Refarat Tama Sle
Refarat Tama Sle
PENDAHULUAN
Penyakit ini ditandai oleh adanya periode remisi dan episode serangan akut
dengan gambaran klinis yang beragam berkaitan dengan berbagai organ yang
terlibat. SLE merupakan penyakit yang kompleks dan terutama menyerang wanita
usia reproduksi. Dalam 30 tahun terakhir, LES telah menjadi salah satu penyakit
rematik utama di dunia. Di Amerika Serikat dilaporkan prevalensi LES yaitu 52
kasus per 100.000 penduduk dengan insidensi per tahunnya sekitar 5.1 kasus per
100.000 penduduk. Di Asia, prevalensi LES yaitu sekitar 4.3-37.7 kasus per
100.000 penduduk dimana negara Cina memiliki insidensi terbanyak yaitu 3.1
kasus per 100.000 penduduk. Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo
(RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4% kasus LES dari total kunjungan pasien di
poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam, sementara pada tahun 2010 di RS Hasan
Sadikin Bandung terdapat 291 pasien (10.5%) dari total pasien yang berobat ke
poliklinik reumatologi. 90% pasien LES adalah perempuan usia muda dengan
insiden puncak pada usia 15-40 tahun selama masa reproduksi. Rasio penyakit
LES pada perempuan dan laki-laki adalah 9:1. Angka morbiditas dan mortalitas
pasien LES masih cukup tinggi. Dilaporkan survival rate 5 tahun pasien LES di
RSCM adalah 88% dari pengamatan 108 orang pasien yang berobat dari tahun
1,3,4
1990-2002.
2
Perjalanan penyakit LES bersifat fluktuatif dan memiliki risiko kematian
yang tinggi, oleh karena itu diperlukan upaya pengenalan dini serta
penatalaksanaan yang tepat. Untuk menegakkan diagnosis LES dilakukan melalui
kriteria yang ditetapkan oleh Acute Rheumatology Arthritis (ARA) revisi tahun
1997, ditegakkan bila ditemukan 4 dari 11 kriteria. Penatalaksanaan LES
dilaksanakan secara komprehensif meliputi non medika mentosa dan medika
mentosa. Untuk penatalaksanaan awal pasien LES yang baru terdiagnosis,
penyuluhan dan intervensi psikologis sangat diperlukan. Sedangkan untuk
pemilihan terapi ditentukan berdasarkan derajat beratnya LES dengan tujuan
terapi yaitu untuk mengontrol serangan akut, severe flare, dan mengontrol gejala
1,2
sehingga bisa ditoleransi oleh pasien.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Kata “lupus” dalam bahasa latin berarti serigala, ”erythro” berasal dari
bahasa yunani yang berarti merah, sehingga lupus digambarkan sebagai daerah
merah sekitar hidung dan pipi, yang dikenal dengan butterfly - shaped malar
4
rash.
B. Epidemiologi
4
prevalensi LES yaitu sekitar 4.3-45.3 kasus per 100.000 penduduk dimana
Australia sebagai negara dengan prevalensi tertinggi yaitu 45.3 kasus per 100.000
penduduk. Di Asia, prevalensi LES yaitu sekitar 4.3-37.7 kasus per 100.000
penduduk dimana negara Cina memiliki insidensi terbanyak yaitu 3.1 kasus per
100.000 penduduk. SLE lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti bangsa
negro, China, dan mungkin juga Filipina.1,4
Angka morbiditas dan mortalitas pasien LES masih cukup tinggi, dimana
angka kematian pasien LES hampir 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan
populasi umum. Dilaporkan survival rate 5 tahun pasien LES di RSCM adalah
88% dari pengamatan 108 orang pasien yang berobat dari tahun 1990-2002.3
Sedangkan berdasarkan usia, angka survival rate SLE untuk 1-5, 5-10, 10-15, 15-
20, dan 20 tahun adalah 93-97%, 84-95%, 70-85%, 64-80%, dan 53-64%.3 Hasil
studi yang dilakukan oleh Rupert W.Jakes tahun 2012 menyatakan survival rate
LES 93-98% dalam 1 tahun, 60-97% dalam 5 tahun, dan 70-94% dalam 10 tahun.
Pada tahun-tahun pertama mortalitas SLE berkaitan dengan aktivitas penyakit dan
infeksi (termasuk infeksi M. tuberculosis, virus, jamur dan protozoa), sedangkan
dalam jangka panjang berkaitan dengan penyakit vaskular aterosklerosis
Penyebab tingginya angka morbiditas dan mortalitas pada LES di negara Asia-
Pasifik yaitu 30-80% karena infeksi, 19-95% penyakit LES yang aktif, 6-40%
keterlibatan kardiovaskular, dan 7-36% karena adanya abnormalitas ginjal.
Faktor ekonomi dan geografi tidak mempengaruhi distribusi penyakit. Pria
dengan lupus cenderung memiliki lebih sedikit fotosensitivitas, akan tetapi jika
5
usia tua dan baru terdiagnosis mortalitasnya tinggi dibandingkan dengan wanita.
Pada pasien wanita yang terdiagnosis SLE cenderung lebih ringan dalam usia tua
dengan insiden lebih rendah dari ruam malar, fotosensitivitas, purpura, alopesia,
fenomena Raynaud, ginjal dan keterlibatan sistem saraf pusat, tetapi prevalensi
yang lebih besar serositis, keterlibatan paru, gejala sicca, dan manifestasi
muskuloskeletal.3,4,6
C Etiologi
6
darah, organ dan jaringan tubuh, sehingga terjadi penyakit menahun. Mekanisme
maupun penyebab dari penyakit autoimun ini belum sepenuhnya dimengerti
tetapi diduga melibatkan faktor lingkungan dan keturunan.
a. Terdapat indeks yang tinggi (25%) pada kembar monozigotik dan kembar
dizigotik (1-3%).
b. Anggota keluarga mempunyai risiko yang meningkat untuk menderita LES dan
hingga 20% pada kerabat tingkat pertama yang secara klinis tidak terkena dapat
menunjukkan adanya autoantibodi. Ikatan saudara kandung memiliki risiko 30
kali lebih besar untuk menderita penyakit LES.
c. Pada populasi kulit orang putih di Amerika Utara terdapat hubungan positif
antara LES dengan gen HLA kelas II, terutama pada lokus HLA-DQ.
Adanya sindrom menyerupai lupus pada pasien yang meminum obat tertentu,
seperti prokainamid dan hidralazin. Obat-obat ini mengganggu ekspresi dari sel T
CD4+ dengan menghambat metilasi DNA dan menstimulus ekspresi antigen
LFA-1 sehingga memicu autoreaktivasi pada LES. Oleh karena itu, sebagian
besar penderita yang diobati dengan prokainamid selama lebih dari 6 bulan akan
menghasilkan ANA disertai gambaran LES yang muncul 15% - 20% pada pasien
tersebut.
7
Pajanan sinar ultraviolet merupakan faktor lingkungan lain yang dapat
memperburuk penyakit tersebut pada banyak individu. Sekitar 70% pasien LES
akan mengalami flare ketika terpajan dengan sinar ultraviolet. Sinar ultraviolet
dapat meningkatkan apoptosis keratinosit, merusak DNA dan meningkatkan jejas
jaringan yang akan melepaskan pembentukan kompleks imun DNA / anti-DNA
yang dapat menstimulus respon autoimun pada LES.
9
3. Faktor Imunologis
2
4. Faktor Hormonal
Perempuan memiliki respon antibodi lebih tinggi daripada laki-laki. Hal ini
disebabkan oleh efek estrogen yang bermanfaat terhadap sintesis antibodi.
Perempuan yang mengkonsumsi kontrasepsi oral yang terdapat kandungan
estrogen atau yang menggunakan hormone replacement therapy , memiliki risiko
8
2 kali lipat terkena LES. Estradiol akan berikatan pada reseptor sel T dan sel
limfosit B, meningkatkan aktivasi sel T dan sel limfosit B tersebut.
E. Patofisiologi
9
Gambar 2. Model pathogenesis LES
Sumber : Vinay Kumar, 2009.
10
akibat sel T helper teraktivasi yang diakibatkan karna faktor gen dan lingkungan,
sehingga terjadi produksi antibodi IgG, dan akan membentuk suatu imun
kompleks yang akan terdeposisi pada jaringan atau organ yang akhirnya
menimbulkan gejala inflamasi atau kerusakan jaringan.8
Karakteristik patogenesis dari LES meliputi sel B, sel T, dan turunan dari sel-
sel monositik, yang mengakibatkan aktivasi sel B poliklonal, peningkatan jumlah
sel yang memproduksi antibodi, hipergammaglobulinemia, produksi auto antibodi
dan pembentukan kompleks imun. Aktivasi sel T dan sel B memerlukan stimulasi
gen yang spesifik. Bahan kimia yang iritatif seperti peristine, DNA bakteri, dan
fosfolipid dinding sel, serta antigen virus dapat menginduksi antibodi anti-DNA
yang akan memacu proses apotosis sel. Apoptosis menginduksi modified nuclear
autoantigen yang akan merangsang system imun dengan menghasilkan respon
imunogenik dan pembentukan autoantibody. Selain itu self antigen seperti
kompleks protein-DNA dan protein-RNA dapat menginduksi produksi antibodi.
Antigen dari luar atau (environmental antigen) dan self antigen ditangkap oleh
APC (antigen presenting cell) profesional atau terikat pada permukaan sel B
sehingga menginduksi produksi antibodi. APC professional dan sel B akan
memproses antigen menjadi peptide untuk dipresentasikan ke permukaan sel
melalui molekul HLA. Peptide yang dipresentasikan oleh molekul HLA akan
diikat oleh reseptor sel T (TCR). Untuk menstimulasi sel T, dibutuhkan molekul
tambahan seperti CD 40-CD 40L dab B7 dan CD 28 untuk mengaktivasi signal ke
dua. Sel T yang teraktivasi cytokine seperti TN-alfa, IL-10, dan interferon gamma
yang akan enstimulasi siel B memprodusi auto antibodi patogenik. Cytokine yang
berperan dalam regulasi aktivitas penyakit dan terlibat dalam organ yang berbeda
pada SLE, misalnya IL-6, didapatkan cairan cerebrospinal (CSF) penderta SLE
dengan keterlibatan system saraf pusat. Sel T helper, CD4 pada manusia dibagi
menjadi empat sub set berdasarkan profil cytokinenya. Sel TH 1 meningkarkan
ativasi makrofag dan memproduksi IL-2, IFN-gamma, TNF-alfa.sel TH2
menstimulasi produksi antibody, meningkatkan respon imun humoral dan alergi
serta memproduksi IL-4, IL-5, IL-6, IL-10, dan IL-13. Sel TH 3adalah sel
regulator yang berperan dalam toleransi imun dan memproduksi TGF-beta, IL-4
11
dan IL-10. Sedangkan sel TH0 dapat memproduksi ketiga sitokine tersebut. Pola
produksi sitokine pada kondisi penyakit tertentu mungkin bisa menggambarkan
TH1, TH2, atau TH3. Terkhusus untuk IL-10 berperan penting dalam
pathogenesis SLE karena dapat menstimulasi sel B untuk menstimulasi antibodi
dan sel B memori yang terdeposisi dalam jaringan dengan cara sel B
berproliferasi dan berdiferensiasi. Hal itu akan membuat jaringan mengalami
proses inflamasi karena reaksi antigen-antbodi yang berulang dari aktivasi sel T
dan stimulus sel B.
F. Manifestasi Klinis
Penyakit SLE menyerang banyak sistem dari tubuh, sehingga kemunculan dan
perjalanan penyakitnya bervariasi. SLE adalah suatu penyakit yang ditandai
dengan peningkatan sistem kekebalan tubuh sehingga antibodi yang seharusnya
ditujukan untuk melawan bakteri maupun virus yang masuk ke dalam tubuh
12
berbalik merusak organ tubuh itu sendiri seperti ginjal, hati, sendi, sel darah
merah, leukosit, atau trombosit. Karena organ tubuh yang diserang bisa berbeda
antara penderita satu dengan lainnya, maka gejala yang tampak sering berbeda.
Jika ditemukan trias demam, nyeri sendi dan rash pada wanita usia subur, harus
dipikirkan kemungkinan terjadinya SLE. Ini karena, ketiga gejala ini merupakan
manifestasi klinis yang paling sering pada penderita SLE. 5
Waktu yang dibutuhkan antara onset penyakit dan diagnosis adalah 5 tahun.
Penyakit ini mempunyai ciri khas terdapatnya eksaserbasi dan remisi. Onset
penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitat seperti kontak dengan
12
sinar matahari, infeksi virus/bakteri, obat misalnya golongan sulfa. Dalam
selang waktu tertentu, gejala tambahan dapat terjadi. Beberapa autoantibodi
spesifik dapat ditemukan pada saat munculnya gejala klinis. Tingkat keparahan
SLE beragam mulai dari ringan dan intermediate sampai parah dan fulminan.
Beberapa pasien mengalami eksaserbasi diantarai oleh masa yang relatif tenang.
Remisi permanen sempurna yaitu hilangnya gejala tanpa pengobatan jarang
terjadi. Secara umum, manifestasi klinis penyakit SLE dapat dibedakan menjadi
manifestasi umum dan manifestasi khusus sesuai dengan organ targetnya.
Manifestasi SLE adalah sebagai berikut:
1. Manifestasi Umum
Kelelahan adalah keluhan umum pada 90% penderita SLE. Demam pada SLE
dapat mencapai > 40oC tanpa leukositosis. Demam pada penyakit ini biasanya
tidak disertai dengan menggigil. Penurunan berat badan juga dapat terjadi akibat
demam dan menurunnya nafsu makan. Gejala konstitusional lain yang sering
dijumpai pada penyakit SLE, yang timbul sebelum ataupun seiring dengan
aktivitas penyakitnya antara lain adalah rambut rontok, mual muntah dan
hilangnya nafsu makan, pembesaran kelenjar getah bening, bengkak dan sakit
kepala. 5
13
2. Manifestasi Khusus
a Manifestasi Muskuloskeletal
Prevalensi nekrosis iskemik tulang meningkat pada SLE, terutama pada pasien
yang ditangani dengan glukokortikoid sistemik. Myositis dengan kelemahan otot
klinis, peningkatan kadar kreatinin kinase, MRI Scan positif, nekrosis otot dan
peradangan pada biopsi dapat terjadi, walaupun kebanyakan pasien mengalami
myalgia tanpa myositis yang jelas. Terapi glukokortikoid dan antimalaria dapat
juga menyebabkan kelemahan otot. Efek samping ini mesti dibedakan dari
penyakit aktif. 11
b. Manifestasi Kulit
Kelainan kulit atau selaput lendir ditemukan pada 55% kasus LES.
Ruam kulit yang paling dianggap khas adalah ruam kulit berbentuk kupu-kupu
(butterfly-rash) berupa eritema yang sedikit edematus pada hidung dan kedua pipi.
Karakteristik malar atau ruam kupu-kupu termasuk jembatan hidung dan
bervariasi dari merah pada erythematous epidermis hingga penebalan scaly
patches. Ruam mungkin akan fotosensitif dan berlaku untuk semua daerah terkena
14
sinar matahari. Lesi-lesi tersebut penyebarannya bersifat sentrifugal dan dapat
bersatu sehingga berbentuk ruam yang tidak beraturan. Dengan pengobatan yang
tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas.13
15
Gambar 5. Lesi kulit sub akut yang khas berbentuk anular.
Sumber : George, 2012
Sebesar 2 sampai 2% lesi discoid terjadi pada usia di bawah 15 tahun. Sekitar
7 % lesi discoid akan menjadi LES dalam waktu 5 tahun, sehingga perlu di
monitor secara rutin. Hasil pemeriksan laboratorium menunjukkan adanya
antibodi antinuclear (ANA) yang disertai peningkatan kadar IgG yang tinggi dan
lekopeni ringan. Ruam diskoid adalah ruam pada kulit leher, kepala, muka,
telinga, dada, punggung, dan ekstremitas yang menimbul dan berbatas tegas,
dengan diameter 5-10 mm, tidak gatal maupun nyeri. Berkembangnya melalui 3
tahap, yaitu erithema, hiperkeratosis dan atropi. Biasanya tampak sebagai bercak
eritematosa yang meninggi, tertutup oleh sisik keratin disertai oleh adanya
penyumbatan folikel. Kalau sudah berlangsung lama akan terbentuk sikatrik. Lesi
diskoid tidak biasa di masa kanak-kanak. Namun, mereka terjadi lebih sering
sebagai manifestasi dari LES daripada sebagai diskoid lupus erythematosis (DLE)
saja; 2-3% dari semua DLE terjadi di masa kanak-kanak.14
16
Sumber : George, 2012
Suatu bentuk vaskulitis ringan, sering ditemukan pada SLE. Vaskulitis kulit
dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil sampai yang besar. Sering
juga tampak perdarahan dan eritema periungual.13
e). Urtikaria
Nephritis lupus biasanya manifestasi SLE yang paling berat, terutama karena
nephritis dan infeksi merupakan penyebab utama mortalitas pada dekade pertama
penyakit ini. Lupus nephritis diperkirakan terjadi pada 50% pasien SLE. Pada
kebanyakan pasien ini lupus nephritis terjadi pada awal perjalanan penyakit SLE.
Karena nephritis asimptomatik pada kebanyakan pasien SLE, urinalisis sebaiknya
dilakukan pada pasien yang dicurigai mengalami SLE. Dimana hal yang paling
mencolok dari pemeriksaan urinalisis adanya proteinuria atau silinder eritosit atau
17
granuler pada pemeriksaan sedimen urin, bahkan pada keadaan yang paling ringan
dijumpa hematuri-piuria tanpa gejala, sedangkan pada keadaan lanjut dapat terjadi
kenaikan serum ureum-kreatinin dan hipertensi. Secara umum apabila pasien yang
belum mendapat terapi jumlah proteinuria < 1 gram/haridengan hematuria dan
tidak adanya silinder urin, dikenal sebagai nefritis mesangial. Dikatakan
glumerulopati membraneus bila proteinuria disertai silinder urin dengan berbagai
variasinya. Nefritis prolifertaif bilang disebut belakangan disertai hipertensi.
Berdasar hasil pemeriksaan laboratorium urinalisis didapatkan proteinuria >0,5
gram/hari atau >3+ bila tidak dilakukan pemeriksaan kuantitatif atau terdapat
silinder seluler berupa silinder eritrosit, hemoglobin, granular, tubular atau
campuran. Pemeriksaan untuk lebih jelas dilakukan biopsy ginjal untuk
mengetahui sebarapa jauh ginjal terlibat, derajat kerusakan ginjal, dan
prognosisnya untuk mendapatkan terapi yang lebih tepat. 9,10,11
Gejala klinisnya berupa nyeri waktu inspirasi dan pemeriksaan fisik dan
radiologis menunjukkan efusi pleura atau efusi parikardial. Efusi pleura lebih
sering unilateral, mungkin ditemukan sel LE dalam cairan pleura. Biasanya efusi
menghilang dengan pemberian terapi yang adekuat.13
e. Gastrointestinal
Mual, seringkali dengan muntah, dan diare dapat menjadi manifestasi dari
suatu serangan SLE, seperti nyeri abdominal difus yang disebabkan oleh
peritonitis autoimun. Peningkatan serum aspartate aminotransferase (AST) dan
alanine aminotranferase (ALT) umum jika SLE sedang aktif. Manifestasi ini
biasanya membaik secara perlahan selama pemberian terapi glukokortikoid
sistemik. Vaskulitis yang melibatkan usus dapat mengancam nyawa. Perforasi,
iskemia, perdarahan, dan sepsis adalah komplikasi yang sering terjadi. Terapi
immunosuppressif dengan glukokortikoid dosis tinggi disarankan untuk
pengendalian jangka pendek, terjadinya rekurensi merupakan indikasi dari terapi
tambahan.. 13
18
f. Hati
Gejala SSP bervariasi mulai dari disfungsi serebral global dengan kelumpuhan
dan kejang sampai gejala fokal seperti nyeri kepala dan kehilangan memori.
Diagnosa lupus SSP ini membutuhkan evaluasi untuk mengeksklusi ganguan
psikososial reaktif, infeksi, dan metabolik. Trombosis vena serebralis bisanya
terkait dengan antibodi antifosfolipid. Bila diagnosa lupus serebralis sudah
diduga, CT Scan perlu dilakukan. Gangguan susunan saraf pusat terdiri dari 2
kelainan utama, yaitu psikosis organik dan kejang-kejang. Penyakit otak organik
biasanya ditemukan bersamaan dengan gejala aktif LES pada sistem-sistem
lainnya. Pasien menunjukkan gejala delusi/halusinasi disamping gejala khas
kelainan organik otak.10 Kejang-kejang yang timbul biasanya termasuk tipe
grandmal. Kelainan lain yang mungkin ditemukan ialah korea, paraplegia karena
mielitis transversal, hemiplegia, afasia, psikosis, pseudotumor cerebri, aseptic
meningitis, chorea, defisit kognitif global, melintang myelitis, neuritis perifer dan
sebagainya. Mekanisme terjadinya kelainan susunan saraf pusat tidak selalu jelas.
Faktor-faktor yang memegang peranan antara lain vaskulitis, deposit gamma
globulin di pleksus koroideus. 15
h. Hematologi
19
Manifestasi hematologik yang paling sering pada SLE adalah anemia, biasanya
normokromik normositik, menandakan adanya penyakit kronis. Hemolisis dapat
cepat dalam onset dan beratnya, sehingga membutuhkan terapi glukokortikoid
dosis tinggi, dan ini efektif pada kebanyakan pasien. Leukopenia juga sering dan
hampir selalu mengandung limfopenia, bukan granulositopenia. Keadaan ini
jarang memudahkan terjadinya infeksi dan biasanya tidak membutuhkan terapi.
Trombositopenia merupakan masalah yang berulang. Jika hitung platelet
>40.000/L dan perdarahan abnormal tidak terjadi, terapi glukokortikoid dosis
tinggi biasanya efektif. 13
i. Fenomena Raynaud
Ditandai oleh keadaan pucat, disusul oleh sianosis, eritema dan kembali
hangat. Terjadi karena disposisi kompleks imun di endotelium pembuluh darah
dan aktivasi komplemen lokal. 13
j. Kardiovaskuler
20
Gambar 8. : Manifestasi Klinis SLE
(Dikutip dari www.lupus-support.org.uk/Nurse/CONT.htm. diakses pada tanggal
14 Maret 2014)
G . Penegakan Diagnosis
21
jika ditemukan 4 dari 11 kriteria yang ada. Berikut ini adalah 11 kriteria tersebut. 3
22
Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis LES memiliki sensitifiitas
85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA
positif, maka sangat mungkin LES dan diagnosis bergantung pada pengamatan
klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan LES. Apabila hanya
tes ANA positif dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum tentu LES, dan
observasi jangka panjang diperlukan.3
H. Pemeriksaan Penunjang
4. PT dan aPTT
Rekomendasi pemeriksaan 3
23
- Test ANA merupakan test yang sensitif, namun tidak spesifik untuk SLE
- Test Anti dsDNA positif menunjang diagnosis SLE, namun jika negatif
tidak menyingkirkan diagnosis SLE
Sel L.E terdiri atas granulosit neutrofilik yang mengandung bahan nuclear
basofilik yang telah difagositosis, segmen nuklearnya berpindah ke perifer.
Fenomena ini disebabkan oleh factor antinuclear (factor L.E dan yang lain) yang
menyerang bahan nuclear di dalam sel yang rusak. Bahan nuclear yang berubah
dikelilingi neutrofil (bentuk rosette) yang memfagositosis bahan tersebut. Tes sel
L.E kini tidak penting karena pemeriksaan antibodi antinuclear lebih sensitif.
Pada pemeriksaan imunofluoresens langsung dapat dilihat pita terdiri atas deposit
granular immunoglobulin G, M atau A dan komplemen C3 pada taut epidermal-
dermal yang disebut lupus band. Caranya disebut lupus band test, specimen
diambil dari kulit yang normal. Tes tersebut positif pada 90-100% kasus L.E.S dan
90-95% kasus L.E.D.16
24
Anti-ds-DNA
Anti autoantibody yang lain selain ANA ialah anti-ds-DNA, yang spesifik untuk
S.L.E, tetapi hanya ditemukan pada 40-50% penderita. Antibodi ini mempunyai
hubungan dengan glomerulonefritis. Adanya antibodi tersebut dan kadar
komplemen yang rendah dapat meramalkan akan terjadinya hematuria dan atau
proteinuria.16
Anti-Sm
Selain anti-ds-DNA, masih ada antibody yang lain yang spesifik ialah anti-Sm,
tetapi hanya terjadi pada sekitar 20-30% penderita dan tidak ditemukan pada
penyakit lain.16
I. Diagnosis Banding3
Beberapa penyakit dengan gambaran klinis yang mirip atau beberapa tes
laboratorium yang serupa dengan LES yaitu:
2. Sindroma Sjögren
8. Vaskulitis
25
Beberapa penyakit yang berasosiasi dengan L.E.S mempunyai gejala-gejala
yang dapat menyerupai L.E.S yakni artritis reumatika, sklerosis sistemik,
dermatomiositis, dan purpura trombositopenik.12
1. Artritis Reumatika. Otot dan kekakuan sendi biasanya paling sering di pagi
hari. Pola karakteristik dari persendian yang terkena adalah mulai pada persendian
kecil di tangan, pergelangan, dan kaki. Awitannya biasanya akut, bilateral, dan
simetris. Persendian dapat teraba hangat, bengkak, kaku pada pagi hari
berlangsung selama lebih dari 30 menit.14
26
J. Derajat Berat Ringannya LES
c. Serositis mayor
f. Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister)
27
demielinasi. mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma
demielinasi.
K. Penatalaksanaan
Tujuan
3
Pengobatan LES Berdasarkan Aktivitas Penyakitnya.
Obat-obatan
28
c. Glukokortikoid topikal untuk mengatasi ruam (gunakan preparat dengan
potensi ringan)
d. Klorokuin basa 3,5-4,0 mg/kg BB/hari (150-300 mg/hari) (1 tablet klorokuin
250 mg mengandung 150 mg klorokuin basa) catatan periksa mata pada saat
awal akan pemberian dan dilanjutkan setiap 3 bulan, sementara
hidroksiklorokuin dosis 5- 6,5 mg/kg BB/ hari (200-400 mg/hari) dan periksa
mata setiap 6-12 bulan.
e. Kortikortikosteroid dosis rendah seperti prednison < 10 mg / hari atau yang
setara .
f. Tabir surya: Gunakan tabir surya topikal dengan sun protection faktor
3
sekurang-kurangnya 15 (SPF 15).
Pilar penatalaksanaan LES sedang sama seperti pada LES ringan kecuali pada
pengobatan. Pada LES sedang diperlukan beberapa rejimen obat-obatan tertentu
serta mengikuti protokol pengobatan yang telah ada. Misal pada serosistis yang
refrakter: 20 mg / hari prednison atau yang setara.
Pilar pengobatan sama seperti pada LES ringan kecuali pada penggunaan obat-
obatannya. Pada LES berat atau yang mengancam nyawa diperlukan obat-obatan
3
sebagaimana tercantum pada bagan .
29
Gambar 9. Algoritma penatalaksanaan LES berdasarkan derajat
beratnya. Sumber : Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011
30
Tabel 1. Jenis Dan Dosis Obat Yang Dipakai Pada SLE
Toksisitas Awal
Klinis Laboratorik
hiperglisemia, darah
katarak,
osteoporosis.
Klorokuin 250 mg/hari Retinopati, Evaluasi Fundusk
(3,5-4 keluhan GIT, mata, G6PD opi dan
mg/kgBB/ rash, mialgia, pada pasien lapangan
hari) sakit kepala, berisiko pandang
anemi mata
Hidrosiklor 200-400mg/
31
hemolitik setiap 3-
o- kuin hari
dengan 6 bulan.
defisiensi
G6PD.
Azatioprin 50-150 mg Mielosupresif Darah tepi Gejala Darah tepi
per hari, , lengkap, mielo- lengkap tiap 1-
dosis hepatotoksik, kreatinin, supresif 2 minggu dan
terbagi 1-3, gangguan AST/ALT selanjutnya 1-3
tergantung limfoprolifera bulan interval.
berat badan Tif AST tiap tahun
dan pap smear
secara teratur.
Siklofosfamid Per oral; 50- Mielosupresif Darah tepi Gejala Darah tepi
150 mg per , gangguan lengkap, mielo- lengkap dan
hari. IV : limfoprolifera hitung jenis supresif, urin lengkap
500-750 tif, leukosit, hematuri tiap bulan,
2
mg/m keganasan, urin a dan sitologi urin
dalam imunosupresi lengkap. infertilita dan pap smear
Dextrose f, sistitis s. tiap tahun
250 ml, hemoragik, seumur hidup.
infuse infertilitas
selama sekunder.
1jam.
32
dosis hepatic, foto toraks, supresif, terutama
tunggal atau sirosis, serologi sesak hitung
terbagi 3. infiltrate hepatitis nafas, trombosit tiap
Dapat pulmonal dan B&C, AST, mual dan 4-8 minggu,
diberikan fibrosis. fungsi hati muntah, AST/ALT dan
pula melalui kreatinin. ulkus albumin tiap 4-
injeksi. mulut. 8 minggu, urin
lengkap dan
kreatinin.
33
jenisnya.
Kortikortikosteroid
34
perdarahan paru atau sitopenia, seringkali diberikan gabungan antara
kortikortikosteroid dan imunosupresan /sitotoksik karena memberikan hasil
3
pengobatan yang lebih baik.
17
L. Pencegahan
35
M. LES dan Kehamilan3
Kesuburan penderita LES sama dengan populasi wanita bukan LES. Beberapa
penelitian mendapatkan kekambuhan lupus selama kehamilan namun umumya
ringan, tetapi jika kehamilan terjadi pada saat nefritis masih aktif maka 50-60%
eksaserbasi, sementara jika nefritis lupus dalam keadaan remisi 3-6 bulan sebelum
konsepsi hanya 7-10% yang mengalami kekambuhan. Kemungkinan untuk
mengalami preeklampsia dan eklampsia juga meningkat pada penderita dengan
nefritis lupus dengan faktor predisposisi yaitu hipertensi dan sindroma anti
fosfolipid (APS). Penanganan penyakit LES sebelum, selama kehamilan dan
pasca persalinan sangat penting. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah:
36
5. Adanya riwayat preeklamsia berat sebelumnya atau sindroma HELLP
(Hemolitic anemia, elevated liver function test, low platelet) walaupun sudah
diterapi dengan aspirin dan heparin
6. Stroke dalam 6 bulan terakhir
7. Kekambuhan lupus berat dalam 6 bulan terakhir.
37
BAB III
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS
Nama : Ny. N
Umur : 30 thn
Alamat : Parigi
Tanggal Pemeriksaan : 22//06/2018
Ruangan : Bogenvile
B. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Lemas
Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien perempuan umur 30 tahun masuk
rumah sakit dengan keluhan lemas seluruh tubuh. Lemas dirasakan sejak
kurang lebih 5 bulan yang lalu. Keluhan awalnya dirasakan ringan, membaik
dengan berisitirahat dan pasien masih bisa berkativitas seperti biasa. Lemas
dirasakan terus-menerus dan semakin lama memberat, tidak membaik walau
pasien telah beristirahat. Sebelum merasakan lemas seluruh badan pasien
mengalami nyeri sendi, nyeri hampir diseluruh bagian sendi terasa ngilu.
Pasien sebelumnya MRS di parigi karena lemas, dan pada saat di periksa lab
pasien mengalami penurunan hemoglobin dan diharuskan transfuse darah.
Saat di rawat pasien didapatkan keluhan lain yaitu bercak-bercak kemerahan
pada muka, lengan atas kanan dan kiri, telapak tangan dan telapak kaki. Tapi
lama kelamaan bercak berubah menjadi luka yang awalnya kecil lalu
membesar dan sudah terjadi luka terbuka. Sebelumnya pasien belum pernah
mengalami keluhan fotosensitivitas. Karena keluhan lemas dan luka pada
muka maka pasien di rujuk ke RSUD Undata Palu pada bulan juni, selain itu
pasien meneluhkan adanya sesak, pusing dan sakit kepala pada saat
perawatan.
38
Riwayat Penyakit Dahulu : Pada tahun 2016 pasien mengalami hal
yang sama dimana pada tangan muncul bercak kemerahan hingga melepuh,
wajah, dan di badan. Disertai panas badan dan menggigil.
Hipertensi (-), Jantung (-) Diabetes mellitus (-) riwayat penyakit kuning (-)
39
Pendengaran : Normal
Nyeri tekan di Proc Mastoideus : (-)
Mulut
Bibir : Sianosis (-)
Gigi : Caries (-)
Lidah : Lidah kotor (-), kandidiasis oral (-).
Gusi : Perdarahan (-)
Tonsil : T1/T1, dalam batas normal
Pharynx : Hiperemis (+), Ulcer
Leher
KGB : Pembesaran (-)
Tiroid : Pembesaran (-)
JVP : Peningkatan (-) 5-2 cmH2O
Pembuluh darah : Pulsasi (+),Dilatasi (-)
Kaku Kuduk : (-)
Massa Lain : Tidak ada
Dada
Paru-Paru
Inspeksi : Simetris bilateral, Normochest, Pelebaran sela iga (-),
Spider Nevi (+)
Palpasi : Massa Thorax (-), Vocal fremitus simetris bilateral
Perkusi : Sonor dikedua lapang paru
Auskultasi : Bunyi nafas vesiculer, Rh -/-, Wh -/-
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba
Perkusi :
Batas atas : SIC II linea parasternalis sinistra
Batas Kanan : SIC IV linea parasternalis dextra
Batas Kiri : SIC V linea axillaris anterior sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I/II murni irreguler, Murmur (-), Gallop (-)
40
Perut
Inspeksi : Cembung, ikut gerak nafas, caput medusa (-) kesan ascites
(-)
Auskultasi : Peristaltik (+), kesan normal
Perkusi : thympani (+)
Palpasi : Distensi abdomen (+), hepatomegaly (-), ,asites (-), nyeri
tekan kuadran tengah dan kiri atas (-)
Punggung
Inspeksi : Simetris Bilateral
Palpasi : Massa Tumor (-), Nyeri Tekan (-), Nyeri Ketok (-)
Anggota Gerak
Atas : Akral Hangat +/+, edema -/-
Bawah : Akral Hangat +/+, edema -/-
D. RESUME :
Pasien perempuan umur 30 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan lethargy
seluruh tubuh. lethargy dirasakan sejak kurang lebih 5 bulan yang lalu. Keluhan
awalnya dirasakan ringan, membaik dengan berisitirahat dan pasien masih bisa
berkativitas seperti biasa. lethargy dirasakan terus-menerus dan semakin lama
memberat, tidak membaik walau pasien telah beristirahat. Sebelum merasakan
lethargy seluruh badan pasien mengalami arthralgia, nyeri hampir diseluruh
bagian sendi terasa ngilu. Pasien sebelumnya MRS di parigi karena lethargy, dan
pada saat di periksa lab pasien mengalami penurunan hemoglobin dan diharuskan
transfusi darah. Saat di rawat pasien didapatkan keluhan lain yaitu ruam pada
wajah, ektremitas atas dan bawah, kiri dan kanan. Tapi lama kelamaan bercak
berubah menjadi luka yang awalnya kecil lalu membesar dan sudah terjadi luka
terbuka. Karena keluhan lethargy dan luka pada muka maka pasien di rujuk ke
RSUDUndata Palu pada bulan Juni 2018. BAB seperti biasa, BAK lancar
Keadaan umum : sakit sedang, kesadaran : composmentis. Pada tanda-tanda vital
di dapatkan TD: 110/80 mmHg, N : 83 x/m, R : 26 x/m, S : 36,7°C. pada
41
pemeriksaan fisik di dapatkan Kepala : normocephal (+), Wajah : tampak lemas
dan terdapat ruam dan luka pada wajah.Rambut : allopesia. Mata : anemis (+/+).
Hidung : terdapat ulkus mukosa. Mulut : terdapat mukosa ulcer, hiperemis daerah
faring dan oral ulcer. Pada pemeriksaan Thorax : inspeksi simetris, palpasi vocal
fremitus , perkusi sonor , auskultasi vesicular, rhonci : (-/-). Abdomen dalam
batas normal.
Darah lengkap :
- RBC : 3.12 x 106/UL
- WBC : 2,05 x 103/UL
- HGB : 9.7 x g/dl (Menurun)
- HCT : 30.5 % (Menurun)
- PLT : 10 X 103/UL (menurun)
Kimia darah :
- SGOT : 12 U/L
- SGPT : 10 U/L
Urinalisis :
42
- pH : 6.0
- Berat Jenis : 1.020
- Protein : +3
- Reduksi : Negatif
- Urobilinogen : normal
- Bilirubin : Negatif
- Keton : Negatif
- Nitrit : Negatif
- Blood : Negatif
- Leukosit : +1
- Asam Askorbat: Negatif
- Sedimen :
Leukosit : 12 /lbp
Eritrosit : 6 /lbp
Kristal : Negatif
Silinder : Negatif
Sel Epitel : ++
Bakteri : Negatif
Pemeriksaan Imunologi- Serologi
ANA (IF) Positif : 3.64
Anti Ds DNA Positif : 261.39
I. PENATALAKSANAAN
Non Medikamentosa :
- Tirah Baring (Bed Rest)
- Edukasi dan konseling : penjelasan tentang penyakit lupus, perjalanan
penyakit, program pengobatan yang direncanakan, komplikasi dan
perlunya upaya pencegahan
Medikamentosa :
- IVFD NaCL 20 Tpm
- Mecobalamin 1 amp 3ml drips/ hari
43
- Omeprazole 1vial 40mg/ml /8 jam/iv
- Nystatin drops/ hari
- Transfuse PRC 2 kantong 500cc/hari
- Prednison 1x20 mg per oral (4-6 minggu)
- methylprednisolone 500mg/24 jam iv
- Azatioprin 50 mg/24jam
- PCT 3x500mg
J. DIAGNOSIS AKHIR : SLE
K. PROGNOSIS : Dubia ad malam
44
BAB IV
KESIMPULAN
Gejala klinis dan perjalanan penyakit LES sangat bervariasi. Penyakit dapat
timbul mendadak disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh.
Diagnosis LES menurut Acute rheumatologu arthritis (ARA) ditegakkan bila
terdapat paling sedikit 4 dari 11 kriteria ARA tersebut, meliputi : butterfly rash,
bercak diskoid, fotosensitf, ulkus mulut, arthritis, serositif, gangguan ginjal,
gangguan saraf, gangguan darah, gangguan imunologi dan gangguan antinuklear.
45
BAB V
PEMBAHASAN
46
Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang diagnosis untuk pasien ini
mengarah ke diagnosis SLE. Berdasarkan teori SLE pada anamnesis dan
pemeriksaan fisik, berdasarkan American Collage of Rheumatology telah
ditetapkan 11 kriteria dalam mendiagnosis SLE antara lain adanya ruam pada
wajah, ulser pada rongga muut, arthritis, gangguan pada saraf, gangguan pada
hematologi, gangguan imunologi, dan antibody nuclear. 8,9
47
Kortikosteroid dapat diberikan peroral, injeksi langsung ke persendian atau
intravena.5,6
Pada pasien diberikan kortokosteroid dosis tingggi, methylprednisolone 16mg
per oral karena pasien mengalami kondisi anemia hemolosis autoimun. Pada
pasien diberikan Paracetamol 3x500mg bertujuan sebagai analgesik secara
spesifik untuk nyeri pada pasien. Penggunaan kortikosteroid dosis tinggi
menyebabkan perlunya monitoring pasien karena efek samping yang ditimbulkan
akibat penggunaan obat ini. Pasien perlu dilakukan KIE agar melindungi diri dari
paparan sinar matahari dan menghindari aktivitas kerja yang berat.3,7
Angka bertahan hidup pada pasien LES adalah 90 sampai 95% setelah 2
tahun,82 sampai 90% setelah 5 tahun, 71 sampai 80% setelah 10 tahun, dan 63
sampai 75%setelah 20 tahun. Prognosis buruk (sekitar 50% mortalitas dalam 10
tahun) dikaitkan dengan ditemukannya kadar kreatinin serum tinggi [>124 µmol/l
(>1,4 mgdl)], hipertensi, sindrom nefrotik (eksresi protein urin 24 jam >2,6 g),
anemia [hemoglobin<124 g/l (12,4 g/dl)], hipoalbuminemia,
hipokomplemenemia, dan aPL pada saat diagnosis.1,3,9
Penyebab mortalitas utama pada dekade pertama penyakit adalah aktivitas
penyakit sistemik, gagal ginjal, dan infeksi; selain itu, kejadian tromboemboli
semakin sering menjadi penyebab mortalitas.2,7
Pada pasien didapatkan diagnosis dubia ad malam dengan sifat dari
penyakit ini yang progresif. Pada pasien didapatkan anemia hemolitik, proteiuria
dan heamaturia. Kerusakan ginjal pada pasien telah terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
48
1. Anna MQ, Peter VR, et al. Diagnosis of Systemic Lupus Eritemat osus.
Diunduh 31 Agustus 2013 : http://www.aafp.org
9. Setiati S., Alwi I., Sudoyo S. W., et al. 2014. Ilmu Penyakit Dalam. Subab
Imunopatogenesis Lupus Eritematosus Sistemik. Jakarta pusat. Hal 3334-3347
11. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editors. Buku
ajar ilmu penyakit dalam. Jilid II. 4th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2009.
12. Hahn B.H. Systemic Lupus Erythematosus. In Longo D.L, Fauci A.S.,
Kasper D.L, Hauser S.L, Jameson J.L, Loscalzo J. Harrison’s Principles of
Internal Medicine. Edisi 18. United States of America; Mc Graw Hill Companies;
2012. H 2724-35.
49
14. Jakes RW, et al. Systematic review of the epidemiology of systemic lupus
erythematosus in the Asia-Pasific region: prevalence, incidence, clinical features,
and mortality. Americam College of rheumatology 2012; 64(2) : 159-68.
15. Dorland WAN. Kamus saku kedokteran dorland. 28th ed. Hartanto YB,
editor. Jakarta: EGC; 2012.
19. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi robbins. 7th ed.
Jakarta: EGC; 2009.
50