Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

CKD (CHRONIC KIDNEY DISEASE) ET CAUSA DIABETES MELLITUS DAN


HEMODIALISA
Untuk memenuhi tugas Profesi Ners Departemen Medikal Ruang Hemodialisa RSSA
Malang

Oleh :
ANIF LAILATUL FITRIYAH
NIM. 1800070300111040

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018
HALAMAN PENGESAHAN
CKD (CHRONIC KIDNEY DISEASE) ET CAUSA DIABETES MELLITUS DAN
HEMODIALISA
DI RUANG HEMODIALISA RSUD dr SAIFUL ANWAR MALANG

Untuk memenuhi tugas Profesi Ners Departemen Medikal Ruang Hemodialisa RSSA
Malang

Oleh :
ANIF LAILATUL FITRIYAH
NIM. 1800070300111040

Telah diperiksa dan disetujui pada :


Hari :
Tanggal :

Pembimbing Akademik Pembimbing Lahan

( ) ( )
1.1. Diabetes Melitus
1.2. Definisi
Diabetes mellitus adalah keadaan hiperglikemi kronik disertai berbagai kelainan

metabolik akibat gangguan hormonal ,yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik

pada mata , ginjal, saraf dan pembuluh darah,disertai lesi pada membran basalis

dalam pemeriksaan dengan mikroskopik electron” (Mansjoer, 2011) .

Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit gangguan metabolik menahun

diakibatkan pankreas tidak dapat memproduksi cukup insulin atau tubuh tidak dapat

menggunakan insulin yang diproduksi secara efektif. Insulin adalah hormon yang

mengatur keseimbangan kadar gula darah. Akibatnya terjadi peningkatan

konsentrasi glukosa di dalam darah.Pada penderita diabetes mellitus, kemampuan

tubuhnya untuk bereaksi terhadap insulin menurun sehingga pankreas dapat

menghentikan produksi insulin (Riskesdas, 2014).

1.3. Etiologi dan Faktor Resiko


a) Diabetes Mellitus tipe 1/ IDDM (Insulin Dependent Diabetes Mellitus) DM tipe 1
ditandai oleh penghancuransel-sel beta pankreas; faktorgenetik; imunologi; dan
mungkin pula lingkungan (virus) diperkirakan turut menimbulkan distruksi sel
beta.

 Faktor genetik
Penderita DM tipe I mewarisi kecenderungan genetik kearahDM tipe I,
kecenderungan ini ditemukan pada individu yang memiliki tipe HLA (Human
Leucocyt Antigen) tertentu.Resiko meningkat 20x pada individu yang memiliki
tipe HLA DR3 atau DR4.

 Faktor Imunologi
Respon abnormal dimana anti bodi terarah pada jaringan normal tubuh
dengan cara bereaksi jaringan tersebut sebagai jaringan asing.
 Faktor lingkungan
Virus / toksin tertentu dapat memacu proses yang dapat menimbulkan
destruksi sel beta.
b) DM tipeII / NIDDM
Mekanisme yang tepat menyebabkan resistensi insulin dan sekresi insulinpada
DM tipe 11 masin belumdiketahui. Faktor resiko yang berhubungan adalah
obesitas, riwayat keluarga, Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada
usia >65 tahun.
c) Diabetes gestasional
Diabetes gestasional adalah diabetes yang menyerang pada kondisi
kehamilan.Diabetes gestasional menyebabkan pankreas tidak dapat
menghasilkan insulin yang cukup untuk mengontrol gula darah pada tingkat yang
aman bagi si Ibu dan janin. Diabetes gestasional didiagnosis pada 24 sampai 28
minggu usia kehamilan dengan kondisi janin telah membentuk organ tubuh.

1.4. Klasifikasi
Penyakit diabetes terdiri dari tiga tipe utama, yaitu diabetes tipe 1diabetes
tipe 2, dan diabetes gestasional.Tipe diabetes yang disebut terakhir bersifat
incidental, berhubungan dengan kondisi kehamilan seseorang.
a) Diabetes tipe 1
Diabetes tipe 1 sering disebut dengan insulin dependent diabetes atau
diabetes bergantung dengan insulin merupakan diabetes yang sering menyerang
pada anak-anak, diabetes tipe 1 juga ditemukan pada semua umur terutama
pada dewasa muda.
Diabetes tipe 1 adalah penyakit diabetes yang terjadi karena adanya
gangguan pada pankreas, menyebabkan pankreas tidak mampu memproduksi
insulin dengan optimal. Pankreas berperan penting dalam keseimbangan kadar
gula darah, namun pada diabetes tipe 1 pankreas memproduksi insulin dengan
kadar yang sedikit sehingga tidak mencukupi kebutuhan untuk mengatur kadar
gula darah dengan tepat (Helmawati, 2014).
b) Diabetes tipe 2
Diabetes tipe 2 disebut juga sebagai noninsulin dependent diabetes atau
diabetes yang tidak beragantung pada insulin.Perbedaan diabetes tipe 1 dengan
diabetes tipe 2. Pada diabetes tipe 1 penderita memiliki ketergantungan pada
injeksi insulin, hal ini dikarenakan organ pankreas penderita tidak mampu
memproduksi insulin dengan jumlah yang cukup bahkan tidak memproduksi
insulin sama sekali.
c) Diabetes gestasional
Diabetes gestasional adalah diabetes yang menyerang pada kondisi
kehamilan.Diabetes gestasional menyebabkan pankreas tidak dapat
menghasilkan insulin yang cukup untuk mengontrol gula darah pada tingkat yang
aman bagi si Ibu dan janin. Diabetes gestasional didiagnosis pada 24 sampai 28
minggu usia kehamilan dengan kondisi janin telah membentuk organ tubuh.
Karena kondisi tersebut pada dasarnya diabetes gestasional tidak sampai
menyebabkan cacat pada janin, namun diabetes gestasional yang tidak
terkontrol sangat berisiko pada bayi (Helmawati, 2014).

1.5. Manifestasi Klinis


Menurut Helmawati,(2014), gejala penyakit diabetes mellitus tipe 1 dan
diabetes mellitus tipe 2 , dikenal dengan istilah 3P:
a) Poliuria (banyak kencing)
Poliuria adalah seringnya seseorang buang air kecil atau kencing.Penderita
sering buang air kecil, terutama pada malam hari, dan dengan volume yang
banyak. Kondisi ini disebabkan oleh tinnginya kadar gula dalam darah yang tidak
bisa di toleransi oleh ginjal, dan agar urine yang di keluarkan tidak terlalu pekat,
ginjal harus menarik banyak cairan dari dalam tubuhn (Helmawati, 2014).
b) Polidipsia (banyak minum)
Polidipsia adalah seringnya seseorang minum karena rasa haus yangbesar.
Kondisi polidipsia ini adalah akibat dari kondisi sebelumnya, yaitu poliuria. Ketika
ginjal menarik banyak cairan dari tubuh, maka secara otomatis tubuh akan
merasa kehausan. Akibatnya, penderita akan minum terus menerus untuk
mengobati rasa hausnya (Helmawati, 2014).
c) Polifagia ( banyak makan )
Polifagia adalah seringnya seseorang makan karena rasa lapar yang besar.
Orang yang menderita diabetes sering merasa kelaparan karena gula darah tidak
bisa masuk ke dalam sel, akibatnya sel-sel akan mengirim sinyal lapar ke otak.
Glukosa merupakan makanan untuk sel-sel tubuh.Sel-sel tubuh yang tidak dapat
menyerap glukosa mengakibatkan kelaparan, sehingga tubuh secara
keselurahan kekurangan energi dan menjadi lemas.Kondisi ini membuat otak
mengirim sinyal untuk menggerakkan penderita agar makan terus-menerus.
Biasanya,, pada fase ini penderita akan menunjukkan berat badan yang terus
naik atau bertambah gemuk (Helmawati, 2014).
Tanda gejala penyerta lainnya adalah sebagai berikut :
1. Kesemutan dan gatal-gatal pada tangan dan kaki
Kondisi ini disebabkan karena rusaknya urat saraf pada
diabetes.Kandungan gula darah yang tinggi menyebabkan rusaknya urat
saraf. Gangguan inilah yang menyebabkan terjadinya kesemutan dan
gatal-gatal pada tangan dan kaki (Susilo, 2011).
2. Mudah lelah dan sering mengantuk
Kekurangan energi dan terganggunya metabolisme karbohidrat
menyebabkan penderita DM menjadi mudah lelah.Seseorang yang dalam
waktu terus menerus sering merasa mudah lelah dan sering mengantuk
walaupun tidak melakukan aktivitas berat harus segera kedokter untuk
memeriksakan kesehatan (Susilo, 2011).
3. Penglihatan kabur
Kadar glukosa dalam darah mendadak tinggi, lensa mata menjadi
cembung dan penderita mengeluh penglihatan kabur. Biasannya penderita
akan sering mengganti kacamata (Susilo, 2011).
4. Pusing dan mual
Seseorang yang sudah lama menderita DM, urat saraf pada lambung akan
mengalami kerusakan, sehingga mengakibatkan fungsi lambung akan
menjadi lemah dan tidak sempurna. Keadaan ini akan menimbulkan rasa
mual, perut terasa penuh, kembung, makanan tidak lekas turun serta
kadang-kadang rasa sakit di ulu hati, namun apabila ditangani dengan
baik, keluhan-keluhan tersebut akan hilang dalam 10-20 hari (Susilo,
2011).
5. Koordinasi gerak anggota tubuh terganggu
Kadar glukosa yang tinggi akan merusak urat saraf. Kelainan urat saraf
akibat DM disebut neuropati diabetik.Rusaknya urat saraf ini menyebabkan
koordinasi gerak tubuh menjadi tidak normal seperti biasannya.Gangguan
bisa berupa reaksi lambat atau tidak merespon adannya aksi dari luar
tubuh dan secara terus menerus dapat menganggu aktivitas penderita DM
(Susilo, 2011).
6. Berat badan menurun
Karena sejumlah besar kalori hilang ke dalam air kemih sehingga
mengalami penururnan berat badan dan apabila tidak diimbangi dengan
makan serta mengikuti pola aturan sehat dan bergizi, penerita diabetes
akan terus kehilangan berat badannya (Susilo, 2011).

1.6. Pathway (terlampir)


1.7. Pemeriksaan Diagnostik

1.8. Penatalaksanaan
PenatalaksanaanDM dimulai denganpolahidup sehat, dan bila perlu dilakukan
intervensi farmakologisdenganobatantihiperglikemiasecaraoral dan/atausuntikan.
a. Edukasi
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan sebagai
bagian dari upaya pencegahan dan merupakan bagianyang sangat penting dari
pengelolaan DM secara holistik.
b. Terapi Nutrisi Medis (TNM)
Penyandang DMperlu diberikan penekanan mengenai pentingnya keteraturan
jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang
menggunakan obat penurun glukosadarah atau insulin.
c. Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-5 hari
seminggu selama sekitar30-45 menit,dengan total150 menit perminggu, dengan
jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut. Latihan jasmani yang
dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobic dengan intensitas
sedang (50-70% denyut jantung maksimal)seperti jalan cepat, bersepeda santai,
jogging, dan berenang.Denyut jantung maksimal dihitung dengan cara = 220-
usia pasien.
d. Intervensi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan
jasmani (gayahidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk
suntikan.
 Obat antihiperglikemia Oral
Berdasarkan cara kerjanya, obat anti hiperglikemia oral dibagi menjadi 5
golongan:
1) Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue): Sulfonilurea dan Glinid.

- Sulfonilurea, Obat golongan ini mempunyai efek utama memacu


sekresi insulin oleh sel beta pankreas.

- Glinid, Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan


sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase
pertama. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial.
2) Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin: Metformin dan Tiazolidindion
(TZD)

- Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati


(glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa perifer.
Metformin merupakan pilihan pertama pada sebagian besar kasus
DMT2

- Tiazolidindion (TZD) merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator


Activated Receptor Gamma (PPAR-γ), suatu reseptor inti termasuk di
sel otot, lemak, dan hati. Golongan ini mempunyai efek menurunkan
resistensi insulin dengan jumlah protein pengangkut glukosa,
sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer.Obat ini
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung (NYHA FCIII-
IV) karena dapat memperberat edema/retensi cairan. Hati-hati pada
gangguan faal hati,dan bila diberikan perlu pemantauan faal hati
secara berkala. Obat yang masuk dalam golongan ini adalah
Pioglitazone.
3) Penghambat Absorpsi Glukosa: Penghambat Glukosidase Alfa.Obat ini
bekerja dengan memperlambatabsorbsi glukosa dalam usus halus,
sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah
makan. Penghambat glukosidase alfatidak digunakan bila
GFR≤30ml/min/1,73 m, gangguan faal hati yang berat, irritable bowel
syndrome
4) Penghambat
DPP-IV(Dipeptidyl Peptidase-IV)Obat golongan penghambat DPP-IV
menghambat kerjaenzimDPP-IV sehingga GLP-1(Glucose LikePeptide-
1)tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP-
1untuk meningkatkan sekresiinsulindan menekan sekresi glukagon
bergantungkadar glukosa darah(glucose dependent).
5) Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co-transporter 2)Obat golongan
penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes oral jenis baru yang
menghambat reabsorpsi glukosa di tubuli distal ginjal dengan cara
menghambat transporter glukosa SGLT-2. Obat yang termasuk golongan
ini antara lain: Canagliflozin, Empagliflozin, Dapagliflozin, Ipragliflozin

1.9. Komplikasi
Menurut Helmawati (2014), komplikasi diabetes di bedakan menjadi dua yaitu:
1. Komplikasi jangka pendek (akut ):
a. Ketoasidosis diabetic
b. Hipoglikemia
c. Sindrom hiperosmolar diabetik
2. Komplikasi jangka panjang (kronik)
a. Penyakit jantung koroner
b. Gangguan mata (retinopati diabetik)
c. Gangguan ginjal (nefropati diabeteik )
d. Gangguan saraf (neuropati diabetik )
e. Diabetes dan infeksi
f. Kaki diabetik

2. Hubungan Diabetes Mellitus sebagai Penyebab CKD


2.1. Definisi CKD
Gagal ginjal kronis adalah kerusakan ginjal progresif yang berakibat fatal dan
ditandai dengan uremia (urea dan limbah nitrogen lainnya yang
beredardalamdarahsertakomplikasinya jika tidak dilakukan dialisis atau transplantasi
ginjal) (Nursalam, 2006).
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan
fungsi renal yang progresif dan ireversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolism dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan
uremia (retensi urin dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner & Suddart, 2002).
Gagal ginjal kronis adalah destruksi struktur ginjal yang progresif dan terus-menerus.
Gagal ginjal kronis dapat timbul dari hampir semua penyakit. Selain itu pada individu
yang rentan, nefropati analgesic, destruksi papilla ginjal yang terkait dengan pamakaian
harian obat-obatan analgesic selama bertahun-tahun dapat menyebabkan gagal ginjal
kronis. Apa pun sebabnya, terjadi perburukan fungsi ginjal secara progresif yang
ditandai dengan penurunan GFR yang progresif (Corwin, 2009).

2.2. Etilogi dan Faktor Resiko


Berdasarkan data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal
Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai
berikut glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal
polikistik (10%) (Roesli, 2008).
a. Glomerulonefritis
Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang
etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan gambaran histopatologi
tertentu pada glomerulus (Markum, 1998). Berdasarkan sumber terjadinya kelainan,
glomerulonefritis dibedakan primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila
penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri sedangkan glomerulonefritis sekunder
apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus,
lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau amiloidosis
(Prodjosudjadi, 2006).
Gambaran klinik glomerulonefritis mungkin tanpa keluhan dan ditemukan
secara kebetulan dari pemeriksaan urin rutin atau keluhan ringan atau keadaan
darurat medik yang harus memerlukan terapi pengganti ginjal seperti dialisis
(Sukandar, 2006).
b. Diabetes melitus
Menurut American Diabetes Association (2003) dalam Soegondo (2005)
diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-
duanya. Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit
ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan.
Gejalanya sangat bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul secara perlahan-lahan
sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan seperti minum yang
menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat badan yang
menurun. Gejala tersebut dapat berlangsung lama tanpa diperhatikan, sampai
kemudian orang tersebut pergi ke dokter dan diperiksa kadar glukosa darahnya
(Waspadji, 1996).
c. Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah
diastolik ≥ 90 mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi (Mansjoer, 2001).
Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu hipertensi
esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik, dan
hipertensi sekunder atau disebut juga hipertensi renal (Sidabutar, 1998).
d. Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau
material yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat
ditemukan kista-kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di
medula. Selain oleh karena kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai
keadaan atau penyakit. Jadi ginjal polikistik merupakan kelainan genetik yang paling
sering didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit ginjal
polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh karena sebagian besar baru
bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun. Ternyata kelainan ini dapat ditemukan
pada fetus, bayi dan anak kecil, sehingga istilah dominan autosomal lebih tepat
dipakai daripada istilah penyakit ginjal polikistik dewasa (Suhardjono, 1998).
2.3. Diabetes Melitus sebagai Penyebab CKD

Diabetes melitus adalah suatu penyakit metabolik yang berlangsung secara


kronik dan progresif yang ditandai dengan adanya hiperglikemi yang disebabkan
oleh gangguan sekresi insulin, gangguan kerja insulin, dan/atau keduanya
(Darmono, 2007). Beberapa gejala klasik dari diabetes melitus adalah polidipsi
(rasa haus berlebih), polifagi (rasa lapar berlebih), dan poliuri (pengeluaran urin
berlebih) (Hadisaputro, 2007).
Salah satu komplikasi dari diabetes melitus adalah penyakit ginjal yang juga
dikenal dengan istilah nefropati diabetik. Nefropati diabetik adalah suatu sindroma
klinis pada pasien diabetes melitus yang ditandai dengan albuminuria menetap
(>300 mg/24 jam atau >200µg/menit) pada minimal dua kali pemeriksaan dalam
kurun waktu 3 sampai 6 bulan (Hendromartono, 2009). Meskipun albuminuria
adalah tanda pertama dari diabetik nefropati namun gejala yang pertama kali dapat
diamati dari pasien adalah edema perifer (Parving et al, 2008).
Hiperfiltrasi masih dianggap sebagai awal dari mekanisme patogenik dalam
laju kerusakan ginjal. Hiperfiltrasi yang terjadi pada nefron yang tersisa kemudian
akan menyebabkan sklerosis dari nefron tersebut. Mekanisme terjadinya
hiperfiltrasi glomerulus pada diabetik nefropati masih belum jelas, namun
kemungkinan disebabkan oleh dilatasi arteriol aferen oleh efek yang tergantung
glukosa, yang diperantarai oleh hormon vasoaktif, IGF-1, Nitric oxide,
prostaglandin, dan glukagon. Efek langsung dari hiperglikemi adalah rangsangan
hipertrofi sel, sintesis matriks ekstraseluler, serta produksi TGF-β yang diperantarai
oleh aktivasi protein kinase-C (PCK). Hiperglikemi kronik dapat menyebabkan
terjadinya glikasi nonenzimatik asam amino dan protein (reaksi Mallard dan
Bowning) yang awalnya reversible namun bila terus berlanjut akan terbentuk
Advanced Glycation End-Products (AGEs) yang irreversible. AGEs diperkirakan
menjadi perantara untuk beberapa kegiatan seluler seperti ekspresi adhesi molekul
dalam penarikan sel-sel mononuclear, hipertrofi sel, sintesa matriks ekstraseluler,
serta inhibisi Nitric oxide yang akan terus berlanjut hingga terjadi ekspansi
mesangium dan pembentukan nodul serta fibrosis tubulointerstitial (lihat gambar)
(Hendromartono, 2009).
2.4. Manifestasi Klinis
Penurunan fungsi ginjal akan mengakibatkan berbagai manifestasi klinik
mengenai di hampir semua sistem tubuh manusia, seperti:
1. Kardiovaskuler yaitu yang ditandai dengan adanya hipertensi (akibat retensi
cairan dan natrium dari aktivitas sistem renin-angiotensin-aldosteron), pitting
edema (kaki, tangan, sacrum), edema periorbital, friction rub pericardial, serta
pembesaran vena leher, frekuensi jantung yang tidak regular akibat
hiperkalemia.
2. Integumen yaitu yang ditandai dengan warna kulit abu-abu mengkilat,kulit kering
dan bersisik, pruritus, ekimosis, kuku tipis dan rapuh serta rambut tipis dan
kasar.
3. Pulmoner yaitu yang ditandai dengan krekeis, sputum kental dan liat, napas
dangkal seta pernapasan kussmaul.
4. Gastrointestinal yaitu yang ditandai dengan napas berbau ammonia, ulserasi
dan perdarahan pada mulut, anoreksia, mual dan muntah, konstipasi dan diare,
serta perdarahan dari saluran GI.
5. Neurologi yaitu yang ditandai dengan kelemahan dan keletihan, konfusi,
disorientasi, kejang, kelemahan pada tungkai, rasa panas pada telapakkaki,
serta perubahan perilaku.
6. Muskuloskletal yaitu yang ditandai dengan kram otot, kekuatan otot hilang,
fraktur tulang yang disebabkan oleh ketidakseimbangan kalsium-fosfor, serta
foot drop.
7. Reproduksi yaitu ditandai dengan amenore dan atrofi testikuler.
8. Sistem hematologi ditandai dengan anemia normokrom normositer dan
normositer (MCV 78-94 CU). Kelelahan dan lemah karena anemia atau
akumulasi substansi buangan dalam tubuh. Selain itu hemopoesis dapat terjadi
karena berkurangnya produksi eritropoitin, hemolisis, defisiensi besi.
9. Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam basa, biasanya retensi
garam dan air tetapi dapat juga kehilangan natrium, asidosis, hiperkalemia,
hipomagnesia, hipokalsemia.
10. Perubahan berkemih dengan adanya oliuria, nokturia, oliguria
(Smeltzer, 2001; Suyono, 2001).
2.5. Pemeriksaan Fisik
Menurut Doenges (2000) adalah sebagai berikut:
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Urine
1) Volume: biasanya kurang dari 400 ml / 24 jam (oliguria) / anuria.
2) Warna: secara abnormal urine keruh, mungkin disebabkan oleh pus,
bakteri, lemak, partikel koloid, fosfat lunak, sedimen kotor, kecoklatan
menunjukkan adanya darah Hb, mioglobulin, forfirin.
3) Berat jenis: < 1,051 (menetap pada 1.010 menunjukkan kerusakan ginjal
berat).
4) Osmolalitas: < 350 Mosm / kg menunjukkan kerusakan mubular dan rasio
urine / sering 1: 1.
5) Clearance kreatinin : mungkin agak menurun
6) Natrium: > 40 ME o /% karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi natrium.
7) Protein: derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara bulat, menunjukkan
kerusakan glomerulus jika SDM dan fagmen juga ada.
8) PH, kekeruhan, glokuso, ketan, SDP dan SDM.
b. Darah
1) BUN
Urea adalah produksi akhir dari metabolism protein, peningkatan BUN
dapat merupakan indikasi dehidrasi, kegagalan pre renal atau gagal ginjal.
2) Kreatinin
Produksi katabolisme otot dari pemecahan kreatinin otot dan kreatinin
posfat. Bila 50 % nefron rusak maka kadar kreatinin meningkat.
3) Elektrolit
Hiponatremi, hiperkalemia
4) Hematologi : Hb, thrombosit, Ht, dan leukosit
5) Asidosis metabolik dengan kompensasi respirasi menunjukkan pH yang
menurun, HCO3 yang menurun, PCO2 yang menurun, semuanya
disebabkan retensi asam-basa organik pada gagal ginjal.
2. Pemeriksaan Radiologi
Berberapa pemeriksaan radiologi yang biasa digunanakan untuk mengetahui
gangguan fungsi ginjal antara lain:
 Flat-Plat radiografy/Radiographic
Untuk mengetahui keadaan ginjal, ureter, dan vesika urinaria dengan
mengidentifikasi bentuk, ukuran, posisi, dan klasifikasi dari ginjal. Pada
gambaran ini akan terlihat bahwa ginjal mengecil yang mungkin disebabkan
karena adanya proses infeksi.
 Computer Tomograohy (CT) Scan
Untuk melihat secara jelas struktur anatomi ginjal yang penggunaannya
dengan memakai kontras atau tanpa kontras.
 Intervenous Pyelography (IVP)
Untuk mengevaluasi keadaan fungsi ginjal dengan memakai kontras. IVP
biasa digunakan pada kasus gangguan ginjal yang disebabkan oleh trauma,
pembedahan, anomali kongental, kelainan prostat, calculi ginjal, abses / batu
ginjal, serta obstruksi saluran kencing.
 Aortorenal Angiography
Untuk mengetahui sistem arteri, vena, dan kapiler pada ginjal dengan
menggunakan kontras. Pemeriksaan ini biasanya dilakukan pada kasus renal
arteri stenosis, aneurisma ginjal, arterovenous fistula, serta beberapa
gangguan bentuk vaskuler.
 Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Untuk mengevaluasi kasus yang disebabkan oleh obstruksi neuropati, ARF,
proses infeksi pada ginjal serta post transplantasi ginjal.
3. Biopsi Ginjal
Untuk mendiagnosa kelainan ginjal dengan mengambil jaringan ginjal lalu
dianalisa. Biasanya biopsi dilakukan pada kasus glomerulonepritis, neprotik
sindom, penyakit ginjal bawaan, ARF, dan perencanaan transplantasi ginjal.
2.6. Penatalaksanaan
 Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara
progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia,
memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan
elektrolit (Sukandar, 2006).
a. Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau
mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama
gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
b. Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat dengan
tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara
status nutrisi dan memelihara status gizi.
c. Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya
jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.
d. Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari
LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).
 Terapi simtomatik
a. Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat
diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera
diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
b. Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu
pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah
harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
c. Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering
dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief
complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa
mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program
terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.
d. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
e. Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler
yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.
f. Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
g. Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang
diderita.
 Terapi Pengganti Ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada
LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis
peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).
a. Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik
azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada
pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG).
Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif.
Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis,
ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang
tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood
Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu
LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan astenia
berat (Sukandar, 2006).
Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang
telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan ginjal
buatan yang kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput
semipermiabel (hollow fibre kidney). Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik
dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada
adalah biaya yang mahal (Rahardjo, 2006).
b. Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis
(CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD,
yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien
yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang
cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan
pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal
terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai
co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri,
tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang
jauh dari pusat ginjal (Sukandar, 2006).
c. Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal).
Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:
 Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%)
faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal
ginjal alamiah.
 Kualitas hidup normal kembali
 Masa hidup (survival rate) lebih lama
 Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan
obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
 Biaya lebih murah dan dapat dibatasi
1.10 KOMPLIKASI
Komplikasi dari CKD menurut Smeltzer dan Bare (2001) serta Suwitra (2006)
antara lain adalah:
1) Hiperkalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, kata bolisme, dan
masukan diit berlebih.
2) Perikarditis, efusi perikardial, dan tamponade jantung akibat retensi produk
sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3) Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin
angiotensin aldosteron.
4) Anemia akibat penurunan eritropoitin.
5) Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar kalsium
serum yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan peningkatan
kadar alumunium akibat peningkatan nitrogen dan ion anorganik.
6) Uremia akibat peningkatan kadar ureum dalam tubuh.
7) Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebihan.
8) Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
9) Hiperparatiroid, Hiperkalemia, dan Hiperfosfate

3. Hemodialisa
3.1. Definisi
Menurut Price dan Wilson (2005) dialisa adalah suatu proses dimana solute
dan air mengalami difusi secara pasif melalui suatu membran berpori dari
kompartemen cair menuju kompartemen lainnya. Hemodialisa dan dialisa peritoneal
merupakan dua tehnik utama yang digunakan dalam dialisa. Prinsip dasar kedua
teknik tersebut sama yaitu difusi solute dan air dari plasma ke larutan dialisa
sebagai respon terhadap perbedaan konsentrasi atau tekanan tertentu.
Sedangkan menurut Tisher dan Wilcox (1997) hemodialisa didefinisikan
sebagai pergerakan larutan dan air dari darah pasien melewati membran
semipermeabel (dializer) ke dalam dialisat. Dializer juga dapat dipergunakan untuk
memindahkan sebagian besar volume cairan. Pemindahan ini dilakukan melalui
ultrafiltrasi dimana tekanan hidrostatik menyebabkan aliran yang besar dari air
plasma (dengan perbandingan sedikit larutan) melalui membran. Dengan
memperbesar jalan masuk pada vaskuler, antikoagulansi dan produksi dializer yang
dapat dipercaya dan efisien, hemodialisa telah menjadi metode yang dominan
dalam pengobatan gagal ginjal akut dan kronik di Amerika Serikat (Tisher & Wilcox,
1997).
Hemodialisa memerlukan sebuah mesin dialisa dan sebuah filter khusus yang
dinamakan dializer (suatu membran semipermeabel) yang digunakan untuk
membersihkan darah, darah dikeluarkan dari tubuh penderita dan beredar dalam
sebuah mesin diluar tubuh. Hemodialisa memerlukan jalan masuk ke aliran darah,
maka dibuat suatu hubungan buatan antara arteri dan vena (fistula arteriovenosa)
melalui pembedahan (NKF, 2006).

3.2. Tujuan
Menurut Havens dan Terra (2005) tujuan dari pengobatan hemodialisa:
a. Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang sisa-sisa
metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme
yang lain.
b. Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang
seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat.
c. Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal.
d. Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang lain.

3.3. Indikasi
Price dan Wilson (2005) menerangkan bahwa tidak ada petunjuk yang jelas
berdasarkan kadar kreatinin darah untuk menentukan kapan pengobatan harus
dimulai. Kebanyakan ahli ginjal mengambil keputusan berdasarkan kesehatan
penderita yang terus diikuti dengan cermat sebagai penderita rawat jalan.
Pengobatan biasanya dimulai apabila penderita sudah tidak sanggup lagi bekerja
purna waktu, menderita neuropati perifer atau memperlihatkan gejala klinis lainnya.
Pengobatan biasanya juga dapat dimulai jika kadar kreatinin serum diatas 6 mg/100
ml pada pria , 4 mg/100 ml pada wanita dan glomeluro filtration rate (GFR) kurang
dari 4 ml/menit. Penderita tidak boleh dibiarkan terus menerus berbaring ditempat
tidur atau sakit berat sampai kegiatan sehari-hari tidak dilakukan lagi.
Penyakit dalam (medikal): Arf- pre renal/renal/post renal, apabila pengobatan
konvensional gagal mempertahankan rft normal. Crf, ketika pengobatan
konvensional tidak cukup, Indikator biokimiawi yang memerlukan tindakan
hemodialisa:
o Peningkatan bun > 20-30 mg%/hari,
o Serum kreatinin > 2 mg%/hari,
o Hiperkalemia,
o Overload cairan yang parah,
o Odem pulmo akut yang tidak berespon dengan terapi medis
o Pada crf: Bun > 200 mg%, Creatinin > 8 mg%,
o Hiperkalemia,
o Asidosis metabolik yang parah.

3.4. Kontraindikasi
Menurut Thiser dan Wilcox (1997) kontra indikasi dari hemodialisa adalah
hipotensi yang tidak responsif terhadap presor, penyakit stadium terminal, dan
sindrom otak organik. Sedangkan menurut PERNEFRI (2003) kontra indikasi dari
hemodialisa adalah tidak mungkin didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa,
akses vaskuler sulit, instabilitas hemodinamik dan koagulasi. Kontra indikasi
hemodialisa yang lain diantaranya adalah penyakit alzheimer, demensia multi infark,
sindrom hepatorenal, sirosis hati lanjut dengan ensefalopati dan keganasan lanjut
(PERNEFRI, 2003).

3.5. Proses
Suatu mesin hemodialisa yang digunakan untuk tindakan hemodialisa
berfungsi mempersiapkan cairan dialisa (dialisat), mengalirkan dialisat dan aliran
darah melewati suatu membran semipermeabel, dan memantau fungsinya termasuk
dialisat dan sirkuit darah korporeal. Pemberian heparin melengkapi antikoagulasi
sistemik. Darah dan dialisat dialirkan pada sisi yang berlawanan untuk memperoleh
efisiensi maksimal dari pemindahan larutan. Komposisi dialisat, karakteristik dan
ukuran membran dalam alat dialisa, dan kecepatan aliran darah dan larutan
mempengaruhi pemindahan larutan (Tisher & Wilcox, 1997).
Dalam proses hemodialisa diperlukan suatu mesin hemodialisa dan suatu
saringan sebagai ginjal tiruan yang disebut dializer, yang digunakan untuk
menyaring dan membersihkan darah dari ureum, kreatinin dan zat-zat sisa
metabolisme yang tidak diperlukan oleh tubuh. Untuk melaksanakan hemodialisa
diperlukan akses vaskuler sebagai tempat suplai dari darah yang akan masuk ke
dalam mesin hemodialisa (NKF, 2006).
Suatu mesin ginjal buatan atau hemodializer terdiri dari membran
semipermeabel yang terdiri dari dua bagian, bagian untuk darah dan bagian lain
untuk dialisat. Darah mengalir dari arah yang berlawanan dengan arah darah
ataupun dalam arah yang sama dengan arah aliran darah. Dializer merupakan
sebuah hollow fiber atau capillary dializer yang terdiri dari ribuan serabut kapiler
halus yang tersusun pararel. Darah mengalir melalui bagian tengah tabung-tabung
kecil ini, dan cairan dialisat membasahi bagian luarnya. Dializer ini sangat kecil dan
kompak karena memiliki permukaan yang luas akibat adanya banyak tabung kapiler
(Price & Wilson, 1995).
Menurut Corwin (2000) hemodialisa adalah dialisa yang dilakukan di luar
tubuh. Selama hemodialisa darah dikeluarkan dari tubuh melalui sebuah kateter
masuk ke dalam sebuah mesin yang dihubungkan dengan sebuah membran
semipermeabel (dializer) yang terdiri dari dua ruangan. Satu ruangan dialirkan darah
dan ruangan yang lain dialirkan dialisat, sehingga keduanya terjadi difusi. Setelah
darah selesai dilakukan pembersihan oleh dializer darah dikembalikan ke dalam
tubuh melalui arterio venosa shunt (AV-shunt).
Selanjutnya Price dan Wilson (1995) juga menyebutkan bahwa suatu sistem
dialisa terdiri dari dua sirkuit, satu untuk darah dan satu lagi untuk cairan dialisa.
Darah mengalir dari pasien melalui tabung plastik (jalur arteri/blood line), melalui
dializer hollow fiber dan kembali ke pasien melalui jalur vena. Cairan dialisa
membentuk saluran kedua. Air kran difiltrasi dan dihangatkan sampai sesuai dengan
suhu tubuh, kemudian dicampur dengan konsentrat dengan perantaraan pompa
pengatur, sehingga terbentuk dialisat atau bak cairan dialisa. Dialisat kemudian
dimasukan ke dalam dializer, dimana cairan akan mengalir di luar serabut berongga
sebelum keluar melalui drainase. Keseimbangan antara darah dan dialisat terjadi
sepanjang membran semipermeabel dari hemodializer melalui proses difusi,
osmosis, dan ultrafiltrasi.
Ultrafiltrasi terutama dicapai dengan membuat perbedaan tekanan hidrostatik
antara darah dengan dialisat. Perbedaaan tekanan hidrostatik dapat dicapai dengan
meningkatkan tekanan positif di dalam kompartemen darah dializer yaitu dengan
meningkatkan resistensi terhadap aliran vena, atau dengan menimbulkan efek
vakum dalam ruang dialisat dengan memainkan pengatur tekanan negatif.
Perbedaaan tekanan hidrostatik diantara membran dialisa juga meningkatkan
kecepatan difusi solut. Sirkuit darah pada sistem dialisa dilengkapi dengan larutan
garam atau NaCl 0,9 %, sebelum dihubungkan dengan sirkulasi penderita. Tekanan
darah pasien mungkin cukup untuk mengalirkan darah melalui sirkuit
ekstrakorporeal (di luar tubuh), atau mungkin juga memerlukan pompa darah untuk
membantu aliran dengan quick blood (QB) (sekitar 200 sampai 400 ml/menit)
merupakan aliran kecepatan yang baik. Heparin secara terus-menerus dimasukkan
pada jalur arteri melalui infus lambat untuk mencegah pembekuan darah.
Perangkap bekuan darah atau gelembung udara dalam jalur vena akan
menghalangi udara atau bekuan darah kembali ke dalam aliran darah pasien. Untuk
menjamin keamanan pasien, maka hemodializer modern dilengkapi dengan
monitor-monitor yang memiliki alarm untuk berbagai parameter (Price & Wilson,
1995).
Menurut PERNEFRI (2003) waktu atau lamanya hemodialisa disesuaikan
dengan kebutuhan individu. Tiap hemodialisa dilakukan 4 – 5 jam dengan frekuensi
2 kali seminggu. Hemodialisa idealnya dilakukan 10 – 15 jam/minggu dengan QB
200–300 mL/menit. Sedangkan menurut Corwin (2000) hemodialisa memerlukan
waktu 3 – 5 jam dan dilakukan 3 kali seminggu. Pada akhir interval 2 – 3 hari
diantara hemodialisa, keseimbangan garam, air, dan pH sudah tidak normal lagi.
Hemodialisa ikut berperan menyebabkan anemia karena sebagian sel darah merah
rusak dalam proses hemodialisa.

3.6. Komplikasi
Menurut Tisher dan Wilcox (1997) serta Havens dan Terra (2005) selama tindakan
hemodialisa sering sekali ditemukan komplikasi yang terjadi, antara lain:
 Kram otot
Kram otot pada umumnya terjadi pada separuh waktu berjalannya hemodialisa
sampai mendekati waktu berakhirnya hemodialisa. Kram otot seringkali terjadi
pada ultrafiltrasi (penarikan cairan) yang cepat dengan volume yang tinggi.
 Hipotensi
Terjadinya hipotensi dimungkinkan karena pemakaian dialisat asetat, rendahnya
dialisat natrium, penyakit jantung aterosklerotik, neuropati otonomik, dan
kelebihan tambahan berat cairan.
 Aritmia
Hipoksia, hipotensi, penghentian obat antiaritmia selama dialisa, penurunan
kalsium, magnesium, kalium, dan bikarbonat serum yang cepat berpengaruh
terhadap aritmia pada pasien hemodialisa.
 Sindrom ketidakseimbangan dialisa
Sindrom ketidakseimbangan dialisa dipercaya secara primer dapat diakibatkan
dari osmol-osmol lain dari otak dan bersihan urea yang kurang cepat
dibandingkan dari darah, yang mengakibatkan suatu gradien osmotik diantara
kompartemen-kompartemen ini. Gradien osmotik ini menyebabkan perpindahan
air ke dalam otak yang menyebabkan oedem serebri. Sindrom ini tidak lazim
dan biasanya terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisa pertama dengan
azotemia berat.
 Hipoksemia
Hipoksemia selama hemodialisa merupakan hal penting yang perlu dimonitor
pada pasien yang mengalami gangguan fungsi kardiopulmonar.
 Perdarahan
Uremia menyebabkan ganguan fungsi trombosit. Fungsi trombosit dapat dinilai
dengan mengukur waktu perdarahan. Penggunaan heparin selama hemodialisa
juga merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan.
 Ganguan pencernaan
Gangguan pencernaan yang sering terjadi adalah mual dan muntah yang
disebabkan karena hipoglikemia. Gangguan pencernaan sering disertai dengan
sakit kepala.
 Infeksi atau peradangan bisa terjadi pada akses vaskuler.
Pembekuan darah bisa disebabkan karena dosis pemberian heparin yang tidak
adekuat ataupun kecepatan putaran darah yang lambat.

3.7. Penatalaksaan Pasien dengan Hemodialisa Jangka Panjang


 Diet dan asupancairan.
Diet merupakan faktor penting bagi pasien yang menjalani hemodialisis
mengingat adanya efek uremia. Apabila ginajal yang rusak tidak mampu
mengekresikan produk akhir metabolisme, subtansi yang bersifat asam ini akan
menumpuk dalam serum pasien dan bekerja sebagai racun atau toksin yang di
kenal dengan gejala uremik.
 Pertimbangan medikasi.
Banyak obat yang dieksresikan seluruhnya atau sebagian melalui ginjal. Pasien
yang memerlukan obat-obatan harus di pantau dengan ketat untuk memastikan
agar kadar obat-oabatan dalam darah dan jaringan dapat di pertahankan tanpa
menimbulkan akumulasi toksik.

4. Konsep Asuhan Keperawatan Pasien CKD et causa DM dan Hemodialisa


4.1. Pengkajian
1) Biodata
Gagal Ginjal Kronik terjadi terutama pada usia lanjut (50-70 th), usia muda,
dapat terjadi pada semua jenis kelamin tetapi 70 % pada pria.
2) Keluhan utama
Kencing sedikit, tidak dapat kencing, gelisah, tidak selera makan (anoreksi),
mual, muntah, mulut terasa kering, rasa lelah, nafas berbau (ureum), gatal pada
kulit.
3) Riwayat penyakit
a) Sekarang
Diare, muntah, perdarahan, luka bakar, rekasi anafilaksis, renjatan
kardiogenik.
b) Dahulu
Riwayat penyakit gagal ginjal akut, infeksi saluran kemih, payah jantung,
diabetes mellitus, hipertensi, penggunaan obat-obat nefrotoksik, Benign
Prostatic Hyperplasia, prostatektomi.
c) Keluarga
Adanya penyakit keturunan Diabetes Mellitus (DM).
4) Tanda vital
Peningkatan suhu tubuh, nadi cepat dan lemah, hipertensi, nafas cepat dan
dalam (Kussmaul), dyspnea.
5) Pemeriksaan Fisik :
a) Pernafasan (B 1 : Breathing)
Gejala:
Nafas pendek, dispnoe nokturnal, paroksismal, batuk dengan/tanpa sputum,
kental dan banyak.
Tanda:
Takhipnoe, dispnoe, peningkatan frekuensi, Batuk produktif dengan / tanpa
sputum.
b) Cardiovascular (B 2 : Bleeding)
Gejala:
Riwayat hipertensi lama atau berat. Palpitasi nyeri dada atau angina dan
sesak nafas, gangguan irama jantung, edema.
Tanda:
Hipertensi, nadi kuat, oedema jaringan umum, piting pada kaki, telapak
tangan, Disritmia jantung, nadi lemah halus, hipotensi ortostatik, friction rub
perikardial, pucat, kulit coklat kehijauan, kuning.kecendrungan perdarahan.
c) Persyarafan (B 3 : Brain)
Kesadaran: Disorioentasi, gelisah, apatis, letargi, somnolent sampai koma.
d) Perkemihan-Eliminasi Uri (B 4 : Bladder)
Gejala:
Penurunan frekuensi urine (Kencing sedikit (kurang dari 400 cc/hari), warna
urine kuning tua dan pekat, tidak dapat kencing), oliguria, anuria (gagal
tahap lanjut) abdomen kembung, diare atau konstipasi.
Tanda:
Perubahan warna urine, (pekat, merah, coklat, berawan) oliguria atau anuria.
e) Pencernaan - Eliminasi Alvi (B 5 : Bowel)
Anoreksia, nausea, vomiting, fektor uremicum, hiccup, gastritis erosiva dan
Diare
f) Tulang-Otot-Integumen (B 6 : Bone)
Gejala:
Nyeri panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri kaki, (memburuk saat malam
hari), kulit gatal, ada/berulangnya infeksi.
Tanda:
Pruritus, demam (sepsis, dehidrasi), ptekie, area ekimoosis pada kulit,
fraktur tulang, defosit fosfat kalsium,pada kulit, jaringan lunak, sendi
keterbatasan gerak sendi.
6) Pola aktivitas sehari-hari
a) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Pada pasien gagal ginjal kronik terjadi perubahan persepsi dan tata laksana
hidup sehat karena kurangnya pengetahuan tentang dampak gagal ginjal
kronik sehingga menimbulkan persepsi yang negatif terhadap dirinya dan
kecenderungan untuk tidak mematuhi prosedur pengobatan dan perawatan
yang lama, oleh karena itu perlu adanya penjelasan yang benar dan mudah
dimengerti pasien.
b) Pola nutrisi dan metabolisme
Anoreksia, mual, muntah dan rasa pahit pada rongga mulut, intake minum
yang kurang. dan mudah lelah. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan
terjadinya gangguan nutrisi dan metabolisme yang dapat mempengaruhi
status kesehatan klien. Peningkatan berat badan cepat (oedema) penurunan
berat badan (malnutrisi) anoreksia, nyeri ulu hati, mual muntah, bau mulut
(amonia), Penggunaan diuretic, Gangguan status mental, ketidakmampuan
berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran,
kejang, rambut tipis, kuku rapuh.
c) Pola Eliminasi
Kencing sedikit (kurang dari 400 cc/hari), warna urine kuning tua dan pekat,
tidak dapat kencing. Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (gagal tahap
lanjut) abdomen kembung, diare atau konstipasi, Perubahan warna urine,
(pekat, merah, coklat, berawan) oliguria atau anuria.
d) Pola tidur dan Istirahat
Gelisah, cemas, gangguan tidur.
e) Pola Aktivitas dan latihan
Klien mudah mengalami kelelahan dan lemas menyebabkan klien tidak
mampu melaksanakan aktivitas sehari-hari secara maksimal, Kelemahan
otot, kehilangan tonus, penurunan rentang gerak.
f) Pola hubungan dan peran
Kesulitan menentukan kondisi. (tidak mampu bekerja, mempertahankan
fungsi peran).
g) Pola sensori dan kognitif
Klien dengan gagal ginjal kronik cenderung mengalami neuropati / mati rasa
pada luka sehingga tidak peka terhadap adanya trauma. Klien mampu
melihat dan mendengar dengan baik/tidak, klien mengalami disorientasi/
tidak.
h) Pola persepsi dan konsep diri
Adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh akan menyebabkan penderita
mengalami gangguan pada gambaran diri. Lamanya perawatan, banyaknya
biaya perawatan dan pengobatan menyebabkan pasien mengalami
kecemasan dan gangguan peran pada keluarga (self esteem).
i) Pola seksual dan reproduksi
Angiopati dapat terjadi pada sistem pembuluh darah di organ reproduksi
sehingga menyebabkan gangguan potensi seksual, gangguan kualitas
maupun ereksi, serta memberi dampak pada proses ejakulasi serta
orgasme. Penurunan libido, amenorea, infertilitas.
j) Pola mekanisme / penanggulangan stress dan koping
Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit yang kronik, faktor stress,
perasaan tidak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan, karena
ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis yang negatif berupa marah,
kecemasan, mudah tersinggung dan lain – lain, dapat menyebabkan klien
tidak mampu menggunakan mekanisme koping yang konstruktif / adaptif.
Faktor stress, perasaan tak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan.
Menolak, ansietas, takut, marah, mudah terangsang, perubahan kepribadian.
k) Pola tata nilai dan kepercayaan
Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh serta
gagal ginjal kronik dapat menghambat klien dalam melaksanakan ibadah
maupun mempengaruhi pola ibadah klien

4.2. Diagnosa Keperawatan


Diagnosa Keperawatan Diabetes Mellitus
1. Resiko Kestabilan glukosa darah
2. Intoleransi aktivitas
3. Kerusakan integritas jaringan
4. Resiko Infeksi
5. Ketidakseimbangan nutrisi
 Pre Hemodialisa
 Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang
meningkat
 Resiko ketidak efektifan perfusi ginjal berhubungan dengan penyakit
ginjal (CKD)
 Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran
alrveolar kapiler (edema paru)
 Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi
(peningkatan usaha nafas)
 Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai
O2 dan kebutuhan
 Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran
urine, diet cairan berlebih, retensi cairan & natrium.
 Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan
edema sekunder : volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi
Na dan H2O)
 Mual berhubungan dengan gangguan biokimia (uremia)
 Nyeri kronis berhubungan dengan agen cedera biologis
(pembengkakan renal)
 Ketidakseimbangan nutrisi: kurang/lebih dari kebutuhan tubuh
behubungan dengan prognosis penyakit dan gangguan metabolik
serta kadar asam basa dalam tubuh.
 Intra Hemodialisa
 Nyeri akut behubungan dengan aktivasi receptor nyeri di area insersi
saat dan setelah pemasangan AV shunt
 Resiko syok hipovolemik berhubungan dengan proses hemodialisa
yang mengerluarkan cairan dari dalam tubuh
 Resiko perdarahan berhubungan dengan pemasangan AV shunt
 Resiko cedera b.d akses vaskuler & komplikasi sekunder terhadap
penusukan & pemeliharaan akses vaskuler.
 Post Hemodialisa
 Resiko infeksi berhubungan dengan area insersi AV Shunt
 Resiko perdarahan berhubungan dengan pemberia heparin
 Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan
sindrom ketidak seimbangan dialisa

4.3. Rencana Keperawatan


1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran urine, diet
cairan berlebih, retensi cairan & natrium
o Tujuan
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x4 jam, volume cairan
seimbang
o Kriteria Hasil
Didapatkan skor NOC sesuai target
o NOC : Fluid overload severity

No Indikator 1 2 3 4 5
1 Tekanan darah
2 Berat badan
3 Edema
4 Pusing

Keterangan :
1 : severe / gangguan parah
2 : moderate / gangguan berat
3 : subtantial / gangguan sedang
4 : mild / gangguan ringan
5 : no deviation / tidak ada gangguan
o NIC : Fluid Management
 kaji intake dan output cairan,
 timbang berat badan secara rutin
 Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang pembatasan cairan
 monitor hasil lab terkait retensi cairan
 Kaji lokasi dan berat edema
 Kolaborasi tindakan dialisis
 monitor BB pasien setelah dialisis
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai O2 dan
kebutuhan
o Tujuan
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x4 jam, diharapkan
klien dapat melakukan ADL dengan bantuan minimal
o Kriteria Hasil
Didapatkan skor NOC sesuai target
o NOC : Activity Tolerance

No Indikator 1 2 3 4 5
1 Jarak berjalan
kelelahan
2 kemampuan
beraktivitas sehari hari

3 nyeri otot
Keterangan :
1 : severe / gangguan parah
2 : moderate / gangguan berat
3 : subtantial / gangguan sedang
4 : mild / gangguan ringan
5 : no deviation / tidak ada gangguan
o NIC : Activity Therapy
 kaji kemampuan pasien untuk beraktivitas sehari hari
 dampingi pasien saat beraktivitas
 dampingi pasien atau keluarga untuk mengidentifikasi defisit
aktivitas
 berikan reinforcement saat klien biasa beraktivitas mandiri
 monitor status emosional, sosial dan spiritual sebagai respon
aktivitas
 kaji dampak nyeri terhadap aktivitas
 ajarkan manajemen nyeri misal teknik distraksi, relaksasi
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membrane kapiler
alveolus dan edema paru.
o Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan pertukaran gas kembali
normal
o Kriteria Hasil
Didapatkan skor NOC sesuai target
o NOC : Respiratory Status : Gas Exchange
NO Indikator 1 2 3 4 5
1. PaO2
2. PaCO2
3. pH arteri
4. SaO2
5. Sesak saat istirahat
6. Sesak saat aktivitas ringan
Keterangan :
1. Gangguan parah/severe deviation
2. Gangguan berat/subtantial deviation
3. Gangguan sedang/moderate deviation
4. Gangguan ringan/mild deviation
5. Tidak ada gangguan/no deviation
o NIC : Respiratoty Monitoring
 Kaji kedalaman, irama nafas
 Monitor status oksigenasi, misalnya SpO2, PaO2, PaCO2, dll
 Auskultasi bunyi nafas, catat crakles, mengi.
 Anjurkan pasien untuk batuk efektif
 Pertahankan duduk/ posisi semi fowler selama fase akut
 Auskultasi bunyi nafas, catat penurunan dan atau bunyi tambahan.
4. Nyeri akut b.d agen cedera fisik (insersi akses vaskular)
o Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan nyeri dapat terkontrol
o Kriteria Hasil
Didapatkan skor NOC sesuai target
o NOC : Pain Level
NO Indikator 1 2 3 4 5
1. Melaporkan nyeri
2. Lama nyeri
3. Ekspresi wajah saat nyeri
4. Menangis
5. RR
6. TD
Keterangan :
1. Gangguan parah/severe deviation
2. Gangguan berat/subtantial deviation
3. Gangguan sedang/moderate deviation
4. Gangguan ringan/mild deviation
5. Tidak ada gangguan/no deviation
o NIC : Pain Management
 Monitor dan kaji karakteristik dan lokasi nyeri.
 Monitor tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, respirasi, kesadaran).
 Anjurkan pada pasien agar segera melaporkan bila terjadi nyeri dada.
 Ciptakan suasana lingkungan yang tenang dan nyaman.
 Ajarkan dan anjurkan pada pasien untuk melakukan tehnik relaksasi.
 Kolaborasi dalam:
 Pemberian oksigen.
 Obat-obatan (beta blocker, anti angina, analgesic)
5. Resiko infeksi berhubungan dengan area insersi AV Shunt
o Tujuan
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x4 jam, resiko infeksi
dapat diminimalkan
o Kriteria Hasil
Didapatkan skor NOC sesuai target
o NOC : Infection Severity

No Indikator 1 2 3 4 5
1 Warna kulit sekitar
insersi

2 Suhu disekitar insersi

3 Rembesan drainase di
sekitar insersi
4.
Pergeseran kanula
Keterangan :
1 : severe / gangguan parah
2 : moderate / gangguan berat
3 : subtantial / gangguan sedang
4 : mild / gangguan ringan
5 : no deviation / tidak ada gangguan
o NIC : Infection Control
i. monitor TTV
ii. hindari mengukur TD di lengan yang terdapat fistula
iii. pakai teknik aseptik saat prosedur dialisa
iv. ajarkan klien dan keluarga tanda gejala yang membutuhkan
penanganan medis
v. kaji daerah sekitar insersi
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta : EGC

Darmono. Pola Hidup Sehat Penderita Diabetes Melitus. In: Darmono, Suhartono T,
Pemayun TGD, Padmomartono FS, editors. Naskah lengkap Diabetes Melitus
Ditinjau dari Berbagai Aspek Penyakit Dalam. Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro; 2007. p. 15-28.

Doenges E, Marilynn, dkk. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk


Perancanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta : EGC

Hadisaputro S, Setyawan. Epidemiologi dan Faktor-Faktor Resiko Terjadinya Diabetes


Melitus Tipe 2. In: Darmono, Suhartono T, Pemayun TGD, Padmomartono FS,
editors. Naskah lengkap Diabetes Melitus Ditinjau dari Berbagai Aspek Penyakit
Dalam. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro; 2007. p. 133-52.

Hendromartono: Nefropati Diabetik. In: Aru W Sudoyo, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid 3. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing; 2009. p. 1942.

Long, B C. (1996). Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses Keperawatan) Jilid
3. Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan

Parving,HH, Maver,M, Ritz,E : Diabetic Nephropathy. In: Benner, Barry M, editors. The
Kidney Volume 2. 8th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2008. p. 1277-79.

Price, Sylvia A dan Lorraine M Wilson. (2005). Patofisiologi Konsep Kllinis Proses-proses
Penyakit. Edisi 4. Jakarta : EGC

Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta :EGC

Suyono, Slamet. (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jilid I II. Jakarta.: Balai
Penerbit FKUI

Anda mungkin juga menyukai