Oleh: Ayu Aditya Willy Wrastuti, Cecilia Febriani Marentek, Desyana Kasim
KEPANITERAAN KLINIK
2019
PENDAHULUAN
Penyakit rinitis atrofi sering di kenal juga dengan istilah ozaena, rinitis
foetida, atau rinitis krustosa. Rinitis atrofi atau ozaena lebih umum di negara-
negara sekitar laut tengah dari pada di Amerika Serikat. Penyakit ini muncul
sebagai endemi di daerah subtropis dan daerah yang bersuhu panas seperti Asia
Selatan, Afrika, Eropa Timur dan Mediterania. Pasien biasanya berasal dari
kalangan ekonomi rendah dengan status higiene buruk. Rinitis atrofi kebanyakan
terjadi pada wanita, angka kejadian wanita : pria adalah 3:1.2
1
Diagnosis ozaena dibuat secara klinik dengan adanya perubahan
karakteristik di hidung berupa perluasan rongga hidung, atrofi mukosa dan
perlekatan krusta tebal kehijauan atau secara mikrobiologi dengan isolasi bakteri
yang diduga sebagai penyebab seperti Klebsiella ozaenae dari kultur hidung.
Beberapa pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan untuk diagnosis ozaena
yaitu pemeriksaan hemoglobin penting pada penderita anemia, hitung jumlah
leukosit bisa didapatkan leukositosis, hapusan darah tepi akan didapatkan
hipokromik mikrositik yang menggambarkan anemia defisiensi besi. 1
Tujuan dari penulisan referat ini yaitu untuk mengetahui tentang anatomi
dan fisiologi, definisi, patofisiologi, epidemiologi, etiologi, faktor predisposisi,
klasifikasi, stadium, diagnosa, diagnosa banding, terapi, komplikasi, dan
prognosis dari penyakit rinitis atrofi atau ozaena.
2
I. Anatomi dan Fisiologi Hidung
3
a. Muskulus pada nasus externus, merupakan otot yang bekerja pada ala nasi:
1. Otot dilator yang terdiri dari: M. dilator nasi anterior dan posterior, M.
Procerus, caput angular dari m. quadrates labii superior
2. Otot konstriktor yang terdiri dari: M. Nasalis, M. Depressor septi.1
Rongga hidung dibagi menjadi 2 bagian oleh septum nasi. Terdiri atas 2
bagian:
4
Batas batas Cavum nasi:
• Posterior : koane
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang
berasal dari n.oftalmikus (N.V1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar
mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion
5
sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum selain memberikan persarafan
sensoris juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa
hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris dari n.maksila
(N.V2), serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-
serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak
di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media.2
6
4. A. Lateralis nasi memvaskularisasi dinding lateral cavum nasi yang dekat
nares.
7
2. Fungsi Olfaktoris untuk membau
3. Fungsi resonansi suara yang dilakukan oleh rongga cavum nasi bersama
dengan sinus paranasalis, merupakan resonator dari suara yang dihasilkan
oleh larynx.
II.1 Definisi
Rinitis atrofi (ozaena) adalah penyakit hidung kronik yang khas ditandai
dengan atrofi mukosa hidung progresif, pembentukan sekret yang kental dan
tebal yang cepat mengering membentuk krusta, menyebabkan obstruksi
hidung, anosmia, dan mengeluarkan bau busuk. Rinitis atrofi disebut juga
rinitis sika, rinitis kering, sindrom hidung-terbuka, atau ozaena.1
II.2 Epidemiologi
8
Desember 2000 ditemukan enam penderita rhinitis atrofi yaitu empat orang
wanita dan dua pria dengan umur berkisar 10 – 37 tahun. Ozaena juga
ditemukan pada orang –orang dengan abnormalitas bentuk tengkorak dan
malformasi fossa nasi, dan palatum, anak – anak dengan perkembangan
tulang konka dan mukosa hidung yang terhambat dan wanita dengan
vaginitis atrofi. 3-4
II.3 Etiologi
a. Infeksi:
Beberapa organisme telah ditemukan pada hidung pasien penderita
rinitis atrofi, terutama kuman Klebsiella ozaena, kuman ini
menghentikan aktifitas sillia normal pada mukosa hidung manusia.
Selain itu kuman lain yang di temukan pada penderia rinitis atrofi
adalah, Coccobacillus foetidus ozaena (Coccobacillus of Perez),
Coccobacillus of Loewenberg, Bacillus mucosus (Abel’s bacillus),
diphteroids, Bacillus pertusis, Haemophilus influenza, Pseudomonas
aeruginosa dan Proteus species, tetapi semua bakteri tersebut tidak dapat
dibuktikan sebagai penyebab rinitis atrofi.
9
b. Herediter
Penyakit ini diketahui berkaitan dengan hubungan keluarga yang
berdekatan. Penelitian oleh Amreliwala tahun 1993 ditemukan 27,4 %
kasus bersifat diturunkan secara autosomal dominan dan 67 %
diturunkan secara resesif. Penelitian oleh Singh tahun 1992, 20 % kasus
ditemukan adanya riwayat satu atau lebih anggota keluarga yang
mempunyai penyakit yang serupa.
c. Malnutrisi
Nutrisi yang buruk disebutkan sebagai faktor penting pada
perkembangan rinitis atrofi. Beberapa penulis menyebutkan penyakit ini
berhubungan dengan defisiensi Fe (Zat besi). Selain itu defisiensi
vitamin larut lemak (terutama vitamin A) juga dipertimbangkan sebagai
salah satu faktor penyebab.
d. Gangguan Hormonal: Wanita muda
Defisiensi estrogen sebagai faktor penyebab rinitis atrofi. Insidensi
penyakit ini pada perempuan pubertas, gejala yang memberat pada saat
menstruasi dan kehamilan, dan berkurangnya gejala pada beberapa kasus
setelah pemberian estrogen, merupakan pendukung teori tersebut.
II.5 Patofisiologi
10
epitel toraks dan silianya yang merupakan sel epitel yang terdapat pada
konka hidung akan hilang. Epitel ini mengalami stratifikasi
awal dan metaplasia (berubah menjadi sel dewasa yang lain, dalam hal ini
sel epitel torak bersilia berubah menjadi epitel gepeng. stadium lanjut,
sebagian besar epitel telah menjadi gepeng. 2
Metaplasia sel epitel torak bersilia menjadi epitel gepeng tanpa silia ini,
akan menyebabkan hilangnya kemampuan pembersihan hidung dan
kemampuan membersihkan debris (karena ini merupakan fungsi dari silia,
jadi jika silianya telah hilang maka kemampuan pembersihan hidung dan
kemampuan membersihkan debris juga menghilang). Akibat selanjutnya
kelenjar mukosa mengalami atrofi dan bahkan bisa menghilang,
terbentuknya fibrosis jaringan subepitel yang luas, fungsi surfaktan akan
menjadi abnormal. Defisiensi surfaktan merupakan penyebab utama
menurunnya resistensi hidung terhadap infeksi.2
11
II.6 Klasifikasi
1. Rinitis atrofi ringan, ditandai dengan pembentukan krusta yang tebal dan
mudah ditangani dengan irigasi.
2. Rinitis atrofi sedang, ditandai dengan anosmia dan rongga hidung yang
berbau.
3. Rinitis atrofi berat, misalnya rinitis atrofi yang disebabkan oleh sifilis,
ditandai oleh rongga hidung yang sangat berbau disertai destruksi tulang.
1. Rinitis atrofi primer, merupakan bentuk klasik rinitis atrofi yang didiagnosis
pereksklusionam setelah riwayat bedah sinus, trauma hidung, atau radiasi
disingkirkan. Penyebab primernya merupakan Klebsiella ozenae.
II.7 Stadium
c. Tingkat III : Atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka tampak sebagai
garis, rongga hidung tampak lebar sekali, dapat ditemukan krusta di
nasofaring, terdapat anosmia yang jelas.5
12
II.8. Diagnosis
A. Anamnesis
13
- Tingkat III: atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka tampak
sebagai garis, rongga hidung tampak lebar sekali, dapat ditemukan
krusta di nasofaring, terdapat anosmia yang jelas.
B. Pemeriksaan Fisik
C. Pemeriksaan Penunjang
14
Pada foto rontgen sinus paranasal terdapat osteoporosis konka dan
rongga hidung yang lapang. Pada CT scan sinus paranasal terdapat
gambaran penebalan dari mukosa sinus paranasal, hilangnya kompleks
osteo meatal akibat destruksi bulla etmoid dan prosesus unsinatus,
hipoplasia dari sinus maksilaris, pembesaran dari rongga hidung dengan
destruksi dari dinding lateral hidung dan destruksi tulang konka inferior
dan konka media gambar CT scan Rhinitis atrofi.
a. Rinitis tuberkulosis
Tuberkulosis pada hidung berbentuk noduler atau ulkus, terutama
mengenai tulang rawan septum dan dapat mengakibatkan perforasi. Pada
pemeriksaan klinis terdapat sekret mukopurulen dan krusta sehingga
menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Diagnosis ditegakkan dengan
ditemukannya basil tahan asam (BTA) pada sekret hidung.
b. Rinitis sifilis
Penyebab rinitis sifilis ialah kuman Treponema pallidum. Pada rinitis
sifilis yang primer dan sekunder gejalanya hanya adanya bercak pada
mukosa. Pada rinitis sifilis tersier dapat ditemukan guma atau ulkus yang
terutama mengenai septum nasi dan dapat mengakibatkan perforasi
septum. Pada pemeriksaan klinis didapati sekret mukopurulen yang
berbau dan krusta. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan
mikrobiologik dan biopsi.
c. Rinitis lepra
Penyebab rinitis lepra adalah Mikobakterium leprae. Lesi pada hidung
sering terlihat pada penyakit ini. Pasien mengeluhkan hidung tersumbat
oleh karena pembentukan krusta serta adanya bercak darah. Mukosa
hidung terlihat pucat. Apabila infeksi berlanjut dapat menyebabkan
perforasi septum.
15
d. Rinitis sika
Pada rinitis sika ditemukan mukosa yang kering, terutama pada bagian
depan septum dan ujung depan konka inferior. Krusta biasanya sedikit
atau tidak ada. Pasien biasanya mengeluh rasa iritasi atau rasa kering
yang kadang-kadang disertai dengan epistaksis. Penyakit ini biasa
ditemukan pada orang tua dan pada orang yang bekerja di lingkungan
yang berdebu, panas dan kering.
II.10 Terapi
a. Konservatif
- Irigasi nasal. Campuran yang ideal untuk irigasi nasal terdiri dari 28.4 gr
sodium bikarbonat, 28.4 gr sodium diborate dan 56.7 gr sodium chloride.
Satu sendok teh dari campuran tersebut dilarutkan dalam 280 ml air
hangat, dan dicucikan ke hidung 3-4 kali sehari.
- Tetes hidung paraffin. Berguna untuk membasahi mukosa hidung dan
membersihkan krusta di kavum nasi.
- Oestradiol dalam minyak arachis. Kombinasi ini tersedia dalam bentuk
tetes hidung dan semprot hidung (10.000 units/ml).
- Solusio kemicetine anti ozaena. Campuran ini tiap 1 ml terdiri dari 90 mg
klorampenikol, 0.64 mg oestradiol diproprionate, 900 IU vitamin D2 dan
propylene glycol. Digunakan setelah pencucian hidung.
- Tetes hidung klorampenikol/streptomisin. Digunakan setelah pencucuian
hidung.
- Injeksi ekstrak plasenta. Sinha, Sardana dan Rjvanski melaporkan ekstrak
plasenta manusia secara sistemik memberikan 80% perbaikan dalam 2
tahun dan injeksi ekstrak plasenta submukosa intranasal memberikan
16
93,3% perbaikan pada periode waktu yang sama. Ini membantu regenerasi
epitel dan jaringan kelenjar.
- Antibiotik. Antibiotik spektrum luas sesuai uji resistensi kuman, dengan
dosis adekuat sampai tanda-tanda infeksi hilang. Qizilbash dan Darf
melaporkan hasil yang baik pada pengobatan dengan Rifampicin oral 600
mg 1 x sehari selama 12 minggu Vitamin A 3 x 50.000 unit dan preparat
Fe selama 2 minggu.
b. Pembedahan
Tujuan terapi bedah yaitu :
- Menyempitkan rongga hidung Regenerasi mukosa hidung
- Mengurangi pengeringan mukosa hidung
- Meningkatkan vaskularisasi dari kavum nasi
- Young’s operation.
Prosedur ini adalah penutupan total salah satu rongga hidung dengan flap.
Tujuan operasi ini adalah mencegah efek kekeringan, mengurangi krusta
dan membuat mukosa dibawahnya tumbuh kembali. Tekanan negatif yang
timbul pada lubang hidung yang tertutup menyebabkan vasodilatasi dari
pembuluh darah sekitarnya. Teknik originalnya dilakukan dengan
menaikkan flap intranasal 1 cm dari cephalic ke lingkaran ala nasi. Flap ini
akan menutup lubang hidung tepat ditengahnya. Kekurangan teknik ini
adalah sulitnya membuat flap oleh karena flap mudah robek atau
timbulnya parut yang dapat menyebabkan stenosis vestibulum
- Modified Young’s operation
Modifikasi tehnik ini dilakukan oleh El Kholy. Prinsipnya yaitu penutupan
lubang hidung dengan meninggalkan 3 mm yang terbuka.
- Launtenschlager operation
Dengan memobilisasi dinding medial antrum dan bagian dari etmoid,
kemudian dipindahkan ke lubang hidung. Pada operasi ini, antrum maksila
dibuka dengan operasi Caldwell- Luc. Dinding medial antrum dimobilisasi
17
kearah medial dengan membuat potongan berbentuk U dengan
menggunakan bor, apabila mungkin, mukosa kavum nasi yang tipis karena
penyakit ini jangan sampai rusak. Tulang antrum medial dengan konka
inferior diluksasi kearah medial dengan bertumpu pada area etmoid.
Implantasi submukosa dengan tulang rawan, tulang, dermofit, bahan
sintetis seperti Teflon, campuran triosite, plastipore dan fibrin glue.
- Transplantasi duktus parotis ke dalam sinus maksila (Wittmack's
operation) dengan tujuan membasahi mukosa hidung.
II.11 Komplikasi
18
II.12 Prognosis
19
RINGKASAN
Rinitis atrofi (Ozaena) adalah penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai
adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka dan pembentukan krusta.
Secara klinis, mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat
mengering, sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk.
Gejala ozaena berupa keluhan utama diantaranya adalah nafas berbau busuk
yang dirasakan oleh orang disekitarnya, penderitanya mengalami anosmia, hidung
buntu karena banyak krusta di cavum nasi, dan faring terasa kering.
20
DAFTAR PUSTAKA
3. Yucel, Aylin et al. Atrophic Rinitis: A Case Report, Turk J Med Sci.2003;33:
405 – 407
21