Anda di halaman 1dari 13

Inklusi Sosial dan Peningkatan Kapasitas Masyarakat Sipil

Sebagai Modal Sosial Pembangunan Nasional1


Aris Munandar2

Abstract
The failure of capital-centered development which is popular in the 20th century, has
given birth to an alternative paradigm – human-centered development. Human
development and social development is an alternative paradigm that emphasizes the
importance of human dimension, both individual and collective, which must be the
focus and development orientation. The implication, the success of development, is
not only measured by the economic growth rate (GNP/GDP), but also measured by
how much the development involves citizens, both process and in the utilization of
the results. Therefore, the concept of social inclusion, the enhancement of civil
society capacity, and social capital become important to explain people-centered
development practices.
Key words: development, social inclusion, civil society, social capital

Abstrak
Kegagalan pembangunan yang berpusat pada modal, yang populer di abad ke-20,
telah melahirkan paradigma pembangunan alternatif yang berpusat pada manusia.
Human development dan social development merupakan paradigma alternatif yang
menekankan pentingnya dimensi manusia, baik sebagai individu maupun kolektif,
yang harus menjadi fokus dan orientasi pembangunan. Implikasinya, keberhasilan
pembangunan tidak hanya diukur dari indikator-indikator ekonomi yang dinyatakan
dalam angka pertumbuhan (PNB/PDB), malainkan juga harus diukur dari seberapa
besar pencapaian ekonomi tersebut mencerminkan keterlibatan warga dalam
kapasitasnya sebagai individu maupun kolektif, baik dalam proses maupun dalam
pemanfaatan hasilnya. Karena itu, konsep inklusi sosial, peningkatan kapasitas
masyakat sipil, dan modal sosial menjadi penting untuk menjelaskan praktek
pembangunan yang berpusat pada manusia (people centered development).
Kata kunci: pembangunan, inklusi sosial, masyarakat sipil, modal sosial

1. Pendahuluan

Pembangunan nasional merupakan upaya perubahan yang direncanakan untuk


mewujudkan kemakmuran. Dengan tercapainya kemakmuran tersebut diharapkan
mampu mewujudkan kesejahteraan yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat
1
Disajikan dalam Workshop Indeks Pembangunan Masyarakat yang diselenggarkan oleh
Bappenas di The Park Lane Hotel, Jl. Casablanca Kav. 18, Menteng Dalam, Jakarta Selatan, 19
Desember 2017
2
Dosen pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Nasional Jakarta

1
Indonesia, sebagaimana tertuang dalam sila kelima dasar Negara RI – Pancasila, dan
di dalam UUD RI 1945.

Tercapainya kemakmuran sebagai tujuan pembangunan nasional berimplikasi pada


bagaimana Negara merumuskan kebijakan dan langkah-langkah strategi yang harus
dilakukan. Di masa Orde Baru, strategi pencapaian kemakmuran dilakukan dengan
pendekatan pembangunan yang berbasis ekonomi – capital centered development.
Hasilnya, Negara mampu memacu angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetapi
ironisnya angka kemiskinan dan ketimpangan juga tinggi.

Pembangunan tidak menciptakan terjadinya transformasi struktural, yang mendorong


mobilitas sosial vertikal dari kalangan masyarakat bawah. Hal ini dikarenakan
aktivitas pembangunan sangat elitis dan eksklusif – hanya melibatkan pemilik modal
dan kelompok-kelompok profesional tertentu, sangat sedikit melibatkan masyarakat
bawah, sehingga hasilnya pun terkonsentrasi dan terakumulasi pada kelompok
mereka. Pembangunan seakan-akan hanya merupakan domain Negara (state) dan
pengusaha (bussines), tidak melibatkan masyarakat (civil society) secara menyeluruh.

Tercapainya tingkat kemakmuran tidak hanya diukur dengan angka pertumbuhan


ekonomi – PDB dan PNB yang tinggi, tetapi juga sejauhmana pencapaian ekonomi
tersebut terdistribusi kepada seluruh golongan masyarakat Indonesia secara
berkeadilan. Selain itu, sejauhmana kelompok-kelompok masyarakat terlibat dalam
aktivitas pembangunan sebagai proses pencapaian kemakmuran. Kedua
permasalahan pokok pembangunan ini: distribusi hasil-hasil pembangunan
(kemakmuran) dan keterlibatan (partisipasi) masyarakat menjadi indikator penting
untuk mengukur keberhasilan pembangunan nasional.

Tabel berikut ini memperlihatkan angka kemiskinan di Indonesia dalam periode 10


tahun terakhir, baik relatif maupun absolut.

Statistik Kemiskinan dan Ketidaksetaraan di Indonesia


Periode 2007-2016

2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Kemiskinan
16,6 15,4 14,2 13,3 12,5 11,7 11,5 11 11,1 10,9
Relatif
Kemiskinan 37 35 33 31 30 29 29 28 29 28

2
Absolut
Rasio Gini 0,35 0,35 0,37 0,38 0,41 0,41 0,41 0,41 0,41 0,40
Sumber: Bank Dunia dan Badan Pusat Statistik (BPS), 2016

Tabel di atas menunjukkan penurunan kemiskinan nasional secara perlahan dan


konsisten. Namun, pemerintah Indonesia menggunakan persyaratan yang tidak ketat
mengenai definisi garis kemiskinan, sehingga yang tampak adalah gambaran yang
lebih positif dari kenyataannya. Tahun 2016 pemerintah Indonesia mendefinisikan
garis kemiskinan dengan perdapatan per bulannya (per kapita) sebanyak Rp. 354,386
(atau sekitar USD $25) yang dengan demikian berarti standar hidup yang sangat
rendah, juga buat pengertian orang Indonesia sendiri.

Namun jika menggunakan nilai garis kemiskinan yang digunakan Bank Dunia, yang
mengklasifikasikan persentase penduduk Indonesia yang hidup dengan penghasilan
kurang dari USD $1.25 per hari sebagai mereka yang hidup di bawah garis
kemiskinan (dengan kata lain miskin), maka persentase tabel di atas akan kelihatan
tidak akurat karena nilainya seperti dinaikkan beberapa persen. Lebih lanjut lagi,
menurut Bank Dunia, kalau kita menghitung angka penduduk Indonesia yang hidup
dengan penghasilan kurang dari USD $2 per hari angkanya akan meningkat lebih
tajam lagi. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Indonesia hidup hampir
di bawah garis kemiskinan.

Ketimpangan muncul seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang terjadi. Ini


disebabkan karena pertumbuhan itu tidak inklusif, yaitu hasil dari pertumbuhan
ekonomi tersebut tidak terserap atau tidak terdistribusi secara nyata kepada sebagian
besar masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa kontributor terbesar dalam
pertumbuhan ekonomi hanyalah segelintir usaha dari kelompok kaya saja dan
hasilnya juga sebagian besar dirasakan oleh kelompok mereka.

Realitas kemiskinan dan kesenjangan yang muncul merupakan akibat dari praktek
pembangunan yang berpusat pada modal (ekonomi) dan mengabaikan pembangunan
manusia sebagai prioritas. Karena itu, pembangunan sosial yang menempatkan
masyarakat sebagai modal dan sekaligus tujuan pembangunan – people centered
development – harus mendapatkan prioritas dalam kebijakan pembangunan nasional
di samping pembangunan ekonomi. Lebih lanjut, keberhasilan pembangunan tidak
hanya diukur dari angka pertumbuhan ekonomi, tetapi sejauhmana keberhasilan

3
ekonomi yang dicapai mencerminkan partisipasi masyarakat secara menyeluruh, baik
dalam proses maupun dalam memanfaatkan hasil yang dicapai. Dalam hal ini indeks
pembangunan manusia (human development index) menjadi salah satu indicator
utama untuk mengukur tingkat pencapaian pembangunan nasional. Namun demikian,
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) masih perlu disempurnakan, variable-variabel
pengukurannya masih bersifat material dan belum mengakomodasi variable-vaiabel
social secara spesifik, dalam hal ini adalah inklusi sosial dan peningkatan kapasitas
masyarakat sipil (civil society) sebagai aspek penting dari modal sosial untuk
pembangunan nasional di samping modal uang (ekonomi).

2. Tujuan

Tulisan ini merupakan studi literatur yang bertujuan untuk merekonstruksi konsep-
konsep inklusi sosial, masyarakat sipil, dan pembangunan sosial, yang memadukan
antara teori-teori formal dengan pemahaman lokal yang berkembang dalam praktek-
praktek sosial yang sudah mapan. Bagaimana praktik-praktik inklusi sosial dan
pengembangan masyarakat sipil yang ada dimanfaatkan dan ditransformasikan
menjadi modal sosial yang penting dalam pembangunan nasional.

3. Pembangunan Sosial

Dalam perspektif pembangunan sosial, partisipasi masyarakat bukan sekedar alat


atau cara, tetapi tujuan, karena dalam keikutsertaan yang aktif dan kreatif dalam
pembangunan, hakikat manusia sebagai mahluk yang memiliki aspirasi, harga diri
dan kebebasan (freedom) diwujudkan dan sekaligus ditingkatkan mutunya. Dengan
kata lain penekanan Pembangunan Sosial adalah pemerataan sarana dan hak-hak
manusia yang paling dasar – inklusi sosial. (Wirutomo, 2004).

Pemisahan konsep pembangunan sosial dari konsep pembangunan ekonomi bukan


dimaksudkan untuk mempertentangkan keduanya atau memisahkan pelaksanaannya
atau bahkan melihat keduanya sebagai suatu pilihan yang mutually exclusive.
Karena kehidupan ekonomi pada hakekatnya adalah kehidupan sosial, maka
pembangunan sosial adalah landasan dari pembangunan ekonomi. Dengan kata lain
ekonomi tidak boleh dibangun untuk sekedar tujuan menghasilkan pertumbuhan
ekonomi, tetapi dibangun agar manusia yang hidup di dalam masyarakat itu dapat

4
hidup dengan lebih sejahtera. Karena manusia itu hidup didalam masyarakat, maka
pembangunan ekonomi yang dilaksanakan harus bertumpu pada nilai-nilai dasar
yang disepakati oleh sebagian besar warga masyarakat (value-based development)
dan mampu menciptakan kemakmuran secara inklusif pada semua warga masyarakat.

Pembangunan sosial bukanlah pembangunan individual atau sekelompok kecil orang,


pembangunan sosial adalah menyangkut perbaikan bagi orang banyak. Pembangunan
sosial adalah pembangunan yang harus bisa dinikmati oleh masyarakat luas. Oleh
karena itu masalah kesenjangan antar kelompok adalah suatu masalah sosial yang
sangat serius dan berbahaya. Pembangunan sosial adalah suatu usaha untuk
mengurangi kesenjangan tersebut. Kesenjangan memang tidak mungkin dihilangkan
dari dunia ini, tetapi harus dikurangi sampai titik dimana tidak ada suatu kelompok
pun yang memiliki kekuasaan absolut sehingga mampu menutup semua
kemungkinan perubahan (status quo).

Pembangunan sosial juga tidak boleh dipusatkan hanya sekedar untuk mengurangi
kemiskinan, karena tanpa pemberdayaan masyarakat dalam arti yang sesunguhnya,
penanggulangan kemiskinan sering tidak menghasilkan pembangunan sosial.
Program pengentasan kemiskinan seperti JPS, Raskin, padat karya, seringkali tidak
berhasil melenyapkan kemiskinan secara hakiki dan permanen, tetapi justru telah
menyebabkan sikap tergantung, penyelewengan pada masyarakat miskin. Oleh
karena itu masalah kemiskinan harus dilihat sebagai masalah sosial yang sistemik
(societal) yaitu mencakup keterkaitan berbagai dimensi. Untuk mengatasi hal ini
tidak cukup dengan program-program yang bersifat ekonomi saja tetapi
pembangunan berbagai aspek kemasyarakatan (pemberian otonomi, perlindungan
sosial, pengembangan modal sosial, solidaritas sosial, dsb). Ada dua indicator
pembangunan social yang akan dijelaskan dalam makalah ini inklusi social dan
peningkatan kapasitas masyarakat sipil (civil society).

4. Inklusi Sosial dan Masyarakat Sipil sebagai Modal Sosial

4.1. Modal Sosial

Modal sosial sebenarnya bukanlah sebuah konsep yang baru, makna modal sosial ini
sudah lama dikenal sebagai ikatan yang membuat mekanisme hidup kemasyarakatan
menjadi efektif. Para ilmuwan sekarang memandang modal sosial sebagai suatu

5
kumpulan dari ide-ide yang komplek (a collection of constructs) (Rohe, 2004).
Lebih jauh bahwa modal sosial dipandang sebagai sebuah model dari keterhubungan
dari ide-ide yang komplek (a model of linking constructs): modal sosial
menghubungkan bersama-sama konsep-konsep seperti pelibatan masyarakat
(inklusi), kepercayaan interpersonal, dan tindakan bersama yang efektif.

Modal sosial merupakan konsep yang tidak mudah diidentifikasi atau diukur secara
kuantitas dan absolut. Modal sosial dapat didiskusikan dalam konteks komunitas
yang kuat (strong community), masyarakat sipil yang kokoh, maupun identitas
negara-bangsa (nation-state identity). Modal sosial, termasuk elemen-elemennya
seperti kepercayaan, kohesifitas, altruisme, gotong-royong, jaringan, dan kolaborasi
sosial memiliki pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi melalui
beragam mekanisme, seperti meningkatnya rasa tanggungjawab terhadap
kepentingan publik, meluasnya partisipasi dalam proses demokrasi, menguatnya
keserasian masyarakat dan menurunnya tingkat kekerasan dan kejahatan (Blakeley &
Suggate, 1997; Suharto, 2005).

Dua tokoh utama yang mengembangkan konsep modal sosial, Putnam (1993) dan
Fukuyama (1995), memberikan definisi modal sosial yang penting. Meskipun
berbeda, definisi keduanya memiliki kaitan yang erat (Spellerberg, 1997), terutama
menyangkut konsep kepercayaan (trust). Putnam mengartikan modal sosial sebagai
penampilan organisasi sosial seperti jaringan-jaringan dan kepercayaan yang
memfasilitasi adanya koordinasi dan kerjasama bagi keuntungan bersama. Menurut
Fukuyama, modal sosial adalah kemampuan yang timbul dari adanya kepercayaan
dalam sebuah komunitas.

Modal sosial dapat pula dilihat sebagai ciri alamiah dari manusia sebagai makhluk
sosial yang tidak dapat hidup sendiri, ia membutuhkan orang lain dalam
kehidupannya. Manusia mendapatkan kebutuhannya melalui kehidupan
kemasyarakatan dimana ia hidup, yang memiliki karakter dan norma-norma tertentu.
Dalam kehidupan kemasyarakatan ini, seseorang memupuk jaringan kerja dan
kepercayaan dengan orang lain. Dengan jaringan kerja dan kepercayaan dari orang
lain yang ia dapatkan, maka seseorang akan lebih mudah untuk memenuhi
kebutuhannya (Masik, 2005).

6
Modal sosial dan masyarakat sipil (civil society) pada hakikatnya merupakan aset
sosial dan kolektif sistem sosial, bukan ciri khas yang dimiliki individu terhadapnya,
hubungan tersebut ditemukan pada tingkat keseluruhan masyarakat secara
keseluruhan. Dengan dasar pemikiran tersebut, maka pelibatan masyarakat dan
peningkatan kapasitas mereka sebagai masyarakat sipil harus difasilitasi dan
dikembangkan sehingga menjadi modal sosial yang nyata bagi pembangunan
nasional.

4.2. Inklusi Sosial

Secara sosiologis, konsep inklusi sosial berakar pada pemikiran Emile Durkheim
(1964) tentang solidaritas sosial. Bahwa berkembangnya industri kapitalisme telah
menyebabkan hancurnya kohesi sosial yang merupakan ciri masyarakat pra-industri
yang homogen. Suatu bentuk solidaritas sosial yang dipersatukan oleh komitmen
akan nilai-nilai tradisi (agama dan budaya) sebagai pemandu kehidupan sosial
masyarakat tradisional. Namun, Durkheim percaya bahwa solidaritas sosial
merupakan prasyarat penting (necessary conditon) bagi eksistensi dan
keberlangsungan suatu masyarakat. Karena itu, solidaritas dalam masyarakat industri
yang bercirikan pembagian kerja dan diferensiasi sosial yang tinggi, akan muncul
dalam bentuk kesalingtergantungan fungsional. Konsep solidaritas sosial ini
dinamakan oleh Durkheim sebagai solidaritas organik, yang lebih menkankan pada
faktor perbedaan atau heterogenitias masyarakat modern industrial, terutama terkait
dengan tumbuhnya identitas kolektif, baik yang berbasis budaya, gender, maupun
profesionalisme.

Kemudian, konsep inklusi sosial muncul seiring dengan berkembangnya pluralisme


kehidupan masyarakat modern. Sejauhmana kondisi solidaritas sosial dapat diperkuat
seiring dengan berkembangnya identitas kolektif yang semakin kompleks. Inklusi
sosial adalah tujuan dan prinsip keadilan. Inklusi sosial tidak mencari hasil yang
sama atau setara bagi warga negara. Tetapi lebih memusatkan perhatiannya pada
persamaan relatif di antara kelompok-kelompok dalam hal akses dan kesempatan
terhadap sumber daya yang penting. Dalam konteks pembangunan nasional, gagasan
inklusi sosial tidak mengacu pada pengertian pemerataan hasil (equality of outcomes)
pembangunan, melainkan lebih pada pemerataan kesempatan (equality of

7
opportunity) untuk terlibat dalam proses pembangunan dan akses terhadap sumber
daya. Sejauhmana negara dan masyarakat memfasilitasi atau membuat mekanisme
(kebijakan) yang menjamin agar setiap kelompok warga negara (etnis, ras, agama,
dan gender) dapat berpartisipasi dan memiliki kesempatan yang sama terhadap
sumber daya ekonomi dan kekuasaan yang tersedia di dalam masyarakat.

Secara normative dan filosifis, esensi makna dari inklusi social sebenarnya sudah
terpapar dalam konstruksi dasar Negara Indonesia: Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara RI Tahun 1945. Sila kelima “Keadilan social bagi seluruh rakyat
Indonesia” dan kemudian diturunkan dalam beberapa pasal UUD Negara RI Tahun
1945 yang pada garis besarnya menyatakan bahwa setiap warga Negara memiliki hak
yang sama atas pendidikan, pekerjaan, berorganisasi, berpolitik, dan kesejahteraan
pada umumnya. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa Negara memperlakukan
warganya secara sama tanpa diskriminasi, untuk memperoleh akses atas sumber-
sumber yang memfasilitasi terpenuhinya kesejahteraan.

Dengan demikian, inklusi sosial dapat didefinisikan sebagai kesempatan bagi setiap
individu untuk dapat berpartisipasi di dalam kehidupan sosialnya sebagai warga
masyarakat, bukan hanya memenuhi kebutuhan fisik, tetapi semua hak-hak dasar,
meliputi pendidikan, kesehatan, politik, melaksanakan ibadah, menikmati waktu
luang, berekspresi diri, dsb. (Wirutomo, 2014). Namun, untuk memperoleh akses
terhadap sumber-sumber kesejahteraan tersebut tidak bisa diserahkan sepenuhnya
pada mekanisme pasar melalui persaingan bebas tanpa mekanisme pengaturan yang
adil. Mekanisme pasar bebas hanya akan melahirkan dominasi golongan yang kuat
atas golongan yang lemah. Dalam hal ini, Negara harus hadir dan berperan melalui
kebijakannya mengatur mekanisme pendistribusian kesempatan secara berkeadilan
(equality of opportunity).

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk (plural society) baik secara


horizontal maupun vertikal (statifikasi sosial), yang dalam kenyataannya kedua
dimensi tersebut seringkali beririsan. Misalnya, kelompok perempuan dibandingkan
dengan kelompok laki-laki (dimensi horizontal) mempunyai akses yang lebih rendah
terhadap kesempatan ekonomi, politik, dan pendidikan (dimensi vertikal). Karena itu,
untuk mencegah terjadinya ketimpangan yang tajam dalam perolehan akses atau

8
kesempatan terhadap sumber-sumber kesejahteraan tersebut, pemerintah harus
melakukan pengaturan melalui kebijakan afirmatif (affirmative policy) yang
memperlakukan kelompok-kelompok masyarakat yang lemah atau dilemahkan
secara struktural memperoleh askes secara proporsional dan berkeadilan. Dengan
demikian harus ada keterwakilan setiap kelompok (group representativeness) atau
golongan untuk memperoleh kesempatan-kesempatan yang lebih yang baik dalam
berbagai bidang kehidupan social, ekonomi, dan politik. Pada gilirannya, terjadi
transformasi struktural atau mobilitas vertikal dari kelompok masyarakat bawah dari
berbagai golongan etnis, agama, gender, daerah, dan golongan sosial lainnya.

Jadi, kebijakan inklusi sosial sebagai tujuan Pembangunan Sosial hanya bisa
diwujudkan melalui mekanisme pengaturan yang adil sehingga tercapai transformasi
struktural pada semua kelompok masyarakat Indonesia, terutama mereka yang
selama ini termarjinalisasi. Bukan sekedar menghilangkan kemiskinan dalam arti
sempit (rendahnya penghasilan atau tidak terpenuhinya kebutuhan fisik minimum),
tetapi menciptakan masyarakat yang inklusif.

4.3. Masyarakat Sipil

Konsep civil society merupakan salah satu konsep penting dalam pemikiran
mengenai masyarakat dan telah menghasilkan berbagai penafsiran yang mengundang
perdebatan. Tanpa mengetahui pemetaan konsep tersebut dan kaitannya dengan
berbagai konsep, maka penerapan konsep tersebut dapat menghasilkan kerancuan
(Gardono, 2001).

Konsep civil society dapat dipetakan dalam tiga aspek; horizontal (CS I), vertikal
(CS II), dan gabungan antara kedua horizontal dan vertikal (CS III). Civil society
sebagai aspek horizontal lebih menekankan aspek budaya. Civil Society di sini erat
dengan “civility” atau keberadaban dan “fraternity”. Dalam aspek vertikal, konsep
civil society mengutamakan otonomi masyarakat terhadap negara dan erat dengan
aspek politik. Istilah “civil” dekat dengan “citizen” dan “liberty”. Terjemahan yang
telah diindonesiakan adalah Masyarakat Warga atau Masyarakat Kewargaan. Aspek
ketiga, menggabungkan antar dimensi horizontal dan vertikal. Antara lain
dikemukakan oleh Paulus Wirutomo sebagai Masyarakat Adab. Ia menyatakan
bahwa konsep civil society tetapi bukan sekedar memberikan posisi warganegara

9
yang lebih mandiri terhadap negara, bukan saja demokrasi yang hanya menekankan
hak individual dan supremasi hukum, tetapi terutama menekankan pada pembenahan
moral hubungan antar warga negara itu sendiri. Penanaman nilai kerukunan antar
warganegara yang menghasilkan kepedulian terhadap semua warga dan nasib seluruh
bangsa. (Wirutomo, 2001).

Berbeda dengan wacana mengenai konsep civil society yang sangat kaya,
pengembangan indikator civil society di Indonesia relatif tertinggal. Keadaan ini
membuat lemahnya pengukuran civil society serta pemetaan dinamika civil society
dalam kurun waktu tertentu. Selain itu, tiadanya pengukuran akan mempersulit
perbandingan antara civil society, baik yang terdapat dalam satu negara maupun antar
negara. Kelemahan dalam indikator ini berdampak lebih lanjut pada upaya
pembuatan kebijakan dalam pengembangan dan penguatan civil society

Pembahasan berbagai definisi Civil Society di atas mempunyai implikasi bagi


pemilihan indikator: C.S. I lebih menekankan dan mengukur aspek horizontal,
sedangkan C.S.II lebih memfokus pada aspek vertikal, sementara C.S. III
menggabungkan keduanya.

Pengukuran civil society secara horizontal (C.S. I) dapat dilakukan antara lain dengan
mengukur secara subyektif tingkat “trust” di antara kelompok-kelompok sosial.
Pengukuran subyektif ini dapat dilakukan dengan survei dan “rating”. Dengan survei
ini didapat gambaran bahwa individu yang toleran mempunyai “trust” yang tinggi.
Pengukuran secara horizontal dapat pula diukur secara obyektif dengan mengetahui
“proporsi mereka yang bekerja dalam sektor non-proft (“The third sector”)
dibandingkan dengan mereka yang berada dalam usia bekerja. Tingkat kerja sukarela
yang tinggi ini dapat menjadi ukuran tingginya nilai altruistik yang erat dengan
“trust.”

Secara vertikal dinamika civil society dapat pula diukur secara obyektif dengan
melihat jumlah CSOs yang terdiri dari organisasi asosiasi (Oras), Orpol,
Ornop/NGOs; Or-Komunitas/CBOs. Saat ini di Indonesia jumlah NGO (LSM) diduga
antara 4000 sampai 6000 yang bervariasi dari segi jumlah anggota dan kegiatannya.

Pembahasan mengenai indikator C.S. III yang menggabungkan aspek vertikal dan
horizontal telah diupayakan oleh Civicus (2001) dengan Index of Civil society.

10
Indeks ini dikembangkan oleh Helmut Anheier dari Centre for Civil Society, London
School of Economics. Indeks ini terdiri dari empat dimensi yakni:

1. Struktur (Structure) dengan sub-dimensi keanggotaan, partisipasi, distribusi,


komposisi dan sumber daya.
2. Ruang (Space) dengan sub-dimensi hukum dan peraturan, jaringan ke pemerintah
dan bisnis, dan norma sosial budaya.
3. Nilai (Values) dengan sub-dimensi toleransi, HAM, kesetaraan gender,
transparansi-akuntabilitas serta peran stakeholders.
4. Dampak (Impact) dengan sub-dimensi kebijakan publik dan pemantauan
pemerintah, responsif serta efektivitas CSOs.

Dari keempat dimensi tersebut terlihat bahwa aspek horizontal atau C.S. I tercakup
dalam dimensi nilai (values) terutama sub-dimensi toleransi. Demikian pula, aspek
vertikal atau C.S. II diukur melalui dimensi dampak (impact) yang mencakup
kemampuan CSOs dalam memantau pemerintah. Sementara itu, dimensi ruang
(space) turut mengukur aspek vertikal karena mencakup jaringan terhadap
pemerintah dan sektor bisnis. Sedangkan dimensi struktur (structure) berisi informasi
mengenai anatomi dari CSOs sehingga dapat diketahui secara jelas potensinya.

5. Penutup

Inklusi sosial dan masyarakat sipil merupakan aset sosial yang penting bagi
pembangunan nasional, keberadaan dan kontribusinya terhadap keberhasilan
pembangunan sangat tergantung pada kemampuan masyarakat dan pemerintah untuk
mengeksplorasi dan mengelolanya sehingga menjadi modal sosial nyata bagi
pembangunan sosial, sebagaimana pentingnya modal uang bagi pembangunan
ekonomi.

Terbentuknya masyarakat yang inklusif dan meningkatnya kapasitas civil society


sebagai modal sosial pembangunan nasional tidak mungkin dapat diwujudkan tanpa
adanya kebijakan yang memfasilitasi dan mengatur relasi-relasi yang berlangsung di
antara berbagai kelompok kemasyarakatan (hubungan horizontal) dalam memperoleh
akses terhadap sumber-sumber kesejahteraan (hubungan vertikal). Karena itu
diperlukan adanya intervensi negara dalam bentuk undang-undang atau kebijakan

11
untuk menjamin pemenuhan hak-hak warga negara secara berkeadilan, baik dalam
tingkatan individu maupun kolektif.

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan indikator yang digunakan untuk


mengukur distribusi akses masyarakat terhadap sumber-sumber kesejahteraan
(pendidikan, ekonomi, dan kesehatan), namun masih bersifat material dan belum
mengukur secara spesifik aspek-aspek sosial dalam dimensi horizontal dan vertikal.
Maka, perlu dikembangkan indikator variabel sosial, khususnya terkait dengan
konsep inklusi sosial dan peningkatan kapasitas civil society sebagai modal sosial
pembangunan. Dengan keberadaan indikator tersebut, pencapaian pembangunan
sosial sebagai salah satu aspek penting dari pembangunan nasional dapat diukur
secara obyektif, dan dapat menjadi masukan (input) untuk merumuskan kebijakan
dan program tindakan atas masalah-masalah yang terkait dengan pembangunan
sosial.

Referensi:

Blakelley, Roger dan Diana Suggate (1997), “Public Policy Development” in David
Robinson (ed). Social Capital dan Policy Development. Wellington: The
Institute of Policy Studies, pp. 80-100
Durkheim, Emile (1964). The Division of Labor in Society. New York. The Free
Press
Fukuyama, Francis (1995). Trust: The Social Virtues and The Creation of Prosperity.
Nee York. The Free Press.
Fukuyama, Francis (2001). “Social Capital, Civil Society and Development”. Third
World Quarterly, 22:1, 7-20, DOI: 10.1080/713701144.
Masik, Agustomi (2005). “Hubungan Modal Sosial dan Perencanaan”. Jurnal
Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol.16/No. 3, Desember 2005, hlm. 1-23.
Putnam, RD. (1993). “The Prosperous Community: Social Capital and Public Life”
in The American Prospect, Vol. 13, pp 35-42.
Richard Holloway (2001). Using The Civil Society Index: Assessing the Heath of
Civil Society. A Handbook for Using the CIVICUS Index on Civil Society as
a Self-Assessment Tool. Cananda, Civicus, 2001: 50-62.
Rohe, William M (2004). “Building Social Capital Through Community
Development”. Journal of American Planning Association; vol. 70 no. 2,
Spring, 2004.

12
Spellerberg, Anne (1997). “Towards a Framework for the Measurement of Social
Capital” in David Robinson (ed). Social Capital dan Policy Development.
Wellington: The Institute of Policy Studies, pp. 42-52
Suharto, Edi (2005). Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis Mengkaji Masalah
dan Kebijakan Sosial. Bandung: Alfabeta.
Sulisworo, Dwi (2013). Peningkatan Civil Society Untuk Kemajuan Iptek dan
Ketahanan Nasional. Yogyakarta. Cetta Media.
Sujatmiko, I.G. (2001). “Wacana Civil society di Indonesia”. Jurnal Masyarakat,
Edisi No.9, 2001.
Wirutomo, Paulus. “Membangun Masyarakat Adab: Suatu Sumbangan Sosiologi”.
Pidato Pengukuhan Guru Besar Sosiologi FISIP-UI, 8 Juni 2001: 19-20.
Wirutomo, Paulus (2014). “Sosiological Reconceptualization of Social Development:
With Empirical Evidence from Surakarta City Indonesia”. diterbitkan oleh
Canadian Center of Science and Education, Asian Social Science, Volume
10, No 11, 2014

13

Anda mungkin juga menyukai