Anda di halaman 1dari 60

FACE THREATENING ACTS DAN STRATEGI KETIDAKSANTUNAN

PADA MURID DAN GURU DALAM FILM FREEDOM WRITERS:


KAJIAN PRAGMATIS

SKRIPSI

diajukan untuk menempuh sidang ujian sarjana pada


Program Studi Bahasa dan Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Padjadjaran

ZAHRA NUR FADILAH


NPM 180410140027

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS ILMU BUDAYA
JATINANGOR
2018
DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 3
1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 3
1.2 Identifikasi Masalah .................................................................................... 4
1.3 Tujuan Penelitian......................................................................................... 5
1.4 Kegunaan Penelitian .................................................................................... 5
1.5 Kerangka Pemikiran .................................................................................... 5
1.6 Metodologi Penelitian ................................................................................. 8
1.7 Lokasi dan Waktu Penelitian....................................................................... 8
BAB II KAJIAN TEORI ...................................................................................... 9
2.1 Penelitian Terdahulu ................................................................................... 9
2.2 Pragmatik .................................................................................................. 11
2.2.1 Tindak Tutur.................................................................................... 11
2.2.2 Konteks ........................................................................................... 13
2.2.2.1 Situational context ....................................................................... 13
2.2.2.2 Background knowledge context ................................................... 14
2.2.2.3 Co-textual context ....................................................................... 14
2.2.3 Face Threatening Acts .......................................................................... 15
2.2.3.1 Tindakan yang Mengancam Addressee’s (H’s) ............................. 16
2.2.3.2 Tindakan yang Mengancam S’s (Pembicara) Face ........................ 17
2.2.4 Ketidaksantunan.................................................................................... 18
2.2.4.1 Bald on record impoliteness ........................................................... 19
2.2.4.2 Positive impoliteness...................................................................... 20
2.2.4.3 Negative impoliteness .................................................................... 21
2.2.4.4 Sarcasm or mock politeness ........................................................... 22
2.2.4.5 Withhold politeness........................................................................ 22
2.2.4.6 Respon Terhadap Ketidaksantunan ................................................ 22
2.2.4.7 Conventionalised Impoliteness Formulae ...................................... 23
BAB III OBJEK DAN METODE PENELITIAN ............................................ 29
3.1 Objek Penelitian ........................................................................................ 29

i
3.2 Metode Penelitian ...................................................................................... 29
3.2.1 Teknik Pengumpulan Data .............................................................. 30
3.2.3 Teknik Klasifikasi Data................................................................... 30
3.2.3 Teknik Analisis Data ....................................................................... 30
BAB IV PEMBAHASAN.................................................................................... 31
4.1 Mengancam Addressee’s (H’s) Positive-face Want .................................... 31
4.1.1 Condescensions ..................................................................................... 31
4.1.2 Pointed Criticisms/Complaints ............................................................. 32
4.1.3 Insults .................................................................................................... 37
4.1.4. Challenging or unpalatable questions and/or presuppositions ............. 41
4.2 Mengancam Addressee’s (H’s) Negative-face Want .................................. 43
4.2.1 Message enforces .................................................................................. 43
4.2.2 Pointed Criticisms/Complaints ............................................................. 45
4.2.3 Challenging or unpalatable questions and/or presuppositions .............. 47
4.2.4 Condescensions ..................................................................................... 51
4.2.5 Dismissals ............................................................................................. 52
BAB V SIMPULAN ............................................................................................ 55
Pustaka Acuan ..................................................................................................... 57
Synposis ................................................................................................................ 59
Riwayat Hidup..................................................................................................... 60
3

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Berdasarkan Brown dan Levinson (1987), istilah face threatening acts atau FTA
membahas segala tindakan yang pada dasarnya mengancam muka atau dapat
disebut citra. Para pembicara diharapkan dapat menghormati harapan masing-
masing partisipan dengan memperhatikan citra diri, perasaan, dan menghindari face
threatening acts.
Citra diri terdapat pada setiap orang dalam berinteraksi. Merujuk West dan
Turner (2010) mengacu pada Domenici & Littlejohn (2006) berdasarkan penelitian
Ting-Toomey bahwa face merupakan fitur penting dalam kehidupan, sebuah
ungkapan metafora untuk citra diri (self-image) yang mencakup semua aspek dalam
kehidupan sosial. Berdasarkan penelitian Ting-Toomey dapat dikatakan bahwa
ketika berinteraksi, face berperan penting.
Culpeper (1996) menyatakan gagasan impoliteness membahas mengenai
perkataan lawan bicara yang menyebabkan suasana menjadi tidak harmonis. Teori
Culpeper menandakan bahwa ketika berinteraksi, pembicaraan tidak selalu berjalan
harmonis.
Teori face threatening acts atau FTA dan ketidaksantunan atau impoliteness
dapat dikatakan termasuk kedalam kajian pragmatis. Merujuk Brown dan Levinson
(1987), Sperber dan Wilson 1986 dalam Levinson mengatakan prinsip pragmatis
yaitu mengekspresikan satu hal dengan suatu ujaran yang menggunakan istilah ‘apa
yang dikatakan’. Ujaran yang mengancam citra (FTA) melalui ketidaksantunan
menjadi penting untuk dibahas dengan kaitannya antara murid dan guru. ‘Apa yang
dikatakan’ murid kepada guru maupun sebaliknya dapat dianalisis menggunakan
kajian pragmatis yang kaitannya dengan ujaran kedua belah pihak.
4

Guru memiliki status yang lebih tinggi dari murid. Hal tersebut terlihat dari
ilmu yang didapatkan guru lebih tinggi. Merujuk Hanifah (2016) bahwa guru sudah
tahu secara mendalam apa yang diajarkannya. Seorang guru hendaknya memiliki
sifat wibawa untuk dapat memberikan contoh yang baik kepada muridnya. Hanifah
(2016) mengatakan tugas utama guru dalam kelas adalah memberikan keteladanan,
pengalaman serta ilmu pengetahuan kepada para murid. Maka sudah sepatutnya
guru dihormati dan dihargai oleh para muridnya.
Merujuk Yule (1996) bahwa berinteraksi melibatkan aspek jarak sosial dan
faktor kuasa. Berdasarkan pendapat Yule, faktor-faktor tersebut dapat ditemui pada
hubungan antara anggota keluarga, murid dan guru, maupun hubungan majikan dan
karyawan. Jarak sosial yang terdapat pada guru dan murid mempengaruhi proses
belajar mengajar.
Pemilihan film Freedom Writers sebagai sumber data karena peneliti
bermaksud membahas ujaran murid dan guru yang dikaji berdasarkan alat yaitu face
threatening acts disampaikan melalui strategi ketidaksantunan. Para murid dan
guru cenderung saling melemparkan ujaran yang mengancam citra masing-masing
pihak. Ujaran tersebut menyebabkan terjadinya konflik antara dua pihak.
Oleh karena itu, skripsi ini berjudul “Face Threatening Acts dan Strategi
Ketidaksantunan Pada Murid dan Guru dalam Film Freedom Writers: Kajian
Pragmatis” dengan analisis menggunakan teori face threatening acts dan strategi
ketidaksantunan.

1.2 Identifikasi Masalah


Penelitian ini membahas jenis-jenis face threatening acts (FTA) dan strategi-strategi
ketidaksantunan pada perkataan murid dan guru. Untuk menganalisis ujaran yang
mengandung FTA dan strategi ketidaksantunan, penulis memerlukan identifikasi
masalah dengan tiga pertanyaan:
1. Apa jenis face threatening acts (FTA) yang digunakan dalam ujaran antara
para murid dan guru pada film Freedom Writers?
5

2. Apa jenis conventionalised impoliteness formulae yang digunakan melalui


strategi ketidaksantunan dalam ujaran antara para murid dan guru pada film
Freedom Writers?
3. Apa jenis tindak tutur ilokusi yang terdapat pada FTA serta menunjukkan
ketidaksantunan antara murid dan guru dalam film Freedom Writers?

1.3 Tujuan Penelitian


Dasar pemikiran untuk membahas ujaran antara murid dan guru dengan FTA dan
strategi ketidaksantunan adalah terdapatnya kecenderungan ujaran-ujaran murid
yang tampak tidak menghargai guru yang berkulit putih. Berdasarkan dua
pertanyaan dalam identifikasi masalah, dapat dibuat tujuan penelitian sebagai
berikut:
1. Mendeskripsikan jenis-jenis face threatening acts yang digunakan dalam
tindak tutur antara para murid dan guru pada film Freedom Writers.
2. Mendeskripsikan jenis-jenis conventionalised impoliteness formulae yang
digunakan melalui strategi ketidaksantunan pada ujaran antara para murid
dan guru dalam film Freedom Writers?
3. Mendeskripsikan jenis-jenis tindak tutur ilokusi yang terdapat pada FTA
serta menunjukkan ketidaksantunan antara murid dan guru dalam film
Freedom Writers.
1.4 Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan
manfaat secara praktis. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan kontribusi serta memperkaya penelitian mengenai face threatening
acts dan ketidaksantunan yang melibatkan partisipan antara murid dan guru dalam
interaksi di kelas bagi peneliti selanjutnya.
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam
bidang pengajaran dan komunikasi yang dilakukan antara murid dan guru. Face
threatening acts dan ketidaksantunan cenderung memiliki pengaruh terhadap
interaksi dalam kelas.
1.5 Kerangka Pemikiran
6

Film Freedom Writers berdasarkan kisah nyata mengenai guru berkulit putih yang
berusaha mengajarkan muridnya yang terdiri dari ras yang berbeda. Perbedaan ras
tersebut disertai perbedaan warna kulit dapat menimbulkan konflik dalam interaksi
di kelas.
Untuk membahas identifikasi masalah, diperlukan dua teori utama, yaitu
yaitu Face Threatening Acts (FTA) dan teori ketidaksantunan. Teori FTA dirujuk
dari Brown dan Levinson (1987). FTA dibagi kedalam dua komponen yaitu,
negative face dan positive face. Berdasarkan dua komponen tersebut, FTA dibagi
sesuai dengan ujaran dari dua kelompok yaitu, pembicara dan lawan bicara. Ujaran
yang mengandung FTA dapat disampaikan melalui penggunaan bahasa yang tidak
santun. Ujaran tersebut diteliti berdasarkan teori “Impoliteness” yang dirujuk dari
Culpeper (1996) berdasarkan jurnal yang berjudul “Towards An Anatomy of
Impoliteness”. Culpeper membagi impolteness dalam lima strategi. Ujaran
ketidaksantunan juga dianalisis menggunakan karakteristik untuk menentukan
strategi ketidaksantunan yang sesuai berdasarkan jurnal berjudul
“Conventionalised Impoliteness Formulae” dari Culpeper (2010).
Teori lain untuk menganalisis ujaran antara murid dan guru juga
menggunakan teori konteks dari Cutting (2002). Teori speech acts berdasarkan
Cutting merujuk teori dari Austin (1962) serta dari Searle (1976) untuk. Cutting
(2002) merujuk Austin bahwa ujaran yang dihasilkan dapat dikelompokkan
kedalam tiga level yaitu, lokusi, ilokusi, dan perlokusi.
7

Taksonomi Teori
Berikut taksonomi teori yaitu urutan teori berdasarkan urutan dalam menganalisis
data. 1. Tindakan yang mengancam
Addressee’s (H’s)
a. Mengancam Addressee’s (H’s)
Positive-face Want
b. Mengancam Addressee’s (H’s)
Negative-face Want
2. Tindakan yang Mengancam S’s
(Pembicara) Face
a. Mengancam S’s Negative-Face
Want
Pragmatis
b. Mengancam S’s Positive Face
Face Threatening Acts
Brown dan Levinson
Face Threatening Acts dan (1987)
Strategi Ketidaksantunan
Pada Murid dan Guru 1. Bald on Record Impoliteness
2. Positive Impoliteness
Impoliteness 3. Negative Impoliteness
Culpeper (1996) 4. Sarcasm or Mock Impoliteness
5. Withhold Politeness
Konteks Cutting V
(2002) Conventionalised Impoliteness Formulae
Culpeper (2010)
1. Insults
1. Situational context 2. Pointed Criticisms/Complaints
2. Background 3. Challenging or unpalatable questions
knowledge context and/or presuppositions
3. Co-textual context 4. Condescensions
5. Message Enforcers
6. Dismissals
7. Silencers
Speech Acts Austin 8. Threats
(1962) dalam
9. Negative expressives (curses)
Cutting (2002)
Tindak Tutur Ilokusi
Searle (1976) dalam
Cutting (2002)
8

1.6 Metodologi Penelitian


Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif. Merujuk Creswell (2009) bahwa
penelitian kualitatif digunakan sebagai sarana untuk menyelidiki dan memahami
maksud individu atau kelompok terkait dengan masalah sosial. Berdasarkan
pendapat Creswell, penelitian ini menyelidiki ujaran antara murid dan guru yang
terkait dengan konflik sosial.
Heigham dan Croker (2009) mengatakan bahwa para peneliti dari penelitian
kualitatif menggunakan analisis yang bersifat interpretif untuk menyelidiki dan
menemukan pola perilaku serta berpikir. Penelitian kualitatif dilakukan dengan
analisis data secara deskriptif. Merujuk Djajasudarma dan Citraresmana (2016)
bahwa penelitian dengan metode kualitatif dapat memproduksi data deskriptif.

1.7 Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini menggunakan metode studi kepustakaan melalui pemilihan teori
sesuai data pada film sehingga tidak memerlukan lokasi tertentu untuk
pengerjaannya. Merujuk George (2008: 23) studi pustaka adalaha
“an investigation involving accepted facts, unknowns, speculation, logical
procedures rigorously applied, verification, evaluation, repetition, and ultimately
an interpretation of findings that extends understanding.
Berdasarkan pendapat George dapat dipahami bahwa studi pustaka
merupakan penyelidikan lebih jauh terhadap suatu data yang berkaitan dengan
fakta, dugaan-dugaan yang ada pada data serta pemahaman yang terdapat pada
penemuan dalam suatu penelitian.
Proses penelitian mulai dilakukan pada bulan Maret 2018.

Mei Juni
Kegiatan
1 2 3 4 1 2 3 4
Menyerahkan bab 1 pada
pembimbing 1 dan 2 untuk
diberikan catatan
9

Memberikan revisi bab 1 pada


pembimbing 1
Merevisi bab 1 yang masih
terdapat kekurangan, merevisi
bab 2, serta menambahkan
contoh hasil analisis data
Memberikan revisi bab 1, bab 2,
bab 3 serta contoh hasil analisis
data pada pembimbing 1
Merevisi bab 1 yang masih
terdapat kesalahan
Memberikan hasil revisi bab 1
pada pembimbing 2
BAB II
KAJIAN TEORI

2.1 Penelitian Terdahulu


Penelitian ini terinspirasi dari penelitian Busayo Olamide Ige dari University of
KwaZulu-Natal Durban pada tahun 2007 dengan judul “Impoliteness in Context”.
Peneliti membahas ketidaksantunan pada mahasiswa perempuan dan laki-laki. Ige
menghasilkan bahwa Interpretasi siswa dan penilaian ketidaksantunan
mengungkapkan bahwa identitas tertentu yang lebih disukai mempengaruhi
perilaku mereka. Ketidaksantunan dapat digunakan sebagai alat untuk memperoleh
kekuasaan dan menyatakan perasaan negatif atau tidak suka.
Selanjutnya, penelitian ini merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh
Vinni Maestro dari Universitas Padjadjaran dengan judul “Strategi
Ketidaksantunan dan jenis Face Threatening Acts dalam Film-Film “Marvel
Cinematic Universe” pada tahun 2016. Penelitian tersebut membahas jenis-jenis
strategi ketidaksantunan serta jenis FTA apa saja yang terdapat dalam beberapa film
“Marvel Cinematic Universe”. Peneliti memfokuskan penelitiannya pada
ketidaksantunan dari ujaran-ujaran yang dikemukakan para tokoh di tiga film
“Marvel Cinematic Universe” serta menganalisis jenis FTA yang berhubungan
dengan strategi ketidaksantunan menggunakan kata-kata kasar, makian, maupun
ejekan. Peneliti menggunakan teori Culpeper (1996) untuk menganalisis strategi
ketidaksantunan serta teori Brown dan Levinson (1987) untuk menganalisis FTA
yang muncul.
Penelitian “Face Threatening Acts dan Strategi Ketidaksantunan Pada
Murid dan Guru dalam Film Freedom Writers: Kajian Pragmatis” memiliki
perbedaan dengan penelitian sebelumnya. Perbedaan terlihat dari teori serta objek
yang digunakan. Teori yang berbeda yang tidak digunakan Ige adalah teori FTA
dan teori conventionalised impoliteness formulae, sedangkan teori dari penelitian
Vinni tidak menggunakan teori tindak tutur dan juga teori conventionalised
impoliteness formulae dalam menganalisis data. Peneliti terinspirasi dari beberapa
kekurangan dalam penelitian terdahulu.

9
10

Objek penelitian yang digunakan oleh peneliti berbeda dengan dua


penelitian sebelumnya. Freedom Writers adalah film dengan tema sekolah yang
melibatkan murid-murid berbada ras yang sering berkonflik dan seorang guru yang
berjuang untuk mengajarkan mereka dalam kelas bahasa Inggris. Peneliti
membahas ujaran antara murid dan guru yang mengandung ujaran yang
mengancam melalui strategi ketidaksantunan. Peneliti juga menganalisis tindak
tutur apa yang cenderung digunakan oleh murid dan guru dalam mengatakan ujaran
yang mengancam melalui strategi ketidaksantunan. Ada formula tertentu yang
tampak saat murid dan guru mengatakan ujaran tersebut.
N Penulis Judul Metode Teori Objek Penelitian
o.
1 Busayo “Impoliteness in Mixed Strategi Ujaran antara
Olamide Ige Context” method Ketidaksantunan, mahasiswa di
(2007) Gender, dan University of
Konstruksi Natal antara
Identitas November 2002
samapai
November 2003
2. Vinni Maestro “Strategi Metode FTA, Strategi Ujaran pada
(2016) Ketidaksantunan Kualitatif Ketidaksantunan, tokoh-tokoh di
dan jenis Face Konteks, film-film Marvel
Threatening Acts Implikatur Cinematic
dalam Film-Film Universe
“Marvel Cinematic
Universe” ”
3. Zahra Nur “Face Threatening Metode FTA, Strategi Ujaran antara
Fadilah (2018) Acts dan Strategi Kualitatif Ketidaksantunan, murid dan guru
Ketidaksantunan Formula dalam film
Pada Murid dan Ketidaksantunan, “Freedom
Guru dalam Film Writers”
11

Freedom Writers: Tindak Tutur,


Kajian Pragmatis” Konteks

2.2 Pragmatik
Merujuk Yule (1996) “Pragmatics is the study of the relationships between
linguistic forms and the users of those forms” (hlm. 4). Berdasarkan kutipan
tersebut, terlihat bahwa Yule mengaitkan pengguna bahasa atau pembicara dengan
bentuk linguistik yang dihasilkan. Studi pragmatik menurut pandangan Yule
menganggap penting bentuk-bentuk linguistik yang dihasilkan pembicara serta
siapa pembicara yang menghasilkan bentuk-bentuk linguistik tersebut.
Merujuk Levinson (1983: 9) “Pragmatics is the study of those relations
bctween language and context that are grammaticalized, or encoded in the
structure of a language”. Levinson berpendapat bahwa studi pragmatik berkaitan
dengan bahasa dan konteks yang
Leech (1983) mengatakan mengenai studi pragmatik “pragmatics: how
language is used in communication (hlm. 1)”. Studi mengenai pragmatik dalam
pandangan Leech ditampilkan dengan penggunaan bahasa dalam berkomunikasi
dengan tidak menghiraukan siapa pembicara dalam kegiatan berkomunikasi.

2.2.1 Tindak Tutur


Yule (1996: 47) menyatakan bahwa ujaran yang diucapkan dapat mengandung aksi
seperti dinyatakan dalam kutipan berikut:

Actions performed via utterances are generally called speech acts and, in English, are
commonly given more specific labels, such as apology, complaint, compliment, invitation,
promise, or request.

Berdasarkan pernyataan diatas, dapat dikatakan bahwa pada umumnya setiap


interaksi yang terjadi terdapat speech acts. Tindak tutur diklasifikasikan kedalam
tiga level yaitu, locutionary act, illocutionary force, dan perlocutionary effect
(Cutting, 2002: 16)
12

Locutionary act dapat diartikan sebagai “the act of saying something”


(2002: 16). Level pertama ini hanya berisi apa yang mau dikatakan oleh pembicara
dan tampak tidak mengandung maksud apapun. Berbeda dengan locutionary act,
level kedua dari tindak tutur, illocutionary force, berisi maksud tertentu yang ingin
diutarakan pembicara “ ‘what is done in uttering the words’, the function of the
words, the specific purpose that the speakers have in mind’ ” (2002: 16). Level
terakhir, perlocutionary effect, berisi “ ‘what is done by uttering the words’: it is
the effect on the hearer, the hearer’s reaction’ “(2002: 16). Tindakan ilokusi
menghasilkan dampak yang akan dihasilkan dalam tindakan perlokusi.
Berikut pengelompokkan tindak tutur menurut Searle (1976):
Klasifikasi Tindak Tutur Definisi
Declarations Change the world by their
very utterance
Representatives The words state what the
speaker believes to be the
case (claiming, describing)
Commissives The words commit the
speaker to future action
(promising, offering,
threatening)
Directives Making the hearer to do
something (Commanding,
requesting, forbidding)
Expressives The words state what the
speaker feels
(Cutting, 2002: 16-17)
Tindak tutur declarations berupa ujaran yang menyatakan suatu keadaan.
Pernyataan yang termasuk tindak tutur declarations yaitu “I resign", "You're fired",
dan "War is hereby declared” (Searle, 1979: 16). Searle (1979) juga menyebutkan
mengenai assertive (mengklasifikasi, mendeskripsikan, serta menyebut) untuk
penyebutan representatives dalam menyatakan hal yang dianggap sebagai
kebenaran. Commissives berkaitan dengan tindakan selanjutnya yang pembicara
13

akan lakukan. Searle (1979: 8) menyatakan beberapa verba dari tindak tutur
commissives seperti promise, vow, pledge, covenant, contract, guarantee, embrace,
and swear. Yule (1996) menyatakan penolakan juga termasuk tindak tutur komisif.
Tindak tutur directives berdampak pada pendengar yang akan melalukan perintah
atau sesuatu dari pembicara. Searle (1979: 14) mengelompokkan verba yang
termasuk dalam tindak tutur ini yaitu “ask, order, command, request, beg, plead,
pray, entreat, and also invite, permit, and advise”. Searle (1979: 14) juga merujuk
pada pengelompokkan verba behabitives (dare, defy dan challenge) dari Austin
termasuk kategori directives. Tindak tutur expressives mengungkapkan perasaan
dari pembicara. Kelompok verba dalam tindak tutur ini adalah "thank",
"congratulate", "apologize", "condole", "deplore", and "welcome" (1979: 15). Yule
(1996) mengatakan bahwa “statements of pleasure, pain, likes, dislikes, joy, or
sorrow” (hlm. 53) dapat termasuk tindak tutur ekspresif.

2.2.2 Konteks
Konteks berpengaruh pada keberlangsungan proses berkomunikasi. Cutting (2002:
3) membedakan konteks kedalam tiga jenis, yaitu:
2.2.2.1 Situational context
Situasi yang hanya ada disekeliling pembicara menjadi penting dalam
konteks ini. Merujuk Cutting (2002: 3) “what speakers know about what they can
see around them”. Konteks ini hanya mencakup keadaan atau situasi yang ada pada
saat pembicara memproduksi ujaran. Cutting (2002: 4) juga berpendapat “The
situational context is the immediate physical co-presence, the situation where the
interaction is taking place at the moment of speaking”. Berdasakan pendapat
Cutting, dapat dikatakan konteks situasi adalah situasi dimana pembicara
mengetahui bahwa pendengar dapat melihat dan mengerti apa yang pembicara
katakan dengan tindakan yang dilakukan pembicara. Misalnya pembicara berkata
“Campurkan tepung ini dengan mentega lalu aduk seperti ini”. Pembicara
hendaknya membuat suatu gerakan atau tindakan untuk membuat pendengarnya
mengerti apa yang dikatakan. Merujuk Cutting (2002: 4) “ ‘This’ is a demonstrative
pronoun, used for pointing to something, an entity, that speaker and hearer can
14

see”. Seperti contoh diatas, ‘ini’ setelah kata ‘tepung’ dan kata ‘seperti’
menunjukkan pada suatu benda atau cara yang pendengar harus perhatikan untuk
bisa mengerti pembicaraan tersebut:

2.2.2.2 Background knowledge context


Pada konteks ini, para pihak saling berbagi pengetahuan yang sama. Merujuk
Cutting (2002) “what they know about each other and the world (hlm. 3)”. Konteks
ini terbagi atas dua jenis yaitu:
 “cultural general knowledge that most people carry with them in their
minds, about areas of life.
 interpersonal knowledge, specific and possibly private knowledge about the
history of the speakers themselves (Cutting, 2002: 5)”.
Cutting (2002: 5) mengilustrasikan konteks pengetahuan dasar tentang
budaya dengan percakapan dua orang yang berbagi pengetahuan tentang keadaan
mendaki gunung.

...AF and DM share cultural background knowledge about the low mountains on
the island. AF does not appear surprised that DM and his friends went ‘hill
walking’... the walk was strenuous enough to make smebody’s knees swell.

Pengetahuan mendaki gunung hanya diketahui AF dan DM dan pengetahuan yang


hanya diketahui mereka dalam percakapan tersebut tidak bisa dijelaskan hanya
melalui gerakan atau tindakan saat percakapan berlangsung. AF memang sudah
mengetahui bahwa perjalanan mendaki gunung yang dilakukan DM berat sehingga
AF tidak kaget dengan cerita DM.
Pengetahuan interpersonal digambarkan dengan pengetahuan AF bahwa
istri DM bernama Michelle (Cutting, 2002). Pengetahuan interpersonal berdasarkan
pengetahuan yang lebih mendalam antara lawan bicara.

2.2.2.3 Co-textual context


Konteks ini digambarkan Cutting (2002) dengan sebutan kata ganti yang
digunakan oleh DM. DM dan AF telah mengetahui siapa yang dimaksud dengan
kata ganti ‘us’ dan ‘we’ merujuk pada teks “Francesca’s room-mate. (2) And
15

Alice’s – a friend of Alice’s from London (1). There were six of us. Yeah we did a
lot of hill walking” (2002: 9).

2.2.3 Face Threatening Acts


Goffman (1967: 5) menyatakan definisi face bahwa:

Face is an image of self delineated in terms of approved social attributes-albeit an


image that others may share, as when a person makes a good showing for his
profession or religion by making a good showing for himself

Berdasarkan definisi Goffman mengenai face, dapat dipahami bahwa face


merupakan citra atau kesan dari diri seseorang yang diupayakan untuk tampak baik
di lingkungan sekitar dari pembicara. Citra diri menjadi penting dalam kegiatan
interaksi sehubungan dengan lawan bicara memandang citra dari pembicara.
Merujuk Brown dan Levinson (1987: 61) “Thus face is something that is
emotionally invested, and that can be lost, maintained, or enhanced and must be
constantly attended to in interaction”. Istilah ‘muka’ pada konteks ini diharapkan
ada pada percakapan. Istilah face terbagi kedalam kedalam dua komponen (1987):
1. “Negative face” adalah keinginan setiap orang ‘competent adult member’
bahwa tindakannya tidak terganggu oleh orang lain.
2. “Positive face” adalah keinginan yang sama yang dimiliki antar lawan
bicara.
Yule (1996: 61) menyatakan bahwa “a threat to another individual’s expectations
regarding self-image, it is described as a face threatening act”. Berdasarkan
pendapat Yule, dapat dikatakan bahwa face threatening act adalah ujaran yang
dapat mengganggu citra individu.
Berdasarkan dua komponen tersebut, Brown dan Levinson (1987: 65-66)
membagi FTA sesuai dengan pembicara dan lawan bicara:
16

2.2.3.1 Tindakan yang Mengancam Addressee’s (H’s)


a. Mengancam Addressee’s (H’s) Negative-face Want
Tindakan yang mengancam negative-face want pendengar dengan cara
memberikan penekanan pada kebebasan pendengar (H) terbagi dalam 3 jenis:
(a) orders and requests, (b) suggestions, advice, (c) remindings, (d) threats, warnings,
dares. Jenis pertama tampak menampilkan tindakan-tindakan yang mengancam
dan mempengaruhi dengan tindakan selanjutnya yang akan atau harus dilakukan
pendengar.

(a) offers (S indicates that he wants H to commit himself to whether or not he


wants S to do some act for H, with H thereby incurring a possible debt)
(b) promises (S commits himself to a future act for H’s benefit)

Jenis kedua meminta pendengar untuk memberi respon apakah akan menerima
atau menolak dari tindakan pembicara. “(a) compliments, expressions of envy or
admiration (b) expressions of strong (negative) emotions toward H — e.g. hatred, anger,
lust”. Jenis ketiga mengungkapkan bagaimana perasaan pembicara seperti, benci,
suka, atau dalam bentuk pujian terhadap pendengar atau lawan bicara.

(b) Mengancam Addressee’s (H’s) Positive-face Want


Tindakan yang berupa pengancaman terhadap positive-face want, dengan
menandakan bahwa pembicara tidak peduli terhadap perasaan maupun keinginan
lawan bicara. Merujuk Brown dan Levinson (1987: 66-67) ujaran-ujaran tersebut
meliputi: “(a) expressions of disapproval, criticism, contempt or ridicule,
complaints and reprimands, accusations, insults”. Pada poin (a) mencakup ujaran
tidak setuju dengan keinginan pendengar atau lawan bicara. Kritik dan tindakan
merendahkan diri pada lawan bicara dapat mengancam positive face
pendengar.“(b) contradictions or disagreements, challenges”. Berdasarkan poin (a)
dan (b), dari jenis pertama tindakan yang mengancam positive-face want
pendengar, menunjukkan bahwa pembicara memiliki pendapat yang berlawanan
dengan lawan bicara. Perbedaan pendapat antara dua pihak dapat memunculkan
kritik atau argumen tidak setuju dari pembicara.
17

Jenis kedua dari tindakan yang mengancam positive-face want pendengar


meliputi:

1. “(a) expressions of violent (out-of-control) emotions, (b) irreverence , (c)


bringing of bad news about H, or good news (boasting) about S, (d) raising
of dangerously emotional or divisive topics, e.g. politics, race, religion,
women’s liberation, (e) blatant non-cooperation in an activity — e.g.
disruptively interrupting H’s talk, (f) use of address terms and other status-
marked identifications in initial encounters”.

Ujaran-ujaran tersebut tidak mempedulikan perasaan pendengar. Positive-face


want lawan bicara atau pendengar dapat terancam atas ujaran dari pembicara yang
bermaksud untuk menakuti, memberikan tekanan, atau memunculkan konflik dari
pembicaraan yang sensitif. Menginterupsi tuturan lawan bicara dapat
menggambarkan pembicara mempunyai perbedaan pendapat terhadap S2 atau
mereka sedang dalam keadaan berdebat.

2.2.3.2 Tindakan yang Mengancam S’s (Pembicara) Face


a. Mengancam S’s Negative Face
Tindakan yang menyinggung negative face pembicara terbagi kedalam beberapa
ekspresi (1987: 67-68), meliputi:

(a) expressing thanks (S accepts a debt, humbles his own face)


(b) acceptance of H’s thanks or H’s apology (S may feel constrained to minimize
H’s debt or transgression, as in ‘It was noting, don’t mention it.’)

Ekspresi (a) dan (b) berkaitan dengan ucapan terima kasih serta menerima
permintaan maaf dapat disebabkan oleh kehilangan kontrol terhadap situasi
sehingga terdapat ujaran penerimaan permintaan maaf maupun terdapatnya
pelanggaran dari lawan bicara.

(c) excuses (S indicates that he thinks he had good reason to do, or fail to do, an
act which H has just criticized), (d) acceptance of offers, (e) responses to H’s
faux pas, (f) unwilling promises and offers.

Ekspresi (c), (d), (e), (f) menyatakan bahwa pembicara punya alasan untuk
melakukan kesalahan serta pembicara terpaksa berjanji walaupun tidak ingin
18

melakukannya. Tindakan-tindakan terssebut dapat menyinggung negative face


pembicara.
Tindakan yang menyinggung positive face pembicara terbagi kedalam
beberapa ekspresi, meliputi:
b. Mengancam S’s positive face

(a) apologies
(b) acceptance of a compliment (S may feel constrained to denigrate the object of
H’s prior compliment, thus damaging his own face; or he may feel constrained to
compliment H in turn)
(c) breakdown of physical control over body, bodily leakage, stumbling or falling
down, etc.

Berdasarkan ujaran apologies, pembicara menunjukkan bahwa dia menyesal telah


melakukan FTA, dengan demikian merusak citranya sendiri. Menerima pujian
maupun keadaan pertentangan yang ada pada diri sendiri (atau kesalahan yang
disebabkan oleh diri pembicara sendiri) termasuk FTA terhadap positive face dari
pembicara. Kontrol fisiknya pun tidak bisa ditahan yang berakibat merusak
citranya sendiri.

“(d) self-humiliation, shuffling or cowering, acting stupid, self- contradicting


(e) confessions, admissions of guilt or responsibility
(f) emotion leakage, non-control of laughter or tears”.

Poin (d), (e), dan (f) terdapat beberapa tindakan seperti satu tindakan dilakukan
karena ketidaktahuan akan sesuatu saat pembicara diharapkan mengetahuinya.
Tindakan lainnya seperti pengontrolan emosi yang tidak dapat ditahan, maupun
tindakan menghina atau memalukan diri sendiri, seperti ekspresi mengejek diri
sendiri.

2.2.4 Ketidaksantunan
Merujuk Culpeper (1996) teori ketidaksantunan adalah perkembangan dari teori
kesantunan Brown dan Levinson (1987). Teori memang terus berkembang dari
waktu ke waktu. Tak terkecuali teori yang menganalisis ujaran. Culpeper (1996:
350) mengusulkan teori ketidaksantunan “I shall investigate impoliteness, the use
of strategies that are designed to have the opposite effect - that of social
19

disruption”. Merujuk Locher and Bousfield (2008) bahwa ketidaksantunan adalah


perilaku yang membuat face atau citra menjadi buruk atau bisa disebut perilaku
yang menyakiti hati lawan bicara dalam konteks tertentu. Culpeper (2010)
mendefinisikan ketidaksantunan adalah sikap negatif terhadap perilaku tertentu
yang terjadi dalam konteks yang spesifik.
Berikut lima strategi ketidaksantunan yang diusulkan Culpeper (1996):
1. Bald on record impoliteness
FTA dinyatakan secara langsung dengan jelas serta tanpa unsur ambiguitas.
Culpeper (1996: 356) mengatakan “it is not the intention of the speaker to attack
the face of the hearer.
2. Positive impoliteness
Strategi ini digunakan untuk membahayakan atau mengancam positive face wants
pendengar.
3. Negative impoliteness
Strategi ini dibuat untuk membahayakan atau mengancam negative face wants
lawan bicara.
4. Sarcasm or mock politeness
Strategi ini menggunakan FTA dengan penambahan strategi kesantunan yang
memang jelas terlihat tidak jujur atau terbukti benar dari ujarannnya.
5. Withhold politeness
Strategi ini tidak memunculkan ujaran kesantunan saat diharpkan untuk muncul.
Contoh tindakan dari strategi ini adalah gagalnya dalam mengucapkan terima
kasih untuk hadiah yang telah diterima.

2.2.4.1 Bald on record impoliteness


Ketika berinteraksi pada umumnya terdapat ujaran yang berniat menyerang atau
menjatuhkan citra lawan bicara dengan sengaja namun ada juga ujaran yang
diutarakan dengan tanpa maksud tertentu. Merujuk Culpeper (2003) bald on
record impoliteness diutarakan saat pembicara memiliki niat untuk menyerang
citra pendengar atau lawan bicara.
20

2.2.4.2 Positive impoliteness


Ketika pembicara menunjukkan positive face, lawan bicara bisa saja menyerang
keinginan yang dituturkan. Merujuk Culpeper (2003: 1555) bahwa “The use of
strategies designed to damage the addressee’s positive face wants”. Culpeper
(1996) membagi strategi positive impoliteness kedalam beberapa output strategy,
yaitu:
1. Snub
Snub berisi ujaran yang bertujuan untuk mengabaikan lawan bicara. Merujuk
Bousfield (2008: 101), Culpeper (1996) menyatakan bahwa snub “...viewed as
attacking the intended recipient’s want to be approved of ”. Keinginan pembicara
yang berharap untuk diterima oleh lawan bicara tidak dianggap.
Bousfield (2008: 102) menggambarkan snub dalam percakapan berikut:
S1: yeah I that’s fine then sir I
S2: I don’t really want to talk to you you’re not going to do anything.
2. Exclude the other from an activity
Bousfield (2008) bahwa output ini adalah tidak menganggap seseorang dalam
kegiatan atau dalam grup.
3. Disassociate from the other
Pada klasifikasi ini, ketidaksantunan ditampilkan ketika pembicara tidak
menganggap lawan bicaranya sebagai bagian dalam anggotanya “...may well
include disassociating the other from a formally organised group of which others
may consider themselves to be a part...” (2008: 104).
4. Be uninterested, unconcerned, unsympathetic
Pada klasifikasi ini, dapat digambarkan dalam konteks:
S1: immature’ what would you say about that … would that acc hey
S2: [starts crying at accusation of immaturity]
S1: don’t stand there bubbling because it makes no difference to me you can
S2:
(2008: 105).
S1 yang tidak peduli terhadap keadaan S2 dapat dikelompokkan dalam positive
impoliteness: be uninterested, unconcerned, unsympathetic.
21

5. Use inappropriate identity markers


“for example, use title and surname when a close relationship pertains, or a
nickname when a distant relationship pertains” (Culpeper, 1996: 357).
6. Seek disgreement/avoid agreement
Pada output ini, terdapat salah satu cirinya yaitu, “select a sensitive topic” (1996:
357). Culpeper tidak menjelaskan dengan detail sensitif ini mengacu kepada hal
apa. Bousfield mengatakan mengenai output ini bahwa pembicara mempunyai
alasan dia tidak setuju dan kesal atau kecawa terhadap lawan bicara.
7. Use taboo words – swear, or use abusive or profane language
Penggunaan kata-kata tabu untuk menyinggung citra dari S1 dengan sengaja.
Merujuk contoh yang digambarkan Bousfield (2008: 111) bahwa S2 (she)
berbicara kepada S1(he) tanpa istilah yang jelas yang menginginkan S1 (he) harus
pergi dengan menggunakan kata fucking:

S1: you can’t get in the car madam


S2: have to fucking take the car.

8. Make the other feel uncomfortable


Pada output ini, Culpeper (1996) merujuk pada prinsip kesantunan dari Leech
(1983). Karakteristik dari output ini adalah “...do not avoid silence, joke, or use
small talk...” (1996: 357-358). Pembicara dalam substrategi ini menggunakan
percakapan yang seminimal mungkin atau membuat beberapa lelucon untuk
mengancam positive face lawan bicara.

2.2.4.3 Negative impoliteness


“The use of strategies designed to damage the addressee's negative face wants”
(Culpeper, 1996: 356). Berlawanan dari positive impoliteness, negative
impoliteness digunakan untuk menyerang negative face wants lawan bicara
dengan tindakan seperti, merendahkan, menakutkan lawan bicara. Berikut
penjelasan tindakan dari negative impoliteness yang meliputi:
1. Frighten
22

Menanamkan keyakinan bahwa tindakan yang merugikan akan terjadi terhadap


lawan bicara (Culpeper, 1996).
2. Condescend, scorn or ridicule
“emphasize your relative power. Be contemptuous. Do not treat the other
seriously. Belittle the other (e.g. use diminutives)” (1996:358). Penutur yang
menggunakan output ini terlihat menganggap rendah lawan bicaranya dengan
tidak menganggap serius dari apa yang sedang lawan bicara tuturkan.
3. Explicitly associate the other with a negative aspect
Menggunakan kata ganti “I” dan “You” (1996: 358)

2.2.4.4 Sarcasm or mock politeness


Culpeper (1996: 356) mengatakan mengenai sarcasm atau mock politeness “the
FTA is performed with the use of politeness strategies that are obviously
insincere, and thus remain surface realisations”.

2.2.4.5 Withhold politeness


Bousfield (2008: 93) merujuk Culpeper (2005: 42) bahwa “failing to thank
someone for a present may be taken as deliberate impoliteness”. Terlihat dari
gagasan Culpeper bahwa ucapan terima kasih menjadi penting kehadirannya
sebagi ukuran kesantunan.

2.2.4.6 Respon Terhadap Ketidaksantunan


Respon terhadap ketidaksantunan bisa dengan beberapa cara yaitu dengan
merespon ujaran yang dituturkan atau dengan tidak meresponnya. Merujuk
Bousfield (2008: 188) “it may even indicate that the individual who is Staying
Silent is simply ‘struck dumb’ or ‘lost for words’ given their interlocutor’s
utterance turn”. Lawan bicara bisa saja terdiam ketika dilontarkan penggunaan
bahasa yang tidak santun.
Lawan bicara (S2) bisa saja menerima FTA yang dilemparkan pada
dirinya dari pembicara (S1). Bousfield (2008) menjelaskan bahwa lawan bicara
dapat membalas ketidaksantunan dengan bertanggungjawab atas tindakan yang
23

dilakukan pembicara (S1). Bousfield (2008) menggunakan istilah Counter vs.


Accept dan Offenssive vs. Defensive.
Tindakan yang dilakukan lawan bicara seperti meminta maaf (Accept).
Merujuk Bousfield (2008) bahwa petutur setuju berdasarkan apa yang dikatakan
penutur dengan menerima argumen yang dikatakan atau disebut “accepting the
face attack” (hlm. 193).
Bousfield (2008) membagi strategi Counter menjadi dua stategi yaitu,
Offenssive dan Defensive. “..Offensive strategies which primarily counter face
attack with face attack...” (hlm. 193). Strategi offenssive merupakan baik ujaran
kritik maupun ekspresi marah dari pembalasan ujaran yang bernada serupa.
Berbeda dengan strategi offenssive, “Defensive strategies primarily
counter face attack by defending one’s own face; these are essentially the
‘denials’ “ (hlm. 195). Strategi defensive merupakan strategi pertahanan yang
dilakukan dengan membela face-nya. Berdasarkan kutipan diatas, penyangkalan
juga dapat digunakan sebagai salah satu strategi dalam merespon tindakan
ketidaksantunan.

2.2.4.7 Conventionalised Impoliteness Formulae


Culpeper menyusun jenis “conventionalised impoliteness formulae” dalam
mengidentifikasi ujaran ketidaksantunan. Berikut formula yang dikelompokkan
oleh Culpeper (2010: 3242):

Insults
Culpeper (2010: 3240) merujuk Montry (2002: 6) menggambarkan mengenai
insults dengan “Make diragatory statements about people of another race,
religion, or lifestyle, preferably when those people are within earshot”. Berikut
beberapa formula yang dikelompokkan Culpeper berdasarkan kategori insults:
1. Personalized negative vocatives
Culpeper memberikan tanda kurung yang berisi istilah tertentu sebagai
karakteristik yang mengindikasi adanya ketidaksantunan dalam ujaran.
24

[you] [fucking/rotten/dirty/fat/little/etc.][moron/ liar/minx/brat/slut/etc.] [You]

2. Personalized negative assertion


Pada jenis formula ini, istilah ketidaksantunan memiliki pola berbeda dengan
adanya verba be atau are. Pembicara merasa kecewa, kesal, serta timbul
kemarahan yang memuncak dengan dituturkannya formula-formula dibawah ini.
Pembicara merasa lawan bicara atau pendengar tidak melakukan apa yang
diperintahkan sesuai yang diinginkan pembicara.

- [you] [are] [so/such a] [shit/stink/thick/ stupid/bitchy/terrible/fat/ugly, etc.]


- [you] [can’t do] [anything right/basic arithmetic/etc.]
- [you] [disgust/make me] [sick/etc]

3. Personalized negative references


Kata ganti kepemilikan digunakan pada formula ini.
[your] [stinking/little] [mouth/act/arse/body/corpse/hands/guts/trap/breath/etc.]
4. Personalized third-person negative references (in the hearing of the target)
Rujukan pihak ketiga digunakan dalam formula ini diikuti dengan sebutan atau
referensi yang negatif.
- [she] [‘s] [nutzo]
Pointed Criticisms/Complaints
Pada formula ini komplain dan kritik bertujuan untuk menyerang citra lawan
bicara.
[that/this/it] [is/was] [absolutely/extraordinary/unspeakably/etc.] [bad/rubbish/
crap/horrible/terrible/etc.]
Culpeper (2010: 3241) juga menyatakan bahwa expressions of disapproval dan
statement of fault termasuk kedalam formula ini
Challenging or unpalatable questions and/or presuppositions
Jenis formlua ketidaksantunan ini menyerang citra melalui pertanyaan yang
menantang lawan bicara

- Why do you make my life impossible?


- Which lie are you telling me?
- What’s gone wrong now?
- You want to argue with me or you want to go to jail?
25

Condescensions
Penggunaan kata sifat negatif dengan merendahkan dan menggap remeh atau
mengejek lawan bicara terdapat dalam formula ini.
[that] [‘s/is being] [babyish/childish]
Merujuk Culpeper (2010: 3240) merujuk Montry (2002: 4) bahwa tindakan
condescending termasuk patronising behaviour dengan contoh tindakan seperti
“Make fun of people: laugh loudly and point”. Membuat seseorang menjadi bahan
ejekan atau lelucon dapat termasuk pada formula ketidaksantunan ini.
Message enforces
Pada formula ini, pembicara memberikan tekanan pada ujarannya untuk
menyerang citra lawan bicara. Formula ini berbentuk perintah terhadap lawan
bicara. Pembicara memaksa lawan bicara untuk menuruti keinginannya atau
memahami apa yang dikatakan.

- Listen here (preface)


- you got [it/that]? (tag)
- do you understand [me]? (tag)

Dismissals
Ujaran pada formula ini bermaksud untuk menghindari permasalahan atau topik
pembicaraan. Formula ini juga menggambarkan pembicara yang sudah tidak ingin
melihat lawan bicara atau menolak kehadiran lawan bicara.

- [go] [away]
- [get] [lost/out]
- [fuck/piss/shove] [off]

Silencers
Terlihat pada formula ini bahwa pembicara bermaksud untuk membuat lawan
bicara berhenti berbicara. Berikut beberapa istilah untuk memerintahkan lawan
bicara diam dan tidak mengganggu pembicara.
- [shut] [it]/[your] [stinking/fucking/etc.] [mouth/face/trap/etc.]
- shut [the fuck] up
26

Threats
Pembicara menggunakan ujaran yang mengancam untuk menakuti lawan bicara.
Lawan bicara terpaksa harus menuruti keinginan pembicara (S1). Jika lawan
bicara (S2) tidak mengikuti apa yang disuruh pembicara (S1), (S2) akan
melakukan sesuatu pada S2

- [I’ll/ I’m/we’re] [gonna] [smash your face in/beat the shit out of you/box your
ears/bust your fucking head off/straighten you out/etc.] [If you don’t] [X]
- [X] [before I] [hit you/strangle you]

Negative expressives (e.g. curses, ill-wishes)


Formula ini menggunakan istilah negatif yang tampak mengandung keinginan
buruk dari pembicara terhadap lawan bicara. Kekesalan pembicara disampaikan
melalui formula berikut:
- [go] [to hell/hang yourself/fuck yourself]
- [damn/fuck] [you]
BAB III
OBJEK DAN METODE PENELITIAN

3.1 Objek Penelitian


Objek penelitian ini adalah ujaran para tokoh antara murid dan guru
dalam kelas pada film Freedom Writers. Film ini berdasarkan kisah nyata
pengalaman seorang guru berkulit putih yang mengajar murid-murid yang
memiliki perbedaan ras. Para murid tersebut berada di dunia yang penuh dengan
peristiwa kekerasan. Perbedaan warna kulit menjadikan para tokohnya terlibat
dalam konflik ras.
Pemilihan film ini sebagai sumber data adalah karena terdapat konflik ras
antara murid dan guru yang menghasilkan ujaran yang mengancam citra masing-
masing pihak (FTA), yaitu antara murid dan guru. ujaran-ujaran tersebut
disampaikan dengan penggunaan bahasa yang tidak santun (impoliteness).
Penelitian dari ujaran yang mengancam (FTA) dan ketidaksantunan
(impoliteness) diharapkan dapat mengungkap ujaran apa saja yang cenderung
dikatakan antara murid dan guru ketika berinteraksi dalam kelas dengan
terdapatnya perbedaan ras. Perbedaan ras dan pandangan menimbulkan konflik
antara murid dan guru. Perbedaan tersebut menjadi alasan penulis melakukan
penelitian ini.

3.2 Metode Penelitian


Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif
dengan pendekatan etnografi. Penggunaan metode ini bertujuan untuk
mendeskripsikan dan menganalisis data penelitian secara sistematis. Dengan
metode kualitatif ini, peneliti dapat melakukan penelitian dengan pemaparan data
berdasarkan kajian kepustakaan dari sumber-sumber seperti buku dan jurnal
berkenaan dengan teori pragmatis, khususnya konsep ketidaksantunan tanpa
menggunakan perhitungan secara statistik.

29
30

Pendekatan penelitian yang dilakukan adalah etnografi dengan sumber


data berupa film.
3.2.1 Teknik Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data, penulis melalukan sejumlah tahapan sebagai berikut:
1. Mengunduh film dari situs Ganool.
2. Menyalin skrip yang didapat dari http://www.script-o-rama.com/ untuk
memudahkan proses pengambilan dan analisis data.
3. Melakukan pengumpulan data dengan melihat kecenderungan ujaran yang
merujuk pada istilah FTA dan impoliteness.

3.2.3 Teknik Klasifikasi Data


Setelah melakukan pengumpulan data, peneliti kemudian mengklasifikasi
data-data berupa ujaran yang mengindikasikan penerapan face threatening acts
(FTA) berdasarkan jenis-jenis FTA dari Brown dan Levinson (1987). Klasifikasi
data ini difokuskan pada ujaran antara murid dan guru. Setelah itu peneliti
mengklasifikasikan strategi ketidaksantunan dari ujaran yang mengandung FTA.
Strategi ketidaksantunan merujuk pada teori Culpeper (1996).

3.2.3 Teknik Analisis Data


Data-data yang telah diklasifikasi dianalisis dengan menggunakan pendekatan
pragmatis. Pertama, peneliti menganalisis dan mendeskripsikan jenis-jenis tindak
tutur menggunakan teori Austin (1962) dan Searle (1976) dari data yang telah
melalui proses klasifikasi. Kedua, peneliti menjelaskan konteks dari data yang
telah diklasifikasi menggunakan teori Cutting (2002). Ketiga, peneliti
menganalisis jenis-jenis face threatening acts berdasarkan teori yang diusulkan
oleh Brown dan Levinson (1987). Keempat, peneliti menganalisis jenis
conventionalised impoliteness formulae berdasarkan teori Culpeper (2010) dari
ujaran yang mengandung FTA di film Freedom Writers serta menganalisis dan
mendeskripsikan strategi ketidaksantunan berdasarkan teori yang diusulkan oleh
Culpeper (1996).
31

BAB IV
PEMBAHASAN

Bab ini terdiri dari dua subbab. Subbab pertama berdasarkan klasifikasi face
threatening acts. Subbab kedua berdasarkan klasifikasi jenis-jenis
conventionalised impoliteness formulae yang berhubungan dengan face
threatening acts dari ujaran antara murid dan guru.

4.1 Mengancam Addressee’s (H’s) Positive-face Want


4.1.1 Condescensions
Data 1
Erin adalah seorang guru bahasa Inggris berkulit putih dengan mayoritas murid
berkulit hitam. Erin, yang menjadi guru, memberi salam kepada para murid
sambil menunggu semua murid masuk kedalam kelas.
Erin: Hello. Erin tersenyum
Erin menulis namanya, Ms. Gruwell dan nama kelasnya di papan tulis yaitu
Freshman English. Dibagian belakang rok Erin, terdapat noda kapur yang memicu
Jamal untuk menggoda Erin atau gurunya sendiri.
Jamal: Hey, girl, you wanna give me some fries with that shake?
Murid lain tertawa.
Erin: (Terdim, tersenyum) My name is Erin Gruwell. Welcome to Freshman
English.
Analisis:
Berdasarkan tuturan Jamal, sebagai murid, tindak tutur yang muncul adalah
direktif. Jamal seolah-olah meminta fries karena bagian pinggul Erin yang
bergoyang sampai bagian bawah. Konteks yang terdapat pada percakapan ini
adalah situational context karena Jamal berkata seperti itu sesuai penglihatannya
terhadap bagian pinggul sampai bagian bawah pinggul Erin yang bergoyang.
FTA yang digunakan dalam tuturan Jamal adalah pengancaman terhadap
positive-face want pendengar dengan ekspresi ridicule. Jamal mengejek Erin
dengan lelucon seperti itu serta membuat beberapa temannya tertawa.
32

Conventionalised impoliteness formulae yang terdapat dalam perkataan Jamal


adalah condescensions. Jamal mengejek Erin dengann bertanya apakah dengan
“goyangan” tersebut Erin mau memberinya kentang. Maka ujaran Jamal
mengandung unsur make fun of people yang membuat teman-temannya tertawa.
Strategi ketidaksantunan yang digunakan adalah positive impoliteness dengan
jenis make the other feel uncomfortable. Jamal membuat Erin merasa tidak
nyaman dengan leluconnya sehingga dapat menyerang positive face Erin. Jenis
respon terhadap tindakan ketidaksantunan tersebut adalah staying silent. Erin
lebih memilih untuk tidak menanggapi tuturan Jamal.

4.1.2 Pointed Criticisms/Complaints


Data 1
Erin sebagai guru sedang memanggil para murid untuk mencatat daftar kehadiran
murid di kelas.
Erin: Jamal Hill?
Jamal: Man, what am I doing in here? This whole ghetto-ass class has got people
in here looking like a bad rerun of Cops and shit. You know what I'm saying? It's
true. Diikuti beberapa temannya yang tertawa karena tuturan Jamal. Namun ada
beberapa murid yang tidak tertawa dan hanya memandang Jamal.
Erin: Erin terdiam sesaat. Are you Jamal?
Jamal: Yeah.
Erin: Well, for some reason, they have you registered in this class.
Jamal: Yeah, and that's some bullshit.
Erin terdiam
Andre: It's the dumb class, coz.It means you're too dumb.
Jamal: Man, say it to my face, coz.
Andre: I just did. See what I mean? Dumb.
Jamal: Man, I know you ain't talking to me!
33

Analisis:
Tuturan Jamal termasuk tindak tutur ekspresif dengan adanya rasa tidak suka
terhadap kelas dan gurunya. Konteks yang tampak dalam percakapan adalah
cultural background knowledge dengan adanya perbedaan ras ghetto dengan ras
lainnya maupun perbedaan warna kulit hitam dan putih telah diketahui oleh
seluruh murid di kelas. Merujuk newsletter dari New York Times (2017) bahwa de
Luca merujuk Todd mengatakan “...they may be using it [ghetto] to convey
something about people of colour...”. Istilah ghetto dipasangkan dengan istilah
negatif yaitu, ass menjadi ghetto-ass. Todd juga mengatakan bahwa “A lot of
times, it means something nasty and/or undesirable” (2017, para 13). Jamal sudah
tidak suka dengan keadaan kelasnya dengan keberadaan perbedaan ras. Teman-
temannya juga mengetahui perbedaan ras serta perselisihan yang terjadi dalam
kelas. Hal tersebut berdasakan teman-teman Jamal yang ikut tertawa.
FTA yang digunakan dalam tuturan Jamal adalah pengancaman terhadap
positive-face want pendengar dengan ekspresi raising of dangerously emotional
or divisive topics, e.g. politics, race. Kemunculan istilah ras dalam ujaran Jamal
dapat menimbulkan pertengkaran antar murid. Formula ketidaksantunan yang
digunakan adalah jenis complaints. Jamal melakukan komplain karena dia berada
di kelas yang berisi ghetto-ass dengan mengatakan “This whole ghetto-ass class
has got people in here looking like a bad rerun of Cops and shit.” Serta diikuti
that's some bullshit. Dua tuturan Jamal yang telah dicetak tebal masuk dalam
strategi ketidaksantunan positive impoliteness dengan output, use taboo words –
swear, or use abusive or profane language. Jenis respon Erin pada tindakan
ketidaksantunan yang dilakukan oleh Jamal adalah seperti data sebelumnya,
staying silent. Erin lebih memilih untuk tidak menanggapi tuturan Jamal.

Data 2
Interaksi dibawah ini terjadi saat Erin memberikan penjelasan mengenai
kehidupan gang. Erin menjelaskan mengenai Holocaust (Nazi) yang bertindak
seperti gang lalu memberantas semua orang yang tidak mereka sukai. Lalu
Holocaust menyalahkan orang lain atas hidupnya yang susah. Penjelasan Erin ini
34

bermula saat Tito menggambar wajah Jamal dengan gambar mulut yang tebal dan
besar. Erin mengilustrasikan gambar tersebut dengan gambar yang ada pada
koran. Koran tersebut menerbitkan gambar orang-orang Jewish dengan hidungnya
yang besar yang dibuat oleh Holocaust (Nazi). Erin sebagai guru menjelaskan
bahwa mayoritas murid-murid yang sedang diajarnya adalah anggota gengs yang
masih amatir.
Erin: In fact, life would be a whole lot better if they were all dead. That's how a
holocaust happens. And that's what you all think of each other.
Marcus: You don't know nothing, homegirl.
Erin: No, I don't, Marcus! So why don't you explain it to me?
Marcus: I ain't explaining shit to you!

Analisis:
Tuturan Marcus mengandung jenis tindak tutur komisif. Marcus memperingatkan
Erin bahwa dia tidak tahu apapun seperti mengenai mengenai kehidupan yang
Marcus jalani. Konteks yang digunakan adalah cultural general knowledge.
Marcus dan Erin mempunyai pengetahuan masing-masing mengenai konsep gang.
Namun, mereka berselish paham mengenai konsep gang tersebut, seperti, apa
pendapat masing-masing murid, yang mayoritas sebagai anggota gang, mengenai
temannya.
FTA yang digunakan adalah addressee’s (H’s) positive-face want
dengan tindakan yang dilakukan adalah contradictions or disagreements. Marcus
berbeda pendapat dengan Erin mengenai pemikiran anggota gang. Formula
ketidaksantunan yang digunakan adalah pointed criticisms/complaints karena
terdapat contradictions or disagreements. Strategi ketidaksantunan yang terdapat
pada ujaran adalah bald on record impoliteness. Marcus mengatakan bahwa Erin
salah dan tidak mengetahui apa-apa mengenai gang secara langsung. Respon Erin
terhadap tindak ketidaksantunan yang Marcus lakukan adalah strategi defensive.
Erin melakukan pembelaan bahwa dia mengetahui mengenai kehidupan atau
pergaulan gang tidak seperti yang Marcus katakan. Keadaan saat interaksi ini
35

terjadi sama dengan data sebelumnya ketika Erin dan Marcus berbeda pendapat
mengenai gang.
Pada tuturan selanjutnya, Erin meminta penjelasan dari Marcus. Namun,
Marcus menolak untuk menjelaskan pendapat dia mengenai gang yang termsuk
dalam tindak tutur komisif.

Data 3
Berdasarkan data sebelumnya, interaksi ini terjadi saat Tito menggambar Jamal
dengan bibir yang tebal. Erin, sebagai guru, tidak bisa terima perlakuan Tito.
Lalu, Erin memberikan pengetahuan mengenai gangster dan Holocaust (Nazi).
Namun ada beberapa murid yang tidak setuju dengan pendapat Erin. Selain
Marcus, Eiva Benitez juga tidak setuju dengan pendapat Erin.
Eiva: You don't know nothing! You don't know the pain we feel. You don't know
what we got to do. You got no respect for how we living.You got us in
here,teaching us this grammar shit,and then we got to go out there again.
And what are you telling me about that, huh? What are you doing in here
that makes a goddamn difference to my life?
Erin: You don't feel respected. Is that what you're saying, Eva? Well, maybe
you're not. But to get respect, you have to give it.
Analisis:
Tindak tutur Eiva termasuk dalam komisif. Eiva memperingatkan Erin bahwa
Erin tidak tahu, tidak mengerti dan tidak menghormati bagaimana Eiva dan
teman-teman lainnya hidup. Konteks yang terdapat pada tuturan Eiva adalah co-
textual context. Eiva menggunakan kata ganti we untuk merujuk pada teman-
temannya yang lain. Eiva merasa teman-temannya yang lain juga merasakan tidak
dihargai mengenai bagaimana selama ini mereka hidup.
FTA yang digunakan adalah jenis addressee’s (H’s) positive-face want
dengan tindakan complaints. Komplain yang dituturkan Eiva sekaligus
memperingatkan bahwa dirinya dan teman-temannya yang lain ingin dihargai
bagaimana mereka sudah melewati hidupnya selama ini. Formula ketidaksantunan
yang digunakan adalah pointed criticisms/complaints dengan ekspresi yang
36

dituturkan adalah expressions of disapproval. Strategi ketidaksantunan yang


digunakan adalah positive impoliteness dengan tindakan yang terlihat adalah be
uninterested, unconcerned, unsympathetic. Eiva menyatakan komplainnya yang
menunjukkan bahwa dia tidak peduli dan tidak tertarik dengan apa ang diajarkan
Erin. Erin merespon tuturan Eiva dengan strategi defensive. Erin membela diri
dengan pernyataan ketika ingin dihargai, seseorang harus menghargai orang
tersebut.

Data 4
Berdasarkan data sebelumnya, interaksi yang terjadi dibawah ini adalah saat Eiva
merasa ingin dihargai, namun Eiva merasa Erin belum menghargai dan tidak
peduli kehidupan Eiva dan teman-temannya yang lain. Lalu Andre Bryant juga
tidak setuju dengan Erin jika dirinya harus memberikan rasa hormat pada Erin.
Eiva: And what are you telling me about that, huh? What are you doing in here
that makes a goddamn difference to my life?
Erin: You don't feel respected. Is that what you're saying, Eva? Well, maybe
you're not. But to get respect, you have to give it.
Andre: That's bullshit.
Erin: What?
Analisis:
Tindak tutur Andre Bryant termasuk dalam komisif. Andre menolak untuk setuju
dengan Erin bahwa ketika rasa hormat ingin didapat, muridnya juga harus
memberikan rasa hormatnya. Konteks yang terdapat pada tuturan Andre adalah
co-textual context. Erin menggunakan kata ganti You tidak hanya merujuk pada
Eiva namun pada semua muridnya.
Jenis FTA yang digunakan adalah addressee’s (H’s) positive-face want
dengan tindakan contradictions or disagreements. Andre tidak menganggap rasa
hormat akan didapat saat dirinya telah memberikan hormatnya. Formula
ketidaksantunan yang digunakan adalah pointed criticisms/complaints. Istilah
bullshit menandakan Andre tidak setuju dengan pendapat Erin. Andre tidak
menganggap pendapat Erin. Merujuk kamus daring Oxford, bullshit sebagai
37

nomina merupakan istilah vulgar slang yang berarti “stupid or untrue talk or
eriting; nonsense”. Tuturan Andre menunjukkan bahwa dia dan Eiva merasa tidak
dihargai oleh Erin sebagai gurunya. Strategi ketidaksantunan yang digunakan
adalah positive impoliteness dengan output, use taboo words – swear, or use
abusive or profane language. Respon Erin terhadap tuturan Andre adalah strategi
defensive. Erin melakukan pembelaan dengan bertanya atau klarifikasi apakah
benar Andre mengucapkan tuturan tersebut.

4.1.3 Insults
Data 1
Interaksi ini terjadi antara murid dan guru Erin di dalam kelas.
Penutur: Andre Bryant dan Marcus
Petutur: Guru Erin
Erin: I want you to listen to this phrase. I have up on the board. It's an example of
an internal rhyme. What he does is very sophisticated and cool, actually.
Erin akan memberikan pelajaran mengenai sajak dari 2Pac Shakur. Kemudian
murid-muridnya ikut bernyanyikan lagu 2Pac Shakur. Beberapa murid merasa
kesal karena guru berkulit putih mencoba mengajarkan mereka mengenai sajak
2Pac Shakur yang memang sudah mereka ketahui sebelumnya.
Andre: Think we don't know 2Pac?
Marcus : White girl gonna teach us about rap.
Erin: No, it's not that. See, what I was trying to do...

Analisis:
Berdasarkan tuturan Marcus, sebagai murid, tampak bahwa Marcus
menyatakan tuturan penolakan yang termasuk dalam tindak tutur komisif. Marcus,
murid berkulit hitam, tampak menyatakan pernyataan penolakan dengan
keengganan diajar puisi dengan lagu rap yang menurutnya dia lebih memahami lagu
tersebut daripada sang guru. Marcus menyatakan perasaannya yang tidak menyukai
suasana kelas yang sedang diajar oleh Guru Erin (berkulit putih). Erin mengajarkan
lagu rap yang dibahas melalui mata pelajaran bertemakan puisi. Saat percakapan
38

terjadi, murid-murid kulit hitam tampak tidak suka terhadap Erin dengan
menuturkan tuturan yang menyinggung Erin. Erin dan para muridnya telah
mengetahui bahwa ada perbedaan ras dalam kelas. Perbedaan tersebut menjadi
penyebab beberapa murid tidak menyukai Erin sehingga melontarkan tuturan yang
membuat Erin kesal. Konteks tersebut dapat termasuk dalam cultural background
knowledge context dimana penutur dan petutur mengetahui bahwa ada konflik antar
ras mereka.
Tuturan Marcus tampak mengancam positive-face want pendengar atau
guru Erin dengan tindakan raising of dangerously emotional or divisive topics, e.g.
race. Positive-face want Erin, sebagai guru, yang mencoba mendekatkan diri
dengan muridnya melalui lagu rap, yang mayoritas disukai muridnya, menjadi
terganggu oleh tuturan Marcus. Erin, sebagai guru berkulit putih yang mengajar
mayoritas murid berkulit hitam, disinggung mengenai perbedaan wana kulit oleh
Marcus dengan panggilan white girl. Berdasarkan jenis formula ketidaksantunan,
tuturan Marcus termasuk kategori insults. Marcus membuat pernyataan yang
menyinggung Erin sebagai guru. Marcus membahas perbedaan ras dengan
menyebut white girl. Strategi ketidaksantunan yang terdapat pada konteks diatas
adalah postive impoliteness dengan strategi exclude the other from an activity.
Marcus mencela Erin dengan panggilan white girl. Tuturan tersebut bukan hanya
mengandung maksud Bu guru Erin benar-benar akan mengajarkan rap namun
dengan adanya frasa white girl dan mayoritas murid berkulit hitam, menandakan
bahwa ketidakinginan Marcus diajar sajak melalui lagu rap yang menurutnya,
mayoritas murid lebih mengetahui tentang rap daripada gurunya. Marcus tidak
menganggap Erin bagian dalam kelas dimana tempat Marcus belajar. Marcus
membedakan dirinya dan teman-temannya yang lain, mayoritas kulit hitam,
dengan Erin yang berkulit putih. Marcus memisahkan dirinya dengan gurunya
yaitu, Erin. Jenis respon terhadap tindakan ketidaksantunan tersebut adalah
strategi defensive Erin melakukan pembelaan terhadap face atau citranya.
39

Data 2
Analisis data dibawah ini masih berkaitan dengan situasi kelas yang sedang
memperdebatkan pendapat mengenai apakah ketika ingin dihargai atau ingin
diberi rasa hormat, seseorang harus memberikan rasa hormat itu terlebih dahulu
atau tidak, terutama rasa hormat terhadap guru. Rasa hormat yang diberikan
berkaitan dengan perbedaan wana kulit yang sedang para murid hadapi.
Andre: Why should I give my respect to you? ‘Cause you're a teacher? I don't
know you. How do I know you're not a liar standing up there? How do I
know you're not a bad person standing up there? I'm not just gonna give you
my respect because you're called a teacher. I'm not just gonna give you my
respect because you're called a teacher.
Eiva: White people always wanting their respect like they deserve it for free.
Erin : I'm a teacher. It doesn't matter what color I am.
Analisis:
Tindak tutur yang terdapat pada ujaran Eiva termasuk dalam tindak tutur ekspresif.
Tututran kebencian dari Eiva ditujukan untuk orang-orang berkulit putih, termasuk
gurunya, yang menyatakan bahwa rasa hormat layak diterima bagi orang berkulit
putih. Kelayakan tersebut, menurut Eiva, menjadi perbedaan atau menimbulkan
diskriminasi bagi orang-orang berkulit hitam. Perbedaan warna kulit dalam
interaksi ini termasuk dalam cultural background knowledge context dimana
penutur dan petutur mengetahui bahwa ada konflik antar ras mereka.
Jenis FTA yang terdapat pada tuturan Eiva adalah addressee’s (H’s)
positive-face want dengan raising of dangerously emotional or divisive topics, e.g.
race. Eiva menyerang positive face Erin, yang berusaha dekat dengan Eiva dan
murid-murid lainnya. Berdasarkan tuturan Eiva mengenai white people, formula
ketidaksantunan dari tuturan tersebut yaitu kategori insults. Eiva membuat
pernyataan yang menyinggung Erin sebagai guru. Seperti data sebelumnya
mengenai Marcus yang menyebut Erin white girl, Eiva membahas perbedaan ras
dengan menyebut white people. Strategi ketidaksantunan yang digunakan Eiva
adalah positive impoliteness dengan tindakan yang dilakukan seek
40

disgreement/avoid agreement. Eiva menolak atau tidak setuju untuk memberikan


rasa hormatnya pada Erin sebagai guru berkulit putih. Respon terhadap
ketidaksantunan yang dikatakan Erin adalah strategi defensive dengan pembelaan
bahwa guru memang seharusnya dihormati tanpa memandang warna kulit.

Data 3
Interaksi ini terjadi ketika Eiva dan Erin masih mempermasalahkan apakah
seseorang bahkan seorang guru perlu dihargai, sekalipun guru tersebut berkulit
putih seperti Erin. Eiva tidak setuju untuk menghargai Erin. Karena Erin berkulit
putih, Eiva tidak harus menghargainya.
Eiva: It's all about color. It's about people deciding what you deserve, about
people wanting what they don't deserve, about whites thinking they run this world
no matter what. You see, I hate white people.
Erin: You hate me?
Eiva: Yeah.
Erin: You don't know me.
Eiva: I know what you can do. I saw white cops shoot my friend in the back for
reaching into his pocket! His pocket. I saw white cops break into my house and
take my father for no reason except because they feel like it! Except because they
can. And they can because they're white. So I hate white people on sight!
Erin: Ben, do you have anything to say?
Ben: Can I please get out of here?

Analisis:
Tindak tutur yang terlihat adalah ekspresif dengan tuturan kebencian yang
dikatakan Eiva terhadap orang kulit putih. Eiva membenci orang-orang berkulit
putih disebabkan pengalamannya. Ayahnya yang ditangkap polisi dengan warna
kulit putih. Eiva sangat mempermasalahkan warna kulit. Orang-orang kulit putih
menurut Eiva bisa melakukan segalanya. Konteks yang terdapat dalam tuturan
Eiva adalah cultural background knowledge context. Erin tidak kaget saat Eiva
menceritakan mengenai pengalaman buruknya dengan polisi kulit putih Erin tidak
41

bertanya lebih jauh tentang itu karena sudah mengetahui konflik antara kulit hitam
dan putih.
Jenis FTA yang digunakan adalah addressee’s (H’s) positive-face want
dengan tindakan yang dilakukan adalah raising of dangerously emotional or
divisive topics, e.g. race. Bahkan Erin yang seorang guru pun tidak dihargai oleh
Eiva karena warna kulit Erin yang putih. Formula ketidaksantunan yang ada pada
tuturan tersebut adalah insults dengan menyinggung warna kulit Erin yang juga
bewarna putih. Strategi ketidaksantunan yang ada pada tuturan adalah bald on
record impoliteness. Eiva menuturkan tuturan kebencian kepada Erin secara
langsung tanpa unsur ambigu. Respon Erin adalah melakukan pembelaan dengan
menanyakan Ben, murid dengan kulit putih, bagaimana pendapatnya Ben.

4.1.4. Challenging or unpalatable questions and/or presuppositions


Data 1
Interaksi ini terjadi Sindy, Jamal, serta Erin. Suasana yang terdapat dalam
interaksi ini sama dengan beberapa data sebelumnya yaitu ketika pembelajaran
mengenai sajak 2Pac Shakur yang tidak diterima oleh beberapa murid karena
mereka merasa lebih mengetahui sajak atau lagu rap tersebut. Ketika kekesalan
sudah memuncak, Erin memerintahkan para murid untuk pindah tempat duduk.
Mereka dipisahkan. Erin tidak mau mereka duduk berkelompok.
Sindy: I'm not sitting near him.
Jamal: I ain't going up there without my homey.
Sindy: I'm not sitting back there alone!
Erin: All right. Shut up. All right, you know what? I want you all to move
to this side of the room. You in the back, up here. Sindy and all of you, move to the
back. Come on. Let's go. Now!
Setelah semua murid pindah ke bangku masing-masing yang telah ditentukan
Erin. Antara murid saling melemparkan ujaran yang mengancam dan tidak santun.
Erin: So, everybody happy with the new borders?
Para murid terdiam
42

Analisis:
Tindak tutur yang terdapat pada tuturan Erin adalah ekspresif. Erin mengutarakan
perasaan puasnya merombak posisi tempat duduk para muridnya yang semula
duduk berkelompok. Erin menunjukkan rasa kesalnya dan rasa puas pada tuturan
tersebut. Berbeda dengan Erin yang mengatakan “so, everybody happy with the
new borders?”, para muridnya tampak tidak senang dengan perubahan posisi
duduk tersebut. Hal tersebut terlihat dari ujaran para muridnya yang pada awalnya
menolak untuk pindah posisi. Konteks yang terdapat pada ujaran Erin adalah
situational context. Erin mengetahui bahwa para muridnya tidak senang dengan
perpindahan tersebut. Konteks percakapan antara Erin dan para murid
memperlihatkan bagaimana Erin mengatur tempat duduk para murid.
Jenis FTA yang digunakan adalah addressee’s (H’s) positive-face want
dengan tindakan yang dilakukan ridicule. Erin mengejek para muridnya yang
susah diatur untuk pindah posisi tempat duduk pada awalnya. Formula
ketidaksantunan yang digunakan adalah challenging or unpalatable questions
and/or presuppositions. Pertanyaan Erin tidak perlu dijawab oleh para muridnya
yang tidak menyukai posisi tempat duduk yang baru diubah. Strategi
ketidaksantunan yang digunakan adalah mock politeness/sarcasm. Pertanyaan
Erin tidak sesuai dengan apa yang dirasakan muridnya. Respon para murid adalah
memilih tetap diam.

Data 2
Situasi saat interaksi ini terjadi sama seperti data sebelumnya, yaitu beberapa
siswa yang tidak setuju dengan pendapat Erin bahwa ketika seseorang ingin
dihormati, seseorang tersebut juga harus memberikan rasa hormatnya.
Andre: Why should I give my respect to you? ‘Cause you're a teacher? I don't
know you. How do I know you're not a liar standing up there? How do I
know you're not a bad person standing up there? I'm not just gonna give
you my respect because you're called a teacher.
Erin: Erin terdiam
Eiva: White people always wanting their respect like they deserve it for free.
43

Analisis:
Andre Bryant menolak memberikan rasa hormatnya kepada Erin, sebagai guru.
Terdapat tindak tutur komisif pada tuturan Andre Bryant. Menurut Andre, dia
tidak harus menghormati Erin hanya karen Erin guru. Andre berpikir guru tidak
harus selalu dihormati. Konteks yang terlihat adalah co-textual context. Kata ganti
I yang digunakan Andre dapat merujuk pada Eiva dan mewakili beberapa
temannya yang tidak ingin memberikan rasa hormatnya jika mereka ingin
dihormati. Eiva juga terlihat tidak ingin memberikan rasa hormatnya yang terlihat
dari tuturan “White people always wanting their respect like they deserve it for
free”.
Berdasarkan tindak tutur yang terlihat, jenis FTA yang digunakan adalah
addressee’s (H’s) positive-face want dengan ekspresi contradictions or
disagreements. Dalam diri Andre, tidak ada kepercayaan terhadap Erin sebagai
guru sehingga mempertanyakan pribadi Erin dengan mengatakan Erin bisa saja
pembohong atau penjahat yang berdiri dan mengajar dalam kelas. Tidak adanya
kepercayaan, Andre menolak untuk memberi rasa hormat terhadap gurunya, Erin.
Formula ketidaksantunan yang tampak adalah challenging or unpalatable
questions and/or presuppositions. Dengan ketidakpercayaan yang muncul,
menimbulkan pertanyaan pada dirinya yang tidak memerlukan jawaban. Erin
menjadi guru di sekolah menengah tersebut tentu saja setelah melalui proses
wawancara ataupun proses seleksi. Berdasarkan FTA yang muncul, tindak
ketidaksantunan dituturkan melalui strategi positif impoliteness, seek
disgreement/avoid agreement. Respon Erin terhadap tuturan Andre adalah staying
silent.

4.2 Mengancam Addressee’s (H’s) Negative-face Want


4.2.1 Message enforces
Data 1
Saat percakapan terjadi, murid-murid kulit hitam tampak tidak suka terhadap Erin
karena Erin akan mengajarkan sajak 2Pac Shakur. 2Pac Shakur adalah penyanyi
44

yang mayoritas murid-murid sukai. Mereka merasa lebih tau 2Pac Shakur dan
lagunya daripada Erin sebagai guru. Mereka menuturkan ujaran yang
menyinggung Erin. Pada beberapa data konteks percakapan sama hanya tuturan
yang dianalisis, diklasifikasikan berdasarkan jenis FTA serta jenis formula
ketidaksantunan.
Jamal: And teacher gets nailed, y'all!
Beberapa murid tertawa
Erin: All right, Jamal, enough. Jamal! That's enough! You know what? I want
you to move to this front seat right here now.
Jamal: What?

Analisis:
Tindak tutur yang terlihat dalam ujaran Erin adalah direktif dengan memerintahkan
Jamal untuk berhenti berbicara dan menyuruh Jamal untuk pindah tempat duduk.
Perintah Erin disebabkan oleh tuturan Jamal yang memicu emosinya. Konteks yang
terjadi yaitu situational context. Tuturan Erin menunjukan lokasi dimana Jamal
harus pindah yang kemungkinan akan menyebabkan perselisihan baru antara
murid-murid yang berbeda ras serta warna kulit.
Jenis FTA yang digunakan adalah mengancam addressee’s (H’s) negative-
face want dengan tindakan order yang akan menghasilkan future action dari
Jamal. Formula ketidaksantunan yang tampak berupa message enforces. Perintah
Erin terlihat memaksa karena Erin tampak memuncak kekesalannya di kelas
tersebut. Ujaran Eiva, Jamal, Andre Bryant, dan juga Marcus pada data
sebelumnya menjadi penyebab memuncaknya kemarahan Erin. Ujaran Jamal
“And teacher gets nailed, y'all!” yang membuat beberapa temannya tertawa dapat
termasuk kedalam jenis formula ketidaksantunan condescensions dengan adanya
unsur make fun of people. Strategi ketidaksantunan yang muncul yaitu Bald on
record impoliteness. Erin mengatakan perintah tersebut secara jelas tanpa adanya
unsur yang ambigu yang dapat menyerang citra Jamal. Respon Jamal terhadap
ujaran Erin adalah strategi defensive. Jamal tampak tidak terima dengan perintah
Erin menyuruhnya untuk pindah tempat duduk menjadi di depan.
45

Data 2
Marcus menyuruh Erin untuk berhenti berusaha memahami keadaan mereka di
kelas. Marcus menganggap perbedaan warna kulit tidak bisa dipahami Erin.
Marcus: Lady, stop acting like you're trying to understand our situation and just
do your little babysitting up there.
Erin: That's all you think this is?
Analisis:
Marcus memerintah Erin untuk tidak mengajar lagi di kelas tersebut karena
bagaimanapun, menurutnya Erin tidak bisa memahami situasi yang sedang terjadi
di kelas antara konflik dan perbedaan warna kulit. Terdapat tindak tutur direktif
pada tuturan Marcus. Konteks yang terdapat pada tuturan tersebut adalah co-
textual context. Our situation digunakan Marcus untuk mewakili situasi teman-
temannya yang merasa Ein tidak bisa memahami mereka walupun Erin sudah
berusaha.
Jenis FTA yang digunakan adalah addressee’s (H’s) negative-face want
dengan tindakan yang terlihat adalah order. Perintah yang dilakukan Marcus
sebagai dampak dari terdapatnya konflik perbedaan warna kulit yang Marcus
anggap Erin tidak paham. Formula ketidaksantunan yang digunakan adalah
message enforces. Perintah Marcus “do your little babysitting up there”
menunjukkan bahwa Erin tidak perlu berusaha memahami keadaan para murid
dan lakukan saja seperti biasa kegiatan mengajarnya. Strategi ketidaksantunan
yang muncul adalah negative impoliteness dengan tindakan yang dilakukan atau
output yang dihasilkan condescend, scorn or ridicule. Marcus merendahkan dan
tidak menganggap serius perkataan atau nasihat Erin mengenai rasa hormat.
Respon Erin adalah strategi defensive dengan mempertahankan face.

4.2.2 Pointed Criticisms/Complaints


Data 1
Suasana saat percakapan ini terjadi sama dengan data sebelumnya saat Jamal
melakukan FTA dan ujaran ketidaksantunan. Pada data sebelumnya Jamal tidak
46

suka Erin, sebagai guru berkulit putih mengajarkan materi mengenai sajak 2Pac
Shakur kepada para murid yang dominan berkulit hitam.
Jamal: And teacher gets nailed, y'all!
Erin: All right, Jamal, enough. Jamal! That's enough! You know what? I want you
to move to this front seat right here now.
Jamal: What?
Erin: Come on. I am sick of these antics in my classroom.
Jamal: Well, there you are.
Analisis
Setelah Jamal menuturkan kekagetannya dengan “what” atas perintah Erin untuk
pindah tempat duduk, Erin mulai tidak sabar, benci dan marah terhadap murid-
murid di kelsnya. Berdasarkan tuturan Erin, tampak bahwa Erin menyatakan
tuturan kebencian yang termasuk klasifikasi tindak tutur ekspresif. Erin
menyatakan perasaannya yang tidak menyukai kelas yang diajarnya. Tuturan Erin
tampak mengancam citra muridnya. Konteks yang terlihat adalah situational
context dengan Erin muak dan kesal atas lelucon yang terjadi di kelas tempatnya
mengajar.
Jenis FTA yang digunakan adalah addressee’s (H’s) negative-face want:
expressions of strong (negative) emotions toward hearer — e.g. hatred, anger,
lust. Erin mengindikasikan alasan yang memungkinkan untuk merusak citra
Jamal. Formula ketidaksantunan yang digunakan adalah pointed
criticisms/complaints. Berdasarkan jenis FTA yang digunakan, Erin marah, kesal,
dan muak atas keadaan kelasanya dengan mayoritas murid yang tidak suka
dengannya. Erin mengungkapkan kekesalannya dengan mengatakan komplain dan
kritik pada kalimat tersebut. Strategi ketidaksantunan yang terdapat pada konteks
diatas adalah bald on record impoliteness. Erin memiliki niat untuk menyerang
citra Jamal serta beberapa murid lainnya, yang sebelumnya telah menyerang citra
Erin, dengan jelas tanpa unsur ambiguitas dengan kalimat “I am sick of these
antics in my classroom”. Strategi ketidaksantunan dari respon Jamal terhadap
tuturan Erin termasuk strategi offensive. Jamal melakukan pembelaan dengan
menyerang balik tuturan Erin.
47

4.2.3 Challenging or unpalatable questions and/or presuppositions


Data 1
Suasana saat percakapan ini terjadi sama dengan data sebelumnya saat Marcus
melakukan FTA dan ujaran ketidaksantunan. Pada data sebelumnya Marcus tidak
suka Erin, sebagai guru berkulit putih mengajarkan materi mengenai sajak 2Pac
Shakur kepada para murid yang dominan berkulit hitam. Kemudian, Eiva
meragukan keahlian Erin dalam mengajar sajak.
Erin: No, it's not that. See, what I was trying to do...
Eiva: You have no idea what you're doing up there, do you? You ever been a
teacher before?
Erin: Erin Terdiam

Analisis:
Berdasarkan tuturan Eiva, terdapat tindak tutur direktif. Eiva menuturkan
pertanyaan yang juga berisi tantangan terhadap gurunya, Erin. Eiva terlihat
mempertanyakan kebisaan Erin dalam mengajar di kelas, terutama mengajar
mengenai sajak 2Pac Shakur yang memang sudah dicetak atau di print lirik
sajaknya oleh Erin. Namun, Eiva menantang Erin mengenai apa yang bisa Erin
lakukan di depan kelas berkaitan dengan sajak 2Pac Shakur. Konteks yang terdapat
pada percakapan diatas adalah situational context. Situasi yang menggambarkan
Erin sebagai guru berdiri di depan murid-murid ditekankan Eiva dalam ujarannya
ketika meragukan kebisaan Erin menjadi guru.
FTA yang terdapat dalam tuturan Eiva adalah jenis addressee’s (H’s)
negative-face want dengan tindakan blatant non-cooperation in an activity — e.g.
disruptively interrupting H’s talk. Eiva menginterupsi tuturan Erin dengan
mengatakan “You have no idea what you're doing up there, do you? You ever been
a teacher before?”. Formula ketidaksantunan yang digunakan adalah challenging
or unpalatable questions and/or presuppositions. Eiva mengutarakan pertanyaan
yang tidak perlu dijawab oleh seorang guru yaitu, Erin. Hal yang sudah diketahui
para murid adalah Erin telah diterima menjadi guru di kelas SMA Eiva
48

bersekolah. Hal tersebut terlepas apakah sebelumnya Erin pernah menjadi guru
atau belum pernah sehingga mungkin di kelas tersebut Erin pertama kali
mengajar. Seorang murid tidak sepantasnya bertanya seperti pertanyaan Eiva
kepada seorang guru. Tindak ketidaksantunan, bertanya mengenai pertanyaan
yang tidak perlu dijawab, serta interupsi yang dilakukan Eiva tampak mengancam
citra Erin sebagai guru. Strategi ketidaksantunan yang digunakan adalah negative
impoliteness dengan output condescend, scorn or ridicule. Eiva tidak Respon
Erin terhadap tuturan Eiva diam, tidak membalas tuturannya.

Data 2
Konteks percakapan dibawah ini sama dengan data sebelumnya yang berlangsung
saat Tito, salah satu murid di kelas, sedang menggambar muka temannya, Jamal
Hill, dengan bibir tebal dan besar. Tito dan teman-temannya yang lain
menertawakan gambar tersebut. Erin yang merasa kegiatan belajar mengajarnya
terganggu atas murid-muridnya yang tertawa, menghentikan kegiatan
mengajarnya dan memperingati muridnya bernama Tito.
Erin: What's going on? What is that? Give it to me. What is this?
Jamal: Just leave it alone.
Erin: You think this is funny? Tito? Would this be funny if it were a picture of
you?
Tito: It ain't.
Erin: Close the workbooks. Maybe we should talk about art. Tito's got real talent,
don't you think?

Analisis:
Terdapat tindak tutur komisif pada tuturan Erin dengan berbentuk peringatan. Erin,
sebagai guru, merasa tertanggu atas suara tawa beberapa muridnya terhadap gambar
yang dibuat Tito.
Gambar tersebut ditujukan untuk Jamal. Erin menuturkan pertanyaan yang juga
mengandung peringatan terhadap Tito dengan pertanyaan apakah masih tetap lucu
jika gambar tersebut adalah gambar dirinya (Tito). Konteks yang terdapat pada
49

percakapan diatas adalah situational context. Situasi digambarkan dengan Erin,


sebagai guru, memegang kertas yang bergambar muka seseroang bermulut tebal
yang ditujukan untuk Jamal. Ketika memegang kertas tersebut, Erin berjalan ke
bangku Tito lalu berkata “You think this is funny? Tito? Would this be funny if it
were a picture of you?”.
Berdasarkan analisis tindak tutur, FTA yang terdapat dalam tuturan Eiva
adalah jenis addressee’s (H’s) negative-face want dengan tindakan yang
dilakukan adalah warning. Pertanyaan Erin juga mengandung peringatan terhadap
Tito. Formula ketidaksantunan yang digunakan adalah challenging or unpalatable
questions and/or presuppositions. Pertanyaan Erin terlihat tidak memerlukan
jawaban walapun Tito menjawan dengan It ain't. Tanpa dijawab pun Erin sudah
dapat mengetahui jawabannya bahwa gambar tersebut tidak perlu ditertawakan
apalagi jika gambar tersebut adalah gambar Tito sendiri. Strategi ketidaksantunan
yang digunakan adalah mock politeness/sarcasm. Pertanyaan Erin hanya berada
pada surface realisations. Tito sendiri mengetahuinya jika gambar tersebut adalah
dirinya, gambar tersebut tidak lucu serta tidak dapat ditertawakan. Namun Erin
bertanya sebaliknya, Would this be funny if it were a picture of you? Unsur
sarcasm juga terdapat pada pertanyaan kedua Erin “Tito's got real talent, don't
you think?”. Padahal seluruh murid beserta Erin mengetahui bahwa gambar Tito
tidak sebagus yang Erin katakan. Terbukti dari ketika beberapa murid tertawa
terhadap wajah Jamal dikertas hasil gambaran Tito. Respon terhadap
ketidaksantunan dari yang Erin katakan adalah accepting the face attack. It ain't
bermakna Tito mengakui bahwa gambarannya yang menghina Jamal tidak patut
ditertawakan.

Data 3
Marcus memberitahu Erin untuk berhenti berusaha memahami keadaan mereka di
kelas. Situasi ini ada pada data lain yang sudah dianalisis namun berbeda tuturan
yang digunakan untuk analisis. Marcus bersikeras memberitahu Erin untuk
berhenti mengajar di kelas tersebut.
Erin: And you all think you're gonna make it to graduation like this?
50

Andre: I made it to high school. Ain't nobody stopped me.


Marcus: Lady, I'm lucky if I make it to 18. We in a war. We're graduating every
day we live, because we ain't afraid to die protecting our own. At least when you
die for your own, you die with respect, you die a warrior.
Beberapa murid: That's right.
Erin: So when you're dead, you'll get respect? Is that what you think?
Beberapa murid: That's right. That's right. Yeah.
Erin: Yeah. You know what's gonna happen when you die? You're gonna rot in
the ground. And people are gonna go on living, and they're gonna forget all
about you. And when you rot, do you think it's gonna matter whether you were
an original gangster? You're dead. And nobody, nobody is gonna wanna
remember you, because all you left behind in this world is this.
Para murid terdiam
Analisis:
Tindak tutur komisif terdapat pada tuturan Erin yang memberikan peringatan pada
para muridnya. Peringatan tersebut dikarenakan beberapa murid, terutama yang
berkulit hitam, bersikap mendiskriminasi gurunya, Erin, yang berkulit putih.
Beberapa murid menganggap tidak perlu memberikan rasa hormatnya pada Erin.
Karena beberapa murid menolak memberikan rasa hormatnya, kegiatan belajar
mengajar juga tampak tidak berjalan lancar. Terbukti saat Erin akan memberikan
pelajaran mengenai sajak 2Pac Shakur, beberapa murid menganggap mereka lebih
tahu daripada Erin sebagai gurunya. Konteks yang terdapat pada tuturan tersebut
adalah situational context. Erin memperingatkan para muridnya dengan
menggunakan kerta yang bergambar wajah Jamal dengan bibir tebal dari hasil
gambaran Tito. Tito mengejek Jamal yang mempunyai bibir tebal yang
menimbulkan konflik di kelas.
Jenis FTA yang digunakan dalam tuturan adalah addressee’s (H’s)
negative-face want dengan jenis tindakan yang terlihat adalah warning. Erin
memperingatkan bahwa para muridnya tidak bisa mati dengan membawa rasa
hormat karena mereka saja tidak meninggalkan rasa hormat mereka sendiri pada
orang lain, mereka tidak meninggalkan apa pun. Formula ketidaksantunan yang
51

muncul pada dua tuturan Erin adalah challenging or unpalatable questions and/or
presuppositions. Pertanyaan Erin menunjukkan bahwa ketika mereka (para murid)
mati, mereka yang mayoritas menjadi anggota gang dan tidak memiliki sesuatu
untuk ditinggalkan seperti sebuah karya, mereka tidak akan diingat oleh orang-
orang. Strategi ketidaksantunan yang terlihat adalah bald on record impoliteness
dengan tuturan peringatan Erin terhadap para muridnya dinyatakan secara jelas
dan langsung. Para muridnya tidak merespon tuturan Erin (staying silent).

4.2.4 Condescensions
Data 1
Suasana saat percakapan ini terjadi, berkaitan dengan data sebelumnya saat
Marcus serta Eiva Benitez melakukan FTA dan ujaran ketidaksantunan. Pada data
sebelumnya, mereka tidak suka Erin, sebagai guru berkulit putih, mengajarkan
materi mengenai sajak 2Pac Shakur kepada para murid yang dominan berkulit
hitam. Tuturan Erin akan diklasifikasi pada data selanjutnya yang berbeda
klasifikasi dengan data ini. Erin menyuruh Jamal untuk pindah tempat duduk
menjadi duduk di depan. Perintah Erin terhadap Jamal dikarenakan Jamal dan
beberapa murid lainnya telah membuat Erin kesal.
Erin: Come on. I am sick of these antics in my classroom.
Jamal: Sambil sedikit tersenyum Jamal mengatakan
Well, there you are. I was wondering when you were gonna lose that damn
smile.
Erin: Switch with Ben. Come on.
Ben: I can't go back there alone.
Erin: It'll be fine.
Ben: No, it won't.
Analisis:
Jenis tindak tutur yang ada pada tuturan Jamal adalah ekspresif dengan ciri
dislikes yang terlihat dari tuturan Jamal. Jamal tampak tidak suka ketika Erin
tersenyum. Hal tersebut terbukti dari tuturan Jamal yang menunggu kapan Erin
akan hilang senyumnya. Konteks yang terdapat pada tuturan Jamal adalah
52

situational context. Erin sudah tidak terlihat tersenyum sejak beberapa murid
sudah mulai melontarkan FTA dan ujaran ketidaksantunan.
FTA yang digunakan adalah addressee’s (H’s) negative-face want dengan
tindakan expressions of strong (negative) emotions toward H — e.g. hatred, anger, lust.
Jamal memang tampak marah dengan tuturan Erin tersebut. Tuturan tersebut
menandakan Jamal menunggu kapan saat Erin, sebagai guru, bisa marah
dikarenakan perilaku dan ujaran para muridnya. Formula ketidaksantunan yang
digunakan Jamal adalah condescensions. Dengan sedikit tersenyum Jamal terlihat
mengejek Erin. Strategi ketidaksantunan yang muncul adalah negative
impoliteness dengan output, explicitly associate the other with a negative aspect.
Jamal menekankan, menggunakan kata ganti I dan You untuk dirinya dan Erin,
bahwa seperti itulah gurunya yang sudah kesal dan kehilangan kesabaran atas
ujaran para muridnya. Erin tidak merespon tuturan Jamal melainkan, mengubah
topik pembicaraan dengan menyuruhnya pindah tempat duduk.

4.2.5 Dismissals
Data 1
Interaksi ini terjadi saat Eiva melakukan protes atas cerita dari novel yang
dibacanya. Kisah yang Anne Frank tulis serupa dengan kisah yang Eiva alami
Erin: Eiva, what's wrong?
Eiva: Why didn't you tell me she dies? Why you didn't tell me she gets caught in
the end? I hate you and I hate this book.
Erin: Eiva.
Eiva: If she dies, then what about me? What are you saying about that?
Erin: Anne Frank died, but she...
Eiva: I can't believe they got her! That ain't supposed to happen in the story! That
ain't right!
Erin terdiam
Marcus: Cause it's true?
53

Analisis:
Tindak tutur yang tampak pada tuturan Eiva adalah ekspresif. Eiva menuturkan
kebencian pada gurunya dan novel yang dia baca karena akhir cerita yang ada
pada novel tidak sesuai dengan yang Eiva harapkan. Konteks yang ada pada
tuturan adalah situational context. Eiva menunjukkan buku atau novel Anne Frank
yang dia bawa dan menyatakan bahwa akhir ceritanya Anne Frank tertangkap
yang akan membingungkan Eiva dengan pertanyaan lalu nasibnya yang memiliki
kisah serupa dengan Anne Frank.
Jenis FTA yang digunakan adalah addressee’s (H’s) negative-face want
dengan jenis output, expressions of strong (negative) emotions toward H — e.g.
hatred, anger, lust. Eiva menunjukkan rasa kekecewaannya terhadap Erin dan
novel tersebut. Formula ketidaksantunan yang terlihat adalah dismissals. Eiva
benci melihat Erin karena tidak menceritakan dari awal mengenai apa yang terjadi
pada Anne Frank seperti yang tertulis di Diary Anne Frank. Secara tidak langsung
Eiva tidak menginginkan kehadiran Erin. Tuturan tersebut disampaikan melalui
strategi ketidaksantunan bald on record impoliteness. Respon dari Erin
disampaikan melalui strategi defensive. Erin tampak ingin melakukan pembelaan
mengenai apa yang terjadi pada Anne Frank.

Data 2
Situasi saat interaksi ini terjadi adalah ketika Tito menggambar wajah Jamal
dengan bentuk bibir tebal. Lalu Erin membahas mengenai Holocust, gang, serta
Erin: So what you're saying is, if the Latinos weren't here, or the Cambodians or
the blacks or the whites or whoever they are, if they weren't here,
everything would be better for you, isn't that right?
Beberapa murid: Of course it'd be better!
Alejandro: It'd be better if you weren't here.
Erin: Right. Right. It starts with a drawing like this, and then some kid dies in a
drive-by, never even knowing what hit him.
54

Analisis:
Tuturan Alejandro termasuk dalam tindak tutur komisif. Peringatan terhadap
kehadiran Erin secara langsung diutarakan Alejandro. Alejandro memperingatkan
Erin, sebagai gurunya, bahwa kehadirannya tidak penting berdasarkan tuturan
tersebut. Konteks yang terlihat saat percakapan terjadi adalah situational context.
Erin memegang kertas yang berisi wajah Jamal dengan bibir tebal hasil gambaran
Tito. Pembahasan mengenai ras Latino, Cambodians, maupun blacks atau whites
disebabkan oleh gambar tersebut.
Jenis FTA yang digunakan adalah addressee’s (H’s) negative-face want
dengan tindakan yang dilakukan warning. Alejandro menyerang negative face
Erin. Erin menyebutkan beberapa ras serta warna kulit yang dijadikan
permasalahan dalam kelas. Erin yang berkulit putih menyebutkan ras-ras serta
orang berkulit hitam dan putih yang ada dalam kelas menunjukkan bahwa dirinya
sudah memisahkan diri dari kelas tersebut atau tidak lagi menjadi bagian dalam
kelas tersebut. Erin sudah menunjukkan negative face-nya yang tidak ingin
diganggu. Namun Alejandro mengancam face Erin dengan memberikan
peringatan. Maka formula yang digunakan adalah dismissals. Berdasarkan tuturan
tersebut, Alejandro tidak menginginkan kehadiran Erin. Strategi ketidaksantunan
yang digunakan adalah bald on record. Alejandro secara langsung dan tegas tidak
menginginkan Erin berada di kelas. Respon Erin terhadap tuturan Alejandro
adalah accepting the face attack.
55

BAB V
SIMPULAN

Guru memiliki ilmu lebih tinggi dari murid untuk bisa memberikan pelajaran di
kelasnya. Pada umumnya guru memang ingin dihormati baik itu dengan cara
memperhatikan materi yang diberikan maupun interaksi tanya jawab dalam kelas.
Namun ada beberapa faktor yang dapat membuat murid tidak menghormati
gurunya, salah satunya adalah karena perbedaan warna kulit yang dimiliki murid
dan guru. Tuturan murid yang tidak menghormati gurunya dapat dianalisis
melalui teori pragmatis diantaranya yaitu Face Threatening Acts (FTA),
conventionalised impoliteness formulae, dan tindak tutur. Simpulan pertama yang
saya bahas adalah jenis yang cenderung digunakan oleh murid dan guru ketika
berinteraksi di kelas.
Jenis FTA yang cenderung digunakan oleh murid adalah tindakan yang
mengancam addressee’s (H’s) positive-face want dengan menyerang positive
face Erin yang berusaha mendekatkan diri dengan muridnya agar kegiatan belajar
mengajar dapat berlangsung lancar. Namun para muridnya, yang mayoritas
berkulit hitam, menolak, mengkritik, dan membandingkan dirinya dengan
gurunya yang berkulit putih. Tindakan yang cenderung dilakukan muridnya
terkait FTA adalah mengangkat masalah perbedaan warna kulit (raising of
dangerously emotional or divisive topics, e.g. race) dan tidak setuju (contradictions or
disagreements) terhadap pendapat Erin serta apa yang diajarnya. Jenis FTA yang
cenderung digunakan oleh Erin sebagai guru adalah addressee’s (H’s) positive-
face want dengan tindakan warning.
Conventionalised impoliteness formulae yang cenderung digunakan para
murid adalah pointed criticisms/complaints. Para murid yang mayoritas
mengkritik dan memberikan komplain terhadap Erin disebabkan atas dasar rasa
hormat yang tidak diberikan oleh para murid, serta perbedaan warna kulit yang
dapat menyebabkan konflik. Conventionalised impoliteness formulae yang
cenderung digunakan guru adalah challenging or unpalatable questions and/or
56

presuppositions. Erin, sebagai guru, memberikan peringatan berupa pertanyaan


yang tidak memerlukan jawaban dari para murid.
Tindak tutur yang cenderung digunakan para murid adalah komisif
dengan tindakan yang dilakukan adalah peringatan dan penolakan terhadap
kehadian Erin. Tindak tutur yang cenderung dilakukan Erin adalah ekspresif
dengan kemunculan rasa tidak suka dan kesal. Selain itu juga terdapat tindak tutur
komisif dengan memperingatkan para muridnya terhadap apa yang akan terjadi
jika mereka terus seperti itu, tidak menghormati guru dan tidak memperhatikan
pelajaran di kelas.
Sebagian besar murid mengujarkan tuturan yang mengandung FTA dan
Conventionalised impoliteness formulae melalui strategi ketidaksantunan
....Sedangkan guru dalam mengutarakan tuturan yang mengandung FTA dan
Conventionalised impoliteness formulae melalui strategi ketidaksantunan...
57

Pustaka Acuan

Bousfield, Derek. 2008. Impoliteness in Interaction. Diunduh dari


http://en.bookfi.net/book/1037495
Brown, Penelope and Stephen Levinson. 1987. Politeness: Some universals in
language usage. Diunduh dari http://b-
ok.xyz/s/?q=7FA39DDEBDE3F887E1E3E1075FA24D69&e=1
Creswell, John W. 2009. Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed
Methods Approaches. Diunduh dari
http://download1.libgen.io/ads.php?md5=F4C26413965EEEDB35CD74A
3A68638A7
Culpeper, Jonathan. 1996. “Towards an anatomy of impoliteness.” Journal of
Pragmatics 25: 349–367. Diunduh dari http://en.bookfi.net/book/1249938
Culpeper, Jonathan. 2003. Impoliteness Revisited: with Special Reference to
dynamic and prosodic aspects. Diunduh dari
http://en.bookfi.net/book/1249933
Culpeper, Jonathan. 2010. “Conventionalised Impoliteness Formulae” Journal
of Pragmatics 42 (2010) 3232-3245. Diunduh dari
http://en.bookfi.net/book/
Cutting, Joan. 2002. “Pragmatics and Discourse: A resource book for students”.
http://en.bookfi.net/book/1420282
Data berdasarkan transkrip film yang di salin dari http://www.script-o-
rama.com/movie_scripts/f/freedom-writers-script-transcript.html
De Luca, Antonio. 2017, 2 April. “Readers Respond: Which Racial Terms Make
You Cringe? New York Times”. Diaksed dari https://www.nytimes.com
Djajasudarma, F., Citraresmana, E. 2016. Metode dan Strategi Penelitian
Linguistik. Bandung: Unpad Press
Film Freedom Writers diunduh dari https://ganool.ac/film/freedom-writers-2007-
bluray-720p
Goffman, Erving. 1967. “Interaction Ritual” Essays on Face-to-Face Behavior.
Diunduh dari http://en.bookfi.net/book/
58

Hanifah, Nurdinah. 2016. Sosiologi Pendidikan. Sumedang: UPI Sumedang Press


Heigham, J., Croker, Robert A. 2009. Qualitative Research in Applied Linguistics.
Diunduh dari
http://libgen.io/book/index.php?md5=DDC7979724E516837A878114662
EFC68
Ige, Busayo O. 2007. “Impoliteness in Context: Impoliteness, Gender and
Construction of Identities at a South African University” PhD thesis. Diunduh
dari https://researchspace.ikzn.ac.za/
Leech, Geoffrey N. 1983. Principles of Pragmatics. Diunduh dari
http://en.bookfi.net/book/1112713
Searle, John. R. 1979. Expression and Meaning: Studies in the Theory of Speech
Acts. Diunduh dari http://en.bookfi.net/book/1183295
Yule, G. 1996. Pragmatics. Diunduh dari http://en.bookfi.net/book/1432700
West, R., Turner, Lynn H. 2010. Introducing Communication Theory. Diunduh
dari dari http://en.bookfi.net/book/1387373
59

Synposis
60

Riwayat Hidup

Anda mungkin juga menyukai