Anda di halaman 1dari 12

BAB I

LANDASAN TEORI

1.1. Latar Belakang


Infeksi jamur dapat superfisial, subkutan dan sistemik, tergantung pada
karateristik dari host. Dermatofita merupakan kelompok jamur yang terkait secara
taksonomi. Kemampuan mereka untuk membentuk lampiran molekul keratin dan
menggunakannya sebagai sumber nutrisi memungkinkan mereka untuk berkoloni pada
jaringan keratin, masuk kedalam stratum korneum dari epidermis, rambut, kuku dan
jaringan pada hewan. Infeksi superfisial yang disebabkan oleh dematofit yang disebut
dermatofitosis, dimana dermatimicosis mengacu pada infeksi jamur.
Insidensi mikosis superfisial sangat tinggi di Indonesia karena menyerang
masyarakat luas, oleh karena itu akan dibicarakan secara luas. Sebaliknya mikosis
profunda jarang terdapat. Yang termasuk ke dalam mikosis superfisial terbagi dua
kelompok dermatofitosis dan non-dermatofitosis. Dermatofitosis ialah penyakit pada
jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis,
rambut, dan kuku yang disebabkan golongan jamur dermatofita. Penyebabnya adalah
dermatofita yang mana golongan jamur ini mempunyai sifat mencerna keratin.
Dermatofita termasuk kelas fungi imperfecti yang terbagi dalam genus, yaitu
microsporum, trichophyton, dan epidermophyton. Selain sifat keratolitik masih banyak
sifat yang sama di antara dermatofita, misalnya sifat faali, taksonomis, antigenik,
kebutuhan zat makanan untuk pertumbuhannya, dan penyebab penyakit.
Beberapa penelitian yang pernah dilakukan di Indonesia antara lain: 30% dan
pekerja penebang kayu di Palembang dan 11,8% dan pekerja perusahaan kayu lapis
menderita dermatitis kontak utama Wijaya (1972) menemukan 23,75% dan pekerja
pengelolaan minyak di Sumatera Selatan menderita dermatitis akibat kerja, sementara
Raharjo (1982) hanya menemukan 1,82%. Sumamur (1986) memperkirakan bahwa 50-
60% dari seluruh penyakit akibat kerja adalah dermatofitosis akibat kerja. Dari data
sekunder ini terlihat bahwa dermatofitosis akibat kerja memang mempunyai prevalensi
yang cukup tinggi, walaupun jenis dermatofitosisnya tidak sama. Dan angka insidensi

1
dermatofitosis pada tahun 1998 yang tercatat melalui Rumah Sakit Pendidikan
Kedokteran di Indonesia sangat bervariasi, dimulai dari persentase terendah sebesar 4,8
% (Surabaya) hingga persentase tertinggi sebesar 82,6 % (Surakarta) dari seluruh kasus
dermatomikosis.
Banyak cara untuk mengklasifikasikan jamur superfisial, tergantung habitat dan
pola infeksi. Organisme geofilik berasal dari tanah dan hanya sesekali menyerang
manusia, biasanya memalui kontak langsung dengan tanah.
Tinea kapitis adalah kelainan pada kulit kepala yang disebabkan oleh jamur
dermatofit. Tinea kapitis biasanya terjadi terutama pada anak – anak, meskipun ada
juga kasus pada orang dewasa yang biasanya terinfeksi Trichophyton tonsurans. Tinea
kapitis juga dapat dilihat pada orang dewasa sengan AIDS.

1.2. Rumusan masalah


1. Apa yang dimaksud dengan Tinea kapitis?
2. Bagaimana Epidemiologi Tinea kapitis?
3. Bagaimana Etiologi nya?
4. Bagaimana Gambaran Klinis Tinea kapitis?
5. Bagaimana Morfologi koloni Tinea kapitis?
6. Bagaimana Diagnosisnya?
7. Bagaimana Pemeriksaan Penunjang?
8. Serta Bagaimana Penatalaksananya?

1.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan umum
Untuk mengetahui pengertian Tinea kapitis, klasifikasinya, epidemiologi, etiologi,
gambaran klinis, morfologi koloni, diagnosisnya, pemeriksaan penunjang dan
penatalaksananya.
1.3.2. Tujuan khusus
Memenuhi tugas mata kuliah Mikologi tentang Penyakit yang disebabkan oleh
mikroorganisme jamur.

2
1.4. Manfaat
1.4.1. Bagi Penulis
Menambah wawasan serta pengetahuan tentang penyakit yang disebabkan oleh jamur
khususnya infeksi Tinea kapitis.
1.4.2. Bagi Pembaca
Memberikan wawasan mengenai penyakit Tinea kapitis.

3
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1. Epidemologi
Insiden penyakit ini sepertinya meningkat di Amerika utara dan Eropa. Di
Negara seperti Ethopia, dimana akses perawatan medis yang sulit tingkat infeksi telah
mencapai lebih dari 25%. Pathogen yang dominan bervariasi sesuai lokasi geografis.
Di Amerika utara dan Inggris jamur antropolitik seperti Trichophiton tonsurans
ditemukan pada 90% kasus. Jamur zoofilik seperti Microsporum canis ditemukan di
Eropa, terutama di Mediterania dan Eropa tengah (Chan. YC, Friedlander.SF, 2010).

2.2. Etiologi
Dermatofit ectothrix biasanya menginfeksi pada perifolikuler stratum korneum,
menyebar keseluruh dan kedalam batang rambut dari pertengahan sampai akhir rambut
sebelum turun ke folikel untuk menembus folikel rambut dan diangkut keatas pada
permukaannya. Dan biasanya disebabkan spesies dermatofita seperti golongan
Trichopiton dan Microsporum (Chan. YC, Friedlander.SF, 2010).

2.3. Gambaran Klinis


Gambaran Tinea kapitis tergantung dari etiologinya.

1. Grey patch ringworm


Merupakan tinea kapitis yang biasanya disebabkan oleh genus Microsporum dan
sering ditemukan pada anak-anak. Penyakit mulai dengan papul merah yang kecil
disekitar rambut. Papul ini melebar dan membentuk bercak, yang menjadi pusat dan
bersisik. Keluhan penderita adalah rasa gatal. Warna rambut menjadi abu – abu dan
tidak berkilat lagi. Rambut mulai patah dan terlepas dari akarnya, sehingga mudah
dicabut dengan pinset tanpa rasa nyeri. Semua rambut di daerah tersebut terserang oleh
jamur, sehingga dapat terbentuk alopesia setempat. Tempat – tempat ini terlihat sebagai
grey patch (Djuanda A et al, 2007).

4
2. Kerion
Adalah reaksi peradangan yang berat pada tinea kapitis, berupa pembengkakan
yang menyerupai sarang lebah dengan sebukan sel radang yang padat disekitarnya. Bila
penyebabnya Microsporum canis dan Microsporum gypseum, pembentukan kerion ini
lebih sering dilihat. Agak kurang bila penyebabnya Tricophyton tonsurans, dan sedikit
sekali bila penyebabnya adalah Tricophyton violaceum. Kelainan ini dapat
menimbulkan jaringan parut dan berakibat alopesia yang menetap. Jaringan parut yang
menonjol kadang – kadang dapat terbentuk (Djuanda A et al, 2007).

3. Black Dot Ringworm


Terutama disebabkan oleh Tricophyton tonsurans dan Tricophyton violaceum.
Pada permulaan penyakit, gambaran klinisnya menyerupai kelainan yang disebabkan
oleh genus Microsporum. Rambut yang terkena infeksi patah tepat pada muara folikel,
dan yang tertinggal adalah ujung rambut yang penuh spora. Ujung rambut yang hitam
didalam folikel rambut ini memberi gambaran khas, yaitu black dot. Ujung rambut

5
yang patah, kalau tumbuh kadang – kadang masuk ke bawah permukaan kulit. Dalam
hal ini perlu dilakukan irisan kulit untuk mendapat bahan biakan jamur (Djuanda A et
al, 2007).

2.4. Morfologi Koloni

Microsporum canis memiliki konidia yang besar, berdinding kasar,


multiseluler, berbentuk kumparan, dan terbentuk pada ujung-ujung hifa. Konidia yang
seperti ini disebut makrokonidia. Spesies ini membentuk banyak makrokonidia yang
terdiri dari 8-15 sel, berdinding tebal dan sering kalu mempunyai ujung-ujung yang
melengkung atau kail berduri. Pigmen kuning-jingga biasanya terbentuk pada sisi
berlawanan dari koloni (ÇALKA et al., 2013).
2.4.1. Morfologi koloni

Gambar 2. Koloni Microsporum canis pada media


Microsporum canis membentuk putih, kasar berbulu koloni menyebar dengan
khas "berbulu" atau "berbulu" tekstur. Pada bagian bawah media pertumbuhan,
pigmen kuning yang mendalam karakteristik berkembang karena metabolit
disekresikan oleh jamur . Intensitas ini puncak pigmentasi kuning pada hari ke-6 dari
pertumbuhan koloni dan memudar secara bertahap membuat identifikasi koloni yang
lebih tua sulit. Beberapa strain M. canis gagal untuk menghasilkan pigmen kuning

6
sama sekali, pameran pertumbuhan koloni abnormal lambat dan membentuk
macroconidia berkembang. Budidaya beras dipoles cenderung untuk membangun
kembali morfologi pertumbuhan yang khas dan sangat membantu untuk identifikasi
(Behzadi et al., 2014)
2.4.1. Morfologi mikroskopis
Microsporum canis mereproduksi secara aseksual dengan membentuk
macroconidia yang asimetris, berbentuk sferis dan memiliki dinding sel yang tebal dan
kasar yang kasar. Bagian interior dari setiap macroconidium biasanya dibagi menjadi
enam atau lebih kompartemen dipisahkan oleh lintas-dinding yang luas. Microsporum
canis juga menghasilkan microconidia yang menyerupai orang-orang dari banyak
dermatofit lain dan dengan demikian tidak fitur diagnostik yang berguna (Behzadi et
al., 2014)

2.5. Diagnosis
Diagnosis klinis dari infeksi dermatofit dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan
mikroskopis dapat membuktikan infeksi jamur dalam beberapa menit, tidak sering kali
memungkinkan untuk spesiasi atau untuk mengidentifikasi kerentanan terhadap agen.
Evaluasi mikroskopis juga dapat menghasilkan hasil negatif palsu, dan kultur jamur
sebaiknya dilakukan ketika diduga adanya infeksi klinis dermatofit (Verma. S,
Heffernan. MP, 2008).

2.6. Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan mikroskopik
Pemeriksaan lesi yang melibatkan kulit kepala atau jenggot dengan
menggunakan lampu wood mungkin memperlihatkan gambaran pteridin dari
pathogen tertentu. Jika demikian, rambut dengan flouresensi tersebut harus diperiksa
lebih jauh. Perlu diketahui bahwa organisme ektotrik seperti Microsporum canis dan
Microsporum audouinii akan tampak flouresensi pada pemeriksaan lampu wood,
sedangkan organisme endotrik, Tricophyton tonsurans tidak tampak flouresensi
(Verma. S, Heffernan. MP, 2008).

7
Flouresensi positif terinfeksi oleh Microsporum audouinii, Microsporum canis,
Microsporum femgineum, Microsporum distorturn, dan Trichopiton schoenleinii.
Pada ruangan yang gelap kulit dibawah lampu ini berflouresensi agak biru. Ketombe
umumnya cerah putih kebiruan. Rambut yang terinfeksi berflouresensi hijau terang
atau kuning kehijauan (James.WD et al, 2006).
Pada pemeriksaan mikroskopi, rambut harus dicabut tidak di potong melihat di
mikroskop dengan pemeriksaan KOH 10 – 20% (Verma. S, Heffernan. MP, 2008).
2. Pemeriksaan Kultur
Spesiasi jamur didasarkan pada karakteristik mikroskopik, makroskopik dan
metabolisme organisme. Saboraud dextrose agar (SDA) adalah media isolasi yang
paling umum digunakan dan sebagai basis untuk gambaran yang paling morfologi.
Namun kontaminasi saprobes tumbuh pesat pada media ini (Verma. S, Heffernan.
MP, 2008).

2.7. Diagnosa Banding


1. Dermatitis Seboroik
Dermatitis seboroik dipakai untuk segolongan kelainan kulit yang didasari oleh
faktor konstitusi dan bertempat predileksi di tempat-tempat seboroik. Kelainan kulit
terdiri dari eritema dan skuama yang berminyak dan agak kekuningan (Djuanda A et
al, 2007).

8
2. Folikulitis
Radang folikel rambut yang disebabkan Staphilococcus aureus. Kelainan
berupa papul dan pustule yang eritematosa dan ditengahnya terdapat rambut, biasanya
multiple (Djuanda A et al, 2007).

3. Dermatitis atopik
Keadaan peradangan kulit kronis dan residif, disertai gatal, yang umumnya
sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak, sering berhubungan dengan
peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat atopi pada keluarga atau penderita.
Kelainan kulit berupa papul gatal, yang kemudian mengalami ekskoriasi dan
likenifikasi, distribusinya di daerah lipatan (Djuanda A et al, 2007).

2.8. Penatalaksana
Anti jamur sistemik dan topical memiliki beberapa khasiat melawan
dermatopit. Infeksi yang melibatkan rambut dan kulit memerlukan antijamur oral untuk
menembus dermatofit yang menembus folikel rambur. Pengobatan standar tinea kapitis
di amerika serikat masih menggunakan grisofulvin, triazole oral (itrakonazole,
flukonazol) dan terbinafin merupakan antijamur yang aman, efektif dan memiliki

9
keuntungan karena durasi pengobatan yang lebih pendek (Verma. S, Heffernan. MP,
2008).

 Pengobatan topical
- Selenium sulfide
- Iodine
- Ketoconazole
 Pengobatan sistemik
- Grisofulvin 20-25mg/kg/hr/8minggu
- Fluconazole 6 mg/kg/hr/20hr
- Itraconazole 3-5mg/kg/hr/4-6minggu
- Terbinafine 3-6mg/kg/hr/2-4minggu

10
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Tinea kapitis adalah penyakit yang disebabkan oleh jamur microsporum, yaitu
organisme fungi yang menyerang kulit (terutama kulit kepala dan rambut) dan
merupakan fungi yang umumnya hidup dan tumbuh pada hewan (kucing dan anjing)
tapi juga sering menginfeksi ataupun hidup dikulit manusia.
Tinea kapitis seringkali menyebabkan penyakit panu, kadas dan kurang
diberbagai lesi kulit, baik kepala, selangkangan, kulit luar, dsb. Bahan aktif dalam obat-
obatan anti jamur topikal termasuk miconazole, clotrimazole, econazole, oxiconazole,
ciclopirox, ketoconazole, terbinafine, dan butenafine.

3.2. Saran
Mengingat Tinea kapitis adalah penyakit yang berasal dari infeksi pada hewan,
terutama kucing dan anjing, oleh sebab itu kita harus benar-benar memperhatikan
kebersihan dan kesehatan hewan peliharaan, agar tidak terkena penyakit ini, jika sudah
terinfeksi maka segera lakukan tindakan agar tidak membahayakan keluarga maupun
diri kita.
Maka tidak menutup kemungkinan bahwa penularan penyakit kadas, kurap
melalui hewan peliharaan sangatlah besar peluangnya, kontak terlalu dekat dengan
hewan yang suspect kurap dan kadas sangatlah berpengaruh dalam proses penularan.

11
DAFTAR PUSTAKA

Chan. YC, Friedlander.SF. Journal of New Treatment for Tinea Capitis. Available from
URL : http://www.mjms.ukim.edu.mk. Diakses pada 16 januari 2019 pukul
15.25.
Djuanda A. Hamzah. Aisah, 2007. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin .Ed5th.Jakarta,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. P.59.95.20
Hay.R.J, Ashbee.H.R . Mycology . In, Rook’s Text Book Of Dermatology. Ed.7th. Vol
1 & 4. New Salford, Manchester. P.36.25- 36.27.
James.WD, Berger TG, Elston Dm. 2006. Disease resulting from fungi and yeasts. In,
Andrewa Diseases of The Skin:Clinical Dernatilogi. Ed10th.Kanada. P297-299
Verma. S, Heffernan. MP. 2008. Fungal Disease. In, Fitzpatrick’s Dermatology in
General Medicine. Ed.7th. Vol 1 & 2. New York, Amerika. P.1807-1818

12

Anda mungkin juga menyukai