Anda di halaman 1dari 51

REFERAT SEPTEMBER 2018

“Lupus Eritematosus Sistemik”

Nama : Imam Wiratama


No. Stambuk : N 111 17 131
Pembimbing : dr. Eva Yunita Wirdiastuty, Sp PD

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TADULAKO
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA
PALU
2018
BAB I

PENDAHULUAN

Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan penyakit reumatik autoimun


yang ditandai adanya inflamasi sistemik, yang dapat mengenai beberapa organ
atau system dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan autoantibodi atau
kompleks imun, sehingga mengakibatkan kerusakan jaingan. Faktor genetik,
imunologik dan hormonal serta lingkungan berperan dalam patofisiologi penyakit
LES, walaupun etiopatologi LES belum diketahui secara pasti. Diduga melibatkan
1,2
ineraksi yang kompleks antara faktor genetic dan lingkungan.

Penyakit ini ditandai oleh adanya periode remisi dan episode serangan akut
dengan gambaran klinis yang beragam berkaitan dengan berbagai organ yang
terlibat. SLE merupakan penyakit yang kompleks dan terutama menyerang wanita
usia reproduksi. Dalam 30 tahun terakhir, LES telah menjadi salah satu penyakit
rematik utama di dunia. Di Amerika Serikat dilaporkan prevalensi LES yaitu 52
kasus per 100.000 penduduk dengan insidensi per tahunnya sekitar 5.1 kasus per
100.000 penduduk. Di Asia, prevalensi LES yaitu sekitar 4.3-37.7 kasus per
100.000 penduduk dimana negara Cina memiliki insidensi terbanyak yaitu 3.1
kasus per 100.000 penduduk. Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo
(RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4% kasus LES dari total kunjungan pasien di
poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam, sementara pada tahun 2010 di RS Hasan
Sadikin Bandung terdapat 291 pasien (10.5%) dari total pasien yang berobat ke
poliklinik reumatologi. 90% pasien LES adalah perempuan usia muda dengan
insiden puncak pada usia 15-40 tahun selama masa reproduksi. Rasio penyakit
LES pada perempuan dan laki-laki adalah 9:1. Angka morbiditas dan mortalitas
pasien LES masih cukup tinggi. Dilaporkan survival rate 5 tahun pasien LES di
RSCM adalah 88% dari pengamatan 108 orang pasien yang berobat dari tahun
1,3,4
1990-2002.

2
Perjalanan penyakit LES bersifat fluktuatif dan memiliki risiko kematian
yang tinggi, oleh karena itu diperlukan upaya pengenalan dini serta
penatalaksanaan yang tepat. Untuk menegakkan diagnosis LES dilakukan melalui
kriteria yang ditetapkan oleh Acute Rheumatology Arthritis (ARA) revisi tahun
1997, ditegakkan bila ditemukan 4 dari 11 kriteria. Penatalaksanaan LES
dilaksanakan secara komprehensif meliputi non medika mentosa dan medika
mentosa. Untuk penatalaksanaan awal pasien LES yang baru terdiagnosis,
penyuluhan dan intervensi psikologis sangat diperlukan. Sedangkan untuk
pemilihan terapi ditentukan berdasarkan derajat beratnya LES dengan tujuan
terapi yaitu untuk mengontrol serangan akut, severe flare, dan mengontrol gejala
1,2
sehingga bisa ditoleransi oleh pasien.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Lupus Eritematosus Sistemik adalah penyakit reumatik autoimun yang


ditandai adanya inflamasi sistemik, yang dapat mengenai beberapa organ atau
system dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan autoantibody atau
kompleks imun, sehingga autoantibodi dapat menyerang komponen sitoplasma
dan inti sel, ditandai oleh adanya erupsi kulit, atralgia, arthritis, nefritis, pleuritis,
pericarditis, leucopenia atau trombositopenia, anemia hemolitik, lesi organ,
manifestasi neurologik, limfadenopati, demam dan berbagai gejala konstitusional
lainnya. Perjalanan penyakit LES bersifat fluktuatif yang ditandai dengan periode
1,2,3,5
tenang dan eksaserbasi.

Kata “lupus” dalam bahasa latin berarti serigala, ”erythro” berasal dari
bahasa yunani yang berarti merah, sehingga lupus digambarkan sebagai daerah
merah sekitar hidung dan pipi, yang dikenal dengan butterfly - shaped malar
4
rash.

B. Epidemiologi

Sistemik lupus eritematosus terutama menyerang wanita muda dengan insiden


puncak pada usia 15-40 tahun selama masa reproduksi dengan ratio wanita: laki-
laki 5:1. Dalam 30 tahun terakhir SLE telah menjadi salah satu penyakit rematik
utama di dunia. Insidensi LES meningkat tiga kali lipat karena kemajuan ilmu
kedokteran bidang reumatologi dalam mendiagnosis LES melalui kriteria ARA.
Prevalensi SLE di berbagai negara sangat bervariasi. Di Amerika Serikat
dilaporkan prevalensi LES yaitu 52 kasus per 100.000 penduduk dengan insidensi
per tahunnya sekitar 5.1 kasus per 100.000 penduduk. Di negara Asia-Pasifik,

4
prevalensi LES yaitu sekitar 4.3-45.3 kasus per 100.000 penduduk dimana
Australia sebagai negara dengan prevalensi tertinggi yaitu 45.3 kasus per 100.000
penduduk. Di Asia, prevalensi LES yaitu sekitar 4.3-37.7 kasus per 100.000
penduduk dimana negara Cina memiliki insidensi terbanyak yaitu 3.1 kasus per
100.000 penduduk. SLE lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti bangsa
negro, China, dan mungkin juga Filipina.1,4

Di Indonesia sendiri belum ada data epidemiologi LES yang mencakup


seluruh wilayah. Beberapa data di Indonesia dari pasien yang dirawat di
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
ditemukan 37,7 % kasus LES pada tahun 1998-1990. Data tahun 2002 di RSUP
Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4% kasus LES dari total
kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam, sementara pada
tahun 2010 di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 pasien (10.5%) dari total
pasien yang berobat ke poliklinik Reumatologi.1,3

Angka morbiditas dan mortalitas pasien LES masih cukup tinggi, dimana
angka kematian pasien LES hampir 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan
populasi umum. Dilaporkan survival rate 5 tahun pasien LES di RSCM adalah
88% dari pengamatan 108 orang pasien yang berobat dari tahun 1990-2002.3
Sedangkan berdasarkan usia, angka survival rate SLE untuk 1-5, 5-10, 10-15, 15-
20, dan 20 tahun adalah 93-97%, 84-95%, 70-85%, 64-80%, dan 53-64%.3 Hasil
studi yang dilakukan oleh Rupert W.Jakes tahun 2012 menyatakan survival rate
LES 93-98% dalam 1 tahun, 60-97% dalam 5 tahun, dan 70-94% dalam 10 tahun.
Pada tahun-tahun pertama mortalitas SLE berkaitan dengan aktivitas penyakit dan
infeksi (termasuk infeksi M. tuberculosis, virus, jamur dan protozoa), sedangkan
dalam jangka panjang berkaitan dengan penyakit vaskular aterosklerosis
Penyebab tingginya angka morbiditas dan mortalitas pada LES di negara Asia-
Pasifik yaitu 30-80% karena infeksi, 19-95% penyakit LES yang aktif, 6-40%
keterlibatan kardiovaskular, dan 7-36% karena adanya abnormalitas ginjal.
Faktor ekonomi dan geografi tidak mempengaruhi distribusi penyakit. Pria
dengan lupus cenderung memiliki lebih sedikit fotosensitivitas, akan tetapi jika

5
usia tua dan baru terdiagnosis mortalitasnya tinggi dibandingkan dengan wanita.
Pada pasien wanita yang terdiagnosis SLE cenderung lebih ringan dalam usia tua
dengan insiden lebih rendah dari ruam malar, fotosensitivitas, purpura, alopesia,
fenomena Raynaud, ginjal dan keterlibatan sistem saraf pusat, tetapi prevalensi
yang lebih besar serositis, keterlibatan paru, gejala sicca, dan manifestasi
muskuloskeletal.3,4,6

Prognosis LES sangat bervariasi. Di negara Asia-Pasifik, prognosis LES


tampak lebih baik pada negara Cina (Shanghai, survival rate 98% dalam 5 tahun),
Hong Kong (survival rate 97% dalam 5 tahun dan 94% dalam 10 tahun), Korea
Selatan (survival rate 94% dalam 5 tahun), akan tetapi di negara Australia
survival rate LES hanya 60% dalam 5 tahun.4

C Etiologi

SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan


peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Sampai saat ini penyebab SLE belum
diketahui. Diduga akibat gangguan imunoregulasi yang ditimbulkan oleh
kombinasi antara faktor-faktor genetik, faktor hormonal sebagaimana terbukti
oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif dan faktor
lingkungan berupa cahaya matahari, luka bakar termal, infeksi, sinar ultraviolet,
pemakaian obat-obatan seperti antibiotic terutama golongan sulfa dan penisilin,
stress mental maupun fisik. Sistem imun tubuh kehilangan kemampuan untuk
membedakan antigen dari sel dan jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan reaksi
imunologi ini akan menghasilkan antibodi secara terus menerus. Antibodi ini juga
berperan dalam pembentukan kompleks imun sehingga mencetuskan penyakit
inflamasi imun sistemik dengan kerusakkan multiorgan.6 , 8

Dalam keadaan normal, sistem kekebalan berfungsi mengendalikan


pertahanan tubuh dalam melawan infeksi. Pada lupus dan penyakit autoimun
lainnya, sistem pertahanan tubuh ini berbalik melawan tubuh, dimana antibodi
yang dihasilkan menyerang sel tubuhnya sendiri. Antibodi ini menyerang sel

6
darah, organ dan jaringan tubuh, sehingga terjadi penyakit menahun. Mekanisme
maupun penyebab dari penyakit autoimun ini belum sepenuhnya dimengerti
tetapi diduga melibatkan faktor lingkungan dan keturunan.

D. Faktor Resiko Terjadiya SLE

1. Faktor Genetik 7,9

a. Terdapat indeks yang tinggi (25%) pada kembar monozigotik dan kembar
dizigotik (1-3%).

b. Anggota keluarga mempunyai risiko yang meningkat untuk menderita LES dan
hingga 20% pada kerabat tingkat pertama yang secara klinis tidak terkena dapat
menunjukkan adanya autoantibodi. Ikatan saudara kandung memiliki risiko 30
kali lebih besar untuk menderita penyakit LES.

c. Pada populasi kulit orang putih di Amerika Utara terdapat hubungan positif
antara LES dengan gen HLA kelas II, terutama pada lokus HLA-DQ.

d. Beberapa pasien LES sekitar 6% mengalami defisiensi komponen komplemen


yang diturunkan. Kekurangan komplemen akan mengganggu pembersihan
kompleks imun dari sirkulasi dan memudahkan deposisi jaringan, yang
menimbulkan jejas jaringan.

2. Faktor Lingkungan 2,7,9

Adanya sindrom menyerupai lupus pada pasien yang meminum obat tertentu,
seperti prokainamid dan hidralazin. Obat-obat ini mengganggu ekspresi dari sel T
CD4+ dengan menghambat metilasi DNA dan menstimulus ekspresi antigen
LFA-1 sehingga memicu autoreaktivasi pada LES. Oleh karena itu, sebagian
besar penderita yang diobati dengan prokainamid selama lebih dari 6 bulan akan
menghasilkan ANA disertai gambaran LES yang muncul 15% - 20% pada pasien
tersebut.

7
Pajanan sinar ultraviolet merupakan faktor lingkungan lain yang dapat
memperburuk penyakit tersebut pada banyak individu. Sekitar 70% pasien LES
akan mengalami flare ketika terpajan dengan sinar ultraviolet. Sinar ultraviolet
dapat meningkatkan apoptosis keratinosit, merusak DNA dan meningkatkan jejas
jaringan yang akan melepaskan pembentukan kompleks imun DNA / anti-DNA
yang dapat menstimulus respon autoimun pada LES.

Infeksi Epstein-Barr Virus (EBV) merupakan faktor yang dapat meningkatkan


terjadinya LES. EBV akan mengaktivasi sel limfosit B dan menstimulus
interferon α (IFN α) untuk produksi sel plasmasitoid dendirtik yang akan memicu
respon imun. Selain itu, EBV juga memiliki untaian asam amino yang
menyerupai untaian asam amino manusia yang akan menstimulus respon
autoimun pada LES.

9
3. Faktor Imunologis

Bermacam-macam kelainan imunologis baik pada sel T maupun sel B pada


pasien LES sulit untuk mengidentifikasi setiap salah satunya sebagai penyebab.
Analisi molekular terhadap antibodi anti-DNA untai ganda member petunjuk
bahwa antibodi tersebut tidak dihasilkan oleh susunan acak sel B aktif poliklonal,
tetapi lebih banyak berasal dari respon sel-B oligoklonal yang lebih selektif
terhadap antigennya sendiri. Sebagai contoh, antibodi anti-DNA pathogen pada
pasien LES adalah kationik, sedangkan antibodi yang dihasilkan oleh sel B yang
teraktivasi secara poliklonal adalah anionik dan nonpatogen. Oleh sebab itu,
tanggung jawab autoimunitas pada LES telah beralih ke sel T helper CD4+.

2
4. Faktor Hormonal

Perempuan memiliki respon antibodi lebih tinggi daripada laki-laki. Hal ini
disebabkan oleh efek estrogen yang bermanfaat terhadap sintesis antibodi.
Perempuan yang mengkonsumsi kontrasepsi oral yang terdapat kandungan
estrogen atau yang menggunakan hormone replacement therapy , memiliki risiko

8
2 kali lipat terkena LES. Estradiol akan berikatan pada reseptor sel T dan sel
limfosit B, meningkatkan aktivasi sel T dan sel limfosit B tersebut.

Gambar 1. Keterkaitan antara factor genetik, epigenetic dan lingkungan pada


LES.

Sumber : Ellen M.G, 2014.

E. Patofisiologi

Kelainan mendasar pada LES adalah kegagalan mempertahankan toleransi-diri.


Akibatnya terdapat autoantibodi dalam jumlah besar yang dapat merusak jaringan
secara langsung ataupun dalam bentuk endapan kompleks imun. Antibodi tersebut
melawan komponen nuclear dan sitoplasma sel host yang tidak spesifik terhadap
organ.9 Proses ini diawali dengan faktor pencetus yang ada dilingkungan, dapat
berupa infeksi, sinar ultraviolet atau bahan kimia serta faktor genetik.

Hal ini menimbulkan abnormalitas respon imun di dalam tubuh yaitu: 8


1. Sel T dan sel B menjadi autorektif
2. Pembentukan sitokin yang berlebihan
3. Hilangnya regulasi kontrol pada sistem imun, antara lain
a. Hilangnya kemampuan membersihkan antigen di kompleks imun maupun
sitokin di dalam tubuh
b. Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis
c. Hilangnya toleransi imun dimana sel T mengenali molekul tubuh sebagai
antigen kerena adanya mimikri molekuler.

9
Gambar 2. Model pathogenesis LES
Sumber : Vinay Kumar, 2009.

Faktor genetik berperan dalam patogenensis SLE dimana elemen genetic


yang paling banyak berkontribusinya SLE pada manusia adalah gen dari
kompleks sistokopatibilitas mayor (MHC), yang melibatkan dari polimorfime gel
HLA (human leucocyte antigen) kelas II. Gen HLA juga kelas II juga
berhubungan dengan adanya antibody tertentu seperti anti-Sm(small ribonucllear
mprotein) dan anti DNA. Selain itu juga SLE berhubungan dengan HLA kelas III
yang khusus mengkode komplemen C2 dan C4, tidak hanya gen MHC polimorfik
yang berhubungan dengan SLE tapi banyak juga gen non-MHC polimorfik yang
berhubungan dengan SLE, termasuk gen yang mengkode mannose binding
protein (MBP), TNF alfa, reseptor sel T, IL-6. Akibat proses tersebut, maka
terbentuk berbagai macam antibodi di dalam tubuh yang disebut autoantibodi.
Selanjutnya antibodi tersebut akan membentuk kompleks imun. Proses terjadi

10
akibat sel T helper teraktivasi yang diakibatkan karna faktor gen dan lingkungan,
sehingga terjadi produksi antibodi IgG, dan akan membentuk suatu imun
kompleks yang akan terdeposisi pada jaringan atau organ yang akhirnya
menimbulkan gejala inflamasi atau kerusakan jaringan.8

Karakteristik patogenesis dari LES meliputi sel B, sel T, dan turunan dari sel-
sel monositik, yang mengakibatkan aktivasi sel B poliklonal, peningkatan jumlah
sel yang memproduksi antibodi, hipergammaglobulinemia, produksi auto antibodi
dan pembentukan kompleks imun. Aktivasi sel T dan sel B memerlukan stimulasi
gen yang spesifik. Bahan kimia yang iritatif seperti peristine, DNA bakteri, dan
fosfolipid dinding sel, serta antigen virus dapat menginduksi antibodi anti-DNA
yang akan memacu proses apotosis sel. Apoptosis menginduksi modified nuclear
autoantigen yang akan merangsang system imun dengan menghasilkan respon
imunogenik dan pembentukan autoantibody. Selain itu self antigen seperti
kompleks protein-DNA dan protein-RNA dapat menginduksi produksi antibodi.
Antigen dari luar atau (environmental antigen) dan self antigen ditangkap oleh
APC (antigen presenting cell) profesional atau terikat pada permukaan sel B
sehingga menginduksi produksi antibodi. APC professional dan sel B akan
memproses antigen menjadi peptide untuk dipresentasikan ke permukaan sel
melalui molekul HLA. Peptide yang dipresentasikan oleh molekul HLA akan
diikat oleh reseptor sel T (TCR). Untuk menstimulasi sel T, dibutuhkan molekul
tambahan seperti CD 40-CD 40L dab B7 dan CD 28 untuk mengaktivasi signal ke
dua. Sel T yang teraktivasi cytokine seperti TN-alfa, IL-10, dan interferon gamma
yang akan enstimulasi siel B memprodusi auto antibodi patogenik. Cytokine yang
berperan dalam regulasi aktivitas penyakit dan terlibat dalam organ yang berbeda
pada SLE, misalnya IL-6, didapatkan cairan cerebrospinal (CSF) penderta SLE
dengan keterlibatan system saraf pusat. Sel T helper, CD4 pada manusia dibagi
menjadi empat sub set berdasarkan profil cytokinenya. Sel TH 1 meningkarkan
ativasi makrofag dan memproduksi IL-2, IFN-gamma, TNF-alfa.sel TH2
menstimulasi produksi antibody, meningkatkan respon imun humoral dan alergi
serta memproduksi IL-4, IL-5, IL-6, IL-10, dan IL-13. Sel TH 3adalah sel
regulator yang berperan dalam toleransi imun dan memproduksi TGF-beta, IL-4

11
dan IL-10. Sedangkan sel TH0 dapat memproduksi ketiga sitokine tersebut. Pola
produksi sitokine pada kondisi penyakit tertentu mungkin bisa menggambarkan
TH1, TH2, atau TH3. Terkhusus untuk IL-10 berperan penting dalam
pathogenesis SLE karena dapat menstimulasi sel B untuk menstimulasi antibodi
dan sel B memori yang terdeposisi dalam jaringan dengan cara sel B
berproliferasi dan berdiferensiasi. Hal itu akan membuat jaringan mengalami
proses inflamasi karena reaksi antigen-antbodi yang berulang dari aktivasi sel T
dan stimulus sel B.

Gambar 3. Peran apoptosis dan mekanisme aktivasi system imun.

Sumber : IPD Jilid III Edisi VI 2014

F. Manifestasi Klinis

Penyakit SLE menyerang banyak sistem dari tubuh, sehingga kemunculan dan
perjalanan penyakitnya bervariasi. SLE adalah suatu penyakit yang ditandai
dengan peningkatan sistem kekebalan tubuh sehingga antibodi yang seharusnya
ditujukan untuk melawan bakteri maupun virus yang masuk ke dalam tubuh

12
berbalik merusak organ tubuh itu sendiri seperti ginjal, hati, sendi, sel darah
merah, leukosit, atau trombosit. Karena organ tubuh yang diserang bisa berbeda
antara penderita satu dengan lainnya, maka gejala yang tampak sering berbeda.
Jika ditemukan trias demam, nyeri sendi dan rash pada wanita usia subur, harus
dipikirkan kemungkinan terjadinya SLE. Ini karena, ketiga gejala ini merupakan
manifestasi klinis yang paling sering pada penderita SLE. 5

Waktu yang dibutuhkan antara onset penyakit dan diagnosis adalah 5 tahun.
Penyakit ini mempunyai ciri khas terdapatnya eksaserbasi dan remisi. Onset
penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitat seperti kontak dengan
12
sinar matahari, infeksi virus/bakteri, obat misalnya golongan sulfa. Dalam
selang waktu tertentu, gejala tambahan dapat terjadi. Beberapa autoantibodi
spesifik dapat ditemukan pada saat munculnya gejala klinis. Tingkat keparahan
SLE beragam mulai dari ringan dan intermediate sampai parah dan fulminan.
Beberapa pasien mengalami eksaserbasi diantarai oleh masa yang relatif tenang.
Remisi permanen sempurna yaitu hilangnya gejala tanpa pengobatan jarang
terjadi. Secara umum, manifestasi klinis penyakit SLE dapat dibedakan menjadi
manifestasi umum dan manifestasi khusus sesuai dengan organ targetnya.
Manifestasi SLE adalah sebagai berikut:

1. Manifestasi Umum

Kelelahan adalah keluhan umum pada 90% penderita SLE. Demam pada SLE
dapat mencapai > 40oC tanpa leukositosis. Demam pada penyakit ini biasanya
tidak disertai dengan menggigil. Penurunan berat badan juga dapat terjadi akibat
demam dan menurunnya nafsu makan. Gejala konstitusional lain yang sering
dijumpai pada penyakit SLE, yang timbul sebelum ataupun seiring dengan
aktivitas penyakitnya antara lain adalah rambut rontok, mual muntah dan
hilangnya nafsu makan, pembesaran kelenjar getah bening, bengkak dan sakit
kepala. 5

13
2. Manifestasi Khusus

a Manifestasi Muskuloskeletal

Kebanyakan pasien SLE memiliki poliarthritis intermitten, berderajat mulai


ringan hingga kecacatan, ditandai dengan pembengkakan jaringan lunak dan nyeri
pada sendi, paling sering pada tangan, pergelangan tangan, dan lutut. Deformitas
sendi (tangan dan kaki) terjadi hanya pada 10% pasien. Erosi pada gambaran X-
Ray sendi jarang ditemukan. Keberadaannya menandakan peradangan arthropati
non lupus seperti rheumatoid arthritis. Beberapa ahli memperkirakan bahwa erosi
dapat juga terjadi pada SLE. Jika nyeri bertahan pada satu sendi, seperti lutut,
bahu, atau pinggang, diagnosis nekrosis iskemik tulang perlu dipertimbangkan,
terutama jika tidak ada manifestasi SLE aktif lainnya. 5

Prevalensi nekrosis iskemik tulang meningkat pada SLE, terutama pada pasien
yang ditangani dengan glukokortikoid sistemik. Myositis dengan kelemahan otot
klinis, peningkatan kadar kreatinin kinase, MRI Scan positif, nekrosis otot dan
peradangan pada biopsi dapat terjadi, walaupun kebanyakan pasien mengalami
myalgia tanpa myositis yang jelas. Terapi glukokortikoid dan antimalaria dapat
juga menyebabkan kelemahan otot. Efek samping ini mesti dibedakan dari
penyakit aktif. 11

b. Manifestasi Kulit

Kelainan kulit atau selaput lendir ditemukan pada 55% kasus LES.

a). Lesi Kulit Akut

Ruam kulit yang paling dianggap khas adalah ruam kulit berbentuk kupu-kupu
(butterfly-rash) berupa eritema yang sedikit edematus pada hidung dan kedua pipi.
Karakteristik malar atau ruam kupu-kupu termasuk jembatan hidung dan
bervariasi dari merah pada erythematous epidermis hingga penebalan scaly
patches. Ruam mungkin akan fotosensitif dan berlaku untuk semua daerah terkena

14
sinar matahari. Lesi-lesi tersebut penyebarannya bersifat sentrifugal dan dapat
bersatu sehingga berbentuk ruam yang tidak beraturan. Dengan pengobatan yang
tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas.13

Gambar 4. Lupus eritematosus kutaneus akut


Sumber : George, 2012
b). Lesi Kulit Sub Akut

Lesinya bersifat simetrik, superficial, dan tidak mengalami jaringan parut.


Umumnya terkena daerah bahu, bagian ekstensor ekstremitas atas (lengan bawah),
leher, dada sebelah atas dan punggung belakang. Lesi ini umumnya bentuknya kecil,
kemerahan dan berbentuk papula atau plak yang sedikit menebal kadang-kadang
berbentuk papula squamosa atau bentuk cincin polisiklik dan menjadi besar
berkelompok dengan hipopigmentasi, tapi tidak membentuk jaringan parut (scarring).

15
Gambar 5. Lesi kulit sub akut yang khas berbentuk anular.
Sumber : George, 2012

c). Lesi Diskoid

Sebesar 2 sampai 2% lesi discoid terjadi pada usia di bawah 15 tahun. Sekitar
7 % lesi discoid akan menjadi LES dalam waktu 5 tahun, sehingga perlu di
monitor secara rutin. Hasil pemeriksan laboratorium menunjukkan adanya
antibodi antinuclear (ANA) yang disertai peningkatan kadar IgG yang tinggi dan
lekopeni ringan. Ruam diskoid adalah ruam pada kulit leher, kepala, muka,
telinga, dada, punggung, dan ekstremitas yang menimbul dan berbatas tegas,
dengan diameter 5-10 mm, tidak gatal maupun nyeri. Berkembangnya melalui 3
tahap, yaitu erithema, hiperkeratosis dan atropi. Biasanya tampak sebagai bercak
eritematosa yang meninggi, tertutup oleh sisik keratin disertai oleh adanya
penyumbatan folikel. Kalau sudah berlangsung lama akan terbentuk sikatrik. Lesi
diskoid tidak biasa di masa kanak-kanak. Namun, mereka terjadi lebih sering
sebagai manifestasi dari LES daripada sebagai diskoid lupus erythematosis (DLE)
saja; 2-3% dari semua DLE terjadi di masa kanak-kanak.14

Gambar 6. Facial discoid

16
Sumber : George, 2012

d). Livido Retikularis

Suatu bentuk vaskulitis ringan, sering ditemukan pada SLE. Vaskulitis kulit
dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil sampai yang besar. Sering
juga tampak perdarahan dan eritema periungual.13

Gambar 7. A) Livido retikularis B) eritema periungual.


Sumber : George, 2012

e). Urtikaria

Biasanya menghilang perlahan-lahan beberapa bulan setelah penyakit tenang


secara klinis dan serologis.14

c. Kelainan pada Ginjal

Nephritis lupus biasanya manifestasi SLE yang paling berat, terutama karena
nephritis dan infeksi merupakan penyebab utama mortalitas pada dekade pertama
penyakit ini. Lupus nephritis diperkirakan terjadi pada 50% pasien SLE. Pada
kebanyakan pasien ini lupus nephritis terjadi pada awal perjalanan penyakit SLE.
Karena nephritis asimptomatik pada kebanyakan pasien SLE, urinalisis sebaiknya
dilakukan pada pasien yang dicurigai mengalami SLE. Dimana hal yang paling
mencolok dari pemeriksaan urinalisis adanya proteinuria atau silinder eritosit atau

17
granuler pada pemeriksaan sedimen urin, bahkan pada keadaan yang paling ringan
dijumpa hematuri-piuria tanpa gejala, sedangkan pada keadaan lanjut dapat terjadi
kenaikan serum ureum-kreatinin dan hipertensi. Secara umum apabila pasien yang
belum mendapat terapi jumlah proteinuria < 1 gram/haridengan hematuria dan
tidak adanya silinder urin, dikenal sebagai nefritis mesangial. Dikatakan
glumerulopati membraneus bila proteinuria disertai silinder urin dengan berbagai
variasinya. Nefritis prolifertaif bilang disebut belakangan disertai hipertensi.
Berdasar hasil pemeriksaan laboratorium urinalisis didapatkan proteinuria >0,5
gram/hari atau >3+ bila tidak dilakukan pemeriksaan kuantitatif atau terdapat
silinder seluler berupa silinder eritrosit, hemoglobin, granular, tubular atau
campuran. Pemeriksaan untuk lebih jelas dilakukan biopsy ginjal untuk
mengetahui sebarapa jauh ginjal terlibat, derajat kerusakan ginjal, dan
prognosisnya untuk mendapatkan terapi yang lebih tepat. 9,10,11

d. Serositis (pleuritis dan perikarditis)

Gejala klinisnya berupa nyeri waktu inspirasi dan pemeriksaan fisik dan
radiologis menunjukkan efusi pleura atau efusi parikardial. Efusi pleura lebih
sering unilateral, mungkin ditemukan sel LE dalam cairan pleura. Biasanya efusi
menghilang dengan pemberian terapi yang adekuat.13

e. Gastrointestinal

Mual, seringkali dengan muntah, dan diare dapat menjadi manifestasi dari
suatu serangan SLE, seperti nyeri abdominal difus yang disebabkan oleh
peritonitis autoimun. Peningkatan serum aspartate aminotransferase (AST) dan
alanine aminotranferase (ALT) umum jika SLE sedang aktif. Manifestasi ini
biasanya membaik secara perlahan selama pemberian terapi glukokortikoid
sistemik. Vaskulitis yang melibatkan usus dapat mengancam nyawa. Perforasi,
iskemia, perdarahan, dan sepsis adalah komplikasi yang sering terjadi. Terapi
immunosuppressif dengan glukokortikoid dosis tinggi disarankan untuk
pengendalian jangka pendek, terjadinya rekurensi merupakan indikasi dari terapi
tambahan.. 13

18
f. Hati

Manifestasi pada hati relative lebih sering terjadi dibandingkan pada


gastrointestinal. Biasanya diperlihatkan dengan meningkatnya enzim hati seperti
SGOT/SGPT,dan alkali fosfatase. Keterlibatan hati ini dihubungkan dengan anti
fosfolipid antibody yang menyebabkan thrombosis arteri atau vena hepatica yang
akhirnya infark, untuk mengetahui lebih jelas dilakukan biopsy hati 13.

g. Gejala Susunan Saraf

a). Susunan saraf Perifer

Neuropati perifer yang terjadi berupa gangguan sensorik dan motorik.


Biasanya bersifat sementara. 15

b). Susunan Saraf Pusat

Gejala SSP bervariasi mulai dari disfungsi serebral global dengan kelumpuhan
dan kejang sampai gejala fokal seperti nyeri kepala dan kehilangan memori.
Diagnosa lupus SSP ini membutuhkan evaluasi untuk mengeksklusi ganguan
psikososial reaktif, infeksi, dan metabolik. Trombosis vena serebralis bisanya
terkait dengan antibodi antifosfolipid. Bila diagnosa lupus serebralis sudah
diduga, CT Scan perlu dilakukan. Gangguan susunan saraf pusat terdiri dari 2
kelainan utama, yaitu psikosis organik dan kejang-kejang. Penyakit otak organik
biasanya ditemukan bersamaan dengan gejala aktif LES pada sistem-sistem
lainnya. Pasien menunjukkan gejala delusi/halusinasi disamping gejala khas
kelainan organik otak.10 Kejang-kejang yang timbul biasanya termasuk tipe
grandmal. Kelainan lain yang mungkin ditemukan ialah korea, paraplegia karena
mielitis transversal, hemiplegia, afasia, psikosis, pseudotumor cerebri, aseptic
meningitis, chorea, defisit kognitif global, melintang myelitis, neuritis perifer dan
sebagainya. Mekanisme terjadinya kelainan susunan saraf pusat tidak selalu jelas.
Faktor-faktor yang memegang peranan antara lain vaskulitis, deposit gamma
globulin di pleksus koroideus. 15

h. Hematologi

19
Manifestasi hematologik yang paling sering pada SLE adalah anemia, biasanya
normokromik normositik, menandakan adanya penyakit kronis. Hemolisis dapat
cepat dalam onset dan beratnya, sehingga membutuhkan terapi glukokortikoid
dosis tinggi, dan ini efektif pada kebanyakan pasien. Leukopenia juga sering dan
hampir selalu mengandung limfopenia, bukan granulositopenia. Keadaan ini
jarang memudahkan terjadinya infeksi dan biasanya tidak membutuhkan terapi.
Trombositopenia merupakan masalah yang berulang. Jika hitung platelet
>40.000/L dan perdarahan abnormal tidak terjadi, terapi glukokortikoid dosis
tinggi biasanya efektif. 13

i. Fenomena Raynaud

Ditandai oleh keadaan pucat, disusul oleh sianosis, eritema dan kembali
hangat. Terjadi karena disposisi kompleks imun di endotelium pembuluh darah
dan aktivasi komplemen lokal. 13

j. Kardiovaskuler

Pericarditis merupakan manifestasi kardiak yang paling umum terjadi.


Biasanya pericarditis ini berespon dengan terapi anti inflamasi dan jarang
mengakibatkan tamponade jantung. Manifestasi kardiak yang lebih berat adalah
miokarditis dan endocarditis Libman-Sacks fibrinous. Keterlibatan endokardial
dapat menyebabkan insufisiensi valvular, kebanyakannya pada katup mitral atau
aorta, atau kejadian embolik. Belum terbukti bahwa terapi glukokortikoid atau
imunosuppressif dapat menyebabkan perbaikan lupus miokarditis atau
endocarditis, namun umum dilakukan pemberian dosis tinggi steroid bersamaan
dengan terapi suportif yang tepat untuk gagal jantung, aritmia, atau kejadian
embolik. Pasien dengan SLE mengalami peningkatan risiko infark miokard,
biasanya akibat percepatan terjadinya atherosclerosis, dimana kemungkinan
diakibatkan oleh peradangan kronis atau kerusakan oksidatif pada lipid dan pada
organ.13

20
Gambar 8. : Manifestasi Klinis SLE
(Dikutip dari www.lupus-support.org.uk/Nurse/CONT.htm. diakses pada tanggal
14 Maret 2014)
G . Penegakan Diagnosis

Kriteria diagnosis yang digunakan adalah dari American College of


Rheumatology 1997 yang terdiri dari 11 kriteria, dikatakan pasien tersebut SLE

21
jika ditemukan 4 dari 11 kriteria yang ada. Berikut ini adalah 11 kriteria tersebut. 3

22
Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis LES memiliki sensitifiitas
85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA
positif, maka sangat mungkin LES dan diagnosis bergantung pada pengamatan
klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan LES. Apabila hanya
tes ANA positif dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum tentu LES, dan
observasi jangka panjang diperlukan.3

H. Pemeriksaan Penunjang

Kelainan laboratorium pada LES diantaranya anemia hemolitik dan anemia


nomositer, leukopenia, trombositopenia, laju endap darah yang cepat,
hiperglobulinemia dan bila terdapat sindrom nefrotik, albumin akan rendah.
Biasanya kelainan faal hepar dan penurunan komplemen serum juga ada.
Proteinuria, biasanya bersifat gross proteinuria, merupakan gejala penting. Faktor
rematoid positif kira-kira 33% kasus. Urin diperiksa untuk mengetahui adanya
protein, leukosit, eritrosit dan silinder. Uji ini dilakukan untuk menentukan adanya
komplikasi ginjal dan untuk memantau perkembangan penyakit LES. Berikut
pemeriksaan penunjang minimal yang diperlukan untuk diagnosis dan monitoring
LES 3:

1. Hemoglobin. Leukosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)

2. Urin rutin dan mikroskopik protein kuantitatif 24 jam, bila diperlukan


pemeriksaan kreatinin darah

3. Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati dan profil lipid)

4. PT dan aPTT

5. Serologi ANA, anti-dsDNA, komplemen C3 C4

6. Foto polos toraks (pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis)

Rekomendasi pemeriksaan 3

23
- Test ANA merupakan test yang sensitif, namun tidak spesifik untuk SLE

- Test ANA dikerjakan hanya jika terdapat kecurigaan terhadap SLE

- Test Anti dsDNA positif menunjang diagnosis SLE, namun jika negatif
tidak menyingkirkan diagnosis SLE

Tes sel S.E

Sel L.E terdiri atas granulosit neutrofilik yang mengandung bahan nuclear
basofilik yang telah difagositosis, segmen nuklearnya berpindah ke perifer.
Fenomena ini disebabkan oleh factor antinuclear (factor L.E dan yang lain) yang
menyerang bahan nuclear di dalam sel yang rusak. Bahan nuclear yang berubah
dikelilingi neutrofil (bentuk rosette) yang memfagositosis bahan tersebut. Tes sel
L.E kini tidak penting karena pemeriksaan antibodi antinuclear lebih sensitif.

Antibodi antinuclear (ANA)

Pada pemeriksaan imunofluoresensi tak langsung dapat ditunjukkan (ANA) pada


90% kasus.12 Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui adanya antibody yang
mampu menghancurkan inti dari sel-sel tubuh sendiri. Selain mendeteksi adanya
ANA, juga berguna untuk mengevaluasi pola dari ANA dan antibody spesifik.
Pola ANA dapat diketahui dari pemeriksaan preparat yang diperiksa di bawah
lampu ultraviolet.13 Terdapat 4 pola ANA ialah membranosa (anular, peripheral),
homogen, berbintik dan nuclear. Yang dianggap spesifik untuk L.E.S ialah pola
membranosa, terutama jika titernya tinggi. Pola berbintik juga umum terdapat
pada L.E.S. Pada homogen kurang spesifik.16

Lupus band test

Pada pemeriksaan imunofluoresens langsung dapat dilihat pita terdiri atas deposit
granular immunoglobulin G, M atau A dan komplemen C3 pada taut epidermal-
dermal yang disebut lupus band. Caranya disebut lupus band test, specimen
diambil dari kulit yang normal. Tes tersebut positif pada 90-100% kasus L.E.S dan
90-95% kasus L.E.D.16

24
Anti-ds-DNA

Anti autoantibody yang lain selain ANA ialah anti-ds-DNA, yang spesifik untuk
S.L.E, tetapi hanya ditemukan pada 40-50% penderita. Antibodi ini mempunyai
hubungan dengan glomerulonefritis. Adanya antibodi tersebut dan kadar
komplemen yang rendah dapat meramalkan akan terjadinya hematuria dan atau
proteinuria.16

Anti-Sm

Selain anti-ds-DNA, masih ada antibody yang lain yang spesifik ialah anti-Sm,
tetapi hanya terjadi pada sekitar 20-30% penderita dan tidak ditemukan pada
penyakit lain.16

I. Diagnosis Banding3

Beberapa penyakit dengan gambaran klinis yang mirip atau beberapa tes
laboratorium yang serupa dengan LES yaitu:

1. Undifferentiated connective tissue disease

2. Sindroma Sjögren

3. Sindroma antibodi antifosfolipid (APS)

4. Fibromialgia (ANA positif)

5. Purpura trombositopenik idiopatik

6. Lupus imbas obat

7. Artritis reumatoid dini

8. Vaskulitis

25
Beberapa penyakit yang berasosiasi dengan L.E.S mempunyai gejala-gejala
yang dapat menyerupai L.E.S yakni artritis reumatika, sklerosis sistemik,
dermatomiositis, dan purpura trombositopenik.12

1. Artritis Reumatika. Otot dan kekakuan sendi biasanya paling sering di pagi
hari. Pola karakteristik dari persendian yang terkena adalah mulai pada persendian
kecil di tangan, pergelangan, dan kaki. Awitannya biasanya akut, bilateral, dan
simetris. Persendian dapat teraba hangat, bengkak, kaku pada pagi hari
berlangsung selama lebih dari 30 menit.14

2. Sklerosis Sistemik. Penyakit ini disebut juga skleroderma sistemik.


Skleroderma merupakan kolagenosis kronis dengan gejala khas bercak-bercak
putih kekuning-kuningan dan keras yang seringkali mempunyai halo ungu
disekitarnya. Sklerosis sistemik seperti skleroderma sirkumskripta tetapi secara
berturut-turut mengenai alat-alat viseral.12

3. Dermatomiositis. Penyakit mulai dengan perubahan khas pada muka


(terutama pada palpebra) yakni terdapat eritema dan edema berwarna merah ungu
kadang-kadang juga livid. Pada palpebra terdapat telangiektasis, disertai paralisi
otot-otot ekstraokular. Pada fase berikutnya timbul perubahan-perubahan kutan
yang menetap dan menyerupai Lupus Eritematosus. Kelainan di muka menjalar ke
leher, toraks, lengan bawah, dan lutut. Manifestasi patognomonik ialah papul
Gottron yaitu papul keunguan di bagian dorsolateral sendi interfalangeal dan atau
metakarpofalangeal. Fase ini disertai demam intermiten, takikardi, hiperhidrosis,
dan penurunan berat badan.12

4. Purpura Trombositopenik. Penyakit ini juga dikenal sebagai sindrom


Moschowite dengan trias : trombositopenia, anemia hemolitik, dan gangguan
susunan saraf pusat. Gejala yang timbul adalah demam, purpura berupa ekimosis,
ikterus, pembesaran limpa, disfungsi ginjal, artritis, pleuritis, fenomena Raynaud,
nyeri perut, dan pembesaran hati.15

26
J. Derajat Berat Ringannya LES

1. Kriteria untuk dikatakan SLE ringan adalah:

a. Secara klinis tenang


b. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa
c. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung,
gastrointestinal, susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit.
Contoh LES dengan manifestasi arthritis dan kulit

2.. Penyakit LES dengan tingkat keparahan sedang ditemukan:

a. Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II)

b. Trombositopenia (trombosit 20-50x103/mm3)

c. Serositis mayor

3. Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa apabila ditemukan keadaan


sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu:

a. Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria,


miokarditis,tamponade jantung, hipertensi maligna.

b. Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli


paru,infark paru, ibrosis interstisial, shrinking lung.

c. Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika.

d. Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous.

f. Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister)

g. Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati


transversa, mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma

27
demielinasi. mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma
demielinasi.

h. Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit <1.000/mm3),


trombositopenia < 20.000/mm3 , purpura trombotik trombositopenia, thrombosis
vena atau arteri.

K. Penatalaksanaan

Tujuan

Meningkatkan kesintasan dan kualitas hidup pasien LES melalui pengenalan


dini dan pengobatan yang paripurna. Tujuan khusus pengobatan SLE adalah
a)mendapatkan masa remisi yang panjang, b) menurunkan aktivitas penyakit
seringan mungkin, c) mengurangi rasa nyeri dan memelihara fungsi organ agar
aktivitas hidup keseharian tetap baik guna mencapai kualitas hidup yang optimal.
Pilar Pengobatan Lupus Eritematosus Sistemik adalah 1) Edukasi dan konseling,
2)Program rehabilitasi, 3) Pengobatan medikamentosa (OAINS, Anti malaria,
3
steroid, Imunosupresan / Sitotoksik).

3
Pengobatan LES Berdasarkan Aktivitas Penyakitnya.

1. Pengobatan LES Ringan

Pilar pengobatan pada LES ringan dijalankan secara bersamaan dan


berkesinambungan serta ditekankan pada beberapa hal yang penting agar tujuan di
atas tercapai, yaitu:

Obat-obatan

a. Penghilang nyeri seperti paracetamol 3 x 500 mg, bila diperlukan.


b. Obat anti inflamasi non steroidal (OAINS), sesuai panduan diagnosis dan
pengelolaan nyeri dan inflamasi.

28
c. Glukokortikoid topikal untuk mengatasi ruam (gunakan preparat dengan
potensi ringan)
d. Klorokuin basa 3,5-4,0 mg/kg BB/hari (150-300 mg/hari) (1 tablet klorokuin
250 mg mengandung 150 mg klorokuin basa) catatan periksa mata pada saat
awal akan pemberian dan dilanjutkan setiap 3 bulan, sementara
hidroksiklorokuin dosis 5- 6,5 mg/kg BB/ hari (200-400 mg/hari) dan periksa
mata setiap 6-12 bulan.
e. Kortikortikosteroid dosis rendah seperti prednison < 10 mg / hari atau yang
setara .
f. Tabir surya: Gunakan tabir surya topikal dengan sun protection faktor
3
sekurang-kurangnya 15 (SPF 15).

2. Pengobatan LES Sedang

Pilar penatalaksanaan LES sedang sama seperti pada LES ringan kecuali pada
pengobatan. Pada LES sedang diperlukan beberapa rejimen obat-obatan tertentu
serta mengikuti protokol pengobatan yang telah ada. Misal pada serosistis yang
refrakter: 20 mg / hari prednison atau yang setara.

3. Pengobatan SLE Berat atau Mengancam Nyawa

Pilar pengobatan sama seperti pada LES ringan kecuali pada penggunaan obat-
obatannya. Pada LES berat atau yang mengancam nyawa diperlukan obat-obatan
3
sebagaimana tercantum pada bagan .

29
Gambar 9. Algoritma penatalaksanaan LES berdasarkan derajat
beratnya. Sumber : Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011

TR tidak ada respon, RS respon sebagian, RP respon penuh. KS kortikosteroid


setara prednisone, MP metilprednisolon, AZA azatioprin, OAINS obat anti
inflamasi nonsteroid, CYC siklofosfamid, NPSLE neuropsikiatri SLE.

30
Tabel 1. Jenis Dan Dosis Obat Yang Dipakai Pada SLE

Jenis Obat Dosis Jenis Evaluasi Pemantauan

Toksisitas Awal
Klinis Laboratorik

OAINS Tergantung Perdarahan Darah rutin, Gejala Darah rutin,


OAINS saluran cerna, kreatinin, gastro- kreatinin,
hepatotoksik, urin rutin, intestinal AST/ALT
sakit kepala, AST/ALT setiap 6 bulan.
hipertensi,
aseptic,
meningitis,
nefrotoksik.
Kortiko- Tergantung Cushingoid, Gula darah, Tekanan Glukosa
Steroid derajat SLE hipertensi, profil lipid, darah
dislipidemi, DXA,
ostoenekrosis, tekanan

hiperglisemia, darah
katarak,
osteoporosis.
Klorokuin 250 mg/hari Retinopati, Evaluasi Fundusk
(3,5-4 keluhan GIT, mata, G6PD opi dan
mg/kgBB/ rash, mialgia, pada pasien lapangan
hari) sakit kepala, berisiko pandang
anemi mata
Hidrosiklor 200-400mg/

31
hemolitik setiap 3-
o- kuin hari
dengan 6 bulan.
defisiensi
G6PD.
Azatioprin 50-150 mg Mielosupresif Darah tepi Gejala Darah tepi
per hari, , lengkap, mielo- lengkap tiap 1-
dosis hepatotoksik, kreatinin, supresif 2 minggu dan
terbagi 1-3, gangguan AST/ALT selanjutnya 1-3
tergantung limfoprolifera bulan interval.
berat badan Tif AST tiap tahun
dan pap smear
secara teratur.
Siklofosfamid Per oral; 50- Mielosupresif Darah tepi Gejala Darah tepi
150 mg per , gangguan lengkap, mielo- lengkap dan
hari. IV : limfoprolifera hitung jenis supresif, urin lengkap
500-750 tif, leukosit, hematuri tiap bulan,
2
mg/m keganasan, urin a dan sitologi urin
dalam imunosupresi lengkap. infertilita dan pap smear
Dextrose f, sistitis s. tiap tahun
250 ml, hemoragik, seumur hidup.
infuse infertilitas
selama sekunder.
1jam.

Metotreksat 7,5-20 mg/ Mielosupresif Darah tepi Gejala Darah tepi


minggu, , fibrosis lengkap, mielo- lengkap,

32
dosis hepatic, foto toraks, supresif, terutama
tunggal atau sirosis, serologi sesak hitung
terbagi 3. infiltrate hepatitis nafas, trombosit tiap
Dapat pulmonal dan B&C, AST, mual dan 4-8 minggu,
diberikan fibrosis. fungsi hati muntah, AST/ALT dan
pula melalui kreatinin. ulkus albumin tiap 4-
injeksi. mulut. 8 minggu, urin
lengkap dan
kreatinin.

Siklosporin 2,5-5 Pembengkaka Darah tepi Gejala Kreatinin,


A mg/kgBB n, nyeri gusi, lengkap, hipersens LFT, Darah
atau sekitar peningkatan kreatinin, itifitas tepi lengkap.
100-400 mg TD, urin terhadap
per hari peningkatan lengkap castor oil
dalam 2 pertumbuhan LFT. (bila obat
dosis rambut, diberikan
tergantung gangguan injeksi),
berat badan. fungsi ginjal, TD,
nafsu makan fungsi
menurun, hati dan
tremor. ginjal.

Mikofenolat 1000-2000 Mual, diare, Darah tepi Gejala Darah tepi


Mofetil mg dalam 2 leukopenia. lengkap, gastroint lengkap
dosis. feses estinal; terutama
lengkap. mual, leukosit dan
muntah. hitung

33
jenisnya.

Kortikortikosteroid

Kortikortikosteroid digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien dengan


SLE. Meski dihubungkan dengan munculnya banyak laporan efek samping,
kortikosteroid tetap merupakan obat yang banyak dipakai sebagai anti inflamasi
dan imunosupresi. Dosis kortikosteroid yang digunakan juga bervariasi. Indikasi
Pemberian Kortikortikosteroid ; Pembagian dosis kortikosteroid membantu kita
dalam menatalaksana kasus rematik. Dosis rendah sampai sedang digunakan pada
SLE yang relatif tenang. Dosis sedang sampai tinggi berguna untuk SLE yang
aktif. Dosis sangat tinggi dan terapi pulse diberikan untuk krisis akut yang berat
seperti pada vaskulitis luas, nephritis lupus, lupus cerebral.Efek samping
kortikortikosteroid tergantung kepada dosis dan waktu, dengan meminimalkan
3
jumlah kortikortikosteroid, akan meminimalkan juga risiko efek samping.

Gambar 10. terminology penbagian kortikosteroid

Sumber : IPD Jilid III Edisi VI 2014

Obat Imunosupresan atau Sitotoksik

Terdapat beberapa obat kelompok imunosupresan / sitotoksik yang biasa


digunakan pada SLE, yaitu azatioprin, siklofosfamid, metotreksat, siklosporin,
mikofenolat mofetil. Pada keadaan tertentu seperti lupus nefritis, lupus serebritis,

34
perdarahan paru atau sitopenia, seringkali diberikan gabungan antara
kortikortikosteroid dan imunosupresan /sitotoksik karena memberikan hasil
3
pengobatan yang lebih baik.

17
L. Pencegahan

Penderita harus menghindarkan trauma fisik, sinar matahari, lingkungan yang


sangat dingin dan stress emosional. Antara pencegahan yang dapat dilakukan
adalah:

1. Memakai krim (sunscreen) apabila keluar dari rumah


2. Memakai pakaian yang menutup ekstremitas
3. Mengelakkan pemberhentian penggunaan kortikosteroid secara tiba-tiba.
4. Istirahat
5. Jika penderita menderita demam atau ada tanda-tanda infeksi maka harus
diobati dengan segera.
6. Mengkonsumsi vitamin antioksidan untuk mengurangkan efek daripada stress
oksidatif
7. Perubahan gaya hidup untuk meningkatnya daya imun.
8. Kelelahan bisa karena sakitnya atau penyakit lain, seperti anemi, demam
infeksi, gangguan hormonal, komplikasi pengobatan, atau stres emosional. Upaya
mengurangi kelelahan disamping obat ialah cukup istirahat, pembatasan aktivitas
yang berlebih, dan mampu mengubah gaya hidup.
9. Hindari Merokok
10. Hindari perubahan cuaca karena mempengaruhi proses inflamasi
11. Hindari stres dan trauma fisik
12. Diet sesuai kelainan, misalnya hyperkolestrolemia
13. Hindari pajanan sinar matahari, khususnya UV pada pukul 10.00 sampai 15.00
14. Hindari pemakaian kontrasespsi atau obat lain yang mengandung hormon
estrogen.

35
M. LES dan Kehamilan3

Kesuburan penderita LES sama dengan populasi wanita bukan LES. Beberapa
penelitian mendapatkan kekambuhan lupus selama kehamilan namun umumya
ringan, tetapi jika kehamilan terjadi pada saat nefritis masih aktif maka 50-60%
eksaserbasi, sementara jika nefritis lupus dalam keadaan remisi 3-6 bulan sebelum
konsepsi hanya 7-10% yang mengalami kekambuhan. Kemungkinan untuk
mengalami preeklampsia dan eklampsia juga meningkat pada penderita dengan
nefritis lupus dengan faktor predisposisi yaitu hipertensi dan sindroma anti
fosfolipid (APS). Penanganan penyakit LES sebelum, selama kehamilan dan
pasca persalinan sangat penting. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah:

1. Jika penderita LES ingin hamil dianjurkan sekurang-kurangnya setelah 6 bulan


aktivitas penyakitnya terkendali atau dalam keadaan remisi total. Pada lupus
nefritis jangka waktu lebih lama sampai 12 bulan remisi total. Hal ini dapat
mengurangi kekambuhan lupus selama hamil.
2. Medikamentosa:
a. Dosis kortikosteroid diusahakan sekecil mungkin yaitu tidak melebihi 7,5
mg/hari prednison.
b. DMARDs atau obat-obatan lain seyogyanya diberikan dengan penuh kehati-
hatian. Perhatikan rekomendasi sebelum memberikan obat-obat.

Kontraindikasi untuk hamil pada wanita dengan LES

Sebaiknya penderita lupus tidak hamil dalam kondisi berikut ini:

1. Hipertensi pulmonal yang berat (Perkiraan PAP sistolik >50 mm Hg atau


simptomatik)
2. Penyakit paru restriktif (FVC <1 l)
3. Gagal jantung
4. Gagal ginjal kronis (Kr >2.8 mg/dl)

36
5. Adanya riwayat preeklamsia berat sebelumnya atau sindroma HELLP
(Hemolitic anemia, elevated liver function test, low platelet) walaupun sudah
diterapi dengan aspirin dan heparin
6. Stroke dalam 6 bulan terakhir
7. Kekambuhan lupus berat dalam 6 bulan terakhir.

37
BAB III

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS
Nama : Ny. N
Umur : 30 thn
Alamat : Parigi
Tanggal Pemeriksaan : 22//06/2018
Ruangan : Bogenvile

B. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Lemas
Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien perempuan umur 30 tahun masuk
rumah sakit dengan keluhan lemas seluruh tubuh. Lemas dirasakan sejak
kurang lebih 5 bulan yang lalu. Keluhan awalnya dirasakan ringan, membaik
dengan berisitirahat dan pasien masih bisa berkativitas seperti biasa. Lemas
dirasakan terus-menerus dan semakin lama memberat, tidak membaik walau
pasien telah beristirahat. Sebelum merasakan lemas seluruh badan pasien
mengalami nyeri sendi, nyeri hampir diseluruh bagian sendi terasa ngilu.
Pasien sebelumnya MRS di parigi karena lemas, dan pada saat di periksa lab
pasien mengalami penurunan hemoglobin dan diharuskan transfuse darah.
Saat di rawat pasien didapatkan keluhan lain yaitu bercak-bercak kemerahan
pada muka, lengan atas kanan dan kiri, telapak tangan dan telapak kaki. Tapi
lama kelamaan bercak berubah menjadi luka yang awalnya kecil lalu
membesar dan sudah terjadi luka terbuka. Sebelumnya pasien belum pernah
mengalami keluhan fotosensitivitas. Karena keluhan lemas dan luka pada
muka maka pasien di rujuk ke RSUD Undata Palu pada bulan juni, selain itu
pasien meneluhkan adanya sesak, pusing dan sakit kepala pada saat
perawatan.

38
Riwayat Penyakit Dahulu : Pada tahun 2016 pasien mengalami hal
yang sama dimana pada tangan muncul bercak kemerahan hingga melepuh,
wajah, dan di badan. Disertai panas badan dan menggigil.
Hipertensi (-), Jantung (-) Diabetes mellitus (-) riwayat penyakit kuning (-)

Riwayat Penyakit Dalam Keluarga :


Tidak ada yang mengalami kondisi yang sama
C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum:
Status Present: CM/SB
GCS : E:4 V:5 M:6
Vital Sign
TD: 110/70 mmHg
N : 83x/menit
R : 26 x/menit
S : 36,7°C
Kepala
Wajah : Simetris, tampak ruam dan luka
Deformitas : Tidak ada
Bentuk : Normochepal
Rambut : Hitam, Mudah tercabut
Mata
Eksoptalmus/Enoptalmus : (-)
Konjungtiva : Anemis +/+
Sklera : Ikterus -/-
Kornea : Refleks cahaya (+/+)
Pupil : Bulat, isokor +/+ 2,5mm/2,5mm
Hidung
Perdarahan : (-)
Mukosa Ulcer : (+)
Telinga

39
Pendengaran : Normal
Nyeri tekan di Proc Mastoideus : (-)
Mulut
Bibir : Sianosis (-)
Gigi : Caries (-)
Lidah : Lidah kotor (-), kandidiasis oral (-).
Gusi : Perdarahan (-)
Tonsil : T1/T1, dalam batas normal
Pharynx : Hiperemis (+), Ulcer
Leher
KGB : Pembesaran (-)
Tiroid : Pembesaran (-)
JVP : Peningkatan (-) 5-2 cmH2O
Pembuluh darah : Pulsasi (+),Dilatasi (-)
Kaku Kuduk : (-)
Massa Lain : Tidak ada
Dada
Paru-Paru
Inspeksi : Simetris bilateral, Normochest, Pelebaran sela iga (-),
Spider Nevi (+)
Palpasi : Massa Thorax (-), Vocal fremitus simetris bilateral
Perkusi : Sonor dikedua lapang paru
Auskultasi : Bunyi nafas vesiculer, Rh -/-, Wh -/-
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba
Perkusi :
Batas atas : SIC II linea parasternalis sinistra
Batas Kanan : SIC IV linea parasternalis dextra
Batas Kiri : SIC V linea axillaris anterior sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I/II murni irreguler, Murmur (-), Gallop (-)

40
Perut
Inspeksi : Cembung, ikut gerak nafas, caput medusa (-) kesan ascites
(-)
Auskultasi : Peristaltik (+), kesan normal
Perkusi : thympani (+)
Palpasi : Distensi abdomen (+), hepatomegaly (-), ,asites (-), nyeri
tekan kuadran tengah dan kiri atas (-)
Punggung
Inspeksi : Simetris Bilateral
Palpasi : Massa Tumor (-), Nyeri Tekan (-), Nyeri Ketok (-)
Anggota Gerak
Atas : Akral Hangat +/+, edema -/-
Bawah : Akral Hangat +/+, edema -/-

D. RESUME :
Pasien perempuan umur 30 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan lethargy
seluruh tubuh. lethargy dirasakan sejak kurang lebih 5 bulan yang lalu. Keluhan
awalnya dirasakan ringan, membaik dengan berisitirahat dan pasien masih bisa
berkativitas seperti biasa. lethargy dirasakan terus-menerus dan semakin lama
memberat, tidak membaik walau pasien telah beristirahat. Sebelum merasakan
lethargy seluruh badan pasien mengalami arthralgia, nyeri hampir diseluruh
bagian sendi terasa ngilu. Pasien sebelumnya MRS di parigi karena lethargy, dan
pada saat di periksa lab pasien mengalami penurunan hemoglobin dan diharuskan
transfusi darah. Saat di rawat pasien didapatkan keluhan lain yaitu ruam pada
wajah, ektremitas atas dan bawah, kiri dan kanan. Tapi lama kelamaan bercak
berubah menjadi luka yang awalnya kecil lalu membesar dan sudah terjadi luka
terbuka. Karena keluhan lethargy dan luka pada muka maka pasien di rujuk ke
RSUDUndata Palu pada bulan Juni 2018. BAB seperti biasa, BAK lancar
Keadaan umum : sakit sedang, kesadaran : composmentis. Pada tanda-tanda vital
di dapatkan TD: 110/80 mmHg, N : 83 x/m, R : 26 x/m, S : 36,7°C. pada

41
pemeriksaan fisik di dapatkan Kepala : normocephal (+), Wajah : tampak lemas
dan terdapat ruam dan luka pada wajah.Rambut : allopesia. Mata : anemis (+/+).
Hidung : terdapat ulkus mukosa. Mulut : terdapat mukosa ulcer, hiperemis daerah
faring dan oral ulcer. Pada pemeriksaan Thorax : inspeksi simetris, palpasi vocal
fremitus , perkusi sonor , auskultasi vesicular, rhonci : (-/-). Abdomen dalam
batas normal.

E. DIAGNOSIS KERJA : Susp. SLE

F. DIAGNOSIS BANDING : arthritis rheumatoid, sklerosis sistemik,


dermatomiositis, pupura trombositopenia.

G. USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG:


- Darah rutin
- Ureum, kreatinin dan fungsi hati
- Urinalisis
- ANA dan Ani dsDNA
- Foto thorax
- EKG
H. HASIL PEMERIKSAAN PENUNJANG

Darah lengkap :
- RBC : 3.12 x 106/UL
- WBC : 2,05 x 103/UL
- HGB : 9.7 x g/dl (Menurun)
- HCT : 30.5 % (Menurun)
- PLT : 10 X 103/UL (menurun)
Kimia darah :
- SGOT : 12 U/L
- SGPT : 10 U/L
Urinalisis :

42
- pH : 6.0
- Berat Jenis : 1.020
- Protein : +3
- Reduksi : Negatif
- Urobilinogen : normal
- Bilirubin : Negatif
- Keton : Negatif
- Nitrit : Negatif
- Blood : Negatif
- Leukosit : +1
- Asam Askorbat: Negatif
- Sedimen :
 Leukosit : 12 /lbp
 Eritrosit : 6 /lbp
 Kristal : Negatif
 Silinder : Negatif
 Sel Epitel : ++
 Bakteri : Negatif
Pemeriksaan Imunologi- Serologi
ANA (IF) Positif : 3.64
Anti Ds DNA Positif : 261.39

I. PENATALAKSANAAN
Non Medikamentosa :
- Tirah Baring (Bed Rest)
- Edukasi dan konseling : penjelasan tentang penyakit lupus, perjalanan
penyakit, program pengobatan yang direncanakan, komplikasi dan
perlunya upaya pencegahan
Medikamentosa :
- IVFD NaCL 20 Tpm
- Mecobalamin 1 amp 3ml drips/ hari

43
- Omeprazole 1vial 40mg/ml /8 jam/iv
- Nystatin drops/ hari
- Transfuse PRC 2 kantong 500cc/hari
- Prednison 1x20 mg per oral (4-6 minggu)
- methylprednisolone 500mg/24 jam iv
- Azatioprin 50 mg/24jam
- PCT 3x500mg
J. DIAGNOSIS AKHIR : SLE
K. PROGNOSIS : Dubia ad malam

44
BAB IV

KESIMPULAN

Lupus Eritematosus Sistemik didefinisikan sebagai penyakit inflamasi


autoimun sistemik, dimana sistem tubuh menyerang jaringannya sendiri. Etiologi
penyakit LES merupakan interaksi antara faktor genetik, faktor imunologis, faktor
lingkungan, dan faktor hormonal. Pada LES interaksi antar keempat faktor
tersebut merespon tubuh untuk membentuk autoantibodi, selanjutnya membentuk
kompleks imun yang terdeposisi pada jaringan atau organ yang akhirnya
menimbulkan gejala inflamasi atau kerusakan jaringan.

Gejala klinis dan perjalanan penyakit LES sangat bervariasi. Penyakit dapat
timbul mendadak disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh.
Diagnosis LES menurut Acute rheumatologu arthritis (ARA) ditegakkan bila
terdapat paling sedikit 4 dari 11 kriteria ARA tersebut, meliputi : butterfly rash,
bercak diskoid, fotosensitf, ulkus mulut, arthritis, serositif, gangguan ginjal,
gangguan saraf, gangguan darah, gangguan imunologi dan gangguan antinuklear.

Penatalaksanaan LES dilaksanakan secara komprehensif meliputi non medika


mentosa dan medika mentosa. Tujuan dari terapi LES yaitu untuk meningkatkan
kesintasan dan kualitas hidup pasien LES melalui pengenalan dini dan pengobatan
yang paripurna.

45
BAB V

PEMBAHASAN

Pasien perempuan umur 30 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan


lemas seluruh tubuh. Lemas dirasakan sejak kurang lebih 5 bulan yang lalu.
Keluhan awalnya dirasakan ringan, membaik dengan berisitirahat dan pasien
masih bisa berkativitas seperti biasa. Lemas dirasakan terus-menerus dan semakin
lama memberat, tidak membaik walau pasien telah beristirahat. Sebelum
merasakan lemas seluruh badan pasien mengalami nyeri sendi, nyeri hampir
diseluruh bagian sendi terasa ngilu. Bercak-bercak kemerahan juga terdapat pada
muka, lengan atas kanan dan kiri, telapak tangan dan telapak kaki. Tapi lama
kelamaan bercak berubah menjadi luka yang awalnya kecil lalu membesar dan
sudah terjadi luka terbuka. Keluhan lain yang dirasakan ialah baru batuk. BAB
seperti biasa, BAK lancar
Keadaan umum : sakit sedang, kesadaran : composmentis. Pada tanda-
tanda vital di dapatkan TD: 110/80 mmHg, N : 83 x/m, R : 26 x/m, S:
36,7°C. Pada pemeriksaan fisik di temukan wajah tampak lemas dan sedikit pucat
.konjungtiva anemis.
Pada pemeriksaan labolatorium, di dapatkan hasil darah rutin RBC : 3.12 x
106/UL, WBC : 2.05 x 103/UL, HGB : 9.7 x g/dl (Menurun), HCT : 30.5 %
(Menurun), PLT : 10 X 103/UL. Pemeriksaan fungsi hati SGOT : 12 U/L, SGPT :
10 U/L .
Pada urinalisis pH : 6.0, berat jenis : 1.020, Protein +3, Reduksi : negative,
Urobilinogen : normal, Bilirubin : negative , Keton: nregatif , Nitrit :Negatif,
Blood: Negatif, Leukosit: +1, Asam Askorbat: Negatif, Sedimen : Leukosit :
12/lbp, Eritrosit : 6/lbp, Kristal: Negative , Silinder : Negatif, Sel Epitel: ++,
Bakteri: Negatif.

Pemeriksaan Imunologi- Serologi


ANA (IF) Positif : > 1: 1000
Anti Ds DNA Positif : 741.10

46
Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang diagnosis untuk pasien ini
mengarah ke diagnosis SLE. Berdasarkan teori SLE pada anamnesis dan
pemeriksaan fisik, berdasarkan American Collage of Rheumatology telah
ditetapkan 11 kriteria dalam mendiagnosis SLE antara lain adanya ruam pada
wajah, ulser pada rongga muut, arthritis, gangguan pada saraf, gangguan pada
hematologi, gangguan imunologi, dan antibody nuclear. 8,9

Diagnosis lupus eritematosus sistemik dapat diperkuat dengan pemeriksaan


spesifik untuk menilai kadar autoimun pada pasien. Untuk pemeriksaan gangguan
imunologis dapat dilakukan Tes Coombs dan Tes Antinuclear Antibody (ANAs).
Pada Tes Coombs akan ditemukan antiphospholipid antibody (anticardiolipin
immunoglobulin G [IgG] atau immunoglobulin M [IgM] atau lupus antikoagulan)
yang positif. Hal ini menandakan adanya antibodi pada sel tubuh yang normal
yang menyebabkan limfosit menganggap sel tubuh normal sebagai antigen.4,9

Antinuclear antibodies (ANAs) dianggap positif pada pasien dengan LES


apabila ditemukan titer tinggi (>1:160) diperiksakan pada kondisi tidak sedang
menggunakan obat-obatan yang menginduksi lupus. Tujuan dari pemeriksaan
ANA adalah untuk mencari autoantibodi yang positif pada >95% pasien. Hasil
titer IgG yang tinggi terhadap double stranded DNA (dsDNA) adalah spesifik
untuk pasien sistemik lupus eritematus.4,7,9 Pada pasien ditemukan tes ANA dan
dsDNA positif sehingga pasien di diagnosis SLE karena memenuhi lebih dari 4
kriteria dari kriteria ARA dengan kondisi leucopenia dan anemia mikrositik
hipokrom.

Penatalaksanaan pada kasus ini Tujuan penatalaksaan LES adalah untuk


mengurangi gejala dan melindungi organ. Pasien LES dengan keterlibatan organ
biasanya diberikan kortikosteroid untuk menekan inflamasi sehingga tidak
terdapat kerusakan organ lebih lanjut. Kortikosteroid lebih baik dari NSAID
dalam mengurangkan peradangan terutama jika melibatkan organ dalam.

47
Kortikosteroid dapat diberikan peroral, injeksi langsung ke persendian atau
intravena.5,6
Pada pasien diberikan kortokosteroid dosis tingggi, methylprednisolone 16mg
per oral karena pasien mengalami kondisi anemia hemolosis autoimun. Pada
pasien diberikan Paracetamol 3x500mg bertujuan sebagai analgesik secara
spesifik untuk nyeri pada pasien. Penggunaan kortikosteroid dosis tinggi
menyebabkan perlunya monitoring pasien karena efek samping yang ditimbulkan
akibat penggunaan obat ini. Pasien perlu dilakukan KIE agar melindungi diri dari
paparan sinar matahari dan menghindari aktivitas kerja yang berat.3,7
Angka bertahan hidup pada pasien LES adalah 90 sampai 95% setelah 2
tahun,82 sampai 90% setelah 5 tahun, 71 sampai 80% setelah 10 tahun, dan 63
sampai 75%setelah 20 tahun. Prognosis buruk (sekitar 50% mortalitas dalam 10
tahun) dikaitkan dengan ditemukannya kadar kreatinin serum tinggi [>124 µmol/l
(>1,4 mgdl)], hipertensi, sindrom nefrotik (eksresi protein urin 24 jam >2,6 g),
anemia [hemoglobin<124 g/l (12,4 g/dl)], hipoalbuminemia,
hipokomplemenemia, dan aPL pada saat diagnosis.1,3,9
Penyebab mortalitas utama pada dekade pertama penyakit adalah aktivitas
penyakit sistemik, gagal ginjal, dan infeksi; selain itu, kejadian tromboemboli
semakin sering menjadi penyebab mortalitas.2,7
Pada pasien didapatkan diagnosis dubia ad malam dengan sifat dari
penyakit ini yang progresif. Pada pasien didapatkan anemia hemolitik, proteiuria
dan heamaturia. Kerusakan ginjal pada pasien telah terjadi.

DAFTAR PUSTAKA

48
1. Anna MQ, Peter VR, et al. Diagnosis of Systemic Lupus Eritemat osus.
Diunduh 31 Agustus 2013 : http://www.aafp.org

2. Bertsias G, Ricard Cervera, Dimitrios T Boumpas. Systemic Lupus


Erythematosus: Pathogenesis and Clinic al Features. Diunduh 2 September
2013 :http://www.eular.org/edu_textbook.cfm. pp: 476-5055.

3. Hom G, Graham RR, Modrek B, Taylor KE, Ortmann W, Garnier S, et al


Association of Systemic Lupus Erythematosus with C8orf13-BLK and ITGAM-
ITGAX. N Engl J Med 2008 Jan 20; 358: 900-9.7.

4. Kasper DL, Braunwald E, Fauci A, Hauser S, Longo D, Jameson JL


Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th ed. USA: McGraw-Hill; 2005.8.

5. Isselbacher, Braunwald, Wilson, Martin,Fauci,Kasper.2000.Lupus


Eritematosus Sistemik. Dalam Harrison : Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta : EGC, p: 1835.9.

6. Golman L, Ausiello D (eds). Cecil Textbook of Medicine. 22nd ed. USA:


WB SaundersCompany; 2003.10.

7. Petri MA, Systemic lupus erythematosus: Clinical aspects. In: Koopman


WJ. Editor.Arthritis and Allied conditions. 15th ed. Philadelphia Lippincott
William & Wilkins. 2005:1473-147411.

8. Mok C. C, C S Lau. Pathogenesis of systemic lupus erythematosus. J Clin


Pathol 2003;56:481 – 49012.

9. Setiati S., Alwi I., Sudoyo S. W., et al. 2014. Ilmu Penyakit Dalam. Subab
Imunopatogenesis Lupus Eritematosus Sistemik. Jakarta pusat. Hal 3334-3347

10. McPhee SJ, Ganong WF. 2006. Pathophysiology of


Disease. 5th ed. USA: McGraw HillCompanies

11. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editors. Buku
ajar ilmu penyakit dalam. Jilid II. 4th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2009.

12. Hahn B.H. Systemic Lupus Erythematosus. In Longo D.L, Fauci A.S.,
Kasper D.L, Hauser S.L, Jameson J.L, Loscalzo J. Harrison’s Principles of
Internal Medicine. Edisi 18. United States of America; Mc Graw Hill Companies;
2012. H 2724-35.

13. Perhimpunan Rheumatologi Indonesia. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus


Eritematosus Sistemik. Jakarta. Perhimpunan Rheumatologi Indonesia. 2011.

49
14. Jakes RW, et al. Systematic review of the epidemiology of systemic lupus
erythematosus in the Asia-Pasific region: prevalence, incidence, clinical features,
and mortality. Americam College of rheumatology 2012; 64(2) : 159-68.

15. Dorland WAN. Kamus saku kedokteran dorland. 28th ed. Hartanto YB,
editor. Jakarta: EGC; 2012.

16. Rosani S. Lupus eritematosus sistemik dalam kapita selekta kedokteran ed


IV. Jakarta : Media Aesculapius; 2014.h 842-45.

17. Bertsias G, et al. Systemic lupus erythematosus : pathogenesis and


clinical features. Eular textbook of rheumatic disease 2012; 20: 476-505.

18. Tjokoprawiro A. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Surabaya : Universitas


Airlangga; 2007. h 235-41.

19. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi robbins. 7th ed.
Jakarta: EGC; 2009.

20. Ginzler EM. Systemic lupus erythematosus rheumatic disease clinics of


north America. Elsevier 2010; 36(1).

21. Pathak S. Cellular and molecular pathogenesis of systemic lupus


erythematosus: lessons from animal models. BioMed central 2011; 241(13) : 1-9.

22. Marisa S. Klein-Gitelman, Michael L. Miller, Chapter 148 - Systemic


Lupus Erythematosus : Nelson Textbook of Pediatrics 17th edition. W.B Saunders,
Philadelphia. 2003. p810-813.

23. Fritzpatrick’s. Systemic Lupus Erythematosus. Colour Atlas and Synopsis


of Clinical Dermatology. Wolf, Johnson, Suurmond. McGraw Hill. 5th edition.
2005. h 384-7.

50

Anda mungkin juga menyukai