Chapter II PDF
Chapter II PDF
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2. Etiologi
Hingga saat ini penyebab hiperemesis gravidarum belum diketahui secara pasti dan
multifaktorial. Walaupun beberapa mekanisme yang diajukan bisa memberikan penjelasan
yang layak, namun bukti yang mendukung untuk setiap penyebab hiperemesis gravidarum
masih belum jelas. Beberapa teori telah diajukan untuk menjelaskan penyebab hiperemesis
gravidarum. Teori yang dikemukakan untuk menjelaskan patogenesis hiperemesis
gravidarum, yaitu faktor endokrin dan faktor non endokrin. Yang terkait dengan faktor
endokrin antara lain Human Chorionic Gonodotrophin, estrogen, progesteron, Thyroid
Stimulating Hormone, Adrenocorticotropine Hormone, human Growth Hormone, prolactin
dan leptin. Sedangkan yang terkait dengan faktor non endokrin antara lain immunologi,
disfungsi gastrointestinal, infeksi Helicobacter pylori, kelainan enzym metabolik,
defisiensi nutrisi, anatomi dan psikologis. (2)
Thyroid Immunological
stimulating Overactivated
Thyroid Gland hormone/ immune system
Thyroxine
H. pylori infection Infectious
Human
Chorionic Distension
Ovary/ Gonadotropin upper GI tract Gastro intestinal
Corpus Luteum tract
Trace element/
vitamin deficiency
Oestrogen/
Progesterone
Anatomical
Elevated metabolic
Placenta enzymes
Prolactin
Decreased LESP
Placental
Growth Corpus luteum
Hormone Motility changes
Leptin
Elevated levels of
sex Nervous system
steroids in hepatic
portal
system
Psychological causes
2.1.4. Komplikasi
Baik komplikasi yang relatif ringan maupun berat bisa disebabkan karena
hiperemesis gravidarum. Kehilangan berat badan, dehidrasi, acidosis akibat dari gizi buruk,
alkalosis akibat dari muntah-muntah, hipokalemia, kelemahan otot, kelainan
elektrokardiografi dan gangguan psikologis dapat terjadi. Komplikasi yang mengancam
nyawa meliputi ruptur esofagus yang disebabkan muntah-muntah berat, Wernicke's
encephalopathy (diplopia, nystagmus, disorientasi, kejang, coma), perdarahan retina,
kerusakan ginjal, pneumomediastinum spontan, IUGR dan kematian janin. Pasien dengan
hiperemesis gravidarum pernah dilaporkan mengalami epistaxis pada minggu ke-15
kehamilan karena intake vitamin K yang tidak adekuat yang disebabkan emesis berat dan
ketidakmampuannya mentoleransi makanan padat dan cairan. Dengan penggantian vitamin
K, parameter-parameter koagulasi kembali normal dan penyakit sembuh. Vasospasme
arteri cerebral yang terkait dengan hiperemesis gravidarum juga ada dilaporkan pada
beberapa pasien. Vasospasme didiagnosa dengan angiografi Magnetic Resonance Imaging
(MRI). (2,5)
Tetapi bila semua bentuk pengobatan gagal dan kondisi ibu menjadi mengancam
nyawa, pengakhiran kehamilan merupakan pilihan. Verberg melaporkan pilihan
2.2.1. Sejarah
H. pylori adalah bakteri spiral yang dikultur dari mukosa lambung manusia oleh
Marshall dan Warren dari Perth Australia pada tahun 1983. Sejak diperkenalkan kepada
komunitas ilmiah pada tahun 1989 oleh Marshall dan Warren, H. pylori menjadi fokus
penelitian klinik dan perdebatan biokimia. Berkat penemuannya ini Marshall dan Warren
menerima nobel Fisiologi dan Medicine pada tahun 2005 untuk penemuan terbaru. Sejak
saat itu banyak peneliti yang kemudian menaruh perhatian besar pada kuman ini, terutama
terhadap peranannya untuk menimbulkan inflamasi pada saluran cerna bagian atas,
penyakit ulkus peptikum dan kemungkinan peranannya dalam perkembangan gastritis
kronik ke arah karsinoma lambung. Semua individu yang terkena infeksi kuman ini akan
mengalami peradangan lambung yang kronik dan menetap/ persistent, namun pada
sebagian besar kasus tampaknya tidak menimbulkan morbiditas maupun mortalitas yang
berarti. (9,12)
Gastritis
Begitu terinfeksi dengan H. pylori, sebagian besar orang tetap asimptomatik.
Sebagian orang yang terinfeksi bahkan bisa membersihkan infeksi dengan laju seroreversi,
umumnya dilaporkan berada dalam rentang 5 %-10 %, tidak diketahui apakah seroreversi
ini spontan atau akibat dari pembasmian organisme dengan obat antibiotik yang digunakan
untuk mengobati kondisi lain. Akan tetapi, masa perjalanan penyakit yang umum pada
pasien yang terinfeksi dimulai dengan gastritis superfisial kronis, yang akhirnya
berkembang menjadi gastritis atrofik. Perkembangan ini ternyata merupakan kejadian
kunci dalam rangkaian seluler yang menyebabkan perkembangan karsinoma lambung. (9)
Dyspepsia Nonulcer
Dyspepsia nonulcer terdiri dari gejala-gejala yang bervariasi, yang meliputi gejala-
gejala dismotilitas, ulkus dan reflux. Banyak penyebab yang mungkin diajukan untuk
dyspepsia nonulcer, yang meliputi faktor gaya hidup, stres, perubahan sensasi visceral,
peningkatan sensitivitas serotonin, perubahan sekresi asam lambung dan pengosongan
lambung serta infeksi H. pylori. Sebuah tinjauan baru-baru ini juga mengkaji peranan
gangguan psikososial misalnya depresi dan ansietas pada pasien penderita dyspepsia
nonulcer. Dalam studi yang mengkaitkan infeksi H. pylori dengan dyspepsia nonulcer,
bahwa pembasmian H. pylori menghasilkan perbaikan gejala-gejala dyspepsia nonulcer.
Akan tetapi pembasmian organisme tidak bisa dianggap merupakan standar perawatan
pada semua pasien penderita dyspepsia nonulcer, karena infeksi H. pylori hanyalah
merupakan bagian tunggal dari etiologi multifaktor dari penyakit ini. (9)
2.2.6. Penanganan
Terdapat beberapa kontroversi mengenai tipe pengobatan yang harus diberikan
pada wanita hamil dengan hiperemesis gravidarum. Terapi cairan dan elektrolit parenteral
pengganti, pemberian vitamin B 6, antiemetik dan tirah baring secara rutin digunakan pada
hiperemesis gravidarum dan biasanya tanpa perbaikan yang berarti. Hal ini tidak
mengherankan, karena obat-obat tersebut tidak ada yang mempengaruhi infeksi H. pylori.
H. pylori merupakan organisme yang hidup di dalam lingkungan yang tidak mudah
diakses banyak obat, selain itu karena resistensi bakteri yang muncul menimbulkan
tantangan tambahan. Lagipula, banyak aturan yang direkomendasikan sulit dilaksanakan
oleh pasien, yang menimbulkan masalah dengan kepatuhan, dengan harus mengkonsumsi
obat dalam jumlah besar setidaknya dua kali sehari dan efek yang tidak menyenangkan,
sehingga tidak banyak berpengaruh dalam mendorong kerjasama pasien. Meskipun
dengan kendala-kendala ini, aturan pengobatan saat ini bisa memperoleh tingkat
kesembuhan lebih dari 85 % pada sebagian besar populasi pasien. (9)
Antibiotik
Sekarang ini obat antibiotik digunakan untuk mengobati infeksi H. pylori dan
diberikan secara kombinasi dengan inhibitor pompa proton. Tanpa obat tunggal pernah
Terapi Tambahan
Pemberian cairan parenteral dan elektrolit yang sesuai merupakan regimen terapi
pada hiperemesis gravidarum. Diberikan larutan kristaloid intravena untuk memperbaiki
dehidrasi, ketonemia, defisit elektrolit, dan ketidakseimbangan asam-basa. Cairan
intravena diberikan hingga muntah dapat dikontrol. (5)
Terapi tambahan lainnya meliputi antagonis reseptor histamin dan ranitidine
bismuth citrat, yang memiliki sifat antisekresi dan tindakan antibakteri bismuth dengan
mengganggu dinding sel bakteri. Akan tetapi, ranitidine bismuth citrat tidak lagi ada
tersedia di Amerika Serikat. (9)
Berbagai antiemetik dan asupan vitamin bisa diberikan sebagai terapi tambahan.
Promethazine, prochlorperazine, chlorpromazine, meclizine, droperidol, diphenhydramine,
dan metoclopramide adalah obat yang umum digunakan secara rutin untuk meredakan
mual dan muntah. Rute intravena atau rektal bisa mula-mula digunakan dan diganti dengan
rute oral bila gejala-gejala mulai menghilang. Jika tidak ada ditemukan reaksi dalam
beberapa hari dan gejala-gejala tetap bertahan bahkan pada tingkat yang lebih berat,
seperti gastroenteritis, cholecystitis, pankreatitis, hepatitis, ulcus peptik, dan pyelonephritis
haruslah dimasukkan dalam diagnosis banding dan pasien harus dinilai ulang. Dukungan
psikologis dari tim medis dan keluarga pasien dapat menambah pada penanganan pasien.
Pasien harus menghindari bau-bau yang merangsang dan makanan yang tidak diinginkan
karena keduanya bisa memicu muntah. Setelah pulang dari rumah sakit kekambuhan pada
sebagian pasien dapat terjadi dan perawatan inap ulang mungkin diperlukan. Selain obat
antiemetik, pyridoxine tampaknya lebih efektif dalam mengurangi keparahan mual. (5)
Risiko relatif untuk terjadinya kelainan kongenital mayor pada anak dari pasien
yang terpapar pada antihistamin pada trimester pertama diteliti dengan menilai 24 studi
terkontrol yang melibatkan lebih dari 200.000 wanita. Tidak ada ditemukan peningkatan
risiko teratogenik, dan antihistamin terbukti aman bila diresepkan selama kehamilan. (5)
Tabel 2.3. : Terapi Tambahan Vitamin, Antiemetik, Antihistamin dan Kortikosteroid. (5)
2.3.1. Histologi
Evaluasi histologi merupakan metode standar emas untuk memastikan adanya
kuman H. pylori pada lambung. Untuk evaluasi ini diperlukan tindakan biopsi untuk
pemeriksaan histopatologi. Dengan sensitivitas 98 % dan spesifitas 95 % namun tidak
dapat dilakukan pada wanita hamil. Diangosis dengan metode endoskopi untuk evaluasi
histologi hanya boleh digunakan jika prosedur ini diperlukan untuk mendeteksi kondisi
lainnya selain infeksi H. pylori. Metode endoskopi dengan pengambilan sampel jaringan
pada pasien dengan riwayat penyakit ulcus peptik bisa memberikan diagnosis yang lebih
2.3.2. Kultur
Karena H. pylori sulit tumbuh pada medium kultur, peranan kultur dalam diagnosis
infeksi sebagian besar terbatas pada penelitian dan pertimbangan epidemiologi.
Pemeriksaan kultur mahal, memakan waktu yang lama dan intensif, namun kultur tetap
memegang peranan dalam studi kerentanan terhadap antibiotik dan studi tentang faktor-
faktor pertumbuhan dan metabolisme. Di Amerika Serikat, kultur tidak dianggap cara
diagnosis lini pertama yang rutin. (9,19)
Prinsip test
Prinsip test ini didasarkan pada teknik ELISA. Test ini untuk menentukan kadar
semi kuantitatif IgG H. pylori di dalam serum atau plasma manusia. Dengan teknik ini
sumur-sumur mikro dilapisi dengan antigen H. pylori spesifik. Kemudian sampel serum
dibiarkan bereaksi dengan antigen. Jika antibodi spesifik ada di dalam serum, antibodi
tersebut akan mengalami pengikatan pada antigen H. pylori. Setelah inkubasi pada suhu
kamar, sumur-sumur dicuci dengan larutan buffer phosphate 0,05 % dengan pH = 6 untuk
menghilangkan antibodi yang tidak terikat. Setelah pencucian sumur, IgG anti-H. pylori
Infeksi kronis H. pylori dinyatakan sebagai salah satu faktor penyebab hiperemesis
gravidarum, walaupun bukan merupakan penyebab tunggal hiperemesis gravidarum. Pada
tahun 1998 Frigo di Austria pertama sekali menghubungkan antara hiperemesis
gravidarum dengan H. pylori seropositif, dilaporkan infeksi H. pylori pada 90,5 % pasien
hiperemesis gravidarum dan 46,5 % pada kontrol. Menurutnya, infeksi H. pylori dapat
menyebabkan hiperemesis gravidarum. Hubungan ini didukung oleh berbagai penelitian
lain. Kocak di Turkey tahun 1999 menyatakan adanya hubungan antara infeksi H. pylori
dengan hiperemesis gravidarum. Penelitian ini menggunakan tes antibodi serum H. pylori
spesifik untuk menilai hubungan infeksi H. pylori dengan hiperemesis gravidarum. Kocak
melakukan penelitian terhadap 95 pasien hiperemesis gravidarum dan 116 kontrol.
H. pylori ditemukan pada 91,5 % pasien hiperemesis gravidarum dibandingkan dengan
44,8 % pada kontrol. Erden di Turkey tahun 2002 melakukan penelitian pada wanita hamil
dengan hiperemesis gravidarum. Serologi positif untuk infeksi H. pylori ditemukan pada
85,1 % pasien hiperemesis gravidarum dan 64,1 % pada kontrol. Hayakawa di Jepang
tahun 2000 memeriksa genome H. pylori pada saliva. Dari penelitian tersebut disimpulkan
bahwa infeksi kronis H. pylori merupakan salah satu faktor penting sebagai penyebab
hiperemesis gravidarum walaupun bukan merupakan penyebab tunggal penyakit tersebut.
Tahun 2002 Khayati di Iran menemukan banyak pasien hiperemesis gravidarum dengan
seropositif terhadap infeksi H. pylori, tetapi tidak menunjukkan korelasi antara H. pylori