunaan
pupuk tersebut daripada petani garap lahan orang lain.
Jika dihitung berdasarkan penguasaan lahan tanpa membedakan musim
tanam, maka jumlah penggunaan pupuk urea, pupuk KCl dan pupuk phonska
terbanyak yang digunakan petani untuk usahatani padi adalah petani pemilik lebih
banyak daripada petani non pemilik. Untuk petani garap lahan sendiri lebih banyak
penggunaan pupuk tersebut daripada petani garap lahan orang lain.
Namun demikian petani pemilik, petani non pemilik, petani garap lahan
sendiri dan petani garap lahan orang lain belum menggunakan pupuk sesuai
anjuran yang direkomendasikan. Pupuk urea anjuran yang direkomendasikan yaitu
200 – 250 kg/ha, pupuk KCl anjuran yang direkomendasikan yaitu 100 – 150
kg/ha, dan pupuk phonska anjuran yang direkomendasikan yaitu 100 – 150 kg/ha.
Berdasarkan status penguasaan lahan (Tabel 6 dan Tabel 7) penggunaan pupuk
yang dilakukan oleh petani masih dibawah anjuran yang direkomendasikan.
4. Pestisida
Penggunaan pestisida yang dilakukan oleh petani pemilik, petani non
pemilik, petani garap lahan sendiri, dan petani garap lahan orang lain pada
usahatani padi adalah berbagai macam jenis. Petani biasanya menggunakan
pestisida apabila adanya gejala-gejala serangan hama pada tanaman padi.
Umumnya petani melakukan penyemprotan dengan mencampur antara pestisida
satu dengan lainnya apabila ada serangan hama pada tanaman padi meskipun
seringkali tidak diperlukan. Tujuan petani menggunakan pestisida lebih dari satu
dalam satu kali penyemprotan adalah, disamping tidak menimbulkan efek negatif
yaitu tidak terjadi kerusakan pada tanaman padi juga dapat menghemat waktu dan
tenaga dalam melakukan penyemprotan.
Penggunaan pestisida terbanyak berdasarkan penguasaan lahan adalah
petani pemilik lebih banyak dari petani non pemilik. Sedangkan petani garap
lahan sendiri lebih banyak penggunaan pestisida daripada petani garap lahan
112
orang lain. Berdasarkan hasil uji t, beda rata-rata menunjukkan bahwa
penggunaan pestisida pada petani pemilik lebih banyak daripada petani non
pemilik di kedua musim tanam. Demikian juga pada petani garap lahan sendiri
lebih banyak penggunaan pestisida daripada petani garap lahan orang lain. Jika
dihitung berdasarkan tanpa membedakan musim tanam, maka jumlah penggunaan
pestisida terbanyak yang digunakan petani untuk usahatani padi adalah petani
pemilik lebih banyak daripada petani non pemilik, dan petani garap lahan sendiri
lebih banyak daripada petani garap lahan orang lain.
5. Produksi
Berdasarkan penguasaan lahan pada usahatani padi, maka produksi padi
tertinggi secara rata-rata terjadi pada petani pemilik daripada petani non pemilik.
Sedangkan petani garap lahan sendiri lebih tinggi daripada petani garap lahan
orang lain. Hasil uji t, beda rata-rata menunjukkan bahwa produksi tanaman padi
pada petani pemilik dan petani garap lahan sendiri lebih tinggi daripada petani
non pemilik dan petani garap lahan orang lain. Hal ini disebabkan secara rata-rata
penggunaan input yang digunakan petani pemilik dan petani garap lahan sendiri
lebih besar daripada petani non pemilik dan petani garap lahan orang lain.
Demikian juga luas lahan secara rata-rata petani pemilik dan petani garap lahan
sendiri lebih luas daripada petani non pemilik dan petani garap lahan orang lain.
6. Produktivitas
Berdasarkan penguasaan lahan pada usahatani padi, maka produktivitas
tertinggi secara rata-rata terjadi pada petani pemilik daripada petani non pemilik.
Sedangkan petani garap lahan sendiri lebih tinggi daripada petani garap lahan
orang lain. Hasil uji t, beda rata-rata menunjukkan bahwa produktivitas tanaman
padi pada petani pemilik lebih tinggi daripada petani non pemilik. Demikian juga
pada petani garap lahan sendiri lebih tinggi daripada petani garap lahan orang lain.
Hal ini disebabkan secara rata-rata penggunaan input (benih, pupuk urea, KCl,
phonska, pestisida), tenaga kerja, produksi, dan luas lahan pada petani pemilik dan
petani garap lahan sendiri lebih besar daripada petani non pemilik dan petani
garap lahan orang lain. Besarnya produktivitas yang diperoleh petani pemilik dan
petani garap lahan sendiri, terkait lemahnya kekuatan tawar dari petani penyakap
113
yang ada pada petani non pemilik dan petani garap lahan orang lain. Petani
penyakap di daerah penelitian rata-rata kurang mampu membiayai usahataninya
dan lebih banyak menggantungkan pada pemilik lahan, serta petani penyakap
hanya mengandalkan tenaga kerja sendiri. Berdasarkan keadaan di daerah
penelitian mengindikasikan ada gejala kelebihan tenaga kerja (labor surplus
economy) dalam berusahatani.

C. Pendapatan Usahatani Padi Berdasarkan Penguasaan Lahan


Tujuan akhir petani yaitu memperoleh pendapatan atau keuntungan
setinggi-tingginya dari kegiatan usahatani yang dilakukannya. Keuntungan
usahatani padi merupakan selisih antara total penerimaan usahatani dengan total
pengeluaran/biaya usahatani. Total penerimaan usahatani padi merupakan hasil
kali antara total produksi (kg) yang dihasilkan dengan harga per satuan produksi
(Rp/kg) yang diterima petani, sedangkan pengeluaran merupakan jumlah biaya
yaitu biaya variabel dan biaya tetap. Hasil perhitungan pendapatan dari usahatani
padi yang diperoleh berdasarkan status kepemilikan lahan tersaji pada Tabel 8.

114
Tabel 8. Rata-rata Pendapatan Usahatani Padi per Hektar Berdasarkan Penguasaan Lahan MT I dan MT II di Kabupaten Pinrang
Tahun 2012
MT I MT II
Uraian Pemilik Non Pemilik t-hitung Pemilik Non Pemilik t-hitung
(Rp) (Rp) (Rp) (Rp)
1. Nilai produksi 11.976.276,60 8.564.651,16 3,097 *** 12.025.638,30 8.599.302,33 3,080 ***
2. Total biaya variabel :
2.1. Biaya benih 309.135,42 240.598,84 308.968,75 241.267,44
2.2. Biaya tenaga kerja luar
keluarga 1.148.252,86 795.022,78 1.547.949,85 1.185.092,19
2.3. Biaya pupuk urea 274.557,29 266.482,56 272.864,58 260.203,49
2.4. Biaya pupuk KCl 98.882,81 93.270,35 99.247,40 101.430,23
2.5. Biaya pupuk phonska 171.531,25 167.186,05 173.367,19 167.069,77
2.6. Biaya pestisida 221.958,33 180.668,60 209.281,25 171.618,60
3. Total biaya tetap :
3.1. Biaya pajak 111.848,96 94.593,02 111.848,96 94.593,02
3.2. Biaya penyusutan alat 59.765,61 58.027,73 59.765,61 58.027,73
4. Total biaya variabel dan
tetap 2.395.932,54 1.895.849,93 2.783.293,59 2.279.302,47
Pendapatan : (1 – 4) 9.376.469,06 6.668.801,23 3,110 *** 9.242.344,71 6.319.999,86 3,258 ***
Total luas lahan (ha) 41,70 42,49 41,70 42,49
Rata-rata luas lahan (ha) 0,44 0,49 0,44 0,49
Jumlah sampel 94 86 94 86
Sumber : Arifin, 2012.
Keterangan
*** = signifikan pada α : 1%

115
Hasil perhitungan usahatani padi Tabel 8 berdasarkan penguasaan lahan
(petani pemilik dengan petani non pemilik) pada MT I dan MT II menunjukkan
bahwa, nilai produksi atau penerimaan dari hasil usahatani padi tertinggi adalah
petani pemilik. Hasil uji t, beda rata-rata menunjukkan bahwa nilai produksi
usahatani padi petani pemilik lebih tinggi dibandingkan dengan nilai produksi
usahatani tanaman padi petani non pemilik.
Biaya yang dikeluarkan petani untuk usahatani padi meliputi biaya tetap
dan biaya variabel. Biaya tetap terdiri atas biaya pembayaran pajak dan
penyusutan alat. Biaya variabel terdiri atas biaya pembelian faktor produksi dan
upah tenaga kerja. Total biaya usahatani padi tertinggi yaitu petani pemilik, dan
total biaya terendah pada petani non pemilik.
Pendapatan usahatani padi tertinggi adalah petani pemilik dan pendapatan
terendah pada petani non pemilik di kedua musim tanam. Hasil uji t, beda rata-rata
menunjukkan bahwa total pendapatan usahatani padi petani pemilik lebih besar
dibandingkan dengan petani non pemilik.
Hasil perhitungan usahatani padi Tabel 9 tentang rerata (MT I + MT II)
berdasarkan penguasaan lahan (petani pemilik dengan petani non pemilik)
menunjukkan bahwa, nilai produksi atau penerimaan dari hasil usahatani padi
tertinggi adalah petani pemilik. Hasil uji t beda rata-rata, menunjukkan bahwa
nilai produksi usahatani padi petani pemilik lebih tinggi dibandingkan dengan
nilai produksi usahatani tanaman padi petani non pemilik.
Biaya yang dikeluarkan petani untuk usahatani padi meliputi biaya tetap
dan biaya variabel. Biaya tetap terdiri atas biaya pembayaran pajak dan
penyusutan alat. Biaya variabel terdiri atas biaya pembelian faktor produksi dan
upah tenaga kerja. Berdasarkan hasil perhitungan, petani pemilik lebih besar total
biaya usahatani padi daripada petani non pemilik.
Pendapatan usahatani padi tertinggi adalah petani pemilik yaitu sebesar
Rp. 9.242.344,71, dan pendapatan terendah pada petani non pemilik yaitu sebesar
Rp. 6.319.999,86. Hasil uji t beda rata-rata, menunjukkan bahwa total pendapatan
usahatani padi petani pemilik lebih besar dibandingkan dengan petani non
pemilik.
116
Tabel 9. Rerata (MT I + MT II) Pendapatan Usahatani Padi per Hektar
Berdasarkan Penguasaan Lahan di Kabupaten Pinrang Tahun 2012
Petani Pemilik- Petani Gadai
Penggarap dan Penyakap
Uraian t-hitung
(Pemilik) (Non Pemilik)
(Rp) (Rp)
1. Nilai produksi 12.000.957,45 8.581.976,75 3,017 ***
2. Total biaya variabel :
2.1. Biaya benih 309.052,09 240.933,14
2.2. Biaya tenaga kerja luar
keluarga 1.348.101,36 990.057,49
2.3. Biaya pupuk urea 273.710,94 263.343,03
2.4. Biaya pupuk KCl 99.065,11 97.350,29
2.5. Biaya pupuk phonska 172.449,22 167.127,91
2.6. Biaya pestisida 215.619,79 176.143,60
3. Total biaya tetap :
3.1. Biaya pajak 111.848,96 94.593,02
3.2. Biaya penyusutan alat 59.765,61 58.027,73
4. Total biaya variabel dan
tetap 2.589.613,08 2.087.576,21
Pendapatan : (1 – 4) 9.411.344,37 6.494.400,54 3,198 ***
Total luas lahan (ha) 41,70 42,49
Rata-rata luas lahan (ha) 0,44 0,49
Jumlah sampel 94 86
Sumber : Arifin, 2012.
Keterangan
*** = signifikan pada α : 1%
Berdasarkan hasil perhitungan kedua musim tanam (MT I dan MT II)
menunjukkan bahwa, nilai produksi atau penerimaan dari hasil usahatani padi
tertinggi pada petani pemilik pada MT II. Sedangkan nilai produksi terendah
diperoleh petani non pemilik pada MT I. Hasil uji t, beda rata-rata menunjukkan
bahwa nilai produksi usahatani padi pada petani pemilik lebih tinggi dibandingkan
dengan nilai produksi usahatani tanaman padi petani non pemilik pada kedua
musim. Untuk total biaya usahatani padi tertinggi adalah MT II yaitu petani
pemilik. Sedangkan total biaya terendah adalah MT I pada petani non pemilik.
Pendapatan usahatani padi tertinggi diperoleh MT I pada petani pemilik
yaitu sebesar Rp. 9.376.469,06. Sedangkan pendapatan terendah adalah MT II
pada petani non pemilik yaitu sebesar Rp. 6.319.999,86. Hasil uji t, beda rata-rata
menunjukkan bahwa total pendapatan usahatani padi petani pemilik lebih besar
117
dibandingkan dengan petani non pemilik pada kedua musim. Jika dihitung
berdasarkan musim tanam saja (tanpa membedakan petani pemilik dan non
pemilik) maka pendapatan dari usahatani padi tertinggi adalah pada MT I.
Dari hasil analisis pendapatan tersebut maka dapat diinterpretasikan
bahwa, nilai produksi dari usahatani padi dengan status pemilikan lahan petani
pemilik lebih tinggi dibandingkan dengan petani non pemilik pada kedua musim.
Ditinjau total biaya yang dikeluarkan untuk usahatani padi berdasarkan musim
tanam tanpa memperhitungkan status kepemilikan lahan (petani pemilik dan
petani non pemilik), maka MT II lebih besar daripada MT I. Hal ini disebabkan
oleh biaya benih, biaya/upah tenaga kerja luar keluarga, biaya pupuk KCl, dan
biaya pupuk phonska lebih tinggi pada MT II dibandingkan dengan MT I.

118
Tabel 10. Rata-rata Pendapatan Usahatani Padi per Hektar Berdasarkan Penguasaan Lahan MT I dan MT II di Kabupaten Pinrang
Tahun 2012
MT I MT II
Garap Lahan Garap Lahan Garap Lahan Garap Lahan
Uraian t-hitung t-hitung
Sendiri Orang Lain Sendiri Orang Lain
(Rp) (Rp) (Rp) (Rp)
1. Nilai produksi 11.663.478,26 8.074.461,54 3,003 *** 11.696.260,87 8.075.076,92 3,076 ***
2. Total biaya variabel :
2.1. Biaya benih 315.369,57 216.938,46 315.230,43 217.823,08
2.2. Biaya tenaga kerja luar
keluarga 1.162.725,73 690.627,29 1.577.337,02 1.036.497,80
2.3. Biaya pupuk urea 294.760,87 236.576,92 291.956,52 230.730,77
2.4. Biaya pupuk KCl 101.958,70 89.057,69 104.436,96 96.007,69
2.5. Biaya pupuk phonska 176.082,61 163.007,69 177.528,26 163.007,69
2.6. Biaya pestisida 213.495,65 189.130,77 200.826,09 180.849,23
3. Total biaya tetap :
3.1. Biaya pajak 116.517,39 84.200,00 116.517,39 84.200,00
3.2. Biaya penyusutan alat 63.374,75 52.919,81 63.374,75 52.919,81
4. Total biaya variabel dan
tetap 2.444.285,27 1.722.458,63 2.847.207,42 2.062.036,07
Pendapatan : (1 – 4) 9.219.192,99 6.352.002,91 2,834 *** 8.849.053,45 6.013.040,85 2,996 ***
Total luas lahan (ha) 57,07 27,12 57,07 27,12
Rata-rata luas lahan (ha) 0,50 0,42 0,50 0,42
Jumlah sampel 115 65 115 65
Sumber : Arifin, 2012.
Keterangan : *** = signifikan pada α : 1%

119
Hasil perhitungan usahatani padi Tabel 10 berdasarkan penguasaan lahan
(petani garap lahan sendiri dengan petani garap lahan orang lain) pada MT I dan
MT II menunjukkan bahwa, nilai produksi atau penerimaan dari hasil usahatani
padi tertinggi adalah petani garap lahan sendiri. Hasil uji t, beda rata-rata
menunjukkan bahwa nilai produksi usahatani padi petani garap lahan sendiri lebih
tinggi dibandingkan dengan nilai produksi usahatani tanaman padi petani garap
lahan orang lain.
Biaya yang dikeluarkan petani untuk usahatani padi meliputi biaya tetap
dan biaya variabel. Biaya tetap terdiri atas biaya pembayaran pajak dan
penyusutan alat. Biaya variabel terdiri atas biaya pembelian faktor produksi dan
upah tenaga kerja. Total biaya usahatani padi tertinggi yaitu petani garap lahan
sendiri, dan total biaya terendah pada petani garap lahan orang lain pada kedua
musim.
Pendapatan usahatani padi tertinggi adalah petani garap lahan sendiri dan
pendapatan terendah pada petani garap lahan orang lain pada kedua musim. Hasil
uji t, beda rata-rata menunjukkan bahwa total pendapatan usahatani padi petani
garap lahan sendiri lebih besar dibandingkan dengan petani garap lahan orang
lain.
Hasil perhitungan usahatani padi Tabel 11 tentang rerata (MT I + MT II)
berdasarkan status penguasaan lahan (petani garap lahan sendiri dengan petani
garap lahan orang lain) menunjukkan bahwa, nilai produksi atau penerimaan dari
hasil usahatani padi tertinggi adalah petani garap lahan sendiri. Hasil uji t beda
rata-rata, menunjukkan bahwa nilai produksi usahatani padi petani garap lahan
sendiri lebih tinggi dibandingkan dengan nilai produksi usahatani tanaman padi
petani garap lahan orang lain.
Biaya yang dikeluarkan petani untuk usahatani padi meliputi biaya tetap
dan biaya variabel. Biaya tetap terdiri atas biaya pembayaran pajak dan
penyusutan alat. Biaya variabel terdiri atas biaya pembelian faktor produksi dan
upah tenaga kerja. Berdasarkan hasil perhitungan, petani garap lahan sendiri lebih
besar total biaya usahatani padi daripada petani garap lahan orang lain.

120
Tabel 11. Rerata (MT I + MT II) Pendapatan Usahatani Padi per Hektar
Berdasarkan Penguasaan Lahan di Kabupaten Pinrang Tahun 2012
Petani Garap Petani Garap
Uraian Lahan Sendiri Lahan Orang Lain t-hitung
(Rp) (Rp)
1. Nilai produksi 11.663.478,26 8.074.461,54 3,047 ***
2. Total biaya variabel :
2.1. Biaya benih 315.300,00 217.380,77
2.2. Biaya tenaga kerja
luar keluarga 1.370.031,37 877.062,55
2.3. Biaya pupuk urea 293.358,70 233.653,85
2.4. Biaya pupuk KCl 103.197,83 92.532,69
2.5. Biaya pupuk phonska 176.805,43 163.007,69
2.6. Biaya pestisida 207.160,87 184.990,00
3. Total biaya tetap :
3.1. Biaya pajak 116.517,39 84.200,00
3.2. Biaya penyusutan alat 63.374,75 52.919,81
4. Total biaya variabel dan
tetap 2.645.746,34 1.905.747,36
Pendapatan : (1 – 4) 9.017.731,92 6.168.714,18 2,927 ***
Total luas lahan (ha) 57,07 27,12
Rata-rata luas lahan (ha) 0,50 0,42
Jumlah sampel 115 65
Sumber : Arifin, 2012.
Keterangan
*** = signifikan pada α : 1%
Pendapatan usahatani padi tertinggi adalah petani garap lahan sendiri yaitu
sebesar Rp. 9.017.731,92, dan pendapatan terendah pada petani garap lahan orang
lain yaitu sebesar Rp. 6.168.714,18. Hasil uji t beda rata-rata, menunjukkan bahwa
total pendapatan usahatani padi petani garap lahan sendiri lebih besar
dibandingkan dengan petani garap lahan orang lain.
Berdasarkan hasil perhitungan kedua musim tanam (MT I dan MT II)
menunjukkan bahwa, nilai produksi atau penerimaan dari hasil usahatani padi
tertinggi pada petani garap lahan sendiri pada MT II. Sedangkan nilai produksi
terendah diperoleh petani garap lahan orang lain pada MT I. Hasil uji t, beda rata-
rata menunjukkan bahwa nilai produksi usahatani padi pada petani garap lahan
sendiri lebih tinggi dibandingkan dengan nilai produksi usahatani tanaman padi
petani garap lahan orang lain pada kedua musim. Untuk total biaya usahatani padi

121
tertinggi adalah MT II yaitu petani garap lahan sendiri. Sedangkan total biaya
terendah adalah MT I pada petani garap lahan orang lain.
Pendapatan usahatani padi tertinggi diperoleh MT I pada petani garap
lahan sendiri yaitu sebesar Rp. 9.219.192,99. Sedangkan pendapatan terendah
adalah MT II pada petani garap lahan orang lain yaitu sebesar Rp. 6.013.040,85.
Hasil uji t, beda rata-rata menunjukkan bahwa total pendapatan usahatani padi
petani garap lahan sendiri lebih besar dibandingkan dengan petani garap lahan
orang lain pada kedua musim. Jika dihitung berdasarkan musim tanam saja (tanpa
membedakan petani garap lahan sendiri dan petani garap lahan orang lain) maka
pendapatan dari usahatani padi tertinggi adalah pada MT I.
Dari hasil analisis pendapatan tersebut maka dapat diinterpretasikan
bahwa, nilai produksi dari usahatani padi dengan penguasaan lahan petani garap
lahan sendiri lebih tinggi dibandingkan dengan usahatani padi pada penguasaan
lahan petani garap lahan orang lain pada kedua musim. Ditinjau total biaya yang
dikeluarkan untuk usahatani padi berdasarkan musim tanam tanpa
memperhitungkan penguasaan lahan (petani garap lahan sendiri dan garap lahan
orang lain), maka MT II lebih besar daripada MT I. Hal ini disebabkan oleh biaya
benih, biaya/upah tenaga kerja luar keluarga, biaya pupuk KCl, dan biaya pupuk
phonska lebih tinggi pada MT II dibandingkan dengan MT I.

122
BAB 6
RISIKO PRODUKSI DAN PENDAPATAN

A. Risiko Produksi Usahatani Padi Berdasarkan Penguasaan Lahan


Dalam penelitian ini untuk mengetahui perbedaan risiko produksi
berdasarkan penguasaan lahan antara petani pemilik dengan petani non pemilik
dan petani garap lahan sendiri dengan petani garap lahan orang lain dianalisis
dengan uji beda varian (F-test) dan koefisien variasi.
Tabel 12. Nilai F dan Koefisien Variasi Produksi Usahatani Padi Berdasarkan
Penguasaan Lahan di Kabupaten Pinrang Tahun 2012
Musim Tanam I Musim Tanam II
(MT I) (MT II)
Uraian
Koefisien Koefisien
Varian Varian
Variasi Variasi
Petani Pemilik-
Penggarap
(Pemilik) 13.579.571,13 0,717 13.711.629,94 0,713
Petani Gadai dan
Penyakap (Non
Pemilik) 6.863.343,79 0,720 7.021.811,79 0,718
Uji Beda Variance :
Fhitung 11,209 *** - 11,553 *** -
Ftabel (α=5%) 1,49 - 1,49 -
2
χ hitung 0,360 0,360
χ2tabel (α=5%) 3,841 3,841
Petani Garap Lahan
Sendiri 12.631.921,36 0,715 12.685.512,29 0,707
Petani Garap Lahan
Orang Lain 6.435.730,18 0,736 6.671.228,40 0,743
Uji Beda Variance :
Fhitung 9,333 *** - 10,144 *** -
Ftabel (α=5%) 1,49 - 1,49 -
χ2hitung 13,890*** 13,890***
χ2tabel (α=5%) 3,841 3,841
Sumber : Arifin, 2012.
Keterangan
*** = signifikan pada α : 1%
Tabel 12 menunjukkan bahwa variasi produksi beragam berdasarkan
penguasaan lahan antara petani pemilik dan non pemilik, dan petani garap lahan

123
sendiri dan petani garap lahan orang lain baik pada MT I maupun MT II, yang
mencerminkan besar kecilnya risiko produksi.
Hasil analisis uji beda varian yang ditunjukkan pada Tabel 12, dimana
nilai Fhitung dan Ftabel memiliki perbedaan yang berpengaruh nyata pada petani
pemilik dengan petani non pemilik baik pada MT I maupun MT II. Demikian juga
pada petani garap lahan sendiri dan petani garap lahan orang lain. Hal ini dapat
dijelaskan bahwa pada MT I dan MT II terdapat perbedaan risiko produksi antara
petani pemilik dengan petani non pemilik. Dimana risiko produksi pada petani
non pemilik lebih kecil daripada petani pemilik. Demikian juga pada petani garap
lahan sendiri dan petani garap lahan orang lain, dimana petani garap lahan orang
lain lebih kecil risiko produksinya daripada petani garap lahan sendiri. Perbedaan
risiko produksi tersebut, terkait dimana petani non pemilik dan petani garap lahan
orang lain tidak berani terhadap berisiko apabila keinginan untuk memperoleh
hasil produksi yang semakin besar maka dihadapkan pada risiko yang juga
semakin besar. Hal ini disebabkan karena kebanyakan petani non pemilik dan
petani garap lahan orang lain adalah petani yang kurang mampu dan hanya
mengandalkan tenaga kerja dalam keluarga. Keterbatasan petani tersebut
berdampak pada kemampuan dalam penggunaan input produksi untuk
meningkatkan hasil usahataninya. Rata-rata penggunaan input yang digunakan
masih kurang dan belum memenuhi anjuran yang seharusnya.
Selanjutnya dilihat dari besarnya nilai koefisien variasi dapat diketahui
bahwa risiko produksi petani pemilik tidak ada perbedaan dengan petani non
pemilik. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis uji Chi Kuadrat (χ2) menunjukkan
nilai χ2hitung lebih kecil dari nilai χ2tabel, berarti risiko produksi petani gadai dan
penyakap (non pemilik) lebih kecil atau sama dengan risiko produksi petani
pemilik-penggarap (pemilik) baik pada MT I maupun MT II. Sedangkan hasil
analisis uji Chi Kuadrat (χ2) menunjukkan nilai χ2hitung lebih besar dari nilai χ2tabel,
berarti risiko produksi petani garap lahan sendiri lebih besar daripada risiko
produksi petani garap lahan orang lain.
Namun dilihat dari nilai varian, maka petani pemilik mempunyai nilai
varian lebih besar dibandingkan dengan nilai varian pada petani non pemilik.
124
Demikian juga pada petani garap lahan sendiri dengan petani garap lahan orang
lain tidak ada perbedaan nilai koefisien variasinya, namun nilai varian petani
garap lahan sendiri lebih besar petani garap lahan orang lain.

B. Faktor yang Mempengaruhi Risiko Produksi


Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi MT I dan risiko produksi MT
I adalah luas lahan, tenaga kerja, benih, pupuk urea, pupuk KCl, pupuk phonska,
pestisida, umur petani, pengalaman berusahatani, pendidikan petani, status
kepemilikan lahan, dan status penguasaan lahan. Langkah pertama adalah
menganalisis faktor produksi yang mempengaruhi produksi melalui fungsi
produksi Cobb Douglas. Hasil analisis fungsi Cobb Douglas secara lengkap tersaji
pada Tabel 13.
Tabel 13. Hasil Analisis Regresi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi
MT I
Tanda Koefisien Standar
Variabel t-hitung Prob. Signifikan
Harapan Regresi Eror
C +/- -0.529 0.698 -0.758 0.450 ns
Ln LL + 0.330 0.079 4.205 0.000 ***
Ln JTK + 0.040 0.084 0.483 0.630 ns
Ln JB + 0.017 0.040 0.419 0.676 ns
Ln JPU + 0.277 0.094 2.955 0.004 ***
Ln JPK + 0.073 0.041 1.757 0.081 *
Ln JPP + 0.112 0.040 2.816 0.005 ***
Ln JP + 0.241 0.070 3.442 0.001 ***
Ln UP + 0.290 0.086 3.376 0.001 ***
Ln PUT + 0.128 0.048 2.670 0.008 **
Ln PP + 0.088 0.072 1.221 0.224 ns
D1 + 0.304 0.031 9.677 0.000 ***
D2 + 0.046 0.026 1.759 0.081 *
2
R 0.969 *** : Signifikan pada tingkat Kesalahan 1%
Adjusted R-squared 0.967 ** : Signifikan pada tingkat Kesalahan 5%
S.E. of regression 0.130 * : Signifikan pada tingkat Kesalahan 10%
F-statistik 440.438 *** ns : Tidak signifikan
Sumber : Arifin, 2012.
Berdasarkan hasil analisis yang tersaji pada Tabel 13, diketahui bahwa
nilai koefisien determinasi (Adjusted R2) sebesar 0,967. Hal ini berarti sebanyak
96,70 persen variasi dari produksi MT I dapat dijelaskan oleh variasi variabel

125
independen dalam model. Hasil uji menunjukkan bahwa nilai F hitung (α: 1%),
sebesar 440,44 lebih besar dari F tabel (1,49) berarti bahwa variabel independen
secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap produksi MT I.
Hasil uji t terhadap variabel independen menunjukkan variabel independen
yang berpengaruh nyata terhadap produksi MT I adalah luas lahan, jumlah pupuk
urea, jumlah pupuk KCl, jumlah pupuk phonska, jumlah pestisida, umur petani,
pengalaman berusahatani, dummy status kepemilikan lahan dan dummy status
penguasaan lahan. Variabel jumlah tenaga kerja, jumlah benih, dan pendidikan
petani, tidak berpengaruh nyata terhadap produksi MT I. Koefisien regresi luas
lahan, jumlah pupuk urea, jumlah pupuk KCl, jumlah pupuk phonska, jumlah
pestisida, umur petani, pengalaman berusahatani, dummy status kepemilikan lahan
dan dummy status penguasaan lahan bertanda positif. Berarti setiap penambahan
faktor produksi tersebut akan menaikkan produksi MT I.
Langkah kedua untuk membahas risiko produksi MT I adalah
menganalisis faktor produksi yang mempengaruhi produksi melalui fungsi
produksi model Just and Pope. Hasil analisis fungsi produksi model Just and Pope
secara lengkap tersaji pada Tabel 14.
Berdasarkan hasil analisis yang tersaji pada Tabel 14, diketahui bahwa
nilai koefisien determinasi (Adjusted R2) sebesar 0.983. Hal ini berarti sebanyak
98,30 persen variasi dari risiko produksi dapat dijelaskan oleh variasi variabel
independen dalam model. Hasil uji menunjukkan bahwa nilai F hitung (α: 1%),
sebesar 836,80 lebih besar dari F tabel (1,49) berarti bahwa variabel independen
secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap risiko produksi MT I.
Hasil uji t terhadap variabel independen menunjukkan variabel independen
yang berpengaruh nyata dan negatif terhadap risiko produksi MT I adalah luas
lahan, jumlah pupuk urea, jumlah pupuk phonska, dan jumlah pestisida.
Sedangkan variabel dummy status kepemilikan lahan berpengaruh nyata dan
positif terhadap risiko produksi MT I.
1. Luas Lahan
Koefisien regresi luas lahan (Ln LL) mempunyai koefisien regresi positif
dan berpengaruh nyata terhadap produksi, sedangkan terhadap risiko produksi
126
berpengaruh nyata dan negatif. Koefisien regresi luas lahan sebesar -0.069, hasil
uji t berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 95 persen. Hal ini menunjukkan
bahwa luas lahan berpengaruh nyata dan negatif terhadap risiko produksi. Berarti
setiap kenaikan luas lahan sebesar 1 persen akan menurunkan risiko produksi
sebesar 0,069 persen. Penambahan luas lahan yang digarap baik petani pemilik-
penggarap, petani gadai dan petani sakap masih memungkinkan untuk menaikkan
produksi. Penduduk di daerah penelitian sebagian besar mata pencahariannya
adalah sebagai petani, dan umumnya luas lahan yang digarap masih kurang.
Apabila luas lahan yang digarap petani tersebut ditambah dan sistem pengelolaan
yang baik, maka akan dapat menaikkan produksi dan menurunkan risiko produksi.
Tabel 14. Hasil Analisis Regresi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Risiko
Produksi MT I
Tanda Koefisien Standar
Variabel t-hitung Prob. Signifikan
Harapan Regresi Eror
C +/- 6.000 0.191 31.429 0.000 ***
Ln LL - -0.069 0.031 -2.203 0.029 **
Ln JTK - 0.003 0.011 0.247 0.805 ns
Ln JB - -0.029 0.029 -1.002 0.318 ns
Ln JPU - -0.025 0.012 -2.071 0.040 **
Ln JPK - 0.002 0.006 0.400 0.690 ns
Ln JPP - -0.066 0.018 -3.591 0.000 ***
Ln JP - -0.159 0.032 -4.934 0.000 ***
Ln UP +/- 0.008 0.013 0.586 0.559 ns
Ln PUT - -0.001 0.030 -0.024 0.981 ns
Ln PP - -0.047 0.038 -1.223 0.223 ns
D1 + 0.019 0.011 1.789 0.076 **
D2 + 0.002 0.005 0.375 0.709 ns
2
R 0.984 *** : Signifikan pada tingkat Kesalahan 1%
Adjusted R-squared 0.983 ** : Signifikan pada tingkat Kesalahan 5%
S.E. of regression 0.024 ns : Tidak signifikan
F-statistik 836.801 ***
Sumber : Arifin, 2012.
2. Jumlah Tenaga Kerja
Koefisien regresi jumlah tenaga kerja (Ln JTK) mempunyai koefisien
regresi positif dan tidak berpengaruh nyata terhadap produksi dan risiko produksi.
Hal ini disebabkan karena di daerah penelitian semua petani sudah menggunakan
traktor tangan pada saat pengolahan lahan dan menggunakan mesin prontok padi

127
pada saat panen. Sedangkan pada saat pemeliharaan tanaman umumnya petani
sendiri yang mengerjakan. Sehingga apabila jumlah tenaga kerja ditambah, maka
akan menaikkan risiko produksi terutama terkait dengan semakin banyak biaya
yang harus dikeluarkan petani.
3. Jumlah Benih
Koefisien regresi jumlah benih (Ln JB) mempunyai koefisien regresi
positif dan tidak berpengaruh nyata terhadap produksi dan risiko produksi. Di
daerah penelitian pada umumnya cara tanam yang digunakan petani adalah tanam
benih langsung (tabela). Cara tabela lebih banyak menggunakan jumlah benih
dibandingkan dengan cara tanam pindah (tapin). Penambahan benih masih dapat
dilakukan petani untuk mengantisipasi kekurangan akibat cara tabela boros
menggunakan benih. Benih yang digunakan petani berasal dari berbagai macam
sumber, antara lain dari hasil panen petani sendiri, hasil penangkaran benih, dan
beli di kios benih.
4. Jumlah Pupuk Urea
Koefisien regresi jumlah pupuk urea (Ln JPU) mempunyai koefisien
regresi positif dan berpengaruh nyata terhadap produksi, sedangkan terhadap
risiko produksi berpengaruh nyata dan negatif. Koefisien regresi jumlah pupuk
urea sebesar -0,025, hasil uji t berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 95
persen. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah pupuk urea berpengaruh nyata dan
negatif terhadap risiko produksi. Berarti setiap kenaikan jumlah pupuk urea
sebesar 1 persen akan menurunkan risiko produksi sebesar 0,025 persen. Hasil
tersebut mengindikasikan bahwa penggunaan pupuk urea belum mencapai
kebutuhan maksimum, sehingga dengan menambah jumlah pemakaian urea dalam
batas tertentu maka produksi padi dapat ditingkatkan dan risiko produksi
menurun.
5. Jumlah Pupuk KCl
Variabel jumlah pupuk KCl (Ln JPK) mempunyai koefisien regresi positif
dan berpengaruh nyata terhadap produksi sedangkan terhadap risiko produksi
tidak berpengaruh nyata. Berarti peningkatan penggunaan pupuk KCl tidak

128
mempengaruhi risiko produksi, tetapi akan meningkatkan produksi karena
pemakaian pupuk KCl belum maksimum.
6. Jumlah Pupuk Phonska
Koefisien regresi jumlah pupuk phonska (Ln JPP) mempunyai koefisien
regresi positif dan berpengaruh nyata terhadap produksi, sedangkan terhadap
risiko produksi berpengaruh nyata dan negatif. Koefisien regresi jumlah pupuk
phonska sebesar -0.066, hasil uji t berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 99
persen. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah pupuk phonska berpengaruh nyata
dan negatif terhadap risiko produksi. Berarti setiap kenaikan jumlah pupuk
phonska sebesar 1 persen akan menurunkan risiko produksi sebesar 0.066 persen.
Hasil tersebut mengindikasikan bahwa penggunaan pupuk phonska belum
mencapai kebutuhan maksimum, sehingga dengan menambah jumlah pemakaian
phonska produksi padi dapat ditingkatkan dan risiko produksi menurun.
7. Jumlah Pestisida
Koefisien regresi jumlah pestisida (Ln JP) mempunyai koefisien regresi
positif dan berpengaruh nyata terhadap produksi, sedangkan terhadap risiko
produksi berpengaruh nyata dan negatif. Koefisien regresi jumlah pestisida
sebesar -0,159, hasil uji t berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 99 persen.
Hal ini menunjukkan bahwa jumlah pestisida berpengaruh nyata dan negatif
terhadap risiko produksi. Berarti setiap kenaikan jumlah pestisida sebesar 1 persen
akan menurunkan risiko produksi sebesar 0,159 persen. Hasil tersebut
mengindikasikan bahwa penggunaan pestisida belum mencapai kebutuhan
pemakaian maksimum, sehingga dengan menambah jumlah pestisida dalam
rangka menanggulangi serangan hama dan penyakit pada tanaman padi, maka
produksi dapat ditingkatkan dan risiko produksi menurun.
8. Umur Petani
Variabel umur petani (Ln UP) mempunyai koefisien regresi positif dan
berpengaruh nyata terhadap produksi sedangkan terhadap risiko produksi tidak
berpengaruh nyata. Berarti umur petani bertambah maka pengalaman petani
semakin bertambah dalam mengelola usahataninya, sehingga produksi dapat
meningkat dan risiko produksi dapat menurun.
129
9. Pengalaman Berusahatani
Variabel pengalaman berusahatani (Ln PUT) mempunyai koefisien regresi
positif dan berpengaruh nyata terhadap produksi sedangkan terhadap risiko
produksi tidak berpengaruh nyata. Berarti pengalaman berusahatani bertambah
maka petani tersebut semakin luas dan bertambah pengetahuannya dalam
mengelola usahatani yang diusahakan, sehingga produksi dapat meningkat dan
risiko produksi menurun.
10. Pendidikan Petani
Variabel Pendidikan petani (Ln PP) mempunyai koefisien regresi positif
dan tidak berpengaruh nyata terhadap produksi dan risiko produksi. Berdasarkan
petani responden di daerah penelitian, rata-rata pendidikan formal petani adalah
menengah ke bawah (dominan pendidikan SD dan SMP). Kecenderungan ini
terkait dengan peran petani dalam usahatani padi yang cukup intensif,
menyebabkan petani memiliki keterbatasan waktu melanjutkan pendidikan formal
yang lebih tinggi dan juga memiliki keterbatasan akses untuk mengembangkan
diri melalui pendidikan formal lainnya (kursus dan pelatihan).
11. Status Kepemilikan Lahan
Koefisien regresi status kepemilikan lahan (D1) mempunyai koefisien
regresi positif dan berpengaruh nyata terhadap produksi, sedangkan terhadap
risiko produksi berpengaruh nyata dan positif. Koefisien regresi status
kepemilikan lahan sebesar 0,019, hasil uji t berpengaruh nyata pada tingkat
kepercayaan 90 persen. Hal ini menunjukkan bahwa status kepemilikan lahan
berpengaruh nyata dan positif terhadap risiko produksi. Berarti setiap kenaikan
status pemilikan lahan sebesar 1 persen akan menaikkan risiko produksi sebesar
0.019 persen. Status kepemilikan lahan adalah status antara petani pemilik dengan
petani non pemilik. Dapat diartikan bahwa baik petani pemilik maupun petani non
pemilik berdampak terhadap risiko produksi. Namun petani non pemilik lebih
kecil risiko produksinya daripada petani pemilik. Perbedaan risiko produksi
tersebut, terkait dimana petani non pemilik tidak berani terhadap risiko apabila
keinginan untuk memperoleh hasil produksi yang semakin besar maka dihadapkan
pada risiko yang juga semakin besar. Hal ini disebabkan karena kebanyakan
130
petani non pemilik adalah petani yang kurang mampu dan hanya mengandalkan
tenaga kerja dalam keluarga. Keterbatasan petani tersebut berdampak pada
kemampuan dalam penggunaan input produksi untuk meningkatkan hasil
usahataninya. Rata-rata penggunaan input yang digunakan masih kurang dan
belum memenuhi anjuran yang seharusnya. Hal ini terkait dimana petani non
pemilik lebih banyak yang kurang mampu memberikan input produksi sesuai
anjuran karena keterbatasan modal untuk membiayai usahataninya dan hanya
mengandalkan tenaga kerja keluarga.
12. Status Penguasaan Lahan
Variabel status Penguasaan lahan (D2) mempunyai koefisien regresi positif
dan berpengaruh nyata terhadap produksi dan tidak berpengaruh nyata terhadap
risiko produksi. Status penguasaan lahan adalah antara petani garap lahan sendiri
dengan petani garap lahan orang lain. Berarti antara petani garap lahan sendiri
dengan petani garap lahan orang lain terdapat perbedaan terhadap dampak pada
produksi. Dimana petani garap lahan sendiri produksi yang diperoleh lebih besar
daripada petani garap lahan orang lain. Namun mempunyai peluang yang sama
terhadap dampak risiko produksi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi MT II dan risiko produksi MT
II adalah luas lahan, tenaga kerja, benih, pupuk urea, pupuk KCl, pupuk phonska,
pestisida, umur petani, pengalaman berusahatani, pendidikan petani, status
kepemilikan lahan, dan status penguasaan lahan. Langkah pertama adalah
menganalisis faktor produksi yang mempengaruhi produksi melalui fungsi
produksi Cobb Douglas. Hasil analisis fungsi Cobb Douglas secara lengkap tersaji
pada Tabel 15.
Berdasarkan hasil analisis yang tersaji pada Tabel 15, diketahui bahwa
nilai koefisien determinasi (Adjusted R2) sebesar 0,988. Hal ini berarti sebanyak
98,80 persen variasi dari produksi MT II dapat dijelaskan oleh variasi variabel
independen dalam model. Hasil uji menunjukkan bahwa nilai F hitung (α: 1%),
sebesar 1188,75 lebih besar dari F tabel (1,49) berarti bahwa variabel independen
secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap produksi MT II.

131
Tabel 15. Hasil Analisis Regresi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi
MT II
Tanda Koefisien Standar
Variabel t-hitung Prob. Signifikan
Harapan Regresi Eror
C +/- 3.037 0.313 9.691 0.000 ***
Ln LL + 0.108 0.032 3.386 0.001 ***
Ln JTK + 0.136 0.028 4.889 0.000 ***
Ln JB + 0.035 0.016 2.218 0.028 **
Ln JPU + 0.141 0.042 3.371 0.001 ***
Ln JPK + 0.024 0.021 1.151 0.251 ns
Ln JPP + 0.016 0.030 0.535 0.593 ns
Ln JP + 0.138 0.053 2.627 0.009 ***
Ln UP + 0.008 0.027 0.302 0.763 ns
Ln PUT + 0.349 0.047 7.472 0.000 ***
Ln PP + 0.425 0.050 8.502 0.000 ***
D1 + 0.037 0.017 2.145 0.033 **
D2 + 0.003 0.016 0.171 0.864 ns
*** : Signifikan pada tingkat Kesalahan
R2 0.988 1%
** : Signifikan pada tingkat Kesalahan
Adjusted R-squared 0.988 5%
S.E. of regression 0.079 ns : Tidak signifikan
F-statistik 1188.746***
Sumber : Arifin, 2012.
Hasil uji t terhadap variabel independen menunjukkan variabel independen
yang berpengaruh nyata terhadap produksi MT II adalah luas lahan, jumlah tenaga
kerja, jumlah benih, jumlah pupuk urea, jumlah pestisida, pengalaman
berusahatani, pendidikan petani, dan dummy status kepemilikan lahan. Variabel
jumlah pupuk KCl, jumlah pupuk phonska, umur petani, dan dan dummy status
penguasaan lahan tidak berpengaruh nyata terhadap produksi MT II. Koefisien
regresi luas lahan, jumlah tenaga kerja, jumlah benih, jumlah pupuk urea, jumlah
pestisida, pengalaman berusahatani, pendidikan petani, dan dummy status
kepemilikan lahan bertanda positif. Berarti setiap penambahan faktor produksi
tersebut akan menaikkan produksi MT II.
Langkah kedua untuk membahas risiko produksi MT II adalah
menganalisis faktor produksi yang mempengaruhi produksi melalui fungsi
produksi model Just and Pope. Hasil analisis fungsi produksi model Just and Pope
secara lengkap tersaji pada Tabel 16.

132
Tabel 16. Hasil Analisis Regresi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Risiko
Produksi MT II
Tanda Koefisien Standar
Variabel t-hitung Prob. Signifikan
Harapan Regresi Eror
C +/- 8.987 1.025 8.767 0.000 ***
Ln LL - -0.218 0.091 -2.396 0.018 **
Ln JTK - -0.011 0.023 -0.482 0.631 ns
Ln JB - -0.553 0.084 -6.555 0.000 ***
Ln JPU - -0.113 0.054 -2.096 0.038 **
Ln JPK - -0.003 0.023 -0.130 0.897 ns
Ln JPP - -0.080 0.047 -1.728 0.086 *
Ln JP - -0.111 0.061 -1.836 0.068 *
Ln UP - 0.037 0.032 1.170 0.244 ns
Ln PUT - -0.155 0.059 -2.640 0.009 ***
Ln PP - -0.037 0.030 -1.222 0.224 ns
D1 + 0.103 0.037 2.755 0.007 ***
D2 + 0.002 0.017 0.102 0.919 ns
2
R 0.952 *** : Signifikan pada tingkat Kesalahan 1%
Adjusted R-squared 0.949 ** : Signifikan pada tingkat Kesalahan 5%
S.E. of regression 0.092 * : Signifikan pada tingkat Kesalahan 10%
F-statistik 277.094 *** ns : Tidak signifikan
Sumber : Arifin, 2012.
Berdasarkan hasil analisis yang tersaji pada Tabel 16, diketahui bahwa
nilai koefisien determinasi (Adjusted R2) sebesar 0,949. Hal ini berarti sebanyak
94,90 persen variasi dari risiko produksi MT II dapat dijelaskan oleh variasi
variabel independen dalam model. Hasil uji menunjukkan bahwa nilai F hitung (α:
1%), sebesar 277,09 lebih besar dari F tabel (1,49) berarti bahwa variabel
independen secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap risiko produksi MT
II.
Hasil uji t terhadap variabel independen menunjukkan variabel independen
yang berpengaruh nyata dan negatif terhadap risiko produksi MT II adalah luas
lahan, jumlah benih, jumlah pupuk urea, jumlah pupuk phonska, jumlah pestisida,
dan pengalaman berusahatani. Sedangkan variabel dummy status kepemilikan
lahan berpengaruh nyata dan positif terhadap risiko produksi MT II.
1. Luas Lahan
Koefisien regresi luas lahan (Ln LL) mempunyai koefisien regresi positif
dan berpengaruh nyata terhadap produksi, sedangkan terhadap risiko produksi

133
berpengaruh nyata dan negatif. Koefisien regresi luas lahan sebesar -0,218, hasil
uji t berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 95 persen. Hal ini menunjukkan
bahwa luas lahan berpengaruh nyata dan negatif terhadap risiko produksi. Berarti
setiap kenaikan luas lahan sebesar 1 persen akan menurunkan risiko produksi
sebesar 0,218 persen. Penambahan luas lahan yang digarap baik petani pemilik
dan petani non pemilik masih memungkinkan untuk kenaikan produksi. Penduduk
di daerah penelitian sebagian besar mata pencahariannya adalah sebagai petani,
dan umumnya luas lahan yang digarap masih kurang. Apabila luas lahan yang
digarap petani tersebut ditambah dengan sistem pengelolaan yang baik, maka akan
dapat menaikkan produksi dan resiko produksi dapat dikendalikan atau
diturunkan.
2. Jumlah Tenaga Kerja
Koefisien regresi jumlah tenaga kerja (Ln JTK) mempunyai koefisien
regresi positif dan berpengaruh nyata terhadap produksi, sedangkan terhadap
risiko produksi berpengaruh tidak nyata dan negatif. Hal ini disebabkan karena di
daerah penelitian semua petani sudah menggunakan traktor tangan pada saat
pengolahan lahan dan menggunakan mesin perontok padi pada saat panen.
Sedangkan pada saat pemeliharaan tanaman umumnya petani sendiri yang
mengerjakan. Sehingga apabila jumlah tenaga kerja ditambah, maka akan
menaikkan risiko produksi terutama terkait dengan semakin banyak biaya yang
harus dikeluarkan petani.
3. Jumlah Benih
Koefisien regresi jumlah benih (Ln JB) mempunyai koefisien regresi
positif dan berpengaruh nyata terhadap produksi, sedangkan terhadap risiko
produksi berpengaruh nyata dan negatif. Koefisien regresi jumlah benih sebesar -
0,553, hasil uji t berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 99 persen. Hal ini
menunjukkan bahwa jumlah benih berpengaruh nyata dan negatif terhadap risiko
produksi. Berarti setiap kenaikan jumlah benih sebesar 1 persen akan menurunkan
risiko produksi sebesar 0,553 persen. Di daerah penelitian pada umumnya cara
tanam yang digunakan petani adalah tanam benih langsung (tabela). Cara tabela
lebih banyak menggunakan jumlah benih dibandingkan dengan cara tanam pindah
134
(tapin). Penambahan benih masih dapat dilakukan petani untuk mengantisipasi
kekurangan akibat cara tabela boros menggunakan benih. Benih yang digunakan
petani berasal dari berbagai macam sumber, antara lain dari hasil panen petani
sendiri, hasil penangkaran benih, dan beli di kios benih.
4. Jumlah Pupuk Urea
Koefisien regresi jumlah pupuk urea (Ln JPU) mempunyai koefisien
regresi positif dan berpengaruh nyata terhadap produksi, sedangkan terhadap
risiko produksi berpengaruh nyata dan negatif. Koefisien regresi jumlah pupuk
urea sebesar -0,113, hasil uji t berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 95
persen. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah pupuk urea berpengaruh nyata dan
negatif terhadap risiko produksi. Berarti setiap kenaikan jumlah pupuk urea
sebesar 1 persen akan menurunkan risiko produksi sebesar 0,113 persen. Hasil
tersebut mengindikasikan bahwa penggunaan pupuk urea belum mencapai
kebutuhan maksimum, sehingga dengan menambah jumlah pemakaian pupuk urea
maka produksi padi dapat ditingkatkan dan risiko produksi menurun.
5. Jumlah Pupuk KCl
Variabel jumlah pupuk KCl (Ln JPK) mempunyai koefisien regresi positif
dan tidak berpengaruh nyata terhadap produksi sedangkan terhadap risiko
produksi tidak berpengaruh nyata dan negatif. Berarti penggunaan pupuk KCl
tidak mempengaruhi risiko produksi, dan juga tidak meningkatkan produksi
karena pemakaian pupuk KCl belum maksimum. Umumnya petani di daerah
penelitian masih kurang memakai pupuk KCl, disebabkan para petani tidak
mampu membeli karena harga mahal.
6. Jumlah Pupuk Phonska
Koefisien regresi jumlah pupuk phonska (Ln JPP) mempunyai koefisien
regresi positif dan tidak berpengaruh nyata terhadap produksi, sedangkan terhadap
risiko produksi berpengaruh nyata dan negatif. Koefisien regresi jumlah pupuk
phonska sebesar -0,080, hasil uji t berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 90
persen. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah pupuk phonska berpengaruh nyata
dan negatif terhadap risiko produksi. Berarti setiap kenaikan jumlah pupuk
phonska sebesar 1 persen akan menurunkan risiko produksi sebesar 0,080 persen.
135
Hasil tersebut mengindikasikan bahwa penggunaan pupuk phonska belum
mencapai kebutuhan maksimum, sehingga dengan menambah jumlah pemakaian
phonska produksi padi dapat ditingkatkan dan risiko produksi menurun.
Umumnya petani di daerah penelitian masih kurang memakai pupuk phonska,
disebabkan para petani tidak mampu membeli karena harga mahal.
7. Jumlah Pestisida
Koefisien regresi jumlah pestisida (Ln JP) mempunyai koefisien regresi
positif dan berpengaruh nyata terhadap produksi, sedangkan terhadap risiko
produksi berpengaruh nyata dan negatif. Koefisien regresi jumlah pestisida
sebesar -0,111, hasil uji t berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 90 persen.
Hal ini menunjukkan bahwa jumlah pestisida berpengaruh nyata dan negatif
terhadap risiko produksi. Berarti setiap kenaikan jumlah pestisida sebesar 1 persen
akan menurunkan risiko produksi sebesar 0,111 persen. Hasil tersebut
mengindikasikan bahwa penggunaan pestisida belum mencapai kebutuhan
pemakaian maksimum, sehingga dengan menambah jumlah pestisida dalam
rangka mengurangi serangan hama dan penyakit pada tanaman sehingga produksi
padi dapat ditingkatkan dan risiko produksi menurun.
8. Umur Petani
Variabel umur petani (Ln UP) mempunyai koefisien regresi positif dan
tidak berpengaruh nyata terhadap produksi dan risiko produksi. Berarti petani
yang memiliki umur yang telah berusia lanjut akan memperoleh produksi
usahatani padi yang lebih rendah. Petani umur usia lanjut akan menurun
kemampuan untuk mengelola usahatani, sehingga mengakibatkan risiko produksi
jadi naik.
9. Pengalaman Berusahatani
Variabel pengalaman berusahatani (Ln PUT) mempunyai koefisien regresi
positif dan berpengaruh nyata terhadap produksi sedangkan risiko produksi
berpengaruh nyata dan negatif. Koefisien regresi pengalaman berusahatani sebesar
-0,155, hasil uji t berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 99 persen. Hal ini
menunjukkan bahwa pengalaman berusahatani berpengaruh nyata dan negatif
terhadap risiko produksi. Berarti setiap kenaikan pengalaman berusahatani sebesar
136
1 persen akan menurunkan risiko produksi sebesar 0,155 persen. Berarti
pengalaman berusahatani bertambah maka petani tersebut semakin luas dan
bertambah pengetahuannya dalam mengelola usahatani yang diusahakan,
sehingga produksi dapat meningkat dan risiko produksi menurun.
10. Pendidikan
Variabel Pendidikan petani (Ln PP) mempunyai koefisien regresi positif
dan berpengaruh nyata terhadap produksi dan tidak berpengaruh nyata dan negatif
terhadap risiko produksi. Berdasarkan petani responden di daerah penelitian, rata-
rata pendidikan formal petani adalah menengah ke bawah (dominan pendidikan
SD dan SMP). Kecenderungan ini terkait dengan peran petani dalam usahatani
padi yang cukup intensif, menyebabkan petani memiliki keterbatasan waktu
melanjutkan pendidikan formal yang lebih tinggi dan juga memiliki keterbatasan
akses untuk mengembangkan diri melalui pendidikan formal lainnya (kursus dan
pelatihan). Oleh karena itu pendidikan petani masih perlu ditingkatkan melalui
jenjang pendidikan formal (kursus dan pelatihan), sehingga produksi bisa
meningkat dan risiko produksi dapat ditekan atau menurun.
11. Status Kepemilikan Lahan
Koefisien regresi status kepemilikan lahan (D1) mempunyai koefisien
regresi positif dan berpengaruh nyata terhadap produksi dan risiko produksi.
Koefisien regresi status kepemilikan lahan petani pemilik sebesar 0,103, hasil uji t
berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 99 persen. Hal ini menunjukkan
bahwa status kepemilikan lahan berpengaruh nyata dan positif terhadap risiko
produksi. Berarti setiap kenaikan status kepemilikan lahan sebesar 1 persen akan
menaikkan risiko produksi sebesar 0,103 persen. Status kepemilikan lahan adalah
status antara petani pemilik dengan petani non pemilik. Dapat diartikan bahwa
baik petani pemilik maupun petani non pemilik berdampak terhadap risiko
produksi. Namun petani non pemilik lebih kecil risiko produksinya daripada
petani pemilik. Perbedaan risiko produksi tersebut, terkait dimana petani non
pemilik tidak berani terhadap risiko apabila keinginan untuk memperoleh hasil
produksi yang semakin besar maka dihadapkan pada risiko yang juga semakin
besar. Hal ini disebabkan karena kebanyakan petani non pemilik adalah petani
137
yang kurang mampu dan hanya mengandalkan tenaga kerja dalam keluarga.
Keterbatasan petani tersebut berdampak pada kemampuan dalam penggunaan
input produksi untuk meningkatkan hasil usahataninya. Rata-rata penggunaan
input yang digunakan masih kurang dan belum memenuhi anjuran yang
seharusnya. Hal ini terkait dimana petani non pemilik lebih banyak yang kurang
mampu memberikan input produksi sesuai anjuran karena keterbatasan modal
untuk membiayai usahataninya dan hanya mengandalkan tenaga kerja keluarga.
12. Status Penguasaan Lahan
Variabel status penguasaan lahan (D2) mempunyai koefisien regresi positif
dan tidak berpengaruh nyata terhadap produksi dan risiko produksi. Status
penguasaan lahan adalah antara petani garap lahan sendiri dengan petani garap
lahan orang lain. Berarti antara petani garap lahan sendiri dengan petani garap
lahan orang lain tidak ada perbedaan terhadap dampak pada produksi. Namun
mempunyai peluang yang sama baik petani garap lahan sendiri maupun petani
garap lahan orang lain berdampak terhadap risiko produksi.

C. Risiko Pendapatan Usahatani Padi Berdasarkan Penguasaan Lahan


Mengetahui perbedaan risiko pendapatan berdasarkan penguasaan lahan
pada petani non pemilik dengan petani pemilik, dan petani garap lahan sendiri
dengan petani garap lahan orang dianalisis dengan uji beda varian (F-test) dan
koefisien variasi. Tabel 17 menunjukkan bahwa variasi pendapatan beragam
berdasarkan penguasaan lahan yaitu petani pemilik dan petani non pemilik, dan
petani garap lahan sendiri dan petani garap lahan orang lain baik pada MT I
maupun MT II, yang mencerminkan besar kecilnya risiko pendapatan.
Hasil anailsis uji beda varian yang ditunjukkan pada Tabel 17, dimana
nilai Fhitung dan Ftabel memiliki perbedaan yang berpengaruh nyata pada petani
pemilik dengan petani non pemilik baik MT I maupun MT II. Demikian juga pada
petani garap lahan sendiri dan petani garap lahan orang lain. Hal ini dapat
dijelaskan bahwa MT I dan MT II terdapat perbedaan risiko pendapatan antara
petani pemilik dengan petani non pemilik. Dimana risiko pendapatan petani non
pemilik lebih kecil daripada petani pemilik. Demikian juga pada petani garap
138
lahan sendiri dan petani garap lahan orang lain, dimana petani garap lahan orang
lain lebih kecil risiko pendapatannya daripada petani garap lahan sendiri.
Perbedaan risiko pendapatan tersebut, terkait dimana petani non pemilik dan
petani garap lahan orang lain tidak berani berisiko apabila keinginan untuk
memperoleh hasil pendapatan yang semakin besar maka dihadapkan pada risiko
yang juga semakin besar. Keberanian petani dalam mengambil keputusan sangat
dipengaruhi oleh kondisi risiko dari usahataninya. Hal ini disebabkan karena
kebanyakan petani non pemilik dan petani garap lahan orang lain adalah petani
yang kurang mampu atau keterbatasan modal dan hanya mengandalkan tenaga
kerja dalam keluarga. Keterbatasan petani tersebut berdampak pada kemampuan
dalam membiayai penggunaan input produksi untuk meningkatkan hasil
usahataninya.
Selanjutnya dilihat dari besarnya nilai koefisien variasi dapat diketahui
bahwa risiko pendapatan petani pemilik tidak ada perbedaan dengan petani non
pemilik. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis uji Chi Kuadrat (χ2) menunjukkan
nilai χ2hitung lebih kecil dari nilai χ2tabel, berarti risiko pendapatan petani gadai dan
penyakap (non pemilik) lebih kecil atau sama dengan risiko pendapatan petani
pemilik-penggarap (pemilik) baik pada MT I maupun MT II. Sedangkan hasil
analisis uji Chi Kuadrat (χ2) menunjukkan nilai χ2hitung lebih besar dari nilai χ2tabel,
berarti risiko pendapatan petani garap lahan sendiri lebih besar daripada risiko
pendapatan petani garap lahan orang lain.
Selanjutnya dilihat dari besarnya nilai koefisien variasi dapat diketahui
bahwa risiko pendapatan petani pemilik tidak ada perbedaan dengan petani non
pemilik. Namun dilihat dari nilai varian, maka petani pemilik mempunyai nilai
varian lebih besar dibandingkan dengan nilai varian pada petani non pemilik.
Demikian juga pada petani garap lahan sendiri dengan petani garap lahan orang
lain tidak ada perbedaan nilai koefisien variasinya, namun nilai varian petani
garap lahan sendiri lebih besar petani garap lahan orang lain.

139
Tabel 17. Nilai F dan Koefisien Variasi Pendapatan Usahatani Padi Berdasarkan
Penguasaan Lahan di Kabupaten Pinrang Tahun 2012
Musim Tanam I Musim Tanam II
(MT I) (MT II)
Uraian
Koef. Koef.
Varian Varian
Variasi Variasi
Petani 47.338.772.101.962,90 0,748 44.643.973.210.073,60 0,755
Pemilik-
Penggarap
(Pemilik)
Petani 25.073.126.370.524,30 0,786 21.117.141.050.284,10 0,763
Gadai dan
Penyakap
(Non
Pemilik)
Uji Beda
Variance :
Fhitung 12,185 *** - 14,286 *** -
Ftabel (α=5%) 1,49 - 1,49 -
χ2hitung 0,360 0,360
χ2tabel (α=5%) 3,841 3,841
Petani 44.395.484.030.599,80 0,756 41.096.971.080.903,80 0,757
Garap
Lahan
Sendiri
Petani 23.985.089.022.013,70 0,800 20.601.485.780.320,20 0,788
Garap
Lahan
Orang Lain
Uji Beda
Variance :
Fhitung 9,993 *** - 11,246 *** -
Ftabel (α=5%) 1,49 - 1,49 -
χ2hitung 13,890*** 13,890***
χ2tabel (α=5%) 3,841 3,841
Sumber : Arifin, 2012.
Keterangan
*** = signifikan pada α : 1%

D. Faktor yang Mempengaruhi Risiko Pendapatan


Faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan MT I dan risiko pendapatan
MT I adalah luas lahan, upah tenaga kerja dinormalkan, harga benih dinormalkan,
harga pupuk urea dinormalkan, harga pupuk phonska dinormalkan, umur petani,
pengalaman berusahatani, status kepemilikan lahan, dan status penguasaan lahan.
140
Langkah pertama adalah menganalisis faktor pendapatan yang mempengaruhi
pendapatan melalui fungsi produksi Cobb Douglas. Hasil analisis fungsi Cobb
Douglas secara lengkap tersaji pada Tabel 18.
Tabel 18. Hasil Analisis Regresi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pendapatan
MT I
Tanda Koefisien Standar Signifi-
Variabel t-hitung Prob.
Harapan Regresi Eror kan
C +/- 5.691 0.732 7.778 0.000 ***
Ln LL + 0.166 0.039 4.209 0.000 ***
Ln UTK - -0.476 0.167 -2.850 0.005 ***
Ln HB - -0.381 0.098 -3.910 0.000 ***
Ln HPU - -0.344 0.195 -1.763 0.080 *
Ln HPP - 0.741 0.234 3.174 0.002 ***
Ln UP +/- 0.062 0.036 1.734 0.085 *
Ln PUT + 1.608 0.162 9.943 0.000 ***
D1 + 0.154 0.037 -4.132 0.000 ***
D2 + -0.001 0.023 -0.009 0.993 ns
*** : Signifikan pada tingkat
R2 0.986 Kesalahan 1%
* : Signifikan pada tingkat Kesalahan
Adjusted R-squared 0.985 10%
S.E. of regression 0.103 ns : Tidak signifikan
F-statistik 1283.620 ***
Sumber : Arifin, 2012.
Berdasarkan hasil analisis yang tersaji pada Tabel 18, diketahui bahwa
nilai koefisien determinasi (Adjusted R2) sebesar 0,985. Hal ini berarti sebanyak
98,50 persen variasi dari pendapatan MT I dapat dijelaskan oleh variasi variabel
independen dalam model. Hasil uji menunjukkan bahwa nilai F hitung (α: 1%),
sebesar 1283,62 lebih besar dari F tabel (1,49) berarti bahwa variabel independen
secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap pendapatan MT I.
Hasil uji t terhadap variabel independen menunjukkan variabel independen
yang berpengaruh nyata dan positif terhadap pendapatan MT I adalah luas lahan,
harga pupuk phonska, umur petani, pengalaman berusahatani, dan status
kepemilikan lahan. Berpengaruh nyata dan negatif terhadap pendapatan MT I
adalah upah tenaga kerja, harga benih, dan harga pupuk urea. Sedangkan variabel
dummy status penguasaan lahan tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan
MT I.

141
Langkah kedua untuk membahas risiko pendapatan MT I adalah
menganalisis faktor pendapatan yang mempengaruhi pendapatan MT I melalui
fungsi produksi model Just and Pope. Hasil analisis fungsi produksi model Just
and Pope secara lengkap tersaji pada Tabel 19.
Tabel 19. Hasil Analisis Regresi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Risiko
Pendapatan MT I
Tanda Koefisien Standar Signifi-
Variabel t-hitung Prob.
Harapan Regresi Eror kan
C +/- -10.257 0.722 -14.208 0.000 ***
Ln LL - -0.343 0.132 -2.591 0.010 ***
Ln UTK + 2.684 0.084 31.823 0.000 ***
Ln HB + 0.088 0.082 1.080 0.028 **
Ln HPU + -0.154 0.235 -0.655 0.513 ns
Ln HPP + 1.060 0.232 4.574 0.000 ***
Ln UP +/- -0.004 0.011 -0.329 0.743 ns
Ln PUT - -0.194 0.018 -10.570 0.000 ***
D1 + 0.018 0.010 1.811 0.072 *
D2 + -0.016 0.011 -1.470 0.143 ns
2
R 0.980 *** : Signifikan pada tingkat Kesalahan 1%
Adjusted R-squared 0.978 ** : Signifikan pada tingkat Kesalahan 5%
S.E. of regression 0.032 * : Signifikan pada tingkat Kesalahan 10%
F-statistik 903.243*** ns : Tidak signifikan
Sumber : Arifin, 2012.
Berdasarkan hasil analisis yang tersaji pada Tabel 19, diketahui bahwa
nilai koefisien determinasi (Adjusted R2) sebesar 0,978. Hal ini berarti sebanyak
98,48 persen variasi dari risiko pendapatan MT I dapat dijelaskan oleh variasi
variabel independen dalam model. Hasil uji menunjukkan bahwa nilai F hitung (α:
1%), sebesar 903,24 lebih besar dari F tabel (1,49) berarti bahwa variabel
independen secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap risiko pendapatan
MT I.
Hasil uji t terhadap variabel independen menunjukkan variabel independen
yang berpengaruh nyata dan negatif terhadap risiko pendapatan MT I adalah luas
lahan, dan pengalaman berusahatani. Sedangkan variabel upah tenaga kerja, harga
benih, harga pupuk phonska, dan dummy status kepemilikan lahan berpengaruh
nyata dan positif terhadap risiko pendapatan MT I.

142
1. Luas Lahan
Koefisien regresi luas lahan (Ln LL) mempunyai koefisien regresi positif
dan berpengaruh nyata terhadap pendapatan MT I sedangkan risiko pendapatan
MT I berpengaruh nyata dan negatif. Koefisien regresi luas lahan sebesar -0, 343,
hasil uji t berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 99 persen. Hal ini
menunjukkan bahwa luas lahan berpengaruh nyata dan negatif terhadap risiko
pendapatan MT I. Berarti setiap kenaikan luas lahan sebesar 1 persen akan
menurunkan risiko pendapatan MT I sebesar 0,343 persen. Semakin besar luas
lahan yang diperoleh dari usahatani padi maka semakin besar pendapatan yang
diperoleh petani, sehingga risiko pendapatan menurun. Hal ini disebabkan petani
mampu mengelola usahatani secara maksimal apabila lahan yang dikelola tersebut
bertambah. Dengan penambahan luas lahan yang dikelola, maka peluang untuk
mendapatkan produksi semakin besar dan pendapatan juga dapat meningkat.
2. Upah Tenaga Kerja
Koefisien regresi upah tenaga kerja dinormalkan (Ln UTK) mempunyai
koefisien regresi negatif dan berpengaruh nyata terhadap pendapatan MT I,
sedangkan terhadap risiko pendapatan MT I berpengaruh nyata dan positif.
Koefisien regresi upah tenaga kerja dinormalkan sebesar 2,684, hasil uji t
berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 99 persen. Hal ini menunjukkan
bahwa upah tenaga kerja dinormalkan berpengaruh nyata dan positif terhadap
risiko pendapatan MT I. Berarti setiap kenaikan upah tenaga kerja dinormalkan
sebesar 1 persen akan menaikkan risiko pendapatan MT I sebesar 2,684 persen.
Setiap kenaikan upah tenaga kerja akan menurunkan pendapatan yang diperoleh
petani dan berdampak pada kenaikan risiko pendapatan. Kenaikan upah tenaga kerja
berarti kenaikan biaya yang harus dikeluarkan petani, sehingga berdampak pada
penurunan pendapatan. Kenaikan upah tenaga kerja dilokasi penelitian terjadi pada
saat panen dan pengangkutan hasil panen diperlukan penanganan cepat, sehingga
upah tenaga kerja akan bertambah. Disisi lain dapat mengurangi risiko penyusutan
hasil panen dan harga gabah yang diterima petani.

143
3. Harga Benih
Koefisien regresi harga benih dinormalkan (Ln HB) mempunyai koefisien
regresi negatif dan berpengaruh nyata terhadap pendapatan MT I, sedangkan
terhadap risiko pendapatan MT I berpengaruh nyata dan positif. Koefisien regresi
harga benih dinormalkan sebesar 0,088, hasil uji t berpengaruh nyata pada tingkat
kepercayaan 95 persen. Hal ini menunjukkan bahwa harga benih dinormalkan
berpengaruh nyata dan positif terhadap risiko pendapatan MT I. Berarti setiap
kenaikan harga benih dinormalkan sebesar 1 persen akan menambah risiko
pendapatan MT I sebesar 0,088 persen. Semakin tinggi harga benih semakin kecil
pendapatan yang diterima petani. Sebagian besar petani di lokasi penelitian
membeli benih dengan harga yang bervariasi. Oleh karena itu, apabila terjadi
kenaikan harga benih akan berdampak pada semakin besarnya pengeluaran petani
sehingga pendapatan berkurang dan risiko pendapatan menjadi bertambah.
4. Harga Pupuk Urea
Koefisien regresi harga pupuk urea dinormalkan (Ln HPU) mempunyai
koefisien regresi negatif dan berpengaruh nyata terhadap pendapatan MT I,
sedangkan terhadap risiko pendapatan MT I tidak berpengaruh nyata. Berarti
berapapun harga pupuk urea, maka petani tetap menggunakan pupuk urea. Hal ini
disebabkan petani di lokasi penelitian semua menggunakan pupuk urea dan sangat
tergantung pada pupuk urea. Demikian juga bahwa proporsi penggunaan pupuk
urea lebih banyak dibanding dengan jenis pupuk lain.
5. Harga Pupuk Phonska
Koefisien regresi harga pupuk phonska dinormalkan (Ln HPP) mempunyai
koefisien regresi positif dan berpengaruh nyata terhadap pendapatan MT I dan
risiko pendapatan MT I. Koefisien regresi harga pupuk phonska dinormalkan
sebesar 1,060, hasil uji t berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 99 persen.
Hal ini menunjukkan bahwa harga pupuk phonska dinormalkan berpengaruh nyata
dan positif terhadap risiko pendapatan MT I. Berarti setiap kenaikan harga pupuk
phonska dinormalkan sebesar 1 persen akan menaikkan risiko pendapatan MT I
sebesar 1,06 persen. Berarti setiap kenaikan harga pupuk phonska maka akan
menambah pengeluaran karena besarnya biaya yang harus dikeluarkan dan
144
mengurangi pendapatan. Umumnya petani di lokasi penelitian menggunakan
pupuk phonska, walaupun harga pupuk phonska lebih mahal dibanding dengan
harga pupuk lain. Konsekuensinya adalah berdampak pada semakin besarnya
pengeluaran dan terjadi penurunan pendapatan yang diperoleh petani, yang
mengakibatkan risiko pendapatan bertambah.
6. Umur Petani
Variabel umur petani (Ln UP) mempunyai koefisien regresi positif dan
berpengaruh nyata terhadap pendapatan MT I, sedangkan pada risiko pendapatan
MT I tidak berpengaruh nyata. Berarti petani yang memiliki umur yang telah
berusia lanjut akan memperoleh pendapatan usahatani padi yang lebih rendah
dibandingkan petani berumur produktif. Petani umur usia lanjut akan menurun
kemampuan untuk mengelola usahatani yang lebih banyak mengandalkan fisik
kuat, sehingga berpotensi menaikkan risiko pendapatan.
7. Pengalaman Berusahatani
Variabel pengalaman berusahatani (Ln PUT) mempunyai koefisien regresi
positif dan berpengaruh nyata terhadap pendapatan MT I, sedangkan risiko
pendapatan MT I berpengaruh nyata dan negatif. Koefisien regresi pengalaman
berusahatani sebesar -0,194, hasil uji t berpengaruh nyata pada tingkat
kepercayaan 99 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pengalaman berusahatani
berpengaruh nyata dan negatif terhadap risiko pendapatan. Berarti setiap kenaikan
pengalaman berusahatani sebesar 1 persen akan menurunkan risiko pendapatan
sebesar 0,194 persen. Pengalaman petani mencerminkan proses pembelajaran
terhadap pengelolaan usahatani. Berarti pengalaman berusahatani bertambah
maka petani tersebut semakin luas dan bertambah pengetahuannya dalam
mengelola usahatani yang diusahakan, sehingga pendapatan dapat meningkat dan
menurunkan risiko pendapatan.
8. Status Kepemilikan Lahan
Koefisien regresi status kepemilikan lahan (D1) mempunyai koefisien
regresi negatif dan berpengaruh nyata terhadap pendapatan MT I dan risiko
pendapatan MT I. Koefisien regresi status kepemilikan lahan sebesar 0,018, hasil
uji t berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 90 persen. Hal ini menunjukkan
145
bahwa status kepemilikan lahan berpengaruh nyata dan positif terhadap risiko
pendapatan MT I. Berarti setiap kenaikan status kepemilikan lahan sebesar 1
persen akan menaikkan risiko pendapatan MT I sebesar 0,018 persen. Status
kepemilikan lahan adalah antara petani pemilik dengan petani non pemilik. Dapat
diartikan bahwa baik petani pemilik maupun petani non pemilik berdampak
terhadap risiko pendapatan. Namun risiko pendapatan petani non pemilik lebih
kecil daripada petani pemilik. Perbedaan risiko pendapatan tersebut, terkait
dimana petani non pemilik tidak berani berisiko apabila keinginan untuk
memperoleh hasil pendapatan yang semakin besar maka dihadapkan pada risiko
yang juga semakin besar. Keberanian petani dalam mengambil keputusan sangat
dipengaruhi oleh kondisi risiko dari usahataninya. Hal ini disebabkan karena
kebanyakan petani non pemilik adalah petani yang kurang mampu atau
keterbatasan modal dan hanya mengandalkan tenaga kerja dalam keluarga.
Keterbatasan petani tersebut berdampak pada kemampuan dalam membiayai
penggunaan input produksi untuk meningkatkan hasil usahataninya.
9. Status Penguasaan Lahan
Variabel status penguasaan lahan (D2) mempunyai koefisien regresi positif
dan tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan MT I dan risiko pendapatan MT
I. Status penguasaan lahan adalah antara petani garap lahan sendiri dengan petani
garap lahan orang lain. Dapat diartikan bahwa baik petani garap lahan sendiri
maupun petani garap lahan orang lain berdampak terhadap pendapatan dan risiko
pendapatan. Namun petani garap lahan orang lain lebih kecil dampak penurunan
pendapatan dan risiko pendapatan dibanding dengan petani garap lahan sendiri.
Hal ini disebabkan petani garap lahan orang lain hasil yang diperoleh harus dibagi
dengan pemilik lahan, sehingga potensi besar terhadap dampak penurunan
pendapatan dan risiko pendapatan. Demikian juga petani garap lahan orang lain
kebanyakan kurang mampu membiayai usahataninya karena kurang modal,
sehinga produksi yang diperoleh tidak maksimal.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan MT II dan risiko
pendapatan MT II adalah luas lahan, upah tenaga kerja dinormalkan, harga benih
dinormalkan, harga pupuk urea dinormalkan, harga pupuk phonska dinormalkan,
146
umur petani, pengalaman berusahatani, status kepemilikan lahan, dan status
penguasaan lahan. Langkah pertama adalah menganalisis faktor pendapatan yang
mempengaruhi pendapatan II melalui fungsi produksi Cobb Douglas. Hasil
analisis fungsi Cobb Douglas secara lengkap tersaji pada Tabel 20.
Tabel 20. Hasil Analisis Regresi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pendapatan
MT II
Tanda Koefisien Standar Signifi-
Variabel t-hitung Prob.
Harapan Regresi Eror kan
C +/- 0.591 1.810 0.327 0.744 ns
Ln LL + 0.877 0.142 6.190 0.000 ***
Ln UTK - -0.953 0.047 -20.333 0.000 ***
Ln HB - -0.047 0.025 -1.856 0.065 *
Ln HPU - 3.515 0.372 9.452 0.000 ***
Ln HPP - -0.884 0.266 -3.328 0.001 ***
Ln UP +/- 0.030 0.023 1.267 0.207 ns
Ln PUT + 0.405 0.108 3.770 0.000 ***
D1 + 0.119 0.024 5.074 0.000 ***
D2 + 0.009 0.015 0.645 0.520 ns
*** : Signifikan pada tingkat kesalahan
R2 0.993 1%
* : Signifikan pada tingkat kesalahan
Adjusted R-squared 0.993 10%
S.E. of regression 0.069 ns : Tidak signifikan
F-statistik 2637.361 ***
Sumber : Arifin, 2012.
Berdasarkan hasil analisis yang tersaji pada Tabel 20, diketahui bahwa
nilai koefisien determinasi (Adjusted R2) sebesar 0,993. Hal ini berarti sebanyak
99,30 persen variasi dari pendapatan MT II dapat dijelaskan oleh variasi variabel
independen dalam model. Hasil uji menunjukkan bahwa nilai F hitung (α: 1%),
sebesar 2637,361 lebih besar dari F tabel (1,49) berarti bahwa variabel independen
secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap pendapatan MT II.
Hasil uji t terhadap variabel independen menunjukkan variabel independen
yang berpengaruh nyata dan positif terhadap pendapatan MT II adalah luas lahan,
harga pupuk urea, dan pengalaman berusahatani. Berpengaruh nyata dan negatif
terhadap pendapatan MT II adalah upah tenaga kerja, harga benih, harga pupuk
phonska, dan dummy status kepemilikan lahan. Sedangkan variabel umur petani,

147
dan dummy status penguasaan lahan tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan
MT II.
Langkah kedua untuk membahas risiko pendapatan MT II adalah
menganalisis faktor pendapatan yang mempengaruhi pendapatan MT II melalui
fungsi produksi model Just and Pope. Hasil analisis fungsi produksi model Just
and Pope secara lengkap tersaji pada Tabel 21.
Tabel 21. Hasil Analisis Regresi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Risiko
Pendapatan MT II
Tanda Koefisien Standar Signifi-
Variabel t-hitung Prob.
Harapan Regresi Eror kan
C +/- 2.084 1.393 1.496 0.136 ns
Ln LL - -0.517 0.113 -4.582 0.000 ***
Ln UTK + 0.465 0.197 2.363 0.019 **
Ln HB + 0.135 0.023 5.728 0.000 ***
Ln HPU + 0.406 0.191 2.125 0.035 **
Ln HPP + 0.758 0.123 6.185 0.000 ***
Ln UP +/- -0.011 0.013 -0.784 0.434 ns
Ln PUT - -0.049 0.027 -1.781 0.077 *
D1 + 0.044 0.013 3.453 0.001 ***
D2 + 0.008 0.013 0.627 0.1126 ns
2
R 0.980 *** : Signifikan pada tingkat Kesalahan 1%
Adjusted R-squared 0.979 ** : Signifikan pada tingkat Kesalahan 5%
S.E. of regression 0.039 ns : Tidak signifikan
F-statistik 929.902 ***
Sumber : Arifin, 2012.
Berdasarkan hasil analisis yang tersaji pada Tabel 21, diketahui bahwa
nilai koefisien determinasi (Adjusted R2) sebesar 0,980. Hal ini berarti sebanyak
98,00 persen variasi dari risiko pendapatan MT II dapat dijelaskan oleh variasi
variabel independen dalam model. Hasil uji menunjukkan bahwa nilai F hitung (α:
1%), sebesar 929,902 lebih besar dari F tabel (1,49) berarti bahwa variabel
independen secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap risiko pendapatan
MT II.
Hasil uji t terhadap variabel independen menunjukkan variabel independen
yang berpengaruh nyata dan negatif terhadap risiko pendapatan MT II adalah luas
lahan, dan pengalaman berusahatani. Sedangkan variabel upah tenaga kerja, harga

148
benih, harga pupuk urea, harga pupuk phonska, dan dummy status kepemilikan
lahan berpengaruh nyata dan positif terhadap risiko pendapatan MT II.
1. Luas Lahan
Koefisien regresi luas lahan (Ln LL) mempunyai koefisien regresi positif
dan berpengaruh nyata terhadap pendapatan II, sedangkan terhadap risiko
pendapatan II berpengaruh nyata dan negatif. Koefisien regresi variabel luas lahan
sebesar -0,517, hasil uji t berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 99 persen.
Hal ini menunjukkan bahwa luas lahan berpengaruh nyata dan negatif terhadap
risiko pendapatan II. Berarti setiap kenaikan luas lahan sebesar 1 persen akan
menurunkan risiko pendapatan II sebesar 0,517 persen. Semakin besar luas lahan
yang diperoleh dari usahatani padi maka semakin besar pendapatan yang
diperoleh petani, sehingga risiko pendapatan menurun. Hal ini disebabkan petani
mampu mengelola usahatani secara maksimal apabila lahan yang dikelola tersebut
bertambah. Dengan penambahan luas lahan yang dikelola, maka peluang untuk
mendapatkan produksi semakin besar dan pendapatan juga dapat meningkat.
2. Upah Tenaga Kerja
Koefisien regresi upah tenaga kerja dinormalkan (Ln UTK) mempunyai
koefisien regresi negatif dan berpengaruh nyata terhadap pendapatan II,
sedangkan pada risiko pendapatan II berpengaruh nyata dan positif. Koefisien
regresi upah tenaga kerja dinormalkan sebesar 0,465, hasil uji t berpengaruh nyata
pada tingkat kepercayaan 95 persen. Hal ini menunjukkan bahwa upah tenaga
kerja dinormalkan berpengaruh nyata dan positif terhadap risiko pendapatan II.
Berarti setiap kenaikan upah tenaga kerja dinormalkan sebesar 1 persen akan
menambah risiko pendapatan II sebesar 0,465 persen. Setiap kenaikan upah tenaga
kerja akan menurunkan pendapatan yang diperoleh petani dan berdampak pada
kenaikan risiko pendapatan. Kenaikan upah tenaga kerja berarti kenaikan biaya yang
harus dikeluarkan petani, sehingga berdampak pada penurunan pendapatan. Kenaikan
upah tenaga kerja dilokasi penelitian terjadi pada saat panen dan pengangkutan hasil
panen diperlukan penanganan cepat, sehingga upah tenaga kerja akan bertambah.
Disisi lain dapat mengurangi risiko penyusutan hasil panen dan harga gabah yang
diterima petani.

149
3. Harga Benih
Koefisien regresi harga benih dinormalkan (Ln HB) mempunyai koefisien
regresi negatif dan berpengaruh nyata terhadap pendapatan II, sedangkan pada
risiko pendapatan II berpengaruh nyata dan positif. Koefisien regresi harga benih
dinormalkan sebesar 0,135, hasil uji t berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan
99 persen. Hal ini menunjukkan bahwa harga benih dinormalkan berpengaruh
nyata dan positif terhadap risiko pendapatan II. Berarti setiap kenaikan harga
benih dinormalkan sebesar 1 persen akan menaikkan risiko pendapatan II sebesar
0,135 persen. Semakin tinggi harga benih semakin kecil pendapatan yang diterima
petani karena adanya pengeluaran dari harga benih. Sebagian besar petani di
lokasi penelitian membeli benih dengan harga yang bervariasi. Oleh karena itu,
apabila terjadi kenaikan harga benih akan berdampak pada semakin besarnya
pengeluaran petani sehingga pendapatan berkurang dan risiko pendapatan menjadi
bertambah.
4. Harga Pupuk Urea
Koefisien regresi harga pupuk urea dinormalkan (Ln HPU) mempunyai
koefisien regresi positif dan berpengaruh nyata terhadap pendapatan II dan risiko
pendapatan II. Koefisien regresi harga pupuk urea dinormalkan sebesar 0,406,
hasil uji t berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 95 persen. Hal ini
menunjukkan bahwa harga pupuk urea dinormalkan berpengaruh nyata dan positif
terhadap risiko pendapatan II. Berarti setiap kenaikan harga pupuk urea
dinormalkan sebesar 1 persen akan menambah risiko pendapatan II sebesar 0,406
persen. Hampir semua petani di lokasi penelitian proporsi penggunaan pupuk urea
lebih banyak dibanding dengan jenis pupuk lain. Harga pupuk setiap musim
tanam selalu mengalami kenaikan harga. Apabila harga pupuk urea naik maka
biaya produksi meningkat dan berdampak pada semakin besarnya pengeluaran
sehingga terjadi penurunan pendapatan yang diperoleh petani, akibatnya risiko
pendapatan naik.
5. Harga Pupuk Phonska
Koefisien regresi harga pupuk phonska dinormalkan (Ln HPP) mempunyai
koefisien regresi negatif dan berpengaruh nyata terhadap pendapatan II,
150
sedangkan terhadap risiko pendapatan II berpengaruh nyata dan positif. Koefisien
regresi harga pupuk phonska dinormalkan sebesar 0,758, hasil uji t berpengaruh
nyata pada tingkat kepercayaan 99 persen. Hal ini menunjukkan bahwa harga
pupuk phonska dinormalkan berpengaruh nyata dan positif terhadap risiko
pendapatan II. Berarti setiap kenaikan harga pupuk phonska dinormalkan sebesar
1 persen akan menambah risiko pendapatan II sebesar 0,758 persen. Berarti setiap
kenaikan harga pupuk phonska maka akan menambah pengeluaran karena
besarnya biaya yang harus dikeluarkan dan mengurangi pendapatan. Umumnya
petani di lokasi penelitian menggunakan pupuk phonska, walaupun harga pupuk
phonska lebih mahal dibanding dengan harga pupuk lain. Konsekuensinya adalah
berdampak pada semakin besarnya pengeluaran dan terjadi penurunan pendapatan
yang diperoleh petani, yang mengakibatkan risiko pendapatan bertambah.
6. Umur Petani
Variabel umur petani (Ln UP) mempunyai koefisien regresi positif dan
tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan II dan risiko pendapatan II. Berarti
petani yang memiliki umur yang telah berusia lanjut akan memperoleh
pendapatan usahatani padi yang lebih rendah dibandingkan petani berumur
produktif. Petani umur usia lanjut akan menurun kemampuan untuk mengelola
usahatani yang lebih banyak mengandalkan fisik kuat, sehingga berpotensi
menaikkan risiko pendapatan.
7. Pengalaman Berusahatani
Variabel pengalaman berusahatani (Ln PUT) mempunyai koefisien regresi
positif dan berpengaruh nyata terhadap pendapatan II, sedangkan risiko
pendapatan II berpengaruh nyata dan negatif. Koefisien regresi pengalaman
berusahatani sebesar -0,049, hasil uji t berpengaruh nyata pada tingkat
kepercayaan 90 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pengalaman berusahatani
berpengaruh nyata dan negatif terhadap risiko pendapatan. Berarti setiap kenaikan
pengalaman berusahatani sebesar 1 persen akan menurunkan risiko pendapatan
sebesar 0,049 persen. Pengalaman petani mencerminkan proses pembelajaran
terhadap pengelolaan usahatani. Berarti pengalaman berusahatani bertambah
maka petani tersebut semakin luas dan bertambah pengetahuannya dalam
151
mengelola usahatani yang diusahakan, sehingga pendapatan dapat meningkat dan
menurunkan risiko pendapatan. Hal ini dapat diduga sebagian besar petani
responden pengalaman berusahatani sudah mampu mengelola usahatani padi
secara baik, sehingga memberikan peningkatan produksi dari usahatani padi yang
diusahakan. Apabila petani responden semakin berpengalaman mengelola
usahatani, maka produksi dan pendapatan dapat ditingkatkan sehingga
menurunkan risiko pendapatan.
8. Status Kepemilikan Lahan
Koefisien regresi status kepemilikan lahan petani pemilik (D1) mempunyai
koefisien regresi negatif dan berpengaruh nyata terhadap pendapatan II dan risiko
pendapatan II. Koefisien regresi status kepemilikan lahan sebesar 0,044, hasil uji t
berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 99 persen. Hal ini menunjukkan
bahwa status kepemilikan lahan berpengaruh nyata dan negatif terhadap risiko
pendapatan. Berarti setiap kenaikan status kepemilikan lahan sebesar 1 persen
akan menurunkan risiko pendapatan sebesar 0.044 persen. Status kepemilikan
lahan adalah status antara petani pemilik dengan petani non pemilik. Dapat
diartikan bahwa baik petani pemilik maupun petani non pemilik berdampak
terhadap risiko pendapatan. Namun risiko pendapatan petani non pemilik lebih
kecil daripada petani pemilik. Perbedaan risiko pendapatan tersebut, terkait
dimana petani non pemilik tidak berani berisiko apabila keinginan untuk
memperoleh hasil pendapatan yang semakin besar maka dihadapkan pada risiko
yang juga semakin besar. Keberanian petani dalam mengambil keputusan sangat
dipengaruhi oleh kondisi risiko dari usahataninya. Hal ini disebabkan karena
kebanyakan petani non pemilik adalah petani yang kurang mampu atau
keterbatasan modal dan hanya mengandalkan tenaga kerja dalam keluarga.
Keterbatasan petani tersebut berdampak pada kemampuan dalam membiayai
penggunaan input produksi untuk meningkatkan hasil usahataninya.
9. Status Penguasaan Lahan
Variabel status penguasaan lahan (D2) mempunyai koefisien regresi positif
dan tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan II, sedangkan risiko pendapatan
II tidak berpengaruh nyata dan negatif. Status penguasaan lahan adalah antara
152
petani garap lahan sendiri dengan petani garap lahan orang lain. Dapat diartikan
bahwa baik petani garap lahan sendiri maupun petani garap lahan orang lain
berdampak terhadap pendapatan dan risiko pendapatan. Untuk status penguasaan
lahan baik petani garap lahan sendiri maupun petani garap lahan orang lain
mempunyai peluang yang sama terhadap dampak risiko pendapatan.

153
BAB 7
KETAHANAN PANGAN BERDASARKAN PENGUASAAN LAHAN

A. Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga Tani


Upaya untuk melihat kondisi ketahanan pangan menjadi penting saat ini.
pangsa pengeluaran pangan dapat dijadikan indikator komposit yang
merefleksikan ketahanan pangan rumah tangga. Pengeluaran rumah tangga
terhadap pangan identik dengan konsumsi pangan, terutama dipengaruhi oleh
pendapatan yang diterima baik dari usahatani maupun non usahatani. Petani
adalah ujung tombak sebagai penjaga ketahanan pangan.
Ketahanan pangan bagi rumah tangga tani terkait dengan besar kecilnya
pangsa pengeluaran pangan, dimana setiap rumah tangga memiliki pola tertentu
dalam mengeluarkan dan membelanjakan untuk konsumsi kebutuhan pangan dan
non pangan. Bila produktivitas dan pendapatan petani meningkat, maka akan
berpengaruh baik dan positif kontribusinya terhadap ketahanan pangan. Jika
produktivitas usahatani meningkat, berarti suplai pangan meningkat dan
meningkatkan tingkat ketersediaan pangan. Demikian juga hasil petani dari
usahataninya mampu memberikan pendapatan tinggi, berarti akses petani terhadap
pangan meningkat. Tabel berikut menjelaskan kondisi ketahanan pangan petani
berdasarkan status kepemilikan dan penguasaan lahan.
Tabel 22. Distribusi Rumah Tangga Tani Menurut Pangsa Pengeluaran Pangan
Berdasarkan Jumlah Masing-masing Responden Penguasaan Lahan di
Kabupaten Pinrang Tahun 2012
Tahan Pangan Tidak Tahan
Uraian Total
(< 60%) Pangan (≥ 60%)
Pemilik (orang) 69 (73,40%) 25 (26,60%) 94 (100,00%)
Non Pemilik (orang) 34 (39,54%) 52 (60,46%) 86 (100,00%)
Garap lahan sendiri
84 (73,04%) 31 (26,96%) 115 (100,00%)
(orang)
Garap lahan orang lain
19 (29,23%) 46 (70,77%) 65 (100,00%)
(orang)
Sumber : Arifin, 2012.
Tabel 22 menunjukkan bahwa berdasarkan penguasaan lahan petani
pemilik (petani pemilik-penggarap) proporsi rumah tangga tani tahan pangan lebih

154
besar daripada tidak tahan pangan. Besarnya proporsi tahan pangan tersebut
terkait dengan produksi yang diperoleh dari usahatani yang dapat dimiliki
sepenuhnya, sehingga mampu memenuhi dan mencukupi beberapa kebutuhan
pangan dan mengurangi pengeluaran pangan. Untuk non pemilik (petani gadai dan
penyakap), dimana proporsi tidak tahan pangan lebih besar daripada tahan
pangan. Hal ini disebabkan khususnya bagi petani penyakap, hasil produksi
usahatani yang diperoleh harus dibagi dengan pemilik lahan. Berkurangnya hasil
produksi yang diperoleh petani penyakap tersebut, berdampak pada kurang
mampu memenuhi atau mencukupi beberapa kebutuhan pangan dan
bertambahnya pengeluaran pangan.
Berdasarkan pada Tabel 22, petani garap lahan sendiri (petani pemilik-
penggarap dan petani gadai) proporsi rumah tangga tani tahan pangan lebih besar
daripada tidak tahan pangan. Hal ini terkait dengan produksi yang diperoleh dari
usahatani yang dapat dimiliki sepenuhnya, sehingga mampu memenuhi dan
mencukupi beberapa kebutuhan pangan dan mengurangi pengeluaran pangan.
Sedangkan petani garap lahan orang lain (petani gadai dan sakap), proporsi tidak
tahan pangan lebih besar daripada tahan pangan. Hal ini disebabkan karena, hasil
produksi usahatani yang diperoleh harus dibagi dengan pemilik lahan.
Berkurangnya hasil produksi yang diperoleh petani garap lahan orang lain
tersebut, berdampak pada kurang mampu memenuhi atau mencukupi beberapa
kebutuhan pangan dan bertambahnya pengeluaran pangan.
Tabel 23. Distribusi Rumah Tangga Tani Menurut Pangsa Pengeluaran Pangan
Berdasarkan Jumlah Keseluruhan Responden Penguasaan Lahan di
Kabupaten Pinrang Tahun 2012
Tahan Pangan Tidak Tahan
Uraian Total
(< 60%) Pangan (≥ 60%)
Pemilik (orang) 69 (73,40%) 25 (26,60%) 94 (100,00%)
Non Pemilik (orang) 34 (39,54%) 52 (60,46%) 86 (100,00%)
Total 103 (57,22%) 77 (42,78%) 180 (100,00%)
Garap lahan sendiri
84 (73,04%) 31 (26,96%) 115 (100,00%)
(orang)
Garap lahan orang lain
19 (29,23%) 46 (70,77%) 65 (100,00%)
(orang)
Total 103 (57,22%) 77 (42,78%) 180 (100,00%)
Sumber : Arifin, 2012.
155
Tabel 23 menjelaskan proporsi ketahanan pangan ditinjau dari petani
pemilik dan non pemilik, masih lebih besar tahan pangan daripada tidak tahan
pangan. Kontribusi petani pemilik terhadap tahan pangan lebih besar dibanding
dengan petani non pemilik. Sedangkan kontribusi petani non pemilik terhadap
tidak tahan pangan lebih besar dibanding dengan petani pemilik.
Berdasarkan Tabel 23 proporsi ketahanan pangan pada petani garap lahan
sendiri dan petani garap lahan orang lain masih lebih besar tahan pangan daripada
tidak tahan pangan. Kontribusi petani garap lahan sendiri terhadap tahan pangan
lebih besar dibanding dengan petani garap lahan orang lain. Kontribusi petani
garap lahan orang lain terhadap tidak tahan pangan lebih besar dibanding dengan
petani garap lahan sendiri.
Tabel 24. Rata-rata Pangsa Pengeluaran Pangan Berdasarkan Penguasaan Lahan
di Kabupaten Pinrang Tahun 2012 Berdasarkan Uji t
Uraian Pangsa Pengeluaran Pangan t-hitung
A. Status Pemilikan :
Pemilik (orang) 94 (58,27 = TP) 2.195 ***
Non Pemilik (orang) 86 (62,18 = TTP)
B. Status Penguasaan
Garap lahan sendiri (orang) 115 (56,95 = TP) 5,017 ***
Garap lahan orang lain (orang) 65 (65,77 = TTP)
Sumber : Arifin, 2012.
Keterangan :
TP = Tahan Pangan
TTP = Tidak Tahan Pangan
*** = signifikan pada α : 1%
Berdasarkan Tabel 24 menjelaskan bahwa terjadi perbedaan pangsa
pengeluaran pangan antara petani pemilik dengan petani non pemilik. Hasil uji t
menunjukkan petani pemilik lebih kecil pangsa pengeluaran pangan dibanding
dengan petani non pemilik. Berarti petani pemilik lebih tahan pangan daripada
petani non pemilik. Perbedaan tersebut disebabkan petani non pemilik lebih
banyak mengalokasikan pendapatan yang diperoleh dari hasil usahatani dan non
usahatani untuk memenuhi konsumsi pangan. Kontribusi petani penyakap paling
besar menyebabkan petani non pemilik menjadi tidak tahan pangan. Petani
penyakap sebagian besar adalah petani yang kurang mampu dan lebih banyak

156
berharap dari usahataninya sebagai kebutuhan pokok. Demikian juga produksi
hasil usahatani yang diperoleh petani penyakap harus dibagi dua dengan pemilik
lahan, sehingga berdampak pada kekurangan dalam pemenuhan kebutuhan
konsumsi pangan.
Demikian juga yang tersaji Tabel 24, dimana terjadi perbedaan pangsa
pengeluaran pangan antara petani garap lahan sendiri dengan petani garap lahan
orang lain. Hasil uji t menunjukkan petani garap lahan sendiri lebih kecil pangsa
pengeluaran pangan dibanding dengan petani garap lahan orang lain. Berarti
petani garap lahan sendiri lebih tahan pangan daripada petani garap lahan orang
lain. Perbedaan tersebut disebabkan petani garap lahan orang lain lebih banyak
mengalokasikan pendapatan yang diperoleh dari hasil usahatani dan non usahatani
untuk memenuhi konsumsi pangan.

B. Faktor yang Mempengaruhi Ketahanan Pangan Rumah Tangga Tani


Faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan rumah tangga tani
adalah usia ibu rumah tangga petani, pendidikan petani, pengalaman berusahatani,
jumlah tanggungan keluarga, pendapatan, harga beras, harga gula, harga sayur,
harga daging, harga ikan, harga telur, harga minyak goreng, status kepemilikan
lahan dan penguasaan lahan dan dianalisis dengan menggunakan analisis regresi.
Hasil analisis regresi tersebut disajikan pada Tabel 25.
Berdasarkan hasil analisis yang tersaji pada Tabel 7.6, diketahui bahwa
nilai determinasi (R2) sebesar 0,982. Hal ini berarti 98,20% variasi dari ketahanan
pangan dapat dijelaskan oleh variasi variabel independen dalam model. Hasil uji
menunjukkan bahwa nilai F-hitung (α: 1%), sebesar 633,40 lebih besar dari F-
tabel (1,49) berarti bahwa variabel independen secara bersama-sama berpengaruh
nyata terhadap ketahanan pangan.
Hasil uji t terhadap variabel independen menunjukkan bahwa usia ibu
rumah tangga petani, pendidikan petani, pengalaman berusahatani, pendapatan
dan status pemilikan lahan berpengaruh nyata dan positif terhadap ketahanan
pangan. Jumlah tanggungan keluarga, harga beras, harga gula dan harga ikan
berpengaruh nyata dan negatif terhadap ketahanan pangan. Sedangkan harga
157
sayur, harga daging, harga telur, harga minyak goring, dan status garap tidak
berpengaruh nyata terhadap ketahanan pangan. Penjelasan pengaruh masing-
masing variabel independen terhadap ketahanan pangan sebagai berikut.
Tabel 25. Hasil Analisis Regresi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketahanan
Pangan Rumah Tangga Tani di Kabupaten Pinrang Tahun 2012
Tanda
Variabel Koefisien SE t-ratio Prob. Signifikan
Harapan
C +/- 13.590 4.461 3.047 0.003 ***
Ln UI + 0.167 0.048 3.492 0.001 **
Ln PP + 0.037 0.015 2.546 0.012 **
Ln PUT + 0.126 0.064 1.951 0.053 *
Ln JTK - -0.316 0.074 -4.301 0.000 ***
Ln PDT + 0.185 0.099 1.853 0.066 *
Ln HB - -0.184 0.105 -1.757 0.081 *
Ln HG - -0.993 0.229 -4.342 0.000 ***
Ln HS - 0.086 0.123 0.702 0.484 ns
Ln HD - -0.019 0.012 -1.537 0.126 ns
Ln HI - -0.335 0.082 -4.065 0.000 ***
Ln HT - 0.017 0.031 0.545 0.587 ns
Ln HMG - 0.005 0.010 0.528 0.598 ns
D1 + 0.139 0.034 4.081 0.000 ***
D2 + 0.006 0.006 1.030 0.305 ns
R-squared 0.982 *** : Signifikan pada tingkat Kesalahan 1%
Adjusted R-squared 0.980 ** : Signifikan pada tingkat Kesalahan 5%
S.E. of regression 0.031 * : Signifikan pada tingkat Kesalahan 10%
F-statistic 633.398*** ns : Tidak signifikan
Sumber : Arifin, 2012.
1. Usia Ibu Rumah Tangga Petani
Koefisien regresi usia ibu rumah tangga petani (Ln UI) sebesar 0,167, hasil
uji t signifikan pada tingkat kepercayaan 99 persen. Hal ini menunjukkan bahwa
usia ibu rumah tangga petani berpengaruh nyata dan positif terhadap ketahanan
pangan. Berarti setiap penambahan usia ibu rumah tangga petani sebesar 1 persen
akan menaikkan ketahanan pangan sebesar 0,167 persen. Sebagai ibu rumah
tangga akan selalu menyediakan bahan pangan dalam jumlah yang sesuai dengan
kebutuhan energi aktivitas anggota rumah tangga. Pola makan setiap rumah
tangga untuk kebutuhan energi dan aktivitas telah disesuaikan dengan usia. Ketika
memasuki usia non produktif (usia diatas 65 tahun), maka pemenuhan kebutuhan

158
(pengeluaran) pangan berkurang dan lebih memilih pada makanan sehat dan
mengurangi asupan kalori atau karbohidrat.
2. Pendidikan
Koefisien regresi pendidikan (Ln PP) sebesar 0,037, hasil uji t signifikan
pada tingkat kepercayaan 95 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan
berpengaruh nyata dan positif terhadap ketahanan pangan. Berarti setiap kenaikan
pendidikan sebesar 1 persen akan menaikkan ketahanan pangan sebesar 0,037
persen. Pendidikan dapat merubah sikap dan perilaku rumah tangga dalam
memenuhi kebutuhannya. Makin tinggi tingkat pendidikan maka makin mudah
menerima informasi dan inovasi baru yang dapat merubah pola konsumsinya
(Anonim, 2009). Dengan pengetahuan tersebut, maka dapat mengatur pola
konsumsi yang dapat memenuhi kecukupan energi sesuai dengan yang diharapkan
sehingga menjadi tahan pangan. Makin tinggi tingkat pendidikan formal maka
kemungkinan mempunyai tingkat pendapatan yang relatif lebih tinggi
(Simanjuntak, 1985). Tingkat pendidikan dapat diinterpretasikan sebagai bentuk
pelaksanaan investasi sumber daya manusia. Tingkat pendidikan menentukan
pilihan bahan makanan yang dikonsumsi, artinya tingkat pendidikan yang tinggi
berarti pengetahuan tentang komoditas yang tepat akan menambah peluang
terhadap tahan pangan. Tingkat pendidikan yang tinggi berarti dapat menentukan
pilihan alokasi pendapatan untuk pengeluaran pangan dan non pangan. Rumah
tangga yang tidak mampu mengalokasikan pendapatan untuk pengeluaran pangan
dan non pangan memliki peluang tidak tahan pangan lebih besar.
3. Pengalaman Berusahatani
Koefisien regresi pengalaman berusahatani (Ln PUT) sebesar 0,126, hasil
uji t signifikan pada tingkat kepercayaan 90 persen. Hal ini menunjukkan bahwa
pengalaman berusahatani berpengaruh nyata dan positif terhadap ketahanan
pangan. Berarti setiap penambahan pengalaman berusahatani sebesar 1 persen
akan menaikkan ketahanan pangan sebesar 0,126 persen. Hal ini menunjukkan
bahwa semakin lama berusahatani maka akan semakin berpengalamam dalam
mengelola usahataninya, sehingga produksi yang dihasilkan juga akan lebih
meningkat. Apabila produksi yang dihasilkan oleh rumah tangga tani meningkat,
159
maka akan meningkatkan ketahanan pangan. Hasil produksi yang dihasilkan dari
usahataninya dapat digunakan sebagai tabungan untuk mengurangi pengeluaran
konsumsi terutama kebutuhan pokok bahan makanan.
4. Jumlah Tanggungan Keluarga
Koefisien regresi jumlah tanggungan keluarga (Ln JTK) sebesar -0,316,
hasil uji t signifikan pada tingkat kepercayaan 99 persen. Hal ini menunjukkan
bahwa jumlah tanggungan keluarga berpengaruh nyata dan negatif terhadap
ketahanan pangan. Berarti setiap penambahan jumlah tanggungan keluarga
sebesar 1 persen akan menurunkan ketahanan pangan sebesar 0,316 persen. Hal
ini berarti jumlah anggota rumah tangga menentukan peluang tingkat ketahanan
pangan dan jumlah anggota keluarga besar sangat mempengaruhi porsi kecukupan
bahan pangan masing-masing anggota rumah tangga. Jumlah anggota rumah
tangga berpengaruh negatif terhadap tingkat ketahanan pangan rumah tangga,
semakin besar jumlah anggota rumah tangga maka rumah tangga akan semakin
tidak tahan pangan. Semakin besar jumlah anggota keluarga berdampak pada
semakin banyak bagian pendapatan dibelanjakan untuk pangan, atau semakin
besar proporsi pengeluaran rumah tangga untuk pangan, dan akan berakibat pada
keadaan semakin tidak tahan pangan. Sebaliknya, semakin kecil jumlah anggota
rumah tangga, semakin kecil pula bagian pendapatan dibelanjakan untuk pangan,
dan membawa pada keadaan semakin tahan pangan.
5. Pendapatan
Koefisien regresi pendapatan (Ln PDT) sebesar 0,185, hasil uji t signifikan
pada tingkat kepercayaan 90 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pendapatan
berpengaruh nyata dan positif terhadap ketahanan pangan. Berarti setiap
penambahan pendapatan sebesar 1 persen akan menaikkan ketahanan pangan
sebesar 0,185 persen. Pendapatan merupakan faktor utama dalam ketahanan
pangan rumah tangga. semakin tinggi pendapatan rumah tangga, maka rumah
tangga akan semakin tahan pangan. Dengan pendapatan tinggi yang dimiliki maka
rumah tangga mempunyai daya beli atau kemampuan untuk membeli segala
keperluan rumah tangganya, mempunyai kemampuan membeli pangan dan
fasilitas lain (pendidikan, perumahan, kesehatan, dan lain-lain) yang dapat
160
mempengaruhi status gizi (Suhardjo, 1986). Semakin tinggi pendapatan maka
semakin tinggi daya beli sehingga semakin banyak jumlah dan macam barang
yang dapat dibeli, termasuk jumlah dan macam kualitas pangan yang dapat dibeli.
Semakin banyak jumlah dan macam pangan yang dapat dibeli maka tingkat
ketahanan pangan akan semakin tinggi. Ketika pendapatan rumah tangga
meningkat, maka peluang rumah tangga ke arah tahan pangan lebih besar.
Sebaliknya pendapatan rendah menyebabkan daya beli rendah, sehingga tidak
mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan, keadaan ini membawa
pada tingkat ketahanan pangan yang rendah. Pendapatan tetap atau turun, rumah
tangga cenderung melakukan strategi dengan mengurangi pengeluaran non
pangan agar tetap berada pada tingkat tahan pangan. Tetapi jika pendapatan tidak
cukup untuk alokasi pengeluaran rumah tangga maka peluang ke arah tidak tahan
pangan lebih besar.
6. Harga Beras
Koefisien regresi harga beras (Ln HB) sebesar -0,184, hasil uji t signifikan
pada tingkat kepercayaan 90 persen. Hal ini menunjukkan bahwa harga beras
berpengaruh nyata dan negatif terhadap ketahanan pangan. Berarti setiap
penambahan harga beras sebesar 1 persen akan menurunkan ketahanan pangan
sebesar 0,184 persen. Rumah tangga dengan pendapatan rendah daya beli
terhadap produk beras berpengaruh terhadap peluang rumah tangga ke arah tidak
tahan pangan, karena beras sebagai makanan pokok apabila mengalami kenaikan
harga, maka rumah tangga tetap membelinya untuk pemenuhan kebutuhan bahan
makan. Harga pangan berpengaruh negatif terhadap tingkat ketahanan pangan
rumah tangga, semakin tinggi harga pangan maka rumah tangga akan semakin
tidak tahan pangan. Harga pangan yang meningkat dengan asumsi pendapatan
tetap, maka secara riil pendapatan akan menurun. Dengan menurunnya
pendapatan riil maka rumah tangga menghadapi keterbatasan dalam
mengkonsumsi jumlah pangan, atau dalam rangka mempertahankan jumlah
pangan tertentu yang dikonsumsi maka rumah tangga mengurangi pangan lainnya
yang akan berakibat mengurangi macam pangan yang dikonsumsi. Dengan
tindakan tersebut maka ketahanan pangan rumah tangga menjadi rendah.
161
7. Harga Gula
Koefisien regresi harga gula (Ln HG) sebesar -0,993, hasil uji t signifikan
pada tingkat kepercayaan 99 persen. Hal ini menunjukkan bahwa harga gula
berpengaruh nyata dan negatif terhadap ketahanan pangan. Berarti setiap
penambahan harga gula sebesar 1 persen akan menurunkan ketahanan pangan
sebesar 0,993 persen. Gula merupakan bagian kebutuhan pokok yang harus
dipenuhi, dan apabila mengalami kenaikan harga maka rumah tangga petani tetap
membelinya untuk pemenuhan kebutuhan. Gula juga merupakan bagian barang
yang bersifat komplementer terhadap barang lain seperti kopi, teh dan susu.
Sebagian besar rumah tangga petani di daerah penelitian adalah mengkonsumsi
atau minum kopi dan sebagian kecil konsumsi atau minum teh dan susu. Hampir
setiap hari konsumsi minum kopi, teh dan susu sudah menjadi kebiasaan terutama
kepala keluarga sebelum melakukan aktivitas sehari-hari.
8. Harga Sayur
Variabel harga sayur (Ln HS) tidak berpengaruh nyata terhadap ketahanan
pangan, hal ini disebabkan karena harga sayur yang diperoleh rumah tangga
petani tidak jauh berbeda. Sayur adalah makanan yang banyak dikonsumsi
masyarakat dan juga terjangkau bagi setiap lapisan masyarakat jika dikonsumsi
dalam jumlah banyak. Rumah tangga petani juga tidak sulit mendapatkan sayur,
karena sebagian besar rumah tangga petani menanam sayur dan kalaupun tidak
menanam, maka rumah tangga lain dapat memberikan dan membagikan sayur ke
yang lain atau membeli dengan harga yang murah.
9. Harga Daging
Variabel harga daging (Ln HD) tidak berpengaruh nyata terhadap
ketahanan pangan, hal ini disebabkan karena harga daging yang diterima rumah
tangga petani belum terjangkau secara merata dan hanya sebagian kecil yang
mampu menjangkau harga daging tersebut. Konsumsi daging bagi rumah tangga
petani di daerah penelitian terjadi pada waktu tertentu saja yaitu hari raya
keagamaan, perayaan pernikahan dan syukuran. Konsumsi daging dalam setiap
bulan terjadi hanya bagi rumah tangga petani yang mempunyai pendapatan lebih
tinggi.
162
10. Harga Ikan
Koefisien regresi harga ikan (Ln HI) sebesar -0,335, hasil uji t signifikan
pada tingkat kepercayaan 99 persen. Hal ini menunjukkan bahwa harga ikan
berpengaruh nyata dan negatif terhadap ketahanan pangan. Berarti setiap
penambahan harga ikan sebesar 1 persen akan menurunkan ketahanan pangan
sebesar 0,335 persen. Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia
yang harus dipenuhi setiap saat dalam jumlah dan kualitas yang cukup untuk
eksistensi hidup. Ikan merupakan bagian dari bahan pangan yang harus dipenuhi
oleh setiap rumah tangga petani. Berdasarkan hal tersebut, di daerah penelitian
ikan sudah menjadi kebiasaan sebagai makanan sehari-hari di konsumsi. Oleh
karena itu, apabila harga ikan mengalami kenaikan harga maka berdampak pada
penurunan ketahanan pangan rumah tangga petani. Untuk mempertahankan
jumlah pangan tertentu yang dikonsumsi, maka rumah tangga petani mengurangi
pangan lainnya yang akan berakibat mengurangi macam pangan dikonsumsi.
11. Harga Telur
Variabel harga telur (Ln HT) tidak berpengaruh nyata terhadap ketahanan
pangan, hal ini disebabkan karena harga telur yang diperoleh rumah tangga petani
tidak jauh berbeda dan relatif lebih mudah mendapatkan dan memperoleh telur.
Sebagian rumah tangga petani mengusahakan ternak ayam dan itik petelur,
sehingga mempermudah mendapatkan telur dengan harga relatif murah dibanding
dengan harga pasaran. Telur adalah makanan yang dikonsumsi rumah tangga
petani sebagai makanan tambahan bukan merupakan bagian dari makanan pokok
dan juga terjangkau bagi setiap lapisan masyarakat.
12. Harga Minyak Goreng
Variabel harga minyak goreng (Ln HMG) tidak berpengaruh nyata
terhadap ketahanan pangan, hal ini disebabkan karena harga minyak goreng yang
diperoleh rumah tangga petani tidak jauh berbeda dan relatif lebih mudah
mendapatkan dan memperoleh. Sebagian rumah tangga petani mengusahakan dan
membuat minyak goreng yang bahan dasarnya dari kelapa. Harga minyak goreng
yang diproduksi rumah tangga petani di lokasi penelitian relatif lebih murah
dibandingkan dengan harga minyak goreng yang dipasarkan pada umumnya.
163
13. Status Kepemilikan Lahan
Koefisien regresi dummy status kepemilikan lahan (D1) sebesar 0,139,
hasil uji t signifikan pada tingkat kepercayaan 99 persen. Hal ini menunjukkan
bahwa status kepemilikan lahan berpengaruh nyata dan positif terhadap ketahanan
pangan. Berarti setiap penambahan status kepemilikan lahan sebesar 1 persen
akan menaikkan ketahanan pangan sebesar 0,139 persen. Status kepemilikan lahan
adalah status antara petani pemilik dengan petani non pemilik. Dapat diartikan
bahwa baik petani pemilik maupun petani non pemilik berdampak terhadap
ketahanan pangan. Namun dampak ketahanan pangan petani non pemilik lebih
rendah daripada petani pemilik. Hal ini disebabkan karena kebanyakan petani non
pemilik adalah petani kurang mampu. Sedangkan petani pemilik mampu menutupi
alokasi pengeluaran konsumsi pangan dari pendapatan hasil usahatani dan
mendapatkan kelebihan pendapatan dari hasil usahatani tersebut sebagai tabungan.
14. Status Penguasaan Lahan
Variabel dummy status penguasaan lahan (D2) tidak berpengaruh nyata
terhadap ketahanan pangan, dan status penguasaan lahan yang dimaksud adalah
petani garap lahan sendiri dan petani garap lahan orang lain. Artinya antara petani
garap lahan sendiri dan petani garap lahan orang lain tidak terdapat perbedaan
peluang tahan pangan. Hal ini disebabkan karena status penguasaan lahan rumah
tangga petani tidak berpengaruh terhadap besar kecilnya produksi yang dihasilkan
dari usahatani dan non usahatani. Status penguasaan lahan lebih fokus mengelola
usahatani yang diusahakan secara baik dan efisien untuk mendapatkan produksi
tinggi dan mengalokasikan waktu lain untuk bekerja di non usahatani.

164
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Weka, 2007. Studi Komparatif Perilaku Petani Terhadap Risiko


Usahatani Padi Non Organik dan Semi Organik di Kabupaten Sragen.
Tesis. Program Pascasarjana UGM. Yogyakarta.

Anonim, 2009. Peluang Pengembangan Asuransi Pertanian di Indonesia. Warta


Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Analisis Sosial
Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. 31 (2) : 16-18.

Anonim, 2009. Bab II. Tinjauan Pustaka. http://www.akmalbab2.damandiri.or.id


Diakses tanggal 6 Oktober 2009.

Anonim, 1981. Benefit Monitoring Studi Proyek Irigasi Jatiluhur. Kerjasama


PPES Fakultas Ekonomi Unpad dengan Perum Otorita Jatiluhur.
Bandung.

Anwar, 2000. Ekonomi Sumberdaya Alam. Program Studi Ilmu Perencanaan


Pembangunan Wilayah. Program Pascasarjana. IPB. Bogor.

Apriyantono, A., 2005. Revitalisasi Pertahanan dan Pemantapan Ketahanan


Pangan Rumah Tangga. Prosiding Temu Ilmiah, Kongres PERSAGI
XIII dan Festival Gizi. Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Ahli Gizi
Indonesia. Bali.

Ariani, M., 2004. Analisis Perkembangan Konsumsi Pangan dan Gizi. ICASERD
Working Paper No. 67.

Ariani, M., dan Rachman, H.,2003. Analisis Tingkat Ketahanan Pangan Rumah
Tangga. Media Gizi dan Keluarga. Bogor. 27 (2) : 1-6.

Arifin, 2012. Dampak Kepemilikan dan Penguasaan Lahan Terhadap Produksi,


Risiko dan Ketahanan Pangan di Daerah Sentra Padi Kabupaten
Pinrang. Disertasi. Program Pascasarjana. Fakultas Pertanian.
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Astuti, Wahyuni Apri, 1995. Penguasaan Lahan dan Distribusi Pendapatan


Penduduk di Desa Ngombakan dan Desa Mranggen Kecamatan
Polokarto Kabupaten Sukoharjo. Tesis. Program Pascasarjana UGM.
Yogyakarta.

Astuti, Ari, 1994. Analisis Risiko dan Perilaku Petani Bawang Putih di
Kabupaten Bantul. Tesis. Program Pascasarjana UGM. Yogyakarta.

165
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2007. Rencana Aksi Nasional
Pangan dan Gizi 2006 - 2010. Jakarta.

Badan Pusat Statistik, 2017. Statisti Indonesia. BPS. Jakarta.

Baliwati, Y. F., Khomsan, A., Dwiriani, C. M., 2004. Pengantar Pangan dan
Gizi. Penebar Swadaya. Jakarta.

Bappenas dan PSE-KP. 2006. Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian.
Kerjasama Bappenas dan PSE-KP. Jakarta.

Bappenas, 2004. Laporan Perkembangan Pencapaian Tujuan Pembangunan


Milenium (Millennium Development Goals). Jakarta.

Barlowe, R., 1978. Land Resource Economics : The Economics of Real Estate.
3rd. Prentice Hall. USA.

Beattie, Bruce R. dan Taylor, C. Robert, 1994. Ekonomi Produksi. Diterjemahkan


oleh Soeratno Josohardjono. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.

Bintarto, 1989. Iteraksi Desa Kota dan Permasalahannya. Ghalia Indonesia.


Jakarta.

Bishop, C.E., dan W.D. Toussaint, 1986. Pangantar Analisis Ekonomi Pertanian.
Terjemahan Wisnuaji. Cetakan Kedua. Mutiara Sumber Widya.
Jakarta.

Boediono, 1982. Pengantar Ilmu Ekonomi. No. 1, Seri Sinopsis, Edisi 2. BPFE.
Yogyakarta.

Brown, M.L., 1979. Farm Budgets, from Farm Income Analysis to Agriculture
Project Analysis. The Hopkins University Press. Baltimore & London.

Daniel, 2004. Pengantar Ekonomi Pertanian. PT. Bumi Aksara. Jakarta.

Darmadi, 1997. Perilaku Petani terhadap Risiko pada Usahatani Lombok (Studi
Kasus di Kecamatan Cangkirangan Sleman). Tesis. Pascasarjana
UGM. Yogyakarta.

Darmawan, D.P., 2001. Ketahanan Pangan Rumahtangga Tani dalam Konteks


Pertanian berkelanjutan: Suatu Analisis Programasi Linier di
Pedesaan Bali, Jawa Timur dan Yogyakarta. Disertasi. Universitas
Gadjah Mada. Yogyakarta.

166
Darsono, 1986. Masalah Perjanjian Bagi Hasil. Jurnal Agro Ekonomi. Jurusan
Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta. April 1986 : 52-59.

Darwis, Valeriana, 2008. Keragaan Penguasaan Lahan sebagai Faktor Utama


Penentu Pendapatan Petani. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan
Kebijakan Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor.

Debertin, D. L., 1986. Agricultural Product Economic. Macmillan Publishing


Company. New York.

Depkes, 2003. Pedoman Pemantauan Konsumsi Gizi. Direktorat Jenderal Bina


Kesehatan Masyarakat. Direktorat Gizi Masyarakat. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.

Deptan RI, 1996. Laporan Lokakarya Ketahanan Pangan Rumah Tangga.


Yogyakarta 26 - 30 Mei.

Dillon, J. P., 1979. Bernoullian Decision Theory Outline and Problem. In


Roumasset, J. A., J. M. Boussard and I. Singh (eds). Risk and
Uncertainty and Agriculture Development. Agriculture Development
Council : 23-38.

Doll, J. P., dan F. Orazem, 1984. Production Economic Theory with Aplication.
John Willey and Sons Inc. New York.

Fivintari, Francy R., 2003. Analisis Risiko Usahatani Padi Secara Organik di
Kabupaten Bantul. Tesis. Pascasarjana UGM. Yogyakarta.

Gujarati, D., 1997. Ekonometrika Dasar. Penerbit Erlangga. Jakarta.

Just, R. E., dan R. D. Pope, 1976. On The Relationship of Input Decision and
Risk. Roumasset, J. A., Boussard, J. M. Singh, I. (eds). Risk
Uncertainty and Agricultural Development. Agricultural Development
Council. New York. USA : 178-197.

Hadisapoetra, Soedarsono, 1981. Usaha Meningkatkan Usaha Pertanian Sebagai


Salah Satu Sumber Devisa Negara. Bunga Rampai Upaya
Meningkatkan Produksi Pertanian dan Perkebunan serta Peran
Koperasi dalam Pembangunan Nasional. Bina Ilmu. Surabaya.

Handewi, P.S. Rahcman, Mewa Ariani, dan T.B. Purwantini, 2005. Distribusi
Provinsi di Indonesia Menurut Derajat Ketahanan Pangan Rumah
Tangga. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
Bogor.

167
Hasan, I., 2002. Pokok-pokok Materi Teori Pengambilan Keputusan. Ghalia
Indonesia. Jakarta.

Hartono, S., dan Iwamoto, N., 2002. Risk and Rice Farming Intensification in
Rural Java. Jpn. J. Rural Econ. 4 : 32-43.

Hayami, Y., and V.W. Ruttan, 1985. Agricultural Development: An International


respectiveve. The Jhon Hopkins Press. Baltimore. London.

Hayami, Yujiro and Kikuchi, Masao, 1981. Asian Village Economy at The
Crossroads, An Economic Approach to Instituonal Change.
University of Tokyo Press.

Hernanto, 1984. Pola Pemilikan dan Penguasaan Lahan di Jawa Timur. Forum
Penelitian Agro Ekonomi. 3 (2) : 12-18. Pusat penelitian Agro
Ekonomi. Departemen Pertanian.

Herdt, R. W., 1971. Resource Productivity in India Agriculture. American Journal


of Agricultural Economics. 53 (3): 517 – 521.

Ilham, Nyak dan Bonar, M. Sinaga, 2007. Penggunaan Pangsa Pengeluaran


Pangan Sebagai Indikator Komposit Ketahanan Pangan. SOCA,
Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian dan Agribisnis. Fakultas Pertanian
Universitas Udayana. 7 (3) : 213-328.

Istiyanti, Eni, 1999. Analisis Pendapatan dan Perilaku Petani Terhadap Risiko
dalam Pengembangan Usahatani Bawang Merah. Studi Kasus di
Kecamatan Panjatan kabupaten Kulon Progo. Tesis. Pascasarjana
UGM. Yogyakarta.

Jamison, D. T., and L. J. Lau, 1982. Farmer Education and Farm Efficiency. A
World Bank Research Publication. The Johns Hopkins University
Press. Baltimore.

Jatileksono, T., 1993. Ketimpangan Pendapatan di Pedesaan : Kasus Daerah


Padi di Lampung. Jurnal Ekonomi Indonesia. Vol. 2 No. 1, Oktober
1993.

Kadarsan, H. W., 1995. Keuangan Pertanian dan Pembiayaan Perusahaan


Agribisnis. Cetakan Kedua. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Kadarsan, H. W., 1992. Keuangan Pertanian dan Pembiayaan Perusahaan


Agribisnis. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

168
Kariyasa, Ketut dan Sinaga, Bonar M., 2004. Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Perilaku Pasar Padi di Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi (JAE). 22 (2)
Oktober 2004.

Kasryno, Faisal, 1988. Prospek Pembangunan Ekonomi Pedesaan Indonesia.


Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Kasryno, Faisal, A.M. Fagi, dan E. Pasandaran, 2003. Kebijakan Produksi Padi
dan Diversifikasi Pertanian. Buku I. Ekonomi Padi dan Beras
Indonesia. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.

Kay, R. D., 1981. Farm Management, Planning, Control, and Implementation.


McGraw-Hill International Book Company. New York.

Krisnamurthi, B., 2003. Agenda Pemberdayaan Petani dalam Rangka


Pemantapan Ketahanan Pangan Nasional. Jurnal Ekonomi Rakyat.
(II) 2. Oktober.

Lamba, Since Erna, 2006. Ketahanan Pangan Rumah Tangga (Studi Kasus
Rumah Tangga Petani Jagung di Desa Rumbia Kabupaten
Jeneponto). J. Sains & Teknologi. 6 (2) : 87 - 102.

Lestari, Eny, 2007. Perubahan Sistem Penguasaan Lahan dan Hubungan Kerja
Agraris pada Usahatani Padi Sawah di Kecamatan Polanharja
Kabupaten Klaten Jawa Tengah.

Mardikanto, Totok, 1994. Bunga Rampai Pembangunan Pertanian. Sebelas Maret


University Press. Surakarta.

Matheson, D. M., Varady, J., Varady, A., and Killen, J. D., 2002. Household Food
Security and Nutritional Status of Hispanic Children in the Fifth
Grade. Am J Clin Nutr. 76: 210-217.

Maxwell, D., C. Levin, M.A. Klemeseau, M. Rull, S. Morris and C. Aliadeke,


2000. Urban Livelihoods and Food Nutrition Security in Greater
Accra, Ghana. IFPRI in Collaborative with Noguchi Memorial for
Medical Research and World Health Organization. Research Report
No. 112. Washington, D.C.

Mufriantie, Fithri, 2005. Analisis Risiko Berbagai Pola Tanam pada Lahan
Sawah di Kecamatan Cangkingan Kabupaten Sleman. Tesis.
Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Nainggolan, Kaman, 2005. Peningkatan Ketahanan Pangan Masyarakat dalam


Rangka Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Artikel
Pangan edisi No 45/XIV/Juli/2005.
169
Nicholson, W., 1998. Microeconomic Theory: Basic Principles and Extentions.
Seventh Edition. The Dryden Press. Foft Worth.

Pakpahan, A., H. P. Suhartini dan N. Syafa’at, 1993. Penelitian Tentang


Ketahanan Pangan Masyarakat Berpendapatan Rendah. Monograph
Series No. 14. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Pappas, JL., Hirsehiy, M., 1995. Ekonomi Manajerial. Jilid 2. Binaputra Aksara.
Jakarta.

Patrick, G. F., 2003. Managing Risk in Agriculture.. Purdue University. West


Lafayette.

Pindyck, R. S., and D. L. Rubinfeld, 2001. Econometric Models and Economic


Forecasts. McGraw-Hill. New York.

Pranadji, T., 2003. Reformasi Kelembagaan dan Kemandirian Perekonomian


Pedesaan: Kajian pada Kasus Perekonomian Padi Sawah. Buku I.
Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Badan Litbang Pertanian.
Departemen Pertanian. Jakarta.

Purwantini, Tri Bastuti, Handewi, P. S., dan Yuni Marisa, 2000. Analisis
Ketahanan Pangan Regional dan Tingkat Rumah Tangga (Studi
Kasus di Provinsi Sulawesi Utara). Pusat Analisis Sosial Ekonomi
dan Kebijakan Pertanian. Bogor.

Raharjo, Dawam, 1984. Transformasi Pertanian, Industrialisasi dan Kesempatan


Kerja. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.

Roumasset, J. A., 1976. Risk Aversion, Indirect Utility Function Market Failure,
In : Roumasset, J. A., Boussard, J. M., Singh, I. (eds) Risk and
Uncertainty an Agriculture Development. Agriculture Development
Council. New York : 91-113.

Sajogyo, 1982. Lapisan Masyarakat yang Paling Lemah di Pedesaan. Prisma, No.
3, April. Jakarta.

Saliem, H. P., M. Ariani, Y. Marisa, T. B. Purwantini dan E. M. Lokollo, 2001.


Analisis Ketahanan Pangan Tingkat Rumah Tangga dan Regional.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial dan Ekonomi Pertanian.
Badan Litbang. Departemen Pertanian. Bogor.

Samuelson, P. A., and W. D. Nordhaus, 2001. Microeconomics. Seventeenth


Edition. McGraw-Hill Irwin. Boston.

170
Santoso dan Hermanto, 1983. Pola Pemilikan Lahan dan Produktivitas Tenaga
Kerja pada Berbagai Daerah dengan Kondisi Pengairan yang
Berbeda. Forum Penelitian Agro Ekonomika. Vol. 1 No. 2. Januari
1983. Pusat Penelitian Agro Ekonomika. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.

Saptana, Ashari dan Sayaka B., 2008. Struktur Penguasaan dan Kelembagaan
Lahan di Lahan Sub Optimal Implikasinya Bagi Peningkatan
Produksi Padi. Jurnal Ilmiah SOCA. 8 (3) : 230-242.

Schrevel, Aart, 1989. Akses Atas Tanah Sebagai Indikator Pendapatan


Rumahtangga Pedesaan. Prisma. (4) XVIII : 38-25.

Senjawati, N. D., 2008. Analisis Risiko Usaha Tani Berbasis Padi di Kabupaten
Kulon Progo. Disertasi. Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta.

Setyabudi, 1982. Optimasi Penggunaan Faktor Produksi pada Usahatani Jagung


Intensifikasi Khusus di Kabupaten Temanggung Jawa Tengah. Tesis.
UGM.

Simanjuntak, Payaman, 1985. Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia.


Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.

Simatupang, P., 2003. Analisis Kebijakan: Konsep Dasar dan Prosedur


Pelaksanaan. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian. 1 (1) : 14-35. Pusat
penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Sing, I. J., Lyn Squire, dan John Strauss, 1986. Agricultural Household Models
Extensions, Application, and Policy. The John Hopkins University
Press. Baltimore and London.

Smidts, A., 1990. Decision Making Under Risk. Agricultural University.


Wageningen.

Snodgrass, M. M. and L. T. Wallace, 1980. Agriculture, Economics, and Resource


Management. Second Edition. Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs,
New Jersey.

Sriyadi, 2008. Efisiensi Relatif dan Perilaku Petani Terhadap Risiko Usahatani
Bawang Putih dan bawang Merah di Kabupaten Karanganyar.
Disertasi. Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Studdert, L. J., Frongillo, E. A., and Valois, P., 2001. Household Food Insecurity
was Prevalent in Java During Indonesia’s Economic Crisis. J. Nutr.
131: 2685-2691.
171
Soekartawi, 2003. Teori Ekonomi Produksi dengan Pokok Bahasan Analisis
Fungsi Produksi Cobb-Douglas. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Soekartawi, 1994. Prinsip dasar Ekonomi, Teori dan Aplikasi. PT Raja Grafindo
Persada. Jakarta.

Soekartawi, 1990. Teori Ekonomi Produksi dengan Pokok Bahasan Analisis


Fungsi Produksi Cobb-Douglas. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Soekartawi, Rusmadi, dan Damaijati, 1993. Risiko dan Ketidakpastian dalam


Agribisnis. Teori dan Aplikasi. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Soekartawi, Soeharjo, J. L., Dillon dan J. B. Hardaker, 1986. Ilmu Usahatani dan
Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. UI Press. Jakarta.

Soekirman, 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan
Nasional. Jakarta.

Soentoro, 1983. Penyerapan Tenaga Kerja Luar Sektor Pertanian di Pedesaan.


Studi Dinamika Pedesaan. Survei Agro Ekonomi. Bogor.

Sugiarto, 2009. Keragaan Ketenagakerjaan dan Distribusi Penguasaan Lahan


(Kasus di Pedesaan Patanas). Seminar Nasional : Peningkatan Daya
Saing Agribisnis Berorientasi Kesejahteraan Petani. Pusat Analisis
Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor.

Suhardjo, A.J., 1988. Peranan Kelembagaan dalam Hubungannya dengan


Komersialisasi Usaha Tani dan Distribusi Pendapatan, Studi Kasus di
Daerah Pegunungan Wilayah Kabupaten Banjarnegara, Jawa
Tengah. Disertasi. Fakultas Geografi. Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta.

Suhardjo, 1996. Pengertian dan Kerangka Pikir Ketahanan Pangan Rumah


Tangga. Makalah disampaikan pada Lokakarya Ketahanan Pangan
Rumah Tangga, 20-30 Mei 1996, Yogyakarta.

Suhardjo, A.J., 1984. Geografi Pedesaan dan Pembangunan. Pidato Pengukuhan


Jabatan Lektor Kepala dalam Geografi Pedesaan pada Fakultas
Geografi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Sukrino, S., 1999. Pengantar Teori Mikroekonomi. PT. Raja Grafindo Persada.
Jakarta.

172
Supriyati, Saptana, dan Supriyatna Y., 2002. Hubungan Penguasaan Lahan dan
Pendapatan Rumah Tangga di Pedesaan (Kasus di Propinsi Jawa
Tengah, Sumatera Barat dan Kalimantan Barat). Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Suratiyah, Ken, 2006. Ilmu Usahatani. Penebar Swadaya. Jakarta.

Suryana, A., S. Mardianto, K. Kariyasa, dan I. P. Wardana, 2008. Kedudukan


Padi dalam Perekonomian Indonesia. Buku 1. Padi Inovasi Teknologi
dan Ketahanan Pangan. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan
Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.

Suryana, Achmad, 2005. Kebijakan Ketahanan Pangan Nasional. Makalah


disampaikan pada Simposium Nasional Ketahanan dan Keamanan
Pangan pada Era Otonomi dan Globalisasi, Faperta, IPB, Bogor, 22
November 2005.

Suwarto, 2008. Produktivitas Lahan dan Biaya Usahatani Tanaman Pangan di


Kabupaten Gunung Kidul. Jurnal Ekonomi Pembangunan. 9 (2) : 168-
183.

Suwarto, 2007. Kelembagaan Lahan dan Tenaga Kerja pada Usahatani Tanaman
Pangan di Kabupaten Gunung Kidul Zone Selatan. Disertasi. Sekolah
Psacasarjana. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Syahyuti, 2011. Bank Syahriah dan Bagi Hasil di Masyarakat Kita. Pusat Analisis
Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. http://teori
penyakapan.com. Diakses tanggal : 13 April 2011.

White, G. dan G. Wiradi, 1989. Agrarian and Non-agrarian Basis of Inequality in


Nine Villages. Dalam G. Hart, A. Tirto, B. White (eds). Agrarian
Transformations, Local Processes and the State in Shoutheast Asia.
Berkeley : University of California Press : 266-302.

Widiyanto, 2001. Perilaku Petani Terhadap Risiko Pilihan Pola Tanam di Desa
Wukirsari Kecamatan Cangkingan Kabupaten Sleman. Tesis. Program
Pasca Sarjana UGM. Yogyakarta.

Widodo, Sri, 2006. Strategi Mengatasi Rawan Pangan : 1-7. Seminar Nasional
Forum Komunikasi Kebijakan dan Pusat Studi Asia Pasifik -
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Widodo, Sri, 1989. Production Efficiency of Rice Farmers in Java Indonesia.


Gadjah Mada University Press. UGM. Yogyakarta.

173
Widowati, S., dan Minantyorini, 2005. Diversifikasi pangan Sebagai Upaya
Mengatasi Kerawanan Pangan. Artikel Pangan edisi No
45/XIV/Juli/2005.

Wiradi dan Makali, 1984. Penguasaan Tanah dan Kelembagaan. SDP – SAE.
Bogor.

Yamin, M., 2003. Strategi Rumahtangga Transmigran dalam Memenuhi


Kebutuhan Dasar di Propinsi Sumatera Selatan. Disertasi S-3.
Program Pascasarjana. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
(unpublished).

Yaya S., 2002. Hubungan Antara Distribusi Penguasaan Lahan Usahatani


dengan Kemiskinan di Pedesaan (Studi Kasus di Kecamatan Ciampea
dan Nanggung, Kabupaten Bogor). Program Pascasarjana. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.

Yotopoulus, P.A., and J.B. Nugent, 1976. Economics of Development: Empirical


Investigations. Harper and Row Publishers. New York.

Yotopoulus, P.A., and Lau, 1972. A Test for Relative Efficiency and Application
Indian Agriculture. The American economic Review. 63 (1) : 214-
223.

174
DAFTAR SINGKATAN

BPS : Badan Pusat Statistik


DIY : Daerah Istimewa Yogyakarta
DK : Dalam Keluarga
HKP : Hari Kerja Pria
HOK : Hari Orang Kerja
IFLA : Indek gabungan akses pangan dan mata pencaharian
IFU : Indeks pemanfaatan pangan
IP : Intensitas Penanaman
KCl : Kalium Clorida
Kkal : Kilo kalori
LK : Luar Keluarga
LKP : Lahan Kepemilikan Penyewa
MT : Musim Tanam
NBM : Neraca Bahan Makanan
NKE : Norma Kecukupan Energi
NR : Net Revenue
NTB : Nusa Tenggara Barat
PDRB : Produk Domestik Regional Bruto
RI : Republik Indonesia
SD : Sekolah Dasar
SMP : Sekolah Menengah Pertama
Sulsel : Sulawesi Selatan
Susenas : Survei Sosial Ekonomi Nasional
SUTPA : Sistem Usaha Tani Padi
TC : Total Cost
TFC : Total Fixed Cost
TP : Tahan Pangan
TR : Total Revenue
TTP : Tidak Tahan Pangan
TVC : Total Variable Cost
TVP : Total Variable Product
UU : Undang-undang
UUPA : Undang-Undang Pokok Agraria
UUPBH : Undang-Undang Pokok Bagi Hasil

175
INDEKS SUBYEK

Halaman

Bagi hasil 31
Benih 52, 57
Biaya tetap 42, 67
Biaya variabel 42, 67
Cobb-Douglas 38
Efisien 25
Faktor biologis 39
Faktor ketahanan pangan 104
Faktor pendapatan 87, 94
Faktor produksi 39, 42, 72, 79
Faktor sosial ekonomi 39
Faktor risiko pendapatan 89, 95
Faktor risiko produksi 73, 80
Fungsi keuntungan 44
Fungsi produksi 37
Fungsi produksi empiris 48
Fungsi produksi stokastik 48
Garap lahan orang lain 70
Garap lahan sendiri 70
Hama dan penyakit 53
Harga input 43
Individu 36
Input 37, 52
Input tetap 38
Input variabel 38
Keluarga 36
Kepemilikan 29
Ketahanan pangan 4, 19, 32, 101
Ketersediaan pangan 33
Ketidakpastian 44
Keuntungan 42, 61
Konsumsi 36
Lahan 7
Luas lahan 73
Nilai produksi marginal 43
Output 37
Padi 5
176
Pangan 9
Pedesaan 35
Pembangunan pertanian 1
Pemupukan 52
Pendapatan 24, 40, 52, 61
Pendapatan ekonomi 40
Pendapatan finansial 40
Pendapatan kotor 41
Pendekatan keuntungan 41
Pendekatan pendapatan 40
Penerimaan usahatani 42
Pengeluaran usahatani 40
Penguasaan lahan 2, 11, 16, 23
Penyakapan 27
Perkotaan 35
Pestisida 53, 59
Petani gadai 53
petani non pemilik 55, 70
Petani pemilik 55, 70
Petani pemilik-penggarap 53
Petani sakap 53
Produksi 37, 52, 60
Produktivitas 37, 60
Proporsi 35
Pupuk 52, 58
Risiko 3, 16, 44
Risiko harga 47
Risiko pendapatan 85
Risiko produksi 47, 70
Rumah tangga 34
Tenaga kerja 54, 58, 74
Usahatani 26
Variabel dependen 40

177
BIODATA PENULIS

Dr. Arifin, STP, MP, dilahirkan di Pinrang, 13


Juni 1971. Setelah tamat dari Sekolah Menengah
Atas (SMA Negeri 2 Pinrang) di Pinrang tahun
1991, penulis melanjutkan pendidikan S1 di
Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah
Mada (UGM), Yogyakarta dan meraih gelar
Sarjana Teknologi Pertanian (STP) tahun 1998.
Selanjutnya pada tahun 1999, penulis melanjutkan
studi S2 di Pascasarjana UGM dan meraih gelar
Magister Pertanian (MP) di bidang Ekonomi
Pertanian tahun 2001. Kemudian tahun 2008,
penulis melanjutkan studi S3 di Pascasarjana
Fakultas Pertanian UGM dan meraih gelar Doktor
(Dr) di bidang Ekonomi Pertanian tahun 2012. Sejak tahun 2001 penulis sudah
mengajar di perguruan tinggi di Makassar dan Maros (Universitas Indonesia
Timur, Universitas Muhammadiyah Makassar, Universitas Islam Negeri
Makassar, dan STIM YAPIM Maros) sebagai dosen luar biasa. Tahun 2002
diangkat sebagai dosen tetap yayasan di Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian (STIPER)
YAPIM Maros. Beberapa mata kuliah yang diajarkan antara lain Pengantar
Ekonomi Pertanian, Matematika Ekonomi, Pengantar Agroindustri,
Ekonometrika, Ekonomi Mikro, Ekonomi Makro, Ilmu Usahatani, Ekonomi
Produksi Pertanian, Kewirausahaan, dan Riset Operasi. Sebagai dosen, selain
membimbing dan menguji mahasiswa S1, penulis juga aktif melakukan berbagai
penelitian. Beberapa penelitian yang telah dilakukan antara lain Analisis Produksi
dan Pendapatan Petani Padi Pada Intensitas Pertanaman (IP 300), tahun 2007;
Peningkatan Produksi dan Pendapatan Pola Pertanaman IP 200 Di Sawah Tadah
Hujan, tahun 2008; Faktor Sosial Ekonomi Sistem Tanam Benih Pindah
Usahatani Padi, tahun 2008; Analisis Produksi dan Pendapatan Petani Padi dan
Kacang Tanah Pada Intensitas Pertanaman (IP 300), tahun 2009; Faktor Sosial
Ekonomi dan Pendapatan Sistem Tanam Benih Pindah Usahatani Padi di
Kabupaten Maros, tahun 2010; Inovasi Teknologi Pengelolaan Air In Situ Lahan
Kering dengan Pendekatan Partisipatif untuk Meningkatkan Hasil Palawija dalam
Mendukung Ketahanan Pangan, tahun 2010; Peningkatan Ketahanan Pangan
Rumah Tangga di Daerah Sentra Produksi Padi Sulawesi Selatan, tahun 2010;
Risiko Produksi, Pendapatan dan Ketahanan Pangan Sistem Penguasaan Lahan di
Daerah Sentra Padi Kabupaten Pinrang, tahun 2012; Penguasaan Lahan Terhadap
Produksi, Risiko dan Ketahanan Pangan Daerah Sentra Produksi Padi di

178
Kabupaten Pinrang, tahun 2012; Risiko Produksi dan Pendapatan Kepemilikan
Lahan Daerah Sentra Produksi Padi di Kabupaten Pinrang, tahun 2013; Ketahanan
Pangan Rumah Tangga Tani Berdasarkan Kepemilikan dan Penguasaan Lahan di
Daerah Sentra Produksi Padi Kabupaten Pinrang, tahun 2013; Risiko Produksi
dan Ketahanan Pangan Sistem Penguasaan Lahan di Daerah Sentra Padi
Kabupaten Pinrang, tahun 2014; Ketahanan Pangan dan Kontribusi Usahatani
Padi pada Sawah Tadah Hujan di Kabupaten Maros, tahun 2015; Faktor-faktor
Produksi Sistem Penguasaan Lahan di Daerah Sentra Usahatani Padi, tahun 2015;
dan Faktor-faktor Pendapatan Usahatani Padi Sistem Penguasaan Lahan di Daerah
Sentra Padi, tahun 2016. Penulis juga aktif melakukan penulisan ilmiah dan telah
diterbitkan di beberapa jurnal ilmiah nasional dan jurnal internasional. Artikel
yang terbit di International Journal of Science & Research adalah “Income and
Foof Security Land Tenure System in Regional Center of Rice”, (Februari, 2017)
dan “Application of Polyclonal Planting System of Cocoa (Theobroma cacao L.)
by Side Grafting Technology in South Sulawesi-Indonesia”, (Oktober, 2017).
Demikian juga penulis sudah menerbitkan buku yaitu Pengantar Ekonomi
Pertanian (2015), Tanaman Herbal Kebun Raya Pucak (2015), Pengantar
Agroindustri (2016) dan Pengantar Agribisnis (2017) yang diterbitkan oleh
Mujahid Press. Buku Penguasaan Lahan dan Ketahanan Pangan adalah buku
kelima yang diterbitkan.

179

Anda mungkin juga menyukai