Anda di halaman 1dari 9

“Menganalisis Organisasi Pergerakan Pada Masa Pendudukan Jepang”

Terdapat perbedaan antara organisasi pergerakan pada masa kolonial Belanda dengan era
pendudukan Jepang, pada masa kolonial Belanda organisasi pergerakan pada umumnya
diprakarsai oleh tokoh pejuang Indonesia sedangkan saat era pendudukan Jepang kebanyakan
organisasi pergerakan dibentuk oleh jepang. Berikut adalah bebarapa organisasi pergerakan yang
ada pada masa pendudukan Jepang di Indonesia.

A. Organisasi yang Bersifat Sosial Kemasyarakatan


1. Gerakan Tiga A

Tiga A adalah propaganda Kekaisaran Jepang pada masa Perang Dunia 2 yaitu
"Jepang Pemimpin Asia", "Jepang Pelindung Asia" dan "Jepang Cahaya Asia". Gerakan Tiga
A didirikan pada tanggal 29 April 1942. Pelopor gerakan Tiga A ialah Shimizu Hitoshi.
Ketua Gerakan Tiga A dipercayakan kapada Mr. Syamsuddin. Gerakan Tiga A bukanlah
gerakan kebangsaan Indonesia. Gerakan ini lahir semata - mata untuk memikat hati dan
menarik simpati bangsa Indonesia agar mau membantu Jepang. Gerakan ini kurang mendapat
perhatian rakyat, karena bukan gerakan kebangsaan Indonesia. Oleh karena kurang berhasil
menggerakkan rakyat Indonesia dalam membantu Usaha tentara Jepang, maka gerakan ini
dibubarkan pada tahun 1943 dan digantikan oleh PuTeRa.

2. PuTeRa

Pusat Tenaga Rakyat atau Putera adalah organisasi yang dibentuk pemerintah Jepang
di Indonesia pada 16 April 1943 dan dipimpin oleh Empat Serangkai, yaitu Ir.Soekarno
M.Hatta, Ki Hajar Dewantoro dan K.H Mas Mansyur. Tujuan Putera adalah untuk membujuk
kaum Nasionalis dan intelektual untuk mengabdikan pikiran dan tenaganya untuk
kepentingan perang melawan Sekutu dan diharapkan dengan adanya pemimpin orang
Indonesia, maka rakyat akan mendukung penuh kegiatan ini. Dalam tempo singkat Putera
dapat berkembang sampai ke daerah dengan anggotanya adalah kumpulan organisasi profesi
seperti, Persatuan Guru Indonesia, perkumpulan pegawai pos, radio dan telegraf,
perkumpulan Istri Indonesia, Barisan Banteng dan Badan Perantara Pelajar Indonesia serta
Ikatan Sport Indonesia.

Propaganda Tiga A yang disebarluaskan oleh Jepang untuk mencari dukungan rakyat
Indonesia ternyata tidak membuahkan hasil memuaskan, karena rakyat justru merasakan
tindakan tentara Jepang yang kejam seperti dalam kerja paksa romusha.

Oleh sebab itu pemerintah Jepang berupaya mencari dukungan dari para pimpinan
rakyat Indonesia dengan cara membebaskan tokoh-tokoh pergerakan nasional antara lain
Soekarno, Hatta dan Syahrir serta merangkul mereka dalam bentuk kerjasama. Para
pemimpin bangsa Indonesia merasa bahwa satu-satunya cara menghadapi kekejaman militer
Jepang adalah dengan bersikap kooperatif. Hal ini semata untuk tetap berusaha
mempertahankan kemerdekaan secara tidak langsung. Berdasarkan pertimbangan tersebut,
maka mereka sepakat bekerjasama dengan pemerintah militer Jepang dengan pertimbangan
lebih menguntungkan dari pada melawan. Hal ini didukung oleh propaganda Jepang untuk
tidak menghalangi kemerdekan Indonesia. Maka setelah terjadi kesepakatan, dibentuklah
organisasi baru bernama Putera (Pusat Tenaga Rakyat).

Keberadaan Putera merupakan organisasi resmi pemerintah yang disebarluaskan


melalui surat kabar dan radio, sehingga menjangkau sampai ke desa, namun tidak
mendapatkan bantuan dana operasional. Meskipun kegiatannya terbatas, para pemimpin
Putera memanfaatkan media massa yang disediakan untuk mengikuti dan mengamati situasi
dunia luar serta berkomunikasi dengan rakyat.

Karena Putera tidak menguntungkan Jepang, Putera hanya bertahan selama setahun,
lalu dibubarkan dan diganti dengan Jawa Hokokai.

3. Jawa Hokokai

Jepang mendirikan Jawa Hokokai pada tanggal 1 Januari 1944. Organisasi ini
diperintah langsung oleh kepala pemerintahan militer Jepang (Gunseikan). Latar belakang
dibentuknya Jawa Hokokai adalah Jepang menyadari bahwa Putera lebih bermanfaat bagi
pihak Indonesia daripada bagi pihak Jepang. Oleh karena itu, Jepang merancang
pembentukan organisasi baru yang mencakup semua golongan masyarakat, termasuk
golongan Cina dan Arab. Berdirinya Jawa Hokokai diumumkan oleh Panglima Tentara
Keenambelas, Jenderal Kumakichi Harada.

Sebelum mendirikan Jawa Hokokai, pemerintah pendudukan Jepang lebih dahulu


meminta pendapat empat serangkai. Alasan yang diajukan adalah semakin hebatnya Perang
Asia Timur Raya sehingga Jepang perlu membentuk organisasi baru untuk lebih
menggiatkan dan mempersatukan segala kekuatan rakyat. Dasar organisasi ini adalah
pengorbanan dalam hokoseiskin (semangat kebaktian) yang meliputi pengorbanan diri,
mempertebal rasa persaudaraan, dan melaksanakan sesuatu dengan bakti.

Secara tegas, Jawa Hokokai dinyatakan sebagai organisasi resmi pemerintah. Jika
pucuk pimpinan Putera diserahkan kepada golongan nasionalis Indonesia, kepemimpinan
Jawa Hokokai pada tingkat pusat dipegang langsung oleh Gunseikan. Adapun pimpinan
daerah diserahkan kepada pejabat setempat mulai dari Shucokan sampai Kuco.
Kegiatankegiatan Jawa Hokokai sebagaimana digariskan dalam anggaran dasarnya sebagai
berikut.

a. Melaksanakan segala sesuatu dengan nyata dan ikhlas untuk menyumbangkan segenap
tenaga kepada pemerintah Jepang.
b. Memimpin rakyat untuk menyumbangkan segenap tenaga berdasarkan semangat
persaudaraan antara segenap bangsa.
c. Memperkukuh pembelaan tanah air.

Anggota Jawa Hokokai adalah bangsa Indonesia yang berusia minimal 14 tahun,
bangsa Jepang yang menjadi pegawai negeri, dan orang-orang dari berbagai kelompok
profesi. Jawa Hokokai merupakan pelaksana utama usaha pengerahan barang-barang dan
padi. Pada tahun 1945, semua kegiatan pemerintah dalam bidang pergerakan dilaksanakan
oleh Jawa Hokokai sehingga organisasi ini harus melaksanakan tugas dengan nyata dan
menjadi alat bagi kepentingan Jepang.

4. MIAI

Jepang membutuhkan bantuan dan tenaga umat Islam. Hal ini terbukti dengan
diaktifkannya kembali MIAI (Majelis Islam A'la Indonesia) pada tanggal 4 September
1942. Pengaktifan kembali MIAI ini diharapkan dapat memobilisasi gerakan umat Islam
untuk menopang keperluan perang.

Dengan semboyan "Berpegang teguhlah kamu sekalian pada tali Allah dan janganlah
berpecah belah", MIAI berkembang menjadi organisasi yang cukup penting pada masa
pendudukan Jepang. Adapun tugas MIAI di masa Jepang antara lain sebagai berikut :

 Menempatkan umat Islam pada kedudukan yang layak dalam masyarakat.


 Mengharmoniskan Islam dengan kebutuhan perkembangan jepang.

Untuk melaksanakan tugas tersebut, MIAI membuat perencanaan program yang menitik
beratkan pada tercapainya tujuan yang bersifat sosio-religius. Adapun perincian program
MIAI sebagai berikut :
 Menyelamatkan dan memelihara kehormatan dan kejayaan umat Islam.
 Membangun masyarakat muslim yang mampu memelihara perdamaian dan
menciptakan kesejahteraan rakyat.
 Meningkatkan pengurusan semua masalah penting kaum muslim seperti :
perkawinan, waris, masjid, zakat, pendidikan dan pengajaran, penyiaran dan
wakaf, serta kesejahteraan fakir miskin.
 Membantu Jepang dan bekerja untuk Asia Raya.

Dalam upaya pelaksanaan program tersebut MIAI memusatkan perhatiannya pada


tiga proyek utama, yaitu membangun Masjid Agung di Jakarta, melanjutkan upaya
pendirian Universitas Islam, dan membentuk baitulmal. Pada bulan Mei 1943, MIAI
membentuk Majelis Pemuda dan Keputrian. Majelis Pemuda dipimpin oleh Ir. Safwan,
dengan sektretaris H.M. Effendi, dan penasihat Dr. Abu Hanifah. Sedangkan Keputrian
dipimpin oleh Siti Nurjanah sebagai ketua dan Ny. Radian Anwar sebagai sekretaris.

MIAI yang tidak memberi kontribusi kepada Jepang akhirnya dibubarkan pada
November 1943.

5. Masyumi

Pada tanggal 24 Oktober 1943, MIAI dibubarkan. Hal ini disebabkan Jepang memandang
berkembangnya MIAI tidak sesuai dengan harapan Jepang. Sebagai gantinya Jepang
membentuk Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia). Sebagai ketuanya ditunjuklah
Hasyim Asy'ari, sedangkan wakil ketuanya Mas Mansur dan Wahid Hasyim. Sedangkan
sebagai penasihat yaitu Ki Bagus Hadikusuma dan Abdul Wahab.

Sebagai induk organisasi Islam, anggota Masyumi terdiri dari para ulama. Dengan
demikian para ulama dilibatkan dalam kegiatan pergerakan politik. Oleh pihak Jepang
Masyumi diharapakan dapat mengumpulkan dana dan menggerakkan umat Islam untuk
menopang kegiatan Perang Asia Timur Raya.

Masyumi cepat berkembang, di setiap kepresidenan terdapat cabang-cabang Masyumi.


Oleh karena itu, Masyumi berhasil meningkatkan hasil bumi dan pengumpulan dana.

Dalam perkembangannya, tampilah tokoh-tokoh muda di dalam Masyumi, antara lain :


Moh. Natsir, Harsono, Cokroaminoto dan Prawoto Mangun Sasmito. Masyumi menjadi
organisasi massa pendukung rakyat, sehingga menentang keras romusa. Organisasi ini telah
menolak perintah Jepang agar menjadi penggerak romusa. Dengan demikian Masyumi telah
menjadi organisasi pejuang yang membela rakyat.

Masyarakat yang berkembang diberbagai kelompok. Adapun kelompok-kelompok


tersebut antara lain sebagai berikut :

1. Kelompok Pangreh Praja dan Pegawai


Kelompok pangreh praja dan pegawai masih tetap mempertahankan sikap
konservatif. Mereka takut kehilangan kedudukan dan jabatan. Kelompok ini
cenderung menjadi pengikut penguasa.
2. Kelompok Nasionalis Nonagama
Kelompok ini dipimpin oleh Ir. Soekarno dan Moh. Hatta. Mereka memahami begitu
keras dan kejamnya tentara Jepang.
3. Kelompok Santri dan Ulama
Kelompok Santri dan Ulama juga dinamakan dengan kelompok nasionalis agama.
Kelompok ini memiliki pengaruh yang cukup besar di dalam masyarakat, contohnya
MIAI.
4. Kelompok Sosialis
Kelompok di bawah pimpinan Sutan Syahrir ini bersikap antifasisme Jepang.
Kelompok ini termasuk pendukung paham demokrasi parlementer dari Barat.
5. Kelompok Komunis
Kelompok Komunis di bawah pimpinan Amir Syarifuddin ini dikenal antikapitalis,
tetapi sekaligus juga antifasisme. Oleh karena itu, wajar jika kelompok ini anti
Jepang.
6. Kelompok Pemuda
Kelompok pemuda ada 2 macam, yaitu :
a. Kelompok pemuda yang lebih condong ke komunis, di bawah pimpinan Tan
Malaka. Mereka umumnya bekerja pada Sendenbu.
b. Kelompok pemuda kaigun (pegawai-pegawai dapa Dinas Angkatan Laut Jepang).
Kelompok ini dipimpin oleh Ahmad Subarjo.

Jepang ternyata memberikan kesempatan pada tokoh-tokoh Indonesia untuk melibatkan


diri dalam kegiatan politik dan memangku jabatan-jabatan politis, seperti menjadi residen. Para
tokoh nasionalis juga dilibatkan di dalam keanggotaan dan kepemimpinan Chuo Sangi In.

Di dalam Chuo Sangi In, Ir. Soekarno sebagai ketua dan para anggotanya jelas dituntut
untuk membina diri dan mengembangkan wawasan politik, karena tugasnya antara lain
memberikan jawaban terhadap pertanyaan pemerintah tentang politik dan pemerintahan.

B. Organisasi Semi-Militer & Militer

Pada tahun 1943 terjadi perubahan politik dunia, di mana blok As (Jerman, dkk.) telah
menderita kekakalahan di mana-mana. Jepang mulai cemas terhadap serangan balasan Sekutu
yang semakin ofensif dalam perang pasifik. Kondisi ini membuat Jepang mulai bersikap lunak
terhadap negeri-negeri jajahannya. Kepada bangsa Indonesia diberi kesempatan untuk ambil
bagian dalam uruasan pemerintahan. Untuk itulah dibentuk Tjihio Sangi Kai (semacam Dewan
Daerah) dan Tjuai Sangi In (semacam Dewan Rakyat) dengan Ir. Soekarno sebagai ketua dan
RMAA Kusumoutoyo dan dr. Buntaran sebagai wakil ketua. Sementara itu Perang Pasifik
semakin mendesak kekuatan Jepang. Untuk itu Jepang memerlukan bantuan rakyat daerah
pendudukan untuk menahan laju ofensif tentara Sekutu. Pemerintah Jepang mulai memikirkan
pengerahan pemuda-pemuda Indonesia guna membantu usaha peperangannya. Jepang mulai
beralih ke strategi defensif di mana Indonesia menjadi front depan (Nugroho: 1993).

Berdasarkan keputusan sidang parlemen ke-82 di Tokyo, Perdana Menteri Tojo


mengemukakan perlunya dibentuk barisan semi militer dan militer di Indonesia. Pada bulan
Januari 1943 dibukalah sebuah pusat latihan militer untuk pemuda-pemuda Indonesia yang
dikenal dengan ”Sainen Dojo” di Tanggerang. Seinen Dojo ini dipimpin oleh perwira pelatih
Jepang Yanagawa, dibantu oleh M.Nakajima seorang Jepang yang besar di Indonesia dan pro
terhadap Kemerdekaan Indonesia. Di Seinen Dojo ini para pemuda diberi latihan militer yang
sangat berat. Di tempat ini juga dibentuk karakter pemuda semangat dan keberanian berkorban
tentara Jepang yaitu ”Seisin” . Karakter-karakter ”Seisin” seperti ”Tai atari”, ”Jibaku”,
”Harakiri” inilah yang kelak amat berguna dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Di Sainen
Dojo ini juga kelak lahir pahlawan-pahlawan kemerdekaan seperti Letnan Jenderal A. Kemal
Idris, Letnan Jenderal A. Kosasih, dan Mayor Daan Mogot.

Keberhasilan Seinen Dojo dalam melatih pemuda-pemuda Indonesia membuat Jepang


membentuk organisasi-organisasi semi militer lain dalam rangka membantu tentara Jepang
dalam peperangannya. Dalam bulan April 1943 dibentuklah organisasi-organisasi pemuda yang
diberi latihan militer, yaitu antara lain:

1. Barisan Pemuda (Seinendan)


Organisasi ini dimaksudkan untuk melatih dan mendidik pemuda agar mampu menjaga
dan memepertahankan tanah airnya dengan kekuatannya sendiri, sedangkan tujuan
sesungguhnya adalah agar Jepang mempunyai kekuatan cadangan dalam menghadapi
Sekutu dalam perang pasifik yang semakin ofensif. Pada awal pembentukannya jumlah
anggota Seinendan tercatat 3.500 orang dan kemudian berkembang mencapai jumlah
sekitar 500.000 orang pada akhir pemerintahan Jepang.

Susunan Seinendan terdiri atas:

a.Dancho(Komandan)
b.Fuku Dancho(Wakil Komandan)
c.Komon(Penasehat)
d.Sanyo(Anggota Dewan Pertimbangan)
e.Kanji(Administrator)

Yang pasti bahwa organisasi ini digunakan untuk mengamankan garis belakang dan
sebagai barisan cadangan. Selain itu dibentuk pula Seinendan putri yang membantu
pelaksanaan garis belakang.

2. Barisan Pembantu Polisi (Keiboidan)

Keiboidan adalah organisasi pemuda (20-35 tahun) yang mempunyai tugas kepolisian berupa
penjagaan lalu lintas, keamanan desa, memelihara keamanan dan ketertiban,dan lain-lain.
Organisasi ini berada dalam binaan Keimubu (Departemen Kepolisian) dan anggotannya
berjumlah sekitar satu juta orang. Yang menarik dari organisasi ini ialah bahwa organisasi ini
dijauhkan dari pengaruh kaum nasionalis, sedangkan di dalam Seinendan duduk nasionalis
muda seperti Sukarni, Abdul Latief Hendraningrat, dan lain-lain.
3. Pembantu Prajurit (Heiho)

Pada tanggal 22 April 1943 Tentara Wilayah Ketujuh mengeluarkan peraturan tentang
pembentukan Heiho (Pembantu Prajurit). Sejak saat itu para Heiho dilatih dan dipergunakan
dalam berbagai kesatuan militer di bawah wewenang tentara wilayah ketujuh yang di
dalamnya termasuk Tentara Ke Enam Belas (yang menguasahi wilayah Jawa-Madura).

Setelah melihat latihan di Seinen Dojo pihak Jepang tidak meragukan kemampuan Heiho
dalam melaksana-kan tugas-tugas militernya. Namun yang dikawatirkan adalah kesetiaan
para Heiho terhadap usaha dan kepentingan perang Jepang. Pihak Jepang merasa takut jika
para pemuda Indonesia yang telah terdidik dan terlatih secara militer akan memukul balik
pasukan Jepang di Indonesia.

Jumlah pasukan Heiho sampai akhir pendudukan Jepang adalah 42.200 orang yang memiliki
keahlian diberbagai seluk beluk persenjataan, tetapi di antara mereka tidak ada yang
berpangkat perwira.

4. Himpunan Wanita (Fujinkai)

Pada bulan Agustus 1943 dalam rangka membentuk potensi wanita Pemerintah Jepang
membentuk Fujinkai. Tenaga wanita dengan keanggotaan batas umur 15 tahun ini digunakan
digaris belakang untuk membantu dan merawat korban perang, namun banyak juga yang
dilibatkan dalam penanaman pohon jarak untuk diambil minyaknya. Selain itu mereka juga
diberikan latihan-latihan semi militer yang meliputi baris-berbaris dan menyelamatkan diri
dari peperangan.

5. Organisasi Islam

Golongan Nasionalis Islam memperoleh perhatian khusus pemerintah Jepang. Golongan


Nasionalis Islam oleh pemerintah Jepang dianggap anti barat dalam persoalan sekulerisme.
Untuk itu Pemerintah Jepang tetap mengijinkan berdirinya organisasi Islam yang sudah
berdiri dari jaman Hindia Belanda, yaitu Majelis Islam A’la Indonesia yang didirikan oleh
K.H Mas Mansur pada tahun 1937 di Surabaya.

Pemerintah Jepang melalui Kolonel Horie Choso seorang Kepala Shumubu (Kantor Urusan
Agama) Jakarta, meminta agar umat Islam tidak melakukan kegiatan yang bersifat politik.
Pemerintah Jepang mengharap-kan agar MIAI membantu segala aktifitas Jepang dalam
rangka mencapai kemakmuran bersama di bawah pimpinan Dai Nippon. Sebagai organisasi
massa yang besar, dalam segala kegiatannya MIAI tetap diawasi oleh pemerintah Jepang.

Pada bulan September 1943 Pemerintah Jepang mengijinkan berdirinya organisasi Islam
yang lain yaitu NU dan Muhammaddiyah. Pada bulan Oktober 1943 MIAI dibubarkan, sebab
dianggap kegiatannya tidak begitu memuaskan oleh pemerintah Jepang. Sebagai pengganti
MIAI berdirilah Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).
Pada bulan desember 1944 Masyumi diperboleh-kan memiliki organisasi militer yang
bernama Barisan Hizbullah (Pasukan Tuhan) Perkembangan organisasi Islam pada masa
Jepang mendapatkan keleluasaan. Dalam praktiknya organisasi-organisasi ini tidak selalu
memihak kepada pemerintah Jepang, hal ini disebabkan karena banyak dari aktivitas bangsa
Jepang yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah Islam.

6. Pembentukan PETA (Kiodo Bo Ei Giyugun)

Pembentukan PETA atau yang lebih dikenal dengan Tentara Pembela Tanah Air lahir atas
prakarsa salah seorang tokoh pergerakan nasional Indonesia yaitu R. Gatot Mangkuprojo
melalui suratnya yang ditujukan kepada Saiko Shikan (Panglima Tentara Kenambelas) dan
kepada Gunsekan (Kepala Pemerintahan Pendudukan Tentara Jepang). Isi surat tersebut
adalah keinginan untuk meyumbangkan tenaganya dalam mempertahankan daerah negara
Indonesia agar pemerintah Jepang mau membentuk pasukan sukarela yang seluruh
pasukannya terdiri atas bangsa Indonesia.

Dalam waktu sebulan setelah permohonan Gatot, dikeluarkanlah Osamu Seirei No. 44 pada
tanggal 3 Oktober 1943, mengenai “Pembentukan Pasukan Sukarela untuk membela Jawa“.
Peraturan tersebut mengandung pokok-pokok pikiran sebagai berikut:

a.Tentara PETA beranggotakan orang Indonesia asli mulai dari pimpinan sampai bawahan
yang terendah;

b.Penempatan militer Jepang untuk tujuan pelatihan;

c.Tentara PETA berada langsung di bawah Panglima Tentara, terlepas dari badan
manapun;

d.Tentara PETA merupakan tentara teritorial yang tugas dan kewajibannya


mempertahankan daerahnya masing-masing (Syu); dan

e.Tentara PETA di masing-masing daerahnya (Syu) harus siap membela dan


mempertahankannya sampai titik darah penghabisan.

Dari pembentukan PETA ini bisa dilihat adanya dua kepentingan yang berbeda. Di satu pihak
bangsa Indonesia membutuhkan tenaga-tenaga yang terampil serta mahir dalam bidang
kemiliteran yang dibutuhkan untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan yang tidak
lama lagi menjadi kenyataan. Di pihak lain Jepang membutuhkan tenaga pemuda Indonesia
untuk membantu tentara Jepang mempertahankan Indonesia dari tangan Sekutu.

Sistem kepangkatan tentara PETA memilki lima tingkatan, yaitu:


a. Daidanco : Komandan Batalion
b. Cudanco : Komandan Kompi
c. Shodanco : Komandan Peleton
d. Budancho : Komandan Regu
e. Giyubei : Prajurit Sukarela
Menjelang tahun 1944, Jepang mulai terdesak dan satu demi satu daerah jajahannya berhasil
direbut Sekutu. Serangan yang diarahkan ke Jepang semakin jelas dan kemungkinan besar
hubungan antara Jepang dan Indonesia terputus oleh blokade Sekutu. Untuk menutupi
kekalahan yang semakin lanjut tersebut pemerintah Jepang mendirikan Badan Pelopor atau
Suisyintai pada tanggal 1 November 1944, sebulan kemudian dibentuk pula Barisan Berani
Mati atau Jibakutai. Para pemuda yang tergabung dalam Barisan Berani Mati berjumlah
sekitar 50.000 orang.

Mereka mendapat latihan kemilliteran di bawah bimbingan Kapten Yanagawa di Cibarusa,


Bogor selama 2 bulan. Sesuai dengan hasil Chui Sangi-In yang ketiga maka pengerahan
seluruh kekuatan harus diciptakan dan untuk melaksanakannya maka Ir. Soekarno diangkat
menjadi ketua dan R.P Suroso sebagai wakilnya. Jumlah anggotanya ada sekitar 60.000
orang yang ada di kota dan desa.

Anda mungkin juga menyukai