Anda di halaman 1dari 12

E.

Patofisiologi Benigna Prostat Hiperplasia


Hiperplasi prostat adalah pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa
majemuk dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral
sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal
yang tersisa. Jaringan hiperplastik terutama terdiri dari kelenjar dengan stroma
fibrosa dan otot polos yang jumlahnya berbeda-beda. Proses pembesaran prostad
terjadi secara perlahan-lahan sehingga perubahan pada saluran kemih juga
terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran
prostad, resistensi pada leher buli-buli dan daerah prostad meningkat, serta otot
destrusor menebal dan merenggang sehingga timbul sakulasi atau divertikel.
Fase penebalan destrusor disebut fase kompensasi, keadaan berlanjut,
maka destrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak
mampu lagi untuk berkontraksi/terjadi dekompensasi sehingga terjadi retensi
urin. Pasien tidak bisa mengosongkan vesika urinaria dengan sempurna, maka
akan terjadi statis urin. Urin yang statis akan menjadi alkalin dan media yang
baik untuk pertumbuhan bakteri ( Baradero, dkk 2007).
Obstruksi urin yang berkembang secara perlahan-lahan dapat
mengakibatkan aliran urin tidak deras dan sesudah berkemih masih ada urin
yang menetes, kencing terputus-putus (intermiten), dengan adanya obstruksi
maka pasien mengalami kesulitan untuk memulai berkemih (hesitansi). Gejala
iritasi juga menyertai obstruksi urin. Vesika urinarianya mengalami iritasi dari
urin yang tertahan tertahan didalamnya sehingga pasien merasa bahwa vesika
urinarianya tidak menjadi kosong setelah berkemih yang mengakibatkan interval
disetiap berkemih lebih pendek (nokturia dan frekuensi), dengan adanya gejala
iritasi pasien mengalami perasaan ingin berkemih yang mendesak/ urgensi dan
nyeri saat berkemih /disuria ( Purnomo, 2011).
Tekanan vesika yang lebih tinggi daripada tekanan sfingter dan obstruksi,
akan terjadi inkontinensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluk vesiko
ureter, hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal
dipercepat bila terjadi infeksi. Pada waktu miksi penderita harus mengejan
sehingga lama kelamaan menyebabkan hernia atau hemoroid. Karena selalu
terdapat sisa urin, dapat menyebabkan terbentuknya batu endapan didalam
kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan
hematuria. Batu tersebut dapat juga menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluk
akan mengakibatkan pielonefritis (Sjamsuhidajat, 2013).

7
F. Komplikasi Benigna Prostat Hiperplasia
Menurut Sjamsuhidajat (2013) komplikasi BPH adalah :
1. Retensi urin akut, terjadi apabila buli-buli menjadi dekompensasi.
2. Infeksi saluran kemih.
3. Involusi kontraksi kandung kemih.
4. Refluk kandung kemih.
5. Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urin terus
berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung urin
yang akan mengakibatkan tekanan intravesika meningkat.
6. Gagal ginjal bisa dipercepat jika terjadi infeksi.
7. Hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urin, sehingga dapat terbentuk
batu endapan dalam buli-buli, batu ini akan menambah keluhan iritasi. Batu
tersebut dapat pula menibulkan sistitis, dan bila terjadi refluks dapat
mengakibatkan pielonefritis.
8. Hernia atau hemoroid lama-kelamaan dapat terjadi dikarenakan pada waktu
miksi pasien harus mengedan.

G. Pemeriksaan Penunjang Benigna Prostat Hiperplasia


Menurut Purnomo (2011) dan Baradero dkk (2007) pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan pada penderita BPH meliputi :
1. Laboratorium
a. Analisi urin dan pemeriksaan mikroskopik urin penting dilakukan untuk
melihat adanya sel leukosit, bakteri dan infeksi. Pemeriksaan kultur urin
berguna untuk menegtahui kuman penyebab infeksi dan sensitivitas
kuman terhadap beberapa antimikroba.
b. Pemeriksaan faal ginjal, untuk mengetahui kemungkinan adanya
penyulit yang menegenai saluran kemih bagian atas. Elektrolit, kadar
ureum dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dari fungsin
ginjal dan status metabolic.
c. Pemeriksaan prostate specific antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar
penentuan perlunya biopsy atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila
nilai PSA <4ng/ml tidak perlu dilakukan biopsy. Sedangkan bila nilai
PSA 4-10 ng/ml, hitunglah prostate specific antigen density (PSAD)
lebih besar sama dengan 0,15 maka sebaiknya dilakukan biopsy prostat,
demikian pula bila nila PSA > 10 ng/ml.

8
2. Radiologis/pencitraan
Menurut Purnomo (2011) pemeriksaan radiologis bertujuan untuk
memperkirakan volume BPH, menentukan derajat disfungsi bulibuli dan
volume residu urin serta untuk mencari kelainan patologi lain, baik yang
berhubungan maupun tidak berhubungan dengan BPH.
a. Foto polos abdomen, untuk mengetahui kemungkinan adanya batu opak
di saluran kemih, adanya batu/kalkulosa prostat, dan adanya bayangan
buli-buli yang penuh dengan urin sebagai tanda adanya retensi urin.
Dapat juga dilihat lesi osteoblastik sebagai tanda metastasis dari
keganasan prostat, serta osteoporosis akbibat kegagalan ginjal.
b. Pemeriksaan Pielografi intravena ( IVP ), untuk mengetahui
kemungkinan adanya kelainan pada ginjal maupun ureter yang berupa
hidroureter atau hidronefrosis. Dan memperkirakan besarnya kelenjar
prostat yang ditunjukkan dengan adanya indentasi prostat (pendesakan
buli-buli oleh kelenjar prostat) atau ureter dibagian distal yang
berbentuk seperti mata kail (hooked fish) / gambaran ureter berbelok-
belok di vesika, penyulit yang terjadi pada buli-buli yaitu adanya
trabekulasi, divertikel atau sakulasi buli-buli.
c. Pemeriksaan USG transektal, untuk mengetahui besar kelenjar prostat,
memeriksa masa ginjal, menentukan jumlah residual urine, menentukan
volum buli-buli, mengukur sisa urin dan batu ginjal, divertikulum atau
tumor buli-buli, dan mencari kelainan yang mungkin ada dalam buli-
buli.

H. Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan


Penatalaksanaan pada klien benigna prostat hiperplasia terdiri dari
penatalaksanaan medis, penatalaksanaan keperawatan dan penatalaksanaan diit.
1. Penatalaksanaan medis
a. Pemberian obat-obatan antara lain Alfa 1-blocker seperti : doxazosin,
prazosin tamsulosin dan terazosin. Obat-obat tersebut menyebabkan
pengenduran otot-otot pada kandung kemih sehingga penderita lebih
mudah berkemih. Finasterid, obat ini menyebabkan meningkatnya laju
aliran kemih dan mengurangi gejala. Efek samping dari obat ini adalah
berkurangnya gairah seksual. Untuk prostatitis kronis diberikan
antibiotik.

9
b. Pembedahan
1) Trans Urethral Reseksi Prostat ( TUR atau TURP ) prosedur
pembedahan yang dilakukan melalui endoskopi TUR dilaksanakan
bila pembesaran terjadi pada lobus tengah yang langsung
melingkari uretra. Sedapat mungkin hanya sedikit jaringan yang
mengalami reseksi sehingga pendarahan yang besar dapat dicegah
dan kebutuhan waktu untuk bedah tidak terlalu lama.
2) Prostatektomi suprapubis adalah salah satu metode mengangkat
kelenjar prostat dari uretra melalui kandung kemih.
3) Prostatektomi perineal adalah mengangkat kelenjar prostat melalui
suatu insisi dalam perineum yaitu diantara skrotum dan rektum.
4) Prostatektomi retropubik adalah insisi abdomen mendekati kelenjar
prostat, yaitu antara arkus pubis dan kandung kemih tanpa
memasuki kandung kemih.
5) Insisi prostat transuretral (TUIP) adalah prosedur pembedahan
dengan cara memasukkan instrumen melalui uretra.
6) Trans Uretral Needle Ablation ( TUNA ), alat yang dimasukkan
melalui uretra yang apabila posisi sudah diatur, dapat
mengeluarkan 2 jarum yang dapat menusuk adenoma dan
mengalirkan panas sehingga terjadi koagulasi sepanjang jarum
yang menancap dijaringan prostat.
2. Penatalaksanaan keperawatan menurut Sjamsuhidajat, (2013).
a. Mandi air hangat.
b. Segera berkemih pada saat keinginan untuk berkemih muncul.
c. Menghindari minuman beralkohol.
d. Menghindari asupan cairan yang berlebihan terutama pada malam hari.
e. Untuk mengurangi nokturia, sebaiknya kurangi asupan cairan beberapa
jam sebelum tidur.
3. Penatalaksanaan diit menurut Sjamsuhidajat, (2013).
Klien dengan benigna prostat hiperplasia dianjurkan untuk
menghindari minuman beralkohol, kopi, teh, coklat, cola, dan makanan
yang terlalu berbumbu serta menghindari asupan cairan yang berlebihan
terutama pada malam hari.

10
I. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan pada penyakit BPH menurut Carpenito (2007),
Tucker & Canobbio (2008) dan NANDA (2012), adalah :
1. Pre Operasi
a. Retensi urin akut / kronis berhubungan dengan obstruksi mekanik,
pembesaran prostat, dekompensasi otot destrusor, ketidakmampuan
kandung kemih untuk berkontraksi dengan adekuat.
b. Nyeri akut berhubungan dengan peregangan dari terminal saraf, distensi
kandung kemih, infeksi urinaria, efek mengejan saat miksi sekunder
dari pembesaran prostat dan obstruksi uretra.
c. Ansietas / cemas berhubungan dengan krisis situasi, perubahan status
kesehatan, kekhawatiran tentang pengaruhnya pada ADL atau
menghadapi prosedur bedah.
d. Kurang pengetahuan tentang kondisi dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan kurangnya informasi.
2. Intra Operasi
a. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama
pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih.
b. Post Operasi
a. Retensi urin berhubungan dengan obstruksi mekanik: bekuan darah,
edema, trauma, prosedur bedah, tekanan dan iritasi kateter.
b. Nyeri akut berhubungan dengan spasme kandung kemih dan insisi
sekunder pada pembedahan.
c. Resiko perdarahan berhubungan dengan insisi area bedah vaskuler
(tindakan pembedahan) , reseksi bladder, kelainan profil darah.
d. Resiko terhadap disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan
impoten akibat dari pembedahan.

J. Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan pada penyakit BPH menurut Carpenito (2007),
Tucker & Canobbio (2008) dan NANDA (2012), adalah :
1. Pra operasi
a. Retensi urin akut/kronis berhubungan dengan obstruksi mekanik,
pembesaran prostat, dekompensasi otot destrusor, ketidakmampuan
kandung kemih untuk berkontraksi dengan adekuat.
Tujuan : Tidak terjadi retensi urine

11
Kriteria hasil : Pasien menunjukkan residu pasca berkemih kurang dari
50 ml, dengan tidak adanya tetesan atau kelebihan cairan.
Intervensi :
1) Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam atau bila tiba-tiba
dirasakan
Rasional : meminimalkan retensi urin distensi berlebihan pada
kandung kemih.
2) Observasi aliran urin, perhatikan ukuran dan kekuatan.
Rasional : berguna untuk mengevaluasi obstruksi dan pilihan
intervensi
3) Awasi dan catat waktu tiap berkemih dan jumlah tiap berkemih,
perhatikan penurunan haluaran urin dan perubahan berat jenis.
Rasional : retensi urine meningkatkan tekanan dalam saluran
perkemihan atas, yang dapat mempengaruhi fungsi ginjal. Adanya
deficit aliran darah keginjal menganggu kemampuanya untuk
memfilter dan mengkonsentrasi substansi.
4) Lakukan perkusi/palpasi suprapubik
Rasional : distensi kandung kemih dapat dirasakan diarea
suprapubik.
5) Dorong masukan cairan sampai 3000 ml sehari
Rasional : peningkatan aliran cairan mempertahankan perfusi ginjal
dan membersihkan ginjal dan kandung kemih dari pertumbuhan
bakteri.
6) Kaji tanda-tanda vital, timbang BB tiap hari, pertahankan
pemasukan dan pengeluaran yang akurat
Rasional : kehilangan fungsi ginjal mengakibatkan penuruna
eliminasi cairan dan akumulasi sisa toksik, dapat berlanjut
kepenuruan ginjal total.
7) Lakukan rendam duduk sesuai indikasi
Rasional : meningkatkan relaksasi otot, penuruan edema, dan dapat
meningkatkan upaya berkemih.
8) Kolaborasi pemberian obat :
a) Supositorial rectal
Rasional : supositorial dapat diabsorbsi dengan mudah melalui
mukosa kedalam jaringan kandung kemih untuk menghasilkan
relaksasi otot/menghilangkan spasme

12
b) Antibiotic dan antibakteri
Rasional : digunakan untuk melawan infeksi
c) Fenoksibenzamin (Dibenzyline)
Rasional : diberikan untuk mempermudah berkemih dengan
merelaksasi otot polos prostat dan menurunkan tahanan
terhadap aliran urine.
b. Nyeri akut berhubungan dengan peregangan dari terminal saraf, distensi
kandung kemih, infeksi urinaria, efek mengejan saat miksi sekunder
dari pembesaran prostat dan obstruksi uretra.
Tujuan : nyeri hilang, terkontrol
Kriteria hasil : pasien melaporkan nyeri hilang dan terkontrol pasien
tampak rileks, mampu untuk tidur dan istirahat dengan tepat.
Intervensi :
1) Kaji tipe nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0-10) lamanya.
Rasional : memberikan informasi untuk membantu dalam
menentukan pilihan/keefektifan intervensi
2) Pertahankan tirah baring bila diindikasikan
Rasional : tirah baring mungkin diperlukan pada awal selama fase
retensi akut. Namun ambulasi dini dapat memperbaiki pola
berkemih normal dan menghilangkan nyeri kolik
3) Berikan tindakan kenyamanan, distraksi selama nyeri akut seperti,
pijatan punggung : membantu pasien melakukan posisi yang
nyaman: mendorong penggunaan relaksasi/latihan nafas dalam:
aktivitas terapeutik
Rasional : meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali
perhatian dan dapat meningkatkan kemampuan koping
4) Dorong menggunakan rendam duduk, gunakan sabun hangat untuk
perineum
Rasional : meningkatkan relaksasi otot
5) Kolaborasi pemberian obat pereda nyeri ( analgetik)
Rasional : menurunkan adanya nyeri, dan kaji 30 menit kemudian
untuk mengetahui keefektivitasnya.
c. Ansietas/cemas berhubungan dengan krisis situasi, perubahan status
kesehatan, kekhawatiran tentang pengaruhnya pada ADL atau
menghadapi prosedur bedah.
Tujuan : pasien tampak rileks.

13
Kriteria Hasil : menyatakan pengetahuan yang akurat tentang situasi,
menunjukkan rentang tepat tentang perasaan dan penurunan rasa takut
Intervensi :
1) Damping pasien dan bina hubungan saling percaya
Rasional : menunjukkan perhatian dan keinginan untuk membantu.
2) Berikan informasi tentang prosedur tindakan yang akan dilakukan
Rasional : Membantu pasien dalam memahami tujuan dari suatu
tindakan.
3) Dorong pasien/orang terdekat untuk menyatakan masalah/perasaan
Rasional : Memberikan kesempatan pada pasien dan konsep solusi
pemecahan masalah
4) Beri informasi pada pasien sebelum dilakukan tindakan
Rasional : memungkinkan pasien untuk menerima kenyataan dan
menguatkan kepercayaan pada pemberi perawatan dan pemberian
informasi.
d. Kurang pengetahuan tentang kondisi dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan kurangnya informasi.
Tujuan : Menyatakan pemahaman tentang proses penyakit dan
prognosisnya.
Kriteria Hasil : Melakukan perubahan pola hidup dan berpartisipasi
dalam program pengobatan
Intervensi :
1) Dorong pasien menyatakan rasa takut perasaan dan perhatian.
Rasional : Membantu pasien dalam mengalami perasaan.
2) Kaji ulang proses penyakit, pengalaman pasien
Rasional : memberi dasar pengetahuan dimana pasien dapat
membuat pilihan terapi
3) Berikan informasi tentang penyakit yang diderita pasien
Rasional : meningkatkan pengetahuan pasien terhadap penyakit
yang dideritanya
4) Berikan penjelasan tentang tindakan/pengobatan yang akan
dilakukan
Rasional : meningkatkan pengetahuan pasien terhadap tindakan
untuk menyembuhkan penyakitnya.

14
2. Intra Operasi
a. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama
pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih sering
Tujuan : Pasien tidak menunjukkan tanda – tanda infeksi
Kriteria Hasil :
1) Pasien tidak mengalami infeksi.
2) Dapat mencapai waktu penyembuhan.
3) Tanda – tanda vital dalam batas normal dan tidak ada
tanda – tanda syok.
Intervensi :
1) Pertahankan sistem kateter steril, berikan perawatan kateter dengan
steril.
Rasional : Mencegah pemasukan bakteri dan infeksi.
2) Anjurkan intake cairan yang cukup ( 2500 – 3000 ) sehingga dapat
menurunkan potensial infeksi.
Rasional : Meningkatkan output urine sehingga resiko terjadi ISK
dikurangi dan mempertahankan fungsi ginjal
3) Pertahankan posisi urinebag dibawah
Rasional : Menghindari refleks balik urine yang dapat memasukkan
bakteri ke kandung kemih.
4) Observasi tanda – tanda vital, laporkan tanda – tanda shock dan
demam.
Rasional : Mencegah sebelum terjadi shock.
5) Observasi urine: warna, jumlah, bau.
Rasional : Mengidentifikasi adanya infeksi.
6) Kolaborasi dengan dokter untuk memberi obat antibiotic
Rasional :Untuk mencegah infeksi dan membantu proses
penyembuhan.
3. Post operasi
a. Retensi urin berhubungan dengan obstruksi mekanik: bekuan darah,
edema, trauma, prosedur bedah, tekanan dan iritasi kateter.
Tujuan : Pasien berkemih dengan jumlah normal tanpa retensi
Kriteria Hasil : Menunjukkan perilaku yang meningkatkan control
kandung kemih/urinaria, pasien mempertahankan keseimbangan cairan:
asupan sebanding dengan haluaran.

15
Intervensi :
1) Kaji haluaran urine dan system drainase, khususnya selama irigasi
berlangsung
Rasional : retensi dapat terjadi karena edema area bedah, bekuan
darah dan spasme kandung kemih.
2) Bantu pasien memilih posisi normal untuk berkemih
Rasional : mendorong pasase urine dan menngkatkan rasa
normalitas.
3) Perhatikan waktu, jumlah berkemih dan ukuran aliran setelah
kateter dilepas.
Rasional : kateter biasa lepas 2-5 hari setelah bedah, tetapi
berkemih dapat berlanjut sehingga menjadi masalah untuk
beberapa waktu karena edema uretral dan kehilangan tonus.
4) Dorong pemasukan cairan 3000 ml sesuai toleransi, batasi cairan
pada malam hari setelah kateter dilepas
Rasional : mempertahankan hidrasi adekuat dan perfusi ginjal
untuk aliran urine “penjadwalan” masukan cairan menurunkan
kebutuhan berkemih/gangguan tidur selama malam hari.
5) Pertahankan irigasi kandung kemih continue (continous bladder
irrigation)/CBI sesuai indikasi pada periode pascaoperasi
Rasional : mencuci kandung kemih dari bekuan darah dan debris
untuk mempertahankan patensi kateter.
b. Nyeri akut berhubungan dengan spasmus kandung kemih dan insisi
sekunder pada pembedahan, dan pemasangan kateter.
Tujuan : Nyeri berkurang atau hilang.
Kriteria Hasil :
1) Pasien mengatakan nyeri berkurang
2) Ekspresi wajah pasien tenang
3) Pasien akan menunjukkan ketrampilan relaksasi.
4) Pasien akan tidur / istirahat dengan tepat.
5) Tanda – tanda vital dalam batas normal.
Intervensi :
1) Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0-10)
Rasional : nyeri tajam, intermitten dengan dorongan berkemih
sekitar kateter menunjukkan spasme kandung kemih.
2) Jelaskan pada pasien tentang gejala dini spasmus kandung kemih.

16
Rasional : Kien dapat mendeteksi gajala dini spasmus kandung
kemih.
3) Pertahankan patensi kateter dan system drainase. Pertahankan
selang bebas dari lekukan dan bekuan
Rasional : mempertahankan fungsi kateter dan drainase system.
Menurunkan resiko distensi/spasme kandung kemih
4) Berikan informasi yang akurat tentang kateter, drainase, dan
spasme kandung kemih
Rasional : menghilangkan ansietas dan meningkatkan kerjasama.
5) Kolaborasi pemberian antispasmodic contoh :
a) Oksibutinin klorida (Ditropan), supositoria
Rasional : merilekskan otot polos, untuk memberikan
penurunan spasme dan nyeri
b) Propantelin bromide (pro-bantanin)
Rasional : menghilangkan spasme kandung kemih oleh kerja
antikolinergik.
c. Resiko perdarahan berhubungan dengan insisi area bedah vaskuler
(tindakan pembedahan) , reseksi bladder, kelainan profil darah
Tujuan : Tidak terjadi perdarahan
Kriteria Hasil :
1) Pasien tidak menunjukkan tanda – tanda perdarahan
2) Tanda – tanda vital dalam batas normal
3) Urine lancar lewat kateter
Intervensi :
1) Jelaskan pada pasien tentang sebab terjadi perdarahan setelah
pembedahan dan tanda – tanda perdarahan .
Rasional : Menurunkan kecemasan pasien dan mengetahui tanda –
tanda perdarahan.
2) Irigasi aliran kateter jika terdeteksi gumpalan dalm saluran kateter .
Rasional : Gumpalan dapat menyumbat kateter, menyebabkan
peregangan dan perdarahan kandung kemih
3) Sediakan diet makanan tinggi serat dan memberi obat untuk
memudahkan defekasi .
Rasional : Dengan peningkatan tekanan pada fosa prostatik yang
akan mengendapkan perdarahan
4) Mencegah pemakaian termometer rektal, pemeriksaan rektal atau
huknah, untuk sekurang – kurangnya satu minggu .

17
Rasional : Dapat menimbulkan perdarahan prostat
5) Pantau traksi kateter: catat waktu traksi di pasang dan kapan traksi
dilepas .
Rasional : Traksi kateter menyebabkan pengembangan balon ke sisi
fosa prostatik, menurunkan perdarahan. Umumnya dilepas 3 – 6
jam setelah pembedahan
6) Observasi tanda – tanda vital tiap 4 jam, masukan dan haluaran
Warna urine
Rasional : Deteksi awal terhadap komplikasi, dengan intervensi
yang tepat mencegah kerusakan jaringan yang permanen.

d. Resiko terhadap disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan


impoten akibat dari pembedahan.
Tujuan : Tampak rileks dan melaporkan ansietas menurun sampai
tingkat dapat diatasi
Kriteria Hasil : Menyatakan pemahaman situasional individu,
menunjukan pemecahan masalah dan menunjukkan rentang yang tepat
tentang perasaan dan penurunan rasa takut.
Intervensi :
1) Dampingi pasien dan bina hubungan saling percaya
Rasional : Menunjukka perhatian dan keinginan untuk membantu
2) Berikan informasi yang tepat tentang harapan kembalinya fungsi
seksual
Rasional : impotensi fisiologis terjadi bila syaraf perineal dipotong
selama prosedur radikal.
3) Diskusikan ejakulasi retrograde bila pendekatan
transurethral/suprapubik digunakan
Rasional : cairan seminal mengalir kedalam kandung kemih dan
disekresikan melalui urine, hal ini tidak mempengaruhi fungsi
seksual tetapi akan menurunkan kesuburan dan menyebabkan urine
keruh
4) Anjurkan pasien untuk latihan perineal dan interupsi/continue
aliran urin
Rasional : meningkatkan peningkatan control otot kontinensia urin
dan fungsi seksual.

18

Anda mungkin juga menyukai