Anda di halaman 1dari 21

RHINITIS ATROFI (OZAENA)

Oleh: Ayu Aditya Willy Wrastuti, Cecilia Febriani Marentek, Desyana Kasim

KEPANITERAAN KLINIK

SMF ILMU PENYAKIT THT

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA

RSUD KABUPATEN SIDOARJO

2019

PENDAHULUAN

Rinitis atrofi (ozaena) adalah penyakit infeksi hidung kronik, yang


ditandai adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka dan pembentukan
krusta. Secara klinis, mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat
mengering, sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk. Rinitis atrofi dibagi 2
tipe yaitu rintis atrofi primer dan rinitis atrofi sekunder. Rinitis atrofi primer
disebut juga ozaena.1,2,3

Penyakit rinitis atrofi sering di kenal juga dengan istilah ozaena, rinitis
foetida, atau rinitis krustosa. Rinitis atrofi atau ozaena lebih umum di negara-
negara sekitar laut tengah dari pada di Amerika Serikat. Penyakit ini muncul
sebagai endemi di daerah subtropis dan daerah yang bersuhu panas seperti Asia
Selatan, Afrika, Eropa Timur dan Mediterania. Pasien biasanya berasal dari
kalangan ekonomi rendah dengan status higiene buruk. Rinitis atrofi kebanyakan
terjadi pada wanita, angka kejadian wanita : pria adalah 3:1.2

Etiologi ozaena belum diketahui pasti, beberapa ahli mengatakan akibat


infeksi bakteri Klebsiella ozaenae dan Bacillus foetidus. Kuman lain sebagai
penyebab adalah Proteus mirabilis, Escherichia coli dan Staphylococcus aureus.
Faktor lain yang diduga sebagai penyebab yaitu adanya defisiensi nutrisi (vitamin
A dan zat besi), endokrin (estrogen) dan herediter.1

1
Diagnosis ozaena dibuat secara klinik dengan adanya perubahan
karakteristik di hidung berupa perluasan rongga hidung, atrofi mukosa dan
perlekatan krusta tebal kehijauan atau secara mikrobiologi dengan isolasi bakteri
yang diduga sebagai penyebab seperti Klebsiella ozaenae dari kultur hidung.
Beberapa pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan untuk diagnosis ozaena
yaitu pemeriksaan hemoglobin penting pada penderita anemia, hitung jumlah
leukosit bisa didapatkan leukositosis, hapusan darah tepi akan didapatkan
hipokromik mikrositik yang menggambarkan anemia defisiensi besi. 1

Pada pasien malnutrisi memerlukan pemeriksaan kadar protein serum dan


vitamin plasma. Usap hidung diperlukan untuk pemeriksan pengecatan, kultur dan
sensitivitas antibotika. Pemeriksan nasal endoskopi diperlukan untuk
menunjukkan adanya krusta kehijauan dan atrofi konka, serta membantu untuk
usap hidung. Pemeriksaan CT scan juga diperlukan dengan gambaran khas berupa
penebalan mukosa sinus paranasal, hilangnya struktur komplek osteomeatal,
hipoplasia sinus maksilaris, perluasan rongga hidung, penyerapan tulang dan
atrofi mukosa konka inferior dan media.1

Penatalaksanaan ozaena dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu konservatif


dan pembedahan. Terapi konservatif berupa cuci hidung, antibiotika seperti
rifampisin dan ciprofloksasin serta pemberian suplemen. Sebagai terapi bedah
antara lain pemasangan implant, menutup nostril, blok ganglion Stellatus dan flap
mukosa maksilaris.1

Tujuan dari penulisan referat ini yaitu untuk mengetahui tentang anatomi
dan fisiologi, definisi, patofisiologi, epidemiologi, etiologi, faktor predisposisi,
klasifikasi, stadium, diagnosa, diagnosa banding, terapi, komplikasi, dan
prognosis dari penyakit rinitis atrofi atau ozaena.

2
I. Anatomi dan Fisiologi Hidung

Hidung merupakan suatu bentukan pyramid berongga yang mempunyai


rangka tulang dan tulang rawan. Secara anatomi dibagi menjadi :

I.1 Nasus Externus (Hidung bagian luar)

Bagian hidung yang paling menunjol ke anterior dan menjadi puncak


dari pyramid disebut apex nasi. Bagian hidung kearah dorsokranial tepat
dibawah dahi disebut dorsum nasi. Pertemuan antara dahi dengan dorsum
nasi disebut radix nasi. Bagian hidung kearah dorsal mulai dari apex nasi
sampai bagian tengah dari bibir atas disebut columella. Tempat pertemuan
columella dengan bibir atas disebut basis nasi. Bagian lateral dari columella
terdapat lubang hidung atau nares yang dibatasi di latero-superior oleh ala
nasi dan bagian inferior oleh dasar cavum nasi. Tegaknya hidung didukung
oleh rangka hidung yang terdiri dari Os nasal kanan dan kiri, Processus
frontalis maxillaries kanan dan kiri, cartilage lateralis kanan dan kiri,
cartilage alaris kanan dan kiri dan septum nasi. (Nasus esternus pada gambar
1).1

Gambar 1: Hidung bagian luar

3
a. Muskulus pada nasus externus, merupakan otot yang bekerja pada ala nasi:
1. Otot dilator yang terdiri dari: M. dilator nasi anterior dan posterior, M.
Procerus, caput angular dari m. quadrates labii superior
2. Otot konstriktor yang terdiri dari: M. Nasalis, M. Depressor septi.1

b.Nasus externus divaskularisasi oleh arteri carotis interna dan externa:


1. A. Carotis externa—A. maxillaris externa—A. Angularis yang memberikan
cabang ramus lateralis nasi dan ramus alaris nasi
2. A. Carotis interna--- A. Opthalmica--- A. Dorsalis nasi.1

c. Nervus pada nasus externus merupakan cabang dari n.Trigeminus, yaitu:


1. N. Opthalmicus yang memberikan cabangnya yaitu N. Nasosciliaris dan N.
Intratrochlealis
2. N. Maxillaris yang melalui cabang N. infraorbitalis.1

I.2. Cavum Nasi ( Rongga hidung)

Rongga hidung dibagi menjadi 2 bagian oleh septum nasi. Terdiri atas 2
bagian:

1. Bagian posterior terdiri atas tulang: Lamina perpendikularis os


ethmoidalis, vomer

2. Bagian anterior terdiri atas tulang rawan: Kartilago quadrangularis

(Cavum nasi pada gambar 2)

Gambar 2: Septum nasi

4
Batas batas Cavum nasi:

• Medial : septum nasi

• Lateral : konka superior, medius, inferior meatus superoir, medius, inferior

• Anterior : introitus kavum nasi (nares)

• Posterior : koane

• Superior : lamina kribosa

• Inferior : palatum durum

(Dinding lateral cavum nasi pada gambar 3)

Gambar 3: Dinding lateral cavum nasi

Persarafan pada cavum nasi

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang
berasal dari n.oftalmikus (N.V1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar
mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion

5
sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum selain memberikan persarafan
sensoris juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa
hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris dari n.maksila
(N.V2), serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-
serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak
di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media.2

Nervus olfaktorius turun dari lamina kribrosa dari permukaan bawah


bulbus olfaktorius dan berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa
olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung. (Inervasi cavum nasi pada
gambar 4) 2

Gambar 4: Inervasi cavum nasi

Aliran darah cavum nasi:

1. A. Ethmoidalis anterior yang merupakan cabang dari a. Opthalmica dan


cabang dari a. carotis externa, yang mengalirkan darah keatap cavum nasi,
bagian anterosuperior dinding lateral cavum nasi, dan septum nasi

2. A. Sphenopalatina yang mengalirkan darah ke dinding lateral cavum nasi.

3. A. Nasopalatina yang merupakan lanjutan dari a. sphenopalatina yang


mengalirkan darah ke sebagian dari atap cavum nasi, sebagian besar septum
nasi, dasar cavum nasi bersama a. palatine descendens

6
4. A. Lateralis nasi memvaskularisasi dinding lateral cavum nasi yang dekat
nares.

5. A. Pharyngea mengalirkan darah ke bagian posterior radix nasi.

6. A. ethmoidalis posterior yang mengalirkan darah ke bagian superior


septum nasi dan bagian superior dinding lateral cavum nasi.

7. A. Nasales posterior septi, cabang a. maxillaries externa mengalirkan


darah ke bagian inferior dari septum nasi sepanjang dasar cavum nasi.
(Vaskularisasi cavum nasi pada gambar 5)

Gambar 5: Vaskularisasi cavum nasi

I.3 Fisiologi Hidung

1. Fungsi respiratoris (pernapasan) yaitu dilaksanakan dengan cara mengatur


banyaknya udara yang masuk, menyiapkan udara yang masuk ke paru-paru
sesuai dengan keadaan paru, dan desinfeksi.

7
2. Fungsi Olfaktoris untuk membau

3. Fungsi resonansi suara yang dilakukan oleh rongga cavum nasi bersama
dengan sinus paranasalis, merupakan resonator dari suara yang dihasilkan
oleh larynx.

4. Fungsi drainase dan ventilasi 1

II. Tinjauan Pustaka

II.1 Definisi

Rinitis atrofi (ozaena) adalah penyakit hidung kronik yang khas ditandai
dengan atrofi mukosa hidung progresif, pembentukan sekret yang kental dan
tebal yang cepat mengering membentuk krusta, menyebabkan obstruksi
hidung, anosmia, dan mengeluarkan bau busuk. Rinitis atrofi disebut juga
rinitis sika, rinitis kering, sindrom hidung-terbuka, atau ozaena.1

II.2 Epidemiologi

Rinitis atrofi merupakan penyakit yang umum di negara-negara


berkembang. Penyakit ini muncul sebagai endemi di daerah subtropis dan
daerah yang bersuhu panas seperti Asia Selatan, Afrika, Eropa Timur dan
Mediterania. Pasien biasanya berasal dari kalangan ekonomi rendah dengan
status higiene buruk. Rinitis atrofi kebanyakan terjadi pada wanita, angka
kejadian wanita : pria adalah 3:1.Penyakit ini dikemukakan pertama kali
oleh dr.Spencer Watson di London pada tahun 1875. Penyakit ini paling
sering menyerang wanita usia 1 sampai 35 tahun, terutama pada usia
pubertas dan hal ini dihubungkan dengan statusestrogen (faktor hormonal).3-
4

Rhintis atrofi lebih sering mengenai wanita, terutama usia pubertas.


Tetapi beberapa penulis mendapatkan hasil yang berbeda – beda. Penyakit
ini sering ditemukan di kalangan masyarakat dengan tingkat social ekonomi
yang rendah, lingkungan yang buruk dan di Negara yang sedang
berkembang. Di RS Adam malik Medan, dari januari 1999 sampai

8
Desember 2000 ditemukan enam penderita rhinitis atrofi yaitu empat orang
wanita dan dua pria dengan umur berkisar 10 – 37 tahun. Ozaena juga
ditemukan pada orang –orang dengan abnormalitas bentuk tengkorak dan
malformasi fossa nasi, dan palatum, anak – anak dengan perkembangan
tulang konka dan mukosa hidung yang terhambat dan wanita dengan
vaginitis atrofi. 3-4

Insiden ozaena di Negara negara Barat menurun dengan meningkatnya


pemakaian antibiotika tetapi dilaporkan di negara-negara tropis dan
subtropis masih sering dijumpai. Prevalensi ozaena 0,3 – 1%, predominan
pada wanita usia muda dan prepubertas, dengan perbandingan antara wanita
dan laki-laki 5,6:1. 1

II.3 Etiologi

Etiologi ozaena belum diketahui pasti, beberapa ahli mengatakan akibat


infeksi bakteri Klebsiella ozaenae dan Bacillus foetidus. Kuman lain sebagai
penyebab adalah Proteus mirabilis, Escherichia coli dan Staphylococcus
aureus.1

II.4 Faktor Predisposisi

a. Infeksi:
Beberapa organisme telah ditemukan pada hidung pasien penderita
rinitis atrofi, terutama kuman Klebsiella ozaena, kuman ini
menghentikan aktifitas sillia normal pada mukosa hidung manusia.
Selain itu kuman lain yang di temukan pada penderia rinitis atrofi
adalah, Coccobacillus foetidus ozaena (Coccobacillus of Perez),
Coccobacillus of Loewenberg, Bacillus mucosus (Abel’s bacillus),
diphteroids, Bacillus pertusis, Haemophilus influenza, Pseudomonas
aeruginosa dan Proteus species, tetapi semua bakteri tersebut tidak dapat
dibuktikan sebagai penyebab rinitis atrofi.

9
b. Herediter
Penyakit ini diketahui berkaitan dengan hubungan keluarga yang
berdekatan. Penelitian oleh Amreliwala tahun 1993 ditemukan 27,4 %
kasus bersifat diturunkan secara autosomal dominan dan 67 %
diturunkan secara resesif. Penelitian oleh Singh tahun 1992, 20 % kasus
ditemukan adanya riwayat satu atau lebih anggota keluarga yang
mempunyai penyakit yang serupa.
c. Malnutrisi
Nutrisi yang buruk disebutkan sebagai faktor penting pada
perkembangan rinitis atrofi. Beberapa penulis menyebutkan penyakit ini
berhubungan dengan defisiensi Fe (Zat besi). Selain itu defisiensi
vitamin larut lemak (terutama vitamin A) juga dipertimbangkan sebagai
salah satu faktor penyebab.
d. Gangguan Hormonal: Wanita muda
Defisiensi estrogen sebagai faktor penyebab rinitis atrofi. Insidensi
penyakit ini pada perempuan pubertas, gejala yang memberat pada saat
menstruasi dan kehamilan, dan berkurangnya gejala pada beberapa kasus
setelah pemberian estrogen, merupakan pendukung teori tersebut.

II.5 Patofisiologi

Patofisiologi atau perjalanan penyakit dari rhinitis atrofi dimulai dari


berbagai etiologi atau penyebab seperti bakteri Klebsiella ozaena, trauma,
penyebaran infeksi lokal setempat (contoh: sinusitis maxillaris), efek lanjut
dari tindakan bedah, radiasi, dan kemudian akan menyebabkan terjadinya
suatu peradangan pada hidung. Jika peradangan ini berlangsung lama dan
tidak kunjung sembuh, maka disebut inflamasi kronik. Inflamasi kronik ini
akan menyebabkan banyak perubahan anatomi dan fungsi hidung.2

Perubahan-Perubahan pada hidung ini berupa perubahan histologis


rinitis atrofi pada stadium awal berupa proses peradangan kronis dan pada
stadium lanjut berupa atrofi dan fibrosis mukosa hidung. Mula-mula sel

10
epitel toraks dan silianya yang merupakan sel epitel yang terdapat pada
konka hidung akan hilang. Epitel ini mengalami stratifikasi
awal dan metaplasia (berubah menjadi sel dewasa yang lain, dalam hal ini
sel epitel torak bersilia berubah menjadi epitel gepeng. stadium lanjut,
sebagian besar epitel telah menjadi gepeng. 2

Metaplasia sel epitel torak bersilia menjadi epitel gepeng tanpa silia ini,
akan menyebabkan hilangnya kemampuan pembersihan hidung dan
kemampuan membersihkan debris (karena ini merupakan fungsi dari silia,
jadi jika silianya telah hilang maka kemampuan pembersihan hidung dan
kemampuan membersihkan debris juga menghilang). Akibat selanjutnya
kelenjar mukosa mengalami atrofi dan bahkan bisa menghilang,
terbentuknya fibrosis jaringan subepitel yang luas, fungsi surfaktan akan
menjadi abnormal. Defisiensi surfaktan merupakan penyebab utama
menurunnya resistensi hidung terhadap infeksi.2

Fungsi surfaktan yang abnormal menyebabkan pengurangan defisiensi


klirens mucus, dan mempunyai pengaruh yang kurang baik terhadap
frekuensi gerakan silia (bulu hidung) sehingga akan membuat bertumpuknya
lendir, semakin tipisnya epitel (atrofi konkha) akan membuat rongga hidung
semakin membesar, karena itulah terjadi kekeringan, pembentukan krusta,
dan iritasi mukosa semakin meluas. Lalu jika bloodsupply juga tidak
adekuat, maka akan terjadi nekrosis sel dan jaringan yang bila nanti
mengalami proses pembusukan dan bercampur dengan toxin dari
mikroorganisme akan menghasilkan pus kehijauan yang berbau busuk yang
mengering di sebut krusta. Krusta yang merupakan medium yang sangat
baik untuk pertumbuhan kuman. Jika krusta terlepas akan membuat
epistaksis. Selain atrofi dari mukosa, juga bisa terjadi atrofi dari mukosa
olfaktoria yang bisa menyebabkan penderita mengalami hiposmia atau
bahkan anosmia (hilangnya kemampuan untuk mencium aroma).2

11
II.6 Klasifikasi

Rinitis atrofi berdasarkan gejala klinis diklasifikasikan oleh dr. Spencer


Watson (1875) sebagai berikut:

1. Rinitis atrofi ringan, ditandai dengan pembentukan krusta yang tebal dan
mudah ditangani dengan irigasi.

2. Rinitis atrofi sedang, ditandai dengan anosmia dan rongga hidung yang
berbau.

3. Rinitis atrofi berat, misalnya rinitis atrofi yang disebabkan oleh sifilis,
ditandai oleh rongga hidung yang sangat berbau disertai destruksi tulang.

Berdasarkan penyebabnya rinitis atrofi dibedakan atas:

1. Rinitis atrofi primer, merupakan bentuk klasik rinitis atrofi yang didiagnosis
pereksklusionam setelah riwayat bedah sinus, trauma hidung, atau radiasi
disingkirkan. Penyebab primernya merupakan Klebsiella ozenae.

2. Rinitis atrofi sekunder, merupakan bentuk yang palng sering ditemukan di


negara berkembang. Penyebab terbanyak adalah bedah sinus, selanjutnya
radiasi, trauma, serta penyakit granuloma dan infeksi.

II.7 Stadium

a. Tingkat I : Atrofi mukosa hidung, mukosa tampak kemerahan dan berlendir,


krusta sedikit.

b. Tingkat II : Atrofi mukosa hidung makin jelas, mukosa makin kering,


warna makin pudar, krusta banyak, keluhan anosmia belum jelas.

c. Tingkat III : Atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka tampak sebagai
garis, rongga hidung tampak lebar sekali, dapat ditemukan krusta di
nasofaring, terdapat anosmia yang jelas.5

12
II.8. Diagnosis

A. Anamnesis

Keluhan yang paling sering di keluhkan pasien adalah adanya


perasaan hidung tersumbat, sakit kepala atau nyeri pada wajah, adanya
sekret hijau kental serta krusta (kerak) berwarna kuning kehijauan atau
kadang-kadang dapat berwarna hitam dan berbau busuk. Hidung terasa
kering dan epistaksis (hidung berdarah). Keluhan subjektif lain yang
sering ditemukan pada pasien biasanya napas berbau (sementara pasien
sendiri menderita anosmia) jadi orang di sekitar penderita yang biasanya
tidak tahan dengan bau tersebut, tetapi pasien sendiri tidak merasakannya
karena hiposmia atau anosmia. Pasien mengeluh kehilangan indra
pengecap dan tidak bisa tidur nyenyak ataupun tidak tahan udara dingin.
Meskipun jalan napas jelas menjadi semakin lebar, pasien merasakan
sumbatan yang makin progresif saat bernapas lewat hidung, terutama
karena katup udara yang mengatur perubahan tekanan hidung dan
menghantarkan impuls sensorik dari mukosa hidung ke sistem saraf pusat
telah bergerak semakin jauh dari gambarannya. Kadang kala penderita
mengeluhkan ganggan pada telinga, ini terjadi karena kekeringan,
pembentukan krusta dan iritasi mukosa hidung dapat meluas ke epitel
nasofaring dan laring. Keadaan ini dapat mempengaruhi potensi tuba
eustachius, berakibat efusi telinga kronik, dan dapat menimbulkan
perubahan yang tidak diharapkan pada apparatus lakrimalis, termasuk
keratitis sikka.

Secara klinis rinitis atrofi terbagi dalam tiga tingkatan yaitu:

- Tingkat I : atrofi mukosa hidung, mukosa tampak kemerahan dan


berlendir, krusta sedikit.
- Tingkat II : atrofi mukosa hidung semakin jelas, mukosa makin kering,
warna makin pudar, krusta banyak, keluhan anosmia belum jelas.

13
- Tingkat III: atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka tampak
sebagai garis, rongga hidung tampak lebar sekali, dapat ditemukan
krusta di nasofaring, terdapat anosmia yang jelas.

B. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan rinoskopi anterior didapati krusta berwarna kuning


kehijauan atau kadang-kadang krusta dapat berwarna hitam terutama pada
dinding lateral kavum nasi yang berbau busuk. Setelah krusta diangkat,
biasanya akan terjadi perdarahan. Tampak rongga hidung yang sangat
lapang dan konka yang atrofi, mukosa hidung yang tipis dan kering.
Nasofaring bagian belakang dan bagian atas palatum molle jelas terlihat
tanpa hambatan. (Pemeriksaan rinoskopi anterior pada gambar 6)

Gambar 6 Rinitis Atrofi pada pemeriksaan rinoskopi anterior

C. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan darah rutin dan Fe serum, kultur dan uji sensitifitas


sekret hidung, uji serologis (VDRL) untuk menyingkirkan sifilis, uji
mantoux dan foto toraks PA apabila rinitis atrofi diduga berhubungan
dengan tuberkulosis, foto rontgen dan CT scan sinus paranasal dan
pemeriksaan biopsi hidung.

14
Pada foto rontgen sinus paranasal terdapat osteoporosis konka dan
rongga hidung yang lapang. Pada CT scan sinus paranasal terdapat
gambaran penebalan dari mukosa sinus paranasal, hilangnya kompleks
osteo meatal akibat destruksi bulla etmoid dan prosesus unsinatus,
hipoplasia dari sinus maksilaris, pembesaran dari rongga hidung dengan
destruksi dari dinding lateral hidung dan destruksi tulang konka inferior
dan konka media gambar CT scan Rhinitis atrofi.

II.9 Diagnosis Banding

a. Rinitis tuberkulosis
Tuberkulosis pada hidung berbentuk noduler atau ulkus, terutama
mengenai tulang rawan septum dan dapat mengakibatkan perforasi. Pada
pemeriksaan klinis terdapat sekret mukopurulen dan krusta sehingga
menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Diagnosis ditegakkan dengan
ditemukannya basil tahan asam (BTA) pada sekret hidung.
b. Rinitis sifilis
Penyebab rinitis sifilis ialah kuman Treponema pallidum. Pada rinitis
sifilis yang primer dan sekunder gejalanya hanya adanya bercak pada
mukosa. Pada rinitis sifilis tersier dapat ditemukan guma atau ulkus yang
terutama mengenai septum nasi dan dapat mengakibatkan perforasi
septum. Pada pemeriksaan klinis didapati sekret mukopurulen yang
berbau dan krusta. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan
mikrobiologik dan biopsi.
c. Rinitis lepra
Penyebab rinitis lepra adalah Mikobakterium leprae. Lesi pada hidung
sering terlihat pada penyakit ini. Pasien mengeluhkan hidung tersumbat
oleh karena pembentukan krusta serta adanya bercak darah. Mukosa
hidung terlihat pucat. Apabila infeksi berlanjut dapat menyebabkan
perforasi septum.

15
d. Rinitis sika
Pada rinitis sika ditemukan mukosa yang kering, terutama pada bagian
depan septum dan ujung depan konka inferior. Krusta biasanya sedikit
atau tidak ada. Pasien biasanya mengeluh rasa iritasi atau rasa kering
yang kadang-kadang disertai dengan epistaksis. Penyakit ini biasa
ditemukan pada orang tua dan pada orang yang bekerja di lingkungan
yang berdebu, panas dan kering.

II.10 Terapi

Pengobatan dapat diberikan secara konservatif dan pembedahan.

a. Konservatif

Pengobatan utama rinitis adalah konservatif yang dapat diberikan


secara lokal ataupun sistemik.

- Irigasi nasal. Campuran yang ideal untuk irigasi nasal terdiri dari 28.4 gr
sodium bikarbonat, 28.4 gr sodium diborate dan 56.7 gr sodium chloride.
Satu sendok teh dari campuran tersebut dilarutkan dalam 280 ml air
hangat, dan dicucikan ke hidung 3-4 kali sehari.
- Tetes hidung paraffin. Berguna untuk membasahi mukosa hidung dan
membersihkan krusta di kavum nasi.
- Oestradiol dalam minyak arachis. Kombinasi ini tersedia dalam bentuk
tetes hidung dan semprot hidung (10.000 units/ml).
- Solusio kemicetine anti ozaena. Campuran ini tiap 1 ml terdiri dari 90 mg
klorampenikol, 0.64 mg oestradiol diproprionate, 900 IU vitamin D2 dan
propylene glycol. Digunakan setelah pencucian hidung.
- Tetes hidung klorampenikol/streptomisin. Digunakan setelah pencucuian
hidung.
- Injeksi ekstrak plasenta. Sinha, Sardana dan Rjvanski melaporkan ekstrak
plasenta manusia secara sistemik memberikan 80% perbaikan dalam 2
tahun dan injeksi ekstrak plasenta submukosa intranasal memberikan

16
93,3% perbaikan pada periode waktu yang sama. Ini membantu regenerasi
epitel dan jaringan kelenjar.
- Antibiotik. Antibiotik spektrum luas sesuai uji resistensi kuman, dengan
dosis adekuat sampai tanda-tanda infeksi hilang. Qizilbash dan Darf
melaporkan hasil yang baik pada pengobatan dengan Rifampicin oral 600
mg 1 x sehari selama 12 minggu Vitamin A 3 x 50.000 unit dan preparat
Fe selama 2 minggu.
b. Pembedahan
Tujuan terapi bedah yaitu :
- Menyempitkan rongga hidung Regenerasi mukosa hidung
- Mengurangi pengeringan mukosa hidung
- Meningkatkan vaskularisasi dari kavum nasi

Beberapa teknik operasi yang dilakukan :

- Young’s operation.
Prosedur ini adalah penutupan total salah satu rongga hidung dengan flap.
Tujuan operasi ini adalah mencegah efek kekeringan, mengurangi krusta
dan membuat mukosa dibawahnya tumbuh kembali. Tekanan negatif yang
timbul pada lubang hidung yang tertutup menyebabkan vasodilatasi dari
pembuluh darah sekitarnya. Teknik originalnya dilakukan dengan
menaikkan flap intranasal 1 cm dari cephalic ke lingkaran ala nasi. Flap ini
akan menutup lubang hidung tepat ditengahnya. Kekurangan teknik ini
adalah sulitnya membuat flap oleh karena flap mudah robek atau
timbulnya parut yang dapat menyebabkan stenosis vestibulum
- Modified Young’s operation
Modifikasi tehnik ini dilakukan oleh El Kholy. Prinsipnya yaitu penutupan
lubang hidung dengan meninggalkan 3 mm yang terbuka.
- Launtenschlager operation
Dengan memobilisasi dinding medial antrum dan bagian dari etmoid,
kemudian dipindahkan ke lubang hidung. Pada operasi ini, antrum maksila
dibuka dengan operasi Caldwell- Luc. Dinding medial antrum dimobilisasi

17
kearah medial dengan membuat potongan berbentuk U dengan
menggunakan bor, apabila mungkin, mukosa kavum nasi yang tipis karena
penyakit ini jangan sampai rusak. Tulang antrum medial dengan konka
inferior diluksasi kearah medial dengan bertumpu pada area etmoid.
Implantasi submukosa dengan tulang rawan, tulang, dermofit, bahan
sintetis seperti Teflon, campuran triosite, plastipore dan fibrin glue.
- Transplantasi duktus parotis ke dalam sinus maksila (Wittmack's
operation) dengan tujuan membasahi mukosa hidung.

II.11 Komplikasi

Komplikasi yang dapat timbul, berupa

a. Perforasi septum dan hidung pelana.


Pada kasus yang parah dan tidak diterapi, dapat menyebabkan komplikasi
berupa destruksi dari tulang dan tulang rawan hidung yang mengakibatkan
perforasi septum dan hidung pelana.
b. Faringitis atrofi.
Hal ini biasanya terjadi bersamaan dengan rinitis atrofi dimana terdapat
mukosa faring yang kering. Krusta yang lepas dapat menyebabkan episode
batuk seperti tercekik.
c. Miasis nasi.
Merupakan komplikasi yang jarang ditemui, terutama pada pasien dengan
sosio ekonomi yang rendah dimana bau busuk tersebut menarik lalat dari
genus Chrysomia (C. Bezianna vilteneauve). Lalat ini meletakkan telurnya
yang kemudian menetas menjadi magot. Puluhan sampai ratusan magot
dapat memenuhi rongga hidung dimana mereka makan dari mukosa sampai
tulang hidung. Mereka membuat terowongan di jaringan lunak hidung, sinus
paranasal, nasofaring, dinding faring jaringan orbita, lakrimal, sampai dasar
tengkorak yang dapat menyebabkan meningitis dan kematian

18
II.12 Prognosis

Prognosis rinitis atrofi tergantung dari etiologi dan progresifitas


penyakitnya, jika cepat ditangani umumnya akan berakhir baik. Jika penyakit
di diagnosa pada tahap awal dan penyebabnya dapat dipastikan bakteri, maka
terapi antimikrobial yang adekuat serta cuci hidung yang rutin diharapkan
dapat mmengembalikan fungsi hidung kembali. Jika penyakit didapati dengan
gejala klinis yang parah, tetap dicoba dengan terapi medikamentosa, dan jika
tidak berhasil perlu dipikirkan untuk melakukan tindakan bedah.

19
RINGKASAN

Rinitis atrofi (Ozaena) adalah penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai
adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka dan pembentukan krusta.
Secara klinis, mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat
mengering, sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk.

Etiologi ozaena belum diketahui pasti, dapat karena infeksi bakteri


Klebsiella ozaenae dan Bacillus foetidus. Faktor lain yang diduga sebagai
penyebab yaitu adanya defisiensi nutrisi (vitamin A dan zat besi), endokrin
(estrogen) dan herediter.

Gejala ozaena berupa keluhan utama diantaranya adalah nafas berbau busuk
yang dirasakan oleh orang disekitarnya, penderitanya mengalami anosmia, hidung
buntu karena banyak krusta di cavum nasi, dan faring terasa kering.

Pengobatan ditujukan untuk menghilangkan faktor penyebab dan untuk


menghilangkan gejala.Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau jika
tidak menolong dilakukan operasi.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Rusina, Dwi.2010. TIGA KASUS RINITIS ATROFI PRIMER (OZAENA)


DALAM SATU KELUARGA (Laporan kasus). SMF Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga

2.Asnir,A.R.2004. RinitisAtrofi. Available from :http://www.kalbe.co.id. . Sumber


:Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004.

3. Yucel, Aylin et al. Atrophic Rinitis: A Case Report, Turk J Med Sci.2003;33:
405 – 407

4. Jurnal Reading Atrophic Rhinitis. [online] tersedia di URL:http://www.yasser-


nour.com/atrophic-rhinitis.pdf.

5. Soedarjatni. 1977. Foetor Ex Nasi. Available from :http://www.kalbe.co.id.


Sumber :Cermin Dunia Kedokteran No. 9, 1977.

6. Dutt SN, Kameswaran M. Review article the aetiology and management of


atrophic rhinitis. J Laryngol Otol 2005; 119 : 843- 52.

7. Al-Fatih M. Rinitis atrofi (ozaena).2009. Available from www.klinik


Indonesia.com.

21

Anda mungkin juga menyukai