Anda di halaman 1dari 21

SUMBER HUKUM ISLAM

MAKALAH KELOMPOK
Untuk Memenuhi Tugas
Matakuliah Ushul Fiqih
Dosen pengampu: Yulianti, Lc. M.Pd.I

Kelompok 2
Disusun Oleh:

Ismi Azizah (17250077.K)


Titin Fauziah (16250025)

INSTITUT AGAMA ISLAM AGUS SALIM


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PROGAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini dengan baik tanpa kurang suatu apapun.
Makalah ini berisikan tentang penjelasan Sumber Hukum Islam yang dapat
dilihat pada bagian isi. Dalam penyusunan tugas ini, tidak sedikit hambatan yang
kami hadapi. Namun kami menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan tugas
ini tidak lain berkat bantuan, dorongan dan bantuan dari semua pihak sehingga
kendala-kendala yang kami hadapi dapat teratasi. Untuk itu kami ucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya.
Diharapkan makalah ini dapat memberikan informasi dan menambah wawasan
kita semua serta menjadi sumbangan pemikiran bagi pembaca sehingga dapat
meningkatkan ilmu pengetahuan kita.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, maka segala
kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun sangat kami harapkan
demi kesempurnaan makalah ini.

Metro, 16 Maret 2018

Tim Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ......................................................................................... i


KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULAN ....................................................................................... 1
A. Latar belakang ........................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 1
C. Tujuan........................................................................................................ 1

BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................... 2


A. Al-Qur,an ................................................................................................... 2
1. Arti Definisi Dan Pengertian Al Qur'an ............................................... 2
2. Dasar Kehujjahan Al-Qura’an dan Kedudukannya sebagai
Sumber Hukum ..................................................................................... 2
3. Pedoman Al-Qur’an dalam Menetapkan Hukum ................................. 3
B. Hadist ........................................................................................................ 5
1. Pengertian Hadist .................................................................................. 5
2. Kedudukan hadist sebagai sumber hukum Islam ................................. 5
C. Ijma' ........................................................................................................... 7
1. Pengertian Ijma' ................................................................................. 7
2. Dasar Kehujjahan Ijma’ dan Kedudukannya sebagai sumber
hukum ............................................................................................... 9
3. Macam dan Tingkatan Ijma’ ................................................................. 9
D. Qiyas ........................................................................................................ 10
1. Pengertian Qiyas ……………………………………………...…... 10
2. Rukun Qiyas .............................................................................. 10
3. Dasar Kehujjahan Qiyas dan Kedudukannya sebagai Sumber
Hukum .................................................................................................. 12
4. Macam-macam Qiyas ........................................................................... 13
5. Sebab-sebab dilakukan Qiyas ............................................................... 15

BAB III PENUTUP .............................................................................................. 16


A. Kesimpulan .......................................................................................................... 16

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Fiqih islam merupakan kumpulan hukum islam yang berkenaan
dengan amal perbuatan, yang digali dari sumber/dalilnya secara terperinci.
Dalil pokok yang merupakan sumber fiqih itu adalah wahyu Tuhan. Satu-
satunya pemilik dan penguasa hukum.
Pengertian wahyu sebagai satu-satunya sumber hukum, ialah bahwa
dialah yang berhak menetapkan adanya sumber lain yang dapat dijadikan
dasar bagi fiqih islam, di antaranya dinyatakan adalah : Qur’an , Hadist dan
sumber hukum pelengakap islam lainnya.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian, kedudukan dan fungsi Al – Qur’an ?


2. Apa pengertian, kedudukan dan fungsi Al – Hadist ?
3. Apa pengertian, macam – macam dan kedudukan Ijma’ ?
4. Apa pengertian, hukum dan macam – macam Qiyas ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian Hukum Islam.
2. Untuk mengetahui macam – macam Sumber Hukum Islam.
3. Untuk mengetahui fungsi Hukum Islam dalam kehidupan masyarakat.

1
BAB II
PEMBAHASAN

SUMBER HUKUM ISLAM

A. Al-quran

1. Arti Definisi Dan Pengertian Al Qur'an

Al-Qur’an adalah firman atau wahyu yang berasal dari Allah SWT kepada
Nabi Muhammad SAW dengan perantara melalui malaikat jibril sebagai pedoman
serta petunjuk seluruh umat manusia semua masa, bangsa dan lokasi. Alquran
adalah kitab Allah SWT yang terakhir setelah kitab taurat, zabur dan injil yang
diturunkan melalui para rasul

Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum Islam

2. Dasar Kehujjahan Al-Qura’an dan Kedudukannya sebagai Sumber


Hukum

Alqur’an merupakan sumber hukum utama dan menempati kedudukan


pertama dari sumber-sumber hukum yang lain dan merupakan aturan dasar yang
paling tinggi. Sumber hukum maupun ketentuan norma yang ada tidak boleh
bertentangan dengna isi Al-Qur’an.
Sebagaimana kita ketahui Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
dan disampaikan kepada umat manusia adalah untuk wajib diamalkan semua
perintah-Nya dan wajib ditinggalkan segala larangan-Nya.
Firman Allah SWT :

Artinya : “Sesungguhnya kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan


membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang
telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantan karena
membela orang-orang yang khianat”(An-Nisa ; 105)

2
3. Pedoman Al-Qur’an dalam Menetapkan Hukum

Pedoman Al-Qur’an dalam menetapkan hukum sesuai dengan


perkembangan dan kemampuan manusia, baik secara fisik maupun rohani. Manusia
selalu berawal dari kelemahan dan ketidakmampuan. Untuk itu Al-Qur’an
berpedoman kepda tiga hal, yaitu :

a. Tidak memberatkan

    


    
   
   
    
   
   
    
    
    
   
  
  

286. Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.


ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa
(dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): "Ya Tuhan Kami, janganlah
Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah. Ya Tuhan Kami, janganlah
Engkau bebankan kepada Kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan
kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan
kepada Kami apa yang tak sanggup Kami memikulnya. beri ma'aflah kami;
ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong Kami, Maka tolonglah
Kami terhadap kaum yang kafir."(Al-Baqoroh : 286)

3
   
  
  
   
  
    
    
    
   
  
  
   
 

185. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di
dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan
yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan
Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya
berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan
hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan
Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.(Al-
Baqoroh : 185)

b. Meminimalisir beban

Dasar ini merupakan konsekwensi logis dari dasar yang pertama. Dengan dasar
ini kita dapati rukhshah dalam beberapa jenis ibadah, seperti :

4
Menjamak dan mengqashar salat apabila dalam perjalanan dengan syarat yang telah
ditentukan.
c. Berangsur-angsur dalam menetapkan hokum

Al-Qur’an dalam menetapkan hukum adalah secara bertahap, hal ini bisa kita
telusuri dalam hukum haramnya minuman-minuman keras dan sejenisnya, berjudi
serta perbuatan-perbuatan yang mengandung judi ditetapkan dalam Al-Qur’an.

B. Hadist
1. Pengertian Hadist

Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan


persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum
dalam agama Islam. Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain
Al-Qur'an, Ijma dan Qiyas, dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan
sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an.

2. Kedudukan hadist sebagai sumber hukum Islam


Semua umat islam telah sepakat dengan bulat bahwa hadist rosulullah adalah
sumber dan dasar hukum islam setelah alquran, dan umat islam diwajibkan
mengikuti dan mengamalkan hadist sebagaimana diwajibkan mengikuti dan
mengamalkan alquran.
Alquran dan hadist merupakan dua sumber hukum pokok syariat islam yang
tetap dan orang islam tidak akan mungkin bias memahami syariat islam secara
mendalam dan lengkap tanpa kembali kepada kedua sumber islam tersebut. Seorang
mujtahid dan seorang ulama pun tidak diperbolehkan hanya mencukupkan diri
dengan mengambil salah satu dari keduanya.
Banyak kita jumpai ayat ayat alquran dan hadist hadist yang memberikan
pengertian bahwa hadist merupakan sumber hukum islam selain alquran yang wajib
diikuti dan diamalkan baik dalam bentuk perintah maupun larangannya.
Dalil Alquran
   
   

5
   
     
  
   
   
   
   
  
179. Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam
Keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari
yang baik (mukmin). dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu
hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara
rasul-rasul-Nya. Karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasulNya; dan jika
kamu beriman dan bertakwa, Maka bagimu pahala yang besar. (Ali imron : 179)

  


  
   
 
     
  
 
   
  

136. Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-
Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang
Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-
malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari Kemudian, Maka
Sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya. (Annisa’ : 136)

6
Dalam surat ali imron diatas Allah membedakan antara orang orang yang
beriman dengan orang orang yang munafik dan akan memperbaiki keadaan orang
orang yang beriman dan memperkuat iman mereka. Oleh karena itu orang mukmin
dituntut agar tetap beriman kepada Allah dan Rosul-Nya. Sedangkan pada surat
An-Nisa’ , allah menyerukan kaum muslim agar mereka tetap beriman kepada
Allah dan Rosul-Nya, Alquran dan kitab yang diturunkan sebelumnya. Kemudian
pada akhir ayat allah mengancam orang orang yang mengingkari dan menentang
seruan-Nya.
Selain itu Allah memerintahkan orang islam agar percaya kepada Rosul
SAW juga menyerukan agar mentaati dan melaksanakan segala bentuk perundang
undangan dan peraturan yang dibawahnya , baik berupa perintah maupun larangan.

Dalil Hadist
Mari kita pahami dalam salah satu pesan rosulullah SAW berkenaan dengan
kewajiban menjadikan hadist sebagai pedoman hidup disamping alquran untuk
pedoman utamanya, beliau bersabda
Yang artinya: “aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, yang kalian tidak akan
tersesat selagi kamu berpegang teguh pada keduanya, yaitu berupa kitab Allah dan
sunnah Rosul-Nya”.(HR.Malik).

Dalam hadist lain rasulullah bersabda :


Yang artinya : “wajib bagi sekalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah
khulafa ar-Rasyidin (khalifah yang mendapat petunjuk), berpegang teguhlah kamu
sekalian dengannya”.(HR.Abu Daud dan Ibnu Majah).
Hadist hadist tersebut diatas kita anggap cukup untuk menunjukkan bahwa
berpegang teguh kepada hadist atau menjadikan hadist sebagai pegangan dan
pedoman hidup itu adalah wajib, sebagaimana wajibnya berpegang teguh kepada
alquran.

7
C. Ijma'

1. Pengertian Ijma'

Ditinjau dari segi bahasa (etimologi), kata Ijma' merupakan masdar (kata
benda verbal) dari kata yang artinya memutuskan dan
menyepakati sesuatu. Ia juga bisa berarti kesepakatan bulat (konsensus). Menurut
Abdul Wahhab Khalaf, secara istilah Ijma' adalah :

Artinya : "Ijma' adalah kesepakatan (konsensus) seluruh


mujtahid pada suatu masa tertentu sesudah wafatnya Rasul atas hukum syara'
untuk satu peristiwa (kejadian) ".

Dari rumusan di atas dapat diambil beberapa penjelasan sebagai berikut :


1. Kesepakatan adalah kesamaan pendapat baik disampaikan secara tegas
melalui lisan maupun tulisan atau dengan beramal sesuai dengan hukum yang
disepakati itu. Kesepakatan seperti itu disebut Ijma' yang sebenarnya atau
ijma' bayani atau disebut juga Ijma' Qauli. Jika kesepakatan itu
ditunjukkan dengan diam yaitu tidak memberikan tanggapan maka
dinamakan ijma' sukuti, karena diam itu tidak memberikan tanggapan
dipandang sebagai telah menyetujui terhadap hukum yang sudah sampai
kepadanya.
2. Seluruh mujtahid berarti masing-masing mujtahid menyatakan
kesepakatannya. Jika seorang saja tidak menyetujuinya maka tidak terjadi
ijma'. Demikian pula jika pada suatu masa hanya ada pada seorang
mujtahid saja, maka tidak ada ijma' sebab tidak terjadi kesepakatan.
3. Pada zaman Rasulullah SAW tidak ada ijma' sebab setiap terjadi
ketiadaan hukum, para sahabat bertanya kepada Rasul, lalu beliau
menetapkan hukumnya.

8
4. Atas hukum syara' ijma' hanya terjadi bagi masalah yang berhubungan
dengan hukum. Syara' dan berdasar kepada hukum syara' pula ; baik
berupa nash yang qoth'i yaitu Al-Qur'an dan hadits mutawatir, sebab ijma'
bukanlah dalil syar'i yang berdiri sendiri.

2. Dasar Kehujjahan Ijma’ dan Kedudukannya sebagai sumber hukum

Ijma' sebagai dsar hukum walaupun terjadi perbedaan, namun mayoritas


ulama' telah sepakat sebagai sumber hukum Islam yang ke tiga setelah Al-Qur'an
dan AI-Hadits. Apabila sudah terjadi ijma' maka hukum tersebut menjadi dasar
beramal yang tidak boleh diingkari.

Artinya : "Apa-apa yang menurut pendapat kaum muslimin baik, maka baik
(pula) di sisi Allah (HR. Ahmad di dalam Kitab Sunnah-nya)".

Artinya : "Umatku tidak bersepakat atas kesesatan". (H. R. Ibnu Majah

3. Macam dan Tingkatan Ijma’

a. Ijma' Sharih, (Sharih dari segi bahasa artinya jelas) yaitu Ijma' yang
memaparkan pendapat banyak Ulama' secara jelas dan terbuka, baik
dengan ucapan maupun perbuatan. Pada saat semua Ulama' memaparkan
pendapatnya, ternyata mereka menghasilkan pendapat yang sama atas
hukum suatu perkara. ljma' jenis ini kita akui sangat langka karena
sangat sulit dicapai darim sekian banyak Ulama' memberikan sebuah
paparan yang sama. Oleh karena itu, sebagian Ulama' berpendapat bahwa
Ijma' semacam ini hanya dapat terlaksana pada zaman sahabat ketika
jumlah mujtahid masih sedikit dan tempat mereka berdekatan. Ijma' Sharih
ini menempati peringkat Ijma' tertinggi. Hukum yang ditetapkannya bersifat
qat'i, sehingga umat wajib mengikutinya. Maka seluruh Ulama' sepakat dan
menerima untuk menjadikan ijma Sharih ini sebagai dalil yang sah dan

9
kuat dalam penetapan hukum syari'at Islam.

b. ljma' sukuti, (Sukuti dari segi bahasa artinya diam) yaitu sebagian mujtahid
memaparkan pendapat-pendapatnya secara terang dan jelas mengenai suatu
hukum suatu peristiwa melalui perkataan atau perbuatan, sedangkan
mujtahid yang lain tidak memberikan komentar apakah ia menerima atau
menolak. ljma' sukuti ini bersifat dzan dan tidak mengikat. Oleh seabab
itu, tidak ada halangan bagi para mujtahid untuk memaparkan pendapat yang
berbeda setelah Ijma' itu diputuskan. Bagi Imam Syafi'i dan Imam Malik
berpendapat bahwa ljma' sukuti ini tidak dapat dijadikan dasar hukum.
Namun Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hambal berpendapat
lain yaitu menjadikannya sebagai dasar hukum. Mereka yang menerima
ljma' sukuti sebagai hujah sebab menurut kedua Imam tersebut, diamnya
mujtahid sebagai tanda setuju.

D. Qiyas

1. Pengertian Qiyas

Qiyas menurut bahasa berarti menyamakan atau mengukurkan sesuatu dengan


yang lain. Para ahli Ushul Fiqih merumuskan qiyas dengan:

Artinya : "Menyamakan atau mengukur satu kejadian yang tidak ada


nash tentang hukumnya dengan kejadian yang ada nash tentang hukumnya di
dalam hukum yang disebutkan di dalam nash karena ada kesamaan antara dua
kejadian itu di dalam ilat hukum tersebut".

2. Rukun Qiyas

Dari rumusan diatas dapat dijelaskan beberapa rukun qiyas sebagai berikut :

10
a. Kejadian adalah peristiwa, perbuatan, tindakan yang
tidak ada hukumnya atau belum jelas hukumnya baik di dalam Al-
Qur'an maupun As-Sunnah. Dalam ilmu Ushul Fiqih hal ini
disebut "Far'un" Suatu peristiwa dapat disebut far'un
apabila : adanya kemudian, ada kesamaan illat dengan peristiwa
yang akan disamainya.
b. Kejadian yang telah ada ketentuan hukumnya baik di dalam Al-
Qur'an maupun sunnah disebut ashal atau disebut juga
"maqiis'alaih" yaitu sesuatu yang akan diqiyaskan
kepadanya, atau "musyabbah bih" yaitu sesuatu yang
akan diserupakan dengannya.
Suatu kejadian dapat disebut ashl apabila :
1) Hukumnya adalah hukum syari'ah amali dan berdasar nash.
2) Illat hukumnya dapat Diketahui secara aqli
3) Hukumnya bukan merupakan cabang (far'un) dari ashal mansukh
4) Nash hukum ashal tidak meliputi hukum far'un.
5) Hukum ashal adalah hukum yang disepakati dan tidak mansukh
6) Hukum pada ashal tidak mempunyai qiyas rangkap.

c. Illat yaitu suatu sifat yang menjadi dasar hukum pada ashal. Sifat
ini pula yang harus ada pada “far'un". Haramnya minum khamr
adalah ashal karena ada nash yang menyatakan itu, yaitu firman Allah
SWT :

(maka jauhilah) karena sifatnya yang memabukkan.


Perasan anggur adalah "far'un" yang tidak disebutkan
hukumnya tetapi sifatnya saja yaitu memabukkan. Karena sifatnya
sama maka rasa anggur dan semua makanan dan minuman yang
memiliki sifat memabukkan hukumnya disamakan dengan khamar
yaitu haram.
Kata ‘illah : penggunaannya sering tumpang tindih dengan sebab
dalam hukum wadh'i sebab biasanya berhubungan dengan suatu

11
asalan yang tidak bisa dipahami akal. Jadi, setiap sabab pastilah 'illah,
tetapi tidak semua 'illah merupakan sabab.

d. Hukum ashal yaitu hukum suatu kejadian yang sudah disebutkan


dan akan ditetapkan bagi far'un karena sama sifatnya (illatnya).
Suatu sifat dapat dijadikan sebagai illat, apabila : jelas atau dzonni
(dapat dibuktikan), dapat dibatasi secara pasti sama antara
ashal dengan far'un serta munasabah yaitu dugaan kuat
bahwa sifat tersebut merupakan alasan hukum pada ashal, sehingga
adanya menyebabkan adanya hukum dan tidak adanya
mengakibatkan tidak adanya hukum.

Al-Ashlu Al-Far’u ‘Ilah Hukum

Khamar Narkoba Memabukkan Haram

3. Dasar Kehujjahan Qiyas dan Kedudukannya sebagai Sumber Hukum

Sebagian Ulama' Sunni berpendapat bahwa qiyas adalah salah satu


sumber hukum Islam. Ulama' yang menjadikan qiyas sebagai sumber
hukum atau disebut (musbitul qiyas) dan mereka mempunyai dasar yang kuat
baik dari nas maupun dari akal. Dalam Al-Qur'an terdapat banyak ayat yang
menyuruh manusia menggunakan akalnya semaksimal mungkin. Tidak kurang dari
50 ayat Al-Qur'an yang mendorong manusia menggunakan akalnya. Di antaranya
dapat dilihat dalam Surat al-Hasyr ayat 2 berikut ini :

Artinya: Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran,


wahai orang-orang yang mempunyai pandangan.

Dasar qiyas sebagai sumber hukum adalah sebuah.hadits dari Ibnu Abbas

12
Artinya: Dari Ibnu Abbas, seorang perempuan dari kabilah Juhainah
telah datang kepada Nabi. la bertanya, "sesungguhnya ibuku telah bernazar
akan pergi haji tapi ia tidak melaksanakannya sampai wafat". Apakah saya
boleh mengerjakan haji untuk ibuku?" Nabi menjawab, "Ya boleh, kerjakanlah
haji untuknya. Bagaimana pendapatmu kalau ibumu sewaktu wafat meninggalkan
utang, bukankah engkau yang membayarnya? Hendaklah kamu bayar hak Allah
sebab hak Allah lebih utama untuk dipenuhi". (HR. Bukhari).
Dari hadits di atas, dapat dijelaskan bahwa membayar hutang kepada
Allah disamakan dengan hutang kepada manusia. Kalau hutang kepada
manusia saja wajib dibayar, maka hutang kepada Allah juga harus dibayar.

4. Macam-macam Qiyas

Qiyas mempunyai tingkatan yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut


didasarkan pada tingkat kekuatan hukum karena adanya `illah yang ada pada asal
dan furu', adapun tingkatan tersebut pada umumnya dibagi menjadi tiga yaitu:
a. Qiyas aula, yaitu qiyas yang apabila 'illahnya mewajibkan adanya hukum.
Hukum cabang memiliki nilai yang lebih utama dari pada hukum yang ada
pada al-ashal. Misalnya berkata kepada kedua orang tua dengan mengatakan
"ah", "eh", "busyet" atau kata-kata lain yang semakna dan menyakitkan itu
hukumnya haram, sesuai dengan firman Allah QS. Allsra' (17): 23.

Artinya: "Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya


perkataan "ah".

Lalu diqiyaskan memukul dengan perkataan "ah", "busyet" dan

13
sebagainya hukumnya Iebih utama. Rasionalnya, berkata "ah" saja dilarang,
apalagi memukulnya. Memukul tentu lebih menyakitkan dibanding berkata
"ah" bukan?

b. Qiyas musawi, yaitu qiyas yang apabila 'illahnya mewajibkan adanya hukum.
Hukum yang ada pada ashal dan hukum yang ada pada cabang nilainya
sama. Contohnya, keharaman memakan harta anak yatim berdasarkan
firman Allah Surah an-Nisa' (4): 10.

Artinya: Sebenarnya orang-orang yang memakan harta anak yatim


secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka
akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).
Dari ayat di atas, kita dapat mengqiyaskan bahwa segala bentuk
kerusakan atau kesalahan pengelolaan atau salah menejemen yang
menyebabkan hilangnya harta tersebut juga dilarang seperti memakan harta anak
yatim tersebut.

c. Qiyas adna yaitu qiyas yang apabila 'illahnya mewajibkan adanya hukum.
Hukum cabang nilainya lebih lemah dari pada hukum ashal. Sebagai
contoh, mengqiyaskan hukum apel kepada gandum dalam hal riba fadl (riba
yang terjadi karena adanya kelebihan dalam tukar-menukar antara dua bahan
kebutuhan pokok atau makanan). Dalam kasus ini, `illah hukumnya adalah baik

14
apel maupun gandum merupakan jenis makanan, yang bisa dimakan dan
ditukar. Namun ada segi yang lain dari 'illah gandum yang tidak terdapat pada
apel, apa itu ? apel tidak makanan pokok. Oleh karenanya, 'illah yang ada
pada apel lebih lemah dibandingkan dengan illat yang ada pada gandum
yang menjadi makanan pokok.

5. Sebab-sebab dilakukan Qiyas

Diantara sebab-sebab dilakukan qiyas adalah :

a. Adanya persoalan-persoalan yang harus dicarikan status hukumnya,


sementara di dalam nash Al-Qur’an dan As-Hadits tidak ditemukan
hukumnya dan mujtahid pun belum melakukan ijma’
b. Nash baik yang berupa Al-Qur’an maupun Al-Hadits telah berakhir dan
tidak turun lagi
c. Adanya persamaan illat antara peristiwa yang belum ada hukumnya
dengan peristiwa yang hukumnya telah ditentukan oleh nash.

FUNGSI HUKUM ISLAM

1. Fungsi Ibadah : sebagai alat untuk menegakkan ibadah.


2. Fungsi amar ma’ruf nahi munkar : perintah kebaikan dan pencegah
kemunkaran.

15
3. Fungsi zawajir : sebagai alat penjeraan .
4. Fungsi tandzim wa ishlah al-ummah: penataan organisasi dan
rehabilitasi masyarakat .
5. Fungsi Jawabir : sebagai penebus dosa.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam menentukan hukum, islam sangatlah sistematis yang pertama dalam
menentukan hukum islam menggunakan Al-Qur’an terlebih dahulu. Al-Quran
dalam menetapkan hukum tidak memberatkan, memminimalisisr beban dan
berangsur-angsur dalam menetapkan hukum. Kemudian Al-Hadist dan kemudian
ditetapkan dengan Ijma’ dan yang terakhir adalah sumber hukum pelengkap yaitu
Qiyas.

16
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Dr. H. Sulaiman, Sumber Hukum Islam Permasalahan dan


Fleksibilitasnya, Jakarta, Sinar Grafika, 1995.
Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, Jakarta, Sinar Grafika,
1995.
Idris Ramulyo, Mohammad, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum LKS
Fiqih XII Ma.Ganjil, Hikmah

17
18

Anda mungkin juga menyukai