Oleh :
ANIF LAILATUL FITRIYAH
NIM. 1800070300111040
Untuk memenuhi tugas Profesi Ners Departemen Medikal Ruang Hemodialisa RSSA
Malang
Oleh :
ANIF LAILATUL FITRIYAH
NIM. 1800070300111040
( ) ( )
1.1. Diabetes Melitus
1.2. Definisi
Diabetes mellitus adalah keadaan hiperglikemi kronik disertai berbagai kelainan
pada mata , ginjal, saraf dan pembuluh darah,disertai lesi pada membran basalis
diakibatkan pankreas tidak dapat memproduksi cukup insulin atau tubuh tidak dapat
menggunakan insulin yang diproduksi secara efektif. Insulin adalah hormon yang
Faktor genetik
Penderita DM tipe I mewarisi kecenderungan genetik kearahDM tipe I,
kecenderungan ini ditemukan pada individu yang memiliki tipe HLA (Human
Leucocyt Antigen) tertentu.Resiko meningkat 20x pada individu yang memiliki
tipe HLA DR3 atau DR4.
Faktor Imunologi
Respon abnormal dimana anti bodi terarah pada jaringan normal tubuh
dengan cara bereaksi jaringan tersebut sebagai jaringan asing.
Faktor lingkungan
Virus / toksin tertentu dapat memacu proses yang dapat menimbulkan
destruksi sel beta.
b) DM tipeII / NIDDM
Mekanisme yang tepat menyebabkan resistensi insulin dan sekresi insulinpada
DM tipe 11 masin belumdiketahui. Faktor resiko yang berhubungan adalah
obesitas, riwayat keluarga, Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada
usia >65 tahun.
c) Diabetes gestasional
Diabetes gestasional adalah diabetes yang menyerang pada kondisi
kehamilan.Diabetes gestasional menyebabkan pankreas tidak dapat
menghasilkan insulin yang cukup untuk mengontrol gula darah pada tingkat yang
aman bagi si Ibu dan janin. Diabetes gestasional didiagnosis pada 24 sampai 28
minggu usia kehamilan dengan kondisi janin telah membentuk organ tubuh.
1.4. Klasifikasi
Penyakit diabetes terdiri dari tiga tipe utama, yaitu diabetes tipe 1diabetes
tipe 2, dan diabetes gestasional.Tipe diabetes yang disebut terakhir bersifat
incidental, berhubungan dengan kondisi kehamilan seseorang.
a) Diabetes tipe 1
Diabetes tipe 1 sering disebut dengan insulin dependent diabetes atau
diabetes bergantung dengan insulin merupakan diabetes yang sering menyerang
pada anak-anak, diabetes tipe 1 juga ditemukan pada semua umur terutama
pada dewasa muda.
Diabetes tipe 1 adalah penyakit diabetes yang terjadi karena adanya
gangguan pada pankreas, menyebabkan pankreas tidak mampu memproduksi
insulin dengan optimal. Pankreas berperan penting dalam keseimbangan kadar
gula darah, namun pada diabetes tipe 1 pankreas memproduksi insulin dengan
kadar yang sedikit sehingga tidak mencukupi kebutuhan untuk mengatur kadar
gula darah dengan tepat (Helmawati, 2014).
b) Diabetes tipe 2
Diabetes tipe 2 disebut juga sebagai noninsulin dependent diabetes atau
diabetes yang tidak beragantung pada insulin.Perbedaan diabetes tipe 1 dengan
diabetes tipe 2. Pada diabetes tipe 1 penderita memiliki ketergantungan pada
injeksi insulin, hal ini dikarenakan organ pankreas penderita tidak mampu
memproduksi insulin dengan jumlah yang cukup bahkan tidak memproduksi
insulin sama sekali.
c) Diabetes gestasional
Diabetes gestasional adalah diabetes yang menyerang pada kondisi
kehamilan.Diabetes gestasional menyebabkan pankreas tidak dapat
menghasilkan insulin yang cukup untuk mengontrol gula darah pada tingkat yang
aman bagi si Ibu dan janin. Diabetes gestasional didiagnosis pada 24 sampai 28
minggu usia kehamilan dengan kondisi janin telah membentuk organ tubuh.
Karena kondisi tersebut pada dasarnya diabetes gestasional tidak sampai
menyebabkan cacat pada janin, namun diabetes gestasional yang tidak
terkontrol sangat berisiko pada bayi (Helmawati, 2014).
1.8. Penatalaksanaan
PenatalaksanaanDM dimulai denganpolahidup sehat, dan bila perlu dilakukan
intervensi farmakologisdenganobatantihiperglikemiasecaraoral dan/atausuntikan.
a. Edukasi
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan sebagai
bagian dari upaya pencegahan dan merupakan bagianyang sangat penting dari
pengelolaan DM secara holistik.
b. Terapi Nutrisi Medis (TNM)
Penyandang DMperlu diberikan penekanan mengenai pentingnya keteraturan
jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang
menggunakan obat penurun glukosadarah atau insulin.
c. Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-5 hari
seminggu selama sekitar30-45 menit,dengan total150 menit perminggu, dengan
jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut. Latihan jasmani yang
dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobic dengan intensitas
sedang (50-70% denyut jantung maksimal)seperti jalan cepat, bersepeda santai,
jogging, dan berenang.Denyut jantung maksimal dihitung dengan cara = 220-
usia pasien.
d. Intervensi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan
jasmani (gayahidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk
suntikan.
Obat antihiperglikemia Oral
Berdasarkan cara kerjanya, obat anti hiperglikemia oral dibagi menjadi 5
golongan:
1) Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue): Sulfonilurea dan Glinid.
1.9. Komplikasi
Menurut Helmawati (2014), komplikasi diabetes di bedakan menjadi dua yaitu:
1. Komplikasi jangka pendek (akut ):
a. Ketoasidosis diabetic
b. Hipoglikemia
c. Sindrom hiperosmolar diabetik
2. Komplikasi jangka panjang (kronik)
a. Penyakit jantung koroner
b. Gangguan mata (retinopati diabetik)
c. Gangguan ginjal (nefropati diabeteik )
d. Gangguan saraf (neuropati diabetik )
e. Diabetes dan infeksi
f. Kaki diabetik
3. Hemodialisa
3.1. Definisi
Menurut Price dan Wilson (2005) dialisa adalah suatu proses dimana solute
dan air mengalami difusi secara pasif melalui suatu membran berpori dari
kompartemen cair menuju kompartemen lainnya. Hemodialisa dan dialisa peritoneal
merupakan dua tehnik utama yang digunakan dalam dialisa. Prinsip dasar kedua
teknik tersebut sama yaitu difusi solute dan air dari plasma ke larutan dialisa
sebagai respon terhadap perbedaan konsentrasi atau tekanan tertentu.
Sedangkan menurut Tisher dan Wilcox (1997) hemodialisa didefinisikan
sebagai pergerakan larutan dan air dari darah pasien melewati membran
semipermeabel (dializer) ke dalam dialisat. Dializer juga dapat dipergunakan untuk
memindahkan sebagian besar volume cairan. Pemindahan ini dilakukan melalui
ultrafiltrasi dimana tekanan hidrostatik menyebabkan aliran yang besar dari air
plasma (dengan perbandingan sedikit larutan) melalui membran. Dengan
memperbesar jalan masuk pada vaskuler, antikoagulansi dan produksi dializer yang
dapat dipercaya dan efisien, hemodialisa telah menjadi metode yang dominan
dalam pengobatan gagal ginjal akut dan kronik di Amerika Serikat (Tisher & Wilcox,
1997).
Hemodialisa memerlukan sebuah mesin dialisa dan sebuah filter khusus yang
dinamakan dializer (suatu membran semipermeabel) yang digunakan untuk
membersihkan darah, darah dikeluarkan dari tubuh penderita dan beredar dalam
sebuah mesin diluar tubuh. Hemodialisa memerlukan jalan masuk ke aliran darah,
maka dibuat suatu hubungan buatan antara arteri dan vena (fistula arteriovenosa)
melalui pembedahan (NKF, 2006).
3.2. Tujuan
Menurut Havens dan Terra (2005) tujuan dari pengobatan hemodialisa:
a. Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang sisa-sisa
metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme
yang lain.
b. Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang
seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat.
c. Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal.
d. Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang lain.
3.3. Indikasi
Price dan Wilson (2005) menerangkan bahwa tidak ada petunjuk yang jelas
berdasarkan kadar kreatinin darah untuk menentukan kapan pengobatan harus
dimulai. Kebanyakan ahli ginjal mengambil keputusan berdasarkan kesehatan
penderita yang terus diikuti dengan cermat sebagai penderita rawat jalan.
Pengobatan biasanya dimulai apabila penderita sudah tidak sanggup lagi bekerja
purna waktu, menderita neuropati perifer atau memperlihatkan gejala klinis lainnya.
Pengobatan biasanya juga dapat dimulai jika kadar kreatinin serum diatas 6 mg/100
ml pada pria , 4 mg/100 ml pada wanita dan glomeluro filtration rate (GFR) kurang
dari 4 ml/menit. Penderita tidak boleh dibiarkan terus menerus berbaring ditempat
tidur atau sakit berat sampai kegiatan sehari-hari tidak dilakukan lagi.
Penyakit dalam (medikal): Arf- pre renal/renal/post renal, apabila pengobatan
konvensional gagal mempertahankan rft normal. Crf, ketika pengobatan
konvensional tidak cukup, Indikator biokimiawi yang memerlukan tindakan
hemodialisa:
o Peningkatan bun > 20-30 mg%/hari,
o Serum kreatinin > 2 mg%/hari,
o Hiperkalemia,
o Overload cairan yang parah,
o Odem pulmo akut yang tidak berespon dengan terapi medis
o Pada crf: Bun > 200 mg%, Creatinin > 8 mg%,
o Hiperkalemia,
o Asidosis metabolik yang parah.
3.4. Kontraindikasi
Menurut Thiser dan Wilcox (1997) kontra indikasi dari hemodialisa adalah
hipotensi yang tidak responsif terhadap presor, penyakit stadium terminal, dan
sindrom otak organik. Sedangkan menurut PERNEFRI (2003) kontra indikasi dari
hemodialisa adalah tidak mungkin didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa,
akses vaskuler sulit, instabilitas hemodinamik dan koagulasi. Kontra indikasi
hemodialisa yang lain diantaranya adalah penyakit alzheimer, demensia multi infark,
sindrom hepatorenal, sirosis hati lanjut dengan ensefalopati dan keganasan lanjut
(PERNEFRI, 2003).
3.5. Proses
Suatu mesin hemodialisa yang digunakan untuk tindakan hemodialisa
berfungsi mempersiapkan cairan dialisa (dialisat), mengalirkan dialisat dan aliran
darah melewati suatu membran semipermeabel, dan memantau fungsinya termasuk
dialisat dan sirkuit darah korporeal. Pemberian heparin melengkapi antikoagulasi
sistemik. Darah dan dialisat dialirkan pada sisi yang berlawanan untuk memperoleh
efisiensi maksimal dari pemindahan larutan. Komposisi dialisat, karakteristik dan
ukuran membran dalam alat dialisa, dan kecepatan aliran darah dan larutan
mempengaruhi pemindahan larutan (Tisher & Wilcox, 1997).
Dalam proses hemodialisa diperlukan suatu mesin hemodialisa dan suatu
saringan sebagai ginjal tiruan yang disebut dializer, yang digunakan untuk
menyaring dan membersihkan darah dari ureum, kreatinin dan zat-zat sisa
metabolisme yang tidak diperlukan oleh tubuh. Untuk melaksanakan hemodialisa
diperlukan akses vaskuler sebagai tempat suplai dari darah yang akan masuk ke
dalam mesin hemodialisa (NKF, 2006).
Suatu mesin ginjal buatan atau hemodializer terdiri dari membran
semipermeabel yang terdiri dari dua bagian, bagian untuk darah dan bagian lain
untuk dialisat. Darah mengalir dari arah yang berlawanan dengan arah darah
ataupun dalam arah yang sama dengan arah aliran darah. Dializer merupakan
sebuah hollow fiber atau capillary dializer yang terdiri dari ribuan serabut kapiler
halus yang tersusun pararel. Darah mengalir melalui bagian tengah tabung-tabung
kecil ini, dan cairan dialisat membasahi bagian luarnya. Dializer ini sangat kecil dan
kompak karena memiliki permukaan yang luas akibat adanya banyak tabung kapiler
(Price & Wilson, 1995).
Menurut Corwin (2000) hemodialisa adalah dialisa yang dilakukan di luar
tubuh. Selama hemodialisa darah dikeluarkan dari tubuh melalui sebuah kateter
masuk ke dalam sebuah mesin yang dihubungkan dengan sebuah membran
semipermeabel (dializer) yang terdiri dari dua ruangan. Satu ruangan dialirkan darah
dan ruangan yang lain dialirkan dialisat, sehingga keduanya terjadi difusi. Setelah
darah selesai dilakukan pembersihan oleh dializer darah dikembalikan ke dalam
tubuh melalui arterio venosa shunt (AV-shunt).
Selanjutnya Price dan Wilson (1995) juga menyebutkan bahwa suatu sistem
dialisa terdiri dari dua sirkuit, satu untuk darah dan satu lagi untuk cairan dialisa.
Darah mengalir dari pasien melalui tabung plastik (jalur arteri/blood line), melalui
dializer hollow fiber dan kembali ke pasien melalui jalur vena. Cairan dialisa
membentuk saluran kedua. Air kran difiltrasi dan dihangatkan sampai sesuai dengan
suhu tubuh, kemudian dicampur dengan konsentrat dengan perantaraan pompa
pengatur, sehingga terbentuk dialisat atau bak cairan dialisa. Dialisat kemudian
dimasukan ke dalam dializer, dimana cairan akan mengalir di luar serabut berongga
sebelum keluar melalui drainase. Keseimbangan antara darah dan dialisat terjadi
sepanjang membran semipermeabel dari hemodializer melalui proses difusi,
osmosis, dan ultrafiltrasi.
Ultrafiltrasi terutama dicapai dengan membuat perbedaan tekanan hidrostatik
antara darah dengan dialisat. Perbedaaan tekanan hidrostatik dapat dicapai dengan
meningkatkan tekanan positif di dalam kompartemen darah dializer yaitu dengan
meningkatkan resistensi terhadap aliran vena, atau dengan menimbulkan efek
vakum dalam ruang dialisat dengan memainkan pengatur tekanan negatif.
Perbedaaan tekanan hidrostatik diantara membran dialisa juga meningkatkan
kecepatan difusi solut. Sirkuit darah pada sistem dialisa dilengkapi dengan larutan
garam atau NaCl 0,9 %, sebelum dihubungkan dengan sirkulasi penderita. Tekanan
darah pasien mungkin cukup untuk mengalirkan darah melalui sirkuit
ekstrakorporeal (di luar tubuh), atau mungkin juga memerlukan pompa darah untuk
membantu aliran dengan quick blood (QB) (sekitar 200 sampai 400 ml/menit)
merupakan aliran kecepatan yang baik. Heparin secara terus-menerus dimasukkan
pada jalur arteri melalui infus lambat untuk mencegah pembekuan darah.
Perangkap bekuan darah atau gelembung udara dalam jalur vena akan
menghalangi udara atau bekuan darah kembali ke dalam aliran darah pasien. Untuk
menjamin keamanan pasien, maka hemodializer modern dilengkapi dengan
monitor-monitor yang memiliki alarm untuk berbagai parameter (Price & Wilson,
1995).
Menurut PERNEFRI (2003) waktu atau lamanya hemodialisa disesuaikan
dengan kebutuhan individu. Tiap hemodialisa dilakukan 4 – 5 jam dengan frekuensi
2 kali seminggu. Hemodialisa idealnya dilakukan 10 – 15 jam/minggu dengan QB
200–300 mL/menit. Sedangkan menurut Corwin (2000) hemodialisa memerlukan
waktu 3 – 5 jam dan dilakukan 3 kali seminggu. Pada akhir interval 2 – 3 hari
diantara hemodialisa, keseimbangan garam, air, dan pH sudah tidak normal lagi.
Hemodialisa ikut berperan menyebabkan anemia karena sebagian sel darah merah
rusak dalam proses hemodialisa.
3.6. Komplikasi
Menurut Tisher dan Wilcox (1997) serta Havens dan Terra (2005) selama tindakan
hemodialisa sering sekali ditemukan komplikasi yang terjadi, antara lain:
Kram otot
Kram otot pada umumnya terjadi pada separuh waktu berjalannya hemodialisa
sampai mendekati waktu berakhirnya hemodialisa. Kram otot seringkali terjadi
pada ultrafiltrasi (penarikan cairan) yang cepat dengan volume yang tinggi.
Hipotensi
Terjadinya hipotensi dimungkinkan karena pemakaian dialisat asetat, rendahnya
dialisat natrium, penyakit jantung aterosklerotik, neuropati otonomik, dan
kelebihan tambahan berat cairan.
Aritmia
Hipoksia, hipotensi, penghentian obat antiaritmia selama dialisa, penurunan
kalsium, magnesium, kalium, dan bikarbonat serum yang cepat berpengaruh
terhadap aritmia pada pasien hemodialisa.
Sindrom ketidakseimbangan dialisa
Sindrom ketidakseimbangan dialisa dipercaya secara primer dapat diakibatkan
dari osmol-osmol lain dari otak dan bersihan urea yang kurang cepat
dibandingkan dari darah, yang mengakibatkan suatu gradien osmotik diantara
kompartemen-kompartemen ini. Gradien osmotik ini menyebabkan perpindahan
air ke dalam otak yang menyebabkan oedem serebri. Sindrom ini tidak lazim
dan biasanya terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisa pertama dengan
azotemia berat.
Hipoksemia
Hipoksemia selama hemodialisa merupakan hal penting yang perlu dimonitor
pada pasien yang mengalami gangguan fungsi kardiopulmonar.
Perdarahan
Uremia menyebabkan ganguan fungsi trombosit. Fungsi trombosit dapat dinilai
dengan mengukur waktu perdarahan. Penggunaan heparin selama hemodialisa
juga merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan.
Ganguan pencernaan
Gangguan pencernaan yang sering terjadi adalah mual dan muntah yang
disebabkan karena hipoglikemia. Gangguan pencernaan sering disertai dengan
sakit kepala.
Infeksi atau peradangan bisa terjadi pada akses vaskuler.
Pembekuan darah bisa disebabkan karena dosis pemberian heparin yang tidak
adekuat ataupun kecepatan putaran darah yang lambat.
No Indikator 1 2 3 4 5
1 Tekanan darah
2 Berat badan
3 Edema
4 Pusing
Keterangan :
1 : severe / gangguan parah
2 : moderate / gangguan berat
3 : subtantial / gangguan sedang
4 : mild / gangguan ringan
5 : no deviation / tidak ada gangguan
o NIC : Fluid Management
kaji intake dan output cairan,
timbang berat badan secara rutin
Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang pembatasan cairan
monitor hasil lab terkait retensi cairan
Kaji lokasi dan berat edema
Kolaborasi tindakan dialisis
monitor BB pasien setelah dialisis
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai O2 dan
kebutuhan
o Tujuan
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x4 jam, diharapkan
klien dapat melakukan ADL dengan bantuan minimal
o Kriteria Hasil
Didapatkan skor NOC sesuai target
o NOC : Activity Tolerance
No Indikator 1 2 3 4 5
1 Jarak berjalan
kelelahan
2 kemampuan
beraktivitas sehari hari
3 nyeri otot
Keterangan :
1 : severe / gangguan parah
2 : moderate / gangguan berat
3 : subtantial / gangguan sedang
4 : mild / gangguan ringan
5 : no deviation / tidak ada gangguan
o NIC : Activity Therapy
kaji kemampuan pasien untuk beraktivitas sehari hari
dampingi pasien saat beraktivitas
dampingi pasien atau keluarga untuk mengidentifikasi defisit
aktivitas
berikan reinforcement saat klien biasa beraktivitas mandiri
monitor status emosional, sosial dan spiritual sebagai respon
aktivitas
kaji dampak nyeri terhadap aktivitas
ajarkan manajemen nyeri misal teknik distraksi, relaksasi
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membrane kapiler
alveolus dan edema paru.
o Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan pertukaran gas kembali
normal
o Kriteria Hasil
Didapatkan skor NOC sesuai target
o NOC : Respiratory Status : Gas Exchange
NO Indikator 1 2 3 4 5
1. PaO2
2. PaCO2
3. pH arteri
4. SaO2
5. Sesak saat istirahat
6. Sesak saat aktivitas ringan
Keterangan :
1. Gangguan parah/severe deviation
2. Gangguan berat/subtantial deviation
3. Gangguan sedang/moderate deviation
4. Gangguan ringan/mild deviation
5. Tidak ada gangguan/no deviation
o NIC : Respiratoty Monitoring
Kaji kedalaman, irama nafas
Monitor status oksigenasi, misalnya SpO2, PaO2, PaCO2, dll
Auskultasi bunyi nafas, catat crakles, mengi.
Anjurkan pasien untuk batuk efektif
Pertahankan duduk/ posisi semi fowler selama fase akut
Auskultasi bunyi nafas, catat penurunan dan atau bunyi tambahan.
4. Nyeri akut b.d agen cedera fisik (insersi akses vaskular)
o Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan nyeri dapat terkontrol
o Kriteria Hasil
Didapatkan skor NOC sesuai target
o NOC : Pain Level
NO Indikator 1 2 3 4 5
1. Melaporkan nyeri
2. Lama nyeri
3. Ekspresi wajah saat nyeri
4. Menangis
5. RR
6. TD
Keterangan :
1. Gangguan parah/severe deviation
2. Gangguan berat/subtantial deviation
3. Gangguan sedang/moderate deviation
4. Gangguan ringan/mild deviation
5. Tidak ada gangguan/no deviation
o NIC : Pain Management
Monitor dan kaji karakteristik dan lokasi nyeri.
Monitor tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, respirasi, kesadaran).
Anjurkan pada pasien agar segera melaporkan bila terjadi nyeri dada.
Ciptakan suasana lingkungan yang tenang dan nyaman.
Ajarkan dan anjurkan pada pasien untuk melakukan tehnik relaksasi.
Kolaborasi dalam:
Pemberian oksigen.
Obat-obatan (beta blocker, anti angina, analgesic)
5. Resiko infeksi berhubungan dengan area insersi AV Shunt
o Tujuan
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x4 jam, resiko infeksi
dapat diminimalkan
o Kriteria Hasil
Didapatkan skor NOC sesuai target
o NOC : Infection Severity
No Indikator 1 2 3 4 5
1 Warna kulit sekitar
insersi
3 Rembesan drainase di
sekitar insersi
4.
Pergeseran kanula
Keterangan :
1 : severe / gangguan parah
2 : moderate / gangguan berat
3 : subtantial / gangguan sedang
4 : mild / gangguan ringan
5 : no deviation / tidak ada gangguan
o NIC : Infection Control
i. monitor TTV
ii. hindari mengukur TD di lengan yang terdapat fistula
iii. pakai teknik aseptik saat prosedur dialisa
iv. ajarkan klien dan keluarga tanda gejala yang membutuhkan
penanganan medis
v. kaji daerah sekitar insersi
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta : EGC
Darmono. Pola Hidup Sehat Penderita Diabetes Melitus. In: Darmono, Suhartono T,
Pemayun TGD, Padmomartono FS, editors. Naskah lengkap Diabetes Melitus
Ditinjau dari Berbagai Aspek Penyakit Dalam. Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro; 2007. p. 15-28.
Hendromartono: Nefropati Diabetik. In: Aru W Sudoyo, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid 3. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing; 2009. p. 1942.
Long, B C. (1996). Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses Keperawatan) Jilid
3. Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan
Parving,HH, Maver,M, Ritz,E : Diabetic Nephropathy. In: Benner, Barry M, editors. The
Kidney Volume 2. 8th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2008. p. 1277-79.
Price, Sylvia A dan Lorraine M Wilson. (2005). Patofisiologi Konsep Kllinis Proses-proses
Penyakit. Edisi 4. Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta :EGC
Suyono, Slamet. (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jilid I II. Jakarta.: Balai
Penerbit FKUI