Istilah neoliberalisme menunjuk pada tata ekonomi politik rezim Pinochet di Chile (1973- 1990). Tetapi jika dirunut dari genealogi gagasan neoliberalisme muncul pada tahun 1928-1929, dimana sekelompok ahli yang tergabung dalam “Mazhab Freinburg” yang mempunyai gagasan “Ordo Liberal”. Ada empat gagasan pokok yang mendasari mazhab “Ordo Liberal”. Ketidak percayaan pada pasar sebagai persaingan/kompetisi yang berjalan sesuai hukum universal. Pasar hanyalah hasil bentukan manusia dari hubungan sosial yang keberdaannya bisa saja dihapuskan, karena seharusnya negara mampu mengendalikan pasar dan persaingan. Menolak konsepsi sejarah yang menganggap perubahan sosial bersumber dari proses perubahan ekonomi kapitalis. Meminimalisir kesenjangan ekonomi dan politik guna menciptakan dan memperluas kewirausahaan. Menciptakan tata negara yang menjamin kebebasan ekonomi.
Neoliberalisme : Paham yang Menjunjung Kebebasan dan Daulat Individu
Neoliberalisme = Homo Economicus. Seluruh hubungan manusia baik individu maupun sosial harus dipahami sesuai dengan konsep dan tolak ukur ekonomi. Manusia ditakdiran sebagai homo economicus (makhluk ekonomi). Redupnya peran negara. Agar kreativitas individu terus berkembang maka intervensi pemerintah dalam mencampuri urusan ekonomi harus ditolak. Karena pertumbuhan ekonomi akan optimal jika lalu lintas perdagangan tanpa ada campur tangan pemerintah. Kewenangan regulasi harus dialihkan dari negara ke individu, agar individu bisa bebas dalam ber ekonomi dan menghasilkan keuntungan. Maka ketika negara telah tersisihkan, neoliberalisme menggunakan kekuasan ekonominya untuk memindahkan hasil produksi dari masyarakat ke sedikit orang, memindahkan sumber daya masyarakat kepada para pemilik modal dan aset finansial. Peran negara dalam kekuasaan ekonominya diambil alih oleh para aktor-aktor neoliberalisme yang memiliki modal besar. Neoliberalisme menjadikan para aktor-aktor pemilik modal menjadi dominasi ekonomi dan pemegang kendali, bukan lagi negara. Neoliberalisme bukanlah gejala alamiah, melaikan program politik yang dirancang melalui argumen-argumen ekonomi untuk mendefiniskan manusia, menata masa depan global dengan memberikan kebebasan individu. Menurut Pierre Bourdieu landasan berfikir neoliberalisme merupakan penerapan utopia untuk melakukan ekploitasi bebas tanpa batas.
Neoliberalisme : Program politik yang diilmiahkan
Neoliberalisme merupakan rezim yang koheren dengan mengatasnamakan progran ilmiah, neoliberalisme mengubah dirinya menjadi program politik yang terselebung dalam pandangan ekonominya untuk mengubah tatanan dunia. Neoliberalisme mampu menggabungkan ekonomi, sosial, politik, militer yang kemudian membangun kekuasaan simbolik dalam rangka memonopoli pemahaman atas kemajuan, pertumbuhan dan kesejahteraan. Kedaulatan pasar dan penghancur struktur kolektif. Neoliberalisme menjadikan pasar sebagai modus yang mampu mengalokasikan sumber daya dan membuka ruang selebar-lebarnya untuk pemuasan individu tanpa adanya intervensi negara. Semua orang memiliki kesempatan yang sama dalam berkompetisi di pasar bebas. Siapa pun bisa mendapatkan keuntungan maksimal, tanpa ada aturan yang mengekang. Karena pasar yang murni dan sempurna itu ditentukan dengan ketiadaan segala bentuk struktur kolektif seperti solidaritas, keadilan, kesejahteraan, negara bangsa, agama, budaya, nilai-nilai kemanusiaan. Menurut Bourdieu, penghancuran struktur kolektif tersebut merupakan program politik neoliberalisme yang digerakkan oleh logika pasar murni. Pasar lah yang mendominasi dalam menentukan tata hubungan manusia serta menentukan sebuah kebijakan dengan mantra “profitabilitas dan efisiensi” yang mampu mempengaruhi cara berfikir, bertindak, dan respon dalam memenuhi kebutuhan manusia. Neoliberalisme memberikan keuntungan besar bagi para penyembah dan pemuja kekuasaan pasar yang berusaha menyingkirkan hambatan apa- apapun yang menghalangi mereka dalam memperoleh keuntungan pribadi yang sebesar- besarnya. Mereka tak lain adalah para pejabat tinggi, politisi bahkan para kaum intelektual. Peran para kaum intelektual yang mendukung neoliberalisme dengan meramu teori-teori ekonomi dan seolah-olah mampu membaca masa depan dunia, menjadi penasihat presiden, padahal semua itu hanyalah untuk memenuhi kepentingan pribadi. Siap yang kuat, dia yang menang Dampak kemanusian yang disebabkan oleh neoliberalisme begitu nyata, yakni tingkat kemiskinan yang meningkat, angka pengangguran meningkat, kesenjangan ekonomi, hilangnya produksi nilai-nilai budaya agama kemanusiaan, dan hancurnya peran negara dalam mengatur politik. Karena tergantikan dengan pandangan/logika pasar dan kebebasan individu. Selain menganut pandangan/logika pasar, neoliberalisme juga menerapkan ajaran Darwinisme yaitu siapa yang kuat dialah yang mampu bertahan/menang, layaknya hukum rimba. Mereka yang memiliki modal besar mempunyai kekuatan untuk menang dan mereka yang tidak memiliki modal besar akan takluk dan tunduk dihadapan para pemegang modal. Bahkan tak sedikit pula para petinggi negara dan politisi tunduk kepada para pemegang modal besar, harga diri bangsa digadaikan demi “mencari muka” dihadapan para pemenang. Neoliberalisme bukan sekedar program politik dan ekonomi semata, lebih dari itu neoliberalisme merupakan gugusan simbolik yang menebarkan mantra asas moral “yang kuatlah yang menang”.
Ketika “Tangan Negara” Didikte Oleh Paham Neoliberalisme
Sejak era Orde Baru hingga era Reformasi, kita bisa menyaksikan gejala “emoh negara”. Gejala ini mengajarkan kita untuk melawan negara dan memandang negara sebelah mata. Fakta- fakta dari gejala ini antara lain : melanggar lalu lintas, mengejek aparat negara, praktik KKN, dan diperparah dengan masuknya intervensi lembaga internasional yang perlahan-lahan mengambil alih peran negara. Contohnya ialah lembaga Donor Moneter Internasional (IMF) dengan dalih menolong memberikan pinjaman, tetapi dibalik itu semua adanya gerakan menyebarkan paham neoliberalisme ekonomi melalui neoliberalisme politik. Melalui ekspansi model ekonomi, mekanisme pasar bebas, dan dominasi homo economicus paham neoliberal mencoba untuk menguasi peran negara, dimana para aktornya mereka para pelaku bisnis, politisi perusahaan internasional dan multinasional bahkan para kaum intelektual dan akademisi. Nyatanya, banyak praktik model bekerjanya kekuasaan mengalami pergeseran dari state apparatus ke tangan para pemilik modal. Kebijakan publik bukan lagi berpihak pada kepentingan umum tetapi tunduk pada kuasa bisnis. Seperti fenomena yang digambarkan Pierre Bourdieu “ketidakakuran antara tangan kanan negara dan tangan kiri negara”. Tangan kanan negara memiliki fungsi finansial seperti departemen keuangan, bank sentral, kabinet pemerintah sedangkan tangan kiri negara sebagai fungsi kesejahteraan seperti, departemen pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan sosial. Ketika paham neoliberal mendikte “tangan kanan negara”, secara otomatis akan mendikte “tangan kiri negara” pula, karena tangan kanan negara merupakan sumber finansial dari tangan kiri negara, sehingga tangan kiri negara akan dikondisikan oleh logika kuasa bisnis karena jika tidak maka lembaga-lembaga yang berfungsi menjamin kesejahteraan publik akan mati karena kekurangan dana. Seperti contoh : kasus pengambilalihan SLTPN 56 di Melawai, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, sebagai akibat dari proses tukar guling antara Departemen Pendidikan Nasional dan PT. Tata Disantara, hanya karena kalkulasi ekonomi dimana lokasi SLTPN 56 merupakan tempat strategis bisnis. Inilah contoh nyata hakikat pendidikan digadaikan demi kepentingan finansial.