Anda di halaman 1dari 29

ASUHAN KEPERAWATAN PERIANESTESI PADA NY.

F
DENGAN DIAGNOSA MEDIS APPENDISITIS KRONIK DENGAN
TEKNIK ANESTESI UMUM DI INSTALASI BEDAH SENTRAL
RSUP DR SOERAJI TIRTONEGORO KLATEN

Disusun untuk Memenuhi Tugas Kelompok Praktik Klinik Keperawatan


Anestesi IV Prodi D-IV Keperawatan Semester Delapan.

Dosen Pembimbing : Titik Endarwati, SKM.,MPH

Disusun oleh:

NURINA AZMI HIDAYATI

P07120215030

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK


INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN
YOGYAKARTA JURUSAN KEPERAWATAN
2018
ASUHAN KEPERAWATAN PERIANESTESI PADA NY. F
DENGAN DIAGNOSA MEDIS APPENDISITIS KRONIK DENGAN
TEKNIK ANESTESI UMUM DI INSTALASI BEDAH SENTRAL
RSUP DR SOERAJI TIRTONEGORO KLATEN

Diajukan untuk
disetujui pada: Hari
:
Tanggal :

Tempat : RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

Mengetahui,

Pembimbing Pendidikan Pembimbing Lapangan

( ) ( )
BAB I

TINJAUAN TEORI

1. Konsep Dasar Penyakit

A. Pengertian

Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau


umbai cacing (apendiks). Usus buntu adalah sebenarnya sekum (cecum).
Infeksi ini bisa mengakibatkan peradangan akut sehingga memerlukan
tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya.
(Nanda, 2015). Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermiformis dan
merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering terjadi (Dermawan &
Rahayuningsih, 2012).

Berlanjutnya kondisi apendisitis akan meningkatkan resiko terjadinya


perforasi dan pembentukan masa periapendikular. Perforasi dengan cairan
inflamasi dan bakteri masuk ke rongga abdomen lalu memberikan respons
inflamasi permukaan peritoneum atau terjadi peritonitis. Apabila perforasi
apendiks disertai dengan material abses, maka akan memberikan manifestasi
nyeri lokal akibat akumulasi abses dan kemudian juga akan memberikan 2
respons peritonitis. Manifestasi yang khas dari perforasi apendiks adalah nyeri
hebat yang tiba - tiba datang pada abdomen kanan bawah (Tzanakis, 2010).
B. Etiologi
Apendisitis belum diketahui penyebab yang pasti atau spesifik tetapi ada faktor
prediposisi yakni:
1. Faktor yang sering muncul ialah obstruksi lumen. Pada umumnya
obstruksi ini dapat terjadi lantaran :
a. Hiperplasia yang berasal dari folikel limfoid, ini merupakan faktor
penyebab terbanyak.
b. Adanya suatu faekolit dalam lumen appendiks
c. Adanya suatu benda asing seperti biji-bijian
d. Striktura lumen lantaran fibrosa akibat adanya peradangan
sebelumnya.
2. Infeksi kuman dari kolon yang paling sering ialah pada E. Coli dan
Streptococcus
3. Kasus apendiksitis lebih banyak pada Laki-laki dibanding wanita.
Biasanya sering terjadi pada umur 15-30 tahun (remaja dewasa). Ini karena
adanya peningkatan jaringan limpoid pada periode masa tersebut.
4. Tergantung dari bentuk apendiks:
a. Appendik yang terlalu panjang
b. Massa appendiks yang pendek
c. Adanya penonjolan jaringan limpoid dalam lumen appendiks
d. Adanya Kelainan katup di pangkal appendiks (Nuzulul, 2009).
C. Klasifikasi Apendisitis
1. Apendisitis akut
Apendisitis akut ialah suatu: radang pada jaringan apendiks. Apendisitis
akut pada umumnya ialah obstruksi lumen yang selanjutnya akan diikuti
oleh proses infeksi dari apendiks. Penyebab terjanya obstruksi bisa berupa
:
a. Hiperplasi limfonodi sub mukosa dinding apendiks.
b. Fekalit
c. Benda asing
d. Tumor
Adanya suatu obstruksi mengakibatkan mucin / cairan mukosa yang
diproduksi tidak dapat keluar dari apendiks, hal ini membuat semakin
meningkatkan tekanan pada intra luminer sehingga membuat terjadinya
tekanan intra mukosa juga semakin tinggi.
Tekanan yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya infiltrasi kuman ke
dinding apendiks sehingga dapat menyebabkan suatu peradangan supuratif
yang menghasilkan adanya pus/nanah pada dinding apendiks.
Selain obstruksi, apendisitis juga bisa disebabkan oleh penyebaran infeksi
dari organ lain yang kemudian menyebar secara hematogen ke apendiks.
2. Apendisitis Purulenta (Supurative Appendicitis)
Umumnya karena adanya tekanan dalam lumen yang terus bertambah
disertaiadanya edema menyebabkan terbendungnya aliran pembuluh vena
pada dinding appendiks dan menimbulkan terjadinya trombosis. Kondisi
ini memperberat adanya iskemia dan edema yang ada pada apendiks.
Mikroorganisme yang terdapat pada usus besar berinvasi ke dalam dinding
appendiks dan menimbulkan adanya sebuah infeksi serosa sehingga serosa
menjadi suram lantaran dilapisi eksudat dan fibrin. Pada appendiks dan
mesoappendiks terjadi sebuah edema, hiperemia, dan di dalam lumen
terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan sebuah rangsangan
peritoneum lokal seperti adanya nyeri tekan, nyeri lepas di titik Mc Burney,
defans muskuler, dan rasa nyeri pada saat melakukan gerak aktif dan pasif.
Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh bagian perut disertai
dengan adanya tanda peritonitis umum.
3. Apendisitis kronik
Diagnosis apendisitis kronik ini baru bisa ditegakkan apabila memenuhi
semua syarat : riwayat nyeri perut sebelah kanan bawah dengan waktu
lebih dari dua minggu, adanya radang kronik apendiks secara
makroskopikdan mikroskopik, dan adanya keluhan menghilang satelah
apendektomi.
Kriteria mikroskopik apendiksitis kronik ialah adanya fibrosis
menyeluruh pada dinding apendiks, sumbatan parsial/total lumen
apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama dimukosa, dan adanya
infiltrasi sel inflamasi kronik. Insidens apendisitis kronik antara 1-5 %.
5. Apendissitis rekurens
Diagnosis rekuren baru bisa dipikirkan jika adanya riwayat serangan nyeri
berulang di perut kanan bawah yang mendorong dilakukan apendektomi
dan hasil patologi menunjukan adanya peradangan akut. Kelainan ini
terjadi apabila serangan apendisitis akut pertama kali dapat sembuh
spontan. Namun, apendisitis tidak bisa kembali ke bentuk aslinya lantaran
terjadi fribosis dan jaringan parut. Resiko untuk terjadinya serangan
kembali sekitar 50%. Insidens apendisitis rekurens biasanya dilakukan
apendektomi yang diperiksa secara patologik.
6. Mukokel Apendiks
Mukokel apendiks ialah sebuah dilatasi kistik dari apendiks yang berisi
musin akibat adanya obstruksi kronik pangkal apendiks, yang umumnya
berupa jaringan fibrosa. Apabila isi lumen steril, musin akan tertimbun
tanpa adanya infeksi. Meskipun jarang, mukokel bisa disebabkan oleh
suatu kistadenoma yang dicurigai bisa berubah menjadi ganas.
Penderita sering datang dengan keluhan ringan dan adanya rasa tidak enak
di perut kanan bawah. Kadang bisa teraba adanya massa memanjang di
regio iliaka kanan. Suatu saat apabila terjadi sebuah infeksi, akan timbul
beberapa tanda apendisitis akut. Penanganannya ialah dengan
apendiktomi.
7. Tumor Apendiks atau Adenokarsinoma apendiks
Penyakit tumor ini jarang sekali ditemukan, namun biasanya ditemukan
secara kebetulan sewaktu dilakukan apendektomi atas indikasi apendisitis
akut.lantaran bisa metastasis ke limfonodi regional, dianjurkan
hemikolektomi kanan yang dapat memberi suatu harapan hidup yang jauh
lebih baik dibanding hanya apendektomi.
8. Karsinoid Apendiks
Ini merupakan sebuah tumor sel argentafin apendiks. Kelainan ini jarang
didiagnosis pra bedah,namun biasanya ditemukan dengan cara kebetulan
pada pemeriksaan patologi atas spesimen apendiks dengan diagnosis pra
bedah apendisitis akut. Sindrom karsinoid semacam rangsangan
kemerahan (flushing) pada wajah, sesak napas lantaran spasme bronkus,
dan diare yang hanya ditemukan pada sekitar 6% dari kasus tumor
karsinoid perut. Sel tumor memproduksi serotonin yang menyebabkan
adanya gejala tersebut di atas.
D. Patofiologi
Apendisitis umumnya disebabkan oleh adanya penyumbatan lumen
apendiks oleh hiperplasia folikel limfoid, benda asing, fekalit, striktur lantaran
fibrosis akibat adanya peradangan sebelumnya, atau adanya neoplasma.
Obstruksi tersebut mengakibatkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami
sebuah bendungan. Semakin lama mukus tersebut semakin banyak, namun
elastisitas dinding apendiks mempunyai sebuah keterbatasan sehingga
menyebabkan adanya penekanan tekanan intralumen. Tekanan yang
meningkat tersebut dapat menghambat aliran limfe yang mengakibatkan
adanya edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Disaat inilah terjadi
apendisitis akut fokal yang ditandai dengan adanya nyeri epigastrium
Apabila sekresi mukus terus berlanjut, maka tekanan dapat terus
meningkat. Hal tersebut dapat menyebabkan adanya obstruksi vena, edema
bertambah, dan bakteri dapat menembus dinding. Peradangan yang timbul
meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan adanya
rasa nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis
supuratif akut.
Apabila selanjutnya aliran arteri terganggu dapat terjadi infark dinding
apendiks yang diikuti dengan adanya gangren. Stadium ini disebut dengan
apendisitis gangrenosa. Apabila dinding yang telah rapuh itu pecah, maka
dapat terjadi apendisitis perforasi.
Apabila seluruh proses di atas berjalan dengan lambat, omentum dan
usus yang berdekatan akan bergerak ke arah apendiks sehingga timbul suatu
massa lokal yang biasa disebut infiltrat apendikularis. Peradangan apendiks
tersebut akan menjadi abses/ menghilang. Pada anak-anak, lantaran omentum
lebih pendek dan apediks lebih panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan
tersebut didukung dengan daya tahan tubuh yang masih kurang atau lemah
dan memudahkan terjadinya perforasi. Namun pada orang tua perforasi sangat
mudah terjadi lantaran telah ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer, 2007).
E. Manifestasi klinik
1. Nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disertai dengan demam ringan,
mual, muntah dan hilangnya nafsu makan.
2. Nyeri tekan local pada titik Mc. Burney bila dilakukan tekanan.
3. Nyeri tekan lepas dijumpai.
4. Terdapat konstipasi atau diare.
5. Nyeri lumbal, bila appendiks melingkar di belakang sekum.
6. Nyeri defekasi, bila appendiks berada dekat rektal.
7. Nyeri kemih, jika ujung appendiks berada di dekat kandung kemih atau
ureter.
8. Pemeriksaan rektal positif jika ujung appendiks berada di ujung pelvis.
9. Tanda Rovsing dengan melakukan palpasi kuadran kiri bawah yang
secara paradoksial menyebabkan nyeri kuadran kanan.
10. Apabila appendiks sudah ruptur, nyeri menjadi menyebar, disertai
abdomen terjadi akibat ileus paralitik.
11. Pada pasien lansia tanda dan gejala appendiks sangat bervariasi. Pasien
mungkin tidak mengalami gejala sampai terjadi ruptur appendiks.
(Setiono, 2014)

Nama pemeriksaan Tanda dan gejala


Rovsing’s sign Positif jika dilakukan palpasi dengan tekanan pada
kuadran kiri bawah dan timbul nyeri pada sisi kanan.
Psoas sign atau Pasien dibaringkan pada sisi kiri, kemudian dilakukan
Obraztsova’s sign ekstensi dari panggul kanan. Positif jika timbul nyeri
pada kanan bawah.
Obturator sign Pada pasien dilakukan fleksi panggul dan dilakukan
rotasi internal pada panggul. Positif jika timbul nyeri
pada hipogastrium atau vagina.
Dunphy’s sign Pertambahan nyeri pada testis kanan bawah dengan
batuk
Ten Horn sign Nyeri yang timbul saat dilakukan traksi lembut pada
korda spermatic kanan
Kocher (Kosher)’s sign Nyeri pada awalnya pada daerah epigastrium atau
sekitar pusat, kemudian berpindah ke kuadran kanan
bawah.
Sitkovskiy Nyeri yang semakin bertambah pada perut kuadran
(Rosenstein)’s sign kanan bawah saat pasien dibaringkan pada sisi kiri
Aure-Rozanova’s sign Bertambahnya nyeri dengan jari pada petit triangle
kanan (akan positif Shchetkin-Bloomberg’s sign)
Blumberg sign Disebut juga dengan nyeri lepas. Palpasi pada kuadran
kanan bawah kemudian dilepaskan tiba-tiba

F. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi akibat keterlambatan penanganan
Apendisitis. Factor keterlambatan bisa dipengaruhi oleh penderita dan tenaga
medis. Factor penderita meliputi pengetahuan dan biaya, sedangkan tenaga
medis meliputi kesalahan dalam menentukan diagnosa, menunda diagnosa,
terlambat merujuk ke rumah sakit, dan terlambat melakukan penanggulangan.
Keadaan ini mengakibatkan adanya peningkatan angka morbiditas dan
mortalitas. Proporsi komplikasi Apendisitis 10-32 %, paling sering terjadi
pada anak kecil dan orang tua. Komplikasi 93 % terjadi pada anak-anak < 2
tahun dan 40-75% pada orang tua. CFR komplikasi 2-5 %, 10 – 15 % terjadi
pada anak-anak dan orang tua. Anak-anak memiliki dinding appendiks yang
masih tipis, omentum lebih pendek dan belum berkembang sempurna
sehingga memudahkan terjadinya perforasi, sedangkan pada orang tua akan
terjadi gangguan pembuluh darah. Adapun komplikasi apendisitis menurut
Setiono (2014) adalah :
1. Abses
Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa
lunak di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula
berupa flegmon dan berkembang menjadi rongga yang mengandung pus.
Hal ini terjadi bila apendisitis gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh
omentum
2. Perforasi
Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri
menyebar ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama
sejak awal sakit, tetapi meningkat tajam sesudah 24 jam. Perforasi dapat
diketahui pra-operatif pada 70% kasus dengan gambaran klinis yang
timbul lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih dari 38,50C, tampak
toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan leukositosis terutama
polymorphonuclear (PMN). Perforasi, baik berupa perforasi bebas
maupun mikroperforasi dapat menyebabkan peritonitis.
3. Peritononitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi
berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila
infeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya
peritonitis umum. Aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus
paralitik, usus meregang, dan hilangnya cairan elektrolit mengakibatkan
dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oligouria. Peritonitis disertai rasa
sakit perut yang semakin hebat, muntah, nyeri abdomen, demam, dan
leukositosis.
G. Prognosis
Kebanyakan pasien setelah operasi appendektomi sembuh spontan
tanpa penyulit, namun komplikasi dapat terjadi apabila pengobatan tertunda
atau telah terjadi peritonitis/peradangan di dalam rongga perut. Cepat dan
lambatnya penyembuhan setelah operasi usus buntu tergantung dari usia
pasien, kondisi, keadaan umum pasien, penyakit penyerta misalnya diabetes
mellitus, komplikasi dan keadaan lainya yang biasanya sembuh antara 10
sampai 28 hari (Sanyoto, 2007).
Alasan adanya kemungkinan ancaman jiwa dikarenakan peritonitis di
dalam rongga perut ini menyebabkan operasi usus buntu akut/emergensi
perlu dilakukan secepatnya. Kematian pasien dan komplikasi hebat jarang
terjadi karena usus buntu akut. Namun hal ini bisa terjadi bila peritonitis
dibiarkan dan tidak diobati secara benar (Sanyoto, 2007).
H. Pemeriksaan Penunjang
Menururt Setiono (2014), pemeriksaan untuk apendistis, antara lain :
1. Laboratorium
Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive protein (CRP). Pada
pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-
18.000/mm3 (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP
ditemukan jumlah serum yang meningkat. CRP adalah salah satu komponen
protein fase akut yang akan meningkat 4-6 jam setelah terjadinya proses
inflamasi, dapat dilihat melalui proses elektroforesis serum protein. Angka
sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu 80% dan 90%.
2. Radiologi
Terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan Computed Tomography
Scanning (CT-scan). Pada pemeriksaan USG ditemukan bagian
memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada appendiks, sedangkan
pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan
fekalith dan perluasan dari appendiks yang mengalami inflamasi serta
adanya pelebaran sekum. Tingkat akurasi USG 90-94% dengan angka
sensitivitas dan spesifisitas yaitu 85% dan 92%, sedangkan CT-Scan
mempunyai tingkat akurasi 94-100% dengan sensitivitas dan spesifisitas
yang tinggi yaitu 90-100% dan 96-97%.
3. Analisa urin bertujuan untuk mendiagnosa batu ureter dan kemungkinan
infeksi saluran kemih sebagai akibat dari nyeri perut bawah.
4. Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase membantu mendiagnosa
peradangan hati, kandung empedu, dan pancreas
5. Serum Beta Human Chorionic Gonadotrophin (B-HCG) untuk memeriksa
adanya kemungkinan kehamilan.
6. Pemeriksaan barium enema untuk menentukan lokasi sekum. Pemeriksaan
Barium enema dan Colonoscopy merupakan pemeriksaan awal untuk
kemungkinan karsinoma colon.
7. Pemeriksaan foto polos abdomen tidak menunjukkan tanda pasti
apendisitis, tetapi mempunyai arti penting dalam membedakan Apendisitis
dengan obstruksi usus halus atau batu ureter kanan.
I. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan yang bisa dilakukan pada penderita Apendisitis mencangkup
penanggulangan konservatif dan tindakan operasi.
1. Penanggulangan konservatif
Penanggulangan konservatif terutama di berikan pada penderita yang tidak
mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian terapi antibiotik.
Pemberian terapi antibiotik berguna untuk mencegah terjadinya infeksi.
Umumnya pada penderita Apendisitis perforasi, sebelum dilaksanakan
tindakan operasi dilakukan penggantian cairan dan elektrolit, serta
pemberian terapi antibiotik sistemik
2. Operasi
Apabila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan Apendisitis maka
tindakan yang dilakukan ialah dengan operasi untuk membuang appendiks
(appendektomi). Penundaan appendektomi dengan pemberian antibiotik
dapat mengakibatkan adanya abses dan perforasi. Pada abses appendiks
dilakukan drainage (mengeluarkan nanah).
3. Pencegahan Tersier
Tujuan utama dilaksanakan pencegahan tersier yaitu agar dapat mencegah
terjadinya sebuah komplikasi yang lebih berat seperti komplikasi pada intra-
abdomen. Komplikasi utama ialah infeksi luka dan abses intraperitonium.
Apabila di perkirakan terjadi perforasi maka abdomen biasanya dicuci
dengan garam fisiologis atau terapi antibiotik. Pasca appendektomi di
perlukan pelaksanaan perawatan intensif dan pemberian antibiotik dengan
lama terapi disesuaikan dengan besar infeksi intra-abdomen.
J. Masalah yang Lazim Muncul (Nanda, 2015)
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
2. Hipertermia b.d. respon sistemik dari inflamasi gastrointestinal
3. Nyeri akut b.d. inflamasi dan infeksi
4. Kekurangan volume cairan b.d. kehilangan cairan aktif, mekanisme kerja
peristaltic usus menurun
5. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. faktor
biologis, ketidakmampuan untuk mencerna makanan
6. Kerusakan integritas jaringan
7. Gangguan rasa nyaman
8. Resiko ketidakefektifan perfusi gastrointestinal sirkulasi darah ke
gastrointestinal, hemoragi gastrointestinal akut
9. Resiko infeksi
10. Ansietas b.d. prognosis penyakit rencana pembedahan
2. Konsep Pembedahan (Laparatomi)
A. Pengertian
Laparatomi adalah prosedur tindakan pembedahan dengan membuka cavum abdomen
dengan tujuan eksplorasi Laparotomi adalah pembedahan yang dilakukan pada usus
akibat terjadinya perlekatan usus dan biasanya terjadi pada usus halus. (Mansjoer,
2010).
B. Indikasi
1. Trauma abdomen (tumpul atau tajam)
Trauma abdomen didefinisikan sebagai kerusakan terhadap struktur yang terletak
diantara diafragma dan pelvis yang diakibatkan oleh luka tumpul atau yang
menusuk. Dibedakan atas 2 jenis yaitu :
- Trauma tembus (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga
peritonium) yang disebabkan oleh : luka tusuk, luka tembak.
- Trauma tumpul (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga
peritoneum) yang dapat disebabkan oleh pukulan, benturan,
ledakan, deselerasi, kompresi atau sabuk pengaman (sit-belt).
2. Peritonitis
Peritonitis adalah inflamasi peritoneum lapisan membrane serosa rongga
abdomen, yang diklasifikasikan atas primer, sekunder dan tersier. Peritonitis
primer dapat disebabkan oleh spontaneous bacterial peritonitis (SBP) akibat
penyakit hepar kronis. Peritonitis sekunder disebabkan oleh perforasi appendicitis,
perforasi gaster dan penyakit ulkus duodenale, perforasi kolon (paling sering
kolon sigmoid), sementara proses pembedahan merupakan penyebab peritonitis
tersier.
3. Sumbatan pada usus halus dan besar (Obstruksi)
Obstruksi usus dapat didefinisikan sebagai gangguan (apapun penyebabnya)
aliran normal isi usus sepanjang saluran usus. Obstruksi usus biasanya mengenai
kolon sebagai akibat karsinoma dan perkembangannya lambat. Sebagian dasar
dari obstruksi justru mengenai usus halus. Obstruksi total usus halus merupakan
keadaan gawat yang memerlukan diagnosis dini dan tindakan pembedahan
darurat bila penderita ingin tetap hidup. Penyebabnya dapat berupa perlengketan
(lengkung usus menjadi melekat pada area yang sembuh secara lambat atau pada
jaringan parut setelah pembedahan abdomen), Intusepsi (salah satu bagian dari
usus menyusup kedalam bagian lain yang ada dibawahnya akibat penyempitan
lumen usus), Volvulus (usus besar yang mempunyai mesocolon dapat terpuntir
sendiri dengan demikian menimbulkan penyumbatan dengan menutupnya
gelungan usus yang terjadi amat distensi), hernia (protrusi usus melalui area yang
lemah dalam usus atau dinding dan otot abdomen), dan tumor (tumor yang ada
dalam dinding usus meluas kelumen usus atau tumor diluar usus menyebabkan
tekanan pada dinding usus).
4. Apendisitis mengacu pada radang apendiks
Suatu tambahan seperti kantong yang tak berfungsi terletak pada bagian inferior
dari sekum. Penyebab yang paling umum dari apendisitis adalah obstruksi lumen
oleh fases yang akhirnya merusak suplai aliran darah dan mengikis mukosa
menyebabkan inflamasi.
5. Tumor abdomen
6. Pancreatitis (inflammation of the pancreas)
7. Abscesses (a localized area of infection)
8. Adhesions (bands of scar tissue that form after trauma or surgery)
9. Diverticulitis (inflammation of sac-like structures in the walls of the
intestines)
10. Intestinal perforation
11. Ectopic pregnancy (pregnancy occurring outside of the uterus)
12. Foreign bodies (e.g., a bullet in a gunshot victim)
13. Internal bleeding

C. Komplikasi

1. Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis.


Tromboplebitis post operasi biasanya timbul 7-14 hari setelah operasi.
Bahaya besar tromboplebitis timbul bila darah tersebut lepas dari dinding
pembuluh darah vena dan ikut aliran darah sebagai emboli ke paru-paru,
hati, dan otak. Pencegahan tromboplebitis yaitu latihan kaki, ambulasi dini
post operasi.

2. Infeksi, infeksi luka sering muncul pada 36-46 jam pasca operasi.
Organisme yang paling sering menimbulkan infeksi adalah stapilococus
aurens, organisme gram positif. Stapilococus mengakibatkan peranahan.
Untuk menghindari infeksi luka yang paling penting adalah perawatan luka
dengan memperhatikan aseptik dan antiseptik.

3. Kerusakan integritas kulit sehubungan dengan dehisensi luka atau


eviserasi.

4. Ventilasi paru tidak adekuat.

5. Gangguan kardiovaskuler: hipertensi, aritmia jantung.

6. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.


7. Gangguan rasa nyaman dan kecelakaan.

3. Konsep General Anestesi


A. Pengertian
Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya
kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible) yang mencakup tiga komponen yang
disebut trias anestesi yaitu hipnotik analgesi, dan relaksasi otot. Ketiga komponen
anestesi itu dapat
B. Teknik Anestesi Umum
Menurut Mangku dan Senapathi (2010), anestesi umum dilakukan dengan beberapa
teknik yaitu anestesi umum intavena, anestesi umum inhalasi, dan anestesi imbang.
1. Anestesi Umum Inhalasi
Anestesi umum inhalasi merupakan salah satu teknik anestesi umum yang dilakukan
dengan cara memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas dan atau
cairan yang mudah menguap melalui alat atau mesin anestesi langsung ke udara
inspirasi. Ada tiga teknik anestesi umum inhalasi yaitu inhalasi sungkup muka,
inhalasi sungkup laring, inhalasi pipa endotrakea. Obat anestesi inhalasi biasanya
dipakai untuk pemeliharaan pada anestesi umum tetapi juga dapat dipakai sebagai
induksi, terutama pada pasien anak-anak. Obat-obat yang digunakan pada anestesi
umum inhalasi antara lain N2O, halotan, enfluran, isofluran, desfluran, dan sevofluran.
Pemakaian N2O sebagai analgetik harus selalu dikombinasikan dengan oksigen
dengan perbandingan N2O:O2 70%:30%, 60%:40%, atau 50%:50% sesuai dengan
kondisi pasien.
Kemudahan dalam pemberian dan efek yang dapat dimonitor membuat anestesi
inhalasi disukai dalam praktik anestesi umum. Tidak seperti anestetik intravena,
anestesi umum inhalasi dapat menilai konsentrasi anestesi inhalasi pada jaringan
dengan melihat nilai konsentrasi tidal akhir pada obat-obat ini. Sebagai tambahan,
penggunaan gas volatil anestesi lebih murah penggunaanya untuk anestesi umum. Hal
yang harus sangat diperhatikan dari anestesi inhalasi adalah sempitnya batas dosis
terapi dan dosis yang mematikan. Sebenarnya hal ini mudah diatasi, dengan memantau
konsentrasi jaringan dan dengan mentitrasi tanda-tanda klinis dari pasien.
4. Asuhan Keperawatan Perianestesi
A. Pre Anestesi
1. Pengkajian Pre Anestesi dilakukan sejak pasien dinyatakan akan
dilakukan tindakan pembedahan baik elektif maupun emergensi.
Pengkajian pre anestesi meliputi :
a. Identitas pasien
b. Riwayat kesehatan pasien dan riwayat alergi
c. Pemeriksaan fisik pasien meliputi : Tanda-tanda vital pasien,
pemeriksaan sistem pernapasan (breathing), sistem
kardiovaskuler (bleeding),sistem persyarafan (brain), sistem
perkemihan dan eliminasi (bowel), sistem tulang, otot dan
integument (bone).
d. Pemeriksaan penunjang berupa laboratorium, rontgen, CT-
scan, USG, dll.
e. Kelengkapan berkas informed consent.
2. Analisa Data

Data hasil pengkajian dikumpulkan dan dianalisa sehingga dapat menilai


klasifikasi ASA pasien. Data yang telah di analisa digunakan untuk
menentukan diagnosa keperawatan, tujuan, perencanaan/implementasi
dan evaluasi pre anestesi.

3. Diagnosa, Tujuan, Perencanaan/implementasi dan Evaluasi Pre


Anestesi

a. Dx : Cemas b/d kurang pengetahuan masalah pembiusan


Tujuan : Cemas berkurang/hilang.

Kriteria hasil :

- Pasien menyatakan tahu tentang proses kerja


obat anestesi/pembiusan.
- Pasien menyatakan siap dilakukan pembiusan.
- Pasien mengkomunikasikan perasaan negatif
secara tepat.
- Pasien taampak tenang dan kooperatif.

- Tanda-tanda
vital normal.
Rencana tindakan :
- Kaji tingkat kecemasan.

- Orientasikan dengan tim anestesi/kamar operasi.

- Jelaskan jenis prosedur tindakan anestesi yang


akan dilakukan.
- Beri dorongan pasien untuk mengungkapkan
perasaan.

- Dampingi pasien untuk mengurangi rasa cemas.

- Ajarkan tehnik relaksasi napas dalam.

- Kolaborasi untuk memberikan obat


penenang. Evaluasi :
- Pasien mengatakan paham akan tindakan
pembiusan atau anestesi.
- Pasien mengatakan siap dilakukan prosedur
anestesi dan operasi.
- Pasien lebih tenang.

- Ekspresi wajah cerah.

- Pasien kooperatif ditandai tanda-tanda vital


dalam batas normal.
B. Intra Anestesi
1. Pengkajian Intra Anestesi dilakukan sejak pasien. Pengkajian Intra
anestesi meliputi :
a. Persiapan pasien, alat anestesi dan obat-obat anestesi.
b. Pelaksanaan anestesi
c. Monitoring respon dan hemodinamik pasien yang kontinu setiap
5 menit sampai 10 menit.
2. Analisa Data
Data yang telah di analisa digunakan untuk menentukan diagnosa
keperawatan, tujuan, perencanaan/implementasi dan evaluasi intra
anestesi.
3. Diagnosa, Tujuan, Perencanaan/implementasi dan Evaluasi intra
anestesi
a. Dx : Pola napas tidak efektif b/d disfungsi neuromuscular
dampak sekunder dari obat pelumpuh otot pernapasan dan obat
general anestesi.
Tujan : Pola napas pasien menadi efektif/normal. Kriteria hasil
- Frekuensi napas normal.

- Irama napas sesuai yang diharapkan.

- Ekspansi dada simetris.

- Jalan napas pasien lancar tidak didapatkan


adanya sumbatan.
- Tidak menggunakan obat tambahan.
- Tidak terjadi sianosis, saturai O2 96-100%. Rencana
tindakan:
- Bersihkan secret pada jalan napas.

- Jaga patensi jalan napas.

- Pasang dan beri suplai oksigen yang adekuat.

- Monitor perfusi jaringan perifer.

- Monitor ritme, irama dan usaha respirasi.

- Monitor pola napas dan tanda-tanda hipoventiasi.

-
Evaluasi :

- Pola napas efektif dan tidak ada tanda-tanda sianosis.

- Napas spontan, irama dan ritme teratur.

b. Dx : Resiko aspirasi b/d penurunan tingkat


kesadaran Tujuan : Tidak akan terjadi aspirasi
Kriteria hasil :
- Pasien mampu menelan.
- Bunyi paru bersih.
- Tonus otot yang adekuat.
Rencana tindakan:
- Atur posisi pasien.
- Pantau tanda-tanda aspirasi.
- Pantau tingkat kesadaran : reflek batuk, reflek
muntah, kemampuan menelan.
- Pantau bersihan jalan napas dan status paru.
- Kolaborasi dengan dokter.
Evaluasi :
- Tidak ada muntah.
- Mampu menelan.
- Napas normal tidak ada suara paru tambahan.

c. Dx : Resiko kecelakaan cedera b/d efek anestesi


umum. Tujuan : Pasien aman selama dan setelah
pembedahan. Kriteria hasil :

- Selama operasi pasien tidak bangun/tenang.

- Pasien sadar setelah anestesi selesai.

- Kemampuan untuk melakukan gerakan yang


bertujuan.

- Kemampuan untuk bergerak atau


berkomunikasi.

- Pasien aman tidak jatuh

Rencana tindakan

- Atur posisi pasien, tingkatkan keamanan bila


perlu gunakan tali pengikat.

- Jaga posisi pasien imobile.

- Atur tmeja operasi atau tubuh pasien untuk


meningkatkan fungsi fisiologis dan
psikologis.

- Cegah resiko injuri jatuh.

- Pasang pengaman tempat tidur ketika


melakukan transportasi pasien.

- Pantau penggunaan obat anestesi dan efek


yang timbul.

Evaluasi :

- Pasien aman selama dan setelah pembiusan.

- Pasien nyaman selama pembiusan, tanda-


tanda vital stabil.

- Pasien aman tidak jatuh.

- Skor aldert pasien ≥ 9 untuk bisa


dipindahkan ke ruang rawat.
C. Post Anestesi
Pengkajian Post Anestesi dilakukan sejak pasien selesai dilakukan
tindakan pembedahan dan pasien akan dipindahkan ke ruang pemulihan.
Pengkajian Post anestesi meliputi :
a. Keadaan umum pasien dan tanda-tanda vital.
b. Status respirasi dan bersihan jalan napas.
c. Penilaian pasien dengan skala Aldert (untuk anestesi general) dan
skala Bromage (untuk anestesi regional)
d. Instruksi post operasi.
Analisa Data
Data yang telah di analisa digunakan untuk menentukan diagnosa
keperawatan, tujuan, perencanaan/implementasi dan evaluasi intra
anestesi.
1. Diagnosa, Tujuan, Perencanaan dan Evaluasi Post Anestesi
Dx : Bersihan jalan napas tidak efektif b/d mukus banyak, sekresi
tertahan efek dari general anestesi.
Tujuan : bersihan jalan napas pasien efektif. Kriteria hasil :
- Pola napas normal : frekuensi dan kedalaman, irama.

- Suara napas bersih.

- Tidak sianosis.

Rencana tindakan:

- Atur posisi pasien.

- Pantau tanda-tanda ketidak efektifan dan pola napas.

- Ajarkan dan anjurkan batuk efektif.

- Pantau respirasi dan status oksigenasi.

- Buka jalan napas dan bersihkan sekresi.

- Beri oksigenasi dan ajarkan napas dalam.

- Auskultasi suara napas dan pantau status oksigenasi dan


hemodinamik.

Evaluasi :

- Jalan napas efektif.

- Napas pasien spontan dan teratur.

- Tidak ada tanda-tanda sianosis.

- Status hemodinamik pasien stabil.

2. Dx : Gangguan rasa nyaman mual muntah b/d pengaruh


sekunder obat anestesi.

Tujuan : Mual muntah berkurang. Kriteria hasil :

- Pasien menyatakan mual berkurang.

- Pasien tidak muntah.

- Pasien menyatakan bebas dari mual dan pusing.

- Hemodinamik stabil dan akral kulit hangat.

Rencana tindakan:

- Atur posisi pasien dan tingkatkan keseimbangan cairan.

- Pantau tanda vital dan gejala mual muntah.

- Pantau turgor kulit.

- Pantau masukan dan keluaran cairan.

- Kolaborasi dengan dokter.

Evaluasi :

- Perasaan pasien lega, tidak pusing dan terbebas dari rasa


mual.

- Akral kulit hangat tidak pucat/sianosis.

- Nadi teratur dan kuat


- Status hemodinamik stabil.

3. Dx: Nyeri akut b/d agen cidera fisik (operasi) Tujuan : Nyeri
berkurang atau hilang Kriteria hasil :

- Pasien menyatakan nyeri berkurang atau hilang.

- Pasien mampu istirahat.

- Ekspresi wajah tenang dan nyaman.

Rencana tindakan:

- Kaji drajat, lokasi, durasi, frekuensi dan karakteristik nyeri.

- Gunakan tehnik komunikasi terapeutik.

- Ajarkan tehnik relaksasi.

- Kolaborasi dengan dokter.

Evaluasi :

- Rasa nyeri berkurang atau hilang.

- Hemodinamik normal.

- Pasien bisa istirahat dan ekspresi wajah tenang.

Dx : Hipotermi b/d berada atau terpapar di lingkungan dingin.


Tujuan : Pasien menunjukan
termoregulasi. Kriteria hasil :
- Kulit hangat dan suhu tubuh dalam batas normal.
- Perubahan warna kulit tidak ada.
- Pasien tidak menggigil kedinginan.
Rencana tindakan:
- Mempertahankan suhu tubuh selama pembiusan atau operasi
sesuai yang diharapkan.
- Pantau tanda-tanda vital.
- Beri penghangat.
Evaluasi :

- Suhu tubuh normal.

- Tanda-tanda vital stabil.

- Pasien tidak menggigil.

- Warna kulit tidak ada perubahan


BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Setelah dilakukan asuhan keperawatan Perianestesi 1X24 jam diperoleh


diagnosa sebagai berikut :

Pre Anestesi

1. Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan masalah


pembiusan ditandai dengan: pasien mengatakan sedikit cemas, pasien
belum pernah menjalani pembedahan sebelumnya, pasien terlihat
sedikit gelisah, TD : 110 / 71mmHg, Nadi : 90x/menit, RR: 16 x/menit
setelah dilakukan tindakan pre anestesi ansietas teratasi.

2. Nyeri berhubungan dengan agen injury biologis ditandai dengan :


Pasien mengatakan nyeri berkurang, dari yang pertama kali dirinya
dibawa ke RS. P : nyeri timbul saat pasien bergerak, Q : nyeri seperti
di tusuk, R : nyeri di bagian perut kanan bawah, S : Skala nyeri 3, T :
nyeri hilang timbul. Pasien terlihat menahan nyeri saat disuruh untuk
naik ke meja opersi sambil memegangi perut dan meringis menahan
nyeri, TD : 110/71 mmHg, Nadi : 90x/menit RR: 16 x/menit, setelah
dilakukan tindakan keperawatan pre anestesi nyeri teratasi sebagian.

Intra Anestesi

3. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan pengaruh sekunder:


obat- obatan anestesi ditandai dengan: Pasien terpasang LMA ukuran
3,0, ada periode apneu sesaat setelah diberikan induksi dengan
propofol 100 mg, setelah dilakukan tindakan keperawatan intra
anestesi ketidakefektifan pola nafas teratasi

4. Risiko ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan


vasodilatasi pembuluh darah dampak agen anestesi ditandai dengan:
Pasien dilakukan pembedahan laparatomi, pasien mengalami
perdarahan pada area pembedahan ±150 ml, induksi anestesi dengan
Propofol 100 mg, pemeliharaan anestesi dengan O2, N2O, dan
sevofluran, setelah dilakukan tindakan keperawatan intra anestesi
resiko ketidakseimbangan cairan dan elektrolit tidak terjadi

Pasca Anestesi

5. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan mukus banyak,


efek general anestesi ditandai dengan: Pasien belum sadar, terdapat
lendir pada mulut pasien, pasien pasca dilakukan laparatomi, suara
nafas gurgling, pasien terpasang ETT, setelah dilakukan tindakan
keperawatan pasca anestesi bersihan jalan nafas tidak efektif teratasi

6. Risiko jatuh berhubungan dengan efek general anestesi ditandai


dengan: Pasien pasca operasi dengan general anestesi, pasien belum
sadar kesadaran pasien apatis, aldrete skor : 9, setelah dilakukan
tindakan keperawatan selama pasca anestesi resiko jatuh teratasi
sebagian
DAFTAR PUSTAKA

Herdman, T. H. (2012). Diagnosis keperawatan: definisi dan klasifikasi


2012- 2014. Jakarta : EGC

Indrayani, M.N. (2013). Diagnosis Dan Tata Laksana Ileus Obstruktif.


Universitas Udayana : Denpasar (jurnal)

Latief, S. A., Kartini, A., Suryadi, M., Dahlan, R. 2010. Petunjuk praktis
anestesiologi. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.

Mangku, G. dan Senapathi, T. GA. 2010. Buku ajar ilmu anestesi dan
reanimasi. Jakarta: Indeks
Munaf. 2008. Buku ajar ilmu anestesi dan reanimasi. Jakarta: EGC.

Nurarif, Amin Huda. Kusuma, Hardhi. 2015. Aplikasi Asuhan


Keperawatan Berdasarkan Diagnose Medis Dan Nanda NIC
– NOC Edisi Revisi Jilid 2. Media Action : Yogjakarta.

Wilkinson, J. M., & Ahern, N. R. (2011). Diagnosis Keperawatan Edisi 9.


EGC:Jakarta.

Corwin, Elizabeth J.. 2009. Buku Saku Patofisiologi Corwin. Jakarta: Aditya
Media

Gwinnutt, C. L., & Matthew, G. (2017). Clinical Anaesthesia Lecture Notes


(5th ed). UK: Wiley Blackwell

Katzung, B. G., & Anthony, J. T. (Eds). 2015. Basic & Clinical


Pharmacology (13th ed). NY: Mc Graw Hill

Mangku, G., & Tjokorda, G. A. S. (2010). I Made, W., I. B. Gde, S., Ketut,
S. I Gede, B. (Eds). Buku Ajar Ilmu Anestesia Dan Reanimasi.
Jakarta: Indeks

Mansjoer, A., dkk. 2007.Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid


Pertama. Jakarta: Media Aesculapius FKUI.

Nuzulul.2009. Askep Appendicitis. Diakses


http://nuzulul.fkp09.web.unair.ac.id/artikel_detail-35840
Kep%20Pencernaan Askep%20Apendisitis.html tanggal 13
Desember 2018.

Sjamsuhidajat, R. dan De Jong W. 2005.Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC

Smeltzer, Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Brunner


&Suddart Edisi 8 Volume 2. Jakarta : EGC

Tucker, Susan Martin. (2007). Standar Perawatan Pasien Perencanaan


kolaboratif & Intervensi Keperawatan. Jakarta : EGC.

Widyatuti. (2008). Terapi Komplementer dalam Keperawatan. Jurnal


Keperawatan Indonesia, 12 (1). ISSN: 2354-9203
Wijayaningsih, Kartika. (2013). Standar Asuhan Keperawatan. Jakarta ;
Trans Info Medika

Anda mungkin juga menyukai