Anda di halaman 1dari 29

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Susu merupakan bahan pangan yang mengandung zat nutrisi seperti air,

lemak, protein, karbohidrat, mineral dan vitamin. Berdasarkan susunan zat tersebut

menyebabkan susu termasuk salah satu media yang baik untuk tumbuhnya

mikroorganisme sehingga susu mudah rusak. Salah satu upaya untuk mengatasinya

dengan penganekaragaman pengolahan susu dengan teknologi tepat guna yang

efisien dan ekonomis, yaitu mengolah susu menjadi tahu susu (Saleh, 2004).

Tahu merupakan pangan olahan yang sangat digemari masyarakat

Indonesia dan menjadi konsumsi masyarakat luas, baik sebagai lauk maupun

makanan ringan. Seiring perkembangan teknologi pangan, tahu diolah dengan

memanfaatkan bahan dasar susu sapi sehingga menghasilkan produk olahan tahu

susu. Menurut Winarno (2008) tahu susu yang dibuat dari susu segar mempunyai

kadar air 61,51% ; kadar abu 5,98%; kadar protein 46,25%; kadar lemak 35,07%.

Nilai gizi di atas menunjukkan bahwa tahu susu merupakan bahan makanan yang

bergizi untuk di konsumsi dibandingkan dengan tahu berbahan dasar kedelai yang

hanya mengandung 7,8% protein. Daya simpan tahu susu lebih lama dibandingkan

susu segar, hal ini disebabkan karena proses pembuatan tahu susu dilakukan

dengan penambahan koagulan yang mampu mencegah mikroba.

Pada proses pembuatan tahu susu tidak jauh berbeda dengan pembuatan

tahu menggunakan bahan baku kedelai, penggumpalan merupakan hal yang

penting. Proses pembuatan tahu susu memerlukan bahan penggumpal untuk

menggumpalkan protein yang masih tercampur didalam susu, dengan demikian

akan diperoleh bubur tahu yang dapat dicetak (Suprapti, 2005). Penggumpalan

1
protein susu dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya dengan pemberian

larutan kitosan.

Kitosan mempunyai kemampuan sebagai koagulan dan juga sebagai

pengawet alami (Chang et al., 2003). Proses produksi kitosan meliputi

demineralisasi, deproteinasi dan deaselitasi. Proses ini bertujuan untuk

menghilangkan mineral dan sisa-sisa protein yang terkandung dalam bahan baku.

Kitosan mempunyai rektifitas kimia yang tinggi, sifat inilah yang menyebabkan

kitosan mampu mengikat air dan minyak. Kemampuan tersebut membuat kitosan

dapat digunakan sebagai bahan pengental atau pembentuk gel yang sangat baik,

sebagai pengikat, penstabil dan pembentuk tekstur. Kitosan dapat berinteraksi

dengan bahan-bahan yang bermuatan seperti protein, polisakarida, anionik, asam

lemak, asam empedu dan fospolipid. Menurut Synowiecki dkk. (2003) kitosan

memiliki sifat afinitas (mengikat) yang luar biasa terhadap protein.

Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk melakukan

penelitian dengan judul “Pengaruh Pemberian Beberapa Level Larutan

Chitosan Sebagai Bahan Koagulan pada Proses Pembuatan Tahu Susu

Terhadap Kadar Protein, Kadar Lemak dan Uji Organoleptik”

1.2. Perumusan Masalah

1. Apakah pemberian beberapa level larutan chitosan berpengaruh pada kadar

protein, kadar lemak dan organoleptik tahu susu?

2. Pada level berapakah yang memberikan sifat terbaik diantara perlakuan?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

2
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian beberapa

level larutan chitosan yang digunakan sebagai bahan koagulan pada pembuatan

tahu terhadap kualitas tahu susu yang dimanifestasikan dalam kadar protein, kadar

lemak dan organoleptik. Manfaat penelitian ini adalah sebagai referensi bahwa

chitosan dapat dijadikan sebagai koagulan pada produk tahu susu.

1.4. Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian ini adalah beberapa level larutan chitosan memberikan

pengaruh yang nyata terhadap kadar protein, kadar lemak dan organoleptik tahu

susu.

II. TINJAUAN PUSTAKA

3
2.1 Susu

Susu adalah hasil sekresi dari kelenjar mamae atau kelenjar mamalia baik

binatang maupun manusia. Susu dapat dikonsumsi dalam bentuk susu segar

maupun dalam bentuk produk olahan. Binatang yang paling banyak diambil

susunya untuk dikonsumsi adalah sapi, kerbau, kambing, dan domba (Walstra,

Wouters and T. J. Geurts, 2006).

Tabel 1. Komposisi rata-rata susu (%) dari berbagai mamalia

Hewan Lemak Protein Laktosa Mineral Bahan Kering

Sapi 4.00 3.50 4.90 0.70 13.10


Kerbau 12.40 6.03 3.74 0.89 13.91
Domba 6.18 5.15 4.17 0.93 16.43
Kambing 4.09 3.71 4.20 0.78 12.68
Kuda 1.59 2.69 6.14 0.51 10.96
Manusia 3.70 1.63 6.98 0.21 12.57
Sumber: Aritonang (2010)

Kualitas fisik dan kimia susu sapi segar dipengaruhi oleh faktor bangsa sapi

perah, pakan, sistem pemberian pakan, frekuensi pemerahan, metode pemerahan,

perubahan musim dan periode laktasi (Lingathurai, Vellathurai, Vendan, and

Anand, 2009). Susu segar mempunyai sifat ampoter, artinya dapat bersifat asam

dan basa sekaligus. Jika diberi kertas lakmus biru, maka warnanya akan menjadi

merah, sebaliknya jika diberi kertas lakmus merah warnanya akan berubah

menjadi biru. Potensial ion hydrogen (pH) susu segar terletak antara 6.5 – 6.7. Jika

dititrasi dengan alkali dan katalisator penolptalin, total asam dalam susu diketahui

hanya 0.10 – 0.26 % saja. Sebagian besar asam yang ada dalam susu adalah asam

laktat (Saleh, 2004).

Klasifikasi susu segar didasarkan dengan jumlah bakteri dalam susu dibagi

menjadi tiga kelas. Susu kelas A berasal dari sapi yang sehat dan memenuhi

4
sanitasi yang telah ditentukan. Kandungan bakteri sebelum dipasteurisasi

kandungan bakteri tidak boleh lebih dari 300.000/ml, apabila sudah dipasteurisasi

kandungan bakterinya tidak boleh lebih dari 20.000/ml. Susu kelas B, sebelum

dipasteurisasi kandungan bakteri tidak boleh lebih dari 1.000.000/ml dan

kandungan bakteri setelah pasteurisasi tidak boleh lebih dari 50.000/ml. Susu kelas

C adalah susu yang tidak memenuhi syarat kelas B. Biasanya kelas ini disebabkan

oleh sanitasi yang kurang baik dan tidak memenuhi syarat (Soeparno, Rihastuti,

Indratiningsih, dan Triatmojo, 2011).

Proses pengolahan susu bertujuan untuk memperoleh susu yang beraneka

ragam, berkualitas tinggi, berkadar gizi tinggi, tahan simpan, mempermudah

pemasaran dan transportasi, sekaligus meningkatkan nilai tukar dan daya guna

bahan mentahnya. Proses pengolahan susu selalu berkembang sejalan dengan

berkembangnya ilmu di bidang teknologi pangan. Banyak jenis bahan makanan

yang dapat dibuat dari bahan baku susu. Antara lain jenis produk susu yang sudah

dikenal di kalangan masyarakat adalah es krim, susu bubuk, susu kental, mentega,

keju, tahu susu, yoghurt yang dihasilkan melalui proses homogenisasi, sterilisasi,

pasteurisasi dan fermentasi (Saleh, 2004).

2.1. Tahu Susu

Tahu adalah gumpalan protein kedelai yang diperoleh dari hasil

penyaringan kedelai yang telah digiling dengan penambahan air (Sarwono dan

Saragih, 2006). Menurut Dewanti (2000) tahu susu merupakan hasil olahan air

susu yang mempunyai bentuk dan warna mirip tahu kedelai namun teksturnya

(kekenyalan) lebih halus dan baunya lebih menyerupai bau keju. Tahu susu dapat

5
dibuat dari susu segar. Untuk pembuatan tahu susu diperlukan enzim proteolitik

untuk menggumpalkan susu. Pembuatan tahu susu pada prinsipnya adalah sama

dengan pembuatan tahu dari kacang kedelai bahkan lebih singkat waktu

pengolahannya (Astawan dalam Rokhayati, 2011). Prinsip pengolahannya yaitu

menggumpalkan protein dalam susu (kasein) yang bisa dilakukan dengan

menambahkan bahan yang memiliki sifat asam (Meilisa, et al., 2014).

Penggumpalan protein tersebut dapat dilakukan dengan cara pemanasan dan

pemberian bahan penggumpal berupa enzim proteolitik ataupun bahan kimia

tertentu (Dewanti, 2000).

Tahu bersifat mudah rusak. Pada kondisi normal (suhu kamar) daya

tahannya rata-rata sekitar 1 – 2 hari saja. Setelah lebih dari batas tersebut rasanya

menjadi asam dan terjadi penyimpangan warna, aroma, dan tekstur sehingga tidak

layak untuk dikonsumsi. Hal ini disebabkan oleh kadar air dan protein tahu relatif

tinggi, masing-masing 61,51 persen dan 46,25 persen. Tahu mengandung lemak

35,07 persen dan abu 5,98 persen. Dengan komposisi nutrisi tersebut, tahu

merupakan media yang cocok untuk pertumbuhan mikroorganisme pembusuk,

terutama bakteri (Koswara 2011).

Faktor yang mempengaruhi suatu mutu tahu susu adalah pemberian

penggumpal. Penggumpal yang biasa digunakan adalah penggumpal kimia antara

lain kalsium / magnesium klorida; kalsium sulfat; glukano-D-laktone; dan

penggumpal asam (asam laktat, asam asetat) (Anggraini et al., 2013). Selain itu ada

beberapa faktor lain yang mempengaruhi mutu tahu yaitu adanya bakteri yang

tahan panas seperti golongan pembentuk spora dan bersifat termodurik, adanya

bakteri kontaminan yang mencemari tahu pada saat proses pembuatan tahu sampai

6
selesai, suhu penyimpanan dan adanya enzim tahan panas yang dihasilkan oleh

jenis mikroba tertentu yang dapat menghidrolisis lemak tahu (Mustafa, 2006).

Departemen perindustrian telah mengeluarkan standar mutu tahu

yaitu SNI Nomer. 01-3142-1998. Standar ini meliputi beberapa parameter yang

mempengaruhi mutu tahu, hal ini dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut:

Tabel 2. Syarat Mutu Tahu

No Jenis Uji Satuan Persyaratan


1. Keadaan :
a. Bau Normal
b. Rasa Normal
c. Warna Putih mormal atau kuning normal
d. Penampakan Normal tidak berlendir dan tidak berjamur
2. Abu % b/b Maksimal 1,0
3. Protein (N x 6,25) % b/b Minimal 9,0
4. Lemak % b/b Minimal 0,5
5. Serat kasar % b/b Maksimal 0,1
6. Bahan tambahan % b/b Sesuai SNI 01-0222-M dan peraturan
pangan Ment. Kes No.722/Ment.Kes/per/IX/1988
7. Cemaran arsen Mg/kg Maksimal 1,0
8. Cemaran mikroba
- E. Coli APM/g/ Maksimal 6
- Salmonella 25g Negatif/25 gram
Sumber : Departemen Perindustrian (1998)

2.2. Koagulasi (Penggumpalan)

Penggumpalan merupakan tahapan proses yang paling penting karena

adanya korelasi yang kompleks pada variabel sifat kimia (total padatan, pH,

volume) susu, tipe, jumlah dan konsentrasi penggumpal, metode penambahan dan

pencampuran serta suhu dan waktu penggumpalan. Bahan penggumpal merupakan

salah satu faktor yang berpengaruh terhadap rendemen dan kualitas tahu. Bahan

penggumpal susu pada pembuatan tahu terdapat beberapa tipe. Di Indonesia, tipe

penggumpal asam banyak digunakan oleh sentra industri tahu (Susanti, 1999).

7
Secara umum, ada tiga jenis koagulan yang dapat digunakan dalam

koagulasi protein pada tahu yaitu: garam (CaCl2, CaSO4, MgCl2), proteinase dan

asam (Asam Asetat, Glukano δ-lactone), (Fasoyiro, 2014). Beberapa penelitian

tentang penggunaan bahan-bahan alami sebagai koagulan pada produksi tahu telah

dilakukan dengan menggunakan 𝛾-polyglutamate (Lee and Kuo, 2011), lemon,

tamarind, garcinia, gooseberry, dan markisa (Rekha and Vijayalakhsmi, 2010),

ekstrak Rosella, ekstrak daun Calotropis procera dan fermentasi tepung jagung

(Fasoyiro, 2014), koagulan withania (Sarani et al., 2014), bubuk cangkang kerang

(Kim et al., 2007), jeruk nipis (Citrus aurantifolia) Sementara itu, chitosan

mempunyai kemampuan sebagai koagulan dan juga sebagai pengawet alami

(Chang et al., 2003).

2.3. Asam Cuka

Asam asetat memiliki nama lain yang dikenal sebagai asam cuka atau

asam etanoat. Asam asetat sendiri merupakan senyawa kimia asam organik yaitu

asam karboksilat yang sering digunakan dalam pemberi rasa dan aroma dalam

makanan. Rumus kimia dari asam asetat adalah CH3-COOH, CH3COOH atau

CH3CO2H. Bentuk murni asam atetat adalah asam asetat glacial yang memiliki

ciri-ciri tidak berwarna, mudah terbakar (titik beku 17°C dan titik didih 118°C),

mampu bercampur dengan air dan pelarut organik. Asam asetat glacial sangat

korosif terhadap jaringan lain suatu molekul asam asetat yang mengandung gugus

–OH dan akan membentuk ikatan hidrogen dengan air apabila dalam bentuk cair

dan banyak pelarut organik (Hewitt, 2003). Menurut Kohar (2004), asam asetat

8
tergolong asam lemah yang terionisasi di dalam air tetapi keasaman asam asetat

lebih tinggi daripada air.

Asam asetat merupakan pelarut protik hidrofilik (polar). Asam asetat ini

akan mudah bercampur dengan pelarut polar atau nonpolar seperti air, kloroform

dan heksana (Hart, 2003). Asam asetat mudah menguap di udara terbuka, mudah

terbakar dan mengakibatkan korosif pada logam. Apabila asam asetat akan

direaksikan dengan karbonat maka akan menghasilkan karbon dioksida.

Pembuatan asam asetat ini biasanya dengan fermentasi alkohol oleh bakteri

Acetobacter. Asam asetat memiliki rumus molekul CH3COOH dengan berat

molekul 60,05. Menurut Hart (2003), asam asetat tergolong dalam asam organik

yang dapat dibuat dengan berbagai cara, yaitu: oksidasi alkohol primer atau

aldehid, oksidasi rantai samping alkil pada cincin aromatik, dengan karbon

dioksida, dan hidrolisis alkil sianida (nitril).

Gambar 1. Struktur asam asetat

2.4. Kitosan

Kitosan sebagai polimer yang tersusun dari

2-amino-2-deoksi-β-D-glukosa dapat diperoleh dengan cara mengolah kitin.

Pengubahan molekul kitin menjadi kitosan diperoleh dengan cara mengubah gugus

asetamida (–NHCOCH) pada kitin menjadi gugus amina (–NH3) pada kitosan.

Proses penghilangan gugus asetil pada kitin untuk mengubah kitin menjadi kitosan

dapat dilakukan dengan menggunakan larutan basa pekat (Yoshida et al., 2009).

9
Ukuran yang menyatakan besarnya penghilangan gugus asetil pada gugus

asetamida dinyatakan dengan paremeter derajat deasetilasi (DD).

Gambar 2. Struktur molekul kitin dan kitosan


Untuk memperoleh kitosan dilakukan proses ekstraksi kitin yang kemudian

dilanjutkan dengan proses deasetilasi kitin (Suptijah, 2004). Proses deasetilasi

kitin ini bertujuan untuk menghilangkan gugus asetil. Proses deasetilasi dilakukan

dengan cara mencampur kitin dengan larutan natrium hidroksida dengan

konsentrasi 40 – 50% dengan perbandingan kitin dan pelarut yang digunakan

sebesar 1:10 (g/mL). Proses tersebut dilakukan selama 30 menit atau lebih. Hasil

kitosan yang didapatkan kemudian dinetralkan dengan cara mencuci dengan

menggunakan air sampai netral kemudian disaring dan dikeringkan menggunakan

oven pada suhu 60oC selama 24 jam untuk mendapatkan kitosan kering.

Karakteristik kitosan dapat dilihat dari derajat deasetilasi, viskositas, berat

molekul, maupun kelarutannya (Fernandez-Kim, 2004).

Tabel 3. Karateristik kitin dan kitosan

Proses Deproteinasi Demineralisasi Deasetilasi


Warna Kuning keruh Kuning keruh Berubah warna
kemerahan oranye (lebih dari kuning pucat
menjadi kuning muda) menjadi menjadi putih
keruh oranye kuning pucat kekuningan
(lebih muda). (semi (semi transparan)
transparan).

10
Zat yang Penambahan HCl 2 N NaOH 50 %
Ditamba NaOH 7% (NaOH (terbentuk (merusak zat
hkan tak berwarna gelembung gas warna).
menjadi coklat dan artinya ada CO2
terbentuk yang terbentuk)
endapan)
Pengurangan 42,65% (Tanda 62,18% 7,078%
Massa proses (menunjukkan (mengalami
penghilangan larutnya mineral deasetilasi)
protein dari kulit pada crude
udang) chitin)
Hasil akhir Crude Chitin Kitin Kitosan

Derajat - 37,25 % 79,32 %


Deasetilasi

Sumber : (Widarta,2004)

2.5. Kadar Protein

Protein merupakan satu kelompok bahan makronutrien, tidak seperti

bahan makronutrien lainnya (lemak dan karbohidrat), protein berperan lebih

penting dalam pembentukan biomolekul daripada sebagai sumber energi. Namun

demikian apabila organisme sedang kekurangan energi, maka protein dapat juga

dipakai sebagai sumber energi (Sudarmadji dalam Ina, Hasnelly dan Mega, 2006)

Analisis kadar protein terhadap produk sangatlah perlu dilakukan

mengingat faktor terpenting pada tahu susuadalah protein. Sehingga dengan

menganalisis kadar protein dapat diketahui perlakuan mana yang memberikan

11
kadar protein tertinggi. Perlakuan panas dapat memberikan pengaruh yang

merugikan terhadap protein. Pengaruh yang merugikan yaitu menurunnya

stabilisator protein, daya emulsifier, dan terjadi penurunan nilai gizi (Winarno,

2002).

2.6. Kadar Lemak

Lemak merupakan sumber energi yang lebih efektif dibanding dengan

karbohidrat dan protein. Satu minyak dan lemak dapat menghasilkan 9 kkal/gram,

sedangkan protein dan karbohidrat hanya menghasilkan 4 kkal/gram. Lemak dan

minyak terdapat hampir di semua bahan pangan dengan kandungan yang

berbeda-beda. Tetapi minyak dan lemak sering kali ditambahkan dengan sengaja

ke bahan makanan dengan berbagai tujuan. Lemak yang ditambahkan ke dalam

pangan atau dijadikan bahan pangan membutuhkan persyaratan dan sifat-sifat

tertentu (Budiyanto, 2005).

Lemak berbeda dengan karbohidrat dan protein karena tidak terdiri dari

polimer satuan-satuan molekuler. Setiap kandungan lemak mengandung kalori

2,25 kali dari jumlah kalori yang dihasilkan oleh protein atau karbohidrat. Lemak

selalu tercampur dengan komponen-komponen lain dalam makanan, misalnya

vitamin- vitamin yang larut dalam lemak yaitu A, D, E, K, sterol seperti zoo sterol

(dalam lemak hewan) dan fitosterol (dalam lemak sayuran), fosfolida yang

bersifat sebagai zat pengemulsi dengan protein, yaitu lipoprotein atau dengan

karbohidrat yaitu glikolipid (Hutagalung, 2009).

Proses oksidasi dapat berlangsung bila terjadi kontak antara sejumlah

oksigen dengan lemak atau minyak. Terjadinya reaksi oksidasi akan

mengakibatkan bau tengik pada lemak atau minyak. Oksidasi biasanya dimulai

12
dengan pembentukannya, tingkat selanjutnya ialah terurainya asam- asam lemak

bebas. Pengujian asam lemak bebas dalam tahu susu Produksi asam lemak bebas

disebabkan oleh enzim pada umumnya, yaitu berada dalam jaringan lemak yang

bersifat netral dan masih utuh (Ketaren, 2008).

2.7. Pengujian Organoleptik

Dalam dunia pangan, sifat mutu subjektif pangan disebut dengan

organoleptik atau inderawi. Hal tersebut karena penilaiannya menggunakan organ

manusia. Sebutan lainnya adalah sifat sensorik karena penilaiannya berdasarkan

pada rangsangan sensorik pada organ indera (Soekarto, 1985). Uji organoleptik

sering disebut juga dengan penilaian sensorik atau penilaian indera, yang

diartikan sebagai suatu cara penilaian yang memanfaatkan panca indera manusia

untuk mengamati tekstur, warna, bentuk, aroma dan rasa suatu produk makanan,

minuman ataupun obat. Pengujian ini penting untuk pengembangan produk yang

dihasilkan.

Menurut Rahayu (1998) indera yang berperan dalam uji organoleptik

adalah penglihatan, penciuman, pencicipan, peraba dan pendengaran dimana

untuk produk pangan pendengaran paling jarang digunakan. Untuk melaksanakan

suatu penilaian organoletik, diperlukan panel yang bertindak sebagai instrumen

atau alat. Orang yang menjadi anggota panel disebut panelis. Dalam penilaian

organoleptik dikenal tujuh jenis panel, yaitu panel terlatih, panel agak terlatih,

panel tidak terlatih, panel perorangan, panel terbatas, panel konsumen dan panel

anak-anak. Perbedaan ketujuh panel tersebut didasarkan pada keahlian dalam

melakukan penilaian organoleptik.

13
Dalam penelitian ini digunakan uji hedonik atau disebut juga dengan uji

kesukaan. Dalam uji hedonik, panelis diminta untuk memberikan tanggapan

pribadinya tentang suka atau tidak suka terhadap produk yang diuji. Tingkat

kesukaan ini disebut juga dengan skala hedonik, misalnya sangat suka, suka,

tidak suka dan sangat tidak suka. Skala hedonik ditransformasikan menjadi skala

numerik dengan angka menaik menurut tingkat kesukaan. Adanya skala hedonik,

secara tidak langsung uji ini dapat digunakan untuk mengetahui adanya

perbedaan (Rahayu, 1998). Uji kesukaan umumnya menggunakan panelis tidak

terlatih sebanyak 25 orang atau lebih (Soekarto, 1985).

14
III. MATERI DAN METODE PENELITIAN

3.1. Materi Penelitian

Bahan yang dibutuhkan dalam penelitian ini antara lain susu sapi segar

berasal dari peternakan di Limau Manis sebanyak 30 L untuk pembuatan Tahu

Susu sebanyak 4 perlakuan dan 5 ulangan. Asam cuka diperoleh dari pasar

tradisional di kota Padang. Kemudian kitosan diperoleh dari CHIMULTIGUNA

di daerah Indramayu.

Bahan kimia yang digunakan adalah NaOH, CH3COOH, selenium,

aquades, larutan benzena, larutan dietil eter, penolptalin, H2SO4.

Alat yang digunakan untuk penelitian antara lain pisau, cetakan tahu, kain

bleaching, telenan, gelas, erlenmeyer, oven, kertas saring (whatman), pipet

ukur, magnetik stirer, neraca analitik, cawan porselen, cawan petri, gelas ukur,

batang pengaduk, desikator, kompor, oven, seperangkat alat destilasi dan

seperangkat alat titrasi.

3.2. Metode Penelitian

3.2.1. Rancangan Penelitian


Metode ini adalah metode eksperimen dengan menggunakan Rancangan

Acak Kelompok (RAK) yang terdiri dari 4 perlakuan dengan 5 ulangan. Dimana

setiap perlakuan terdiri dari :

A : Pemberian kitosan 0,5%

B : Pemberian kitosan 1%

15
C : Pemberian kitosan 1,5%

D : Pemberian kitosan 2%

Model matematika rancangan yang digunakan menurut Steel dan Torrie

(1991) adalah:

Yij = μ + αi + βj + Eij

Keterangan :

Yij = hasil pengamatan dari unit percobaan yang mendapat perlakuan ke (i)

ulangan ke (j)

μ = nilai tengah umum

αi = pengaruh perlakuan ke (i)

βj = pengaruh perlakuan ke (j)

Eij = pengaruh sisa dari unit percobaan yang mendapat perlakuan ke (i) dan

kelompok ke (j)

I = banyak perlakuan (A, B, C, D, E)

J = banyak kelompok ulangan (1, 2, 3, 4)

Tabel 4 . Bagan pengamatan untuk setiap perlakuan

Perlakuan
Ulangan Total Rata-rata
A B C D
1 Y11 Y21 Y31 Y41 ∑ Y11-Y41 𝑌̅Y11-41
2 Y12 Y22 Y32 Y42 ∑ Y12-Y42 𝑌̅ Y12-42
3 Y13 Y23 Y33 Y43 ∑ Y13-Y43 𝑌̅ Y13-43
4 Y14 Y24 Y34 Y44 ∑ Y14-Y44 𝑌̅ Y41-44
5 Y15 Y25 Y35 Y45
Total ∑ Y1 ∑ Y2 ∑ Y3 ∑ Y4 ∑Y…
Rataan 𝑌̅ 1 𝑌̅ 2 𝑌̅ 3 𝑌̅ 4 𝑌̅

16
Menurut Steel dan Torrie (1991) jika antar perlakuan berbeda nyata

(P<0,05) dan berbeda sangat nyata (P<0,01) maka dilakukan uji lanjut dengan

Duncan’s Multiple Range Test (DMRT).

Tabel 5 . Analisis keragaman rancangan acak kelompok (RAK)

F tabel
SK DB JK KT Fhit
0.05 0.01
Perlakuan t-1= JKP KJP/db KTP/KTS
Kelompok n-1=3 JKK JKK/db KTK/KTS
Sisa JKS JKS/db
Total (t-1)(n-1) JKT
tn-1= 19

Jika: F Hitung > F Tabel 0,05 berarti berbeda nyata (*)

F Hitung > F Tabel 0,01 berarti berbeda sangat nyata (**)

F Hitung < F Tabel antar perlakuan berbeda tidak nyata (ns)

3.2.2. Peubah yang Diukur

a. Uji Kadar Protein (Sudarmadji et al., 1997)

1) Tahap destruksi

1. Dimasukan 1 gram sampel kering kedalam labu kjehdahl.

2. Ditambahkan katalisator berupa selenium sebanyak 1 gram serta 25 ml

H2SO4 pekat kemudian dipanaskan hingga terjadi destruksi.

3. Pemanasan dilakukan terus hingga larutan jernih atau tidak berwarna

kemudian didinginkan.

2) Tahap destilasi

1. Pindahkan larutan kedalam labu ukur 250 ml.

2. Diencerkan larutan dengan aquades sampai tanda garis

17
3. Mengambil 25 ml larutan sampel lalu ditambahkan 25 ml NaOH 30%

yang telah dicampurkan dengan aquades sebanyak 150 ml, masukan

dalam labu destilasi.

4. Panaskan larutan (2/3 tersuling) hingga semua N dari cairan yang ada

dalam labu tertangkap oleh H2SO4 0,05 N yang terlebih dahulu dicampur

dengan 3 tetes indikator metil merah dalam Erlemeyer.

3) Tahap titrasi

1. Erlemeyer yang berisi hasil sulingan dititer dengan NaOH 0,1 N

(misalkan X ml).

2. Dalam Erlemyer lain ditambahkan pula 25 ml H2SO4 0,05 N dan 3 tetes

indikator metil merah. Dititer dengan NaOH 0,1 N sehingga terjadi

perubahan warna dari merah jambu menjadi kuning sebagai blanko

(misalkan Y ml).

Rumusnya yaitu :

Kadar Protein :

Keterangan :

Y = Jumlah ml NaOH peniteran blanko

X = Jumlah ml NaOH peniteran contoh

N = Normalitas NaOH

Z = Berat sampel (gram)

0,014 = Konstanta

6,25 = Faktor konversi dari total nitrogen ke dalam protein

18
b. Uji Kadar Lemak (Sudarmadji et al,. 1997)

Perhitungan kadar lemak dengan menggunakan metode soxhlet, cara kerja

sebagai berikut :

a. Sampel ditimbang sebanyak 1 gram lalu dibungkus dengan kertas lemak dan

dikeringkan dalam oven selama 12 jam pada suhu 105-110oC (c gram).

b. Setelah itu dikeluarkan dalam oven dan ditimbang dalam keadaan panas-panas

satu persatu (b gram).

c. Lalu diekstraksi dalam benzena selama 16 jam sampai benzena dalam soxhlet

jernih, kemudian sampel tersebut diangin-anginkan sampai kering (benzena

akan menguap).

d. Kemudian dikeringkan dalam oven selama 1 jam dengan suhu 105-110oC dan

ditimbang bungkus tersebut satu persatu (a gram).

Dengan perhitungan :

𝑏−𝑎
Kadar Lemak (%) = x 100%
𝑐

Keterangan:

a = Berat sampel setelah diektraksi (gram)

b = Berat sampel sebelum diekstraksi (gram)

c = Berat sampel (gram)

c. Uji Organoleptik (Modifikas Rahayu, 1997)

Uji organoleptik yang digunakan adalah uji kesukaan (uji hedonik) yaitu

uji untuk melihat tingkat kesukaan panelis terhadap suatu produk. Uji ini

dilakukan oleh 25 orang panelis terdiri dari 20 mahasiswa dan 5 orang dosen.

Atribut yang dinilai pada uji organoleptik antara rasa dan warna yang terdiri dari

19
5 skala hedonik pada setiap atribut yang dinilai, yaitu (1) sangat tidak suka, (2)

tidak suka, (3) netral, (4) suka dan (5) sangat suka.

Tabel 6. Data skala hedonik dan numerik

Skala Hedonik Skala Numerik


Sangat suka 5
Suka 4
Netral 3
Tidak suka 2
Sangat tidak suka 1

Prosedur uji organoleptik :

a. Masing-masing contoh diletakkan kedalam wadah plastik bening, setiap

contoh diberikan kode secara acak.

b. Air minum disediakan untuk menetralkan atau mencuci mulut.

c. Pengujian dilakukan dalam ruangan

d. Kode contoh pengujian dicantumkan pada formulir uji organoleptik.

e. Panelis melakukan uji organoleptik sesuai dengan instruksi yang

diberikan.

3.3. Pelaksanaan Penelitian

3.3.1. Pembuatan Larutan Asam Cuka 2% (Modifikasi Indriyanti,

2008)

Larutan asam cuka 2% didapatkan dengan melakukan pengenceran yaitu

dengan mencampurkan 8 ml larutan asam cuka 25% dengan 92 ml aquades dalam

labu ukur.

20
Rumusnya:

V1 x K1 = V2 x K2

V1 x 25 = 100 ml x 2

V1 = 200/25

V1 = 8 ml

Dimana : K1 = konsentrasi asam cuka

K2 = konsentrasi asam cuka yang diinginkan

V1 = volume asam cuka yang dibutuhkan

V2 = volume asam cuka yang diinginkan

Gambar 3. Bagan pembuatan larutan asam cuka (Modifikasi Indriyanti,

2008)

Asam cuka 8 ml

Labu ukur

Aquades hingga 100 ml

Homogenkan

3.3.2. Pembuatan Larutan Kitosan 0,5%, 1%, 1,5% dan 2%

(Modifikasi Budi et.al, 2017)

Larutan kitosan 0,5%, 1%, 1,5% dan 2% dibuat dengan cara mula-mula

serbuk kitosan ditimbang sebanyak 0,5 gram, 1 gram, 1,5 gram, dan 2

21
gram lalu dicampurkan kedalam larutan asam cuka 2 % dan dilarutkan dengan

magnetik stirer hingga chitosan larut dalam asam cuka.

Gambar 5. Bagan pembuatan Larutan Kitosan 0,5%, 1%, 1,5% dan 2%

(Modifikasi Budi et.al, 2017)

Timbang serbuk kitosan 0,5 gram, 1 gram, 1,5 gram


dan 2 gram

Campurkan dengan larutan asam cuka 2%

Larutkan dengan magnetik stirer

Tunggu sampai kitosan larut dalam asam cuka

3.3.5. Pembuatan Tahu Susu (Modifikasi Astawan, 1989)

Pembuatan tahu susu dimulai dengan menyediakan susu sapi yang disaring

hal ini untuk memisahkan dengan kotoran kemudian dipanaskan pada suhu 72 oC

diaduk serta dilakukan penambahan bahan penggumpal pada susu dengan suhu

72 oC diaduk selama 15 menit hingga menggumpal, jenis dan jumlah bahan

penggumpal yang ditambahkan ke dalam susu adalah larutan kitosan dengan

konsentrasi 0,5%, 1%, 1,5% dan 2% kemudian disaring untuk memisahkan hasil

gumpalan tahu susu dengan whey susu untuk mendapatkan gumpalan protein

selanjutnya dilakukan pengepresan dengan beban sebesar 500 gram selama 20

22
menit kemudian tahu susu dipotong dengan ukuran 5x5 cm, produk tahu susu

siap saji.

Gambar 6. Bagan pembuatan tahu susu (Modifikasi Astawan, 1989)

Susu sapi

Kotoran

Penyaringan

Pemanasan suhu 72oC selama 15


menit

Pengadukan

Penambahan bahan koagulan berupa


larutan kitosan 0,5%, 1%, 1,5% dan
2%

Terjadi koagulasi

Whey

Penyaringan gumpalan protein atau


calon tahu

Pengepresan berat beban 500 gram

Pemotongan tahu

23
3.4 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak Fakultas

Peternakan dan di Laborotorium Kimia Universitas Andalas Padang dari bulan ...

sampai bulan... 2018

24
DAFTAR PUSTAKA

Anggraini, R. P., Rahardjo, A. H.D., dan Santosa, R. S. S. 2013. Pengaruh


Level Enzim Bromelin Dari Nanas Masak Dalam Pembuatan Tahu Susu
Terhadap Rendemen Dan Kekenyalan Tahu Susu. Fakultas Peternakan
Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.

Aritonang, S. N. 2010. Susu dan Teknologi. Swagati Press. Cirebon.

Astawan, M.W. dan M. Astawan. 1988. Teknologi Pengolahan Hewani Tepat


Guna. Jakarta: CV. Akademika Pressindo.

Aryanti, dkk. 2016. Karakteristik Dan Analisis Sensorik Produk Tahu Dengan
Koagulan Alami. Fakultas Teknik, Departemen Teknik Kimia Universitas
Diponegoro, Semarang.

Budianto, A, K. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Gizi. Cetakan keempat. Malang :


Penerbit UMM Press.

Chang, K. L. B., Lin, Y-S., Chen, R-H., 2003. The Effect of Chitosan on the Gel
Properties of Tofu (Soybean Curd). Journal of Food Engineering, 57, pp.
315–319.

Dewanti. 2000. Teknologi Pengolahan Hasil Ternak. Fakultas Teknologi


Pertanian. Malang: Universitas Brawijaya.

Fasoyiro, S.B., 2014. Physical, Chemical and Sensory Qualities of Roselle Water
Extractcoagulated Tofu Compared with Tofu from Two Natural
Coagulants. Nigerian Food Journal., 32(1), pp. 97 – 102.

Fernandez-Kim, S.-O., 2004, Physicochemical and Functional Properties of


Crawfish Chitosan as Affected by Different Processing Protocols, A Thesis
in Department of Food Science, Seoul National University, Seoul.

Hart . H. Craine. L.E. and Hart. D.J. 2003. Kimia Organik. Edisi
Kesebelas. Erlangga. Jakarta.

Hewitt, P.G. 2003. Conseptual Integrated Science Chemistry. Pearson Education,


Inc. San Fransisco.

Hutagalung, L. E. 2009. Penentuan kadar lemak dalam margarin dengan metode


ekstraksi sokletasi di balai besar pengawas obat dan makanan medan. Karya

25
Ilmiah. Diploma 3 Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Universitas Sumatera Utara. Medan.

Indriyanti, dkk., 2008. Pengaruh Perbedaan Kedelai dan Jenis Penggumpal


terhadap Kadar Protein, Sifat Organoleptik, dan Daya Terima pada
Pembuatan Tahu. Skripsi thesis. Surakarta: Universitas Muhammadiyah
Surakarta.

Ketaren, S. 2008. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Cetakan


Pertama. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Kim, Y.S., Choi, Y. M., Noh, D. O., Cho, S. Y., Suh, H. J., 2007. The Effect of
Oyster Shell Powder on the Extension of the Shelf Life of Tofu. Food
Chemistry. 103, pp. 155–160.

Kohar, H. J. dan Agustanti. 2004. Daun Kangkung (Ipomoea Reptans) yang


Direbus Dengan Penambahan NaCl Dan Asam Asetat. Makara Sains.
8(3):85-88.

Koswara, S. 2011. Nilai Gizi, Pengawetan dan pengolahan Tahu.


http://www.ebookpangan.com (11 Januari 2018).

Lee, C.-Y., and Kuo, M.-I., 2011. Effect of γ -polyglutamate on the Rheological
Properties and Microstructure of Tofu. Food Hydrocolloid. 25, pp.1034–
1040.

Lingathurai, S, Vellathurai, P, Vendan, S. E, and Anand, A. A. P. 2009. A


comparative study on the microbiological and chemical composition of cow
milk from different locations in Madurai, Tamil Nadu. Indian Journal of
Science and Technology. Vol.2 No 2 (Feb. 2009):51 54. ISSN: 0974- 6846.
India.

Mustafa, R. M. 2006. Studi Efektivitas Bahan Pengawet Alami Dalam


Pengawetan Tahu. Skripsi. Program Studi Gizi Masyarakat, IPB-Bogor.

Rahayu, W.P. 1998. Penuntun praktikum penilaian organoleptik. Institut


Pertanian Bogor, Bogor.

Rekha, C. R., and Vijayalakhsmi, G., 2010. Influence of Natural Coagulants on


Isoflavones and Antioxidant Activity of Tofu. Journal of Food Science and
Technology, 47(4), pp.387-393.

26
Rokhayati, U.A. 2011. Pengaruh Penggunaan Asam Cuka dan Substitusi Susu
Kedelai terhadap Bau Tahu Susu. Inovasi. 08(01):113-122.

Saleh, E. 2004. Dasar Pengolahan Susu dan Hasil Ikutan Ternak. Medan (ID):
USU Digital Library.

Sarani, R., Mohtadi, J. and Jafar, M. A., 2014. The effect of Withania coagulans
as a coagulant on the quality and sensorial properties of Tofu. African
Journal of Food Science, 8(3), pp. 112-115.

Sarwono, B., Saragih, Y.P. 2006. Membuat Aneka Tahu (Cetakan 6). Jakarta:
Penebar Swadaya.

Soekarto. 1985. Penilaian organoleptik untuk industri pangan dan hasil pertanian.
Pusat Pengembangan Teknologi Pangan, IPB, Bogor.

Soeparno, Rihastuti, Indratiningsih, Triatmojo S. 2011. Dasar Teknologi Hasil


Ternak. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Sudarmadji. S., Haryono. B., dan Suhardi, 1997, “Prosedur Analisa untuk Bahan
Makanan dan Pertanian”, PAU Pangan dan Gizi Universitas Gaja Mada,
Yogyakarta.

Suprapti, L. 2005. Kedelai Tradisional. Kanisius. Jogjakarta.

Suptijah, P. 2004. Tingkat Kualitas Kitosan Hasil Modifikasi Proses Produksi,


Buletin Teknologi Hasil Pertanian IPB, Volume VIII No.1.

Walstra, P ., J. T. M., Wouters and T. J. Geurts. 2006. Dairy Science and


Technology 2nd Edition. Taylor and Francis Group. Boca Raton.

Winarno, F.G., 2002. Tahu Cina Tradisional.M-Brio Press. Bogor.

Winarno, F.G. 2008. Kimia Pangan dan Gizi: Edisi Terbaru. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.

Yoshida, C.M.P., Junior, E.N.O., and Franco, T.T. 2009. Chitosan Tailor-Made
Films: The Effects of Additives on Barrier and Mechanical Properties,
Packaging Technology and Science.

27
Lembaran Pengujian Organoleptik

Nama Panelis :
No. Panelis :
Hari/Tanggal Pengujian :
Produk : Tahu Susu
Instruksi : Lakukan pencicipan tahu susu satu per satu. Sebelum
mencicip, minum air putih untuk menetralkan lidah. Setelah mencicip sampel
nilailah kesukaan Anda terhadap warna dengan memberikan tanda √ pada kolom
perlakuan yang menurut Anda sangat suka, suka, agak suka, biasa, agak tidak
suka, tidak suka dan sangat tidak suka.

Perlakuan
Indikator 234 341 315 412 245 423
Warna
Sangat suka

Suka

Netral
Tidak
suka
Sangat tidak
suka
Komentar (berikan alasan Anda kenapa sangat suka, suka atau tidak suka) :

28
Lembaran Pengujian Organoleptik

Nama Panelis :
No. Panelis :
Hari/Tanggal Pengujian :
Produk : Tahu Susu
Instruksi : Lakukan pencicipan tahu susu satu per satu. Sebelum
mencicip, minum air putih untuk menetralkan lidah. Setelah mencicip sampel
nilailah kesukaan Anda terhadap rasa dengan memberikan tanda √ pada kolom
perlakuan yang menurut Anda sangat suka, suka, agak suka, biasa, agak tidak
suka, tidak suka dan sangat tidak suka.

Perlakuan
Indikator 234 341 315 412 245 423
Rasa
Sangat suka

Suka

Netral
Tidak
suka
Sangat tidak
suka
Komentar (berikan alasan Anda kenapa sangat suka, suka atau tidak suka) :

29

Anda mungkin juga menyukai