Anda di halaman 1dari 37

UNIVERSITAS JEMBER

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN FRAKTUR


COLLUM FEMUR DI POLI ORTHOPEDI RUMAH SAKIT
DAERAH dr. SOEBANDI JEMBER

OLEH:
Rischa Isrotul Nur Afida, S. Kep
NIM 182311101083

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
JEMBER
OKTOBER, 2018
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan dan Resume Kasus di Poli Orthopedi Rumah Sakit Daerah
dr. Soebandi Jember telah disetujui dan disahkan pada :

Hari, Tanggal :
Tempat : Poli Orthopedi Rumah Sakit Daerah dr. Soebandi Jember

Jember, Oktober 2018

Mahasiswa

Rischa Isrotul Nur Afida, S. Kep


NIM 182311101083

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik


Fakultas Keperawatan Poli Orthopedi
Universitas Jember RSD dr. Soebandi Jember

Ns. Mulia Hakam, M.Kep.,Sp. Kep.MB Ns. M. Shodikin, M.Kep., Sp.Kep.MB


NIP. 19810319 201404 1 001 NIP. 19681212 199103 1 011
A. Konsep Teori Penyakit
1. Review Anatomi dan Fisiologi
Femur atau tulang paha merupakan tulang yang memanjang dari
panggul ke lutut dan merupakan tulang terpanjang dan terbesar di dalam
tubuh, panjang femur dapat mencapai seperempat panjang tubuh. Femur
dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu proksimal, median, dan distal.
a) Ujung Proksimal, bagian ini terdiri dari kepala, leher, dan dua
trokanter. Kepala menghadap ke depan, medial, dan sedikit anterior.
Area proksimal femur membentuk sendi pinggul dengan panggul.
Terdapat dua tulang punggung yang menghubungkan trokanter.
1) Head: menghubungkan dengan acetabulum panggul untuk
membuat sendi pinggul. Permukaan kepala femur berada pada
posisi medial sebagai lokasi ligamen kepala femur.
2) Neck: memasang head femur dengan poros. Neck berbentuk
silinder, memproyeksikan arah superior dan medial, sehingga sudut
proyeksi ini memungkinkan timbulnya berbagai gerakan yang
disempurnakan oleh sendi pinggul.
3) Greater trochanter: proyeksi tulang femur dari sisi anterior, sejajar
dengan neck, dan dapat ditemukan di sisi anterior dan posterior
tulang femur.
4) Trochanter lesser: memanjang dari sisi posteromedial tulang femur.
5) Garis intertrochanteric: merupakan sebuah punggungan tulang
yang menghubungkan dua trokanter.
b) Shaft atau batang femur, dibagi menjadi 3 bagian yaitu sepertiga
proksimal, sepertiga medial, dan sepertiga distal.
c) Distal, area distal femur ditandai oleh adanya kandilus medial, dan
lateral yang bergabung dengan tibia dan patela membentuk sendi lutut.
1) Kondilus medial dan lateral: daerah yang melingkar di ujung tulang
femur. Permukaan posterior dan inferior terhubung dengan tibia,
dan permukaan anterior terhubung dengan patella
2) Epicondyles medial dan lateral: merupakan area non artikular dari
kondilus
3) Intercondylar fossa: terletak pada permukaan posterior femur,
diantara dua kondilus
4) Facet untuk pemasangan ligamentum cruriatum posterior:
merupakan tempat menempelnya ligamentum cruriatum posterior
yang terletak di dinding medial fossa interkondilarsis
5) Facet untuk pemasangan ligamentum cruriatum anterior:
merupakan lokasi menempelnya ligamentum cruciatum anterior
lutut yang terletak pada dinding lateral fossa interkondilaris
2. Definisi
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau
tenaga fisik. Fraktur femur yang digambarkan sesuai lokasi, dapat
dikelompokkan menjadi 3, meliputi proksimal atau ujung atas dekat
panggul, shaft/poros tulang, dan distal atau ujung bawah dekat lutut.
Fraktur kolum femur merupakan fraktur intrakapsular yang terjadi pada
bagian proksimal femur, yang termasuk kolum femur adalah mulai dari
bagian distal permukaan kaput femoris sampai dengan bagian proksimal
dari intertrokanter. Fraktur collum femoris merupakan fraktur yang terjadi
antara ujung permukaan articular caput femur dan regio interthrocanter
dimana collum femur merupakan bagian terlemah dari femur (Avruskin,
2013; Romeo, 2018).
3. Epidemiologi
Fraktur pada collum femur merupakan hal yang umum terjadi, dan
mencakup sekitar 20% dari fraktur yang harus dioperasi pada bagian
orthopaedi. Fraktur pada collum femur merupakan tantangan besar bagi
seorang ahli bedah orthopaedi. Berdasarkan data Depkes RI pada tahun
2011 sebanyak 45.987 orang mengalami fraktur ekstremitas bawah akibat
kecelakaan, 19.629 orang diantaranya mengalami fraktur pada tulang
femur, 14.027 orang mengalami fraktur cruris, 3.775 orang mengalami
fraktur tibia, 9.702 orang mengalami fraktur pada tulang-tulang kecil di
kaki dan 336 orang mengalami fraktur fibula.
Fraktur collum femur paling sering terjadi pada pasien wanita
dengan usia tua, dan jarang terjadi pada pasien yang berusia kurang dari 60
tahun. Fraktur ini juga berhubungan dengan faktor rasial, yaitu lebih sering
terjadi pada ras kulit putih, bila dibandingkan dengan ras kulit hitam.
Angka kejadian meningkat secara eksponensial seiring dengan
pertambahan usia. Studi epidemiologis telah berhasil mengidentifikasi
beberapa hal yang dapt menjadi faktor resiko terjadinya fraktur collum
femur, diantaranya adalah Body Mass Index yang rendah (<18,5), paparan
terhadap sinar matahari yang rendah, aktifitas rekreasional yang rendah,
perokok, riwayat fraktur akibat osteoporosis sebelumnya dan pengobatan
menggunakan kortikosteroid dalam jangka waktu lama.
4. Etiologi
Risiko terjadinya fraktur tulang pinggul yaitu diantaranya usia,
osteoporosis, wanita berkulit putih, riwayat kehamilan yang menyebabkan
fraktur tulang pinggul, konsumsi alkohol dan kafein yang berlebihan,
kurangnya aktivitas fisik, berat badan rendah, tinggi badan yang melebihi
rata-rata normal, fraktur tulang pinggul sebelumnya, penggunaan obat-
obatan psikotropika, lingkungan tempat tinggal, melemahnya penglihatan
dan demensia. Marks (2010) mengelompokkan faktor risiko fraktur hip
menjadi dua faktor, antara lain:
a. Faktor Biomekanik
1) Terdapat hubungan yang kuat antara mediator yang berkaitan
dengan insiden jatuh dan luka fraktur hip yaitu diantaranya
gangguan keseimbangan, gangguan neuromuskular dan
muskuloskletal, tipe jatuh, kecepatan dan berat ringannya insiden
jatuh, penurunan kekuatan yang berkaitan dengan usia, gangguan
kognitif serta penyakit serius pada lansia.
2) Kurangnya aktivitas fisik, orang lanjut usia dengan aktivitas fisik
yang kurang memiliki risiko fraktur hip dua kali lebih besar.
Karena aktivitas yang kurang dapat berdampak negatif pada
kesehatan tulang, fisiologi tulang, massa otot, status kesehatan
secara keseluruhan dan paparan vitamin D.
3) Kelemahan otot, beberapa peneliti menyebutkan bahwa kelemahan
otot berhubungan dengan respon refleks yang lebih lambat dan
dapat secara signifikan meningkatkan risiko jatuh. Kelemahan otot
dapat meningkatkan risiko menderita fraktur hip, dikarenakan
dampak negatif jangka panjang pada densitas tulangnya dan
kapasitas muscle shock absorbing.
4) Antropometri tubuh, wanita yang berusia tua dengan tubuh yang
lebih kecil lebih berisiko mengalami fraktur hip, dikarenakan
densitas mineral tulangnya yang lebih rendah.
5) Struktur tulang, densitas mineral tulang secara signifikan
berhubungan dengan mobilitas fungsional dan massa tubuh yang
rendah. Densitas mineral tulang dan massa tulang yang rendah
berkontribusi dalam risiko terjadinya fraktur hip.
b. Klinis
1) Kondisi penyakit kronis, banyak penyakit kronis yang berkaitan
dengan usia seperti arthritis, penyakit Parkinson, penyakit
Alzheimer serta penyakit neurologis (misalnya stroke dan neuropati
diabetik) dapat meningkatkan risiko jatuh dan oleh karenanya
memungkinkan terjadinya fraktur hip.
2) Gangguan kognitif, adanya gangguan kognitif dapat berpengaruh
pada keefektifan strategi rehabilitasi pasca operasi fraktur hip.
3) Gangguan penglihatan, merupakan faktor risiko independen pada
fraktur hip. Adanya gangguan penglihatan akan meningkatkan
risiko terjadinya jatuh.

5. Klasifikasi
Pada umumnya pembagian klasifikasi fraktur collum femur
berdasarkan dislokasi atau tidaknya fragmen dibagi menurut Garden
(Reksoprodjo, 2009):
a. Garden I, fraktur incomplete pada collum atau fraktur impaksi
valgus tanpa displasia tulang, selain itu terdapat pula eksternal
rotasi dari fragmen distal dan trabekula tulang medial dari caput
membuat sudut lebih dari 180° dengan korteks medial dari femur.
b. Garden II: fraktur complete pada collum tanpa disertai displaced
tulang. Fragmen distal pada posisi yang normal dengan fragmen
proksimal dan trabekula medial pada caput membentuk sudut
sekitar 160° dengan korteks femur medial.
c. Garden III, fraktur complete dengan displaced sebagian dari
fragmen tulang yang mengalami fraktur. Fragmen distal berotasi
kearah lateral dan fragmen proksimal miring ke varus dan berotasi
kearah medial, selain itu trabekula medial dari caput tidak pada
tempatnya pada pelvis.
d. Garden IV, fraktur complete dengan displaced total atau seluruh
fragmen tulang yang mengalami fraktur. Fragmen capital terpisah
sempurna dari fragmen distal dan kembali ke posisi normalnya
pada asetabulum dimana fragmen distal berotasi lateral dan
bergeser ke atas dan ke anterior ke fragmen proksimal.

6. Patofisiologi
Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi,
tulang rawan epifisis baik yang bersifat total maupun parsial (Rasjad,
2007). Patah tulang pinggul adalah patahnya tulang pada kuartal atas dari
femur (tulang paha). Hip adalah gabungan bola dan sendi. Hal inilah yang
memungkinkan kaki bagian atas bisa menekuk dan memutar di pinggul.
Cedera adalah penyebab yang jelas pada patah tulang pinggul.
Dalam populasi lanjut usia, cedera merupakan hasil dari hilangnya
keseimbangan dan insiden jatuh. Osteoporosis adalah suatu penyakit di
mana tulang menjadi rapuh dan memiliki kemungkinan untuk terjadinya
patah tulang, ini bisa melemahkan leher femur ke titik bahwa setiap
peningkatan tekanan dapat menyebabkan leher femur untuk mengalami
patah tulang secara tiba-tiba, yang juga dapat disebabkan oleh lutut dan
sendi pinggul yang menempatkan terlalu banyak tekanan di leher femur.
Beberapa penyebab osteoporosis mungkin berhubungan dengan penuaan,
nutrisi, pola hidup, obat atau penyakit lainnya.
Penurunan kekuatan/densitas tulang dan koordinasi neuromuskular
meningkatkan risiko fraktur osteoporosis, dan fraktur femur proksimal
merupakan fraktur yang paling serius yang ditimbulkan akibat
osteoporosis. Fraktur hip osteoporosis berhubungan dengan penurunan
kekuatan tulang dan insiden jatuh. Jatuh (simple fall) merupakan kejadian
dan faktor risiko yang sangat berperan terhadap terjadinya fraktur femur
proksimal (fraktur hip) pada usia tua. Fraktur collum femur terjadi paling
sering pada wanita usia lanjut. Arah terjadinya jatuh merupakan
determinan yang penting pada kejadian fraktur hip. Saat mengalami jatuh,
risiko fraktur akan meningkat 6 kali saat jatuh ke arah samping (sideway
fall) dibanding jatuh ke depan (forward fall) atau ke belakang (backward
fall). Studi lainnya menyebutkan bahwa impaksi pada sisi lateral pelvis
meningkatkan risiko fraktur sebesar 20-30 kali lipat dibandingkan saat
jatuh ke sisi lainnya, selain itu jatuh berputar/berbelok berisiko
menyebabkan fraktur lebih tinggi dibanding saat berjalan lurus. Faktor lain
yang berhubungan dengan risiko fraktur potensial energi meliputi jatuh
dari ketinggian, berat badan, ketebalan jaringan lunak pada regio
trokhanter, kekuatan otot, kontrol neuromuskular dan kemampuan respon
protektif seseorang.
7. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis fraktur secara tipikal adalah munculnya nyeri
yang diikuti oleh adanya pembengkakan, deformitas ekstremitas akibat
pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai, fungsiolesa pada
area fraktur, pemendekan tulang akibat kontraksi otot yang melekat di atas
dan di bawah tempat fraktur, krepitasi, dan perubahan warna lokal. Gejala
yang muncul berbeda-beda tergantung pada area dimana letak tulang yang
patah (Smeltzer dan Bare, 2006).
a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
di imobilisasi, spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk
bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar
fragmen tulang.
b. Pemendekan ekstremitas, pada fraktur panjang, terjadi pemendekan
tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat diatas dan
dibawah tempat fraktur. Pengukuran pemendekan ekstremitas disebut
Leg Legth discrepancy (LLD) yang dilakukan dengan 3 macam cara:
1) Appearance Leg Length, mengukur panjang tungkai dari pusat
(umbilikus) ke mata kaki bagian dalam (malleolus medial) kiri dan
kanan
2) True Leg Length, mengukur panjang tungkai dari Spina Iliaca
Anterior Suerior (SIAS) ke mata kaki bagian dalam (malleolus
lateral) kiri dan kanan
3) Greater Trochanter-Medial Malleolus Length, mengukur panjan
tungkai dari Trochanter Major ke mata kaki bagian dalam
(malleoulus lateral) kiri dan kanan
c. Eksorotasi kaki, posisi panggul dalam keadaan fleksi dan eksorotasi.
Paha dalam posisi abduksi dan fleksi serta eksorotasi.
8. Komplikasi
Komplikasi pasti akan terjadi pada saat fraktur. Dengan diagnosis
dan pengobatan dini, kelumpuhan yang disebabkan karena komplikasi
dapat berkurang (Maheshwari, 2011).
a. Syok hipovolemik, merupakan penyebab tersering setelah terjadinya
fraktur pada tulang mayor, seperti pelvis dan femur. Frekuensi ini
semakin meningkat disebabkan oleh jumlah pasien dengan beberapa
cedera. Syok hipovolemik terjadi karena perdarahan eksternal atau
perdarahan internal. Perdarahan eksternal dapat mengakibatkan
beberapa fraktur ataupun cedera pada pembuluh darah mayor.
Perdarahan internal lebih sulit untuk mendiagnosa. Tanda kehilangan
darah dapat ditunjukan pada saat fraktur pelvis (4 – 5 liter), dan
fraktur femur (3 liter) (Maheshwari, 2011)
b. Sindrom emboli lemak, erupakan komplikasi yang paling berat. Ciri
khas nya terjadi hambatan pada pembuluh darah karena penumpukan
lemak. Hal ini terjadi karena penumpukan lemak mula-mula sumsum
tulang atau jaringan adiposa. Emboli lemak biasanya terjadi setelah
fraktur pelvis dan fraktur femur (Maheshwari, 2011).
c. Sindrom Kompartemen (Volkmann’s Ischemia), adalah suatu kondisi
dimana terjadi peningkatan tekanan interstisial di dalam ruangan yang
terbatas, yaitu di dalam kompartemen osteofasial yang tertutup.
Peningkatan tekanan intra kompartemen akan mengakibatkan
berkurangnya perfusi jaringan dan tekanan oksigen jaringan, sehingga
terjadi gangguan sirkulasi dan fungsi jaringan di dalam ruangan
tersebut. Ruangan tersebut terisi oleh otot, saraf dan pembuluh darah
yang dibungkus oleh tulang dan fascia serta otot-otot individual yang
dibungkus oleh epimisium. Sindrom kompartemen ditandai dengan
nyeri yang hebat, parestesi, paresis, pucat, disertai denyut nadi yang
hilang. Secara anatomi sebagian besar kompartemen terletak di
anggota gerak dan paling sering disebabkan oleh trauma, terutama
mengenai daerah tungkai bawah dan tungkai atas
d. Nekrosis avaskular tulang, cedera, baik fraktur maupun dislokasi,
seringkali mengakibatkan iskemia tulang yang berujung pada nekrosis
avaskular. Nekrosis avaskuler ini sering dijumpai pada kaput femoris,
bagian proksimal dari os. Scapphoid, os. Lunatum, dan os. Talus
e. Atrofi otot, adalah pengecilan dari jaringan tubuh yang telah mencapai
ukuran normal. Mengecilnya otot tersebut terjadi karena sel-sel
spesifik yaitu sel-sel parenkim yang menjalankan fungsi otot tersebut
mengecil. Pada pasien fraktur, atrofi terjadi akibat otot yang tidak
digerakkan (disuse) sehingga metabolisme sel otot, aliran darah tidak
adekuat ke jaringan otot
f. Delayed union, proses penyembuhan tulang yang berjalan dalam
waktu yang lebih lama dari perkiraan (tidak sembuh setelah 3-5 bulan)
g. Non union, kegagalan penyambungan tulang setelah 6-9 bulan.
h. Mal union, proses penyembuhan tulang berjalan normal terjadi dalam
waktu semestinya, namun tidak dengan bentuk aslinya atau abnormal
9. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukanpada pasien fraktur
diantaranya:
a. Pemeriksaan Radiologi (X-Ray)
Pemeriksaan X-ray merupakan pemeriksaan yang digunakan untuk
melihat gambaran fraktur, deformitas (pergeseran fragmen
pada fraktur) dan metalikment. Pemeriksaan X-ray merupakan
salah satu metode dengan menggunakan prosedur non invasif.
Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan
tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP
(Anteroposterior) atau PA (Posterioanterior) dan lateral (LAT).
Keuntungan pemeriksaan X-ray yaitu tidak ada residu radiasi di
dalam tubuh, tidak ada efek samping, dan cepat, dapat digunakan
pada situasi darurat. Hal yang harus dibaca pada X-ray:
1) bayangan jaringan lunak
2) tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum
atau biomekanik atau juga rotasi
3) trobukulasi ada tidaknya rare fraction
4) sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
b. MRI (Magnetic Resonanci Imaging)
MRI merupakan alat diagnostik yang dapat menghasilkan potongan
organ tubuh menusia dengan menggunakan medan magnet tanpa
menggunakan sinar-X. MRI pada kejadian fraktur cruris dapat
digunakan untuk menegakkan diagonsis apabila terjadi robekan
pada ligamen akibat kejadian fraktur tersebut
c. Tomografi
Pemeriksaan ini menggambarkan tidak satu struktur saja tapi
struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini
ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada
satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
d. Myelografi
Pemeriksaan ini menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan
pembuluh darah di ruang tulang vertebrata yang mengalami
kerusakan akibat trauma.
e. Arthrografi
Pemeriksaan ini menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak
karena ruda paksa.
f. Computed Tomography-Scan (CT-Scan)
CT-scan merupakan alat yang bekerja dengan cara memproduksi
gambaran organ tubuh dengan menggunakan gelombang suara
yang terkan pada komputer (Bastiansyah, 2008). CT-scan dapat
menghasilkan gambaran dari organ tubuh termasuk keadaan tulang.
Secara umum pemeriksaan CT-scan dapat memberikan gambaran
secara rinci mengenai struktur tulang, jaringan dan cairah tubuh.
g. Pemeriksaan Laboratorium, kalsium serum dan fosfor serum
meningkat pada tahap penyembuhan tulang. Alkalin fosfat
meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan
osteoblastik dalam membentuk tulang dan enzim otot seperti
kreatinin kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat Amino
Transferase (AST), aldolase yang meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.

10. Penatalaksanaan Farmakologi dan Non Farmakologi


a. Farmakologi
1) Antibiotik sefalosporin generasi I (cefazolin 1-2 gram)
2) Aminoglikosid (gentamisin 1-2 mg/kg BB tiap 8 jam
3) Bifosfonat digunakan untuk mencegah dan mengobati
osteoporosis. Termasuk patah tulang dan kondisi yang
menyebabkan kehilangan tulang seperti kanker, tumor atau lesi
tulang. Digunakan untuk mengobati hiperkalsemia. Bifosfonat
umum: alendronate, ibandronate, risedronate, asam zoledronic
b. Non Farmakologi
Penatalaksanaan fraktur collum femoris harus dimulai secepat
mungkin setelah terjadinya trauma terutama pencegahan pergerakan
tungkai atau imobilisasi. Karena apabila tidak tepat saat mengubah posisi
pasien dapat menyebabkan fraktur yang semula sederhana menjadi
kompleks. Penatalaksanaan untuk pasien berusia 60 tahun kebawah yang
mengalami fraktur adalah fiksasi internal dan reduksi tertutup. Untuk
pasien berusia 60 keatas disarankan dilakukan hip arthroplasty. Tujuan
dari pengklasifikasian adalah pada pasien berusia 60 tahun kebawah
mobilitasnya masih cukup tinggi dibandingkan dengan usia 60 tahun
keatas, untuk menurunkan resiko terjadinya nekrosis avaskular dan
pembentukan tulang kembali pada usia dewasa muda masih mungkin
terjadi.
Hip Arthroplasty merupakan suatu tindakan penggantian sendi
pinggul dengan prostesis yang bertujuan untuk mengurangi rasa sakit dan
mengembalikan fungsi sendi panggul seperti semula. Nyeri setelah
tindakan hip arthroplasty dirasakan membaik selama minimal 3 bulan,
sedangkan setidaknya butuh 1 tahun untuk kembali ke fungsi normal
tubuh. Hip Arthroplasty terbagi menjadi dua jenis, yaitu Total Hip
Arthroplasty dan Hemiarthroplasty.
1) Total Hip Arthroplasty
Total hip arthroplasty adalah suatu prosedur pembedahan
ortopedi dimana kartilago asetabulum diganti dengan
tempurung logam buatan dan caput serta collum femur diganti
dengan prostesis yaitu bola dan batang buatan yang juga
terbuat dari logam. Total hip arthroplasty terbagi menjadi dua
tindakan, yaitu cemented dan uncemented total hip
arthroplasty.
a) Cemented Total Hip Arthroplasty
Bahan cement yang digunakan dalam tindakan total hip
arthroplasty adalah polymethylmethacrylate yang
digunakan untuk memfiksasi prostesis dengan tulang tanpa
sifat perekat. Semen yang mengelilingi prostesis ini
bersifat mengisi celah-celah di dalam tulang dan kemudian
setelah kering prostesis akan terfiksasi dengan sendirinya.
Beberapa dokter bedah memasukkan antibiotik profilaksis
didalam semen tersebut untuk mengurangi infeksi post
operatif.
b) Uncemented Total Hip Arthroplasty
Uncemented total hip arthroplasty dikembangan untuk
merespon bahwa yang paling berperan dalam proses
osteolisis dan kelonggaran cemented total hip arthroplasty
adalah partikel dari semen. Pada prinsipnya prostesis yang
dikembangkan dalam tindakan ini adalah fiksasi tanpa
semen dengan mengandalkan pertumbuhan tulang femur
itu sendiri. Maka dari itu teknik ini sering disebut juga
teknik press-fit. Teknik ini ditujukan terutama pada pasien
yang berusia dewasa muda. Uncemented total hip
arthroplasty ini memerlukan ketelitian yang lebih besar
daripada teknik cemented karena prostesis harus benar-
benar terfiksasi menempel langsung pada tulang femur.
Tulang yang tumbuh kedalam pori-pori dari prostesis akan
dimulai 6-12 minggu setelah implantasi. Pada beberapa
penelitian menyatakan bahwa teknik uncemented maupun
cemented memberikan hasil kesuksesan terapi yang
hampir sama, namun derajat nyeri pasca operasi pada
cemented THA lebih rendah daripada uncemented THA.
2) Hemiarthroplasty adalah suatu proses pembedahan ortopedi
yang pada dasarnya hampir sama dengan Total Hip
Arthroplasty namun yang berbeda pada hemiarthroplasty hanya
caput dan collum femur yang diganti dengan prostesis,
sedangkan kartilago asetabulum tidak diganti. Prosedur
pembedahannya adalah insisi lateral paha untuk dapat melihat
sendi panggul. Setelah masuk ke sendi panggul, dokter bedah
melepas caput dan collum femur dari asetabulum. Dengan
menggunakan bor khusus, corpus femur dibentuk seperti kanal
agar prostesis stem bisa dimasukkan. Pada uncemented stem
prosthesis langsung dimasukkan ke dalam kanalis femoralis
buatan tersebut. Berbeda dengan cemented stem, kanalis
femoralis dibuat sedikit lebih besar dari stem tujuannya agar
semen bisa melekatkan antara stem dengan tulang paha. Bola
logam sebagai pengganti caput femur dilekatkan pada
asetabulum setelah itu panggul buatan direlokasi sekaligus
dipastikan apakah panggul dan paha dapat bekerja dengan baik.
Dokter bedah menutup bekas insisi dengan jahitan kemudian
pasien bisa dipindah ke ruang pemulihan.
i. 11

11. Latihann Rehabilitasi


Tahapan exercise yang dapat diberikan pada pasien fraktur post
operative adalah sebagai berikut (Bershire, 2015).
1. Tahap 1 (Tahap akut/1-2 minggu) yang bertujuan:
a. Mencegah komplikasi luka
b. Menurunkan gejala akut (mengontrol rasa nyeri dan edema)
c. Mengajarkan keterampilan dan menghindari gerakan yang dapat
menyebabkan patah tulang
d. Keterampilan perbaikan ambulasi dengan menggunakan alat
bantu
e. Pencegahab kontraktur pinggul fleksi
Intervensi:
1) Ankle pump
2) Passive and active ROM anggota badan yang terkena
3) Latihan peregangan pasif
4) Praktik postur tubuh yang benar
5) Pelatihan transfer
6) Pelatihan cara toleransi duduk dan berdiri
7) Pelatihan toleransi berjalan dengan alat bantu
8) Pada tahapan ini latihan dilakukan sebanyak 10 kali
pengulangan dengan frekuensi 4 kali sehari
Tahapan gerakan (Baylor, 2009):
a) Circulatory exercises – ankle pumps
1) Arahkan pergelangan kaki ke atas dan ke bawah sampai anda
merasa penegangan otot pada area kaki
2) Lakukan sebanyak 10-20 kali.
b) Static quads
a. Berbaring dengan kaki lurus ke depan dengan salah satu kaki
ditekuk,
b. Kencangkan otot-otot di bagian paha anterior dengan menekan
lutut anda ke arah tempat tidur dan menarik jari-jari kaki anda ke
arah anda.
c. Tahan selama 4-5 detik
d. Jangan tahan napas anda
e. Ulangi 10-20 kali

c) Gluteal squeeze
1. Menegangkan otot pantat anda seketat mungkin secara bersamaan
2. Tahan sampai 4-5 detik, kemudian rilekskan
3. Jangan tahan napas anda
4. Ulangi 10-20 kali

d) Short Arc Quads


1. Berbaring telentang
2. Tempatkan gulungan handuk dibawah lutut anda
3. Angkat kaki dengan meluruskan lutut
4. Jangan menaikkan paha anda dari handuk
5. Ulangi 10-20 kali
e) Hip flexion/heel slide
1. Berbaring dengan kaki lurus di depan dengan salah satu kaki
ditekuk
2. Geser tumit kaki anda ke arah bagian gluteal, sehingga pinggul
dan lutut menjadi menekuk.
3. Geser tumit Anda pada posisi semula, kemudian rilekskan.

a) Hip Abduction and Adduction


1. Berbaring dengan kaki lurus ke depan secara bersaman
2. Menjaga jari-jari kaki menunjuk ke arah langit-langit dan lutut
lurus
3. Gerakkan kaki anda yang tidak dioperasi ke arah samping secara
perlahan.
4. Jaga agar jari-jari kaki menunjuk ke arah langit-langit dan lutut
tetap lurus
5. Kembalikan kaki anda ke posisi awal, kemudian rilekskan.
6. Ulangi 10-20 kali

f) Long arc quadriceps


1. Duduk di atas kursi Anda dengan nyaman dan kaki menyentuh
lantai
2. Tendang kaki Anda ke depan dan luruskan kaki Anda secara
perlahan, tahan selama 5 detik dan perlahan-lahan lebih rendah
untuk kembali pada posisi semula, kemudian rilekskan.
3. Ulangi 10-20 kali

2. Tahap 2 (subacute stage/ 2-6 minggu post op) yang bertujuan:


a. Meningkatkan mobilitas
b. Meningkatkan kontrol neuromuskular pada otot postural
c. Meningkatkan kekuatan dan neuromuskuler kontrol anggota badan
yang terkena
d. Pelajari mekanika tubuh yang aman
e. Meningkatkan keterampilan fungsional
f. Kemajuan jarak berjalan dengan kompensasi terhadap beban berat
tubuh
Intervensi:
a. Kemajuan ambulasi ke permukaan yang tidak rata
b. Kemajuan aktif ROM dari ekstremitas bawah yang terkena operasi
c. Kemajuan latihan terapi dengan meningkatkan kesulitan dan/atau
pengulangan latihan yang lebih disukai
d. Latihan fungsional dengan memfokuskan pada kontrol postural, daya
tahan dan waktu (tangga)
e. Kemajuan berjalan dengan mengurangi tingkat bantuan
f. Pada tahapan ini latihan dilakukan sebanyak 10 kali pengulangan
dengan frekuensi 4 kali sehari
Tahapan gerakan:
a) Ankle dorsoflexion and plantar flexion
1. Berdiri dengan berpegangan pada sandaran kursi atau permukaan
benda yang lainnya
2. Angkat tumit
3. Kembali ke posisi semula
4. Angkat jari-jari kaki ke atas
5. Kembali ke posisi awal
6. Ulangi 10-20 kali

b) Hip flexion
Perlahan angkat lutut kaki ke arah dada Anda.Jangan menekuk
pinggul Anda lebih dari sudut kanan. Turunkan kembali kaki secara
perlahan, kemudian rilekskan.

c) Hip extension
Jaga tubuh anda tegak sepanjang latihan, perlahan-lahan gerakkan
kaki anda kea rah belakang sejauh mungkin, kembali keposisi awal,
kemudian rilekskan.
d) Hip abduction
Jaga tubuh anda tegak sepanjang latihan, perlahan-lahangerakkan
kaki anda ke samping dengan menjaga jari-jari kaki Andamenunjuk
ke depan. Kembali ke posisi awal, kemudian rilekskan.

e) Hip hitching
Jaga tubuh anda tetap tegak, jari kaki dan kaki lurus secara bersama-
sama, perpendek salah satu kaki dengan mengangkat kaki. Ulangi di
sisi lain, kemudian rilekskan.

3. Fase 3 (chronic stage/ 6-12 minggu post op) yang bertujuan:


a. Meningkatkan mobilitas sendi
b. Meningkatkan kemandirian rawat jalan dan fungsional dengan dan
tanpa merancang bantu
c. Meningkatkan kontrol dinamis
d. Meningkatkan ketahanan kardiovaskular
e. Kembali ke kegiatan tingkat latihan sebelumnya
f. Mengembangkan latihan yang sehat
Intervensi
a. Meningkatkan intensitas waktu kemampuan aerobik
b. Pelatihan keseimbangan
c. Ambulasi di medan sulit dengan penurunantingkat bantuan
12. Prose Penyembuhan Tulang
Proses penyembuhan setelah fraktur dapat dimulai dengan lima
tahap, yaitu sebagai berikut:
a. Tahap kerusakan jaringan dan pembentukan hematom (1-3 hari)
Pada tahap ini dimulai dengan robeknya pembuluh darah dan terbentuk
hematoma di sekitar dan di dalam fraktur. Tulang pada permukaan
fraktur, yang tidak mendapat persediaan darah, akan mati sepanjang
satu atau dua milimeter. Hematom ini kemudian akan menjadi medium
pertumbuhan sel jaringan fibrosis dan vaskuler sehingga hematom
berubah menjadi jaringan fibrosis dengan kapiler di dalamnya (Black
dan Hawks, 2001).
b. Tahap radang dan proliferasi seluler (3 hari–2 minggu)
Setelah pembentukan hematoma terdapat reaksi radang akut disertai
proliferasi sel di bawah periosteum dan di dalam saluran medula yang
tertembus. Ujung fragmen dikelilingi oleh jaringan sel yang
menghubungkan tempat fraktur. Hematoma yang membeku perlahan-
lahan diabsorbsi dan kapiler baru yang halus berkembang ke dalam
daerah tersebut (Black & Hawks, 2001; Sjamsuhidajat dkk, 2011).
c. Tahap pembentukan kalus (2-6 minggu)
Sel yang berkembangbiak memiliki potensi kondrogenik dan
osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai
membentuk tulang dan dalam beberapa keadaan, juga kartilago.
Populasi sel juga mencakup osteoklas yang mulai membersihkan
tulang yang mati. Massa sel yang tebal, dengan pulau-pulau tulang
yang imatur dan kartilago, membentuk kalus atau bebat pada
permukaan periosteal dan endosteal. Sementara tulang fibrosa yang
imatur menjadi lebih padat, gerakan pada tempat fraktur semakin
berkurang pada empat minggu setelah fraktur menyatu (Black dan
Hawks, 2001; Sjamsuhidajat dkk, 2011).
d. Osifikasi (3 minggu-6 bulan)
Kalus (woven bone) akan membentuk kalus primer dan secara
perlahan–lahan diubah menjadi tulang yang lebih matang oleh aktivitas
osteoblas yang menjadi struktur lamellar dan kelebihan kalus akan di
resorpsi secara bertahap. Pembentukan kalus dimulai dalam 2-3
minggu setelah patah tulang melalaui proses penulangan endokondrial.
Mineral terus menerus ditimbun sampai tulang benar-benar bersatu
(Black dan Hawks, 2001; Smeltzer dan Bare, 2002).
e. Konsolidasi (6-8 bulan)
Bila aktivitas osteoklastik dan osteoblastik berlanjut, fibrosa yang
imatur berubah menjadi tulang lamellar. Sistem itu sekarang cukup
kaku untuk memungkinkan osteoklas menerobos melalui reruntuhan
pada garis fraktur, dan dekat di belakangnya osteoblas mengisi celah-
celah yang tersisa antara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah
proses yang lambat dan mungkin perlu sebelum tulang cukup kuat
untuk membawa beban yang normal
f. Remodeling (6-12 bulan)
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama
beberapa bulan, atau bahkan beberapa tahun, pengelasan kasar ini
dibentuk ulang oleh proses resorpsi dan pembentukan tulang akan
memperoleh bentuk yang mirip bentuk normalnya
B. Clinical Pathway

Trauma langsung, Trauma tidak langsung, Kondisi patologis

Fraktur Collum Femur

Pergeseran fragmen tulang Diskontinuitas tulang


Deformitas
Merusak jaringan sekitar Menembus jaringan sekitar
Risiko syndrome disuse
Pelepasan mediator nyeri (histamin, Laserasi kulit
Keterbatasan prostaglandin, bradikinin, serotonin)
pergerakan fisik Kerusakan integritas jaringan
Reseptor nyeri perifer
Defisit Hambatan Kerusakan pertahanan primer
perawatan diri: mobilitas fisik Persepsi nyeri
Mandi Port de entry kuman
Nyeri akut
Risiko infeksi
C. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a) Identitas Pasien
Identitas pasien yang perlu dikaji adalah meliputi, nama, umur (sering
terjadi pada usia di atas 60 tahun), agama, jenis kelamin (lebih sering pada
wanita), alamat, suku bangsa, status perkawinan, pekerjaan pendidikan,
nomor register, tanggal masuk rumah sakit dan tanggal pengkajian
b) Riwayat Kesehatan
1) Diagnosa medik, Fraktur collum femur
2) Keluhan utama pada pasien fraktur biasanya nyeri dan digunakan
pengkajian PQRST, Provokating incident adalah hal yang menjadi
faktor presipitasi nyeri, Quality of pain adalah seperti apa rasa nyeri
yang dirasakan pasien, apakah seperti terbakar, berdenyut/menusuk,
Region, Radiation, Relief adalah apakah rasa sakit bisa reda, apakah
rasa sakit menjalar/menyebar dan dimana rasa sakit terjadi, Scale of
pain adalah seberapa skala nyeri, Time adalah berapa lama nyeri
berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada malam hari atau
siang hari.
3) Riwayat penyakit sekarang, kaji kronologi terjadinya fraktur yang
menyebabkan fraktur bisa karena trauma langsung, tidak langsung
atau kondisi patologik, pertolongan apa yang didapatkan, apakah
sudah berobat ke dukun patah tulang
4) Riwayat penyakit dahulu, apakah pasien pernah mengalai fraktur atau
penyakit lainnya
5) Riwayat penyakit keluarga, pada keluarga pasien adakah yang
menderita osteoporosis, arthritis, dan tuberkolosis atau penyakit lain
yang sifatnya menurun dan menular
c) Pola-pola fungsi kesehatan
1) Pola persepsi dan tata leksana hidup sehat
Pasien fraktur akan merasa takut terjadi kecacatan pada dirinya dan
harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu
penyembuhan tulangnya. Selain itu pengkajian juga meliputi
kebiasaan pola hidup pasien seperti penggunaan obat steroid yang
dapat mengganggu metabolisme kalsium, pengonsumsian alkohol
yang dapat mengganggu keseimbangan pasien dan apakah pasien
melakukan olahraga atau tidak
2) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Terdiri dari antropometri, biomedical sign, clinical sign dan diet
pattern. Pasien dengan fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebih
kebutuhan sehari-hari, seperti kalsium, zat besi, protein, vitamin C dan
lainnya untuk membantu proses penyembuhan.
3) Pola aktivitas
Activity Daily Living, status oksigenasi, fungsi kardiovaskuler, dan
terapi oksigen. Timbulnya nyeri, keterbatasan gerak menyebabkan
semua bentuk kegiatan pasien menjadi berkurang dan pasien
membutuhkan bantuan orang lain.
4) Pola eleminasi
BAB dan BAK (frekuensi, jumlah, warna, konsistensi, bau, karakter)
namun terjadi kesulitan karena imobilisasi
5) Pola istirahat dan tidur
Pasien fraktur akan mengalami nyeri, keterbatasan gerak sehingga
menggangu waktu tidur dan istirahat pasien.
6) Pola hubungan dan peran
Pasien akan kehilangan peran dalam keluarga dan masyarakat karena
pasien harus menjalani masa perawatan
7) Pola penanggulangan stress
Mekanisme koping yang dialami pasien dapat menjadi tidak efektif
akibat ketakutan pasien akan kecacatan yang dapat timbul pada
dirinya
8) Pola sensori dan kognitif
Fungsi kognitif dan memori, fungsi dan keadaan indera. Biasanya
pasien akan mengalami gangguan pada indra peraba terutama pada
bagian distal fraktur
9) Pola persepsi dan konsep diri
Gambaran diri, identitas diri, harga diri, ideal diri, dan peran diri.
Dampak yang timbul pada pasien yang mengalami fraktur yaitu
ketakutan akan kecacatan akibat fraktur, rasa cemas, rasa
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal dan
pandangan akan dirinya yang salah
10) Pola reproduksi dan sosial
Terjadi disfungsi seksual karena pasien tidak dapat melakukan
hubungan seksual karena harus menjalani masa perawatan dan
keterbatasan gerak serta nyeri yang dialami
11) Pola tata nilai dan kepercayaan
Pasien tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan
maksimal terutama terhadap frekuensi dan konsentrasi dalam
beribadah akibat nyeri dan keterbatasan gerak

d) Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum, penampilan fisik atau kondisi pasien secara umum
akibat penyakit atau keadaan yang dialami pasien (baik, lemah, sakit
akut, sakit kronis, merintih, berkeringat, gemetar), ekspresi wajah,
postur dan posisi tubuh, kebersihan diri, gaya bicara, derajat
kesadaran, GCS, warna kulit, status nutrisi, mood/afek.
2) Tanda- tanda vital, meliputi tekanan darah, nadi, respiratory rate,
suhu, SpO2
3) Pengkajian fisik head to toe (inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi),
meliputi kepala, wajah, mata, hidung, mulut, telinga, leher, dada
(jantung dan paru), abdomen, ekstemitas (atas dan bawah), kulit, dan
kuku
4) Pemeriksaan fraktur
a) Look/inspeksi
1) Bandingkan dengan bagian yang sehat
2) Perhatikan posisi anggota gerak secara keseluruhan
3) Adanya tanda-tanda anemia karena perdarahan
4) Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk
membedakan fraktur tertutup atau terbuka
5) Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi dan
pemendekan
6) Lakukan survei pada seluruh tubuh apakah ada trauma pada
organ-organ lain
7) Keadaan vaskularisasi
b) Feel/palpasi
Palpasi dilakukan secara hati-hati oleh karena pasien biasanya
mengeluh sangat nyeri. Hal-hal yang perlu diperhatikan:
1) Nyeri tekan
2) Krepitasi
3) Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma
4) Pengukuran tungkai terutama pada tungkai bawah untuk
mengetahui adanya perbedaan panjang tungkai
c) Move/gerakan
1) Periksa pergerakan dengan mengajak pasien untuk
menggerakkan secara aktif dan pasif sendi proksimal dan
distal dari daerah yang mengalami trauma
2) Pada pasien dengan fraktur, setiap gerakan akan
menyebabkan nyeri hebat sehingga uji pergerakan tidak boleh
dilakukan secara kasar, disamping itu juga dapat
menyebabkan kerusakan pada jaringan lunak seperti
pembuluh darah dan saraf
3) Move untuk melihat apakah ada krepitasi bila fraktur
digerakkan, tetapi ini bukan cara yang baik dan kurang halus.
Krepitasi timbul oleh pergeseran atau beradunya ujung-ujung
tulangkortikal. Pada tulang spongiosa atau tulang rawan
epifisis tidak terasa krepitasi.
4) Memeriksa seberapa jauh gangguan fungsi, gerakan-gerakan
yang tidak mampu dilakukan, range of motion dan kekuatan
serta kita melakukan pemeriksaan untuk melihat apakah ada
gerakan tidak normal atau tidak. Gerakan tidak normal
merupakan gerakan yang tidak terjadi pada sendi, misalnya
pertengahan femur dapat digerakkan. Ini adalah bukti paling
penting adanya fraktur yang membuktikan adanya putusnya
kontinuitas tulang sesuaidefinisi fraktur. Hal ini penting
untuk membuat visum, misalnya bila tidak ada fasilitas
pemeriksaan rontgen.
d) Terapi obat yang digunakan
e) Pemeriksaan penunjang dan laboratorium
Meliputi pemeriksaan semua laboratorium, pemeriksaan radiologi dan
pemeriksaan penunjang lainnya
2) Diagnosa Keperawatan
No. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut (00132)
Definisi: Pengalaman sensori dan emosional tidak menyenangkan
berkaitan kerusakan jaringan aktual atau potensial dengan intensitas
ringan hingga berat, dengan berakhirnya dapat diprediksi kurang
dari 3 bulan
2. Hambatan mobilitas fisik (00085)
Definisi: Keterbatasan dalam gerakan fisik atau lebih ekstremitas
secara mandiri dan terarah
3. Kerusakan integritas jaringan (00041)
Definisi: Cedera pada membran mukosa, kornea, sistem integumen,
fascia muskular, otot, tendon, tulang, kartilago, kapsul sendi,
dan/atau ligamen
4. Risiko infeksi (00004)
Definisi: Rentan mengalami invasi dan multiplikasi 25rganism
patogenik yang dapat menggangu kesehatan
5. Defisit perawatan diri: Mandi (00108)
Definisi: Ketidakmampuan melakukan pembersihan diri seksama
secara mandiri
6. Risiko sindrom disuse (00040)
Definisi: Rentan terhadap penyimpangan sistem tubuh akibat
inaktivitas muskuloskeletal yang diprogramkan atau yang tidak
dapat dihindari, yang dapat mengganggu kesehatan
3) Intervensi Keperawatan

No. Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC) PARAF
Keperawatan DAN
NAMA
TERANG
1. Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam pasien NIC: Manajemen nyeri (1400) Rischa I. N
(00132) menunjukkan hasil: 1. Identifikasi faktor penyebab nyeri dan berikan
Afida
NOC: Kontrol nyeri (1605) informasi mengenai penyebab nyeri
No. Indikator Awal Tujuan 2. Beri dukungan kepada pasien untuk bisa
1 2 3 4 5 menahan nyeri
1. (160502) Mengenali 3. Lakukan kompres hangat pada daerah perut dan
√ punggung
kapan nyeri terjadi
4. Kendalikan faktor yang mempengaruhi pasien
2. (160505)
terhadap ketidaknyamanan (misalnya
Menggunakan √ lingkungan tempat tidur, pencahayaan dan suhu
tindakan pengurangan ruangan)
dengan analgesik 5. Kolaborasi pemberian analgesik
3. (160504) NIC: Manajemen lingkungan: Kenyamanan
Menggunakan √ (6842)
pengurangan nyeri 1. Ciptakan lingkungan yang tenang dan
mendukung
tanpa analgesik
2. Sediakan lingkungan yang aman dan bersih
4. (160511) Melaporkan
√ 3. Berikan pilihan sedapat mungkin untuk dapat
nyeri yang terkontrol melakukan kegiatan dan kunjungan sosial
4. Pertimbangkan sumber-sumber
ketidaknyamanan, seperti balutan yang lembab,
Keterangan:
1. Tidak pernah menunjukkan posisi selang, balutan yang tertekan, seprei
2. Jarang menunjukkan kusut, maupun lingkungan yang mengganggu
3. Kadang-kadang menunjukkan 5. Sesuaikan suhu ruangan yang paling
4. Sering menunjukkan menyamankan individu, jika memungkinkan
5. Secara konsisten menunjukkan 6. Berikan atau singkirkan selimut untuk
meningkatkan kenyamanan terhadap suhu,
seperti yang diindikasikan
7. Sesuaikan pencahayaan untuk memenuhi
kebutuhan kegiatan individu, hindari cahaya
langsung pada mata
8. Fasilitasi tindakan-tindakan kebersihan untuk
menjaga kenyamanan individu (misalnya,
menyeka badan, mengoleskan krim kulit, atau
membersihkan, rambut, dan rongga mulut)
9. Posisikan pasien untuk memfasilitasi
kenyamanan sesuai anjuran
10. Monitor kulit terutama daerah tonjolan tubuh
terhadap adanya tanda-tanda tekanan atau iritasi
2. Hambatan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam pasien NIC: Terapi latihan: Ambulasi (0221) Rischa I. N
mobilitas fisik menunjukkan hasil: 1. Beri pasien pakaian
Afida
(00085) NOC: Fungsi rangka (0211) yang tidak mengekang
No. Indikator Awal Tujuan 2. Bantu pasien untuk
1 2 3 4 5 menggunakan alas kaki yang memfasilitasi
1. (021101) Integritas √ pasien untuk berjalan dan mencegah cedera
tulang 3. Sediakan tempat tidur
2. (021102) Densitas √ berketinggian rendah, yang sesuai
tulang 4. Tempatkan saklar
posisi tempat tidur di tempat yang mudah
3. (021103) Pergerakan √ dijangkau
sendi 5. Dukung pasien untuk
4. (021104) Menopang √ duduk di tempat tidur, di samping tempat tidur
tubuh sendiri atau di kursi, sebagaimana yang dapat
5. (021105) Keselarasan √ ditoleransi pasien
rangka 6. Bantu pasien untuk
6. (021106) Stabilitas √ perpindahan, sesuai kebutuhan
sendi 7. Sediakan alat bantu
(tongkat, walker, atau kursi roda) untuk
NOC: Ambulasi (0200) ambulasi, jika pasien tidak stabil
No. Indikator Awal Tujuan NIC: Manajemen lingkungan (6840)
1 2 3 4 5 1. Ciptakan
1. (020002) Berjalan lingkungan yang aman bagi pasien
dengan langkah yang √ 2. Identifikasi
efektif kebutuhan keselamatan pasien berdasarkan
2. (020003) Berjalan fungsi fisik dan kognitif serta riwayat perilaku

dengan pelan di masa lalu
3. (020004) Berjalan 3. Singkirkan
dengan kecepatan √ bahaya lingkungan (misalnya, karpet yang
sedang longgar dan kecil, furnitur yang dapat
4. (020005) Berjalan dipindahkan)

dengan cepat 4. Singkirkan
5. (020006) Berjalan benda-benda berbahaya dari lingkungan

menaiki tangga 5. Lindungi
pasien dengan pegangan pada sisi/bantalan di
6. (020007) Berjalan √ sisi ruangan, yang sesuai
menuruni tangga
6. Sediakan
7. (020014) Berjalan √ tempat tidur dengan ketinggian yang rendah,
mengelilingi kamar
8. (020015) Berjalan √ yang sesuai
mengelilingi rumah 7. Sediakan
perangkat-perangkat adaptif (misalnya, bangku
Keterangan: pijakan atau pegangan tangan), yang sesuai
1. Sangat terganggu 8. Letakkan
2. Banyak terganggu benda yang sering digunakan dalam jangkauan
3. Cukup terganggu pasien
4. Sedikit terganggu 9. Sediakan
5. Tidak terganggu tempat tidur dan lingkungan yang bersih dan
nyaman
10. Sediakan
kasur yang kokoh
11. Sediakan linen
dan pakaian dalam dengan kondisi baik
12. Tempatkan
saklar di posisi tempat tidur yang mudah
dijangkau
13. Singkirkan
bahan-bahan yang digunakan selama
penggantian pakaian dan eliminasi, serta bau
apapun yang tersisa, sebelum kunjungan dan
waktu makan
14. Sesuaikan
suhu lingkungan dengan kebutuhan pasien, jika
suhu tubuh berubah
15. Sediakan
headphone untuk mendengarkan musik pribadi
jika (suara) musik dapat mengganggu orang
lain
16. Manipulasi
pencahayaan untuk manfaat terapeutik
17. Sediakan dan
atur makanan dan makanan yang dianjurkan
18. Bersihkan
tempat dan peralatan yang digunakan untuk
makan dan minum sebelum digunakan pasien
19. Batasi
pembatasan kunjungan untuk memenuhi
kebutuhan pasien dan/atau/orang terdekat
3. Kerusakan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam pasien NIC: Perawatan Luka Tekan (3520) Rischa I. N
integritas menunjukkan hasil: 1. Ajarkan pasien dan keluarga akan adanya
Afida
jaringan (00041) NOC: Integritas jaringan: Kulit dan Membran Mukosa (1101) tanda kulit pecah-pecah
No. Indikator Awal Tujuan 2. Hindari kerutan pada tempat tidur
1 2 3 4 5 3. Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan
1. (110101) Suhu kulit √ kering
4. Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap
2. √ dua jam sekali
(110102) Sensasi
5. Monitor kulit akan adanya kemerahan
3. (110111) Perfusi √ 6. Oleskan lotion atau minyak/baby oil pada
jaringan daerah yang tertekan
4. (110113) Integritas √ 7. Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien
kulit 8. Monitor status nutrisi pasien
5. √ 9. Memandikan pasien dengan sabun dan air
(110115) Lesi kulit hangat
6. (110116) Lesi mukosa √ NIC: Pengecekan kulit (3590)
membran 10. Periksa kulit dan selaput lendir terkait dengan
adanya kemerahan
Keterangan: 11. Amati warna, bengkak, pulsasi, tekstur,
1. Berat edema, dan ulserasi pada ekstremitas
12. Monitor warna dan suhu kulit
2. Cukup berat
13. Monitor kulit untuk adanya ruam dan lecet
3. Sedang 14. Monitor infeksi terutama daerah edema
4. Ringan 15. Ajrkan anggota keluarga/pemberi asuhan
5. Tidak ada mengenai tanda-tanda kerusakan kulit, dengan
tepat
4. Risiko infeksi Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam pasien NIC: Kontrol Infeksi (6540) Rischa I. N
(00004) menunjukkan hasil: 1. Bersihkan lingkungan dengan baik setelah Afida
NOC: Keparahan infeksi (0703) digunkan untuk setiap pasien
No. Indikator Awal Tujuan 2. Ganti peralatan perawatan per pasien sesuai
1 2 3 4 5 31rotocol institusi
1. (070301) Kemerahan √ 3. Anjurkan pengunjung untuk mencuci tangan
2. (070303) Cairan/luka pada saat memasuki dan meninggalkan pasien

yang berbau busuk 4. Batasi jumlah pengunjung
3. (070330) √ 5. Pastikan teknik perawatan luka yang tepat
Ketidakstabilan suhu NIC: Perlindungan infeksi (6550)
4. (070333) Nyeri √ 1. Monitor adanya tanda dan
gejala infeksi sistemik dan lokal
5. (070331) Lethargy √ 2. Monitor kerentanan
terhadap infeksi
6. (070332) Hilang nafsu √ 3. Batasi jumlah pengunjung,
makan yang sesuai
7. (070326) Peningkatan √ 4. Skrining semua pengunjung
jumlah sel darah putih terkait penyakit menular
5. Pertahankan asepsis untuk
Keterangan: pasien berisiko
1. Berat 6. Berikan perawatan kulit
yang tepat untuk area yang mengalami edema
2. Cukup berat
7. Periksa kulit dan selaput
3. Sedang lendir untuk adanya kemerahan, kehangatan
4. Ringan ekstrim, atau drainase
5. Tidak ada 8. Periksa kondisi setiap
sayatan bedah atau Iuka
9. Tingkatkan asupan nutrisi
yang cukup
10. Anjurkan asupan cairan,
dengan tepat
11. Anjurkan istirahat
12. Pantau adanya perubahan
tingkat energi atau malaise
13. Anjurkan peningkatan
mobilitas dan latihan, dengan tepat
14. Instruksikan pasien untuk
minum antibiotik yang diresepkan
15. Jaga penggunaan antibiotik
dengan bijaksana
16. Ajarkan pasien dan keluarga
pasien mengenai perbedaan-perbedaan antara
infeksi-infeksi virus dan bakteri
17. Ajarkan pasien dan keluarga
mengenai tanda dan gejala infeksi dan kapan
harus melaporkannya kepada pemberi layanan
kesehatan
Ajarkan pasien dan anggota keluarga bagaimana
cara menghindari infeksi
5. Defisit Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam pasien NIC: Bantuan perawatan diri: Rischa I. N
perawatan diri: menunjukkan hasil: Mandi/Kebersihan (1801) Afida
Mandi (00108)i NOC: Perawatan diri: Kebersihan (0305) 1. Letakkan air hangat, ember kecil, waslap,
No. Indikator Awal Tujuan handuk, sabun, kapas, cairan kumur-kumur di
1 2 3 4 5 sisi tempat tidur
1. (030503) 2. Sediakan lingkungan yang terapeutik dengan
Membersihkan area √ memastikan kehangatan, suasana rileks,
perineum privasi, dan pengalaman pribadi
2. (030505) Menjaga 3. Libatkan keluarga pasien untuk membersihkan
hidung untuk ddddd √ mulut dan gigi dengan tepat
kemudahan bernafas 4. Libatkan pasien untuk menyeka badan dari
dan bersih bagian muka ke kaki pasien dengan tepat
3. (030506) 5. Libatkan keluarga pasien untuk membersihkan
Mempertahankan √ area perinium
kebersihan mulut 6. Libatkan keluarga pasien untuk selalu menjaga
4. (030512) kebersihan kuku pasien
Memperhatikan kuku √ 7. Libatkan keluarga pasien setelah seka, badan
jari tangan dikeringkan dengan handuk bersih dan
5. (030516) diberikan lotion yang lembut
Memperhatikan kuku √
kaki
6. (030517)
Mempertahankan √
kebersihan tubuh
Keterangan:
1. Sangat terganggu
2. Banyak terganggu
3. Cukup terganggu
4. Sedikit terganggu
5. Tidak terganggu
6. Risiko sindrom Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam pasien NIC: Terapi Latihan : Mobilitas Sendi (0224) Rischa I. N
disuse (00040) menunjukkan hasil:
1. Tentukan batas pergerakan sendi dan efeknya Afida
NOC: Status Neurologi: Sensori tulang punggung/ fungsi
motorik (0914) terhadap fungsi sendi
2. Kolaborasikan dengan ahli terapi fisik dalam
Indikator Awal Tujuan mengembangkan dan menerapan sebuah
program latihan
1 2 3 4 5 3. Dukung latihan ROM aktif, sesuai jadwal yang
teraktur dan terencana
1. (091401)Gerakan kepala 4. Instruksikan pasien atau keluarga cara
dan bahu melakukan latihan ROM pasif, dan aktif
2. (091402) Fungsi 5. Bantu pasien ntuk membuat jadwal ROM
otonomik 6. Sediakan petunjuk tertulis untuk melakukan
latihan
(091403) Refleks tendon
dalam

3. (091405) Kekuatan tubuh


bagian atas

4. (091410) Kekuatan tubuh


bagian bawah

Keterangan:
1. Sangat terganggu
2. Banyak terganggu
3. Cukup terganggu
4. Sedikit terganggu
5. Tidak terganggu
D. Discharge Planning
a. Jelaskan penyebab penyakit, pengobatan dan komplikasi yang terjadi
b. Anjurkan pada pasien untuk kontrol secara teratur di tempat
pelayanan kesehatan dan melakukan program post operasi secara
teratur
c. Anjurkan pada pasien untuk makan makanan yang bergizi seperti
tinggi kalori, tinggi protein, tinggi vitamin dan anjurkan untuk
banyak minum 2-3 liter/hari
d. Anjurkan pasien untuk cukup istirahat dan dengan posisi yang
dianjurkan
e. Konsumsi obat sesuai dengan yang diresepkan dan segera periksa
jika ada keluhan
f. Aktivitas sedang dapat yang dilakukan untuk mencegah keletihan
dan gunakan tangan atau kaki yang tidak sakit saat melakukan
aktivitas
g. Menjaga kebersihan luka dan segera laporkan ke tenaga kesehatan
bila ada bau yang tidak enak, ada rembesan darah keluar, demam
tinggi
h. Cegah untuk terjadi trauma ulang
DAFTAR PUSTAKA

Corwin, E. J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.


Kristiyanasari. 2012. Asuhan Keperawatan Post Operasi. Jakarta: Nuha Medika.
Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan.
Sistem Imunologi. Jakarta: Salemba Medika
Ningsih, L. N. 2009. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba Medika.
Price, S. A. dan Wilson, L. M. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Edisi 6 Volume 1. Jakarta: EGC.
Rasjad, C. 2007. Pengantar Ilmu Bedah Orthopedi. Jakarta: PT. Watapone.
Reksoprodjo, S. 2009. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Tangerang: Binarupa
Aksara.
Smeltzer, S. C. dan Bare, B. G., 2006. Buku Ajar Keperawatan Medikal. Jakarta:
EGC.

Anda mungkin juga menyukai