Anda di halaman 1dari 25

Terminologi

1. Diet : aturan makanan khusus untuk kesehatan dan sebagainya

(biasanya atas petunjuk dokter)

2. Medical check up : pemeriksaan kesehatan secara menyeluruh

3. LDL Kolesterol : Low Density Lipoprotein golongan lipoprotein (lemak dan

protein) yang bervariasi dalam ukuran (diameter 18-25 nm) dan isi, serta berfungsi

mengangkut kolesterol, trigliserida, dan lemak lain (lipid) dalam darah ke berbagai

bagian tubuh.

4. Obesitas sentral : kondisi kelebihan lemak perut atau lemak pusat

5. Sindroma metabolik : kumpulan tanda pada keadaan patologis dimana terdapat

kombinasi sedikitnya 3 dari gejala berikut : obesitas abdominal, hiperglikemia,

rendahnya kadar lipoprotein densitas tinggi, hipertensi dan peningkatan kadar gula

darah puasa

Rumusan masalah

1. Mengapa seseorang dapat mengalami pertambahan berat badan ?

2. Adakah hubungan pertambahan berat badan Ny. Gloria dengan umur beliau?

3. Adakah hubungan pertambahan berat badan Ny. Gloria dengan keluarganya yang

juga gemuk ?

4. Mengapa berat badan tidak turun meskipun telah melakukan diet, olahraga dan

minum jamu?

5. Apa peran jamu dalam usaha diet ?

6. Mengapa dokter menganjurkan untuk melakukan Medical Check Up ?

7. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaaan Ny. Gloria ?


8. Mengapa tekanan darah dan kadar gula darah Ny. Gloria meningkat ?

9. Apasaja penyakit yang berhubungan dengan obesitas sentral ?

10. Mengapa dokter tidak menganjurkan untuk melakukan tindakan operasi?

11. Bagaimana dampak sindroma metabolik ?

Analisis masalah

1. Faktor penyebab kenaikan berat badan :

o Berat badan umumnya bertambah ketika kalori yang dibakar tubuh saat

beraktivitas lebih sedikit daripada kalori yang masuk dari makanan yang

dikonsumsi.

o Stres

Ketika Anda stres, tubuh akan menjadi tegang dan memproduksi hormon

yang bernama kortisol. Hormon ini menjadi penyebab utama meningkatnya

nafsu makan sehingga membuat Anda dengan mudah menyantap makanan

apa pun untuk menenangkan diri.

o Kurang tidur

Ada beberapa hal yang membuat kurangnya waktu tidur berhubungan

erat dengan pertambahan berat badan, yaitu:

 Saat Anda kurang tidur,terjadi peningkatan kadar hormon dalam tubuh

yang bisa meningkatkan rasa lapar dan nafsu makan.


 Tidur larut malam membuat Anda berpeluang lebih besar untuk

mengonsumsi makanan ringan di malam hari sehingga menambah

timbunan kalori di dalam tubuh.

 Kurang tidur membuat Anda cenderung memilih sembarang makanan

seperti goreng-gorengan daripada cemilan sehat seperti buah.

o Mengonsumsi obat-obatan tertentu

Ternyata mengonsumsi obat-obatan tertentu dapat menyebabkan

pertambahan berat badan, seperti:

 Antidepresan: depresi menjadi salah satu penyebab pertambahan berat

badan karena penderitanya lebih memilih untuk tidak aktif dan berdiam

diri di rumah. Namun sayangnya, obat-obatan untuk menangani depresi

dapat menyebabkan berat tubuh meningkat juga. Tapi ada juga sebagian

penderita yang nafsu makannya kembali karena suasana hatinya telah

lebih baik dan bukan karena efek samping antidepresan.

 Steroid: kenaikan berat badan karena meningkatnya nafsu makan dapat

menjadi efek samping dari obat-obatan anti-inflamasi non-steroid

(OAINS) seperti prednisolon. Orang yang mengonsumsi steroid juga dapat

mengalami perubahan pada bagian tubuh tertentu yang menyimpan

lemak seperti pada perut dan wajah.

 Obat-obatan lain: obat-obatan lain juga dapat menyebabkan

pertambahan bobot tubuh, misalnya obat untuk menangani penyakit

migrain, tekanan darah tinggi, diabetes, dan kejang-kejang. Begitu pula


dengan obat-obatan antipsikotik yang biasa digunakan untuk menangani

gangguan bipolar dan skizofrenia.

o Mengidap penyakit tertentu

Beberapa penyakit berikut ini dapat memicu perubahan hormon yang

dapat menjadi penyebab kegemukan, antara lain:

 Hipotiroidisme: adalah kondisi saat tubuh tidak memproduksi hormon

tiroid secara mencukupi. Kondisi ini menyebabkan pertambahan berat

badan akibat melambatnya metabolisme tubuh.

 Sindrom Cushing: terjadi ketika kelenjar adrenal memproduksi terlalu

banyak hormon stres, seperti kortisol, atau pada orang yang

mengonsumsi steroid untuk pengobatan penyakit lupus, artritis, atau

asma. Pertambahan berat badan terutama dapat terlihat pada wajah,

punggung bagian atas, leher, dan pinggang.

 Sindrom Ovarium Polikistik (SOPK): wanita pengidap sindrom ini

umumnya memiliki banyak kista kecil dalam organ reproduksinya. Wanita

dalam kondisi ini memiliki resistensi terhadap hormon yang berperan

mengontrol kadar gula darah (insulin) sehingga menyebabkan

pertambahan berat badan yang umumnya berpusat di bagian perut.

o Teknologi dan gaya hidup

Gaya hidup dengan segala kemudahan seperti akses internet ke

hampir segala tempat dapat membuat orang lebih lama duduk di depan layar
dibandingkan sebelumnya. Kebiasaan duduk dalam waktu lama ini kerap

dipadukan dengan kebiasaan mengonsumsi makanan ringan berkalori tinggi

sehingga menyebabkan pertambahan berat badan.

2. Awal dan pertengahan masa dewasa adalah saat kebanyakan orang justru

bertambah berat badannya. Ini karena metabolisme mereka melambat, lebih rentan

cedera, dan menjadi kurang aktif pada usia 30 dan 40-an karena harus bekerja lebih

lama dan memiliki tanggung jawab lebih besar dibanding saat berusia 20-an.

Tubuh perempuan memiliki keseimbangan berkat progesteron dan estrogen. Jika

tingkat estrogen lebih tinggi, hal tersebut akan berkontribusi untuk pembentukan

jaringan lemak pada tubuh. Pada perempuan yang lebih muda, hal ini akan diimbangi

dengan tingkat progesteron yang sama kuat.

Memasuki usia 35 dan seterusnya, kadar kedua hormon akan menurun seiring

menuju massa menopause. Namun, kadar progesteron akan menurun pada tingkat

yang lebih cepat dan menyebabkan jaringan lemak membentuk dalam tubuh.

3. Studi mengungkapkan ikatan polymorphisme akan mengatur nafsu makan dan

metabolisme di berbagai gen. Dengan kata lain, gen dapat menentukan kebiasaan

makan dan tingkat metabolisme seseorang. Saat gen tersebut melepaskan

ketidakseimbangan hormon, akan ada kemungkinan masalah tersebut diwariskan ke

generasi berikutnya. Oleh karena itu jika seorang anak yang memiliki orangtua yang

kegemukan, kemungkinan akan mengalami masalah berat badan juga.

Kebiasaan makan keluarga juga harus diperhatikan saat membicarakan genetik. Tiap

anggota keluarga biasanya memiliki selera makan yang hampir sama. Jika mereka
lebih memilih junk food dibanding makanan sehat atau memiliki masalah kesehatan

yang disebabkan oleh kebiasaan makan, maka biasanya kebanyakan anggota

keluarga akan mengalami obesitas.

Faktor genetik ber[eran 33%, ayah /ibu yang overweight, 50-60% anaknya juga

overweight. Terdapat gen gen yang memicu penumpukan lemak, seperti gen OB di

kromosom 1 untuk peningkatan rasa lapar.

4. Diet yang salah dan tidak teratur, nutrisi/ gizi belum seimbang, olahraga tidak tepat

dan tidak teratur, tidak menghitung kalori yang seharusnya dikonsumsi,stress

5. Pada jamu dan tumbuhan tradisional terdapat suatu zat yang dapat mengendalikan

nafsu makan dan mempercepat proses metabolisme tubuh serta detoksifikasi racun

dalam tubuh

6. Untuk skrining status kesehatan secara menyeluruh, apalagi jika terjadi obesitas

karena banyak komplikasi dai obesitas. Indeks masa tubuh (body mass index/BMI)

yang tidak normal dapat memicu berbagai penyakit. Kegemukan dapat

meningkatkan risiko stroke, penyakit jantung, diabetes tipe 2, osteoartritis,

hipertensi, dan kanker. Sedangkan kondisi fisik yang terlalu kurus berisiko

melemahkan sistem kekebalan tubuh, mengakibatkan osteoporosis, dan anemia.

Oleh karena itu, penting untuk memeriksakan BMI tiap 2 tahun sekali bagi orang

berusia di bawah 50 tahun dan setahun sekali untuk usia di atas 50 tahun.

Sebenarnya BMI dapat dihitung sendiri di rumah. Caranya: berat badan (kg) / tinggi
(m)2. BMI normal untuk populasi Asia adalah 18,5 hingga 22,9. Namun jika Anda

mengalami penurunan berat badan secara drastis, kegemukan, atau memiliki BMI

yang tidak normal, segera konsultasikan kepada dokter untuk menanganinya.

7. Berat badan 88 kg, tinggi badan 162 cm. IMT = BB/(TB)2 = 88/(1,62)2 = 33,58

(OBESITAS)

Lingkar pinggang 105 cm ( obesitas sentral)

LDL 190 mg/dL (tinggi)

Tekanan Darah : 140/90 mmHg (tinggi)

GDP 140m mg/dL (tinggi)

GD2PP 180 mg/d L (Tinggi)> tes toleransi glukosa

8. Swedish Obese Study melaporkan angka kejadian hipertensi pada obesitas adalah

sekitar 13,6 % dan Framingham study mendapatkan peningkatan insidens hipertensi,

diabetes mellitus dan angina pektoris pada organ dengan obesitas dan resiko ini

akan lebih tinggi lagi pada obesitas tipe sentral.

Banyak penelitian membuktikan adanya hubungan antara indeks massa tubuh

dengan kejadian hipertensi dan diduga peningkatan berat badan memainkan

peranan penting pada mekanisme timbulnya hipertensi pada orang dengan obesitas.

Mekanisme terjadinya hal tersebut belum sepenuhnya dipahami, tetapi pada


obesitas didapatkan adanya peningkatan volume plasma dan curah jantung yang

akan meningkatkan tekanan darah.

9. Obesitas diketahui menjadi salah satu faktor risiko munculnya berbagai penyakit

degeneratif seperti penyakit jantung dan stroke. Penyakit-penyakit tersebut

merupakan penyebab kematian terbesar penduduk dunia, terutama pada kelompok

usia lanjut. Selain penyakit tersebut, obesitas pada lansia juga dapat meningkatkan

risiko terjadinya kerusakan pada tulang dan sendi sehingga dapat meningkatkan

risiko terjadinya jatuh atau kecelakaan. Obesitas sentral juga berkaitan erat dengan

peningkatan risiko penyakit degeneratif dimana obesitas sentral ini merupakan

penumpukan lemak di perut yang diukur dengan menggunakan indikator lingkar

perut. Lemak viseral merupakan lemak tubuh yang terkumpul di bagian sentral

tubuh dan melingkupi organ internal. Kelebihan lemak viseral berhubungan erat

dengan peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler, sindrom metabolik (hipertensi,

dislipidemia, dan diabetes tipe II), dan resistensi insulin.

10. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi jika Anda mau melakukan tindakan medis

ini, yaitu:

o Memiliki indeks massa tubuh lebih dari 40 kg/m2. Operasi ini hanya akan

dilakukan pada orang yang mempunyai tubuh yang sangat gemuk.

o Memiliki indeks massa tubuh lebih dari 35 kg/m2 dan mengalami penyakit

kronis tertentu seperti diabetes tipe 2 atau tekanan darah tinggi yang

berkaitan dengan terjadinya obesitas tersebut


o Gagal menurunkan berat badan dengan cara lain. Bagi Anda yang telah

mencoba berbagai cara, seperti menjalani diet sehat dan olahraga rutin,

namun berat badan tak kunjung turun dapat melakukan tindakan medis ini.

o Berkomitmen untuk menerapkan gaya hidup sehat setelah berhasil menjalani

operasi bariatrik dan memeriksakan diri secara rutin ke dokter.

o Berani untuk mengambil risiko yang mungkin akan terjadi.

11. Sindrom metabolik adalah istilah kedokteran untuk menggambarkan kombinasi

dari sejumlah kondisi, yaitu hipertensi (tekanan darah tinggi), hiperglikemia (kadar

gula darah tinggi), hiperkolesterolemia (kadar kolesterol tinggi), dan obesitas, yang

dialami secara bersamaan. Kondisi-kondisi yang terdapat di dalam sindrom

metabolik merupakan faktor risiko untuk mengalami penyakit yang serius.

Contohnya, serangan jantung dan stroke.


Skema

Wanita, 43 th Riwayat keluarga


obesitas

BB naik

Medical check up

Dislipidemia Hipertensi Obesitas 1 Obesitas sentral


Wanita, 43 th

Sindroma
metabolik

Terapi

Farmakologi Non farmakologi

Learning Objective

1. Definisi dan klasifikasi sindrom metabolik

2. Epidemiologi sindrom metabolik

3. Etiologi dan faktor resiko sindrm metabolik

4. Patologi dan patofisiologi sindrom metabolik

5. Diagnosis dan pemeriksaan penunjang sindrom metabolik

6. Tatalaksana farmakologi dan non farmakologi sindrom metabolik


SINDROM METABOLIK

a. Definisi

Sindroma Metabolik (SM) adalah kondisi dimana seseorang memiliki tekanan

darah tinggi, obesitas sentral dan dislipidemia, dengan atau tanpa

hiperglikemik. Ketika kondisi-kondisi tersebut berada pada waktu yang sama

pada satu orang, maka orang tersebut memiliki risiko yang tinggi terhadap

penyakit macrovasculer.

b. Epidemiologi

 Data epidemiologi menunjukkan bahwa prevalensi SM Di dunia adalah

20-25 % (Fattah, 2006).

 Prevalensi sindrom metabolik sangat bervariasi oleh karena beberapa hal

antara lain ketidakseragaman kriteria yang digunakan, perbedaan

etnis/ras, umur dan jenis kelamin. Walaupun demikian prevalensi SM

cenderung meningkat oleh karena meningkatnya prevalensi obesitas

maupun obesitas sentral (Adriansyah & Adam, 2006).

 Hasil penelitian Park et al (2004) terhadap orang dewasa Korea Selatan

diperoleh bahwa prevalensi SM meningkat sesuai dengan perkembangan

umur dimana pada perempuan prevalensinya meningkat pada umur 50

tahun. Menopause merupakan faktor yang berkontribusi pada

peningkatan ini.
c. Etiologi

Etiologi SM belum dapat diketahui secara pasti. Suatu hipotesis

menyatakan bahwa penyebab primer dari Sindroma Metabolik adalah

resistensi insulin. Menurut Tenebaum (dalam Angraeni 2007), penyebab

Sindroma Metabolik adalah : Pertama, gangguan fungsi sel β dan hipersekresi

insulin untuk mengkompensasi RI. Hal ini memicu terjadinya komplikasi

makrovaskuler (misalnya komplikasi jantung); Kedua, kerusakan berat sel β

menyebabkan penurunan progresif sekresi insulin, sehingga menimbulkan

hiperglikemia. Hal ini menimbulkan komplikasi mikrovaskuler (misalnya

nephropathy diabetica).

Peningkatan faktor risiko metabolik selalu berhubungan dengan

Gambar 1. Etiologi Patofisiologi Resistensi Insulin dan Sindroma Metabolik


tingginya akumulasi jaringan adiposa abdominal, terutama jaringan lemak

visceral. Salah satu karakteristik obesitas abdominal/lemak visceral adalah

terjadinya pembesaran sel-sel lemak, sehingga sel-sel lemak tersebut akan

mensekresi produk-produk metabolik, di antaranya sitokin proinflamasi,

prokoagulan, peptida inflamasi, dan angiotensinogen. Produk-produk dari sel

lemak dan peningkatan asam lemak bebas dalam plasma bertanggung jawab

terhadap berbagai penyakit metabolik seperti diabetes, penyakit jantung,

hiperlipidemia, gout, dan hipertensi.

d. Patofisiologi dan patogenesis

Obesitas merupakan komponen utama kejadian SM, namun mekanisme yang

jelas belum diketahui secara pasti. Obesitas yang diikuti dengan meningkatnya

metabolisme lemak akan menyebabkan produksi Reactive Oxygen Species (ROS)

meningkat baik di sirkulasi maupun di sel adiposa. Meningkatnya ROS di dalam sel

adipose dapat menyebabkan keseimbangan reaksi reduksi oksidasi (redoks)

terganggu, sehingga enzim antioksidan menurun di dalam sirkulasi. Keadaan ini

disebut dengan stres oksidatif. Meningkatnya stres oksidatif menyebabkan

disregulasi jaringan adiposa dan merupakan awal patofisiologi terjadinya SM,

hipertensi dan aterosklerosis (Furukawa, et al, 2004).

Stres oksidatif sering dikaitkan dengan berbagai patofisiologi penyakit antara

lain diabetes tipe 2 dan aterosklerosis. Pada pasien diabetes melitus tipe 2, biasanya

terjadi peningkatan stress oksidatif, terutama akibat hiperglikemia. Stress oksidatif

dianggap sebagai salah satu penyebab terjadinya disfungsi endotel-angiopati

diabetic, dan pusat dari semua angiopati diabetik adalah hiperglikemia yang
menginduksi stress oksidatif melalui 3 jalur, yaitu; peningkatan jalur poliol,

peningkatan auto-oksidasi glukosa dan peningkatan protein glikosilat (Majalah

Farmacia, 2007).

Pada keadaan diabetes, stres oksidatif menghambat pengambilan glukosa di

sel otot dan sel lemak serta menurunkan sekresi insulin oleh sel-β pankreas. Stres

oksidatif secara langsung mempengaruhi dinding vaskular sehingga berperan penting

pada patofisiologi terjadinya diabetes tipe 2 dan aterosklerosis (Ceriello, 2004). Dari

beberapa penelitian diketahui bahwa akumulasi lemak pada obesitas dapat

menginduksi keadaan stress oksidatif yang disertai dengan peningkatan ekspresi

Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphatase (NADPH) oksidase dan penurunan

ekspresi enzim antioksidan (Sartika, 2006)

ROS
Obesity
Oxidative Stress
in WAT
NADPH Oxidase

Antioxidative
Dysregulation of
Enzymes adipocytokines
ROS

Pal-1, TNF-α, MCP-1

Adiponectin
Oxidative Stress to
remote tissues

Insulin Resistace Diabetes Atherosclerosis


METABOLIC SINDROME
Gambar 1. Peningkatan produksi reactive oxidative stress (ROS) pada lemak yang

terakumulasi dan menyebabkan keadaan sindroma metabolik (Furukawa, 2004).

Pada kultur sel adiposa, peningkatan kadar asam lemak meningkatkan stres

oksidatif melalui aktivasi NADPH oksidase sehingga menyebabkan disregulasi sitokin

proinflamasi IL-6 dan MCP-1. Akumulasi peningkatan stres oksidatif pada sel adiposa

dapat menyebabkan disregulasi adipokin dan keadaan SM. Furukawa dkk (2004)

menunjukkan bahwa kadar adiponektin berhubungan terbalik dengan stres oksidatif

secara sistemik.

Patofisiologi SM masih menjadi kontroversi, namun hipotesis yang paling

banyak diterima adalah resistensi insulin. Gambar 2 menunjukkan etiologi

patofisiologi dari resistensi insulin dan sindroma metabolik (Mahan, 2003).

 Pengaruh lingkungan
 Defisiensi zat-zat gizi
Pengaruh genetik Resistensi Insulin
  Intake kalori yang
berlebihan
 Aktivitas fisik rendah

Hyperinsulinemia

Peningkatan Penurunan
Peningkatan Peningkatan Intoleransi Peningkatan Peningkatan
kolesterol kolesterol glukosa
Trygliserida asam urat lipogenesis tekanan darah
LDL HDL

Aterosklerosis Gout Diabetes Obesitas Hipertensi

Gambar 2. Etiologi patofisiologi resistensi insulin dan sindroma metabolik


Komponen Sindroma Metabolik

Obesitas

Menurut Dariyo yang dimaksud dengan obesitas adalah kelebihan berat badan dari

ukuran normal tubuh yang sebenarnya. Secara klinis, obesitas dapat dikenali dengan adanya

tanda dan gejala khas; wajah membulat, pipi tembem, dagu rangkap, relatif pendek, dada

menggembung dengan payudara membesar mengandung jaringan lemak, perut buncit,

dinding perut berlipat-lipat, kedua pangkal paha bagian dalam saling menempel

menyebabkan laserasi dan ulserasi yang dapat menimbulkan bau yang kurang sedap. Pada

anak laki-laki, penis nampak kecil karena terkubur dalam jaringan lemak supra-pubik.

Diabetes Mellitus

Sedikitnya 10,3 juta penduduk Amerika Serikat menderita DM. Di Indonesia, dari berbagai

penelitian yang telah dilakukan, mendapatkan tingkat kekerapan DM penduduk berusia

lebih dari 15 tahun 1,2-2,3%. Prevalensi di daerah rural ternyata masih rendah. Di

kec.Sesean, Tana Toraja, prevalensi DM hanya 0,8%, dan Tasikmalaya 1,1%. Hasil penelitian

di Jakarta (urban) mendapatkan peningkatan prevalensi DM dari 1,7% pada tahun 1982

menjadi 5,7% pada tahun 1993. Pada penelitian di Depok (suburban Jakarta) tahun 2001,

prevalensi DM sebesar 12,8%. Penelitian MONICA III Jakarta tahun 2000 mendapatkan

prevalensi hiperglikemia (Gula Darah Sewaktu ≥200mg/dl) sebesar 3,1%.

Menurut klasifikasi diabetes mellitus WHO, yang termasuk intoleransi glukosa adalah gula

darah puasa terganggu dan Toleransi Glukosa Terganggu (TGT), yaitu suatu keadaan antara

normal dan diabetes mellitus. Pengertian TGT adalah apabila dilakukan pemeriksaan Tes

Toleransi Glukosa Oral (TTGO), maka hasil glukosa plasma setelah 2 jam berada di antara
140-199 mg/dl. Pada tahun 1980, WHO mengeluarkan klasifikasi diabetes mellitus dan

intoleransi glukosa dimana TGT kemudian dikategorikan sebagai clinical class intoleransi

glukosa.

Hipertensi

Resistensi Insulin dengan hipertensi akan menyebabkan fungsi endotel terganggu dengan

menurunnya fungsi NO. NO di endotel mempunyai peranan penting pada regulasi tonus

vaskuler, aliran darah, dan tekanan darah. Penderita hipertensi dengan hiperinsulinemia

biasanya juga disertai dengan intoleransi glukosa dan dislipidemia. Hipertensi tidak dengan

tekanan darah sistolik dan diastolik. Kontrol tekanan darah yang ketat pada penderita

hipertensi akan menurunkan risiko kematian karena diabetes, komplikasi yang berhubungan

dengan diabetes, progresi menjadi retinopati diabetik dan deteriorisasi aktifitas visual.

Dislipidemia

Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan tidak normalnya

kadar fraksi-fraksi lipid plasma berupa kenaikan fraksi kolesterol total, kolesterol LDL,

trigliserida, serta penurunan kadar kolesterol HDL. Dislipidemia adalah salah satu faktor

risiko penyakit kardiovaskuler.

Penelitian The Copenhagen Male Study menunjukkan kenaikan trigliserida dan

menurunkan K-HDL, yang merupakan karakteristik dislipidemia pada SM. Keadaan ini akan

meningkatkan risiko PJK dua kali lipat, dan menaikkan insidensi penyakit jantung iskemik

dua kali lipat pada laki-laki tanpa penyakit kardiovaskuler sebelumnya.

e. Diagnosis dan pemeriksaan penunjang


Hingga saat ini ada tiga definisi SM yang telah diajukan, yaitu definisi WHO,

NCEP ATP-III dan International Diabetes Federation (IDF). Ketiga definisi tersebut

memiliki komponen utama yang sama dengan penentuan kriteria yang berbeda.

Pada tahun 1988, Alberti dan Zimmet atas nama WHO menyampaikan definisi SM

dengan komponen-komponennya, antara lain :

1. Gangguan pengaturan glukosa atau diabetes,

2. RI,

3. Hipertensi,

4. Dislipidemia dengan trigliserida plasma >150 mg/dL dan kolesterol High


Density Lipoprotein (HDL-C) <35 mg/dL untuk pria; <39 mg/dL untuk wanita,

5. Obesitas sentral (laki-laki : waistto-hip ratio >0,90; wanita: waist-to-hip


ratio >0,85) dan indeks massa tubuh (IMT) >30 kg/m2; dan

6. mikroalbuminuria (Urea Albumin Excretion Rate >20 mg/min atau rasio


albumin/kreatinin >30 mg/g). SM dapat terjadi apabila salah satu dari 2
kriteria pertama dan 2 dari empat kriteria terakhir terdapat pada individu
tersebut.

Jadi, kriteria WHO (1999) menekankan pada adanya toleransi glukosa

terganggu atau diabetes mellitus, dan atau RI yang disertai sedikitnya 2 faktor risiko

lain, yaitu hipertensi, dislipidemia, obesitas sentral dan mikroalbuminaria.

Kriteria yang sering digunakan untuk menilai pasien SM adalah NCEP-ATP III,

yaitu apabila seseorang memenuhi 3 dari 5 kriteria yang disepakati, antara lain:

lingkar perut pria >102 cm atau wanita >88 cm; hipertrigliseridemia (kadar serum

trigliserida >50 mg/dL), kadar HDL-C <40 mg/dL untuk pria, dan <50 mg/dL untuk

wanita; tekanan darah >130/85 mmHg; dan kadar glukosa darah puasa >110 mg/dL.

Suatu kepastian fenomena klinis yang terjadi yaitu obesitas central menjadi indikator
utama terjadinya SM sebagai dasar pertimbangan dikeluarkannya diagnosis terbaru

oleh IDF tahun 2005.

Seseorang dikatakan menderita SM bila ada obesitas sentral (lingkar perut

>90 cm untuk pria Asia dan lingkar perut >80 cm untuk wanita Asia) ditambah 2 dari

4 faktor berikut:

1. Trigliserida >150 mg/dL (1,7 mmol/L) atau sedang dalam pengobatan


untuk hipertrigliseridemia;

2. HDL-C: <40 mg/dL (1,03 mmol/L) pada pria dan <50 mg/dL (1,29 mmol/L)
pada wanita atau sedang dalam pengobatan untuk peningkatan kadar HDL-C;

3. Tekanan darah: sistolik >130 mmHg atau diastolik >85 mmHg atau sedang
dalam pengobatan hipertensi;

4. Gula Darah Puasa (GDP) >100 mg/dL (5,6 mmol/L), atau diabetes tipe 2.
Hingga saat ini masih ada kontroversi tentang penggunaan kriteria indikator
SM yang terbaru tersebut.

Kriteria diagnosis NCEP- ATP III menggunakan parameter yang lebih mudah

untuk diperiksa dan diterapkan oleh para klinisi sehingga dapat dengan lebih mudah

mendeteksi SM. Hal yang menjadi masalah dalam penerapan kriteria diagnosis

NCEP-ATP III, adalah adanya perbedaan nilai “normal” lingkar pinggang antara

berbagai jenis etnis. Oleh karena itu, pada tahun 2000, WHO mengusulkan lingkar

pinggang untuk orang Asia ≥90 cm pada pria dan wanita ≥80 cm sebagai batasan

obesitas sentral.

f. Tatalaksana

Non Farmakologi

a) Obesitas
- Sasarannya penurunan berat badan 5-10% dari berat badan awal dan dimonitor

setelah 6 bulan terapi

- Manajemen nutrisi : mengurangi kalori dan lemak, diharapkan dapat terjadi

defisit 500-1000 kkal/hari dimana akan menyebabkan penurunan berat badan

sebesar 0.5-1 kg/minggu, pengukuran energi basal menggunakan rumus Harris-

Bennedict, total lemak < 30% dari total kalori dimana prioritasnya mengurangi

lemak jenuh

- Aktivitas fisik

Ini merupakan komponen yang paling penting yang dapat mencegakh

kenaikan berat badan jika dilakukan dalam waktu yang lama, disamping itu juga

dapat mengurangi resiko kardiovaskular dan diabetes. Untuk pasien

obesitas,terapi perlahan dimulai dengan berjalan 30 menit 3xseminggu lalu

ditingkatkan intensitasnya 45 menit dalam waktu 5xseminggu.

- Terapi perilaku

Untuk mencapai penurunan berat badan dan mempertahankannya,

diperlukan suatu strategi yang spesifik meliputi pengawasan mandiri terhadap

kebiasaan makan dan aktifitas fisik serta manajemen stress.

b) Dislipidemia

- Perubahan gaya hidup

- Terapi nutrisi medis dengan pembatasan jumlah kalori dan jumlah lemak

- Aktifitas fisik

c) Hipertensi
- Peningkatan tekanan darah ringan dapat diatasi dengan upaya penurunan berat

badan, olahraga, berhenti merokok dan mengkonsumsi alkohol, serta banyak

makan serta

- Namun jika tidak mampu mengendalikan tekanan darah dibutuhkan penekatan

medika mentosa untuk mencegah komplikasi

d) Gangguan toleransi glukosa

- Perubahan gaya hidup dan aktivitas fisik

Farmakologi

a) Obesitas

- Sibutramin

Jika dikombinasikan dengan diet dan aktifitas fisik maka hasilnya akan

memuaskan. Berefek pada tekanan darah tinggi dan denyut jantung yang

meningkat sehingga kontraindikasi pada pasien dengan riwayat hipertensi dan

penyakit jantung.

- Orhistrat

Menghambat absorbsi lemak 30% sehingga dibutuhkan penggantian vitamin

larut lemak karena terjadi malabsorbsi parsial.

- Terapi bedah

Diberikan pada pasien obesitas dengan BMI >40 atau >35 komorbit. Ini

merupakan alternatif terahir dengan cara pembedahan gastrointestinal.

b) Dislipidemia
- Tatalaksananya dimulai dengan penilaian jumlah faktir resiko koroner yang

ditemukan pada pasien tersebut untuk menentukan sasaran kolesterol LDL yang

harus dicapai.

- Faktor resiko : perokok, hipertensi dengan tekanan darah >140/90 mmHg,

kolesterol HDL <40mg/d L, riwayat PJK dini, usia (pria <45 th dan wanita >55th)

- Kategori resiko

Resiko tinggi : mempunyai riwayat PAK atau yang disamakan dengan PAK

seperti DM, stroke, sasaran LDL <100

Resiko multiple : sasaran LDL <130

Resiko rendah : sasaran LDL <160

- Kapan diberi obat :

Resiko tinggi : jika LDL >130 mg/d L atau dalam rentang 100-129 mg/d L

pemberian obat dipertimbangkan

Resiko multiple : 10 tahun resiko 10-20% >130

Resiko rendah : bila LDL >190 atau 160-189

- Apabila non farmakologi gagal, maka NCEP ATP III menganjurkan golongan

HMG-CoA reductase inhibitor sebagai obat pilihan pertama

- Pada keadaan dimana kadar trigliserida tinggi misalnya >400 mg/d L maka perlu

dimulai dengan golongan derivat asam sibrat.

- Jika trigliserida sudah turun dan kadar kolesterol LDL belum mencpai sasaran,

maka dapat diberikan pengobtan kombinasi dengan HMG-CoA reductase

nhibitor. Kombinasi tersebut sebaiknya dipilih asam sibrat senofibrat jangan

gemfabrozil.
g. Prognosis

Baik, jika pasien menjaga pola makan dan aktivitas fisik serta selalu

mengontrol kadar kolesterol dan BMT untuk mencegah komplikasi yang serius.
Laporan Tutorial Modul 3
Gemuk ini Menyakitkanku

Disusun Oleh:
Nurul Hafiyya 1710311038

Windy Syafutra 1710311074

Tessa Tamara Novhadi 1710312002

Nurul Khairina Iswan 1710312027

Ibnu Habib Arrahman 1710312053

Ariesko Gunanda Rangkuti 1710312058

Fadhil Putra Ismeldi 1710312078

Nanda Afila Gusira 1710313027

Salsabiila Sekar Tasya 1710313037

Fadel Westin Kurniawan 1710313051

Dosen Tutor :
dr. Nora Harminarti, M.Biomed
Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas
2018

Anda mungkin juga menyukai