PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
Disisi lain, berdasarkan undang-undang nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit pada
pasal 15 menyebutkan bahwa Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) harus melakukan hal
sbb:
1. Menjamin ketersediaan perbekalan farmasi yang bermutu, bermanfaat, aman dan
terjangkau,
2. Pelayanan sediaan farmasi di Rumah Sakit harus mengikuti standar pelayanan
kefarmasian.
3. Pengelolaan alat kesehatan, sediaan famasi, dan bahan habis pakai di Rumah Sakit
harus dilakukan oleh Instalasi farmasi sistem satu pintu.
4. Besaran harga perbekalan farmasi pada Instalasi Farmasi Rumah Sakit harus wajar
dan berpatokan kepada harga patokan yang ditetapkan Pemerintah
Mengingat pentingnya perbekalan farmasi, maka diperlukan adanya satu Kebijakan
tentang Pengelolaan dan Penggunaan Perbekalan Farmasi (obat dan alat kesehatan) yang
dapat dijadikan acuan di Rumah Sakit Nabasa sehingga diharapkan terjadi rasionalisasi
penggunaan
B. Tujuan
1. Umum
a. Tersedianya Kebijakan Tentang Pengelolaan Perbekalan Farmasi di Rumah
Sakit Nabasa
b. Tersedianya Kebijakan Tentang Penggunaan Obat secara Rasional di Rumah
Sakit Nabasa
2. Khusus
a. Terlaksananya pengelolaan perbekalan farmasi secara bermutu, efektif dan
efisien di Rumah Sakit Nabasa.
b. Terlaksananya penerapan farmako-ekonomi dalam pelayanan kefarmasian di
Rumah Sakit Nabasa.
c. Terlaksananya pengelolaan perbekalan farmasi Satu Pintu di Rumah Sakit
Nabasa
d. Terlaksananya pengendalian mutu perbekalan farmasi di Rumah Sakit
Nabasa.
e. Terwujudnya sistem informasi pengelolaan perbekalan farmasi
f. Terlaksananya pengendalian penggunaan perbekalan farmasi di Rumah
Sakit Nabasa.
g. Terlaksananya penerapan program patien safety di Rumah Sakit Nabasa.
C. Ruang Lingkup
1. Manajemen pengelolaan dari penggunaan perbekalan farmasi memuat seluruh
pengaturan proses pengaturan perbekalan farmasi baik obat atau alat kesehatan
dalam rangka pencapaian rasionalisasi penggunaan dan tercapainya program
patient safety di Rumah Sakit Nabasa.
2. Tenaga Kesehatan memuat tentang pokok kegiatan dan standarisasi personal
yang harus dipenuhi oleh tenaga kesehatan sesuai dengan peraturan yang
berlaku, dalam memberikan pelayanan di Rumah Sakit Nabasa.
2
3. Formularium Rumah Sakit Nabasa memuat tentang proses penyusunan dan
proses review formularium setiap periode tertentu, serta memuat tentang
komponen item obat dan perbekalan farmasi yang dimuat dalam formularium.
4. Pemilihan memuat tentang proses penentuan item perbekalan farmasi baik obat
maupun alat kesehatan yang akan digunakan di Rumah Sakit Nabasa.
5. Perencanaan memuat tentang proses penentuan jumlah dan pilihan item
perbekalan farmasi yang akan diadakan untuk memenuhi kebutuhan pelayanan
setiap bulannya di Rumah Sakit Nabasa.
6. Pengadaan memuat tentang proses pengadaan perbekalan farmasi baik secara
langsung atau pengadaan melalui CITO di Rumah Sakit Nabasa.
7. Penerimaan memuat tentang proses verifikasi dan kebenaran data perbekalan
farmasi yang dikirim oleh distributor ke Rumah Sakit Nabasa.
8. Penyimpanan memuat tentang proses dan persyaratan penyimpanan perbekalan
farmasi di Rumah Sakit Nabasa, baik di Gudang Farmasi, penyimpanan obat
pasien di Rawat inap. Persyaratan penyimpanan meliputi suhu penyimpanan,
kondisi atau tempat penyimpanan, metode penyimpanan baik FEFO (first
expired date firts out) dan FIFO (first In first out), dan penyimpanan perbekalan
farmasi khusus.
9. Pendistribusian memuat tentang proses dan persyaratan yang harus dipenuhi
dalam rangka penyaluran perbekalan farmasi baik obat maupun alat kesehatan
dan Instalasi Farmasi Rumah Sakit Nabasa ke unit satuan kerja (satker) yang
membutuhkan.
10. Peresepan memuat tentang proses aturan penulisan resep baik tentang
pemenuhan kelengkapan administratif, farmasetis dan klinis. Peresepan juga
memuat dan mengatur tentang persyaratan dokter yang boleh menuliskan resep
di Rumah Sakit Nabasa.
11. Pengkajian resep memuat tentang proses review aspek legalitas serta kejelasan
instruksi pengobatan dalam resep obat pasien.
12. Pemberian memuat tentang prosedur dan tata cara dalam memberikan obat baik
untuk pasien rawat jalan maupun pasien rawat inap. Pengaturan pemberian obat
juga mengatur tentang persyaratan tenaga kesehatan diberikan privilege dalam
memberikan obat kepada pasien di Rumah Sakit Nabasa.
13. Pengkajian penggunaan obat memuat tentang pengaturan proses review
pengobatan pasien baik rawat jalan maupun rawat inap. Proses review memuat
tentang verifikasi 7 (tujuh) Benar dalam proses pengobatan: benar obat, benar
waktu dan frekwensi pemberian, benar dosis, benar rute, benar pasien, benar
informasi dan benar dokumentasi.
14. Pengelolaan Obat rekonsiliasi memuat tentang pengaturan pengelolaan obat
yang dibawa oleh pasien, dimana obat tersebut bersumber dari luar Rumah Sakit
Nabasa. Proses pengelolaan mencakup tentang proses verifikasi pendataan dan
proses penyimpanannya.
15. Pengelolaan Obat high alert memuat tentang penentuan item obat high alert,
proses penandaan dan pelabelan, proses penyimpanan, proses pendistribusian,
3
proses pemberian kepada pasien yang menjalani rawat inap dan rawat jalan di
Rumah Sakit Nabasa.
16. Pelaporan memuat tentang proses penyusunan laporan dan pokok kegiatan yang
dilaporkan dalam pengelolaan dan penggunaan perbekalan farmasi di Rumah
Sakit Nabasa, serta tentang pelaporan temuan kejadian medication error dan
kejadian Efek Samping Obat (ESO).
D. Dasar Hukum
1. Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
3. Undang - Undang Nomor : 29 Tahun 2009 tentang Praktek Kedokteran
4. Undang-Undang Nomor : 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
5. Undang-Undang Negara RI Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
6. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Undang-Undang
Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit
7. Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan
Farmasi dan Alat kesehatan.
8. Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian.
9. Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang / Jasa
Pemerintah sebagaimana telah diubah beberapa kali dan terakhir dengan
Peraturan Presiden Nomor 70 tahun 2010.
10. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor: 1691 Tahun 2011 tentang Keselamatan
Pasien.
11. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 72 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit.
12. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 tahun 2015 tentang Peredaran,
Penyimpanan, Pemusnahan dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika dan
Prekursor Farmasi.
BAB II
KETENTUAN UMUM
A. Pengertian
4
b. Pedoman/Standar Pelayanan Medis di Rumah Sakit Nabasa
c. Panduan Praktik Klinik (Clinical Practice Guidelines) di Rumah Sakit
Nabasa
4. Tim Farmasi dan Terapi (TFT) adalah unit kerja di bawah Direktur dan
membantu Direktur dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan
peraturan tentang Manajemen Pengelolaan dan Penggunaan Perbekalan Farmasi
di Rumah Sakit Nabasa.
5. Bidang Pelayanan adalah gugus pengendali di bawah Wakil Direktur dalam
pelaksanaan pelayanan penggunaan perbekalan farmasi di Rumah Sakit Nabasa.
6. Instalasi Farmasi Rumah Sakit Nabasa adalah unit kerja struktural sebagai Pusat
Pendapatan yang berada di bawah Direktur dan mempunyai tugas melaksanakan
Manajemen Pengelolaan dan Penggunaan Perbekalan Farmasi satu pintu, dalam
rangka pelayanan kesehatan di Rumah Sakit Nabasa secara optimal.
7. Gudang Farmasi adalah bagian dari Instalasi Farmasi yang berfungsi sebagai
tempat untuk menyimpan perbekalan farmasi
8. Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP) merupakan dokter yang telah
mempunyai Surat Ijin Praktek (SIP) yang mempunyai otoritas penulisan resep
obat pasien di Rumah Sakit Nabasa. Penulisan resep dilakukan dengan jelas dan
lengkap pada lembar resep resmi.
9. Apoteker melakukan seluruh kegitan pelayanan kefarmasian berdasarkan asuhan
kefarmasian (pharmaceutical care) yaitu pada tahap : perencanaan, pengadaan,
penyimpanan, pendistribusian, penyerahan, pemberian informasi, pemberian
edukasi, pemberian konseling, pengkajian penggunaan, monitoring dan evaluasi
dan seluruh perbekalan farmasi yang digunakan di Rumah Sakit Nabasa,
Apoteker juga melakukan kegiatan pengawasan dalam rangka menjamin mutu
dan seluruh kegiatan pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit Nabasa. Kegiatan
ini dilakukan oleh Apoteker Penanggung jawab atau Koordinator. Kegiatan
pengawasan meliputi:
a. Pengkajian resep
b. Pengkajian penggunaan obat
c. Monitoring penggunaan obat
d. Monitoring efek Samping obat
e. Monitoring interaksi obat
f. Monitoring pelaksanaan dispensing obat.
10. Tenaga Teknis Kefarmasian melakukan pelayanan kefarmasian berdasarkan
good pharmacy practice (GPP) pada tahap : membantu perencanaan, membantu
pengadaan, penyimpanan, pendistribusian, membantu monitoring dan evaluasi
dan seluruh perbekalan farmasi yang digunakan di Rumah Sakit Nabasa.
11. Perawat atau bidan merupakan tenaga Kesehatan Rumah Sakit yang
memberikan pelayanan pada pasien sesuai dengan asuhan keperawatan atau
asuhan kebidanan. Dalam hal ini perawat memberikan obat pada pasien rawat
inap sesuai dengan instruksi pengobatan dari Dokter Penanggung Jawab Pasien
(DPJP).
12. Perbekalan farmasi adalah sediaan farmasi yang terdiri dari obat, bahan obat,
alat kesehatan, reagensia, radio farmasi dan gas medis.
5
B. ORGANISASI DAN TATA LAKSANA
1. Tim Farmasi dan Terapi
Tim Farmasi dan Terapi (TFT) adalah suatu unit kerja yang dibentuk untuk
membantu Direktur Rumah Sakit dalam hal membuat kebijakan tentang
panggunaan dan pengelolaan obat di Rumah Sakit.
Tujuan dibentuknya TFT adaIah:
1. Menjamin tersedianya obat dan alat kesehatan (Alkes) habis pakai yang
bermutu untuk kebutuhan pasien di Rumah Sakit Nabasa
2. Tersusunnya standar obat yang berlaku di Rumah Sakit Nabasa
3. Terwujudnya pelaksanaan kebijakan penggunaan obat dan pengelolaan yang
baik bagi pengguna maupun penyedia obat di Rumah Sakit Nabasa
4. Terselenggaranya penggunaan obat yang rasional dan aman di Rumah Sakit
Nabasa
5. Terlaksananya pengawasan, pengendalian dan evaluasi penggunaan dan
pengelolaan obat dan alkes di Rumah Sakit Nabasa
Kebijakan yang dibuat TFT menjadi acuan bagi dokter dan Instalasi Farmasi
dalam melaksanakan pelayanan obat bagi pasien. Hal ini dilakukan untuk
mendukung agar upaya penggunaan obat yang rasional dan aman dan pelayanan
kefarmasian secara paripurna dapat tercapai. Dengan tersedianya perbekalan
kesehatan yang bermutu akan memudahkan pelayanan kefarmasian di Rumah
Sakit Nabasa sehingga pelayanan yang berorientasi kepada pasien dapat
terwujud.
6
1. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
2. Monitoring Medication Error (ME)
3. Monitoring penggunaan obat
4. Evaluasi penulisan nama obat dengan nama generik
5. Evaluasi kesesuaian penulisan resep dengan formularium
6. Pengkajian Penggunaan Obat
Kegiatan rapat TFT dilakukan sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan,
meliputi:
1. Rapat evaluasi Formularium dilakukan setiap 1 (satu) tahun sekali
2. Rapat evaluasi laporan kasus dilakukan setiap 1 (satu) tahun sekali
3. Rapat koordinasi dilakukan setiap 6 (bulan) bulan sekali.
2. Instalasi Farmasi
Instalasi Farmasi Rumah Sakit Nabasa merupakan satuan kerja (satker) satu-
satunya di Rumah Sakit yang menjalankan fungsi Manajemen Pengelolaan
Perbekalan Farmasi dengan sistem satu pintu, sebagaimana yang diamanatkan
dalam undang - undang.
Berdasarkan undang-undang nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit
pada pasal 15 menyebutkan bahwa Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) harus
melakukan hal sebagai berikut
1. Menjamin ketersediaan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang bermutu,
bermanfaat, aman dan terjangkau.
2. Pelayanan sediaan farmasi di Rumah Sakit harus mengikuti standar
pelayanan kefarmasian.
3. Pengelolaan alat kesehatan, sediaan farmasi, dan bahan habis pakai di
Rumah Sakit harus dIakukan oleh Instalasi farmasi sistem satu pintu.
4. Besaran harga perbekalan farmasi pada Instalasi Farmasi Rumah Sakit harus
wajar dan berpatokan kepada harga patokan yang ditetapkan Pemerintah
Instalasi Farmasi berkedudukan dibawah dan bertanggung jawab langsung
kepada Direktur Rumah Sakit Nabasa. Instalasi Farmasi dipimpin oleh seorang
Apoteker yang berkedudukan sebagai Kepala dengan sebutan Kepala Instalasi
Farmasi dan membawahi Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian serta seluruh
Tenaga Pelaksana di Instalasi Farmasi.
Bentuk kegiatan Instalasi Farmasi Rumah Sakit Nabasa meliputi:
1. Pemilihan: bekerja sama dengan Tim Farmasi dan Terapi dalam memilih
perbekalan farmasi yang akan ditetapkan untuk digunakan di Rumah Sakit
Nabasa pada periode tertentu.
2. Perencanaan: membuat rencana untuk pengadaan perbekalan farmasi yang
persediaan stoknya sedang menipis atau habis.
3. Pengadaan: bekerjasama dengan Panitia Pengadaan Barang dan Jasa untuk
mendatangkan perbekalan farmasi yang telah direncanakan.
7
4. Penerimaan: bekerjasama dengan Panitia Penerima Barang untuk
menentukan perbekalan farmasi yang dapat diterima dari proses pengadaan
yang telah dilakukan.
5. Penyimpanan: melakukan penyimpanan perbekalan farmasi baik di gudang
pusat sesuai dengan standar penyimpanan obat yang baik.
6. Pendistribusian: melakukan pelayanan penyaluran perbekalan farmasi
kepada satker di Rumah Sakit Nabasa
7. Penyerahan: melakukan pelayanan pemberian perbekalan farmasi baik pada
pasien rawat jalan maupun pada pasien rawat inap, yang dilakukan
berdasarkan atas resep dokter atau pembelian tunai langsung.
8. Melaksanakan pelayanan farmasi klinik sesuai prosedur kefarmasian dan
etik profesi
9. Monitoring: melakukan pemantauan terhadap seluruh proses yang ada
dalam rangka mencapai efisiensi dan efektifitas pekerjaan kefarmasian yang
telah dilakukan.
10. Evaluasi : melakukan kajian dan evaluasi terhadap pencapaian target kerja
yang telah ditetapkan dan seluruh proses yang ada.
8
BAB III
PEDOMAN PELAKSANAAN
9
5. Pengkajian terhadap seluruh penggunaan obat-obatan di Rumah Sakit Nabasa
dilakukan dengan menggunakan Prosedur Pengkajian Penggunaan Obat oleh
Tenaga Kefarmasian yang telah memenuhi standar kualifikasi yang
dipersyaratkan.
6. Dalam hal pelaksanaan supervisi seluruh kegiatan pengelolaan dan pelayanan
perbekalan farmasi dilakukan oleh Kepala Instalasi Farmasi
7. Seluruh tenaga kefarmasian di Rumah Sakit Nabasa mempunyai tugas pokok
dan fungsi berdasarkan kompetensi individu masing-masing dalam
melaksanakan pekerjaan kefarmasian di Rumah Sakit Nabasa sesuai dengan
grading (jenjang) kualifikasi yang telah ditentukan.
8. Untuk menjamin kontinuitas pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit Nabasa,
maka dilakukan pelayanan non stop selama 24 (dua puluh empat) jam per hari
dan 7 (tujuh) hari per minggu baik dalam waktu normal maupun libur Nasional.
9. Penyusunan Laporan Evaluasi manajemen pengelolaan dan penggunaan
perbekalan farmasi dibuat secara rutin setiap periode dalam bentuk.
a. Laporan bulanan untuk penggunaan:
1) Laporan penerimaan bulanan perbekalan farmasi
2) Laporan distribusi dan penggunaan perbekalan farmasi:
a) Pelayanan resep dan transaksi Pendapatan/penerimaan
b) Laporan penggunaan obat Narkotik dan psikotropika
c) Laporan penggunaan obat prekursor
d) Laporan kejadian Medication Error (ME) dan Kejadian Nyaris
Cedera (KNC)
e) Laporan Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
b. Laporan triwulan evaluasi pengelolaan perbekalan farmasi:
1) Laporan penerimaan perbekalan farmasi
2) Laporan jumlah stok perbekalan farmasi
3) Laporan distribusi (jumlah penjualan) perbekalan farmasi
4) Laporan evaluasi:
a) Evaluasi penulisan nama obat dengan nama generik
b) Evaluasi kesesuaian penulisan resep dengan formularium
c. Laporan tahunan untuk penyampaian rekapan dan laporan tiap bulan dan
rekapan laporan triwulan sebagai laporan akhir tahun.
10
dengan mengisi formulir permohonan penambahan item baru. Usulan tersebut
masuk sebagai daftar adendum (tambahan). Tujuan dari adendum tersebut guna
memperluas cakupan item yang belum ada dalam daftar (list) pada formularium
sebelumnya.
4. Formularium Rumah Sakit Nabasa dimaksudkan untuk menunjang peningkatan
penggunaan obat yang rasional dan sekaligus meningkatkan daya guna dan hasil
guna dan dana (anggaran belanja obat) yang tersedia, serta sebagai upaya untuk
meningkatkan mutu dan memeratakan pelayanan kesehatan masyarakat,
khususnya di Rumah Sakit Nabasa,
5. Fomularium Obat dan alat kesehatan habis pakai di Rumah Sakit Nabasa
merupakan daftar (list) acuan/rujukan dalam rangka proses kegiatan
perencanaan, pengadaan dan penggunaannya (peresepan) pada pelayanan
kesehatan di Rumah Sakit Nabasa.
Seluruh obat yang dipilih untuk dimasukkan dalam Formularium Rumah Sakit
Nabasa merupakan obat yang telah terbukti aman dan berkhasiat sesuai dengan
tujuan terapinya. Hal ini dibuktikan dengan:
1. Surat ijin edar (registrasi obat jadi) dari Kementerian Kesehatan RI.
2. Hasil analisa uji Bio Availabilitas (BA) dan Bio Ekuivalensi (BE).
3. Surat sertifikasi Cara Pembuatan Obat Yang Baik (CPOB) atau good
manufacturing practice (GMP).
4. Surat keterangan pendukung lainya,
11
4. Formularium Obat dan Formularium Alat kesehatan (alkes) di Rumah Sakit
Nabasa merupakan daftar obat dan alkes yang menjadi acuan dalam pilihan
terapi pasien. Formularium obat berlaku selama 3 (tiga) tahun dan minimal
setiap tahun dilakukan evaluasi.
5. Prosedur penyusunan dan penetapan perbekalan farmasi dalam formularium
dilakukan sesuai dengan Standar Prosedur Operasional (SPO) Penyusunan dan
Penetapan Formularium Perbekalan Farmasi Rumah Sakit oleh Tim Farmasi dan
Terapi (TFT) berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan.
6. Prosedur evaluasi Formularium dilakukan sesuai dengan Porsedur Tetap (SPO)
Review / Pengkajian Formularium oleh Tim Farmasi dan Terapi (TFT) minimal
setiap tahun sekali.
7. Monitoring dan Evaluasi terhadap “obat baru” dalam daftar Formularium
dilakukan oleh TFT dengan menggunakan:
a. Prosedur Monitoring Efek Samping Obat (MESO) untuk mengetahui adanya
efek samping obat
b. Prosedur Monitoring lnteraksi Obat (MlO) untuk mengetahui adanya
interaksi antar obat, maupun obat dengan makanan.
8. Setiap temuan laporan terkait dengan kegiatan monitoring dan evaluasi diatas,
digunakan sebagai dasar penentuan penilaian terhadap obat-obat baru tersebut,
apakah dipertahankan atau dikeluarkan dan Formularium.
9. Seluruh penggadaan perbekalan farmasi diluar perencanaan rutin atau diluar obat
Formularium dilakukan dengan menggunakan Prosedur Pengadaan Obat CITO
D. Pengadaan
Pengadaan merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk merealisasikan
perencanaan kebutuhan. Pengadaan yang efektif harus menjamin ketersediaan, jumlah,
dan waktu yang tepat dengan harga yang terjangkau dan sesuai standar mutu.
Pengadaan merupakan kegiatan yang berkesinambungan dimulai dari pemilihan,
penentuan jumlah yang dibutuhkan, penyesuaian antara kebutuhan dan dana,
pemilihan metode pengadaan, pemilihan pemasok, penentuan spesifikasi kontrak,
pemantauan proses pengadaan, dan pembayaran.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengadaan obat antara lain:
a. Bahan baku Obat harus disertai Sertifikat Analisa.
b. Bahan berbahaya harus menyertakan Material Safety Data Sheet (MSDS).
c. Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai harus mempunyai
Nomor Izin Edar.
d. Masa kadaluarsa (expired date) minimal 2 (dua) tahun kecuali untuk Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai tertentu (vaksin, reagensia,
dan lain-lain), atau pada kondisi tertentu yang dapat dipertanggung jawabkan.
E. Penerimaan
Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis,
spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam kontrak
atau surat pesanan dengan kondisi fisik yang diterima. Semua dokumen terkait
penerimaan barang harus tersimpan dengan baik
12
F. Penyimpanan
Penyimpanan perbekalan farmasi adalah proses penyiapan stok dalam rangka
pemenuhan kebutuhan selama proses pelayanan berjalan. Beberapa ketentuan terkait
dengan proses penyimpanan perbekalan farmasi di Rumah Sakit Nabasa, antara lain:
1. Persyaratan penyimpanan:
a. Penyimpanan perbekalan farmasi dilakukan sesuai dengan kondisi
persyaratan penyimpanannya sebagaimana yang dianjurkan oleh pabrik
pembuat terkait persyaratan: suhu, kelembaban, intensitas cahaya, dan masa
expired date.
b. Seluruh perbekalan farmasi yang telah diadakan, akan diterima oleh panitia
Penerima Barang sesuai dengan kriteria dan spesifikasi yang telah
ditentukan berdasarkan pada perencanaan, serta kelengkapan dokumen
perbekalan farmasi untuk selanjutnya diserah terimakan pada Instalasi
Farmasi Untuk disimpan.
c. Persyaratan suhu dan kelembaban pada penyimpanan perbekalan farmasi,
mengacu pada nilai yang dipersyaratkan dalam Farmakope Indonesia (Fl)
terbaru.
d. Penyimpanan pada Suhu kamar (25°C) diperuntukkan bagi obat-obat, cairan
infus, alat kesehatan, pembalut dan gas medis yang dipersyaratkan
penyimpanannya pada suhu kamar.
e. Penyimpanan pada suhu dingin (dalam lemari pendingin) yaitu pada suhu 2-
8°C diperuntukan bagi obat-obat tertentu seperti: suppositoria, insulin,
produk biologis (vaksin,sera) dan reagensia yang membutuhkan suhu dingin
untuk mempertahankan stabilitasnya sesuai dengan persyaratan
penyimpanan pada etiket/brosur produk.
f. Penempatan perbekalan farmasi dalam kemasan box besar dan berat
diletakkan di lantai menggunakan alas pallet untuk menghindari kelembaban
dengan jarak ± 5 (lima) cm dari lantai.
g. Penyimpanan obat psikotropik dan narkotika dilakukan pada lemari khusus
penyimpan psikotropik dan narkotika dengan persyaratan terbuat dari bahan
yang kuat, tidak mudah dipindahkan dan mempunyai 2 (dua) buah kunci
yang berbeda, harus diletakkan di tempat yang aman dan tidak terlihat oleh
umum. Hal ini dilakukan untuk menghindari penyalahgunaan dan obat-obat
psikotropika dan narkotika.
2. Pencatatan penyimpanan:
a. Penyimpanan perbekalan farmasi di Rumah Sakit Nabasa hanya dilakukan
oleh Instalasi Farmasi. Tempat penyimpanan perbekalan farmasi di Instalasi
Farmasi terbagi menjadi dua yaitu: Tercatat dalam Gudang
b. Pencatatan terhadap seluruh jumlah persediaan stok obat dilakukan secara
simultan dengan menggunakan Standar Prosedur Operasional (SPO) Stok
Opname Perbekalan Farmasi
c. Pencatatan pada penyimpanan perbekalan farmasi dengan sistim FIFO
(First In First Out) dilakukan dengan mencatat dan input data dalam
13
komputer. Metode ini diterapkan pada perbekalan farmasi yang tidak
mencantumkan tanggal kadaluarsa. Sistim ini dilakukan dengan cara:
mencatat jumlah dalam kartu stok dan meletakkan perbekalan farmasi yang
datang lebih dulu pada posisi paling depan yaitu didepan perbekalan farmasi
yang datang berikutnya.
d. Pencatatan pada penyimpanan perbekalan farmasi dengan sistim FEFO
(First Expired First Out) dilakukan dengan mencatat dan input data dalam
komputer. Metode ini diberlakukan terhadap perbekalan farmasi yang
mencantumkan tanggal kadaluarsa. Sistim ini dilakukan dengan cara:
mencatat jumlah perbekalan farmasi dalam kartu stok, dan meletakkan
perbekalan farmasi yang mempunyai tanggal kadaluarsa lebih dahulu pada
posisi paling depan, yaitu di depan perbekalan farmasi yang mempunyai
masa kadaluarsa lebih lama.
e. Pencatatan pada penyimpanan perbekalan farmasi yang termasuk kategori
LASA ( Look Alike Sound Alike ) dilakukan guna menjalankan konsep
Patient Safety. Sistim ini dilakukan dengan cara: mencatat perbekalan
farmasi yang mempunyai bentuknya mirip dan nama / pengucapannya mirip
dan harus diletakkan terpisah, tidak boleh berdekatan, sehingga harus
diselingi dengan minimal 2 (dua) obat non kategori LASA diantaranya atau
ditengahnya.
f. Pencatatan perbekalan farmasi (obat dan alkes habis pakai) yang mendekati
waktu expired date (ED) dilakukan untuk mengendalikan supaya tidak
terjadi penggunaannya. Pencatatan dilakukan dengan mencatat: nama
produk, tanggal ED, tanggal pembuatan, produsen pembuat. Perbekalan
farmasi tersebut disimpan dalam lemari penyimpanan obat yang mendekati
ED (dalam waktu < 3 bulan). Kemudian perbekalan farmasi diretur dengan
mengembalikannya dari gudang farmasi kepada distributor, karena telah
mendekati waktu kadaluarsa (ED).
g. Perbekalan farmasi yang telah mencapai masa expired date (ED) dan tidak
dapat diretur ke distributor, maka obat tersebut disimpan dalam gudang
dalam wadah tertutup rapat. Perbekalan farmasi tersebut telah tercatat
sebagai perbekalan farmasi yang ED, yang akan dimusnahkan secara
bersamaan dalam waktu tertentu oleh “Tim pemusnahan barang”. Adapun
data yang dicatat dan perbekalan farmasi tersebut adalah:
1) Nama produk
2) Nama pabrik
3) Nomor batch
4) Tanggal produksi
5) Tanggal expired date (ED)
6) Jumlah sediaan
7) Jumlah nilai dalam rupiah.
3. Penandaan / Label penyimpanan:
a. Pembuatan label produk di Instalasi Farmasi menggunakan Standar
Prosedur Operasional (SPO) Pembuatan Label Produksi.
14
b. Seluruh perbekalan farmasi baik obat maupun alat kesehatan habis pakai
harus dapat teridentifikasi dengan mudah dan jelas melalui Label yang
menempel pada sediaan. Label tersebut telah dibuat oleh Pabrik produsen
atau oleh Bagian Produksi Farmasi. Label identifikasi minimal memuat
informasi tentang:
1) Nama produk,
2) jumlah isi/kekuatan produk
3) nomor batch
4) tanggal pembuatan
5) Nama Pembuat
6) tanggal kadaluarsa
7) peringatan
c. Pemberian label pada perbekalan farmasi yang mudah pecah dilakukan pada
rak yang kondisinya harus layak pakai dan disusun dengan rapi sehingga
tidak ada kemungkinan jatuh karena tersenggol. Tanda peringatan antara lain
: stiker “Awas Hati-Hati Barang Mudah Pecah”. Penempatan perbekalan
farmasi mudah pecah atau yang masih dalam kemasan besar tidak boleh
pada posisi rak yang tinggi untuk mencegah risiko jatuh dan menimpa
petugas.
d. Perbekalan farmasi yang mudah terbakar, disimpan dalam Gudang Tahan
Api yang dilengkapi dengan Alat Pemadam Api Ringan (APAR), dan diberi
logo/tanda bahan mudah terbakar.
e. Perbekalan farmasi yang bersifat korosif seperti sediaan farmasi bersifat
basa kuat atau asam kuat, maka ditempatkan dalam “lemari asam”. diberi
logo / tanda Awas bahan Iritan atau awas Bahan Asam / Basa Kuat.
f. Obat hibah/ sumbangan, disimpan ditempat khusus penyimpanan barang
sumbangan/ dropping/ hibah dengan diberi tanda barang sumbangan/
dropping/ hibah. Penerimaan perbekalan farmasi sumbangan disertai dengan
bukti serah terima sesuai dengan kebijakan untuk masing-masing pemberi
sumbangan / dropping / hibah. Bukti serah terima selanjutnya disimpan di
Panitia Penerima Barang dan Gudang Farmasi. Dengan tetap
mempertimbangkan persyaratan penyimpanan dari segi: suhu, kelembaban,
dan intensitas cahaya ruangan.
g. Seluruh Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan
dilakukan dengan memenuhi persyaratan objektivitas dan kelengkapan serta
tidak menyesatkan.
4. Inspeksi/Pengawasan Tempat dan Fasilitas Penyimpanan:
a. Untuk menjamin standarisasi penyimpanan obat, maka dilakukan
monitoring secara berkala terhadap fasilitias penyimpanan obat dengan
menggunakan Prosedur Pemantauan/lnspeksi Fasilitas Penyimpanan
Perbekalan Farmasi Secara Periodik.
b. Monitoring dan pengendalian fasilitas ruang penyimpanan obat dilakukan
oleh petugas yang sedang dinas sesuai jadwal yang telah ditetapkan. Materi
pemeriksaan meliputi:
1) Kebersihan ruang/tempat penyimpanan
15
2) Keamanan ruang penyimpanan: kunci, gembok dan lainnya
3) Penempatan posisi perbekalan farmasi pada tempat penyimpanan
4) Fungsi dan fasilitas penyimpanan: AC pendingin, Kulkas, pallet,rak,
lemari, kardus/box dan lainya
5) Kebocoran atap dan aliran air hujan atau rembesan air pada lantai.
6) Fungsi dan aliran listrik ruang/tempat penyimpanan
7) Ada atau tidaknya serangga pengerat : semut, rayap dan lainya
8) Ada atau tidaknya hewan pengerat: tikus dan lainya.
c. Monitoring suhu serta kelembaban ruangan dilakukan setiap hari oleh
petugas yang sedang bertugas diruangan tersebut. Monitoring dilakukan
setiap pergantian shift. Kegiatan monitoring dan pengendalian dilakukan
dengan memeriksa dan mencatat suhu lemari pendingin, suhu ruangan,
kelembaban ruang pada “Kartu Monitor Suhu”. Jika ditemukan suhu tidak
sesuai standar, maka dibuat laporan kepada Instalasi Pemeliharaan Sarana
Rumah Sakit (IFRS) untuk dilakukan kalibrasi dan perbaikan alat dalam
waktu maksimal 12 jam.
5. Sediaan nutrisi yang terbuat dari asam amino dan lipid cair serta sediaan nutrisi
lainya, maka penyimpanan sediaan tersebut dilakukan pada suhu ruangan dengan
kelembaban normal dan terhindar dan cahaya matahari secara langsung.
Pengaturan Penyimpanan produk nutrisi dilakukan sesuai dengan Prosedur
Penyimpanan Produk Nutrisi Parentral.
6. Penyimpanan sediaan psikotropika dan narkotika dilakukan dengan
menggunakan Prosedur Penyimpanan Narkotika dan Psikotropika.
7. Pengaturan Penyimpanan gas medis dilakukan sesuai dengan Prosedur
Penyimpanan Perbekalan Farmasi Gas Medis.
8. Sediaan vaksin harus tersimpan dalam suhu dingin, yaitu disimpan
pharmaceutical refrigerator yang dilengkapi dengan indikator suhu dan alarm
yang akan berbunyi apabila suhu berada diatas nilai yang dipersyaratkan.
Sehingga diharapkan dapat melindungi sediaan farmasi dan kemungkinan
kerusakan sediaan akibat suhu penyimpanan yang tidak terkendali.
9. Pengelolaan obat emergency yang tersedia dalam trolly emergency dan kotak
emergency dilakukan dengan menggunakan Prosedur Pengelolaan Obat
Emergency (gawat darurat). Prosedur ini mengambarkan tentang proses
perlindungan (proteksi), pengendalian, lokasi penyimpanan, penggantian baik
karena digunakan,rusak atau expired date, transaksi billing dan pelaporannya.
10. Obat emergency, penyimpanan diruangan rawat inap dilakukan dalam box/kotak
emergency dan dimonitor jumlah, tanggal expired date (ED) serta kondisi
lingkungan penyimpanannya setiap hari oleh petugas farmasi. Untuk obat yang
telah digunakan pasien, obat segera ditransaksikan pada pasien yang
menggunakan dan disuplai/diganti sejumlah obat yang telah digunakan supaya
obat tersebut selalu tersedia dalam jumlah stok baku (jumlah tertentu).
Box/lemari emergency selalu terkunci dan kunci dipegang oleh kepala ruang
rawat inap atau yang mewakili (diluar jam kerja).
16
11. Penyimpanan obat pasien di lnstalasi Rawat Inap menjadi tanggung jawab dari
Kepala ruangan masing-masing. Penyimpanan dilakukan di lemari pasien,
diruang rawat inap pasien. Untuk obat pasien yang membutuhkan penyimpanan
dalam lemari pendingin, maka disimpan dalam lemari pendingin ruangan dan
obat tersebut dan dilengkapi dengan stiker identifikasi secara jelas.
12. Untuk menjamin keamanan obat dari kehilangan di seluruh Rumah Sakit
Nabasa, dilakukan pendelegasian wewenang pengawasan berdasarkan lokasi
penyimpanan obat dan perbekalan farmasi Iainya, antara lain:
a. Gudang pusat, pengawasan dan pengamanan oleh lnstalasi Farmasi.
b. Ruang Rawat inap dan ruang tindakan rawat jalan; pengawasan dan
pengamanan oleh Instalasi terkait.
17
e. Menentukan metode Konseling dan pendidikan pasien terkait
pengobatannya
f. Menentukan proses Administrasi dan pencatatan dalam rekam medik
seluruh pengobatan pasien
6. Sebagai upaya peningkatan keselamatan pasien di Rumah Sakit Nabasa maka
seluruh proses peresepan harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Penulisan resep harus lengkap. Seluruh isian dalam lembar resep pasien
terisi lengkap, dapat terbaca dengan mudah dan jelas penulisannya. Apabila
ditemukan resep tidak lengkap, tidak terbaca dan atau tidak jelas maka
dilakukan klarifikasi dengan dokter penulis resëp baik langsung maupun
melalui telepon, hingga diperoleh kejelasan untuk dapat dilakukan
pelayanan.
b. Penulisan nama obat dalam resep tidak boleh disingkat, kecuali telah ada
nama singkatan Internasional yang berlaku berdasarkan struktur kimia obat
atau sesuai dengan singkatan yang berlaku di Rumah Sakit Nabasa.
c. Penggunaan singkatan khusus dalam penulisan resep harus sesuai dengan
daftar singkatan yang berlaku di Rumah Sakit Nabasa.
d. Penulisan resep obat diutamakan dengan nama Generik, terutama untuk
pasien kelas III dan Tidak Mampu. Nama paten obat ditulis apabila sediaan
obat belum tersedia sediaan generiknya.
e. Instruksi khusus yang di tulis dalam resep antara lain:
1) Cito dispencatur (cito disp) = hendaknya dibuat segera. Untuk
pelayanan segera / gawat darurat
2) Iter = hendaknya diulang/ulangan. Untuk pengulangan resep dalam
jumlah yang sama, untuk pelayanan resep lanjutan. Instruksi ini tidak
berlaku pada obat narkotika dan psikotropika.
3) No repetatur (non rep) = jangan diulang. Untuk dihentikan pengobatan
pada cure tertentu.
4) Signa Pro Renata (SPRN) untuk digunakan apabila diperlukan.
f. Permintaan Obat golongan narkotika, psikotropika tidak boleh dilakukan
melalui telepon. Selain obat tersebut dan dalam kondisi gawat darurat medis
(emergency) maka permintaan obat dapat dilakukan melalui telepon dan
dilakukan sesuai dengan Prosedur Permintaan Obat Secara Verbal. Prosedur
ini menggambarkan prosedur order melalui verbal/telepon, proses verifikasi
serta proses dokumentasi yang dilakukan.
g. Seluruh peresepan obat pada pasien pediatrik (anak) harus menuliskan berat
badan pasien. Hal ini dilakukan untuk penyesuaian dosis obat pada pasien
anak.
7. Pengkajian Peresepan Obat dilakukan terhadap resep pasien dengan
menggunakan Standar Prosedur Operasional (SPO) Pengkajian resep. Untuk
resep yang telah memenuhi persyaratan maka akan diberikan penanda berupa
stempel keterangan Resep / Obat telah di review Farmasi pada resep pasien.
Untuk resep obat yang belum dinyatakan memenuhi syarat, maka dilakukan
18
komunikasi dengan Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP) untuk menemukan
solusi permasalahan yang ditemukan terkait dengan pengobatan pasien.
8. Seluruh peresepan pengobatan pasien rawat inap dan rawat jalan tercatat dalam
rekam medik pasien. Pencatatan meliputi:
a. Tanggal Peresepan Obat.
b. Nama obat
c. Dosis obat
d. Waktu dan frekwensi pemberian
e. Rute pemberian
f. Jumlah obat
g. Edukasi yang diberikan.
9. Untuk menjamin kebenaran dan keamanan pasien (patien safety) maka
Pelayanan obat dalam resep dokter dapat dilakukan setelah dilakukan tahapan
Pengkajian Resep, dengan melakukan penilaian (assessment) terhadap resep
berdasarkan kelengkapan persyaratan:
a. Aspek Administratif
1) Tangga penulisan resep (inscriptio)
2) Nama dokter
3) Nomor SIP dokter
4) Nama pasien
5) Nomor MR pasien
6) Ruang Rawat inap (bila resep rawat inap)
7) Nama poli (bila resep rawat jalan)
8) Tanda R/ pada setiap bagian kiri setiap penulisan resep
9) Umur pasien
10) BB pasien (untuk pasien anak)
11) TB Pasien (untuk pasien anak)
12) Jenis kelamin pasien
b. Aspek Farmasetis
1) Nama setiap obat atau komposisi obat (invocatio)
2) Aturan pemakaian obat dan rute pemberian (signatura)
3) Jumlah obat yang diminta dalam resep
4) Tanda tangan atau paraf dokter penulis resep, sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku (subcriptio)
5) Dosis obat yang diberikan. Jika dosis obat dalam resep melebihi dosis
maksimal, maka diberikan tanda seru dan paraf Dokter penulis resep
pada obat tersebut
6) Resep Dokter yang mengandung narkotika harus ditulis tersendiri,
alamat pasien dan aturan pakai (signa) yang jelas dan tidak boleh ada
iter (ulangan), mihi (m.i. = ipsi = untuk dipakai sendiri)
7) Untuk aturan pakai resep obat tidak diperbolehkan ditulis usus cognitus
(tahu aturan pakainya)
8) Stabilitas dan ketidakcampuran obat untuk obat-obatan yg direkonstitusi
atau dilarutkan
c. Aspek Klinis
1) Indikasi terapi obat
2) Riwayat Alergi obat
3) Duplikasi pengobatan (polifarmasi)
4) Efek zat aditif
5) Interaksi obat dengan obat
6) Interaksi obat dengan makanan
7) Potensial efek samping obat
8) Penggunaan obat tidak sesuai dengan indikasi
19
9) Lama pengobatan
10) Pasien over weight
11) Kontraindikasi obat
10. Kegiatan pengkajian resep dilakukan oleh Apoteker (bekerja > 1 tahun di Rumah
Sakit) atau menggunakan Standar Prosedur Operasional (SPO) Pengkajian
Resep.
11. Resep obat Rawat inap maupun rawat jalan yang dilayani, kemudian diserahkan
ke ruang perawatan atau kepada pasien dengan dilakukan klarifikasi terhadap 5
(Lima) benar meliputi:
1) Tepat obat
2) Tepat waktu dan Frekwensi pemberian
3) Tepat dosis
4) Tepat rute pemberian
5) Tepat pasien
12. Pelayanan Resep obat diutamakan menggunakan Obat Generik. Untuk pasien
tunai diberikan obat sesuai dengan permintaan dalam resep pasien.
13. Untuk permintaan resep obat dengan aturan pakai pro re nate (PRN) atau jika
perlu:
a. Jika Resep pasien rawat inap : diserahkan secara individual prescription dan
diberikan total jumlah, obat dalam resep, dan obat disimpan dalam tempat
penyimpan obat pasien di ruang rawat inap untuk digunakan jika diperlukan
oleh pasien melalui perawat ruangan.
b. Jika Resep pasien rawat jalan : diberikan instruksi (aturan pakai) pada etiket
obat untuk digunakan pasien bila diperlukan saja, dan pasien dijelaskan
dengan mekanisme “konseling obat”
14. Indikasi pro re nata (p.r.n) atau “jika perlu” diberlakukan untuk obat - obat yang
mempunyai efek simpatomatik seperti: analgetika (obat nyeri), obat anti mual -
muntah, obat penurun demam (antipiretik).
15. Permintaan obat TIDAK dilakukan melalui Telepon (by phone), terutama untuk
obat - obat:
a. Obat Narkotika dan psikotropika
b. Obat kategori high alert medication
Hal ini dilakukan untuk menghindari penyalah gunaan dan kesalahan dalam
pemberian obat.
16. Pada kondisi emergency dan Cito (segera) dan diluar jam kerja, maka
permintaan obat dapat dilakukan melalui telepon oleh DPJP. Metode komunikasi
dilakukan menggunakan cara komunikasi yang baik dan harus dibuatkan resep
tertulis pada jam kerja hari berikutnya.
17. Untuk menghindari kesalahan obat, maka obat yang masuk kategori LASA
(Look alike/sound alike) atau terlihat mirip/mempunyai nama mirip, maka dalam
kondisi darurat medik, jika diorder melalui telepon maka harus dilakukan
Speling (mengeja) untuk mendapat kejelasan item yang diorder. Daftar obat
kategori LASA dimuat dalam daftar tersendiri
18. Apabila ditemukan penulisan pada resep yang kurang jelas terbaca, resep tidak
lengkap atau resep ditulis oleh orang yang tidak memenuhi syarat maka
dilakukan:
20
a. Klarifikasi dan komunikasi verbal langsung ke dokter penulis resep yang
bersangkutan
b. Apabila terjadi hambatan jarak untuk komunikasi langsung maka dilakukan
dengan komunikasi melalui telepon.
c. Metode komunikasi verbal
19. Untuk resep yang membutuhkan perhitungan dosis individual berdasarkan berat
badan (BB) maka apabila belum disebutkan jumlah dosis secara implisit dalam
resep, maka Apoteker dapat menghitung dosis yang dimaksudkan dengan
menggunakan rumus dosis obat berdasarkan berat badan. Seluruh peresepan
pasien Rawat inap, tercatat dan terdokumentasi dalam dokumen Rekam Medik
masing- masing pasien dalam formulir pencatatan resep dalam rekam medik.
Penulisan resep pada formulir pencatatan resep dalam rekam medik dengan
menggunakan Standar Prosedur Operasional (SPO). Disamping itu, peresepan
obat yang telah diberikan pada pasien tercatat juga dalam data transaksi pasien
dalam SIRS. Penelusuran data dapat dilakukan dengan menggunakan nomor
rekam medik pasien untuk dientri dalam SIRS.
21
a. Nama Pasien
b. Nama Obat
c. Dosis pengobatan
d. Aturan pakai
e. Informasi khusus (jika ada)
7. Label/etiket obat injeksi pasien terdiri dari:
a. Nama Pasien
b. Nama Obat
c. Dosis pengobatan
d. Aturan pakai
e. Informasi khusus (jika ada)
8. Untuk obat rawat inap, maka dibuatkan label kemasan pengiriman obat yang
terdiri dari:
a) Tanggal Peresepan Obat
b) Nama Pasien
c) Nomor Resep
d) Waktu Pemberian
e) Petunjuk Khusus (Jika ada)
9. Petunjuk Khusus Pelayanan dispensing obat pasien rawat inap dilakukan dengan
menggunakan Standar Prosedur Operasional (SPO) Distribusi Obat Rawat Inap
Secara Unit Dose Dispensing (UDD).
10. Pelayanan dispensing obat pasien rawat jalan dan pasien di Instalasi Gawat
Darurat (IGD) dilakukan dengan menggunakan Prosedur Distribusi Obat Rawat
Jalan secara Individual prescription dan menggunakan Prosedur Distribusi Obat
pasien IGD secara Individual prescription.
11. Seluruh pelayanan distribusi obat rawat inap dan rawat jalan dilakukan oleh
Petugas Farmasi dimeja racik yang telah terjaga kebersihannya dan dilengkapi
dengan peralatan pendukung kerja yang memadai.
12. Untuk sediaan steril, preparasi dilakukan di ruang produksi steril dengan
menggunakan Standar Prosedur Operasional (SPO) aseptic dispensing
preparation. Kegiatan ini dilakukan oleh tenaga farmasi yang telah dilatih.
13. Seluruh Penggunaan Obat pada pasien di Rumah Sakit Nabasa dilakukan
evaluasi dan pengkajian dengan menggunakan Prosedur Pengkajian Penggunaan
Obat yang dilakukan oleh Apoteker dengan kriteria:
a. Terdaftar sebagai tenaga Apoteker di Rumah Sakit Nabasa
b. Mempunyai surat tanda registrasi apoteker (STRA)
15. Kegiatan Pengkajian Peresepan dan Pengkajian Penggunaan Obat meliputi
kegiatan:
a. Penilaian terhadap kesesuaian obat dengan indikasi terapi, dosis obat, waktu
dan frekwensi pemberian, rute pemberian.
b. Evaluasi terhadap adanya duplikasi terapi
c. Penilaian terhadap adanya respon alergi dan reaksi hipersensistifitas lainnya
terhadap pasien melalui riwayat alergi pasien terhadap obat-obat tersebut.
d. Penilaian terhadap terjadinya atau potensial terjadi interaksi antar obat
dengan obat atau obat dengan makanan
e. Pengaturan jadwal penggunaan obat. Hal ini terkait dengan efek terapi
maupun terkait dengan kenyamanan pasien dalam menggunakan obat.
22
f. Monitoring kesesuaian berat badan dengan dosis obat pasien, kesesuaian
antara fungsi ginjal dengan dosis obat maupun pilihan pengobatannya,
kesesuaian antara fungsi hepar dengan obat-obat yang dapat menginduksi
hepatotoksik, kesesuaian fungsi saluran pencernaan dengan obat-obat yang
dapat menyebabkan perforasi gaster.
g. Penilaian terhadap kontra indikasi obat dengan kondisi pasien seperti: kontra
indikasi, obat buat pasien hamil atau sedang masa menyusui.
16. Seluruh hasil proses pengkajian disampaikan kepada Dokter Penanggung Jawab
Pasien (DPJP) segera secara verbal maupun tertulis untuk lakukan pengatasan
atas temuan drug related problems (DRP’s) yang ada.
17. Penyiapan penggunaan obat pasien rawat Inap, dilakukan dengan metode unit
dose dispensing (UDD) yaitu: menyiapkan obat sejumlah dosis harian yang
dibutuhkan oleh pasien selama menjalani rawat inap. Penyiapan obat pasien
rawat jalan dan pasien di Instalasi Gawat Darurat (IGD) dilakukan dengan
menggunakan metode individual precribing yaitu menyiapkan obat sejumlah
yang tertulis dalam resep obat.
18. Untuk menjamin mutu dan kualitas produk perbekalan farmasi terutama alat
kesehatan habis pakai (disposible) maka hanya untuk digunakan sekali pakai dan
tidak disarankan untuk penggunaan berulang, kecuali terdapat aturan khusus
yang memperbolehkan.
I. Pemberian Obat
1. Pemberian obat pasien rawat inap dilakukan oleh perawat ruangan sesuai jadwal
penggunaan obat secara individual. Pasien yang dalam kondisi sadar dan mampu
menggunakan obat, maka ketika menggunakan obat disaksikan oleh perawat
ruangan. Hal ini dilakukan untuk menjamin bahwa obat yang diberikan telah
digunakan sesuai dengan jadwal penggunaan obat.
2. Penyerahan obat dari farmasi ke pasien dilakukan pada pelayanan obat untuk
pasien rawat jalan dengan menggunakan Prosedur Penyerahan Obat Pasien
Rawat Jalan. Kegiatan ini dilakukan oleh Tenaga Kefarmasian yang memenuhi
kriteria yang dipersyaratkan sebagai berikut:
a. Apoteker yang telah mempunyai Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA).
b. Tenaga Tekhnis Kefarmasian (TTK) yang telah mendapatkan Surat Tanda
Registrasi Tenaga Teknis Kefarmasian (STRTTK).
c. Terdaftar sebagai tenaga kefarmasian di Rumah Sakit Nabasa.
3. Pemberian obat pada pasien rawat inap dilakukan oleh dokter dengan kriteria:
a. Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP)
b. Mempunyai surat tanda registrasi (STR) dokter
c. Mempunyai Surat Ijin Praktek (SIP) di Rumah Sakit Nabasa
4. Pemberian obat pada pasien rawat inap dilakukan oleh perawat dengan kriteria:
a. Perawat yang mempunyai Surat Tanda Registrasi (STR) Perawat
b. Untuk pemberian obat khusus seperti:Anastesi dan high alert dilakukan oleh
perawat yang telah melakukan pelatihan spesialis dibidangnya masing -
masing.
23
5. Kegiatan pemberian obat pada pasien rawat inap dilakukan dengan
menggunakan Standar Prosedur Operasional (SPO) Pemberian Obat Pada Pasien
Rawat Inap.
6. Penggunaan obat pasien rawat inap dilakukan (dibantu) oleh petugas kesehatan
yaitu oleh Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP) atau oleh perawat sesuai
dengan kompetensinya, untuk obat:
a. Enteral (Sublingual, Rektal)
b. Parenteral (intra vaskular, intra Muscular, Subcutan)
c. Lain-lain (inhalasi, intranasal, intratekal, topikal, transdermal)
7. Setiap penyerahan obat kepada pasien dilakukan verifikasi 7 (tujuh) benar antara
resep atau dokumen permintaan atau dokumen pencatatan dengan obat-obatnya
meliputi:
a. Tepat obat
b. Tepat waktu dan frekwensi pemberian
c. Tepat dosis
d. Tepat rute pemberian
e. Tepat Identitas pasien yaitu:
1) Kebenaran nama pasien
2) Kebenaran nomor rekam medik pasien
3) Kebenaran umur/ tanggal lahir pasien
4) Kebenaran alamat rumah pasien
5) Atau Nama dokter DPJP
f. Tepat informasi
g. Tepat dokumentasi
8. Seluruh penyerahan obat kepada pasien, baik rawat inap maupun rawat jalan
harus dilengkapi dengan informasi yang memadai dan dapat menjelaskan pada
pasien atau keluarga pasien tentang obat yang digunakan, sehingga dapat
menghindari kesalahan dalam penggunaan obat. Pelaksanaan kegiatan tersebut
dilakukan dengan menggunakan Standar Prosedur Operasional (SPO) Konseling
obat atau Pelayanan Informasi Obat (PlO).
9. Seluruh obat pasien rawat inap yang telah disiapkan oleh petugas farmasi,
dikirim ke ruang perawatan pasien dan dilakukan serah terima dengan perawat
ruangan dengan menggunakan prosedur serah terima perbekalan farmasi dengan
perawat. Hal ini dilakukan untuk menjamin kebenaran dan keamanan perbekalan
farmasi.
10. Waktu dan frekwensi pemberian obat setiap harinya pada pasien rawat inap
disesuaikan dengan jumlah frekwensi pemberian obat sebagaimana yang
tercantum dalam instruksi pengobatan pasien. Untuk obat yang diketahui terjadi
interaksi antar obat dengan obat maupun interaksi obat dengan makanan, maka
waktu dan frekwensi pemberian obat disesuaikan dengan t ½ (waktu paruh)
eliminasi dari masing - masing obat.
11. Rute pemberian obat disesuaikan dengan jenis obat dan instruksi dan pengobatan
yang telah dibuat oleh DPJP. Untuk obat injeksi yang diberikan dalam bentuk
drip intravena maka komposisi (isi obat) dalam 1 (satu) plabot infus hanya dapat
berisi 1 (satu) jenis obat. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya
inkompatibilitas (ketidak campuran) dan masing - masing obat injeksi.
24
J. Pengkajian Penggunaan Obat (Drug Utilization Review)
1. Pengkajian Penggunaan Obat secara prospektif merupakan kegiatan penilaian
(assessment) terhadap pengobatan pasien selama pasien menjalani pengobatan.
Kegiatan dilakukan dengan menggunakan Standar Prosedur Operasional (SPO)
Pengkajian penggunaan obat. Kegiatan dilakukan oleh apoteker dengan menilai
adanya potensial (DRP) dengan menilai:
a. Kesesuaian Indikasi obat dengan diagnosa.
b. Riwayat Alergi obat
c. Duplikasi pengobatan (polifarmasi)
d. Efek zat aditif
e. lnteraksi obat dengan obat
f. lnteraksi obat dengan penyakit
g. Kemungkinan efek samping obat
h. Penggunaan obat tidak sesuai dengan indikasi
i. Lama pengobatan
j. Pasien overweight
k. Kontraindikasi obat
l. Dan masalah lain terkait obat
2. Apoteker yang dapat melakukan kegiatan review pengobatan adalah Apoteker
yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Terdaftar sebagai tenaga Apoteker di Rumah Sakit Nabasa
b. Mempunyai surat tanda registrasi apoteker (STRA)
3. Pengkajian Peresepan dan Penggunaan Obat ditujukan untuk evaluasi terhadap
resep dan pengobatan pasien. Untuk pengobatan yang telah memenuhi
persyaratan maka akan diberikan “penanda” berupa stempel keterangan
‘Resep/Obat telah di review Farmasi’. Untuk obat yang belum dinyatakan
memenuhi syarat, maka dilakukan komunikasi dengan DPJP untuk menemukan
solusi permasalahan yang ditemukan terkait dengan pengobatan pasien.
4. Kegiatan pengkajian penggunaan obat secara retrospektif dilakukan dengan
mengumpulkan data dan catatan rekam medik pasien pada periode tertentu.
25
3. Obat yang dibawa pasien (reconciliation) yang akan digunakan sebagai
pengobatan di Rumah Sakit Nabasa, maka obat tersebut harus diserahkan untuk
disimpan dan disiapkan secara one daily dose dispensing (ODDD) yaitu
penggunaan obat sesuai dengan kebutuhan dosis yang diperlukan. Untuk obat
yang tidak digunakan, maka diserahkan pada pasien dan diberi tanda keterangan:
“obat tidak boleh digunakan tanpa instruksi dokter”
26
d. Obat LASA ditempatkan secara terpisah antara satu sama lain, untuk
menghindari kesalahan pengambilan dan penggunaan obat.
e. Penempatan obat high alert dalam lemari penyimpanan dengan metode
FIFO dan FEFO berdasarkan urutan alfabetis (urutan abjad) dengan cara:
1) Untuk obat high alert yang dipersyaratkan disimpan pada suhu dingin
yaitu antara 2-8°C maka disimpan dalam lemari pharmaceutical
refrigerator dengan suhu terkendali.
2) Untuk obat high alert yang dipersyaratkan disimpan pada suhu ruangan
yaitu 25°C maka disimpan dalam lemari yang telah diberikan penanda
khusus.
3) Untuk obat high alert yang memenuhi kriteria LASA (look Alike Sound
Alike) maka obat tersebut diletakkan secara terpisah dengan
memberikan selingan minimal 2 (dua) obat non kategori LASA
diantaranya.
3. Penandaan obat high alert:
a. Penandaan obat High Alert dilakukan dengan stiker “high alert double
check” pada obat.
b. Obat kategori look alike and sound alike (LASA) diberikan penanda dengan
stiker LASA pada tempat penyimpanan obat. Apabila obat dikemas dalam
paket untuk kebutuhan pasien, maka diberikan tanda LASA pada kemasan
primer obat.
4. Penyiapan dan Penggunaan obat high alert:
a. Penyiapan dan Penggunaan Obat kategori high alert diatur sedemikian rupa,
yang bertujuan untuk menghindari kesalahan dalam penggunaannya dan
memudahkan dalam monitoring (pemantauan) selama proses penggunaan
obat kategori high alert. Setiap penggunaan obat high alert sebagai terapi
pada pasien rawat inap di Rumah Sakit Nabasa, minimal dilakukan oleh 2
(dua) orang petugas kesehatan yang kompeten (terlatih) sebagai pelaksanaan
dan fungsi double checked.
b. Pencampuran obat kategori high alert dalam bentuk lnjeksi harus dilakukan
dengan metode aseptik (steril) guna menjaga mutu dan kualitas produk serta
sebagai upaya menghindari kesalahan dalam penggunaannya.
c. Semua obat high alert yang digunakan dalam bentuk intravena drip dalam
pelarut yang sesuai (NaCl 0,9% atau dekstrose 5%) hanya berisi 1 (satu)
macam obat, kecuali secara evident base dinyatakan compatible (dapat
tercampur) dengan obat high alert.
d. KCL 7,46% injeksi (Konsentrasi sediaan yang ada adalah 1 mEql/mL) harus
diencerkan sebelum digunakan dengan perbandingan 1 mL KCL : 10 mL
pelarut (WFI/NaCI 0,9%), Konsentrasi dalam larutan maksimum adalah 10
mEq/100 mL. Pemberian KCL lnjeksi melalul perifer diberikan secara
perlahan-lahan dengan kecepatan infuse 10 mEq/Jam (atau 10 mEq KCL
dalam 100 mL pelarut/jam). Pemberian obat KCL melalui central line (vena
sentral), konsentrasi maksimum adalah 20 mEq/100 mL, kecepatan infus
maksimum 20 mEq/Jam (atau 20 mEq KCL dalam 100 mL pelarut/jam).
27
e. NaCI 3% injeksi Intravena diberikan melalui Vena Sentral dengan kecepatan
infus tidak lebih dari 100 mL/Jam.
28
P. Informasi dan Edukasi Pasien
1. Setiap pasien berhak untuk mendapatkan informasi dan edukasi tentang obat yang
digunakan secara seimbang dan bertanggung jawab. Sehingga informasi dan
edukasi diberikan pada pasien tentang tindakan dan pengobatan yang telah
maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan
2. Pemberian informasi dan edukasi pada pasien dilakukan guna memenuhi hak
pasien atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan kegunaan
dan obat yang mereka dapatkan.
3. Pada pasien yang menggunakan obat untuk rawat jalan, maka informasi dan
edukasi dibuat sedemikian rupa sehingga mudah dibaca atau diikuti petunjuk
informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan dari obat yang digunakan,
demi keamanan dan keselamatan pasien.
4. Setiap pasien yang menerima atau menolak sebagian atau seluruh pemberian obat
yang diketahui berisiko kepadanya maka pasien diberikan informasi dan edukasi
mengenai tindakan tersebut secara lengkap.
5. Materi informasi, edukasi dan konseling terkait dengan obat diberikan minimal
tentang:
a. Indikasi obat.
b. Cara kerja obat.
c. Dosis penggunaan obat.
d. Cara pemakaian obat yang benar.
e. Waktu pemakaian obat.
f. Efek samping obat yang mungkin terjadi.
g. Cara pmengatasi efek samping ringan yang muncul
h. Cara penyimpanan obat yang benar.
i. Potensi Interaksi antara obat dengan obat
j. Potensi lnteraksi antara obat dengan makanan.
k. Cara pencegahan interaksi obat potensial dan cara mengatasi interaksi obat
yang aktual
l. Dan informasi lain yang mendukung
6. Seluruh penyampaian informasi, edukasi, dan konseling yang diberikan pada
pasien terkait dengan obat yang mereka dapatkan, harus tercatat dan
terdokumentasi dalam formulir pemberian informasi
Q. Pedoman Pengobatan
1. Prosedur pengobatan pasien di Rumah Sakit Nabasa dilakukan berdasarkan:
a. Clinical Pathway di Rumah Sakit Nabasa
b. Pedoman/ Standar Pelayanan Medis di Rumah Sakit Nabasa
c. Panduan Praktik Klinik (Clinical Practice Guidelines) di Rumah Sakit Nabasa
2. Obat yang diberikan pada pasien adalah obat-obat yang terdapat dalam
formularium Rumah Sakit Nabasa terbaru. Obat-obat tersebut telah dinyatakan
lulus uji standarisasi oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan
masih dinyatakan layak edar di Indonesia.
3. Pada kondisi pasien membawa obat atau sebelumnya telah mengkonsumsi obat
tertentu sebelum masuk perawatan maka:
a. Apabila obat tersebut digunakan dalam pengobatan lanjutan selama menjalani
rawat inap di Rumah Sakit Nabasa, maka obat tersebut diserahkan untuk di
porsi dalam terapi rawat inap.
29
b. Apabila obat tersebut tidak digunakan untuk terapi, maka obat tersebut
disimpan oleh pasien dan tidak boleh digunakan selama rawat inap. Jika
pasien ingin menggunakan obat-obat tersebut maka harus menyampaikan atau
berkonsultasi dengan DPJP sebelumnya.
c. Apabila obat tersebut akan digunakan untuk pengobatan rawat jalan, maka
Apoteker memberikan konseling dan penjelasan secukupnya pada pasien.
4. Obat pasien yang dibawa dari rumah tidak dapat digunakan selama menjalani
rawat inap di Rumah Sakit Nabasa jika diketahui:
a. Menimbulkan reaksi obat merugikan jika digunakan bersamaan dengan obat
yang sedang diberikan untuk pengobatan saat ini.
b. Menimbulkan percepatan eliminasi obat lainnya, sehingga dapat
menyebabkan percepatan dari efek obat yang lain.
c. Menimbulkan perlambatan metabolisme obat yang lainya, sehingga dapat
menyebabkan peningkatan kadar toxic dan obat yang lain.
d. Obat-obat tersebut tidak tersedia di Indonesia.
e. Dan pertimbangan lain yang dapat dipertanggungjawabkan.
5. Obat - obat yang masih dalam proses uji klinik atau dalam proses observasi lainya,
ijin penggunaan hanya untuk penelitian dan akan diberikan apabila telah melalui
persetujuan atau pengkajian komite etik Rumah Sakit Nabasa.
6. Pemberian Obat pasien JKN dilakukan sesuai dengan daftar obat yang ada dalam
formularium nasional. Apabila ada obat yang diminta adalah obat diluar
formularium nasional, maka obat tersebut dimintakan persetujuan ke Direksi
Rumah Sakit Nabasa melalui Kepala Instalasi Farmasi untuk dapat diberikan atau
tidak diberikan, dimana obat tersebut sebelumnya telah dilakukan analisa
rasionalisasi penggunaannya oleh Tim Farmasi dan Terapi (TFT). Apabila obat
tersebut tidak disetujui oleh Direksi Rumah Sakit Nabasa untuk diberikan maka
obat tersebut akan diusulkan diganti dengan kelas terapi yang sama yang tersedia.
30
BAB IV
PEMANTAUAN DAN PELAPORAN
A. Pemantauan (Monitoring)
1. Seluruh tenaga kesehatan (NAKES) di Rumah Sakit Nabasa baik Dokter, Perawat,
Bidan dan Apoteker bekerja sama dalam melakukan kegiatan Monitoring terhadap
terapi (pengobatan) yang diberikan pada pasien selama menjalani perawatan.
Kegiatan monitoring dilakukan untuk mendukung penggunaan obat yang benar
dan rasional.
2. Pemantauan kejadian Medical Error dilakukan dengan menggunakan Standar
Prosedur Operasional (SPO) Pemantauan Kejadian Medication Error, hal ini
dilakukan untuk mencegah terjadinya kejadian:
a. Sentinel
b. Kejadian Tidak Diharapkan (KTD).
c. Kejadian Tidak Cedera (KTC)
d. Kejadian Nyaris Cedera (KNC)
e. Kondisi Potesial Cedera (KPC)
3. Monitoring/pemantauan pemberian obat pasien rawat inap dilakukan selama
pasien menjalani pengobatan (selama dirawat). Kegiatan monitoring/pemantauan
pengobatan dilakukan oleh seluruh tenaga kesehatan yang terlibat langsung pada
pengobatan pasien yaitu: Dokter, perawat dan Apoteker dengan materi
pemantauan
a. Potensial efek samping obat (ESO) dengan menggunakan prosedur
Monitoring efek samping obat (MESO).
b. Potensial interaksi obat dengan obat dan potensi interaksi obat dengan
makanan dengan menggunakan prosedur tetap monitoring interaksi obat.
c. Efektifitas penggunaan antibiotik baik sebagai terapi profilaksis, empiris
maupun definitif dengan paramater pada: perbaikan hasil darah lengkap,
fungsi ginjal, fungsi hepar dan sensitifitas basil kultur bakteri.
d. Monitoring fungsi ginjal dilakukan pada obat yang mempunyai efek
nefrotoksik.
e. Monitoring fungsi hepar pada obat yang mempunyai efek hepatotoksik.
f. Monitoring potensi alergi untuk obat-obat yang mempunyai risiko
menyebabkan alergi pada pasien spesifik.
g. Monitoring pada pencapaian hasil dan pengobatan simtomatis seperti:
1) Pengobatan nyeri
2) Pengobatan mual dan muntah
3) Pengobatan simtomatis lainnya
B. Pelaporan
1. Setiap temuan terhadap timbulnya potensial DRPs baik dalam bentuk: adverse
drug event (ADE), adverse drug reaction (ADR) tercatat dalam rekam medik
pasien oleh DPJP dan didokumentaskan dengan menggunakan formulir MESO
Nasional. Tindakan pengatasan DRPs segera dilakukan dengan:
a. Menghentikan pengobatan
b. Atau Mengganti dengan obat yang lebih aman.
c. Atau Mengatur jadwal penggunaan.
31
d. Atau Menurunkan dosis obat.
e. Atau Memberikan antidot/pramedikasi sebelum penggunaan obat.
f. Membuat laporan kejadian insiden dengan mengisi formulir Laporan
Insiden (internal)
2. Laporan temuan terhadap kejadian medication error (ME) dibuat dokumentasi
dan pelaporannya:
a. Kejadian KPC dan KNC didokumentasikan dengan, Formulir pemantauan
kejadian Medication Error dan dibuatkan laporan setiap bulan ke Direksi
dan Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit Nabasa
b. Laporan kejadian KTC, KNC dan Sentinel diakukan oleh satker yang
menjadi tempat temuan kejadian dan dilaporkan ke KKPRS dalam waktu
maksimal 48 jam setelah temuan.
BAB V
PENUTUP
32
obat. Hal ini didorong oleh keinginan dalam mencapai pelayanan pasien secara aman
(patient safety) di Rumah Sakit Nabasa.
Untuk mencapai pelayanan kesehatan yang maksimal, tersedianya Pedoman saja tidaklah
menjamin terlaksananya standarisasi pelayanan kesehatan di Rumah Sakit Nabasa, tetapi
yang lebih penting dan itu adalah pelaksanaannya di lapangan terkait dengan kepatuhan
dalam melaksanakan pedoman tersebut. Untuk itu diharapkan sumber daya manusia
kesehatan yang ada, terutama: dokter, tenaga farmasi, perawat yang ada di rumah sakit,
serta besarnya dukungan kebijakan manajeman Rumah Sakit Nabasa diharapkan dapat
menumbuhkan komitmen bersama dalam memberikan pelayanan kesehatan yang terbaik
buat masyarakat, sehingga diharapkan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit Nabasa akan
semakin optimal dirasakan oleh pasien dan masyarakat.
33