Anda di halaman 1dari 21

REFLEKSI KASUS JULI 2018

UPAYA PENGENDALIAN PENYAKIT ISPA DENGAN PENDEKATAN


KEDOKTERAN KELUARGA

Disusun Oleh :
KD Janu Yunita
N 111 16 115

Pembimbing :
Drg. Tri Setyawati, M.Sc
dr. Meity Salatan

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2018

BAB I
PENDAHULUAN

Indonesia sebagai daerah tropis yang berpotensi menjadi daerah endemik


dari beberapa penyakit infeksi yang setiap saat dapat menjadi ancaman kesehatan
bagi kesehatan masyarakat. Pengaruh geografis dapat mendorong terjadinya
peningkatan kasus maupun kematian akibat ISPA, misalnya pencemaran
lingkungan yang disebkan oleh asap karena kebakaran hutan, gas buangan yang
berasal dari sarana transportasi dan polusi udara dala rumah karena asap dapur,
asap rokok, perubahan iklim global antara lain perubahan suhu udara,
kelembaban, dan curah hujan merupakan ancaman kesehatan terutama pada
penyakit ISPA.1
ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) merupakan infeksi saluran
pernapasan yang disebabkan oleh virus atau bakteri, penyakit ini diawali dengan
panas disertai salah satu atau lebih gejala : tenggorokan sakit atau nyeri menelan,
pilek, batuk kering atau berdahak.2
ISPA adalah suatu penyakit yang terbanyak diderita oleh anak – anak, baik
di negara berkembang maupun di negara maju dan banyak dari mereka perlu
masuk rumah sakit karena penyakitnya cukup gawat. Penyakit – penyakit saluran
pernapasan pada masa bayi dan anak – anak dapat pula memberi kecacatan
sampai pada masa dewasa dimana ditemukan adanya hubungan dengan terjadinya
Chronic Obstructive Pulmonary Disease.3

Kriteria atau entry untuk menggunakan pola tatalaksana penderita ISPA adalah
: balita, dengan gejala batuk dan atau kesukaran bernapas. Pola tatalaksana
penderita ini terdiri dari 4 bagian yaitu :

 Pemeriksaan

 Penentuan ada tidaknya tanda bahaya


 Penentuan klasifikasi penyakit

 Pengobatan dan tindakan

Dalam penentuan klasifikasi dibedakan atas dua kelompok, yaitu kelompok untuk
umur 2 bulan -<5 tahun dan kelompok untuk umur < 2 bulan.

1. Untuk kelompok umur 2 bulan -<5 tahun klasifikasi dibagi atas :


Pneumonia berat, Pneumonia dan bukan Pneumonia.

2. Untuk kelompok umur <2 bulan klasifikasi dibagi atas : Pneumonia berat
dan bukan Pneumonia.

Dalam pendekatan manajemen terpadu balita sakit (MTBS) klasifikasi


pada kelompok umur <2 bulan adalah infeksi yang serius dan infeksi bakteri
lokal. Klasifikasi Pneumonia berat didasarkan pada adanya batuk dan atau
kesukaran bernapas disertai sesak atau tarikan dinding dada bagian bawah ke
dalam (Chest indrawing) pada anak usia 2 bulan -< 5 tahun. Untuk kelompok
umur < 2 bulan diagnosis Pneumonia berat ditandai dengan adanya napas
cepat (fast breathing), yaitu kuat pada dinding dada bagian bawah kedalam
(severe chest indrawing)

Klasifikasi Pneumonia didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran


bernapas disertai adanya napas sesuai umur, batas napas cepat (fast brething)
pada anak usia 2 bulan -<1 tahun adalah 50 kali per menit dan 40 kali per
menit untuk anak usia 1-<5 tahun.

Klasifikasi bukan-Pneumonia mencakup kelompok penderita balita dengan


batuk yang tidak menunjukan gejala peningkatan frekuensi nafas dan tidak
menunjukan adanya tarikan dinding dada bagian bawah kedalam.

Dengan demikian klasifikasi bukan Pneumonia mencakup penyakit-


penyakit ISPA lain diluar Pneumonia seperti batuk pilek bukan Pneumonia
(Common cold, pharyngitis, tonsilitis, otitis).Pada tatalaksana ISPA hanya
dimaksudkan untuk tatalaksana penderia Pneumonia berat, Pneumonia dan
bartuk bukan Pneumonia.Sedangkan penyakit ISPA lain seperti pharingitis,
tonsilitis dan otitis belum dicakup program.

ISPA merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak. Dari semua kasus
yang terjadi di masyarakat, 7-13% kasus berat dan memerlukan perawatan di
rumah sakit. Episode batuk-pilek balita di Indonesia diperkirakan 2-3 kali per
tahun. ISPA merupakan salah satu penyakit utama dengan kunjungan pasien yang
tinggi dipuskesmas (40-60%) dan rumah sakit (15-30%).4
Berdasarkan Riskesdas tahun 2013 Period Prevalence ISPA terdapat 5
provinsi dengan ISPA tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur (41,7%), Papua
(31,1%), Aceh ( 30,0%), Nusa Tenggara Barat (28,9%), dan Jawa Timur (28,3%),
sedangkan Sulawesi Tengah berada pada urutan ke -23 dengan 23,6%. Sedangkan
berdasarkan berdasarkan karakteristik penduduk dengan ISPA yang tertinggi
terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun (25,8%), umur <1 tahun (22,0%) dan umur
5-14 tahun (15,4%). Tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan,
penyakit ini lebih banyak dialami pada kelompok penduduk dengan kuantil indeks
kepemilikan terbawah dan menengah bawah.1
Berikut akan dilakukan pembahasan refleksi kasus mengenai ISPA di
lingkungan kerja Puskesmas Kamonji yang menjadi salah satu penyakit teratas
dalam 10 penyakit terbanyak.

Tujuan
Adapun tujuan penyusunan refleksi kasus ini sebagai berikut :

1. Sebagai syarat penyelesaian tugas akhir di bagian Ilmu Kesehatan


Masyarakat –Kedokteran Komunitas
2. Sebagai gambaran penyebaran penyakit dan beberapa factor resiko
penyebarannya di wilayah kerja Puskesmas Kamonji
BAB II
IDENTIFIKASI MASALAH

2.1 Menentukan Prioritas Masalah Menggunakan Rumus Hanlon


Kuantitatif

No Masalaah Besar Kegawat Kemungkina Nilai


kesehatan masakah Daruratan n
Diatasi
1 ISPA 4 2 3 9
2 DBD 3 4 4 11
3 Diare 4 4 2 10
4 Dermatitis 2 3 2 7
Alergi
5 Malaria 1 4 4 9

KRITERIA A : Besar masalah, dapat dilihat dari besarnya insidensi atau


prevalensi. Skor 1-10

Masalah Besar masalah Nilai


Kesehatan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
X (Diare) V 6
Y (ISPA) V 8
Z (DBD) V 4

KRITERIA B : Kegawatan masalah (SKOR 1-5)

Masalah Keganasa Tingkat Biaya yang Niilai


Kesehatan n urgency dikeluarkan
X (Diare) 2 3 3 8
Y (ISPA) 2 2 3 7
Z (DBD) 1 4 4 9

KRITERIA C :kemudahan dalam penanggulangan

Sangat sulit Z Y X sangat mudah

1 2 3 4 5

KRITERIA D : PEARL factor

Masalah P E A R L Hasil
Kesehatan perkalian
X 1 1 1 1 1 1
Y 1 1 1 1 1 1
Z 1 1 1 1 1 1

PENETAPAN NILAI

 DIARE
NPD : (A+B) C = (6+8) 4= 14x4 = 56
NPT : (A+B) CxD = (6+8) 4x1 = 14x4 = 56
 ISPA
NPD : (A+B) C = (8+7) 3 = 15 x3 = 45
NPT : (A+B) CxD = (8+7) 3x1 = 15 x3 =45
 DBD
NPD : (A+B) C = (4+9) 2 = 13x2 =26
NPT : (A+B) CxD = (4+9) 2x1 = 13x2 =26

KESIMPULAN

Masalah A B C NPD D NPT Priorita


kesehatan (PEARL s
)
Diare 6 8 4 56 1 56 1
ISPA 8 7 3 45 1 45 2
Hipertens 4 9 2 26 1 26 3
i

Kesimpulan dari rumus ini yaitu ISPA merupakan prioritas masalah yang
menempati urutan ke-2 dari 3 prioritas masalah yang ada di Puskesmas Kamonji.
Oleh karena itu akan di bahas mengenai suatu kasus ISPA.

BAB III
LAPORAN KASUS

A. Identitas pasien
Nama : An. MF

Jenis Kelamin : Laki-laki

Usia : 6 Tahun

Alamat : Pangeran Hidayat


Agama : Islam

B. Identitas ayah dan ibu


Nama Ibu : Ny. SM Nama Ayah : Tn. AR
Umur : 35 tahun Umur : 42 tahun
Agama : Islam Agama : Islam
Pendidikan : SMA Pendidikan : SMP
Pekerjaan : IRT Pekerjaan : Kuli
bangunan

II. Deskripsi kasus


A. Keluhan Utama : Batuk
B. Riwayat penyakit sekarang :
Pasien mengeluhkan batuk yang dialami sejak 2 hari yang lalu.
Menurut ibunya, pasien batuk, flu, tenggorokan terasa gatal dan badan
terasa panas sejak 2 hari yang lalu. Pasien tidak mengalami adanya mual
dan muntah, , sakit kepala dan pusing. Makan dan Minum baik. Tidak
ada keluhan sesak. Buang air kecil normal dan buang air besar biasa.

C. Riwayat Sosial dan lingkungan :


1. Pasien tinggal dengan anggota keluarga lainnya yang berjumlah 4
orang, terdiri dari :
- Ayah
- Ibu
- 2 orang Adik perempuan
2. Rumah tinggal pasien sedang dalam tahap pembangunan sehingga
pasien dan kelurga tinggal di bangunan dapur yang sempit dimana
terdapat 1 tempat tidur, ada meja makan, lemari dan pakaian yang
memenuhi ruangan tersebut, terdapat 1 kamar mandi dan 1 jamban,
dalam ruangan tersebut hanya memiliki 1 pintu, tidak ada jendela
dan beratapkan seng, sehingga pada siang hari akan terasa panas dan
pengap. Lantai rumah terbuat dari semen. Pasien memiliki tetangga
yang tidak lain adalah keluarga pasien sendiri sehingga pasien lebih
banyak menghabiskan waktu dirumah tetangga.
3. Ayah dan om pasien merupakan perokok aktif. Mereka sering
merokok di halaman rumah dan terkadang di ruang keluarga maupun
ruang tamu.
4. Ibu pasien sehari-hari memasak dengan menggunakan kompor gas,
aktivitas memasak juga dlakukan diruangan sempit tersebut.
5. Tidak terdapat tempat sampah didalam rumah. Sampah hanya
dimasukkan dalam kantong plastik kemudian dibuang di depan
rumah untuk dibakar.

D. Riwayat penyakit terdahulu


Sebelumnya pasien saat berumur 4 tahun memiliki riwayat
bronchitis.

E. Riwayat penyakit keluarga dan lingkungan


Ayah dan ibu pasien yang tinggal serumah tidak menderita keluhan
yang sama dengan pasien. Tetapi salah satu adik pasien mengalami
keluhan yang sama dengan pasien namun lebih dahulu dibanding pasien.

F. Riwayat alergi
Makanan : tidak ada
Obat : tidak ada

G. Riwayat kehamilan dan persalinan


Riwayat antenatal
Ibu rutin melakukan pemeriksaan selama kehamilan. Ibu melakukan
pemeriksaan kandungan sebanyak 4 kali selama kehamilan di polindes.
Selama hamil, ibu tidak pernah sakit.
Riwayat natal
Pasien lahir cukup bulan, lahir di rumah dibantu oleh bidan. Berat badan
lahir pasien 2800 gram.
Riwayat neonatal
Tidak ada kelainan

H. Riwayat imunisasi
Pasien mendapatkan imunisasi dasar lengkap

I. Riwayat Sosial Ekonomi :


Pasien tinggal di rumah bersama dengan 5 orang lainnya yaitu, kedua
orang tua dan kedua adiknya. Pasien tergolong ekonomi lemah. Ayah
pasien lulusan SMP dan mempunyai pekerjaan sebagai kuli bangunan
sedangkan ibu pasien lulusan SMA dan berkerja di rumah dan terkadang
membantu tetangga. Penghasilan kedua orangtua tidak menentu dan
masih berada di bawah UMR Sulteng yaitu < Rp.1.965.232,00-

III. Pemeriksaan fisik


1. Keadaan umum
Keadaan umum : Sakit ringan Berat Badan: 29 kg
Kesadaran /GCS : Compos mentis/E4V5M6 Tinggi Badan: 132 cm
Status Gizi : Gizi Baik

2. Tanda vital
Tekanan darah : Tidak dilakukan pemeriksaan
Nadi : 110 kali/menit, reguler
Respirasi : 24 kali/menit
Suhu : 370C
Tekanan Darah : 100/70 mmHg
Kepala:
Bentuk : Normocephal
Mata:
Konjungtiva : Anemis (-/-)
Sklera : Ikterik (-/-)
Refleks cahaya : RCL (+/+) / RCTL (+/+)
Pupil : Bulat, isokor
Cekung : (-/-)
Hidung:
Pernafasan cuping hidung : tidak ada
Rhinorrhea : ada
Mulut:
Bibir : Kering, sianosis (-), stomatitis (-)
Gusi : Tidak ditemukan adanya perdarahan
Lidah:
Tremo r : (-)
Kotor/Berselaput : (-)
Warna : Normal
Telinga:
Sekret : Tidak ditemukan
Serumen : Minimal
Nyeri : Tidak ada
Leher:
Kelenjar getah bening : Pembesaran (- /-), nyeri tekan (-)
Kelenjar tiroid : Pembesaran (-), nyeri tekan (-)
Trakea : Posisi central
JVP : Tidak meningkat
Toraks:

Inspeksi : Ekspansi paru simetris bilateral kanan = kiri,


tampak retraksi (-), jejas (-), bentuk normochest,
jenis pernapasan broncho-vesicular, pola
pernapasan kesan normal.
Palpasi : Ekspansi dada simetris, vocal fremitus simetris
kanan = kiri, nyeri tekan (-).
Perkusi : Sonor di semua lapang paru

Auskultasi : Bronchovesicular (+/+)

Suara napas tambahan: Ronkhi (-/-),Wheezing (-/-)

Abdomen:
Inspeksi : Tampak cembung, kesan normal
Auskultasi : Peristaltik (+), kesan normal
Perkusi : Bunyi timpani (+) diseluruh abdomen, shifting
dullness (-)
Palpasi : organomegaly (-) distensi (-)

Anggota Gerak:

a. Ekstremitas superior: Akral hangat (+/+), edema (-/-)


b. Ekstremitas inferior: Akral hangat (+/+), edema (-/-)
Kulit:

Turgor : Segera kembali

Genitalia:tidak dilakukan pemeriksaan

IV. Diagnosis
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Bukan Pneumonia

V. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
Ambroxol 3 x ½ tab
PCT 3 x ½ tab
CTM 3 x ½ tab
Vit C 3 x ½ tab

2. Non medikamentosa
Edukasi :

a. Menganjurkan orang tua untuk menjaga kebersihan rumah dan juga


mengajarkan etika batuk
b. Memberikan makanan gizi seimbang untuk membantu meningkatkan
daya tahan tubuh anak.
c. Menganjurkan untuk istirahat yang cukup.
d. Menganjurkan orang tua dan keluarga yang lain untuk berhenti
merokok, jika sulit sebaiknya merokok di luar rumah dan jauh dari
jangkauan anak.
e. Ibu harus datang kontrol kembali dan datang secepatnya jika keluhan
pasien semakin memberat.

BAB III

PEMBAHASAN

Suatu penyakit dapat terjadi oleh karena adanya ketidakseimbangan faktor-


faktor utama yang dapat mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat. Paradigma
hidup sehat yang diperkenalkan oleh H. L. Bloom mencakup 4 faktor yaitu :

1. Faktor genetik (keturunan)


2. Perilaku (gaya hidup) individu atau masyarakat
3. Faktor lingkungan (sosial ekonomi, fisik, politik)
4. Faktor pelayanan kesehatan (jenis, cakupan dan kualitasnya).
Namun yang paling berperan dalam terjadinya ISPA adalah faktor perilaku,
lingkungan serta pelayanan kesehatan.

1. Faktor Perilaku
Faktor perilaku yang dapat diambil dari kasus ini adalah ayah dan om
pasien merupakan perokok aktif dan terkadang merokok didekat pasien,
adik perempuan pasien juga mengalami keluhan yang sama tetapi beberapa
hari sebelumnya dan kemudian pasien, hal ini terjadi kemungkinan diakibat
kan karena pasien dan adiknya sering bermain bersamasehingga
memudahkan terjadinya penularan penyakit. Sumber penyakit tidak hanya
didapatkan dilingkungan rumah tetapi dapat juga dari lingkungan sekitar
misalnya pada kasus ini adalah lingkungan sekolah, adanya teman sabaya
yang sakit juga dapat menjadi sumber penularan penyakit karena penularan
ISPA sangat mudah yaitu melalui udara yang tercemar dan terhirup,
kebiasaan makan juga berpengaruh yaitu kebiasaan jajan di luar dapat
merperparah sakit yang di derita, dalam hal ini pasien mengaku sering
meminum minuman dingin dan makan makanan di sekitar sekolah tanpa
didahului mencuci tangan sebelum makan. Adapun faktor lain yang
berpengaruh Faktor resiko timbulnya ISPA pada anak, antara lain : Usia,
Jenis kelamin, Status gizi, Status imunisasi, Pemberian suplemen vitamin A,
Pemberian air susu ibu (ASI).

2. Faktor lingkungan
a. Rumah
Faktor lingkungan pertama yang dapat diambil dari kasus ini adalah
keadaan rumah yang belum sesuai dengan kriteria rumah sehat. Rumah
tersebut tidak memiliki ventilasi yang baik sehingga sirkulasi dalam
rumah tidak baik.
Menurut kemenkes RI no. 829 , rumah sehat adalah proporsi
rumah yang memenuhi kriteria sehat minimum komponen rumah dan
sarana sanitasi dari tiga komponen (rumah, sarana sanitasi dan perilaku)
di satu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. Minimum yang
memenuhi kriteria sehat pada masing-masing parameter adalah sebagai
berikut :

 Luas rumah minimum 36 m2 . Minimum dari kelompok komponen


rumah adalah langit-langit, dinding, lantai, jendela kamar tidur,
jendela ruang keluarga, ventilasi, sarana pembuangan asap dapur dan
pencahayaan.
 Minimum kelompok fasilitas pendukung rumah sehat adalah sarana
air bersih, jamban (sarana pembuangan kotoran), sarana pembuangan
air limbah (SPAL) dan sarana pembuangan sampah.
 Rumah harus memiliki pondasi yang kuat guna meneruskan beban
bangunan ke tanah dasar, memberi kestabilan bangunan, dan
merupkan konstruksi penghubung antara bangunan dan tanah.
 Lantai tidak kedap air dan tidak lembab, tinggi minimum 10 cm dari
pekarangan dan 25 cm dari badanjalan.
 Memiliki jendela dan pintu yang berfungsi sebagai ventilasi dan
masuknya sinar matahari dengan luas minimum 10% dari luas lantai.
 Dinding rumah kedap air yang berungsi untuk mendukung atau
menyangga atap, menahan angina dan air hujan, melindungi dari
panas, dan debu dari luar.
 Langit langit untuk menahan dan menyerap panas terik matahri,
minimum 2,4 m dari lantai, bisa dari bahan papan, anyaman bambu,
tripleks, atau gypsum.
 Atap rumah yang berfungsi sebagai penahan panas sinar matahari
serta melindungi masuknya debudan air hujan.
 Perilaku. Sanitasi rumah adalah usaha kesehatan masyarakat untuk
menitikberatkan pada pengawasan terhadap strukur fisik yang
digunakan sebagai tempat berlindung yang mempengaruhi derajat
kesehatan manusia. Sanitasi rumah sangat erat kaitannya dengan
angka kesakitan penyakit menular, terutama ISPA. Lingkungan
perumahan sangat berpengaruh pada terjadinya dan tersebarnya ISPA.

b. Kepadatan hunian (crowded)


Kepadatan hunian seperti luas ruang per orang, jumlah anggota
keluarga, dan masyarakat diduga merupakan faktor risiko untuk ISPA.
Penelitian oleh Koch et al (2003) membuktikan bahwa kepadatan hunian
(crowded) mempengaruhi secara bermakna prevalensi ISPA berat. Pada
pasien ini kepadatan hunian juga merupakan salah satu faktor resiko
dimana pasien tinggal di rumah yang sempit tanpa ventilasi/jendelayang
ditinggali oleh 5orang. Kepadatan hunian dapat dilihat pada pasien ini
yaitu kondisi rumah yang begitu sempit yang di dalamnya terdapat alat-
alat rumah tangga, lemari pakaian, springbed 1 yang ditempati tidur oleh
seuruh anggota keluarga, aktivitas memasak dan mencuci, mandi dan
lainnya juga dilakukan dalam ruangan tersebut.
Menurut kemenkes RI no. 829, luas kamar tidur minimal 8 m 2 dan
dianjurkan tidak untuk lebih 2 orang tidur.

c. Status sosio ekonomi


Telah diketahui bahwa kepadatan penduduk dan tingkat
sosioekonomi yang rendah mempunyai hubungan yang erat dengan
kesehatan masyarakat dimana pasien ini tinggal di daerah dengan
penduduk padat dan tergolong ekonomi lemah.

d. Kebiasaan merokok
Pada keluarga yang merokok, secara statistik anaknya mempunyai
kemungkinan terkena ISPA 2 kali lipat dibandingkan dengan anak dari
keluarga yang tidak merokok. Selain itu dari penelitian lain didapat bahwa
episode ISPA meningkat 2 kali lipat akibat orang tua merokok. Di tempat
tinggal pasien 2 anggota keluarga, yaitu ayah dan omnya adalah perokok
aktif sehingga pasien lebih mudah terserang ISPA.

e. Polusi udara
Diketahui bahwa penyebab terjadinya ISPA dan penyakit gangguan
pernafasan lain adalah rendahnya kualitas udara didalam rumah ataupun
diluar rumah baik secara biologis, fisik maupun kimia. Adanya ventilasi
rumah yang kurang sempurna dan asap tungku di dalam rumah akan
mempermudah terjadinya ISPA anak. Pada pasien ini, keluarga melakukan
aktivitas memasak tetapi menggunakan bahan bakar gas.

3. Faktor pelayanan kesehatan


Faktor pelayanan kesehatan yang dapat diambil dari kasus ini adalah
masih kurangnya sosialisasi mengenai penyakit ISPA. Pada pasien ini
pengetahuan ibu masih rendah mengenai factor resiko dan pencegahan
terhadap ISPA. Walaupun demikian ibu pasien masih memiliki kesadaran
dalam melakukan pengobatan di pelayanan kesehatan terdekat.
Pelayanan kesehatan merupakan faktor ketiga yang mempengaruhi
derajat kesehatan masyarakat karena keberadaan fasilitas kesehatan sangat
menentukan dalam pelayanan pemulihan kesehatan, pencegahan terhadap
penyakit, pengobatan dan keperawatan serta kelompok masyarakat yang
memerlukan pelayanan kesehatan. Ketersediaan fasilitas dipengaruhi oleh
lokasi, apakah dapat dijangkau atau tidak. Yang kedua adalah tenaga
kesehatan pemberi pelayanan, informasi dan motivasi masyarakat untuk
mendatangi fasilitas dalam memperoleh perlayanan serta program
pelayanan kesehatan itu sendiri apakah sesuai dengan kebutuhan masyarakat
yang memerlukan.
Pelayanan kesehatan disamping sebagai tempat untuk mendapatkan
pengobatan diharapkan dapat pula memberi edukasi pada pasien terkait
tanda bahaya ISPA agar pasien dapat segera mendapatkan pertolongan awal
jika didapatkan tanda bahaya tersebut. Diperlukan juga peranan instansi
promosi kesehatan Puskemas serta instansi sanitasi untuk turut
mengupayakan tindakan preventif sehingga morbiditas terkait ISPA dapat
ditekan.

BAB V

PENUTUP
I. Kesimpulan
Kejadian ISPA pada kasus ini sangat dipengaruhi oleh faktor perilaku
(perilaku merokok oleh keluarga, dan perilaku PHBS pasien), lingkungan
rumah , dan tingkat pengetahuan orang tua yang masih kurang tentang
penyakit ISPA karena kurangnya penyuluhan oleh petugas kesehatan.

II. Saran
Upaya pencegahan (preventif) terhadap penyakit ISPA dapat
dilaksanakan dengan mengaplikasikan lima tingkat pencegahan penyakit (five
level prevention), sebagai berikut :
1. Promosi kesehatan
Promosi kesehatan Mengenai factor resiko ISPA sehingga masyarakat
diharapkan dapat mencegah terjadi ISPA terutama pada anak.
2. Perlindungan umum dan khusus terhadap penyakit-penyakit tertentu
(general and specific protection)
Perlindungan umum dan khusus dapat dilakukan dengan melakukan
penyuluhan terhadap penyakit ini dan menyarankan kepada masyarakat
untuk bersama-sama menciptakan lingkungan yang aman untuk anak
dan terhindar dari polusi.
3. Diagnosis dini dan pengobatan segera
Diagnosis dini dan pengobatan segera dengan tujuan untuk mencegah
terjadinya penyakit yang lebih berat. Petugas pelayanan kesehatan
diharapkan dapat mendiagnosis secara dini dan tepat sehingga dapat
diberikan pengobatan yang cepat dan tepat mengenai penyakit ISPA
sehingga diharapkan masyarakat terkhusus pasien pada kasus ini dapat
mengenali penyakit yang dideritanya.

4. Pambatasan Cacat
Pembatasan cacat merupakan pencegahan untuk terjadinya kecatatan atau
kematian akibat penyakit ISPA. Adapun upaya yang dapat dilakukan,
yaitu :
a. Melakukan pengobatan dan perawatan sesuai pedoman sehingga
penderita sembuh dan tidak terjadi komplikasi.
b. Meningkatkan fasilitas kesehatan sebagai penunjang untuk
memungkinkan pengobatan dan perawatan yang lebih intensif.
5. Rehabilitas
Dengan melaksanakan pelayanan fisioterapi pada pasien ISPA
berulang.
LAMPIRAN
DAFTAR PUSTAKA

1. Kemenkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian Dan


Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Jakarta
2. Kemenkes RI. 2015. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2014. Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta
3. WHO. 2007. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan
Akut (ISPA) yang Cenderung Menjadi Epidemi dan Pandemi di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan.
4. Anonim. 2016. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Saluran
Pernapasan Akut. Dikjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. Jakarta
5. UPTD Puskesmas Toaya. Buku Profil Puskesmas Toaya. Dinas Kesehatan
Kota Palu: Toaya. 2017.
6. Kepmenkes RI No.829/MenKes/SK/VII/1989.

Anda mungkin juga menyukai