Anda di halaman 1dari 34

“CINTA TAK TERBALAS”

Feb 23
By : DEWI LESTARI

Dulu, aku tak begitu mengenalnya, karena selain dia memiliki seorang kekasih, aku pun juga memiliki seorang
kekasih, hingga beberapa bulan setelah aku memutuskan hubunganku dengan kekasihku, dan begitu juga
dengannya.

Berawal dari sebuah flash disk yang ia pinjam dariku, lalu kami pun menukar nomor handphone, setelah
kejadian itu, kami berdua pun semakin akrab. Hampir setiap hari, ia menanyakan apa yang sedang aku lakukan,
hingga pada suatu hari, saat aku tidak sengaja menabrak dua ekor burung dara, dia adalah orang pertama yang
memperhatikan kondisiku dan mengobati lukaku.

Sejak saat itulah perasaanku mulai muncul kepadanya, tetapi dia belum bisa melupakan mantan kekasihnya
yang dahulu. Seminggu kemudian, aku mendengar kabar bahwa ada banyak wanita yang menyukai dia, dia pun
mencoba untuk membuka hatinya dan menyeleksi wanita-wanita yang suka padanya. Hampir setiap hari aku
selalu memberinya permen yang bertuliskan isi hatiku, dan aku selalu senyum sendiri bila melihat senyum
manisnya, tapi dia menanggapinya dengan biasa saja, aku tidak pernah menyerah. Satu per satu dari mereka
gugur, sekarang hanya ada aku dan gadis yang berinisial “S”.

Berbagai upaya kulakukan untuk mendapatkan cintanya, hingga pada suatu hari, pada saat pelajaran biologi, aku
dan dia saling membalas surat, dan di dalam surat itu, dia mengatakan : “kenapa kamu tidak berbicara secara
langsung saja denganku “, lalu dengan gugup aku pun mengatakan : “ aku malu “. Setelah pelajaran biologi
berakhir, aku pun di paksa oleh temanku agar aku mau berbicara berdua dengan lelaki yang aku sukai itu, aku
pun tidak bisa menolaknya. “ Ada apa? “, ujar lelaki yang kusukai itu. “ aku suka padamu “, ujarku dengan
malu-malu. Dia pun heran, dan apa yang aku dapat, seperti kata pepatah : “sudah jatuh, tertimpa tangga pula “,
sudah malu, ditolak pula.

Keesokan harinya, aku mendangar kabar bahwa dia sudah memiliki seorang kekasih, hatiku hancur
mendengarnya, aku berusaha untuk menyembunyikan kesedihanku dihadapannya, tapi ternyata itu sulit.

Dua hari tiga malam, aku masih menangisi nasibku yang selalu di sakiti oleh lelaki, dan aku belum bisa
menerima semuanya, kalau ternyata orang yang aku cintai, sekarang telah memiliki seorang kekasih, walaupun
aku tahu dari temanku, ternyata dia hanya melampiaskan perasaan sakit hatinya kepada kekasih barunya itu dan
ia tidak ingin menyakiti perasaanku seperti dia menyakiti perasaan gadis itu nantinya, karena aku terlalu baik
baginya.

Siang harinya, saat aku berdiri disamping jendela kelasku, aku mendengar suaranya yang sedang tertawa
bersama teman-temannya, lagi-lagi aku tidak bisa menahan air mataku, aku pun menangis tersedu-sedu bila
mendengar suaranya, sulit bagiku untuk melupakannya, apalagi dia sekelas denganku.
Mungkin dia berpikir kalau sikapku ini terlalu berlebihan dan agresif, tapi inilah sifatku, inilah diriku, aku
berbeda dengan yang lainnya.

Memang susah untuk melupakan orang yang sangat kita cintai, tapi aku tidak akan pernah menyerah untuk
mendapatkan cintannya, meski kutahu dia telah memiliki kekasih, dan aku sadar ia tidak akan pernah
memberikan cintanya padaku, tapi tak ada salahnya jika kita mengharapkan sesuatu yang kita inginkan,
walaupun itu semua tak akan mungkin terjadi, tapi yang terpenting kita sudah berusaha semampunya.

Mungkin orang-orang berpikir bahwa lebih baik dicintai dari pada mencintai seseorang, tapi itu tidak berlaku
kepadaku, aku lebih baik mencintai seseorang dari pada dicintai, karena jika kita mencintai seseorang, kita akan
merasa bahagia, meskipun hati kita tersakiti karena tidak dicintai.

Tetapi jika kita dicintai seseorang dan kita tidak mencintai orang tersebut, maka kita akan selalu merasa bersalah
karena telah menerima orang yang tidak kita cintai dan dia akan tersakiti, karena bagiku lebih baik tersakiti
daripada menyakiti.

^_^ ~~~ ^_^

~ SELESAI ~
Kiamat Memang Sudah Dekat
Cerpen Dewi Lestari

Kiamat bagi sebagian orang adalah peristiwa magis cenderung komikal, melibatkan naga
berkepala tujuh atau jembatan dari rambut dibelah tujuh. Peristiwa ini merupakan intervensi
pihak eksternal, yakni Tuhan, yang akan datang menghakimi manusia di hari yang tak terduga.
Lalu, jika tiba peristiwa alam yang meluluhlantakkan sebagian besar Bumi sebelah utara,
melenyapkan sebagian besar Eropa, menihilkan kehidupan di Rusia, menyusutkan populasi AS
hingga separuh, merusak berat Australia, Jepang, dan menenggelamkan pesisir pantai dunia
hingga enam meter, menciutkan populasi Bumi sekurangnya duapuluh persen, lalu membiarkan
sisanya dicengkeram iklim ekstrem dan kekacauan global, akankah ini cukup untuk sebuah
definisi hari kiamat? Saya terusik ketika membaca buku Graham Hancock "Fingerprints of the
Gods". Dengan buktibukti yang ia kompilasi dari peradaban kuno Aztec, Maya, Hopi, dan Mesir,
Hancock menemukan jejak peradaban yang kecanggihannya melebihi peradaban modern hari
ini, tapi hilang sekitar 10,000 tahun SM oleh sebuah bencana katastrofik yang mengempaskan
ras manusia kembali ke Zaman Batu. Bukti geologis pun mendukung bahwa Bumi telah
beberapa kali mengalami climate shift.

Suku Maya dikenal sangat obsesif terhadap hari kiamat. Mereka percaya lima siklus kehidupan
(atau 'matahari') telah terjadi. Dan sistem canggih kalendar mereka (Hancock meyakininya
sebagai warisan dan bukan temuan) menghasilkan perhitungan bahwa matahari ke-5 (Tonatiuh),
yakni zaman kita sekarang, berlangsung 5125 tahun dan berakhir pada tanggal 23 Desember
2012 AD. Sementara itu, peradaban Mesir Kuno menghitung siklus axial Bumi terhadap kedua
belas rasi bintang. Siklus yang totalnya 25,920 tahun ini bergeser teratur, masing-masing 2160
tahun untuk tiap rasi. Posisi kita sekarang, rasi Pisces, telah menuju penghabisan, bertransisi ke
Aquarius dengan pergolakan dahsyat. Dengan pendekatan yang lebih esoterik, Gregg Braden
dalam bukunya "Awakening to Zero Point" meninjau fenomena polar shifting, yakni bertukarnya
Kutub Utara dan Kutub Selatan yang ditandai oleh melemahnya intensitas medan magnet Bumi
tercatat sudah turun sebanyak tigapulu delapan persen dibandingkan 2000 tahun lalu dan
dipercaya akan sampai ke titik nol sekitar tahun 2030 AD. Fenomena alam ini sudah 14 kali
terjadi dalam kurun waktu 4,5 juta tahun. Di luar dari kontroversi saintifik soal teori Hancock dan
Braden, sukar untuk disangkal bahwa Bumi kita memang tak lagi sama. Tahun 1998 tercatat
sebagai salah satu puncak perilaku alam yang luar biasa. El Nino, disusul oleh La Nina, lalu
Tibet dan Afrika Selatan masing-masing mengalami musim dingin dan banjir terburuk dalam
limapuluh tahun terakhir. Memasuki tahun 2005, tsunami memporak-porandakan Asia, lalu
Katrina menghantam Amerika Serikat. Entah apa lagi yang akan kita hadapi. Namun
pemahaman kita merangkak lamban seperti siput dibandingkan alam yang bagai kuda
mengamuk. Isu pemanasan global membutuhkan satu dekade lebih untuk diakui para skeptis
dan birokrat. Di Indonesia, sumber energi alternatif baru ramai dibahas setelah harga BBM
melonjak, setelah bangsa ini terlanjur ketergantungan minyak. Isu pengolahan sampah dapur
hanya sampai taraf bisik-bisik, itu pun setelah gunung sampah longsor dan memakan korban.
Selain upaya kalangan industri yang dirugikan oleh turunnya konsumsi energi fosil, lambannya
respons kita juga disebabkan perkembangan sains ke pecahan-pecahan spesialiasi hingga
fenomena yang tersebar acak jarang diintegrasikan menjadi satu gambaran utuh, dan tanpa
sebuah model analisa yang sanggup menunjuk satu tanggal pasti, bencana katastrofik ini hanya
menjadi wacana spekulatif. Sekarang ini bisa dibilang kita dibanjiri data dan gejala tanpa sebuah
kerangka diagnosa.

Pengetahuan kita tentang akhir dunia pun stagnan dalam kerangka mitos biblikal yang sulit
dikorelasikan dengan efek panjang kebakaran hutan atau eksploitasi alam, hingga lazimlah jika
orang beribadah jungkir-balik demi mengantasipasi hari penghakiman tetapi terus membuang
sampahnya sembarangan. Untuk itu dibutuhkan pemahaman akan bahaya dari pemanasan
global, dan tindakan nyata untuk meresponsnya dengan urgensi skala hari kiamat. Ada tidaknya
hubungan knalpot mobil kita dengan cairnya es di kutub, bukankah kualitas udara yang baik
berefek positif bagi semua? Lupakan plang 'Sayangilah Lingkungan'. Kita telah sampai pada era
tindakan nyata. Banyak hal kecil yang bisa kita lakukan dari rumah tanpa perlu menunggu siapa-
siapa. Perubahan gaya hidup adalah tabungan waktu kita, demi peradaban, demi yang kita cinta.
Angkot kita satu dan sama: Bumi. Tarif yang kita bayar juga sama, mau kiamat jauh atau dekat.
Tidak ada angkot lain yang menampung kita jika yang satu ini mogok. Penumpang yang baik
akan memelihara dan membantu kendaraan satu-satunya ini. Sekuat tenaga.
Cinta Tak Bertuan
Cerpen Dewi Lestari

Sepanjang hidup, kita seolah tak berhenti berusaha menaklukkan cinta. Cinta harus satu, cinta
tak boleh dua, cinta maksimal empat, dan seterusnya. Jika cinta matematis, pada angka
berapakah ia pas dan pada angka berapakah ia bablas? Dan kita tak putus merumuskan cinta,
padahal mungkin saja cinta yang merumuskan kita semua. Infinit merangkul yang finit. Hidup
berpasangan katanya sesuai dengan alam, seperti buaya yang hidup monogami tapi ironisnya
malah menjadi ikon ketidaksetiaan.

Namun terkadang kita melihat seekor jantan mengasuh sekian banyak betina sekaligus,
berparade seperti rombongan sirkus. Dan itu pun ada di alam. Lalu ke mana manusia harus
bercermin? Sebagaimana semua terpecah menjadi dua kutub dalam alam dualitas ini,
terpecahlah mereka yang percaya cinta multipel pastilah sakit dan khianat dengan mereka yang
percaya cinta bisa dibagi selama bijak dan bajik. Yang satu bicara hukum publik dan nurani,
yang satu bicara hukum agama dan kisah hidup orang besar. Yang satu mengusung komisi anti
itu-ini, yang satu menghadiahi piala poligami.

Merupakan tantangan setiap kita untuk meniti tali keseimbangan antara intuisi individu dan
konsensus sosial. Sukar bagi kita untuk menentukan dasar neraca yang mensponsori segala
pertimbangan kita: apakah ini urusan salah dan benar, atau sebetulnya cocok dan tak cocok?
Jika urusannya yang pertama, selamanya kita terjebak dalam debat kusir karena setiap orang
akan merasa yang paling benar. Jika urusannya yang kedua, masalah akan lebih cepat selesai.

Kecocokan saya bukan berarti kecocokan Anda, dan sebaliknya. Namun seperti yang kita amati
dan alami, lebih sering kita memilih yang pertama agar berputar dalam debat yang tak kunjung
selesai. Semalam, saya menerima sms massal yang mengatasnamakan ibu-ibu seluruh
Indonesia yang mengungkapkan kekecewaannya pada seorang tokoh yang berpoligami. Pada
malam yang sama, sahabat saya menelepon dan kami mengobrolkan konsep poliamori
(hubungan cinta lebih dari satu). Alhasil, saya terbawa untuk merenungi beberapa hal sekaligus.

Pertama, orang yang kita kenal sebatas persona memang hanya kita miliki personanya saja.
Persona adalah lapisan informasi paling rapuh, pengenalan paling dangkal, dan oleh karena itu
paling cepat musnah. Orang yang tidak kita kenal paling gampang untuk dijustifikasi ketimbang
orang yang kita kenal dekat.

Kedua, apakah monogami-poligami dan monoamori-poliamori ini adalah sekat-sekat tegas yang
menentangkan nurani versus ego dan 'setia' versus 'buaya'? Mungkinkah dikotomi itu
sesungguhnya proses cair yang senantiasa berubah sesuai tahapan yang dijalani seseorang,
ketimbang karakteristik baku yang harus dipilih atau distigmakan sekali seumur hidup? Sungguh
tidak mudah menjadi seseorang yang personanya diklaim sebagai milik umat banyak. Persona
seperti secabik tisu yang dengan mudah dienyahkan, diganti dengan tisu baru lainnya yang
dianggap lebih bagus dan benar. Banyak dari kita bermimpi dan berjuang mati-matian agar
secabik diri kita dimiliki banyak orang.

Hidup demikian memang sepintas menyenangkan dan menguntungkan, meski konsekuensinya


titian tali yang kita jalani semakin tipis. Ilmu keseimbangan kita harus terus diperdalam. Tali itu
harus dijalani ekstra hati-hati. Tidak mudah juga menjadi seseorang yang sangat teguh
berpegang pada persona orang lain, pada mereka yang dianggap tokoh, teladan, panutan.
Status selebriti bisa ada karena persona yang dipabrikasi massal lewat media lalu 'selebaran'-
nya menjumpai kita, dan kita pungut. Kita mengoleksi persona mereka seperti pemungut
selebaran. Terkadang kita lupa, pengenalan dan pemahaman kita hanya sebatas iklan yang
tertera. Oleh karenanya justifikasi yang kita lakukan seringnya bagai memecah air dengan batu;
sementara dan percuma saja. Tak terasa efeknya bagi hidup kita, tak juga bagi hidup yang
bersangkutan.

Kita yang kecewa barangkali bukan karena cinta telah diduakan. Cinta tak bertuan. Kitalah
abdiabdi cinta, mengalir dalam arusnya. Persepsi kitalah yang telah diduakan. Lalu kita merasa
sakit, kita merasa dikhianati. Namun tengoklah apa yang sungguh-sungguh kita pegang selama
ini. Perlukah kita ikut berteriak jika yang kita punya hanyalah selebarannya saja, bukan
barangnya? Barangkali ini momen tepat untuk mengevaluasi aneka selebaran yang telah kita
kumpulkan dan kita percayai mati-matian. Betapa seringnya kita hanyut dalam kecewa, padahal
persepsi kitalah yang dikecewakan. Betapa seringnya kita menyalahkan pihak lain, padahal
ketakberdayaan kita sendirilah yang ingin kita salahkan. Apapun persepsi kita atas cinta, tak ada
salahnya bersiap untuk senantiasa berubah. Jika hidup ini cair maka wadah hanyalah cara kita
untuk memahami yang tak terpahami. Banyak cara untuk mewadahi air, finit mencoba merangkul
infinit, tapi wadah bukan segalanya. Pelajaran yang dikandungnyalah yang tak berbatas dan
selamanya tak bertuan, yang satu saat menghanyutkan dan melumerkan carik-carik selebaran
yang kita puja. Siap tak siap, rela tak rela.
Home » Cerpen Islami » Cerpen Karya Asma Nadia - Menanti Bangau Lewat

Cerpen Karya Asma Nadia - Menanti Bangau Lewat


Add Comment

Cerpen Islami
Cerpen Karya Asma Nadia
Menanti Bangau Lewat

Teng !…jam dinding berdentang satu kali. Malam semakin larut, tapi Anis masih duduk di ruang
tengah. Sejak tadi matanya sulit terpejam. Baru beberapa jam yang lalu Ibu Mas Iqbal, suaminya,
menelepon, "Nis, Alhamdulillah, barusan ini keponakanmu bertambah lagi..." suara ibu terdengar
sumringah di ujung sana.

"Alhamdulillah…, laki-laki atau perempuan Bu ?" Anis tergagap, kaget dan senang. Sudah seminggu
ini keluarga besar Mas Iqbal memang sedang berdebar-debar menanti berita Dini, adik suaminya,
yang akan melahirkan.

"Laki-laki, cakep lho Nis, mirip Mas mu waktu bayi…" Ibu tertawa bahagia.Dini memang adik yang
termirip wajahnya dengan Mas Iqbal.

"Selamat ya Bu nambah cucu lagi, salam buat Dini, insya Allah besok pulang kerja Anis dan Mas
Iqbal akan jenguk ke rumah sakit" janji Anis sebelum menutup pembicaraan dengan Ibu yang sedang
menunggu Dini di rumah sakit.

Setelah menutup telpon Anis termenung sesaat. Ia jadi teringat usia pernikahannya yang telah
memasuki tahun ke lima, tapi belum juga ada tangis si kecil menghiasi rumah mereka. Meskipun
demikian ia tetap ikut merasa sangat bahagia mendengar berita kelahiran anak kedua Dini di usia
pernikahan mereka yang baru tiga tahun.
"Koq melamun !…" Mas Iqbal yang baru keluar dari kamar mandi mengagetkannya. Ia memang
pulang agak malam hari ini, ada rapat di kantor katanya. Air hangat untuk mandinya sempat Anis
panaskan dua kali tadi.

"Mas, ibu tadi mengabari Dini sudah melahirkan, bayinya laki-laki" cerita Anis.

"Alhamdulillah...Dila sudah punya adik sekarang" senyum Mas Iqbal sambil mengeringkan
rambutnya, tapi entah mengapa Anis menangkap ada sedikit nada getir dalam suaranya. Anis
menepis perasaannya sambil segera menata meja menyiapkan makan malam.

Selepas Isya bersama, Mas Iqbal segera terlelap, seharian ini ia memang lelah sekali. Anis juga
sebenarnya agak lelah hari ini. Ia memang beruntung, selepas kuliah dan merasa tidak nyaman
bekerja di kantor, Anis memutuskan untuk membuat usaha sendiri saja. Dibantu temannya seorang
notaris, akhirnya Anis mendirikan perusahaan kecil-kecilan yang bergerak di bidang design interior.
Anis memang berlatar pendidikan bidang tersebut, ditambah lagi ia punya bakat seni untuk
merancang sesuatu menjadi indah dan menarik. Bakat yang selalu tak lupa disyukurinya. Keluarga
dan teman-teman banyak yang mendukungnya, akhirnya sekarang ia sudah memiliki kantor mungil
sendiri tidak jauh dari rumahnya.

Dan, seiring dengan kemajuan dan kepercayaan yang mereka peroleh, perusahaannya sedikit demi
sedikit mulai dikenal dan dipercaya masyarakat. Tapi Anis merasa itu tidak terlalu melelahkannya,
semua dilakukan semampunya saja, sama sekali tidak memaksakan diri, malah menyalurkan hobi
dan bakatnya merancang dan mendesign sesuatu sekaligus mengisi waktu luangnya. Beberapa
karyawan cekatan sigap membantunya. Malah sekarang sudah ada beberapa designer interior lain
yang bergabung di perusahaan mungilnya. Itu sebabnya sesekali saja Anis agak sibuk mengatur
ketika ada pesanan mendesign yang datang, selebihnya teman-teman yang mengerjakan. Waktu
Anis terbanyak tetap buat keluarga, mengurus rumah atau masak buat Mas Iqbal meski ada Siti yang
membantunya di rumah, menurutnya itu tetap pekerjaan nomor satu. Anis juga bisa tetap rutin
mengaji mengisi ruhaniahnya. Namun karena kegiatannya itu, biasanya ia tidur cepat juga, tapi
malam ini rasa kantuknya seperti hilang begitu saja. Berita dari ibu tadi membuat Anis teringat lagi.
Teringat akan kerinduannya menimang si kecil, buah hatinya sendiri.

Lima tahun pernikahan adalah bukan waktu yang sebentar. Awalnya Anis biasa saja ketika enam
bulan pertama ia tak kunjung hamil juga, ia malah merasa punya waktu lebih banyak untuk suaminya
dan merintis kariernya. Seiring dengan berjalannya waktu dan tak hentinya orang bertanya, dari mulai
keluarga sampai teman-temannya, tentang kapan mereka menimang bayi, atau kenapa belum hamil
juga, Anis mulai khawatir. Fitrahnya sebagai wanita juga mulai bertanya-tanya, apa yang terjadi pada
dirinya, atau kapan ia hamil seperti juga pasangan-pasangan lainnya… Atas saran dari banyak orang
Anis mencoba konsultasi ke dokter kandungan. Seorang dokter wanita dipilihnya. Risih juga ketika
menunggu giliran di ruang tunggu klinik, pasien di sekitarnya datang dengan perut membuncit dan
obrolan ringan seputar kehamilan mereka. Atau ketika salah seorang diantara mereka bertanya
sudah berapa bulan kehamilannya.

"Saya tidak sedang hamil, hanya ingin konsultasi saja…" senyum Anis sabar meski dadanya
berdebar, sementara Mas Iqbal semakin pura-pura asyik dengan korannya. Anis bernafas lega ketika
dokter menyatakan ia sehat-sehat saja. Hindari stress dan lelah, hanya itu nasehatnya.

Setahun berlalu. Ditengah kebahagiaan rumah tangganya ada cemas yang kian mengganggu Anis.
Kerinduan menimang bayi semakin menghantuinya. Sering Anis gemas melihat tingkah polah anak-
anak kecil disekitarnya, dan semakin bertanya-tanya apa yang terjadi dengan dirinya. Setelah itu
mulailah usaha Anis dan suaminya lebih gencar dan serius mengupayakan kehamilan. Satu demi
satu saran yang diberikan orang lain mereka lakukan, sejauh itu baik dan tidak melanggar syariat
Islam. Beberapa dokter wanita juga kadang mereka datangi bersama, meski lagi dan lagi sama saja
hasilnya. Sementara hari demi hari, tahun demi tahun terus berlalu.

Kadang Anis menangis ketika semakin gencar pertanyaan ditujukan padanya atau karena cemas
yang kerap mengusik tidurnya. Mas Iqbal selalu sabar menghiburnya "Anis...apa yang harus
disedihkan, dengan atau tanpa anak rumah tangga kita akan berjalan seperti biasa. Aku sudah
sangat bahagia dengan apa yang ada sekarang. Insya Allah tidak akan ada yang berubah dalam
rumah tangga kita…" goda Mas Iqbal suatu ketika seperti bisa membaca jalan pikirannya. Suaminya
memang tahu kapan Anis sedang mendalam sedihnya dan harus dihibur agar tidak semakin larut
dalam kesedihannya. Di saat-saat seperti itu memang cuma suaminya yang paling bisa
menghiburnya, tentu saja disamping do'a dan berserah dirinya pada Allah. Kadang Anis heran
kenapa Mas Iqbal bisa begitu sabar dan tenang, seolah-olah tidak ada apapun yang terjadi. Dia
selalu ceria dan optimis seperti biasa. Apakah memang pria tidak terlalu memasukkan unsur
perasaannya atau mereka hanya pintar menyembunyikan perasaan saja? Anis tidak tahu, yang pasti
sikap Mas Iqbal banyak membantu melewati masa-masa sulitnya.

Sebenarnya Anis juga bukan selalu berada dalam kondisi sedih seperti itu. Sesekali saja ia agak
terhanyut oleh perasaannya, biasanya karena ada faktor penyulutnya, yang mengingatkan ia akan
mimpinya yang belum terwujud itu. Selebihnya Anis bahagia saja, bahkan banyak aktivitas atau
prestasi yang diraihnya. Buatnya tidak ada waktu yang disia-siakan. Selagi sempat, semua peluang
dan kegiatan positif dilakukannya. Kadang-kadang beberapa teman menyatakan kecemburuannya
terhadap Anis yang bisa melakukan banyak hal tanpa harus disibuki oleh rengekan si kecil. Anis
tersenyum saja.

Anis juga tidak pernah menyalahkan teman-temannya kalau ketika sesekali bertemu obrolan banyak
diisi tentang anak dan seputarnya. Buatnya itu hal biasa, usia mereka memang usia produktif. Jadi
wajar saja kalau pembicaraan biasanya seputar pernikahan, kehamilan, atau perkembangan anak-
anak mereka yang memang semakin lucu dan menakjubkan, atau cerita lain seputar itu. Biar
bagaimanapun Anis menyadari menjadi ibu adalah proses yang tidak mudah dan perlu belajar atau
bertukar pengalaman dengan yang lain. Tapi kadang-kadang, sesekali ketika Anis sedang sedih,
rasanya ia tidak mau mendengar itu dulu. Anis senang juga jika ada yang berusaha menjaga
perasaannya diwaktu-waktu tertentu, dengan tidak terlalu banyak bercerita tentang hal tersebut,
bertanya, atau malah menyemangati dengan do'a dan dukungan agar sabar dan yakin akan
datangnya si kecil menyemarakkan rumah tangganya.

Anis tersadar dari lamunannya. Diminumnya segelas air dingin dari lemari es. Sejuk sekali. Meskipun
malam tapi udara terasa pengap. Ditambah lagi berwudhu ditengah malam, melunturkan sebagian
besar kemelut dalam dadanya. Setelah membangunkan suaminya, Anis shalat malam berdua. Di
akhir shalat air mata Anis membasahi sajadahnya. "Rabbi..., ampunilah dosa-dosa kami, jangan beri
kami cobaan yang tidak kuat kami menanggungnya. Beri kami kekuatan dalam menjalani semuanya.
Perkenankan kami memiliki buah hati pewaris kami, penerus kami dalam menegakkan Dien-Mu.
Hanya ridha-Mu yang kami cari. Sungguh tidak ada yang lain lagi...". Selesai shalat Anis terlelap.
Dalam mimpinya ia bermain bersama beberapa gadis kecil. Senang sekali.

*****

Suatu siang di kantornya, Anis sedang merancang sebuah ruang pameran. Ada festival Islam yang
akan digelar, mungkin karena tidak banyak designer interior berjilbab rapi seperti Anis, ia dipercaya
merancangnya. Ketika sedang mencorat-coret gambar, Fitri mengejutkannya, "Mbak Anis, ada tamu
yang mau bertemu".

"Dari mana Fit ?" tanya Anis.

"Katanya dari Yayasan Amanah, mbak, mau menawarkan kerja sama".

"Iya deh, saya kedepan sepuluh menit lagi" jawab Anis.

Setelah bincang-bincang dengan tamunya akhirnya Anis menyepakati kerja sama menyantuni
beberapa anak-anak yatim yang diasuh yayasan tersebut. Anis memang selalu menyisihkan rezkinya
untuk mereka yang membutuhkan. Perusahaan mungil yang dikelolanya selalu berusaha
menjalankan syariat Islam.

Sejak itu Anis punya kegiatan baru, menyantuni dan mengasuh beberapa anak yatim bersama
yayasan tersebut. Tidak banyak kegiatan sebenarnya, hanya laba perusahaan kecilnya yang tidak
seberapa disisihkan sebagian untuk disalurkan sebagai beasiswa untuk beberapa anak-anak
tersebut. Itupun setelah dimusyawarahkan dengan semua teman-teman dan disetujui bersama. Tapi
banyak hikmah yang Anis dapatkan. Sesekali Anis jadi bertemu dan bersahabat dengan mereka.
Anak-anak yang ditinggalkan orang tuanya sehingga tidak seberuntung yang lain, yang mendapat
curahan perhatian dan kasih sayang berlimpah dari orang tua. Mereka memang kurang beruntung,
tapi kesabaran dan ketegaran mereka membuat Anis malu menyadari dirinya yang rapuh, mudah
mengeluh dan sedih. Anis jadi menyadari betapa sebenarnya karunia yang diberikan Allah padanya
begitu banyak dan berlimpah. Kalaupun ada satu atau dua hal yang luput, itu tidak seberapa
dibandingkan dengan yang ia telah dapatkan. Anis jadi menata dirinya untuk lebih sabar dan banyak
bersyukur. Dengan banyak bersyukur tentu Ia akan lebih banyak memberikan lagi nikmat-Nya.

*****

"Bu Anis, kuenya enak sekali..." puji Ina tulus. Mata polosnya bersinar senang. Ia memang anak yang
manis, kelas 5 SD dan selalu ranking satu di kelasnya, ibunya hanya penjual gado-gado dengan tiga
orang anak, sementara ayahnya sudah meninggal sejak Ina kelas satu. Minggu pagi cerah ini Anis
memang mengundang beberapa anak asuhnya ke rumah beserta beberapa orang pengurus
yayasan. Sejak kemarin ia dan Mas Iqbal pontang-panting menyiapkan semuanya. Sebenarnya bisa
saja Anis pesan makanan, tapi entah kenapa ia ingin menyiapkan sendiri, untungnya Mas Iqbal setuju
dan membantunya penuh.

"Bu Anis, sup nya Farouk tumpah...." jerit Atikah nyaring.

Anis sibuk melayani mereka, Mas Iqbal juga tak kalah repot. Sekarang Anis memang semakin dekat
dengan mereka, ia berusaha memberikan kasih sayang dan perhatian atau bimbingan semampunya.
Mereka banyak membuka mata dan hatinya. Anak-anak malang yang membutuhkan kasih sayang
dan bimbingan.

Selesai acara Anis kecapekan luar biasa, anak-anak itu terkadang manja dan mencari perhatiannya
saja, tapi Anis senang. Tamu-tamu kecil itu menyemarakkan rumahnya.

Keesokan paginya Anis bangun agak siang. Selesai shalat subuh dan menyiapkan keperluan Mas
Iqbal, ia tertidur lagi. Suaminya berangkat kerja tanpa pamit, kasihan pada Anis yang sepertinya
masih kelelahan. Anis sendiri tidak pergi kerja hari ini, ia sudah izin sebelumnya.

Jam setengah delapan pagi Anis terbangun oleh dering telepon dari ibunya.

"Anis, selamat ulang tahun ya…semoga semakin bertambah keimanannya, sehat, bahagia dan cepat
mendapatkan momongan", ujar ibu mendo'akan.

"Terima kasih ya, Bu" Anis tersadar bahwa hari ini usianya bertambah lagi. Sebenarnya ia tak pernah
menganggap istimewa, tapi kalau ada yang ingat ya senang juga.

"Masih sering sedih nggak?..." Ibu menggodanya. Selain Mas Iqbal memang ibu yang paling
memahami perasaannya dan tentu saja yang paling sering menghibur dan mendo'akannya.

"Ingat lho Nis, apa saja yang kita dapatkan itu sudah hasil seleksi dari sana dan itu adalah yang
terbaik untuk kita. Kita harus ikhlas, sabar, dan senang menerimanya. Istri-istri Rasululloh pun ada
yang tidak diberi momongan dan itu bukan dosa. Yang penting kita tak putus usaha dan berdo'a,
bagaimana hasilnya biar Allah saja yang menentukan", ibu menasehati.

"Iya Bu" jawab Anis hampir tak terdengar. Ia terharu ibu selalu memperhatikan dan menghiburnya.

Setelah menutup telpon dari ibu Anis dikejutkan lagi oleh selembar surat di meja, yang ini ucapan
selamat dari Mas Iqbal rupanya. Anis tersenyum membacanya tapi matanya akhirnya basah juga.
Suaminya memang selalu sabar dan penuh perhatian, tak pernah sekalipun ia menyakiti hati Anis,
kalaupun ada perbedaan pendapat selalu ia selesaikan dengan bijak. Tiba-tiba Anis merasakan lagi
betapa besar nikmat yang telah dilimpahkan kepadanya. Rasanya tidak ada lagi alasan untuk
bersedih, apalagi putus asa. Kalau memang sudah tiba waktunya dan baik untuknya, tentu harapan
dan do'anya akan dikabulkan. Ia yakin tidak akan ada do'a dan usaha yang sia-sia. Hanya Allah yang
tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya, tidak mungkin Ia mendzholimi hamba-Nya dan Ia yang akan
mengabulkan do'a. Insya Allah mungkin esok hari. Ya, siapa tahu… (er)

"Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat
itulah kehidupan yang sebenarnya, kalau mereka mengetahui." (Al Ankabuut, 64)
Cerpen Sepotong Cinta dalam
Diam Karya Asma Nadia
November 2, 2015 Sastra Banget 1 Comment
Jakarta, tahun pertama
Perempuan,
Kau pasti tahu sakitnya cinta yang tak terkatakan. Cinta yang hanya mampu didekap dalam
bungkam. Kata orang bahkan diam berbicara. Tapi menurutku, hal itu tidak berlaku dalam
cinta. Sebab cinta harus diekspresikan dan pantang dibawa diam. Sebab cinta harusnya
dinyatakan, lalu dibuktikan dengan sikap. Begitu seharusnya cinta.

Tapi aku memang tidak punya pilihan.


Maafkan!

Sebuah bingkisan dan sepucuk surat tergeletak di bibir ranjang. Dee memandangnya dengan
keingintahuan yang besar. Matanya yang memiliki kelopak indah terbuka lebar. Sementara
mulutnya sejak tadi menimbulkan suara gumaman tak jelas. Kedua bola mata gadis itu tak
beranjak juga dari bingkisan dan sepucuk surat yang ditempel menyatu dengannya.

Paket kesasar, kalau boleh disebut Dee demikian, diterimanya pagi ini dari tukang pos, lelaki
tua yang mengayuh sepeda dengan susah payah. Dee tidak mengerti mengapa lelaki itu masih
bersikeras mengantar surat hanya dengan sepeda, sementara tukang pos yang lain telah lama
meninggalkan kendaraan antik itu, beralih ke sepeda motor.

“Buat siapa, Pak?”

Tukang pos itu tak menjawab. Hanya memintaku menerima paket kesasar itu.

“Kok nggak ada namanya, Pak? Yakin buat di sini?”

Kali ini Pak Pos menggerakkan telunjuknya pada alamat lengkap yang tertulis di bagian atas
amplop yang menempel pada sebuah paket.

Jl. Kebon Kosong Gg. I no 10 A.


Kemayoran, Jakarta Pusat

Dee tersenyum. Kagum dengan konsistensi Pak Pos tua di depannya. Sejak dulu lelaki itu tak
pernah banyak bicara. Pekerjaannya sendiri memang hanya mengantarkan surat. Jadi sama
sekali bukan kesalahan jika Pak Tua itu melakukannya dengan sedikit bicara atau sekedar
menyodorkan amplop. Lagipula tidak akan ada yang memberinya bonus lebih seandainya ia
bersikap ramah dan sedikit berbasa-basi.

Dee tidak menyalahkan si tukang pos yang tanpa ragu menyodorkan sebuah bingkisan
dengan sepucuk surat menempel di atasnya ke rumah Dee. Sebab alamatnya memang tertera
jelas.

Masih dengan segudang rasa penasaran Dee membawa langkahnya masuk ke dalam rumah
sambil menenteng paket dari Pak Pos barusan. Lalu gadis berusia duapuluh tiga tahun itu
menjatuhkan paket di tangannya ke sofa, tempat tiga gadis lainnya sedang asyik menonton
tivi.
Paket meluncur dan jatuh tepat di tengah-tengah sofa. Tiga gadis kaget, melupakan tontonan
seru Oprah Winfrey’s Show dan berebut lebih dulu mengambil paket yang jatuh. Andra yang
pertama berhasil merebut paket yang jatuh dekat pangkuan Ita. Hiruk-pikuk segera terjadi.

Ita berusaha merebut paket yang jatuh di pangkuannya sebab mengira itu memang ditujukan
Dee untuknya. Sementara Anik tidak mau tinggal diam, ikut bertarung. Adegan a la anak
kecil itu berlangsung cukup seru, setidaknya di mata Dee. Sayang semua menjadi antiklimaks
ketika Andra, Ita, dan Anik tak menemukan nama yang dituju sang pengirim. Amplop yang
menempel pada bingkisan itu kosong. Hanya ada sebuah alamat yang ditulis tangan.

Ketiganya lalu mengalihkan pandangan pada Dee yang barusan menjatuhkan badan ke sofa.

“Dee, paket siapa, nih?”

“Kok nggak ada nama pengirimnya?”

“Boro-boro pengirim. Nama yang dituju aja nggak ada!”

Dee tersenyum, menegakkan duduknya. Kepala gadis itu dicondongkan ke depan, hingga
berhadapan cukup dekat dengan wajah ketiga temannya.

“Aneh kan?”
Andra, Ita, dan Anik mengangguk.

“Memang aneh!”
Dee menjatuhkan badannya lagi, tertawa geli sendiri.

“Tidak lucu!” Andra serta-merta menukas.


Anik yang tampak berpikir keras menambahi, “Pengirimnya pasti memang ingin membuat
bingung kita!”

Ita lain lagi pendapatnya, gadis berkulit hitam manis itu merebut bingkisan di tangan Anik,
lalu mendekatkannya ke telinga, sebelum mengembuskan nafas lega. Ia tak mendengar suara
detak jam dari dalam bingkisan.

“Aman!”
Kesunyian berlangsung. Tidak terlalu lama sebab Dee yang cerewet dan punya banyak ide
langsung mengajukan usul.

“Kita buka saja!”


Tiga gadis sebaya di depannya berpandangan, lalu menggelengkan kepala.

“Kita nggak bisa membuka paket yang bukan untuk kita, Dee. Itu namanya lancang dan tidak
amanah!”
Dee diam lagi. Tapi tidak berapa lama mata bulatnya bersinar lagi.

“Kalau begitu kita buka, terus kita bungkus lagi, gimana? Siapa tahu penjelasannya ada di
dalam bingkisan ini?”
Andra cepat membantah, “Itu juga nggak boleh Dee. Kita nggak boleh membuka bingkisan
ini, kecuali memang yakin milik kita. Siap tahu paket ini nyasar ke alamat sebelah. Mungkin
saja kan pengirimnya salah menulis alamat.

Ya, memang mungkin.


Dee mengerutkan kening, bibirnya bergumam tak jelas, khas gadis itu jika sedang berpikir
keras.

“Jadi gimana dong?”


Kali ini Ita yang paling tua di antara mereka angkat bicara,

“Kita biarkan dulu tiga hari. Lihat-lihat, siapa tahu Pak Pos kembali dan mengatakan paket
ini salah alamat. Simpan saja sementara ini. Ok?”

Dee yang rasa penasarannya sudah melewati ubun-ubun sebetulnya ingin menolak, tapi tak
berdaya. Sebab tiga rekannya yang lain sepakat dengan ide Ita. Maka beramai-ramai mereka
menaruh paket misterius itu ke atas lemari. Lalu memandanginya lama.

***

Jakarta, tahun ketiga


Perempuan,

Hari-hariku adalah penantian. Perasaan gelisah yang kupikir tidak mungkin ada kini menjadi
rutinitas yang harus kuhadapi.

Dulu, aku memang menghindar dari perasaan itu. Jatuh cinta, untuk apa? Aku orang miskin
yang harus menyelesaikan sekolah dan seabreg tanggung jawab, sebab Emak, salah satu
perempuan yang kuhormati, telah lama ditinggal mati ayah.

Aku tumbuh menjadi lelaki. Sendiri.

Hidupku bagiku merupakan perjuangan keras tanpa batas. Tak jarang aku merasa seperti
kapal kecil yang berjalan tanpa rasi bintang. Terapung-apung, sesekali membentur karang,
dan harus berbalik arah.

Namun, melihatmu pertama kali di masjid sore itu.


Hatiku begitu saja bicara:
Kau adalah perempuanku. Takdirku!
Untuk pertama kali hidup tak sekadar mengalir.
Sebab kini aku punya cita-cita.

Hari ketiga, Dee mengangkat paket itu dari atas lemari, lalu menimang-nimangnya. Hatinya
menebak-nebak isi bungkusan di tangannya.

Tidak terlalu berat. Tidak sampai satu kilo. Dee tahu pasti sebab barusan ia menaruh
bingkisan itu di timbangan. Rasa ingin tahu mendera dara bertubuh jangkung itu. Seharusnya
teman-temannya menyetujui usul Dee untuk mencoba menemukan jawaban di dalamnya.
Siapa tahu ada label nama pada isi bingkisan itu. Siapa tahu?

Dee menimang-nimangnya lagi, lalu hati-hati meletakkan bingkisan itu di pinggir ranjang.
Matanya menyusuri huruf demi huruf tulisan tangan di amplop. Tulisan itu tegas, tegak lurus,
dan jelas. Mengingatkan Dee akan tulisan guru-guru bahasa Indonesianya waktu SMA dulu.
Tulisan orang zaman dulu, begitu teman-temannya sekelas biasa bercanda.

Pasti penulisnya seorang yang serius, pikir Dee lagi. Tulisan di atas amplop memang jauh
dari modern. Begitupun pilihan amplop. Terkesan oldies. Meski begitu entah mengapa itu
menyiratkan sesuatu yang dalam.
Dee melihat lebih dekat amplop berwarna biru itu. Tampak guratan-guratan bekas lipitan,
juga warna biru yang agak pudar. Seolah surat itu telah menempuh jarak bertahun-tahun
sebelum tiba di rumah ini.

Dee tahu, ia tak bisa lagi menunggu.

Tangan gadis itu menyobek pinggiran kertas coklat dan meraih sebuah amplop yang
meluncur dari dalamnya. Namun baru sedikit ia membaca, terdengar langkah mendekati
kamar. Ketika Dee mengangkat wajah, Andra, Ita, dan Anik menatapnya dengan tangan
terlipat di dada, berdiri gagah di pintu. Terlambat, Dee tak sempat menyembunyikan surat
yang sedang dibacanya. Tak ada kesempatan lagi. Ita langsung merebut dan mengembalikan
surat yang juga tampak lusuh dan penuh lipitan dan menaruhnya di atas bingkisan.

“Curang!”
Anik mengecam Dee. Tidak hanya itu, Andra dan Ita menekuk muka mereka. Kegusaran
tergambar jelas, bahkan di dekik pipi Andra yang biasa terlihat ramah.

“Kamu tidak amanah, Dee!”


Duh, kata ajaib itu lagi.

Dee memandang ketiga teman satu kosnya dengan paras merah, seperti maling jemuran yang
kepergok. Malu dan tak enak hati.

“Maafkan aku.”
Suasana kaku muncul. Dee tak sanggup berkata apa-apa lagi. Percuma berpanjang-panjang
membela diri, toh ia memang bersalah.

Empat orang gadis di dalam kamar termangu.

Bingkisan coklat dan amplop berisi surat tergeletak telentang. Beberapa amplop lagi barusan
meluncur dari dalam bingkisan yang sobek. Dee memandangnya dengan perasaan ingin tahu
yang lebih besar. Lelaki dan perempuan tanpa nama, kini memetakan sederet tanda tanya di
kepalanya.

“Maafkan aku,” Dee memecah keheningan, “tapi tidak mungkin berharap kemajuan hanya
dengan menunggu. Sudah tiga hari lebih.”
Dee mulai mendapatkan dukungan. Anik tampak bereaksi. Gadis bertubuh mungil itu
manggut-manggut beberapa kali. Sementara Ita dan Andra tampak gelisah. Dee tertawa
dalam hati, ia kenal kedua sahabatnya itu. Mereka pasti diam-diam sama penasarannya
dengan dirinya. Surat-surat di dalam amplop yang ditulis dengan tinta berbeda itu mustahil
dilewatkan begitu saja.

“Surat itu indah, kalian harus membacanya.” Dee kembali memancing.


Andra bangkit, berjalan mondar-mandir. Ita melirik surat yang bagian pinggirnya sudah
disobek. Dee sungguh menyebalkan!

Andra menarik nafas panjang. Lucu memang. Bingkisan itu bukan milik mereka. Aneh,
bagaimana rasa penasaran mereka terus berkembang seperti balon gas yang diisi udara.

“Masalahnya, kita nggak berhak, Dee. Aku bukannya nggak penasaran. Surat ini, kalau benar
indah seperti katamu, hanya milik satu orang. Membacanya lebih dulu akan mengurangi rasa
hormat kita terhadap pemilik dan pembuatnya.”
Gagal lagi.

Dee memejamkan matanya. Terbayang sosok lelaki tanpa nama yang menanti di dekat
jendela, berharap balasan atas surat yang dikirim. Terlukis seorang perempuan tanpa nama,
bertopang dagu, mendekap rindu.

Dee tak sabar!


Tapi ia tak bisa bergerak. Andra, Ita, dan Anik menatapnya dengan mata menukik.

Sebuah bingkisan berwarna coklat dan beberapa pucuk surat. Dee menatapnya tak berkedip.

***

Jakarta, tahun kedelapan


Siapa yang bisa memilih cinta, siapa yang bisa memutuskan kapan cinta harus hadir dan
kepada siapa cinta harus tumbuh? Tak ada!

Sebab cinta adalah anugrah. Rahasia-Nya yang unik dan barangkali tak selalu bisa dijelaskan.
Aku mencintaimu, perempuan. Tanpa keraguan. Dan, dengan keyakinan penuh, aku
menjatuhkan pilihan.
Dan aku bukan lelaki yang gampang menentukan pilihan atau mengubah pilihan yang telah
dibuat. Aku adalah lelaki yang memilih dan sekaligus menerima risiko atas pilihan yang
kubuat. Tak ada kata mundur.

Mereka bilang mustahil. Barangkali ada benarnya.

Tapi bukankah Tuhan adalah tempat bagi semua kemustahilan? Itulah kenapa, dalam iman
yang tak seberapa selama delapan tahun ini, telah kusandarkan jawaban doa pada-Nya. Cita-
cita untuk bisa menjadi tua bersamamu.

Adapun penantian panjang yang kulalui biarlah menjadi bagian sejarah betapapun sakit dan
membuatku tersiksa. Memandangmu dalam realita memang perih. Luka di atas luka tersiram
cuka.

Untunglah,
Pada malam-malam, engkau milikku.
Meski dalam mimpi yang kata orang semu.

Dee termangu. Andra dan Ita menahan nafas, sementara Anik mengusap airmata.

Tidak penting lagi diceritakan bagaimana akhirnya mereka berempat bisa mendapatkan kata
sepakat untuk sama-sama membaca surat itu. Jeleknya lagi dalam alunan ‘Knife’, lagu 80-an
yang memerihkan hati.

“Aku penasaran,” Dee tiba-tiba angkat bicara, “sebetulnya apa sih yang terjadi? Kenapa
mereka tidak bisa bersatu?” ujar Dee lagi dengan pertanyaan yang sedikit norak dan rada-
rada sinetron, tapi sepertinya yang lain tak melihat itu. Mungkin disergap haru.

“Mungkin perempuan itu tidak mencintai dia, Dee,” Ita menjawab.

“Terus?”
“Tapi lelaki itu sudah memilih dan dia terus menunggu sampai si perempuan, suatu hari,
mencintainya.”

Anik menggelengkan kepala,

“Mungkin lelaki itu mencintai perempuan yang sudah menikah, makanya jadi mustahil.”

Bodoh! Desis Dee dalam hati. Mengapa membiarkan cinta yang begitu menguras kesedihan
tumbuh begitu dalam? Dipertahankan lagi! Tapi cinta memang tak bisa memilih. Dan
ternyata itu bukan sekadar judul sinetron atau kalimat-kalimat klise yang bisa ditemukan di
buku-buku picisan.

“Aku nggak ngerti, kenapa surat-surat itu tidak pernah diposkan sebelumnya? Begitu banyak
berlembar-lembar.”

“Lihat nih,” Andra yang sejak tadi tak banyak bersuara, akhirnya buka mulut, “di surat ini
ditulis bahwa sebagian surat yang lain telah rusak dan tak bisa lagi dibaca karena tertelan
banjir.”

Lucu juga. Tapi Dee merasa keterlaluan kalau sampai tertawa. Biar bagaimanapun banjir kan
tragedi.

Mereka berempat seperti lupa waktu. Sejak tadi masing-masing memilah-milah surat dan
membaca sendiri-sendiri. Ada seuatu pada kalimat-kalimat si lelaki yang membuat keempat
mahasiswi itu terhipnotis untuk terus mengikuti kisah si lelaki dan perempuan yang sampai
sekarang masih tanpa nama.

***

Jakarta, tahun kesebelas


Aku melihatmu hari ini. Indah seperti biasa. Kau mengenakan baju rok n blus bermotif pink
dan biru. Dua warna yang menjadi favoritmu.

Sebelas tahun berlalu, perempuan. Kau tetap satu-satunya perempuan yang membuatku sabar
dan rajin berdoa.

Waktu memang telah berlalu sangat cepat tanpa bisa dicegah. Harus kuakui itu sama sekali
tidak mengurangi keindahan perempuanku. Satu wajah daun sirih yang hitam manis, tawa
cerahmu, dan sorot mata keibuan.

Ketika di tempat-tempat lain ketulusan telah menguap dan sulit ditemukan, aku pun datang
kepadamu. Sebab pada wajah sederhana namun indah milikmu, kunikmati ketulusan
melimpah.

Maka dalam diam harapan kujahit. Suatu hari aku akan di sisimu, saat matahari terbit.

Anik kembali menghapus airmatanya. Andra tampak masih serius dengan sebuah surat di
tangannya. Mata sipit memanjang gadis itu menyusuri kalimat demi kalimat. Di sampingnya
Ita mengikuti.

***

Jakarta, tahun kelimabelas


Perempuan,

Semoga kau bisa melihat perubahan yang telah kubuat dalam hidup.

Beberapa cerpen telah kutulis, sebagian ada yang telah dibukukan. Terima kasih telah
menjadi sumber abadi inspirasiku. Semoga kau tidak keberatan. Selalu kutulis inisial
namamu di setiap tulisan. Dengan cara itu aku berusaha terus bersamamu, menjaga cita-cita.
Juga kesetiaan.

Aku tidak menyalahkan jika tak ada yang percaya bagaimana aku sebagai lelaki yang
memiliki kebutuhan bisa tetap sendiri dan tidak tergoda macam-macam.

Kesalahan mereka adalah mengira aku sendiri. Mereka tidak memahami wajahmu yang
menyapaku setiap pagi di komputerku. Mereka tidak melihat fotomu yang terselip di
dompetku, meski lusuh dan berukuran sangat kecil (Maafkan aku mengambilnya tanpa
meminta. Tapi foto itu telah memberiku banyak energi). Mereka juga tidak tahu sosokmu
yang terlukis di dalam hati dan tak pernah pudar, meski belasan tahun berlalu.

Dari jauh kulihat engkau bahagia dengan kehitupanmu. Itu membuatku senang, meski di satu
sisi menorehkan luka.
Bukankah cinta harus bahagia atas kebahagiaan yang dicintai, dan tidak membiarkan dirusak
ego semata?
Perempuanku,
Kau tidak tahu betapa sulitnya untuk tetap dalam ketulusan. Untuk tidak mengirimkan surat-
surat ini padamu sampai waktunya tiba. Untuk menyimpan cinta dalam diam. Dan melewati
hari dengan hati teriris-iris oleh rindu, cinta, cemburu.
Pernah aku menangis dan ingin menyerah atas cinta yang Dia pilihkan untukku. Tapi
perempuanku juga keajaiban yang dikirimkan Tuhan. Untuk anugrah sebesaritu aku hanya
perlu bersabar

Dee meletakkan surat yang membuat dadanya sesak. Berfikir, perempuan itu sungguh
beruntung karena mendapatkan cinta begitu besar.

“Bingkisan itu isinya kira-kira apa ya? Gimana kalau kita buka juga?”
Kalimat sekonyong-konyong Dee membuat mata Andra, Ita, dan Anik melotot. Di dalam
kertas coklat itu memang terdapat sebuah bungkusan lain yang terbalut kertas koran.

“Baca surat aja udah salah, Dee! Masa kita mau buka bingkisan itu juga.”

“Aku penasaran.”

“Lalu penasaran itu memberimu hak untuk melanggar privacy orang?”


Dee kena batunya. Andra tersenyum puas. Ita dan Anik kembali asyik membaca surat-surat.
Belum ada kemajuan. Mereka tak menemukan nama atau petunjuk lain yang lebih spesifik.
Padahal setelah membaca surat-surat itu keinginan keempat gadis itu menjadi lebih besar
untuk menyampaikan bingkisan dan surat-surat tersebut kepada yang berhak.

Dee memilih sebuah surat, lalu memutuskan membacanya keras-keras.

“Ini surat terbaru dan terpanjang…”

Dee mulai membaca dengan perlahan.


***

Jakarta, tahun kedelapanbelas


Cinta,

Aku harap surat ini sampai padamu. Sekaligus kukirimkan surat-surat sebelumnya yang tak
pernah kukirim.

Hanya dua alasan yang membuatku mengirimkan surat ini, beserta sebuah bingkisan yang
telah kusiapkan sejak delapan tahun lalu dan selalu kusimpan dengan baik.

Sejak pertama aku mengenalmu, telah kutekadkan untuk menyerahkan semua ungkapan
perasaan dan bukti kesungguhanku padamu, jika masanya tiba. Jika Allah memberi pertanda
dan membuang satu kemustahilan sehingga aku bisa bersamamu. Kedua, jika aku merasa
waktuku akan tiba tak lama lagi.

Tiga tahun ini kesehatanku memang kurang baik. Satu-satunya yang kusesali adalah itu
membuatku tak bisa lagi mengejar wajahmu, dan menikmati keindahan dan ketulusan. Hal
yang dulu selalu kulakukan, memandangmu dari jauh. Dari depan rumah di mana daun-daun
nusaindah terserak. Melihatmu berbicara dan tertawa membuatku merasa hidup.

Barangkali memang harus begini ketentuan Allah. Bahwa selamanya aku hanya bisa
memilikimu dalam angan, harapan, dan impian. Tidak lebih.

Tapi, perempuan,

Tak pernah kusesali pilihan yang kubuat. Sebab, bisa memiliki harapan untuk bersamamu
lebih dari cukup bagiku. Sebab, seperti yang pernah kukatakan, sebelumnya aku tak pernah
punya cita-cita. Dan perempuanku memberiku cita-cita itu.

Aku mencintaimu. Teramat sangat, pada batas terdalam cinta yang mungkin dirasakan
seseorang. Dan telah pula kubuktikan semampuku.

Delapanbelas tahun meneropong kebahagiaanmu. Melihat anak-anakmu tumbuh besar,


memberiku rasa aman. Sebab, kini aku tahu, sekalipun aku tak ada, mereka akan menjadi
perisai dan pelindung yang baik bagimu.

Bingkisan ini harus kusampaikan kepadamu sebagai bagian dari harapan indah yang
kubangun.

entah tangan siapa yang memulai menyobek bingkisan dengan sampul kertas koran itu. Di
dalamnya tampak sebuah kertas kado dengan bunga-bunga kecil warna pink dan biru.

Semua terpana. Dee menunggu persetujuan Andra, Ita, dan Anik sebelum menyobek kertas
kado dan terperangah melihat isinya. Di dalamnya terdapat kotak berisi mukena dan sarung
merah jambu berenda, satu Al Quran dan sejumlah uang dalam jumlah yang ganjil. Juga
sebuah cincin bermata satu dalam wadah hati berwarna biru.

Dee merasa matanya berair. Anik menghapus airmata yang mengalir deras. Sementara, Ita
dan Andra tak urung menitikkan butiran kristal serupa.

Di dekat mereka, surat-surat berbeda tahun tergeletak berantakan di lantai. Sebagian hurufnya
ada yang pudar dan tak bisa dibaca, sebagian lagi tertimpa airmata baru yang menetes dari
keempat gadis yang meratapi kisah cinta yang lara dari lelaki tanpa nama untuk perempuan
tanpa nama.

Bingkisan ini harus kusampaikan kepadamu sebagai bagian dari harapan indah yang
kubangun. Dulu aku selalu membayangkan memberikannya langsung kepadamu, sekaligus
bersimpuh di lutut dan mengucapkan kata-kata lamaran yang layak dikenang dalam sisa
hidup. Melamarmu dalam suasana suci, ketika mencintaiku tidak lagi menjadi halangan
bagimu.

Delapanbelas tahun mencintaimu dalam diam. Sebentar lagi mungkin habis waktuku. Tapi
tak pernah kusesali hari ketika aku melihatmu di teras masjid.

Terimakasih Tuhan atas cinta sekali yang Kau beri.


cerpen "LINTAH" karya Djenar Mahesa Ayu
Ibu saya memelihara seekor lintah. Lintah itu dibuatkan sebuah kandang yang mirip seperti rumah
boneka berlantai dua, lengkap dengan kamar tidur, ruang makan, ruang tamu dan kamar mandi dan
ditempatkan tepat di sebelah kamar Ibu. Saya selalu merengek kepada Ibu untuk memelihara hewan
lain, namun Ibu bersikeras memelihara lintah itu dan mempertahankannya sebagai hewan peliharaan
tunggal di rumah kami.

Saya penyayang binatang. Namun saya sangat benci kepada lintah. Lintah tidak pernah puas atas
apa yang dimilikinya. Begitu juga dengan rumah pribadi istimewa. Sepulang sekolah, sering saya
temui lintah itu duduk di sofa ruang tamu kami. Kadang ia mengganggu saya ketika saya sedang
menonton televisi dengan mengganti saluran seenak hati. Bahkan ia sering kedapatan sedang pulas
tertidur di atas tempat tidur saya, dan tentunya membuat saya mengurungkan niat untuk beristirahat.

Dari hari ke hari kebencian saya memuncak. Sudah lebih enam bulan lintah itu tinggal bersama kami.
Dan tabiatnya bertambah hari semakin kurang ajar. Pada suatu hari saya mengadu kepada Ibu,
bahwa saya sulit beristirahat karena lintah itu sering meniduri tempat tidur saya. Di luar dugaan, Ibu
membela lintah ketimbang saya. Ia mengatakan bahwa saya melebih-lebihkan. Ibu tidak percaya
semua pengaduan yang saya utarakan. Yah… lintah ini memang sangat pandai menarik hati Ibu.
Setiap Ibu pulang kerja, lintah duduk manis di dalam rumahnya. Lalu Ibu akan mengecupnya mesra
dan membawanya masuk ke dalam kamarnya. Entah apa yang mereka lakukan disana. Saya hanya
mendengar sayup-sayup suara ibu tertawa. Kadang hening tanpa satu suara. Namun pernah juga
saya mendengar desahan napas Ibu dan lintah berbaur jadi satu.

Pada suatu hari Minggu, keingintahuan saya mendesak kuat. Saya mengintip dari sela-sela tirai yang
sedikit terbuka ke dalam kamar Ibu. Dan saya sangat kaget melihat seekor ular yang merah menyala.
Lidahnya menjulur keluar dan liurnya menetes ke bawah. Saya sangat jijik melihatnya. Namun Ibu
dengan rakusnya menelan habis liur ular besar itu tanpa menyisakan satu tetes pun! Yang lebih
mencengangkan lagi, ular itu berangsur-angsur mengecil. Saya tidak bisa membayangkan
sebelumnya bila ular itu tidak lain adalah lintah.

Hubungan Ibu dengan lintah semakin erat saja. Kalau dulu Ibu hanya akan mengeluarkan lintah dari
rumahnya dan membawanya ke dalam kamar, sekarang Ibu membawanya ke mana-mana. Bila kami
makan bersama, lintah itu ditaruhnya di atas kepala dan berubah menjadi ular-ular kecil tak terhingga
banyaknya. Setiap Ibu menyendok satu suap nasi ke dalam mulutnya, tidak lupa Ibu melemparkan
sedikit makanan ke atas kepalanya dan ular-ular itu berebutan dengan rakus di sana.* Tentu saja
saya mual dengan pemandangan ini. Namun Ibu tidak mau mengerti. Kalau saya tidak kuasa lagi
menghabiskan makanan yang masih tersisa, Ibu akan memaki dan memaksa saya untuk
menuntaskan. Saya dapat melihat mata ular-ular itu lebih menyala melihat penderitaan saya. Saya
dapat melihat mereka tertawa tanpa suara.

Bila kami sedang menonton televisi, lintah itu tertidur di atas pangkuan Ibu. Dengkurannya sangat
mengganggu dan bau tidak sedap menyergap seisi ruangan itu. Bila ada acara musik di televisi,
lintah langsung terbangun dan Ibu akan memindahkannya kembali di atas kepalanya. Lalu lintah akan
kembali berubah menjadi ular-ular kecil dan menari gembira. Saya pernah mencoba pura-pura
terganggu nyamuk dan menyemprotkan obat serangga ke seluruh ruangan dengan harapan racun
serangga itu dapat membunuh lintah. Tapi Ibu langsung melompat dari duduknya dan menempeleng
muka saya. Dan mata kelihatan lintah benar-benar tertawa.

***

Akhir-akhir ini Ibu lebih sering tinggal di rumah. Ibu memang bukan pekerja tetap. Ibu adalah seorang
penyanyi yang tentu saja tidak tentu jadwal kerjanya. Kadang Ibu pergi pagi sekali dan tiba larut
malam. Kadang Ibu pergi sore hari dan baru kembali siang hari. Sering juga berhari-hari Ibu tidak
pulang bila mendapat tawaran menyanyi di luar kota. Kalau dulu saya sering merindukan kehadiran
Ibu, sekarang saya mengharapkan Ibu tidak pernah kembali. Saya sudah muak melihat kedekatan
Ibu dengan lintah. Bila Ibu pergi, saya merasa tenang karena Ibu sudah mulai membawa lintah itu ke
mana-mana. Saya pernah melihat Ibu di televisi menyanyi dengan lintah yang sudah berubah
menjadi ular-ular kecil itu di atas kepalanya dan menari-nari. Saya pernah membaca di surat kabar
bahwa Ibu sudah diberi julukan penyanyi Medusa. Memang banyak sekali tawaran sesudahnya. Dan
ini membuat Ibu semakin saying kepada lintah. Mungkin karena Ibu sudah demikian terkenal, Ibu
menjadi pilih-pilih tawaran. Dan inilah yang membuat Ibu lebih sering berada di rumah.

Ekonomi kami pun membaik. Kami jadi sering pergi jalan-jalan. Ibu membelikan saya berbagai
macam barang yang tidak ingin saya punyai. Saya hanya ingin Ibu berpisah dengan lintah. Mungkin
barang-barang yang Ibu belikan untuk saya semata-mata rayuan supaya saya tidak lagi
membicarakan lintah.

Di luar rumah, bila kami sedang berjalan-jalan, Ibu tidak menaruh lintah di atas kepalanya. Ibu
menaruh lintah di dalam kantung supaya tidak ada yang mengenali Ibu yang sudah berubah menjadi
selebriti. Sering lintah licik itu diam-diam membelah dirinya menjadi dua, dan seekor menyelinap
masuk ke dalam kantung saya tanpa sepengetahuan Ibu. Saya tidak berani mengadu, takut Ibu
marah seperti dulu. Sesekali Ibu memasukkan tangannya ke dalam kantung untuk memeriksa
keberadaan lintah. Dan alangkah puas mukanya bila tangannya bersentuhan dengan tubuh lintah.

Beberapa kali berhasil membelah diri tanpa sepengetahuan Ibu, lintah makin menjadi-jadi. Ia lalu
membelah dirinya menjadi tiga, empat, bahkan lima. Dan kali ini sudah tidak lagi menyelinap ke
bawah baju saya. Yang satu menyelinap ke pinggang saya. Yang satunya lagi ke perut saya. Dan
mereka berputar-putar sesuka hati menjelajahi tubuh saya sambil mengisapi darah saya. Saya
semakin membenci lintah. Dan saya mulai membenci Ibu.

***

Hari itu terik matahari begitu menyengat. Seragam sekolah saya basah oleh peluh yang tidak kunjung
berhenti menetes. Sesekali saya merasakan perih saat setitik peluh jatuh tepat pada luka-luka bekas
gigitan lintah. Namun penat dan perih mendadak hilang setibanya saya di rumah. Saya sangat
bahagia mendapatkan mobil Ibu tidak ada. Saya masuk melalui ruang tamu yang kosong tanpa
mereka. Saya menengok rumah lintah yang rapi tak terjamah. Saya masuk ke dalam kamar lengang
dan kembali bahagia bersemayam dalam dada. Saya membuka pintu kamar Ibu. Bau wangi
menyergap hidung saya, menyergap kerinduan, menyergap perasaan. Saya melangkah masuk.
Memutar kunci dan merebahkan diri di atas tempat tidur Ibu sambil memandang lukisan kami berrdua
yang terpampang di atasnya. Apakah semua lukisan keluarga yang menampakkan senyum bahagia
hanyalah sandiwara? pikir saya. Tiba-tiba tercium bau yang sangat saya kenal dan begitu saya benci.
Tanpa dapat saya hindari lintah sudah berdiri tepat di depan mata saya. Lintah itu sudah berubah
menjadi ular kobrayang siap mematuk mangsanya. Matanya warna merah saga menyala. Jiwa saya
gemetar. Raga saya lumpuh. Ular itu menyergap, melucuti pakaiaan saya, menjalari satu persatu
lekuk tubuh saya. Melumat tubuh saya yang belum berbulu dan bersusu., dan menari-nari di atasnya
memuntahkan liur yang setiap tetesnya berubah menjadi lintah. Lintah-lintah yang terus menghisap
hingga tubuh saya menjadi merah.

***

Senja kelam hari itu. Hujan deras. Suara petir bertalu-talu. Sebekas kilat menerangi wajah Ibu.

“Ibu mau bicara padamu, Maha.”

“Saya juga ingin bicara pada Ibu.”

“Ibu akan bicara dulu, Maha. Sesudah itu giliranmu.”


Kembali petir meledak dan kilatnya memperjelas senyum Ibu.

“Kamu sudah besar. Sudah saatnya kamu mempunyai adik.”

Ibu diam menunggu jawaban. Namun saya lebih diam.

“Ibu mengandung, Maha. Dan sebentar lagi Ibu akan menikah. Sudah lama Ibu hidup sendiri
semenjak ayahmu meninggal. Dan kamu sudah lama hidup tanpa Ayah.”

Mata saya membeliak lebar. Suara petir tidak lagi terdengar.

“Siapakah lak-laki yang berbahagia itu, Ibu? Siapakah laki-laki yang akan menjadi ayah saya?”

Angin membuka tirai jendela. Sekejap cahaya menerangi pengharapan jiwa.

“Lintah… .”

Angin mereda. Tirai kembali tertutup. Menghadirkan gelap, menghadirkan sunyi… .

Jakarta, 4 Juli 1999

*) Seorang tokoh wanita berambut bagai Medusa dalam novel Jazz, Parfum dan Insiden karya Seno
Gumira Ajidarma.
Helvy Tiana Rosa - Idis

Idis

Begitu senja. Jalan setapak di batas Batu Licin yang sejak tadi kususuri semakin gelap. Pepohonan dan
daun-daun melambai berharap mentari sudi mengintip sebentar saja lagi, mengiringi langkahku yang
entah ke mana ini.

Kupercepat langkah. Setengah berlari kubawa gejolak tak menentu, buncahan duka, airmata yang
membuat sungai kepedihan semakin panjang dalam diri. Perang! Perang! Perang yang membara sejak
aku belum dilahirkan, hingga kematian kedua orangtua dan sanak saudaraku. Perang yang tiada
berujung!

Ya, Belanda memporak-porandakan semua. Abak-ku hanya tukang perahu yang tewas kehabisan darah,
saat Van Hengst dengan penuh dendam memotong-motong lalu mengirimkan kaki, tangan dan kedua
mata Abak yang dicungkilnya keji kepada Pangeran Hidayat untuk menakut-nakuti pemimpin teguh itu
agar tak lagi mengajak rakyat Banjar berjuang.

Umak, wanita yang melahirkanku pun cuma wanita biasa yang kutemukan tewas setelah dianiaya dan
diperkosa belasan penjajah Belanda di beranda rumah kami bertahun lalu. Sementara abangku Kusin dan
Ali tewas saat bersama Kyai Langlang menyerbu benteng Belanda di Tabanio.

Dan dalam usia tujuh belas tahun ini aku sendiri. Berjuang untuk tetap hidup dalam atmosfir nestapa
kebiadaban penjajah Belanda.

“He…he…he…he….”

Gema tawa liar yang tiba-tiba terdengar sungguh menyentakkan lamunan dan mengejutkanku! Lalu
entah darimana datangnya, kini tiga sosok lelaki menghadang jalan. Dua di antara mereka menyandang
tombak!

“Gadis muda…, he…he…he…, mau kemana?” tanya mereka hampir serentak. Lantas dengan begitu saja
yang berkumis tebal menjawil pipiku.

Aku menunduk gemetar. Ya Allah, tolong aku. Tiga orang ini sangat menakutkan. Yang seorang gondrong,
seorang kumisan, sedang yang lain bercodet di wajahnya. Meski bukan Belanda…,tapi perasaanku
mengatakan mereka jahat. Bukan orang baik-baik apalagi pejuang!

“Kami anak buah Wan Syarif Hamid. Mari ikut kami. Kumpini tak kan mengganggumu…he…he….”
Aku mencibir. “Syarif Hamid… si tolol. Dan kalian anak buahnya yang… dungu. Kalian muslim… atau
Belanda?” gumamku pelan.

“Diam ikam !” teriak yang berkumis tebal. “Ayo kita bopong dia!!”

Aku meronta-ronta. Selendang penutup rambutku jatuh ke tanah! Sambil terkekeh-kekeh mereka
berusaha membawaku secara paksa!

Aku menjerit-jerit. Mencoba mencakar, menjambak, meludahi mereka! Ya Allah…, aku bingung dan
begitu lemah. Tak mampu mematahkan mereka. Andai aku bisa bela diri…, wah, mana mungkin?

“Turunkan dia!”

Sebuah suara berat menghentikan aktivitas para jahanam itu. Aku terpana. Seorang lelaki kurus tinggi
yang sangat bernyali mencoba merintangi! Sungguh berani. Kutahan napasku. Mungkinkah dia bisa
melawan para biadab ini?

“Siapa, Kau?” gusar Si Gondrong yang membopongku. Seketika dibuangnya aku ke tanah. Duh, serasa
tulang-tulangku mau patah. Sakit sekali.

“Saudaraku, lepaskan perempuan yang tak berdaya itu. Biarkan dia pergi.”

“Tak ada urusan. Menyingkir atau kutusuk ikam dengan tombak ini!” seru yang berkumis tebal.

Aku memandang ngeri sambil perlahan memungut selendangku. Pemuda kurus tinggi itu sendirian dan
bergeming di tempatnya. Sambil membetulkan ikat kepalanya dia melambaikan tangannya padaku.

“Sini, Ai!”

Aku baru saja akan berlari, saat dua di antara anak buah Syarif Hamid mencengkeram tanganku kuat.

Aku meronta-ronta. Kuberanikan diri menggigit tangan mereka sampai berdarah. Mereka melolong
kesakitan! Hup, Aku bebas! Dengan lutut yang masih agak gemetar aku berlari ke arah pemuda tersebut.

“Serbuuuuuuuu!” teriak si Kumis. Serempak mereka menyerang pemuda yang bermaksud menolongku
itu.

Pemuda kurus tinggi tersebut gigih melawan. Ia pintar beladiri! Kulihat gerakannya sangat lincah. Bahkan
ia belum juga mengeluarkan keris di pinggangnya menghadapi orang-orang jahat bertombak itu!

Apa yang harus kulakukan sekarang? Menunggunya? Kalau dia kalah dan mati? Hiiiiiii….

“Semoga Kakak menaaaaang!” teriakku pada pemuda yang berani itu. Dan…wussssssss, aku berlari
secepatnya meninggalkan tempat tersebut.
***

Pindah dari satu daerah ke daerah lain, mengembara tak tentu arah, sebenarnya bukan hal yang biasa
dilakukan oleh gadis bingung dan penakut seperti aku ini. Tapi kupikir, harus bagaimana lagi? Aku bisa
mendelik atau pingsan ketakutan bila berada di daerah yang ditimpa kerusuhan dan peperangan. Ya,
karena aku penakut. Karena tak berani menghadapi kenyataan peperangan inilah maka aku selalu berlari.

Aku ingin dapat istirah sesaat dengan tenang walau harus tidur di tanah, emper rumah orang, dalam bilik
pengap, di mana saja. Tidur nyenyak di waktu malam berteman suara jangkrik. Bukan suara bedil, mesiu,
atau jerit pilu yang berkepanjangan. Bukan ditemani mimpi-mimpi meresahkan… Bayangan wajah Abak,
Umak, kumpini dan simbahan darah…. Sungguh, itu sangat mengerikan.

Seperti kini, 27 September 1859, aku tiba di kaki Gunung Lawak. Menurut kabar daerah ini sudah dikuasai
oleh para pejuang kemerdekaan.

“Pangeran Amirullah, Demang Lehman, Antaludin dan Haji Buyasin ada di sini. Rakyat merasa lebih
tenang. Wilayah juga lebih aman…,” ujar seorang bapak tua penjual sayur yang kutemui di jalan.

Kutarik napas panjang. Aku salut atas keberanian para pejuang itu. Apalagi pada Pangeran Hidayat, Haji
Buyasin dan…Demang Lehman! Tapi…terus terang, aku lebih suka jadi pelarian daripada ikut membantu
perjuangan.

“Bergabung saja dengan laskar wanita pimpinan istri Haji Buyasin. Nanti kau diajar mengobati orang luka,
memasak, juga bersilat, Ading Gahara…,” kata Kak Kusin suatu ketika.

“Kenapa sih Ading penakut sekali…!” bentak Kak Ali.

“Ading kada‘ mau mati muda….” jawabku pelan.

“Huuuuuuuuuu! Mati bisa di mana saja, Ading. Di tempat tidur pun bisa!” ledek Kak Ali sambil mengusap
kepalaku.

Kutahan titik-titik air mata. Aku rindu mereka…, sungguh rindu!

“Kita harus melawan penjajah, ini tanah hak kita! Kita harus merdeka! Jihad fisabilillah terhadap
Belanda…kaum kuffar itu!” suara Kak Kusin lagi.

Aku menghapus airmata dan membetulkan letak selendangku. Sebelum hari beranjak siang, aku harus
mendapat pekerjaan. Mencuci baju, piring, membantu di warung…, apa saja…, agar aku mendapat uang
dan bisa numpang bermalam.
Belum jauh berjalan, di sekitar kaki Gunung Lawak, kutemukan sebuah warung kecil yang sepi tanpa
pengunjung.

“Aku tak memerlukan pembantu, tapi kau boleh tinggal di sini,” ujar seorang janda tua pemilik warung
tersebut prihatin. “Lagi pula kita senasib. Aku pun sebatangkara. Panggil saja aku Acil Dem…,”
sambungnya lagi.

Alhamdulillah, aku sangat bersyukur!

***

Beberapa hari kemudian, suara mortir dan senapan tak berhenti menyalak di sekitar kami….

“Perang! Belanda sampai…, ayo ngungsi!”

“Van De Koch… dan anak buahnya… menyerbu benteng Gunung Lawak…!”

“Demang Lehman terdesak!”

Itulah seruan-seruan beberapa orang di jalanan dengan wajah penuh kecemasan.

Kaum wanita dan anak-anak pun panik! Para lelaki mengangkat tombak, keris serta bedil.

“Mari bantu pasukan Demang Lehman!”

Aku dan Acil pias!

“Acil, ayo kita lari!”

“Kau saja yang pergi, Gahara. Biar Acil mati di tanah sendiri!”

“Jangan, Acil!” aku kebingungan. Suara bedil, mesiu dan kendaraan perang yang terasa menderu-deru di
telingaku semakin dekat saja! Semakin membuatku gugup. Kutarik paksa Acil Dem meninggalkan rumah.
Aku takut sekali dan ingin lari selekas mungkin. Tapi…, nuraniku berkata untuk melindungi Acil Dem!
Acil malah meronta-ronta….

Tiba-tiba kulihat darah muncrat dari punggung perempuan tua itu. Mataku terbelalak. Kepalaku
berkunang-kunang. Aku lemas seketika! Belanda-belanda itu telah menguasai daerah dan berada tak jauh
di belakang kami!

“Lari…, Ga…ha…ra…,” suara Acil satu-satu.

Sosok Umak yang bersimbah darah tiba-tiba muncul di hadapanku. Matilah aku kini! Wahai…, gadis muda
mati di bantai kumpini!
***

Cahaya menyilaukan membuat kedua mataku mengerjap picing. Di manakah aku kini? Surga?
Tapi…apakah seorang penakut dapat begitu mudah masuk surga?

“Kau sudah sadar….”

Kukerjapkan lagi mata ini. Pandanganku masih terasa kabur. Allah, aku masih hidup! tapi…,bagaimana
mungkin? Dan…Acil Dem?

Seorang lelaki gemuk berdiri tak jauh di hadapanku. Di dekatnya seorang lelaki kurus tinggi berpakaian
lusuh, lengkap dengan ikat kepala membelakangiku. Sekitarku penuh pepohonan…, daun-daun kering
berserakan, suara-suara binatang di kejauhan…. Hutan! aku ada di hutan!

“Kau tak luka, hanya pingsan. Bergegaslah! Kita akan berjalan ke pemukiman penduduk beberapa
kilometer dari sini.”

Aku tertegun saat sekilas menatap pemuda itu. Aku pernah bertemu dengannya tapi…tapi di mana? Oh
tentu saja, pemuda kurus dengan ikat kepala itu yang menolongku saat di Batu Licin dulu! Hebat, dia
selamat! Dan…kini dia pula yang menolongku.

Tak lama kami telah berjalan menyusuri hutan. Sesekali kutangkap pembicaraan dua pemuda sederhana
ini. Tampaknya mereka sisa-sisa pejuang dari benteng pertahanan Gunung Lawak. Entahlah, mungkin
anak buah Demang Lehman?

Mereka tak lagi mengajakku bercakap-cakap. Hingga di ujung hutan, tak jauh dari pemukiman penduduk,
lelaki dengan ikat kepala itu berkata, “Kita berpisah di sini. Kau hanya harus lurus berjalan. Ceritakan
tentang pertempuran di Gunung Lawak. Penduduk akan simpati dan menolongmu.”

“Apa? Begitu saja, Ai?” tanyaku heran sambil membetulkan selendang lusuhku yang compang-camping.
“Bagaimana kalau ada Belanda yang menghadang tiba-tiba?”

“Insyaallah aman. Dan bila orang-orang kafir itu datang berjihadlah. Tuangkan darahmu untuk
menegakkan agama Allah….”

Aku bergidik. “Aku ikut saja.”

“Tidak bisa! Kami akan bergerilya dan mengatur siasat baru,” ujar pemuda itu lugas.

“Tega!” rutukku. “Baik. Terimakasih sudah menolong,” kataku pada akhirnya. “Sebelum berpisah,
siapakah Kakak berdua ini kiranya?”

“Aku Idis. Dan ini temanku Abdullah,” ujar si ikat kepala lagi.
“Assalaamualaikuum!”

Lalu tanpa bisa kucegah, mereka berlari dan menghilang ke dalam hutan!

***

Beberapa waktu kemudian, di tengah pengembaraanku, kudengar Demang Lehman dan pasukannya
berhasil mengusir Belanda dari Gunung Lawak. Kata beberapa orang, Belanda tak tahan digerogoti dan
diteror terus secara gerilya oleh para pejuang tersebut.

Menurut banyak orang lagi, Di Munggu Tajur, Demang Lehman berhasil merampas senjata, berpuluh
pucuk bedil serta mesiu Belanda. Kemudian orang gagah itu meneruskan pertempuran ke Taal dan
membuat Belanda kocar-kacir. Ke Amawang, Alai, Kusan, Amandit, Banua Lima-Tabalong….

“Dia orang hebat, Gahara. Aku pernah bertemu sekali dengannya. Dia sangat pemberani!” seruan Kak
Kusin terngiang kembali di telingaku.

“Dia juga sangat rendah hati!” sambung Kak Ali. “Pangeran Hidayat percaya pada beliau makanya
Demang Lehman diangkat menjadi Lalawangan di Riam Kanan walau Sultan Tamjidullah yang berpihak
pada kumpini itu benci! Pangeran Hidayat memberinya tombak Kalibelah dan keris Singkir.”

Demang Lehman, aku menggumam. Pembicaraan yang tiada putus-putusnya. Dan saat aku sampai di
Barabai, orang-orang masih juga menyebut namanya!

“Kebakaran! Kebakaraaaaan!”

“Allah, ada apa?”

“Kebakaran! Barabai hangus! Api dari rumah Demang Lehman! De Koch membakarnya!” seru seseorang.

Aku terhenyak. Tapi…tidak, tak ada Belanda. Yang ada hanya api…,api yang menjalar kemana-
mana…terus menjalar!

Para wanita dan anak-anak menjerit dan menangis keras, riuh rendah! Hiruk-pikuk! Mereka jatuh, berlari,
bergulingan, berusaha menyelamatkan harta dan keluarganya! Dan saling kehilangan! Para lelaki
mencoba menyiram rumah-rumah dengan air. Sia-sia!

Sesaat aku terpana. Ternganga. Naluri kemanusiaanku menuntunku untuk membantu menyelamatkan
kaum wanita, para bocah dan orang tua. Tubuhku bergetar. Peluh membasahi kulit ini. Aku berlari-larian
mencoba menyelamatkan yang bisa kuselamatkan. Anak-anak kecil itu…, Allah…aku sempoyongan!
Kasihan mereka!
“Toloooong, bayikuuu! Bayiikuu! Dia terbakar!” seorang umak muda berteriak-teriak di depan rumahnya
yang penuh kobaran api.

Entah kekuatan dari mana, aku menyeruak masuk. Bocah baru berusia beberapa bulan itu menangis
keras kepanasan! Selimutnya telah terbakar. Kuraih…, hup! Tangis anak itu makin keras. Tapi…ya
Allah…,aku terkurung apii!!

“Toloong! Tolong anak iniii!” teriakku.

Dalam nanar kulihat orang-orang masih berlarian tak peduli. Umak anak itu meraung-raung sambil
menunjuk-nunjuk kami….

Aku sudah pasrah…, saat samar-samar kulihat sosok kurus tinggi menyeruak api! Tangan kanannya
menarikku. Tangan kirinya menyelamatkan bayi tersebut!

Alhamdulillah Allah melindungi kami. Hanya kaki dan tanganku melepuh sedikit.

Dan lelaki itu…, hah? Kak Idis?

“Kau sudah lebih berani, Ading! Berjuanglah bersama Allah…,” katanya datar sebelum berlalu.

Aku tercenung. Berani? Ya, pada api aku memang agak berani. Tapi…pada Belanda yang memperkosa dan
membunuh Umak, yang mencungkil mata Abak?

Orang-orang di sekitarku masih hiruk-pikuk. Bertangis-tangisan. Kutatap sosok kurus yang kian jauh itu.
Entah siapa dia…, dan Ya Allah, mana bungkusanku? Heran. Dalam keadaan seperti ini ada saja orang
yang mencari kesempatan!

Aku sudah tak memikirkan sosok kurus itu lagi. Hanya mencari bungkusanku yang hilang ke sana kemari.

***

Martapura, 26 Februari 1864.

Kesunyian kota berubah ramai saat para utusan De Koch tiba.

“Rakyat semua, dengarlah! Besok kamu semua datang beramai-ramai. Setelah Pangeran Hidayat
ditangkap untuk dibuang ke Cianjur, Gubernemen kini telah menangkap ekstrimis Demang Lehman.
Eksekusi gantung sampai mati esok pagi!”

Aku baru saja tiba di kota ini. Orang-orang sibuk membicarakan tertangkapnya Demang Lehman. Kasihan,
kasihan pejuang itu. Dan bagaimana nasib rakyat kalau ia betul tertangkap? Bukankah ia pengobar
semangat rakyat?
“Ya, Demang Lehman dan Tumenggung Aria Pati bersembunyi di dalam Gua Gunung Pangkal. Mereka
cuma makan daun-daunan. Lalu oleh orang bernama Pemberani diajak menginap di rumahnya.”

“Karena tergiur imbalan golden, Pemberani bekerja sama dengan Syarif Hamid dan anak buahnya yang
sudah menyusuri Gunung Lintang dan Gunung Panjang untuk mencari Demang Lehman.”

“Demang Lehman ditangkap waktu salat subuh. Ia sempat sendirian melawan puluhan orang yang
mengepungnya. Atas keberhasilan ini Syarif Hamid akan diangkat jadi raja di Batu Licin….”

Cerita-cerita terus beredar. Dan entah mengapa aku tergugah. Seperti apakah Demang Lehman itu?
Lelaki pemberani yang dikagumi rakyat Banjar? Setua apa dia? Rasa ingin tahu bermain terus di hatiku.

27 Februari 1864. Kulihat wajah-wajah duka di Martapura. Dan saat iring-iringan Belanda tiba, entah
mengapa kakiku tetap kukuh menginjak bumi. Tak lari seperti biasa. Serasa magnet yang kuat menahanku
untuk tetap di Martapura. Tiba-tiba kebencianku bergumpal-gumpal pada Belanda kafir dan para
pengkhianat tolol itu! Tiba-tiba sesuatu yang lain menjalar di hatiku. Aku merasa begitu dekat dengan
Demang Lehman…,orang yang akan digantung Belanda di hadapan orang banyak saat ini….

“Bawa dia naik!” teriak beberapa Belanda.

Rakyat berguman-guman tak jelas. Wajah-wajah di sampingku keruh menahan air mata.

Seorang lelaki kurus tinggi dengan ikat kepala naik ke atas panggung hukuman. Ya Tuhan! Aku menahan
napas! Nyaris tak percaya…, Kak Idis!? Benarkah itu Kak Idis?

Lelaki muda itu tampak tenang menghadapi tali yang menjulur. Wajahnya kokoh ke depan. Seolah ingin
berkata bahwa kematiannya adalah awal, bukan akhir perjuangan.

“Kak Idis…,” lirihku. Dan tanpa dapat kutahan airmataku mengucur begitu saja. Makin lama semakin
deras.

Seorang Kompeni maju. “Nama Demang Lehman. Nama kecil Idis. Lahir tahun 1832 di Barabai. Bersalah
merugikan pemerintah Belanda secara moril materil dan menghilangkan nyawa banyak orang. Dihukum
gantung dalam usia 32 tahun, sebagai contoh pahit bagi para pemberontak.”

“Dangar, dangar baritaan! Banua Banjar lamun kahada lakas dipalas lawan banyu mata darah akan
diinjak kumpini Belanda!”

“Apalagi yang mau dikatakan!” Belanda mendorong tubuh Kak Idis hingga limbung.

“Mari berjihad, saudaraku! Laailaahailallah!!!” Kak Idis berteriak keras.


Wajah orang-orang kian haru. Biru. Beberapa diantaranya meneteskan airmata. Para wanita seolah tak
kuat menanggung rasa duka dan berlalu dari situ. Sementara deras airmataku berubah jadi isakan.

“Siap?”

Bagiku Kak Idis tampak makin gagah saat lehernya dikalungi tali tambang yang kokoh itu. Ia begitu
tenang. Pun saat tanpa sengaja kami bertatapan.

Jantungku berpacu keras. Belanda Biadab!

“Allaaahu Akbarrrr! Demang Lehman…! Aku akan mengikutimuuuu! Aku akan berjihaaaad!” teriakku tiba-
tiba. “Aku Gaharaaaa!!!”

Sesaat orang-orang sibuk mencari arah suaraku, juga Kompeni. Demang Lehman tenang dan terus
berdzikir. Seulas senyum ketabahan menghiasi wajah teduhnya. Belanda tak membiarkan. Kasar mereka
menarik Demang Lehman! Kasar mereka memasukkan lingkar tali tambang ke lehernya! Dan penuh
kebrutalan… mereka…membuat tubuh kurusnya terayun-ayun setelah mengejang tertarik tali!

Allah, dia telah pergi! Pemuda gagah itu pergi diiringi tunduk khidmat dan doa rakyat Banjar. Diantara
derai tawa Kompeni Belanda!

Selendang compang-campingku yang lusuh berdebu, berkibar ditiup angin Martapura. Rahangku keras
menatap langit kelabu. Sayup-sayup kudengar senandung Laa ilaahailallah memenuhi bumi.
Menyebarkan wangi….

Aku akan mengenangmu, Demang Lehman mujahid negeri! Akan kuteruskan perjuangan! Dan airmata
biar terpatri jadi janji!

(Helvy Tiana Rosa, Depok, 1996)

Keterangan:

ikam : kamu

ading : adik

kada : tidak

acil : tante

lalawangan : kepala distik, pamong praja


dangar baritaan : dengar pesanku

lamun kada lakas dipalas : kalau tidak lekas disiram

banyu : air

Anda mungkin juga menyukai