Berbasis Masyarakat[1]
Hastowiyono[2]
Pengantar
Desentralisasi dan otonomi daerah yang tengah
berjalan di Indonesia selama delapan tahun terakhir telah
membawa perubahan cara pandang dalam pembangunan
dari “pembangunan daerah” (regional development) ke
“daerah membangun” (local development). Konsep “daerah
membangun” tentu bukanlah pembangunan yang bekerja di
tingkat lokal, atau pembangunan daerah yang semata
mengacu pada perencanaan yang terpusat, melainkan
pembangunan yang berbasis pada konteks lokal. Yaitu
pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan dan masalah
lokal serta direncanakan dengan pendekatan dari bawah dan
partisipatif. Spirit yang selalu dikedepankan dalam
pendekatan pembangunan partisipatif adalah “dari
masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat”.
Tujuan utama “daerah membangun” yang
diamanatkan desentralisasi adalah untuk mewujudkan
kesejahteraan rakyat, termasuk di dalamnya adalah
mengurangi kemiskinan yang kini menjadi masalah akut bagi
Indonesia. Desentralisasi kewenangan yang besar dan
transfer anggaran (desentralisasi fiskal) secara seimbang
kepada daerah, tentu mengandung mandat besar
yang mengharuskan pemerintah daerah berkewajiban
mengalokasikan sumberdaya ekonomi dan menyediakan
pelayanan publik yang lebih baik untuk mencapai
kesejahteraan rakyat. Visi dan keyakinan semua daerah
sebenarnya sudah mengarah pada kesejahteraan,
sebagaimana tertuang secara tertulis dalam setiap Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMDaerah)
maupun pidato-pidato resmi para pejabat daerah. Seperti
RPJM Daerah Kabupaten Bantul juga mempunyai prioritas
program untuk penanggulangan kemiskinan, sekaligus untuk
mencapai kesejahteraan rakyat. Dalam konteks ini
perencanaan daerah menjadi instrumen penting bagi
kesejahteraan rakyat, sebab perencanaan akan menunjukkan
tujuan dan sasaran pembangunan daerah, pilihan-pilihan
kebijakan, politik anggaran, agenda-agenda strategis maupun
keterlibatan berbagai para pemangku kepentingan daerah.
Perencanaan pembangunan berdasarkan cara
pandang “daerah membangun” tidak lain adalah perencanaan
pembangunan berbasis masyarakat. Dalam konteks ini,
masyarakat benar-benar dipandang sebagai subyek
pembangunan dan sekaligus dipandang sebagai penerima
manfaat (beneficiaries) serta pihak yang akan terkena
dampak dari kegiatan pembangunan.
Untuk itu poin-poin berikut ini akan mereview pemahaman
tentang perencanaan pembangunan, model-model perencanaan
pembangunan dan prakondisi atau prasyarat yang diperlukan
dalam agenda perencanaan pembangunan berbasis masyarakat.
Kelembagaan Perencanaan
Pelembagaan Partisipasi
Pelembagaan partisipasi dimaksudkan agar
implementasinya dapat dibingkai ke dalam sebuah format
yang dapat dipertanggungjawabkan. Disamping itu
pelembagaan partisipasi juga dimaksudkan agar masyarakat
tidak terjebak dalam gerakan yang bersifat anarkhis. Memang
benar bahwa partisipasi adalah inti demokrasi tetapi bukan
berarti untuk melaksanakan demokrasi masyarakat dapat
melakukan apa saja seenaknya. Ada batas-batas tertentu
yang harus ditaati bersama dalam melakukan partisipasi
sebagai pendorong utama dalam berdemokrasi.
Pelembagaan ini dimaksudkan juga untuk meningkatkan
kapasitas kelembagaan masyarakat agar dapat sederajad
dengan pihak pemerintah desa dan BPD sehingga
masyarakat dapat meningkatkan bargaining power. Dalam
konteks ini bargaining power dimaknai sebagai hal yang
positif sekaligus sebagai strategi pendekatan yang
menekankan kemitraan, menghargai proses dialog,
musyawarah dan menumbuhkan rasa saling menghormati
antar elemen strategis penyelenggara pembangunan di
daerah.
Kelemahan elementer yang sering ditemukan dalam
kelembagaan partisipasi terutama dalam aspek
keterwakilan (representasi) dan kualitas dialogis atau
komunikasi forum. Kedua aspek itu kedepan dapat diatasi
melalui penguatan kapasitas masyarakat dalam analisis
stakeholders dan kemampuan fasilitasi.
a. Analisis stakeholders, digunakan untuk mengatasi
masalah representasi. Apa itu stakeholders?
Stakeholders adalah orang-orang, kelompok atau
lembaga yang dipengaruhi oleh suatu intervensi yang
ditawarkan (secara positif maupun negatif) atau mereka
yang dapat mempengaruhi hasil intervensi. Analisis
stakeholders dimaksudkan sebagai pintu masuk dalam
menjawab persoalan keterwakilan dan kualitas formulasi
(perencanaan) partisipatif. Mengapa harus analisis
stakeholders? Pertama, untuk mengidentifikasi
kepentingan, urgensi, dan pengaruh stakeholders atas
kebijakan maupun program/proyek. Kedua, untuk
mengidentifikasi lembaga-lembaga lokal dan proses-
proses untuk membangunnya. Ketiga, menyediakan
suatu dasar dan strategi bagi partisipasi.
b. Peran fasilitator. Peran fasilitator menjadi sangat
dibutuhkan untuk dikembangkan mengingat dialog
musyawarah yang dibangun sedapat mungkin harus
tertuju pada formulasi perencanaan yang disiapkan
sebagai bahan bakar program aksi pembangunan. Peran
ini tidak dimaksud untuk mengintervensi atau mengajari
masyarakat, tapi lebih untuk membuka ruang yang lebih
lebar kepada masyarakat berdialog, berdiskusi, berdebat
dan ruang untuk memutuskan sendiri apa yang baik dan
apa yang tidak baik buat mereka sendiri.
Kedua kelemahan elementer tersebut diperburuk dengan
ketidaktersediaan data yang memadai sebagai energi utama
dalam setiap proses perencanaan.
Penutup
Dalam kerangka otonomi daerah dan demokratisasi
dalam pembangunan, perencanaan pembangunan yang
dipandang tepat adalah perencanaan berbasis masyarakat.
Model perencanaan yang perlu dikembangkan adalah
perencanaan pembangunan dari ”atas ke bawah” dan dari
”bawah ke atas” secara bersama-sama dan
seimbang/proporsional. Dalam hal ini musrenbang di
berbagai tingkatan perlu dilaksanakan secara bermakna
(substantif), bukan sekedar untuk memenuhi prosedur formal.
Konsekuensi dari perencanaan pembangunan
berbasis masyarakat adalah adanya tuntutan bersatunya
(ajur-ajer) antar stakeholders pembangunan (khususnya
pemerintah bersama masyarakat). Dalam hal ini institusi
pemerintahan daerah harus mau dan mampu menyerap dan
mewujudkan aspirasi dari masyarakat ke dalam kebijakan
daerah yang pro rakyat, khususnya kelompok miskin. Di sisi
lain, masyarakat juga harus siap (atau disiapkan) untuk
mampu dan mau mengenali kebutuhan dan potensi diri
secara faktual yang sangat diperlukan dalam perencanaan
pembangunan.
Untuk itu diperlukan prakondisi yang harus dipenuhi, antara
lain:
Pertama, penyelenggaraan pemerintahan di tingkat daerah
(kabupaten) maupun ditingkat lokal (desa) yang responsif
terhadap kebutuhan masyarakat. Kedua, partisipasi
masyarakat yang otentik (bukan mobilisasi masa) harus
tumbuh atau ditumbuhkan. Ketiga, kelembagaan masyarakat
(khususnya lembaga-lembaga desa) harus berdaya untuk
merumuskan permasalahan dan kebutuhan masyarakat dan
ketrampilan berdialog secara demokratis. Keempat,
tersedianya forum-forum publik yang sangat diperlukan untuk
menjalin komunikasi antar stakeholders pembangunan.
Kelima, diperlukan kebijakan daerah untuk menganggarkan
biaya pembangunan (khususnya bagi desa) secara memadai.
___________________________________________________
DAFTAR PUSTAKA