Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kebiasaan mengompol pada anak bagi sebagian orang tua merupakan suatu
hal yang wajar. Mereka menganggap kebiasaan ini adalah sesuatu yang biasa terjadi
pada usia anak-anak dan akan hilang dengan sendirinya seiring anak bertambah
dewasa. Rasa khawatir mulai dirasakan bila ternyata setelah anak itu beranjak
dewasa, kebiasaan ini tidak berhenti, apalagi anak akan masuk sekolah. Orang tua
merasa takut dan khawatir anaknya akan diolok-olok oleh teman-teman sekolahnya
sehingga akan mempengaruhi perkembangan mental anaknya tersebut.

Mengompol atau dalam istilah kedokteran dikenal dengan istilah “enuresis”


merupakan salah satu masalah yang sering terjadi pada anak–anak. Enuresis
merupakan salah satu gangguan kebiasaan yang sering dijumpai pada anak. Sekitar
15-20% anak pernah mengalami enuresis pada usia kurang dari 5 tahun, dimana
15% kasus enuresis akan sembuh dengan sendirinya.1

Prevalensi enuresis secara bertahap akan menurun sesuai dengan usia. Pada
anak usia 5 tahun, 23% mengalami enuresis. Pada anak usia 7 tahun prevalensinya
sekitar 10%, dan pada usia 10 tahun menjadi 4%.Tidak ada perbedaan ras pada
insiden terjadinya enuresis. Enuresis lebih sering terjadi pada anak laki-laki, sekitar
6%, sedangkan pada anak perempuan 3%.2
Penyebab pasti terjadinya enuresis masih belum banyak diketahui, enuresis
dapat terjadi karena adanya gangguan perkembangan kontrol pada saat buang air
kecil. Beberapa faktor lain yang berperan pada terjadinya enuresis adalah genetik,
gangguan perkembangan, gangguan tidur dan gangguan hormonal. Enuresis dapat
pula dipengaruhi oleh beberapa keadaan seperti kegagalan orang tua dalam
melakukan “toilet training” pada anak, konsumsi air minum berlebihan sebelum
tidur, serta peranan riwayat keluarga.3
Enuresis dapat memberikan dampak yang buruk pada anak. Pada anak dengan
enuresis dapat mengalami kecemasan dan rasa malu, sehingga akan membuat anak
frustasi dan kehilangan kepercayaan diri, kualitas hidup yang menurun serta
gangguan di lingkungan sekolah,hal ini merupakan masalah-masalah yang dapat
timbul akibat enuresis.1
Dengan penanganan yang tepat dapat mengurangi kemungkinan timbulnya
masalah tersebut. Dukungan dari orangtua serta kemauan dari anak itu sendiri
merupakan kunci keberhasilan penanganan enuresis.2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Enuresis berasal dari bahasa Yunani “enourein” yang berarti “membuang
urin”. The International Children’s Continence Society (ICCS) membatasi
definisi menjadi membuang urin pada malam hari.2
Kriteria enuresis sesuai dengan Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders, Edisi ke V (DSM-5) :
(1) Berulangnya berkemih di tempat tidur atau pakaian baik sengaja ataupun
tidak yang terjadi sedikitnya 2 kali dalam seminggu, selama minimal 3
bulan berturut-turut,yang terjadi pada anak berusia 5 tahun atau lebih,
yang tidak berhubungan dengan efek dari obat atau kondisi medis lain,
dapat menyebabkan gangguan sosial,fungsional, atau akademik.2
Menurut awal terjadinya, enuresis dapat dibagi menjadi primer dan sekunder. .
Enuresis primer yaitu bila enuresis terjadi sejak lahir dan tidak pernah ada
periode normal dalam pengontrolan kandung kemih. Enuresis sekunder terjadi
pada anak yang sebelumnya minimal 6 bulan tidak mengalami enuresis,
kemudian mengalami enuresis. (PIKAB Surabaya)
Enuresis dapat dibagi menjadi 3 tipe, yaitu; 2
(1) Saat tidur (nocturnal), Enuresis nokturnal adalah mengeluarkan urin
selama tidur.
(2) Saat bangun (diurnal), Enuresis diurnal adalah mengeluarkan urin ketika
terbangun
(3) Gabungan diurnal dan nokturnal (dikenal dengan enuresis non
monosimtomatik).
Pembagian enuresis berdasarkan gejala penyerta, dapat dibagi menjadi 2, yaitu:
(1) Enuresis Monosimtomatik, yaitu enuresis yang terjadi pada anak tanpa
gangguan traktus urinarius dan tanpa riwayat gangguan berkemih
sebelumnya.
(2) Enuresis Non Monosimtomatik adalah enuresis yang terjadi pada anak
disertai gangguan traktus urinarius (dengan gejala: meningkatnya
frekuensi berkemih,inkontinensia urin, nyeri pada traktus urinarius).4

2.2 Epidemiologi
Usia puncak anak-anak mengalami enuresis adalah usia 4-5 tahun dimana
rasio perbandingan anak laki–laki dan anak perempuan yang menderita enuresis
hampir sama sampai usia 5 tahun, setelah itu laki–laki menjadi lebih banyak. Pada
usia 4-5 gangguan enuresis terjadi pada anak laki-laki 18% sedangkan anak
perempuan 15%. Pada usia 12 tahun menurun menjadi 6% laki-laki dan 4%
perempuan. Anak laki-laki pada umumnya lebih sering mengalami enuresis
sekunder dibandingkan dengan anak perempuan.5
Prevalensi kejadian enuresis menurun dengan pertambahan usia anak.
penurunan kejadian enuresis mencapai 15% setiap pertambahan tahun. Pada usia
15 tahun 1% anak tetap mengalami enuresis, sedangkan yang menetap sampai
dewasa 1-3%.5
Menurut Tanagho (2008), anak perempuan dengan kandung kemih normal
lebih cepat dapat mengontrol buang air kecilnya daripada anak laki-laki. Pada
usia 6 tahun, 10% anak masih mengalami nocturnal enuresis, bahkan pada usia
14 tahun sebanyak 5% anak juga masih ada yang mengalami nocturnal enuresis.
Didapatkan 50% kasus nocturnal enuresis mengalami keterlambatan pematangan
sistem saraf dan myoneurogenik intrinsik kandung kemih, 30% kasus
dipengaruhi keadaan psikologis, dan 20% lainnya disebabkan oleh penyakit-
penyakit organik. Enuresis fungsional nokturnal pada umumnya akan berhenti
pada usia anak kurang lebih 10 tahun.6
Kejadian enuresis dilaporkan lebih tinggi pada anak yang menderita sakit
fibrosis kistik, sickle cell disease dan pasca dilakukan transplantasi jantung.
Selain itu enuresis juga dilaporkan tinggi pada anak usia muda, adanya riwayat
enuresis pada orang tua, pendidikan orang tua yang rendah, tidur sangat lelap,
jumlah saudara yang banyak, banyaknya orang yang tidur dalam kamar anak dan
anak dengan prestasi sekolah yang rendah.7

2.3 Etiologi dan Patogenesis


Penyebab dari enuresis tidak diketahui dengan jelas tetapi ada beberapa kemungkinan
yang menjadi penyebab, seperti:

1. Faktor Genetik
Banyak penelitian menyatakan prevalensi enuresis meningkat apabila terdapat
riwayat keluarga dengan enuresis. Enuresis dilaporkan terjadi pada 56% anak
dengan ayah yang mengalami enuresis, 43% bila ibu mengalami enuresis dan
77% bila kedua orang tuanya mengalami enuresis. Enureis biasanya
diturunkan secara autosomal dominan,kromosom 22 telah diidentifikasikan
sebagai lokus gen pembawa enuresis.2
2. Faktor Urodinamik
Enuresis abnormal berhubungan dengan kecilnya kapasitas kandung kemih
yang dipengaruhi oleh kontraksi detrusor yang berlebihan. Hal ini diduga
akibat kurangnya inhibitor kontraksi kandung kemih dan tidak adanya
koordinasi antara otot-otot detrusor dan otot-otot sfingter (Gray dan Moore,
2009; Sekarwana, 1993). Penurunan kapasitas kandung kemih juga dapat
disebabkan beberapa kondisi, seperti sistitis dan konstipasi.4
3. Poliuri nocturnal
Poliuri nocturnal terjadi pada sebagian anak dengan enuresis,peningkatan
produksi urin pada malam hari dapat disebabkan karena peningkatan
konsumsi air sebelum tidur, dan sekresi hormon antidiuretik (ADH) yang
rendah pada malam hari. (Gonzales, 2000; Gray dan Moore, 2009;
Sekarwana, 1993). Produksi urin dikontrol oleh beberapa faktor, termasuk
ADH yang secara langsung mengontrol absorbsi air, Atrial natriuretic
peptide (ANP) dan aldosteron, yang mengontrol pemekatan urin dan secara
tidak langsung mengatur ekskresi air.4
4. Faktor kematangan Neurofisiologi
Terlambatnya mekanisme korteks dalam mengendalikan refleks pembuangan
urin dijadikan sebagai hipotesa kemungkinan terjadi nocturnal enuresis
dimana pada pemeriksaan EEG anak dengan nocturnal enuresis didapati
peningkatan serebral aritmia. Dan hal ini tidak dipengaruhi oleh tingkatan
tidur dalam dan pola tidur (Gonzales, 2000; Gray dan Moore, 2009;
Sekarwan, 1993). 4
5. Faktor Keterlambatan Perkembangan Anak
Keterlambatan perkembangan dapat menjadi salah satu faktor, pada anak yang
terlambat berjalan juga akan terlambat belajar mengontrol miksi. Dimana
nocturnal enuresis merupakan manifestasi kematangan diri dari aspek
individual dalam perkembangan (Koff, 1997; Meadow dan Newell, 2003).4

6. Faktor Psikologis
Biasanya hal ini terjadi karena adanya faktor stres selama priode
perkembangan antara usia 2-4 tahun. Stres psikologis berhubungan dengan
enuresis sehingga mempengaruhi perkembangan anak, seperti kelahiran
saudara, perceraian orang tua, pemaksaan fisik dan seksual, kematian dalam
keluarga, serta masalah disekolah. Hal ini dipengaruhi oleh stres emosional,
kecemasan, serta gangguan psikiatri. Dimana nocturnal enuresis merupakan
usaha untuk mendapatkan perhatian, seperti lahirnya adik menyebabkan
perhatian orang tua berkurang sehingga menyebabkan anak menjadi cemas
dan anak melakukan hal ini untuk mencari perhatian orang tuanya. Selain itu
proses belajar dan stress belajar dikemudian hari dapat menyebabkan
kembalinya enuresis. Akan tetapi kebanyakan anak mengalami nocturnal
enuresis tidak mengalami sakit psikologis (Gray dan Moore, 2009; Hogman
dan Dech, 2007, Tanagho, 2008; Sekarwan, 1993).4
7. Neurogenic Bladder
Neurogenic bladder dapat disebabkan oleh lesi pada sistem saraf, termasuk
lesi pada korteks serebri,medula spinalis,nervus perifer. Sebanyak 37% anak
dengan Cerebral Palsy menderita enuresis Pada pasien dengan
myelomeningocele selalu disertai dengan enuresis. Gangguan pada medula
spinal seperti adanya tumor,tethered cord, trauma spinal dapat menyebabkan
enuresis. Disfungsi dari sfingter uretra eksterna seperti pada fraktur
pelvis,agenesis sakrum,terapi radiasi,pembedahan dapat berhubungan dengan
neurogenic bladder.2
8. Diabetes Melitus
Enuresis pada anak dengan disbetes melitus,disebabkan oleh poliuri nocturnal
yang disebabkan oleh hiperglikemia. Diabetes melitus juga menyebabkan
abnormalitas saraf eferen kandung kemih yang dapat menyebabbkan
enuresis.2

9. Diabetes Insipidus
Diabetes insipidus dapat disebabkan oleh kelainan pada sentral atau perifer,
dapat terjadi pada tumor intrakranial, trauma kepala, encephalitis atau
meningitis. Ganguan saraf perifer dapat disebabkan oleh renal failure,
kerusakan kortek atau medula renal, hipokalemia, hipokalsemia, obat-obatan
nefrotoksik. Kondisi tersebut dapat menyebabkan nokturnal poliuria yang
merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya enuresis.2
10. Faktor Lain
Nocturnal enuresis dipengaruhi oleh saluran kemih abnormal seperti obstruksi
uretra maupun infeksi kandung kemih, ataupun kondisi-kondisi yang dapat
menyebabkan poliuria seperti diabetes atau insufisiensi ginjal.4
2.3.1 Fisiologi Miksi
Persyarafan kandung kemih
Pengandalian kandung kemih dan pengeluaran air kemih
melalui sistem simpatis dan parasimpatis. Parasimpatis berasal dari
medula spinalis sakral 2-4, yang keluar dari plexus pelvikus dan
sakralis, menuju kandung kemih sebagai nervus pudendal yang akan
menyebabkan kontraksi pada otot-otot detrusor dan dilatasi sfingter
interna. Sedangkan saraf simpatis berasal dari medula spinalis torakal
11 sampai lumbal 2, melalui plexus hypogastricus. Reseptor simpatis
terdiri dari reseptor α dan β. Reseptor α terletak di bagian leher
kandung kemih dan otot polos sekitar pangkal uretra yang
menyebabkan kontraksi bagian bawah kandung kemih, sehingga
menghambat pengosongan kandung kemih. Bila terjadi inhibisi, maka
relaksasi leher kandung kemih dan bagian proksimal uretra, sehingga
terjadilah miksi. Reseptor β berada di korpus kandung kemih,
perangsangan reseptor ini mengakibatkan relaksasi otot-otot detrusor
sehingga terjadi pengisian. Inhibisi menyebabkan kontraksi otot
detrusor dan peningkatan tekanan kandung kemih diikuti pengosongan
kandung kemih.5
2.3.2 Refleks Berkemih
Refleks berkemih dicetuskan apabila reseptor-reseptor regang
di dalam dinding kandung kemih terangsang.
Refleks berkemih terjadi dengan cara:
 Impuls pada medulla spinalis dikirim ke otak dan menghasilkan
impuls parasimpatis yang melalui saraf splanknik pelvis ke
kandung kemih.

 Refleks perkemihan menyebabkan otot detrusor kontraksi dan


relaksasi sfingter internal dan eksternal (Sloane, 2003).

Selama miksi, proses yang terjadi berupa:


 Refleks detrusor meregang, mencetuskan refleks kontraksi dari
otot-otot tersebut sehingga timbul keinginan untuk miksi.
 Relaksasi otot puborectalis sehingga kandung kemih akan turun
sedikit sehingga penghambatan uvula menurun dan segmen bagian
pertama uretra melebar.

 Relaksasi otot sfingter uretra eksterna memungkinkan kandung


kemih untuk mengosongkan isinya dan dapat dibantu dengan
tindakan valsava.

 Pada akhir proses miksi, kontraksi kuat dari otot sfingter uretra
eksterna dan dasar panggul akan mengeluarkan sisa urin dalam
uretra, setelah itu otot detrusor relaksasi kembali untuk pengisian
urin selanjutnya (Wibowo dan Parayan, 2009).6
Secara singkat refleks berkemih dibagi menjadi beberapa tahap,yaitu :

Kenaikan tekanan secara progresif , periode tekanan menetap , dan


kembalinya tekanan kandung kemih ke nilai tonus basal. Pengisian dan
pengeluaran urin pada kandung kemih dikontrol oleh sirkuit saraf di otak,
medula spinalis, dan ganglia. Sirkuit ini mengkoordinasikan aktifitas otot
polos di detrusor dan uretra. Suprapontin mempengaruhi keadaan “on-off
switch” pada saluran kemih bagian bawah dengan dua cara operasi yaitu
penyimpanan dan pengeluaran (Anderson dan Wein, 2004; Anderson dan
Arner, 2004 dalam Andersson, 2008).7, 8
Ditemukan 4 proses yang secara sendiri atau bersama dengan yang
lain menimbulkan gejala enuresis. Keempat proses itu adalah (1) kurangnya
pelepasan hormon ADH, (2) gangguan urodinamik, (3) keterlambatan
maturasi sistem saraf pusat dan, (4) ketidak mampuan anak untuk terjaga
ketika kandung kemih penuh
Produksi urin sangat dipengaruhi oleh hormon vasopresin (ADH). Pada anak
normal tejadi penurunan produksi urin pada malam hari sebesar setengah dari
produksi urin siang hari akibat peningkatan sekresi vasopresin (ADH) pada
malam hari. Pada anak enuresis, pelepasan ADH/Vasopresin pada malam hari
rendah sehingga terjadi produksi urin yang tinggi melampaui kapasitas
fungsional kandung kemih, sehingga terjadi enuresis.7
Volume kandung kencing sangat berpengaruh pada anak yang
mengalami enuresis. Anak dengan enuresis memiliki kapasitas fungsional
kandung kemih yang kecil. Kapasitas fungsional yang kecil ini menyebabkan
anak tidak dapat menahan buang air kecil dalam volume urin yang normal,
sehingga anak sering mengalami episode enuresis multipel pada malam hari
dan tidak pernah mengalami episode kering dalam tidurnya. 7
Enuresis juga terjadi kerena keterlambatan maturasi sistem saraf pusat.
Terjadi keterlambatan pengenalan dan respon terhadap sensasi penuh dari
kandung kemih, sehingga anak tidak mampu mengenali sensasi penuh pada
kandung kemih. Akibatnya anak tidak akan terbangun untuk mencari tempat
untuk buang air kecil, sehingga terjadilah enuressis. Namun, seiring dengan
bertambahnya usia, akan tercapai maturasi sistem saraf pusat sehingga
kejadian enuresis akan menurun.8
Hubungan antara perasaan penuh pada kandung kemih dan sensasi
pada otak baru terjadi pada usia 5 tahun. Sementara itu pada usia ini terjadi
perubahan pola tidur dari tidur multifasik (beberapa siklus tidur sehari)
menjadi periode tidur monofasik (sekali siklus tidur dalam sehari). Kontrol
buang air kecil biasanya muncul terlebih dulu, lalu diikuti oleh belajar untuk
terbangun saat muncul sensasi penuh kandung kencing. Pada enuresis terjadi
gangguan untuk terbangun karena tidak terjadi transisi dari tidur ringan ke
keadaan tidur lengkap. Sehingga anak tidak terbangun meskipun ada sensasi
penuh pada kandung kencing sehinga terjadi enuresis.9
Peran hormone terhadap anuresis
Anti diuretik hormon (ADH) merupakan salah satu hormon yang
berperan terhadap terjadinya enuresis. Hormon ADH (vasopresin) dibentuk di
nucleus supraoptikus dan paraventrikular hipotalamus, dan ditransport ke
lobus posterior kelenjar hipofisis melalui akson neuron penghasil hormon.
ADH melalui reseptor V2 dan cAMP menyebabkan penggabungan kanal air
ke dalam membran lumen sehingga meningkatkan reabsorsi air pada tubulus
distal dan duktus koligentes ginjal. ADH juga merangsang absorsi Na+ dan
urea di tubulus. Konsentrasi ADH yang tinggi juga menyebabkan
vasokonstriksi (melalui reseptor V1 dan IP3). 7
Rangsangan untuk pelepasan ADH adalah hiperosmolaritas ekstrasel
(atau penyusutan sel) dan penurunan volume intravaskular, menyebabkan
pengisian di kedua atrium menurun.Perubahan osmolaritas plasma dibawah
280 mOsm/kg atau penurunan volume intravaskular kurang lebih 8% akan
merangsang sekresi ADH. Kondisi lain yang dapat merangsang sekresi ADH
antara lain nyeri,muntah,hipoglikemia,stress, angiotensin II, dopamine, dan
beberapa obat atau toksin (misal nikotin, morfin, barbiturat). Peningkatan
perenggangan atrium serta asam aminobutirat-γ (GABA), alkohol, dan
pajanan terhadap dingin menimbulkan efek penghambatan. 7
Defisiensi ADH terjadi jika pelepasan ADH berkurang, seperti pada
diabetes insipidus sentralis yang diturunkan secara genetik, pada kerusakan
neuron, misalnya oleh penyakit autoimun, atau trauma kelenjar hipofisis.
Penyebab eksogen lainnya termasuk alkohol atau pajanan terhadap dingin.
Pada keadaan normal sekresi hormon ADH akan meningkat pada
malam hari. Pada pasien dengan enuresis,siklus normal hormon ADH
tergangu. Terjadi penurunan pelepasan ADH yang menyebabkan produksi
urin yang berlebihan,terutama pada malam hari yang disebut dengan poliuri
nocturnal,yang dapat memicu terjadinya enuresis. 7
2.4 Penatalaksanaan
Modalitas terapi yang ada adalah terapi medikamentosa dan non medikamentosa.
Namun yang perlu diperhatikan adalah bahwa kebanyakan enuresis primer
merupakan penyakit yang bersifat self limited, sehingga perlu diperhatikan
dukungan keluarga untuk mencegah gangguan psikologis akibat enuresis ini.
Kebanyakan anak-anak dengan enuresis ditangani pada pelayanan kesehatan
primer atau pada klinik khusus. Beberapa penanganan yang dilakukan antara lain:
 Diagnosis yang teliti akan memberikan penanganan yang tepat.
 Psikoedukasi untuk anak dan orang tua.
 Pengobatan faktor organik seperti kelainan struktural dan infeksi.
 Enuresis nokturnal : Terapi alarm, reward system, dan farmakoterapi.
 Enuresis diurnal : Terapi alarm, farmakoterapi dan penanganan psikologi
misalnya penanganan cemas yang berkaitan dengan ketakutan terhadap
penggunaan toilet.
Metode pengobatan enuresis yang telah terbukti secara empiris sangat efektif
yaitu terapi psikoterapi dan farmakologis, selain itu diet dan olah raga juga dapat
pula digunakan untuk membantu terapi yang diberikan.

 Edukasi
Edukasi yang harus diberikan kepada orang tua adalah bahwa enuresis
bukanlah suatu penyakit, dan akan menghilang dengan sendirinya, 16% anak
usia 5 tahun pernah mengalami enuresis. Orang tua perlu memahami bahwa
enuresis bukan merupakan kesalahan anak dan tidak seharusnya anak dengan
enuresis diberikan hukuman.10
 Perubahan kebiasaan
Asupan air diberikan lebih banyak diberikan pada pagi dan siang hari.
Mengurangi asupan air pada 2 jam sebelum tidur, mencegah konsumsi
minuman berkafein dan tinggi gula. Membangunkan anaknya pada malam
hari untuk miksi, latihan menahan miksi untuk memperbesar kapasitas
kandung kemih agar waktu antar miksi menjadi lebih lama. 10
 Terapi motivasi
Anak perlu diberikan motivasi untuk dapat menerima dan mengikuti program
terapi yang diberikan.Pemberian reward kepada anak yang telah menjalani
program terapi dengan baik dapat meningkatkan motivasi anak untuk terus
mengikuti program terapi. 10
 Alarm terapi
Alarm terapi dilakukan dengan alat sensor yang diletakkan dibawah bantal
anak yang sedang tidur.Apabila bantal basah akibat urin yang keluar,sirkuit
listrik menutup,menyebabkan bel berbunyi dan membangunkan anak yang
masih tidur. 10
Berdasarkan metaanalisis dari 56 randomized trial (3257 anak), 60% anak
tidak mengalami enuresis dibandingkan 4% anak yang tidak diterapi dengan
alarm terapi. Alarm terapi lebih efektif dibandingkan dengan antidepresan
trisiklik. 10
 Farmakoterapi

Desmopresin acetate (DDAVP)


Antidiuretik desmopressin asetat sintetik (desamine-D-arginine
vasopressin) adalah analog sintetik dari hormon ADH. Desamine-d-arginine
vasopressin dapat bekerja dengan berikatan dengan V2 reseptor pada tubulus
renal dan duktus koledoktus, meningkatkan permeabilitas air, sehingga
reabsorbsi air meningkat, mengurangi volume urine dan meningkatkan
konsentrasinya,sehingga menjadi dibawah dari jumlah yang memicu kontraksi
dari kandung kemih tersebut. 10
DDAVP tersedia dalam dua sediaan berupa semprotan hidung dan oral
tablet. Kedua sediaan telah dibandingkan secara doubleblind trial dan
diadapatkan efektifitas yang sama antara kedua sediaan.Meskipun begitu
hanya 10% dari dosis semprotan hidung yang dapat diabsorbsi, dapat
diabsorbsi dengan cepat dan mencapai kadar maksimum didalam plasma 40-
55 menit setelah pemberian terapi. Durasi kerjanya 10-12 jam, dengan waktu
paruh 4-6 jam. 10
DDAVP merupakan antidiuretik yang poten, dapat mengurangi
kejadian enuresis pada 65-80% pasien. Dosis yang diberikan dimulai dengan
20mcg untuk sediaan semprot hidung (1 semprot untuk setiap hidung) pada
malam hari atau 0,2mg untuk sediaan tablet. 10
DDAVP dapat ditoleransi dengan baik dengan efek samping yang
minimal. DDAVP merupakan antidiuretik yang kuat sehingga dapat
menimbulkan efek samping berupa overload cairan, hiponatremia, serebral
edema,sakit kepala, mual dan nyeri perut. 10
Tricyclic Antidepresan
Tricyclic antidepresan (TCA) menstimulasi sekresi hormon ADH, dan
relaksasi otot detrusor. Tricyclic antidepresan (contohnya:
imipramine,amitriptilin dan desipramin) merupakan lini ketiga untuk terapi
enuresis (anak yang gagal dengan alarm terapi dan desmopresin). Imipramin
merupakan TCA yang sering digunakan untuk pengobatan
enuresis,merupakan satu-satunya TCA yang direkomendasikan oleh the
National Institute for Health and Care Excellence guidelines. Imipramine
diberikan satu jam sebelum tidur malam. Dosis inisial 10-25 mg untuk anak 5
sampai 8 tahun dan 50 mg untuk anak yang lebih besar. 10
Respon terhadap pemberian imipramin harus dilihat setelah 1 bulan
pemberian. Jika tidak ada perbaikan dalam 3 bulan ,harus dihentikan,
imipramin dihentikan secara bertahap.Jika terapi dengan imipramin berhasil,
dosis imipramin diturunkan sampai mencapai dosis terendah yang efektif.
Efek samping imipramin jarang terjadi. Sekitar 5% anak yang diterapi dengan
TCA mengalami gejala neurologi, termasuk kecemasan,perubahan perilaku
dan gangguan tidur. Efek samping yang berat dapat berupa gangguan sistem
kardiovaskular: gangguan konduksi dan depresi miokard,terutama bila dosis
yang berlebihan. 10

Antikolinergik
Pengobatan dengan antikolinergik dapat membantu pada sebagian
pasien, terutama pada pasien dengan overaktif kandung kemih,gangguan
fungsi ekskresi urin dan neurogenic bladder. Obat ini memiliki efek
antispasmodik pada otot polos, dan menginhibisi kontraksi dari kandung
kemih, sehingga dapat menaikkan kapasitas fungsional kandung kemih. Selain
itu obat ini juga memiliki efek analgetik. 10
Oxybutrin cloride dan tolterodine merupakan antikolinergik yang
sering digunakan pada terapi enuresis. Oxybutynin diabsorbsi di usus dan
mencapai kadar maksimal dalam plasma kurang dari satu jam setelah
pemberian. Penelitian multisenter di italia mengemukakan pemberian
kombinasi Oxybutynin dengan DDAVP lebih efektif dari pemberian DDAVP
tunggal. 10
Oxybutynin diberikan dengan dosis 2,5-5 mg sebelum tidur. Efek
samping oxybutynin antara lain : mulut kering,pendangan kabur, muka
flushing,konstipasi,kesulitan mengosongkan kandung kemih. (2,4). Obat ini
tidak direkomendasikan pada anak dibawah 5 tahun. 10
2.5 Progonosis
Perjalanan enuresis penting untuk diketahui karena merupakan kelainan yang
dapat sembuh dengan sendirinya. Sebagian besar anak-anak enuresis mengalami
resolusi spontan dan hanya beberapa tetap enuresis hingga dewasa. Pada usia 14
tahun hanya sekitar 1,1% dari anak laki-laki masih mengalami mengompol 1 kali
dalam seminggu. DSM-IV-TR mengutip tingkat remisi dari 5-10% per tahun
setelah usia 5 tahun. Selain itu modalitas terapi yang tersedia sudah cukup banyak
dan efektif sehingga prognosis enuresis dikatan baik.9
BAB III

KESIMPULAN

Enuresis adalah pengeluaran urin secara involunter dan berulang yang terjadi
pada usia yang diharapkan dapat mengontrol proses buang air kecil tanpa disertai
kelainan fisik yang mendasari. Rasio perbandingan anak laki–laki dan anak
perempuan yang menderita enuresis sama sampai usia 5 tahun, setelah itu anak laki–
laki menjadi lebih banyak menderita enuresis dibanding perempuan. Anak laki lebih
sering mengalami enuresis sekunder dibandingkan dengan anak perempuan.
Gejala-gejala yang didapatkan meliputi pengeluaran urin yang berulang di tempat
tidur atau pakaian, terjadi sekurang-kurangnya 2 kali dalam seminggu dalam kurun
waktu 3 bulan berturutan atau ada gangguan klinis. Usia kronologis sekurang 5 tahun.
Diagnosis gangguan enuresis ditegakkan berdasarkan observasi, anamnesa dan
pemeriksaan fisik yang cermat.
Dalam mengelola pasien dengan enuresis diperlukan kesabaran dan kerjasama
dari pasien dan orang tua untuk ikut memahami masalah yang dialami tersebut
dengan cara yang lebih mudah. Yang perlu digaris bawahi adalah bahwa kebanyakan
enuresis primer merupakan penyakit yang bersifat self limited dan memerlukan
dukungan keluarga untuk mencegah gangguan psikologis. Sebagian besar anak-anak
enuresis mengalami resolusi spontan dan hanya beberapa tetap enuresis hingga
dewasa. Metode pengobatan enuresis yang telah terbukti secara empiris sangat efektif
yaitu terapi psikoterapi dan farmakologis, selain itu diet dan olah raga juga dapat
digunakan untuk membantu terapi yang diberikan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Yousef KA, Basaleem HO, Yahiya MTb. Epidemiology of Nocturnal


Enuresis in Basic Schoolchildren in Aden Goernorate, Yemen. Saudi J Kidney
Dis Transplant. 2011;22(1):167-73.
2. Robson WLM. Enuresis. emedicinemedscape. 2014
3. Butler, R.J. 2008. Wetting and soiling. In : Rutter, M., et al., editors. Rutter’s
Child and Adolescent Psychiatry. 5th ed. Massachusetts : Blackwell
Publishing Limited.
4. R M, H D. Nocturnal Enuresis:Current Concepts. Pediatric in Reiew. 2001;22:12.

5. Richardson M. The psysiology of micturition. nursingtimes. 2003;99.


6. Fowler CJ, Griffiths D, C W. The neural control of micturition. Nat Rev Neurosci.
2008
7. Volkmar, F.R. & Martin, A. 2011. Elimination disorders: Enuresis and
encopresis. In : Lewis’s Child and adolescent Psychiatry. philadelphia :
Lippincott Williams & Wilkins.
8. Mast, R. C. & Smith, A. B. “Elimination Disorders: Enuresis and Encopresis”,
in : Klyko, W.M. & Kay, J., editors. Clinical Child Psychiatry, 3rd ed. Oxford,
UK. Wiley Blackwell, 2012.
9. Nesa, M. & Ardjana, I.G.A.E. 2012. Enuresis. In Soetjiningsih. & Ranuh.
IGNG. penyunting. Tumbuh Kembang Anak. Ed 2. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
10. Butler, R.J. 2008. Wetting and soiling. In : Rutter, M., et al., editors. Rutter’s
Child and Adolescent Psychiatry. 5th ed. Massachusetts : Blackwell
Publishing Limited

Anda mungkin juga menyukai