Anda di halaman 1dari 31

A.

Pengertian
Ada beberapa pengertian penyakit Benigna Prostate Hiperplasia (BPH)
menurut beberapa ahli adalah :
1. Benigna Prostate Hiperplasia (BPH) merupakan perbesaran kelenjar prostat,
memanjang ke atas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan
menutupi orifisium uretra akibatnya terjadi dilatasi ureter (hidroureter) dan
ginjal (hidronefrosis) secara bertahap (Smeltzer dan Bare, 2002).
2. BPH merupakakan pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk
dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai
proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang
tersisa, prostat tersebut mengelilingi uretra dan, dan pembesaran bagian
periuretral menyebabkan obstruksi leher kandung kemih dan uretra
parsprostatika yang menyebabkan aliran kemih dari kandung kemih (Price dan
Wilson, 2006).
3. BPH merupakan suatu keadaan yang sering terjadi pada pria umur 50 tahun
atau lebih yang ditandai dengan terjadinya perubahan pada prostat yaitu
prostat mengalami atrofi dan menjadi nodular, pembesaran dari beberapa
bagian kelenjar ini dapat mengakibatkan obstruksi urine ( Baradero, Dayrit, dkk,
2007).
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Benigna Prostat
Hiperplasi (BPH) merupakan penyakit pembesaran prostat yang disebabkan oleh
proses penuaan, yang biasa dialami oleh pria berusia 50 tahun keatas, yang
mengakibatkan obstruksi leher kandung kemih, dapat menghambat pengosongan
kandung kemih dan menyebabkan gangguan perkemihan.
B. Tahapan Perkembangan Penyakit BPH
Berdasarkan perkembangan penyakitnya menurut Sjamsuhidajat dan De jong
(2005) secara klinis penyakit BPH dibagi menjadi 4 gradiasi :
Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada colok dubur ditemukan
penonjolan prostat, batas atas mudah teraba dan sisa urin kurang dari
50 ml
Derajat 2 : Ditemukan penonjolan prostat lebih jelas pada colok dubur dan batas
atas dapat dicapai, sedangkan sisa volum urin 50-
100 ml.
Derajat 3 : Pada saat dilakukan pemeriksaan colok dubur batas atas prostat
tidak dapat diraba dan sisa volum urin lebih dari
100ml.
Derajat 4 : Apabila sudah terjadi retensi urine total

C. Anatomi dan Fisiologi Prostat


1. Anatomi Prostat
Menurut Wibowo dan Paryana (2009). Kelenjar prostat terletak dibawah
kandung kemih, mengelilingi uretra posterior dan disebelah proksimalnya
berhubungan dengan buli-buli, sedangkan bagian distalnya kelenjar prostat ini
menempel pada diafragma urogenital yang sering disebut sebagai otot dasar
panggul. Gambar letak prostat terlihat di gambar 2.1

Gambar 2. 1 : Letak anatomi prostat


( Hidayat, 2009 )

Prostat terdiri atas kelenjar majemuk, saluran-saluran, dan otot polos


Prostat dibentuk oleh jaringan kelenjar dan jaringan fibromuskular. Prostat
dibungkus oleh capsula fibrosa dan bagian lebih luar oleh fascia prostatica
yang tebal. Diantara fascia prostatica dan capsula fibrosa terdapat bagian yang
berisi anyaman vena yang disebut plexus prostaticus. Fascia prostatica berasal
dari fascia pelvic yang melanjutkan diri ke fascia superior diaphragmatic
urogenital, dan melekat pada os pubis dengan diperkuat oleh ligamentum
puboprostaticum. Bagian posterior fascia prostatica membentuk lapisan
lebar dan tebal yang disebut fascia Denonvilliers. Fascia ini sudah dilepas dari
fascia rectalis dibelakangnya. Hal ini penting bagi tindakan operasi prostat (
Purnomo, 2011).
Kelenjar prostat merupakan suatu kelenjar yang terdiri dari 30-50
kelenjar yang terbagi atas empat lobus, lobus posterior, lobus lateral, lobus
anterior, dan lobus medial. Lobus posterior yang terletak di belakang uretra dan
dibawah duktus ejakulatorius, lobus lateral yang terletak dikanan uretra, lobus
anterior atau isthmus yang terletak di depan uretra dan menghubungkan lobus
dekstra dan lobus sinistra, bagian ini tidak mengandung kelenjar dan hanya
berisi otot polos, selanjutnya lobus medial yang terletak diantara uretra dan
duktus ejakulatorius, banyak mengandung kelenjar dan merupakan bagian
yang menyebabkan terbentuknya uvula vesicae yang menonjol kedalam
vesica urinaria bila lobus medial ini membesar. Sebagai akibatnya dapat terjadi
bendungan aliran urin pada waktu berkemih (Wibowo dan Paryana, 2009).
Kelenjar ini pada laki-laki dewasa kurang lebih sebesar buah walnut atau
buah kenari besar. Ukuran, panjangnya sekitar 4 - 6 cm, lebar 3 - 4 cm, dan
tebalnya kurang lebih 2 - 3 cm dengan berat sekitar 20 gram. Bagian- bagian
prostat terdiri dari 50 – 70 % jaringan kelenjar, 30 – 50 % adalah jaringan
stroma (penyangga) dan kapsul/muskuler. Bagian prostat terlihat di gambar 2.2.

Gambar 2.2 : Bagian prostat


(Hidayat, 2009)
Prostat merupakan inervasi otonomik simpatik dan parasimpatik dari
pleksus prostatikus atau pleksus pelvikus yang menerima masukan serabut
parasimpatik dari korda spinalis dan simpatik dari nervus hipogastrikus.
Rangsangan parasimpatik meningkatkan sekresi kelenjar pada epitel prostat,
sedangkan rangsangan simpatik menyebabkan pengeluaran cairan prostat
kedalam uretra posterior, seperti pada saat ejakulasi. System simpatik
memberikan inervasi pada otot polos prostat, kapsula prostat, dan leher buli-buli.
Ditempat itu terdapat banyak reseptor adrenergic. Rangsangan simpatik
menyebabkan dipertahankan tonus otot tersebut. Pada usia lanjut sebagian pria
akan mengalami pembesaran kelenjar prostat akibat hiperplasi jinak sehingga
dapat menyumbat uretra posterior dan mengakibatkan terjadinya obstruksi
saluran kemih (Purnomo, 2011).

2. Fisiologi
Menurut Purnomo (2011) fisiologi prostat adalah suatu alat tubuh yang
tergantung kepada pengaruh endokrin. Pengetahuan mengenai sifat endokrin ini
masih belum pasti. Bagian yang peka terhadap estrogen adalah bagian tengah,
sedangkan bagian tepi peka terhadap androgen. Oleh karena itu pada orang tua
bagian tengahlah yang mengalami hiperplasi karena sekresi androgen
berkurang sehingga kadar estrogen relatif bertambah. Sel-sel kelenjar prostat
dapat membentuk enzim asam fosfatase yang paling aktif bekerja pada pH 5.

Kelenjar prostat mensekresi sedikit cairan yang berwarna putih susu dan
bersifat alkalis. Cairan ini mengandung asam sitrat, asam fosfatase, kalsium dan
koagulase serta fibrinolisis. Selama pengeluaran cairan prostat, kapsul kelenjar
prostat akan berkontraksi bersamaan dengan kontraksi vas deferen dan cairan
prostat keluar bercampur dengan semen yang lainnya. Cairan prostat
merupakan 70% volume cairan ejakulat dan berfungsi memberikan makanan
spermatozon dan menjaga agar spermatozon tidak cepat mati di dalam tubuh
wanita, dimana sekret vagina sangat asam (pH: 3,5-4). Cairan ini dialirkan
melalui duktus skretorius dan bermuara di uretra posterior untuk kemudian
dikeluarkan bersama cairan semen yang lain pada saat ejakulasi. Volume cairan
prostat kurang lebih 25% dari seluruh volume ejakulat. Dengan demikian sperma
dapat hidup lebih lama dan dapat melanjutkan perjalanan menuju tuba uterina
dan melakukan pembuahan, sperma tidak dapat bergerak optimal sampai pH
cairan sekitarnya meningkat 6 sampai 6,5 akibatnya mungkin bahwa cairan
prostat menetralkan keasaman cairan dan lain tersebut setelah ejakulasi dan
sangat meningkatkan pergerakan dan fertilitas sperma ( Wibowo dan Paryana,
2009 ).

D. Etiologi
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti etiologi/penyebab
terjadinya BPH, namun beberapa hipotesisi menyebutkan bahwa BPH erat
kaitanya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses menua.
Terdapat perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria usia 30-40
tahun. Bila perubahan mikroskopik ini berkembang, akan terjadi perubahan
patologik anatomi yang ada pada pria usia 50 tahun, dan angka kejadiannya sekitar
50%, untuk usia 80 tahun angka kejadianya sekitar 80%, dan usia 90 tahun sekiatr
100% (Purnomo, 2011).
Etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesa yang
diduga menjadi penyebab timbulnya Benigna Prosat, teori penyebab BPH menurut
Purnomo (2011) meliputi, Teori Dehidrotestosteron (DHT), teori hormon
(ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron), faktor interaksi stroma dan
epitel-epitel, teori berkurangnya kematian sel (apoptosis), teori sel stem.
1. Teori Dehidrotestosteron (DHT)
Dehidrotestosteron/ DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting pada
pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Aksis hipofisis testis dan reduksi
testosteron menjadi dehidrotestosteron (DHT) dalam sel prostad merupakan
factor terjadinya penetrasi DHT kedalam inti sel yang dapat menyebabkan
inskripsi pada RNA, sehingga dapat menyebabkan terjadinya sintesis protein
yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat. Pada berbagai penelitian dikatakan
bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh berbeda dengan kadarnya pada prostat
normal, hanya saja pada BPH, aktivitas enzim 5alfa –reduktase dan jumlah
reseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel
prostat pada BPH lebih sensitive terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih
banyak terjadi dibandingkan dengan prostat normal.
2. Teori hormone ( ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron) Pada usia
yang semakin tua, terjadi penurunan kadar testosteron sedangkan kadar
estrogen relative tetap, sehingga terjadi perbandingan antara kadar
estrogen dan testosterone relative meningkat. Hormon estrogen didalam
prostat memiliki peranan dalam terjadinya poliferasi sel-sel kelenjar
prostat dengan cara meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan
menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat (apoptosis). Meskipun
rangsangan terbentuknya sel-sel baru akibat rangsangan testosterone
meningkat, tetapi sel-sel prostat telah ada mempunyai umur yang lebih
panjang sehingga masa prostat jadi lebih besar.
3. Faktor interaksi Stroma dan epitel epitel.
Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol
oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator yang disebut Growth factor. Setelah
sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma
mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel
stroma itu sendiri intrakrin dan autokrin, serta mempengaruhi sel-sel epitel
parakrin. Stimulasi itu menyebabkan terjadinya poliferasi sel-sel epitel
maupun sel stroma. Basic Fibroblast Growth Factor (bFGF) dapat
menstimulasi sel stroma dan ditemukan dengan konsentrasi yang lebih besar
pada pasien dengan pembesaran prostad jinak. bFGF dapat diakibatkan oleh
adanya mikrotrauma karena miksi, ejakulasi atau infeksi.
4. Teori berkurangnya kematian sel (apoptosis)
Progam kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme fisiologik
untuk mempertahankan homeostatis kelenjar prostat. Pada apoptosis terjadi
kondensasi dan fragmentasi sel, yang selanjutnya sel-sel yang mengalami
apoptosis akan difagositosis oleh sel-sel di sekitarnya, kemudian didegradasi
oleh enzim lisosom. Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan antara laju
poliferasi sel dengan kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat
sampai pada prostat dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan
yang mati dalam keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat baru
dengan prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat
secara keseluruhan menjadi meningkat, sehingga terjadi pertambahan masa
prostat.
5. Teori sel stem
Sel-sel yang telah apoptosis selalu dapat diganti dengan sel-sel baru. Didalam
kelenjar prostat istilah ini dikenal dengan suatu sel stem, yaitu sel yang
mempunyai kemampuan berpoliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini
sangat tergantung pada keberadaan hormone androgen, sehingga jika hormone
androgen kadarnya menurun, akan terjadi apoptosis. Terjadinya poliferasi sel-
sel BPH dipostulasikan sebagai ketidaktepatan aktivitas sel stem sehingga
terjadi produksi yang berlebihan sel stroma maupun sel epitel.

E. Patofisiologi
Hiperplasi prostat adalah pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa
majemuk dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral
sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal
yang tersisa. Jaringan hiperplastik terutama terdiri dari kelenjar dengan stroma
fibrosa dan otot polos yang jumlahnya berbeda-beda. Proses pembesaran prostad
terjadi secara perlahan-lahan sehingga perubahan pada saluran kemih juga
terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran
prostad, resistensi pada leher buli-buli dan daerah prostad meningkat, serta otot
destrusor menebal dan merenggang sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase
penebalan destrusor disebut fase kompensasi, keadaan berlanjut, maka destrusor
menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk
berkontraksi/terjadi dekompensasi sehingga terjadi retensi urin. Pasien tidak bisa
mengosongkan vesika urinaria dengan sempurna, maka akan terjadi statis urin. Urin
yang statis akan menjadi alkalin dan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri (
Baradero, dkk 2007).
Obstruksi urin yang berkembang secara perlahan-lahan dapat mengakibatkan
aliran urin tidak deras dan sesudah berkemih masih ada urin yang menetes, kencing
terputus-putus (intermiten), dengan adanya obstruksi maka pasien mengalami
kesulitan untuk memulai berkemih (hesitansi). Gejala iritasi juga menyertai
obstruksi urin. Vesika urinarianya mengalami iritasi dari urin yang tertahan
tertahan didalamnya sehingga pasien merasa bahwa vesika urinarianya tidak
menjadi kosong setelah berkemih yang mengakibatkan interval disetiap berkemih
lebih pendek (nokturia dan frekuensi), dengan adanya gejala iritasi pasien
mengalami perasaan ingin berkemih yang mendesak/ urgensi dan nyeri saat
berkemih /disuria ( Purnomo, 2011).
Tekanan vesika yang lebih tinggi daripada tekanan sfingter dan obstruksi,
akan terjadi inkontinensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluk
vesiko ureter, hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal
dipercepat bila terjadi infeksi. Pada waktu miksi penderita harus mengejan sehingga
lama kelamaan menyebabkan hernia atau hemoroid. Karena selalu terdapat
sisa urin, dapat menyebabkan terbentuknya batu endapan didalam kandung
kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu
tersebut dapat juga menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluk akan mengakibatkan
pielonefritis (Sjamsuhidajat dan De jong, 2005).

F. Manifestasi Klinis
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun
keluhan diluar saluran kemih. Menurut Purnomo (2011) dan tanda dan gejala dari
BPH yaitu : keluhan pada saluran kemih bagian bawah, gejala pada saluran kemih
bagian atas, dan gejala di luar saluran kemih.
1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
a. Gejala obstruksi meliputi : Retensi urin (urin tertahan dikandung
kemih sehingga urin tidak bisa keluar), hesitansi (sulit memulai
miksi), pancaran miksi lemah, Intermiten (kencing terputus-putus), dan
miksi tidak puas (menetes setelah miksi)
b. Gejala iritasi meliputi : Frekuensi, nokturia, urgensi (perasaan ingin
miksi yang sangat mendesak) dan disuria (nyeri pada saat miksi).
2. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat hiperplasi prostat pada sluran kemih bagian atas berupa
adanya gejala obstruksi, seperti nyeri pinggang, benjolan dipinggang
(merupakan tanda dari hidronefrosis), atau demam yang merupakan tanda
infeksi atau urosepsis.
3. Gejala diluar saluran kemih
Pasien datang diawali dengan keluhan penyakit hernia inguinalis atau
hemoroid. Timbulnya penyakit ini dikarenakan sering mengejan pada saan
miksi sehingga mengakibatkan tekanan intraabdominal. Adapun gejala dan
tanda lain yang tampak pada pasien BPH, pada pemeriksaan prostat
didapati membesar, kemerahan, dan tidak nyeri tekan, keletihan, anoreksia,
mual dan muntah, rasa tidak nyaman pada epigastrik, dan gagal ginjal dapat
terjadi dengan retensi kronis dan volume residual yang besar.
G. Penatalaksanaan
1. Observasi
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Pasien
dianjurkan untuk mengurangi minum setelah makan malam yang ditujukan agar
tidak terjadi nokturia, menghindari obat-obat dekongestan (parasimpatolitik),
mengurangi minum kopi dan tidak diperbolehkan minum alkohol agar tidak
terlalu sering miksi. Pasien dianjurkan untuk menghindari mengangkat barang
yang berat agar perdarahan dapat dicegah. Ajurkan pasien agar sering
mengosongkan kandung kemih (jangan menahan kencing terlalu lama) untuk
menghindari distensi kandung kemih dan hipertrofi kandung kemih. Secara
periodik pasien dianjurkan untuk melakukan control keluhan, pemeriksaan
laboratorium, sisa kencing dan pemeriksaan colok dubur (Purnomo, 2011).
Pemeriksaan derajat obstruksi prostat menurut Purnomo (2011) dapat
diperkirakan dengan mengukur residual urin dan pancaran urin:
a. Residual urin, yaitu jumlah sisa urin setelah miksi. Sisa urin dapat diukur
dengan cara melakukan kateterisasi setelah miksi atau ditentukan dengan
pemeriksaan USG setelah miksi.
b. Pancaran urin (flow rate), dapat dihitung dengan cara menghitung
jumlah urin dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik) atau
dengan alat urofometri yang menyajikan gambaran grafik pancaran urin.
2. Terapi medikamentosa
Menurut Baradero dkk (2007) tujuan dari obat-obat yang diberikan
pada penderita BPH adalah :
a. Mengurangi pembesaran prostat dan membuat otot-otot berelaksasi untuk
mengurangi tekanan pada uretra
b. Mengurangi resistensi leher buli-buli dengan obat-obatan golongan alfa
blocker (penghambat alfa adrenergenik)
c. Mengurangi volum prostat dengan menentuan kadar hormone
testosterone/ dehidrotestosteron (DHT).
Adapun obat-obatan yang sering digunakan pada pasien BPH, menurut Purnomo
(2011) diantaranya : penghambat adrenergenik alfa, penghambat enzin 5 alfa
reduktase, fitofarmaka.
1) Penghambat adrenergenik alfa
Obat-obat yang sering dipakai adalah prazosin, doxazosin,terazosin,afluzosin
atau yang lebih selektif alfa 1a (Tamsulosin). Dosis dimulai 1mg/hari
sedangkan dosis tamsulosin adalah 0,2-0,4 mg/hari. Penggunaaan antagonis
alfa 1 adrenergenik karena secara selektif dapat mengurangi obstruksi pada
buli-buli tanpa merusak kontraktilitas detrusor. Obat ini menghambat
reseptor-reseptor yang banyak ditemukan pada otot polos di trigonum, leher
vesika, prostat, dan kapsul prostat sehingga terjadi relakasi didaerah prostat.
Obat-obat golongan ini dapat memperbaiki keluhan miksi dan laju
pancaran urin. Hal ini akan menurunkan tekanan pada uretra pars
prostatika sehingga gangguan aliran air seni dan gejala-gejala berkurang.
Biasanya pasien mulai merasakan berkurangnya keluhan dalam 1-2 minggu
setelah ia mulai memakai obat. Efek samping yang mungkin timbul adalah
pusing, sumbatan di hidung dan lemah. Ada obat-obat yang menyebabkan
ekasaserbasi retensi urin maka perlu dihindari seperti antikolinergenik,
antidepresan, transquilizer, dekongestan, obat- obat ini mempunyai efek pada
otot kandung kemih dan sfingter uretra.
2) Pengahambat enzim 5 alfa reduktase
Obat yang dipakai adalah finasteride (proscar) dengan dosis 1X5 mg/hari.
Obat golongan ini dapat menghambat pembentukan DHT sehingga prostat
yang membesar akan mengecil. Namun obat ini bekerja lebih lambat dari
golongan alfa bloker dan manfaatnya hanya jelas pada prostat yang besar.
Efektifitasnya masih diperdebatkan karena obat ini baru menunjukkan
perbaikan sedikit/ 28 % dari keluhan pasien setelah 6-12 bulan pengobatan
bila dilakukan terus menerus, hal ini dapat memperbaiki keluhan miksi dan
pancaran miksi. Efek samping dari obat ini diantaranya adalah libido,
impoten dan gangguan ejakulasi.
3) Fitofarmaka/fitoterapi
Penggunaan fitoterapi yang ada di Indonesia antara lain eviprostat.
Substansinya misalnya pygeum africanum, saw palmetto, serenoa repeus dll.
Afeknya diharapkan terjadi setelah pemberian selama 1 - 2 bulan dapat
memperkecil volum prostat.
3. Terapi bedah
Pembedahan adalah tindakan pilihan, keputusan untuk dilakukan
pembedahan didasarkan pada beratnya obstruksi, adanya ISK, retensio urin
berulang, hematuri, tanda penurunan fungsi ginjal, ada batu saluran kemih dan
perubahan fisiologi pada prostat. Waktu penanganan untuk tiap pasien
bervariasi tergantung pada beratnya gejala dan komplikasi. Menurut Smeltzer
dan Bare (2002) intervensi bedah yang dapat dilakukan meliputi : pembedahan
terbuka dan pembedahan endourologi.
a. Pembedahan terbuka, beberapa teknik operasi prostatektomi terbuka yang
biasa digunakan adalah :
1) Prostatektomi suprapubik
Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen.
Insisi dibuat dikedalam kandung kemih, dan kelenjar prostat diangat dari
atas. Teknik demikian dapat digunakan untuk kelenjar dengan segala
ukuran, dan komplikasi yang mungkin terjadi ialah pasien akan kehilangan
darah yang cukup banyak dibanding dengan metode lain, kerugian lain
yang dapat terjadi adalah insisi abdomen akan disertai bahaya dari semua
prosedur bedah abdomen mayor.
2) Prostatektomi perineal
Adalah suatu tindakan dengan mengangkat kelenjar melalui suatu insisi
dalam perineum. Teknik ini lebih praktis dan sangat berguan untuk
biopsy terbuka. Pada periode pasca operasi luka bedah mudah
terkontaminasi karena insisi dilakukan dekat dnegan rectum.
Komplikasi yang mungkin terjadi dari tindakan ini adalah inkontinensia,
impotensi dan cedera rectal.
3) Prostatektomi retropubik
Adalah tindakan lain yang dapat dilakukan, dengan cara insisi abdomen
rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu antara arkus pubis dan kandung
kemih tanpa memasuki kandung kemih. Teknik ini sangat tepat untuk
kelenjar prostat yang terletak tinggi dalam pubis. Meskipun jumlah darah
yang hilang lebih dapat dikontrol dan letak pembedahan lebih mudah
dilihat, akan tetapi infeksi dapat terjadi diruang retropubik.
Gambar. 2.3 Terapi Bedah
(Smeltzer dan Bare, 2002)

b. Pembedahan endourologi, pembedahan endourologi transurethral dapat


dilakukan dengan memakai tenaga elektrik diantaranya:
1) Transurethral Prostatic Resection (TURP)
Merupakan tindakan operasi yang paling banyak dilakukan, reseksi
kelenjar prostat dilakukan dengan transuretra menggunakan cairan irigan
(pembilas) agar daerah yang akan dioperasi tidak tertutup darah. Indikasi
TURP ialah gejala-gejala sedang sampai berat, volume prostat kurang dari
90 gr.Tindakan ini dilaksanakan apabila pembesaran prostat terjadi dalam
lobus medial yang langsung mengelilingi uretra. Setelah TURP yang
memakai kateter threeway. Irigasi kandung kemih secara terus menerus
dilaksanakan untuk mencegah pembekuan darah. Manfaat pembedahan
TURP antara lain tidak meninggalkan atau bekas sayatan serta waktu
operasi dan waktu tinggal dirumah sakit lebih singkat.Komplikasi TURP
adalah rasa tidak enak pada kandung kemih, spasme kandung kemih yang
terus menerus, adanya perdarahan, infeksi, fertilitas (Baradero dkk, 2007).
2) Transurethral Incision of the Prostate (TUIP)
Adalah prosedur lain dalam menangani BPH. Tindakan ini dilakukan
apabila volume prostat tidak terlalu besar atau prostat fibrotic. Indikasi
dari penggunan TUIP adalah keluhan sedang atau berat, dengan volume
prostat normal/kecil (30 gram atau kurang). Teknik yang dilakukan adalah
dengan memasukan instrument kedalam uretra. Satu atau dua buah insisi
dibuat pada prostat dan kapsul prostat untuk mengurangi tekanan prostat
pada uretra dan mengurangi konstriksi uretral. Komplikasi dari TUIP
adalah pasien bisa mengalami ejakulasi retrograde (0-37%) (Smeltzer dan
Bare, 2002).
3) Terapi invasive minimal
Menurut Purnomo (2011) terapai invasive minimal dilakukan pada
pasien dengan resiko tinggi terhadap tindakan pembedahan. Terapi invasive
minimal diantaranya Transurethral Microvawe Thermotherapy (TUMT),
Transuretral Ballon Dilatation (TUBD), Transuretral Needle
Ablation/Ablasi jarum Transuretra (TUNA), Pemasangan stent uretra atau
prostatcatt.
a) Transurethral Microvawe Thermotherapy (TUMT), jenis pengobatan ini
hanya dapat dilakukan di beberapa rumah sakit besar. Dilakukan
dengan cara pemanasan prostat menggunakan gelombang mikro yang
disalurkan ke kelenjar prostat melalui transducer yang diletakkan di
uretra pars prostatika, yang diharapkan jaringan prostat menjadi
lembek. Alat yang dipakai antara lain prostat.
b) Transuretral Ballon Dilatation (TUBD), pada tehnik ini dilakukan
dilatasi (pelebaran) saluran kemih yang berada di prostat dengan
menggunakan balon yang dimasukkan melalui kateter. Teknik ini
efektif pada pasien dengan prostat kecil, kurang dari 40 cm3.
Meskipun dapat menghasilkan perbaikan gejala sumbatan, namun efek
ini hanya sementar, sehingga cara ini sekarang jarang digunakan.
c) Transuretral Needle Ablation (TUNA), pada teknik ini memakai energy
dari frekuensi radio yang menimbulkan panas mencapai 100 derajat
selsius, sehingga menyebabkan nekrosis jaringan prostat. Pasien
yang menjalani TUNA sering kali mengeluh hematuri, disuria, dan
kadang-kadang terjadi retensi urine (Purnomo, 2011).
d) Pemasangan stent uretra atau prostatcatth yang dipasang pada uretra
prostatika untuk mengatasi obstruksi karena pembesaran prostat, selain
itu supaya uretra prostatika selalu terbuka, sehingga urin leluasa
melewati lumen uretra prostatika. Pemasangan alat ini ditujukan bagi
pasien yang tidak mungkin menjalani operasi karena resiko
pembedahan yang cukup tinggi.

H. Komplikasi
Menurut Sjamsuhidajat dan De Jong (2005) komplikasi BPH adalah :
1. Retensi urin akut, terjadi apabila buli-buli menjadi dekompensasi
2. Infeksi saluran kemih
3. Involusi kontraksi kandung kemih
4. Refluk kandung kemih
5. Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urin terus berlanjut
maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung urin yang akan
mengakibatkan tekanan intravesika meningkat.
6. Gagal ginjal bisa dipercepat jika terjadi infeksi
7. Hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urin, sehingga dapat terbentuk batu
endapan dalam buli-buli, batu ini akan menambah keluhan iritasi. Batu tersebut
dapat pula menibulkan sistitis, dan bila terjadi refluks dapat mengakibatkan
pielonefritis.
8. Hernia atau hemoroid lama-kelamaan dapat terjadi dikarenakan pada waktu
miksi pasien harus mengedan.

I. Pengkajian Fokus

Pengkajian fokus keperawatan yang perlu diperhatikan pada penderita BPH


merujuk pada teori menurut Smeltzer dan Bare (2002) , Tucker dan Canobbio (2008)
ada berbagai macam, meliputi :
a. Demografi
Kebanyakan menyerang pada pria berusia diatas 50 tahun. Ras kulit hitam
memiliki resiko lebih besar dibanding dengan ras kulit putih. Status social
ekonomi memili peranan penting dalam terbentuknya fasilitas kesehatan yang
baik. Pekerjaan memiliki pengaruh terserang penyakit ini, orang yang
pekerjaanya mengangkat barang-barang berat memiliki resiko lebih tinggi..
b. Riwayat penyakit sekarang
Pada pasien BPH keluhan keluhan yang ada adalah frekuensi , nokturia, urgensi,
disuria, pancaran melemah, rasa tidak puas sehabis miksi, hesistensi ( sulit
memulai miksi), intermiten (kencing terputus-putus), dan waktu miksi memanjang
dan akhirnya menjadi retensi urine.
c. Riwayat penyakit dahulu
Kaji apakah memilki riwayat infeksi saluran kemih (ISK), adakah riwayat
mengalami kanker prostat. Apakah pasien pernah menjalani pembedahan
prostat / hernia sebelumnya.
d. Riwayat kesehatan keluarga
Kaji adanya keturunan dari salah satu anggota keluarga yang menderita penyakit
BPH.
e. Pola kesehatan fungsional
1) Eliminasi
Pola eliminasi kaji tentang pola berkemih, termasuk frekuensinya, ragu ragu,
menetes, jumlah pasien harus bangun pada malam hari untuk berkemih
(nokturia), kekuatan system perkemihan. Tanyakan pada pasien apakah
mengedan untuk mulai atau mempertahankan aliran kemih. Pasien ditanya
tentang defikasi, apakah ada kesulitan seperti konstipasi akibat dari prostrusi
prostat kedalam rectum.
2) Pola nutrisi dan metabolisme
Kaji frekuensi makan, jenis makanan, makanan pantangan, jumlah minum tiap
hari, jenis minuman, kesulitan menelan atau keadaan yang mengganggu
nutrisi seperti anoreksia, mual, muntah, penurunan BB.
3) Pola tidur dan istirahat
Kaji lama tidur pasien, adanya waktu tidur yang berkurang karena frekuensi
miksi yang sering pada malam hari ( nokturia ).
4) Nyeri/kenyamanan
Nyeri supra pubis, panggul atau punggung, tajam, kuat, nyeri punggung
bawah
5) Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Pasien ditanya tentang kebiasaan merokok, penggunaan obat- obatan,
penggunaan alkhohol.
6) Pola aktifitas
Tanyakan pada pasien aktifitasnya sehari – hari, aktifitas penggunaan
waktu senggang, kebiasaan berolah raga. Pekerjaan mengangkat beban berat.
Apakah ada perubahan sebelum sakit dan selama sakit. Pada umumnya
aktifitas sebelum operasi tidak mengalami gangguan, dimana pasien masih
mampu memenuhi kebutuhan sehari – hari sendiri.
7) Seksualitas
Kaji apakah ada masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampua
seksual akibat adanya penurunan kekuatan ejakulasi dikarenakan oleh
pembesaran dan nyeri tekan pada prostat.
8) Pola persepsi dan konsep diri
Meliputi informasi tentang perasaan atau emosi yang dialami atau dirasakan
pasien sebelum pembedahan dan sesudah pembedahan pasien biasa cemas
karena kurangnya pengetahuan terhadap perawatan luka operasi.
f. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Purnomo (2011) dan Baradero dkk (2007) pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan pada penderita BPH meliputi :
1) Laboratorium
a) Analisi urin dan pemeriksaan mikroskopik urin penting dilakukan
untuk melihat adanya sel leukosit, bakteri dan infeksi. Pemeriksaan kultur
urin berguna untuk menegtahui kuman penyebab infeksi dan sensitivitas
kuman terhadap beberapa antimikroba.
b) Pemeriksaan faal ginjal, untuk mengetahui kemungkinan adanya penyulit
yang menegenai saluran kemih bagian atas. Elektrolit, kadar ureum dan
kreatinin darah merupakan informasi dasar dari fungsin ginjal dan status
metabolic.
c) Pemeriksaan prostate specific antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar
penentuan perlunya biopsy atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai
PSA <4ng/ml tidak perlu dilakukan biopsy. Sedangkan bila nilai PSA 4-
10 ng/ml, hitunglah prostate specific antigen density (PSAD) lebih besar
sama dengan 0,15 maka sebaiknya dilakukan biopsy prostat, demikian
pula bila nila PSA > 10 ng/ml.
2) Radiologis/pencitraan
Menurut Purnomo (2011) pemeriksaan radiologis bertujuan untuk
memperkirakan volume BPH, menentukan derajat disfungsi buli- buli dan
volume residu urin serta untuk mencari kelainan patologi lain, baik yang
berhubungan maupun tidak berhubungan dengan BPH.
a) Foto polos abdomen, untuk mengetahui kemungkinan adanya batu opak
di saluran kemih, adanya batu/kalkulosa prostat, dan adanya bayangan buli-
buli yang penuh dengan urin sebagai tanda adanya retensi urin. Dapat juga
dilihat lesi osteoblastik sebagai tanda metastasis dari keganasan
prostat, serta osteoporosis akbibat kegagalan ginjal.
b) Pemeriksaan Pielografi intravena ( IVP ), untuk mengetahui kemungkinan
adanya kelainan pada ginjal maupun ureter yang berupa hidroureter atau
hidronefrosis. Dan memperkirakan besarnya kelenjar prostat yang
ditunjukkan dengan adanya indentasi prostat (pendesakan buli-buli oleh
kelenjar prostat) atau ureter dibagian distal yang berbentuk seperti mata
kail (hooked fish)/gambaran ureter berbelok-belok di vesika, penyulit yang
terjadi pada buli-buli yaitu adanya trabekulasi, divertikel atau sakulasi
buli-buli.
c) Pemeriksaan USG transektal, untuk mengetahui besar kelenjar prostat,
memeriksa masa ginjal, menentukan jumlah residual urine, menentukan
volum buli-buli, mengukur sisa urin dan batu ginjal, divertikulum atau
tumor buli-buli, dan mencari kelainan yang mungkin ada dalam buli-buli.
J. Pathways Keperawatan
Perubahan usia (usia lanjut)
Ketidakseimbangan produksi hormon estrogen dan progesteron

Kadar testosterone menurun Kadar estrogen meningkat

Mempengaruhi RNA dalam inti sel


Hiperplasi sel stoma pada jaringan

Poliferasi sel prostat BPH

Pasien kurang Kurang Resiko Ketakutan


Pre Operasi informasi kesehatan pengetahuan Post Operasi impotensi akibat
dan pengobatan pembedahan

Obstruksi saluran kemih yang bermuara Ancaman perubahan


ke vesika urinaria Insisi prostatektomi Pemasangan Kerusakan jaringan
status kesehatan diri
kateter threeway periuretral
Perubahan disfungsi
Penebalan otot destrusor
Krisis situasi Terputusnya seksual
kontinuitas jaringan Bekuan Kerusakan integritas
Dekompensasi otot destrusor Cemas darah jaringan

Penurunan
Akumulasi urin di vesika Spasme
pertahan tubuh urin Resiko perdarahan

Sukar berkemih, Peregangan vesika urinaria Penumpukan urin yang lama


berkemih tidak lancar melebihi kapasitas di vesika urinaria
(Carpenito, 2006),
Retensi urin Pertumbuhan Resiko (Tucker dan
Spasme otot spinter Refluk urin ke ginjal
mikroorganisme infeksi Canobbio, 2008),
Hidroureter, hidronefrosis Gagal (Sjamsuhidajat dan
Nyeri akut ginjal De jong 2005).
28
29
K. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan pada penyakit BPH menurut Carpenito (2007) dan Tucker
dan Canobbio (2008) adalah :
1. Pre Operasi
a. Retensi urin akut/kronis berhubungan dengan obstruksi mekanik, pembesaran
prostat, dekompensasi otot destrusor, ketidakmampuan kandung kemih untuk
berkontraksi dengan adekuat.
b. Nyeri akut berhubungan dengan peregangan dari terminal saraf, distensi
kandung kemih, infeksi urinaria, efek mengejan saat miksi sekunder dari
pembesaran prostat dan obstruksi uretra.
c. Ansietas/cemas berhubungan dengan krisis situasi, perubahan status kesehatan,
kekhawatiran tentang pengaruhnya pada ADL atau menghadapi prosedur
bedah.
d. Kurang pengetahuan tentang kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan
dengan kurangnya informasi.
2. Post Operasi
a. Retensi urin berhubungan dengan obstruksi mekanik: bekuan darah, edema,
trauma, prosedur bedah, tekanan dan iritasi kateter.
b. Nyeri akut berhubungan dengan spasme kandung kemih dan insisi sekunder
pada pembedahan
c. Resiko perdarahan berhubungan dengan insisi area bedah vaskuler (
tindakan pembedahan) , reseksi bladder, kelainan profil darah.
d. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama
pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih.
e. Resiko terhadap disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan impoten
akibat dari pembedahan.
f. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri sebagai efek pembedahan
L. Focus Intervensi dan Rasional
Intervensi keperawatan pada penyakit BPH menurut Carpenito (2007), dan Tucker
dan Canobbio (2008) adalah:
1. Pra operasi
a. Retensi urin akut/kronis berhubungan dengan obstruksi mekanik,
pembesaran prostat, dekompensasi otot destrusor, ketidakmampuan kandung
kemih untuk berkontraksi dengan adekuat.
Tujuan : Tidak terjadi retensi urine
Kriteria hasil : Pasien menunjukkan residu pasca berkemih kurang dari 50
ml, dengan tidak adanya tetesan atau kelebihan cairan.
Intervensi :
1) Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam atau bila tiba-tiba dirasakan
Rasional : meminimalkan retensi urin distensi berlebihan pada kandung
kemih.
2) Observasi aliran urin, perhatikan ukuran dan kekuatan.
Rasional : berguna untuk mengevaluasi obstruksi dan pilihan
intervensi
3) Awasi dan catat waktu tiap berkemih dan jumlah tiap berkemih, perhatikan
penurunan haluaran urin dan perubahan berat jenis. Rasional : retensi
urine meningkatkan tekanan dalam saluran perkemihan atas, yang
dapat mempengaruhi fungsi ginjal. Adanya deficit aliran darah
keginjal menganggu kemampuanya untuk memfilter dan mengkonsentrasi
substansi.
4) Lakukan perkusi/palpasi suprapubik
Rasional : distensi kandung kemih dapat dirasakan diarea
suprapubik
5) Dorong masukan cairan sampai 3000 ml sehari
Rasional : peningkatan aliran cairan mempertahankan perfusi ginjal dan
membersihkan ginjal dan kandung kemih dari pertumbuhan bakteri
6) Kaji tanda-tanda vital, timbang BB tiap hari, pertahankan
pemasukan dan pengeluaran yang akurat
Rasional : kehilangan fungsi ginjal mengakibatkan penuruna eliminasi
cairan dan akumulasi sisa toksik, dapat berlanjut kepenuruan ginjal total
7) Lakukan rendam duduk sesuai indikasi
Rasional : meningkatkan relaksasi otot, penuruan edema, dan dapat
meningkatkan upaya berkemih.
8) Kolaborasi pemberian obat :
(1) Supositorial rectal
Rasional : supositorial dapat diabsorbsi dengan mudah melalui
mukosa kedalam jaringan kandung kemih untuk menghasilkan
relaksasi otot/menghilangkan spasme
(2) Antibiotic dan antibakteri
Rasional : digunakan untuk melawan infeksi
(3) Fenoksibenzamin (Dibenzyline)
Rasional : diberikan untuk mempermudah berkemih dengan
merelaksasi otot polos prostat dan menurunkan tahanan terhadap aliran
urine.
b. Nyeri akut berhubungan dengan peregangan dari terminal saraf, distensi
kandung kemih, infeksi urinaria, efek mengejan saat miksi sekunder dari
pembesaran prostat dan obstruksi uretra.
Tujuan : nyeri hilang, terkontrol
Kriteria hasil : pasien melaporkan nyeri hilang dan terkontrol pasien
tampak rileks, mampu untuk tidur dan istirahat dengan
tepat
Intervensi :
1) Kaji tipe nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0-10)
lamanya.
Rasional : memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan
pilihan/keefektifan intervensi
2) Pertahankan tirah baring bila diindikasikan
Rasional : tirah baring mungkin diperlukan pada awal selama fase
retensi akut. Namun ambulasi dini dapat memperbaiki pola berkemih
normal dan menghilangkan nyeri kolik
3) Berikan tindakan kenyamanan, distraksi selama nyeri akut seperti,
pijatan punggung : membantu pasien melakukan posisi yang nyaman:
mendorong penggunaan relaksasi/latihan nafas dalam: aktivitas terapeutik
Rasional : meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali perhatian dan
dapat meningkatkan kemampuan koping
4) Dorong menggunakan rendam duduk, gunakan sabun hangat untuk
perineum
Rasional : meningkatkan relaksasi otot
5) Kolaborasi pemberian obat pereda nyeri ( analgetik)
Rasional : menurunkan adanya nyeri, dan kaji 30 menit kemudian
untuk mengetahui keefektivitasnya.
c. Ansietas/cemas berhubungan dengan krisis situasi, perubahan status kesehatan,
kekhawatiran tentang pengaruhnya pada ADL atau menghadapi prosedur
bedah.
Tujuan : pasien tampak rileks.
Kriteria Hasil : menyatakan pengetahuan yang akurat tentang situasi,
menunjukkan rentang tepat tentang perasaan dan
penurunan rasa takut
Intervensi :
1) Damping pasien dan bina hubungan saling percaya
Rasional : menunjukkan perhatian dan keinginan untuk membantu.
2) Berikan informasi tentang prosedur tindakan yang akan dilakukan
Rasional : Membantu pasien dalam memahami tujuan dari suatu tindakan.
3) Dorong pasien/orang terdekat untuk menyatakan
masalah/perasaan
Rasional : Memberikan kesempatan pada pasien dan konsep solusi
pemecahan masalah
4) Beri informasi pada pasien sebelum dilakukan tindakan
Rasional : memungkinkan pasien untuk menerima kenyataan dan
menguatkan kepercayaan pada pemberi perawatan dan pemberian
informasi.
e. Kurang pengetahuan tentang kondisi dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan kurangnya informasi.
Tujuan : Menyatakan pemahaman tentang proses penyakit dan
prognosisnya.
Kriteria Hasil : Melakukan perubahan pola hidup dan
berpartisipasi dalam program pengobatan
Intervensi :
1) Dorong pasien menyatakan rasa takut perasaan dan perhatian.
Rasional : Membantu pasien dalam mengalami perasaan.
2) Kaji ulang proses penyakit, pengalaman pasien
Rasional : memberi dasar pengetahuan dimana pasien dapat membuat
pilihan terapi
3) Berikan informasi tentang penyakit yang diderita pasien
Rasional : meningkatkan pengetahuan pasien terhadap penyakit yang
dideritanya
4) Berikan penjelasan tentang tindakan/pengobatan yang akan
dilakukan
Rasional : meningkatkan pengetahuan pasien terhadap tindakan untuk
menyembuhkan penyakitnya.

2. Post operasi
a. Retensi urin berhubungan dengan obstruksi mekanik: bekuan darah,
edema, trauma, prosedur bedah, tekanan dan iritasi kateter. Tujuan :
Pasien berkemih dengan jumlah normal tanpa retensi
Kriteria Hasil : Menunjukkan perilaku yang meningkatkan control kandung
kemih/urinaria, pasien mempertahankan keseimbangan
cairan : asupan sebanding dengan haluaran.
Intervensi :
1) Kaji haluaran urine dan system drainase, khususnya selama irigasi
berlangsung
Rasional : retensi dapat terjadi karena edema area bedah, bekuan
darah dan spasme kandung kemih.
2) Bantu pasien memilih posisi normal untuk berkemih
Rasional : mendorong pasase urine dan menngkatkan rasa normalitas.
3) Perhatikan waktu, jumlah berkemih dan ukuran aliran setelah kateter
dilepas.
Rasional : kateter biasa lepas 2-5 hari setelah bedah, tetapi berkemih
dapat berlanjut sehingga menjadi masalah untuk beberapa waktu karena
edema uretral dan kehilangan tonus.
4) Dorong pemasukan cairan 3000 ml sesuai toleransi, batasi cairan
pada malam hari setelah kateter dilepas
Rasional : mempertahankan hidrasi adekuat dan perfusi ginjal untuk
aliran urine “penjadwalan” masukan cairan menurunkan kebutuhan
berkemih/gangguan tidur selama malam hari.
5) Pertahankan irigasi kandung kemih continue (continous bladder
irrigation)/CBI sesuai indikasi pada periode pascaoperasi Rasional :
mencuci kandung kemih dari bekuan darah dan debris untuk
mempertahankan patensi kateter.
b. Nyeri akut berhubungan dengan spasmus kandung kemih dan insisi sekunder
pada pembedahan, dan pemasangan kateter.
Tujuan : Nyeri berkurang atau hilang.
Kriteria Hasil :
1) Pasien mengatakan nyeri berkurang
2) Ekspresi wajah pasien tenang
3) Pasien akan menunjukkan ketrampilan relaksasi.
4) Pasien akan tidur / istirahat dengan tepat.
5) Tanda – tanda vital dalam batas normal.
Intervensi :
1) Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0-10)
Rasional : nyeri tajam, intermitten dengan dorongan berkemih sekitar
kateter menunjukkan spasme kandung kemih.
2) Jelaskan pada pasien tentang gejala dini spasmus kandung kemih.
Rasional : Kien dapat mendeteksi gajala dini spasmus kandung kemih.
3) Pertahankan patensi kateter dan system drainase. Pertahankan selang
bebas dari lekukan dan bekuan
Rasional : mempertahankan fungsi kateter dan drainase system.
Menurunkan resiko distensi/spasme kandung kemih
4) Berikan informasi yang akurat tentang kateter, drainase, dan spasme
kandung kemih
Rasional : menghilangkan ansietas dan meningkatkan kerjasama.
5) Kolaborasi pemberian antispasmodic contoh :
(1) Oksibutinin klorida (Ditropan), supositoria
Rasional : merilekskan otot polos, untuk memberikan
penurunan spasme dan nyeri
(2) Propantelin bromide (pro-bantanin)
Rasional : menghilangkan spasme kandung kemih oleh kerja
antikolinergik.
c. Resiko perdarahan berhubungan dengan insisi area bedah vaskuler
(tindakan pembedahan) , reseksi bladder, kelainan profil darah
Tujuan : Tidak terjadi perdarahan
Kriteria Hasil :
1) Pasien tidak menunjukkan tanda – tanda
perdarahan
2) Tanda – tanda vital dalam batas normal
3) Urine lancar lewat kateter
Intervensi :
1) Jelaskan pada pasien tentang sebab terjadi perdarahan setelah pembedahan
dan tanda – tanda perdarahan .
Rasional : Menurunkan kecemasan pasien dan mengetahui tanda –
tanda perdarahan.
2) Irigasi aliran kateter jika terdeteksi gumpalan dalm saluran kateter .
Rasional : Gumpalan dapat menyumbat kateter, menyebabkan peregangan
dan perdarahan kandung kemih
3) Sediakan diet makanan tinggi serat dan memberi obat untuk
memudahkan defekasi .
Rasional : Dengan peningkatan tekanan pada fosa prostatik yang akan
mengendapkan perdarahan
4) Mencegah pemakaian termometer rektal, pemeriksaan rektal atau huknah,
untuk sekurang – kurangnya satu minggu . Rasional : Dapat menimbulkan
perdarahan prostat

5) Pantau traksi kateter: catat waktu traksi di pasang dan kapan traksi
dilepas.
Rasional : Traksi kateter menyebabkan pengembangan balon ke sisi fosa
prostatik, menurunkan perdarahan. Umumnya dilepas 3 – 6 jam setelah
pembedahan
6) Observasi tanda – tanda vital tiap 4 jam, masukan dan haluaran
Warna urine
Rasional : Deteksi awal terhadap komplikasi, dengan intervensi yang
tepat mencegah kerusakan jaringan yang permanen.
d. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama
pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih sering
Tujuan : Pasien tidak menunjukkan tanda – tanda infeksi
Kriteria Hasil :
1) Pasien tidak mengalami infeksi.
2) Dapat mencapai waktu penyembuhan.
3) Tanda – tanda vital dalam batas normal dan tidak ada
tanda – tanda syok.
Intervensi :
1) Pertahankan sistem kateter steril, berikan perawatan kateter dengan
steril.
Rasional : Mencegah pemasukan bakteri dan infeksi.
2) Anjurkan intake cairan yang cukup (2500 – 3000) sehingga dapat
menurunkan potensial infeksi.
Rasional : Meningkatkan output urine sehingga resiko terjadi ISK
dikurangi dan mempertahankan fungsi ginjal
3) Pertahankan posisi urinebag dibawah
Rasional : Menghindari refleks balik urine yang dapat
memasukkan bakteri ke kandung kemih.
4) Observasi tanda – tanda vital, laporkan tanda – tanda shock dan demam.

Rasional : Mencegah sebelum terjadi shock.


5) Observasi urine: warna, jumlah, bau.
Rasional : Mengidentifikasi adanya infeksi.
6) Kolaborasi dengan dokter untuk memberi obat antibiotik
Rasional :Untuk mencegah infeksi dan membantu proses penyembuhan.
e. Resiko terhadap disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan impoten
akibat dari pembedahan.
Tujuan : Tampak rileks dan melaporkan ansietas menurun sampai tingkat
dapat diatasi
Kriteria Hasil : Menyatakan pemahaman situasional individu, menunjukan
pemecahan masalah dan menunjukkan rentang yang tepat
tentang perasaan dan penurunan rasa takut.
Intervensi :
1) Dampingi pasien dan bina hubungan saling percaya
Rasional : Menunjukka perhatian dan keinginan untuk membantu
2) Berikan informasi yang tepat tentang harapan kembalinya fungsi seksual
Rasional : impotensi fisiologis terjadi bila syaraf perineal dipotong selama
prosedur radikal.
3) Diskusikan ejakulasi retrograde bila pendekatan
transurethral / suprapubik digunakan
Rasional : cairan seminal mengalir kedalam kandung kemih dan disekresikan
melalui urine, hal ini tidak mempengaruhi fungsi seksual tetapi akan
menurunkan kesuburan dan menyebabkan urine keruh
4) Anjurkan pasien untuk latihan perineal dan interupsi/continue aliran
urin
Rasional : meningkatkan peningkatan control otot kontinensia urin dan
fungsi seksual.

f. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri sebagai efek


pembedahan
Tujuan : Kebutuhan tidur dan istirahat terpenuhi.
Kriteria hasil :
1) Pasien mampu beristirahat / tidur dalam waktu yang
cukup.
2) Pasien mengungkapan sudah bisa tidur
3) Pasien mampu menjelaskan faktor penghambat
tidur .
Intervensi:
1) Jelaskan pada pasien dan keluarga penyebab gangguan tidur dan
kemungkinan cara untuk menghindari.
Rasional : meningkatkan pengetahuan pasien sehingga mau
kooperatif dalam tindakan perawatan
2) Ciptakan suasana yang mendukung, suasana tenang dengan
mengurangi kebisingan .
Rasional : Suasana tenang akan mendukung istirahat
3) Beri kesempatan pasien untuk mengungkapkan penyebab
gangguan tidur.
Rasional : Menentukan rencana mengatasi gangguan
4) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat yang dapat
mengurangi nyeri/analgetik.
Rasional : Mengurangi nyeri sehingga pasien bisa istirahat dengan cukup .
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito. 2007. Buku Saku Diagnosa Keperawatan / Lynda Juall Carpenito ; Editor
Edisi Bahasa Indonesia, Monica Ester, Edisi 8. Jakarta: EGC
Baradero, M dan Dayrit, M. 2007. Seri Asuhan Keperawatan Pasien Gangguan Sistem
Reproduksi & Seksualitas. Jakarta: EGC
Heffner, L dan Schust, D, 2006. At a Glance Sistem Reproduksi, Edisi 2, Alih Bahasa
Vidhia Umami. Jakarta: Erlangga
Hidayat. (2009). Asuhan keperawatan klien dengan BPH, http://hidayat2.
wordpress.com/2009/04/30/askep-bph
Martin, S dan Canobbio, M. 2008. Standar Perawatan Pasien Perencanaan Kolaboratif
& Intervensi Keperawatan, Edisi 7, Volume 2, Alih Bahasa Edi Komara
Yudha(dkk). Jakarta: EGC
Muttaqin, A dan Sari, K. 2009. Asuhan Keperawatan perioperatif Konsep, Proses, dan
Aplikasi. Jakarta: Salemba Medika
Perry, dan Potter. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta : EGC
Price, S. A dan Wilson, L. M. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit,
Edisi 6, Volume 2, Alih Bahasa Brham,..(dkk). Jakarta: EGC
Purnomo, B. 2011. Dasar-dasar Urologi. Jakarta: Sagung Seto Sjamsuhidayat,
R. dan De Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2, Copy Editor: Adinda Candralela.
EGC : Jakarta
Smeltzer, S dan Bare, B. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan
Suddarth, Edisi 8, Volume 2, Alih bahasa oleh Kuncara..(dkk). Jakarta : EGC
Wibowo, D dan Paryana, W. 2009. Anatomi Tubuh Manusia. Yogyakarta:
Graha Ilmu

Anda mungkin juga menyukai