Anda di halaman 1dari 52

Case Report Session

Anestesi Umum pada Kehamilan dengan Komorbid Atrial Septal

Defect dan Hipertensi Pulmonal

Oleh

Meriza Rifani 1740312082


Winarti Rimadhani 1840312257
M. Zakwan Qalbi 1840312263

Pembimbing

dr. M. Zulfadli Syahrul, Sp. An

BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

RSUP DR M. DJAMIL PADANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah mencurahkan rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan CRS yang bejudul “Anestesi
pada Kehamilan dengan Komorbid Atrial Septal Defect dan Hipertensi Pulmonal”
ini yang ditujukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan
klinik dibagian Anestesiologi dan Terapi Intensif RSUP DR. M. Djamil Padang.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. M. Zulfadli Syahrul, Sp. An


selaku preseptor. Penulis menyadari bahwa ini masih banyak kekurangan, oleh
karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang membaca
demi kesempurnaan CRS ini. Penulis juga berharap makalah ini dapat memberikan
dan meningkatkan pengetahuan serta pemahaman tentang diagnosis dan
penatalaksanaan kasus ini terutama bagi penulis dan bagi rekan-rekan sejawat
lainnya.

Padang, Desember 2018

Penulis

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kehamilan menyebabkan terjadinya sejumlah perubahan fisiologis dari
sistem kardiovaskuler yang akan dapat ditolerir dengan baik oleh wanita yang sehat,
namun akan menjadi ancaman yang berbahaya bagi ibu hamil yang mempunyai
kelainan jantung sebelumnya. Tanpa diagnosis yang akurat dan penanganan yang
baik maka penyakit jantung dalam kehamilan dapat menjadi penyebab yang
signifikan akan mortalitas dan morbiditas ibu.1,2
Penyakit jantung merupakan penyebab kematian terbanyak pada wanita di
Amerika Serikat dan merupakan penyebab kematian ketiga terbanyak pada wanita
usia 25 - 44 tahun. Penyakit jantung berpengaruh pada sekitar 1 % dari kehamilan,
dengan angka kematian maternal menurut Sach sebanyak 0,3 dari 100.000 di
Massachusetts. Namun menurut Tillery angka kematian maternal mencapai 10-
25% walaupun adanya perkembangan diagnosis dan penanganan penyakit
kardiovaskular maternal pada zaman sekarang.2,3
Meskipun insidens penyakit jantung dalam kehamilan sekitar 1%, gejala
seperti sesak napas atau tanda seperti bising ejeksi sistolik yang merupakan gejala
dari penyakit jantung, dapat muncul pada sekitar 90% dari populasi kehamilan
sebagai konsekuensi perubahan fisiologis pada tubuh yang diinduksi oleh
kehamilan itu sendiri.4
Di antara beberapa penyakit kardiovaskuler, hipertensi merupakan penyakit
kardiovaskuler yang tersering muncul pada kehamilan, sebanyak 6-8% dari seluruh
kehamilan. Di negara barat, penyakit jantung bawaan merupakan penyakit jantung
yang paling sering ditemukan selama kehamilan (75-82%). Di luar Eropa dan
Amerika bagian utara hanya berkisar 9-19%. Penyakit jantung reumatik
mendominasi di negara selain negara barat, berkisar 56-89% dari seluruh penyakit
jantung dalam kehamilan. Kardiomiopati jarang ditemukan, tetapi merupakan
penyebab berat dari komplikasi penyakit jantung dalam kehamilan.5
Metode penilaian yang digunakan untuk menilai risiko kehamilan adalah
klasifikasi WHO yang telah dimodifikasi. Meskipun klasifikasi ini bermanfaat

1
untuk estimasi risiko, namun harus ditekankan bahwa stratifikasi risiko harus
disesuaikan secara individual. Penilaian risiko komplikasi kardiovaskular dan janin
pada wanita dengan penyakit jantung kongenital membutuhkan multidisiplin dan
proses multi langkah, dimulai dengan eksplorasi terperinci dari riwayat pasien
sebelumnya, elektrokardiogram dan ekokardiografi.6
Pedoman penyakit jantung kongenital pada dewasa dan kehamilan
merekomendasikan bahwa pasien dengan penyakit jantung kongenital kompleks
harus dikelola dan dirujuk ke pusat kesehatan regional atau tersier yang memiliki
tim multidisiplin dengan pengetahuan dan pengalaman dalam penyakit jantung
kongenital dewasa. Tim ini mencakup dokter jantung, dokter kandungan, dokter
anestesi, dan dokter neonatologi. Tambahannya adalah ahli genetika, perawat
praktik lanjut, pekerja sosial, dan ahli etika, harus diidentifikasi untuk membantu
koordinasi perawatan yang diperlukan. Koordinasi awal dan komunikasi
berkelanjutan antara anggota tim multidisiplin sangat penting untuk
mengoptimalkan kesehatan ibu.7
Pengambilan keputusan secara individu, sangat penting untuk
memperkirakan probabilitas setiap hasil yang merugikan dan membedakan antara
komplikasi yang dapat dikelola dengan baik (yaitu gagal jantung ringan, aritmia
atrium) dan komplikasi yang berakibat fatal atau menyebabkan kerusakan
permanen atau pemburukan (yaitu stroke, kemunduran fungsi ventrikel yang
ireversibel). Aspek penting dari stratifikasi risiko adalah untuk memutuskan,
apakah intervensi dilakukan pra-kehamilan, apakah memerlukan intervensi dengan
obat-obatan atau dengan prosedur invasif untuk dapat mengurangi risiko.6

1.2 Batasan Masalah


CRS ini membahas tentang Anestesi Umum pada Kehamilan dengan Komorbid
Atrial Septal Defect dan Hipertensi Pulmonal

1.3 Tujuan Penulisan


Penulisan CRS ini bertujuan untuk menambah pengetahuan penulis dan
pembaca mengenai anestesi umum pada kehamilan dengan komorbid atrial septal
defect dan hipertensi pulmonal.

2
1.4 Metode Penulisan
Penulisan CRS ini menggunakan metode tinjauan kepustakaan yang merujuk
kepada berbagai literatur serta kasus.

3
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perubahan Fisiologis Hemodinamik Selama Kehamilan


Kehamilan menginduksi perubahan fisiologis pada sistem kardiovaskuler
untuk memenuhi peningkatan kebutuhan metabolik dari ibu dan bayi. Hal ini
termasuk dalam peningkatan jumlah total darah dalam tubuh, curah jantung dan
penurunan tekanan resistensi perifer serta tekanan darah. Perubahan ini
mengakibatkan peningkatan beban hemodinamik pada jantung ibu dan dapat
menyebabkan gejala dan tanda-tanda mirip penyakit jantung. Adaptasi
kardiovaskular ini sangat penting untuk diketahui, yang mana pada wanita dengan
penyakit jantung yang sudah ada sebelumnya mungkin akan menunjukkan
pemburukan klinis selama masa kehamilan5,8
Curah jantung merupakan hasil perkalian stroke volume dan denyut jantung.
Denyut jantung dan stroke volume meningkat seiring dengan bertambahnya usia
kehamilan. Volume plasma mencapai puncaknya sekitar 40% dari volume plasma
awal pada masa gestasi 24 minggu. Peningkatan curah jantung sekitar 30-50%
normal pada masa kehamilan. Peningkatan volume plasma ini tidak proporsional
dengan penambahan massa sel darah merah dimana volume plasma meningkat 30-
50% relatif lebih besar dibanding peningkatan sel darah merah yang hanya terjadi
20-30%. Hal ini akan menyebabkan terjadinya hemodilusi dan menurunnya
konsentrasi hemoglobin, sehingga mengakibatkan anemia fisiologis dalam
kehamilan dan menambah beban jantung.1,5,8
Pada awal kehamilan peningkatan curah jantung diakibatkan karena
peningkatan volume sekuncup, tetapi setelah masa gestasi 32 minggu, stroke
volume menurun akibat pembesaran uterus yang menekan vena kava inferior.
Penekanan vena kava inferior ini mengakibatkan penurunan aliran darah balik vena
ke jantung sehingga mengurangi preload dan berdampak akan terjadinya hipotensi
arterial yang dikenal dengan Sindrom Hipotensi Supine, karena alasan inilah tidak
dianjurkan ibu hamil dalam posisi terlentang pada akhir kehamilan.1,9

4
Gambar 2.1. Perubahan Fisiologis Selama Kehamilan.10

Jadi pada akhir kehamilan curah jantung sangat tergantung pada denyut
jantung karena pengurangan volume sekuncup. Denyut jantung mulai meningkat
saat usia kehamilan 20 minggu dan terus meningkat hingga usia kehamilan 32
minggu dan terus bertahan tinggi hingga 2-5 hari setelah persalinan. Takikardia
akan mengurangi pengisian ventrikel kiri, mengurangi perfusi pembuluh darah
koroner pada saat diastol dan secara simultan kemudian meningkatkan kebutuhan
oksigen pada miokardium. Ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen akan memicu terjadinya iskemia miokard. Jadi wanita dengan penyakit
jantung koroner, gejalanya akan bertambah berat selama kehamilan.1,5
Resistensi vaskuler menurun pada trimester pertama dan awal trimester
kedua (sebagai akibat dari estrogen, progesteron, prostasiklin, atrial natriuretic
peptides, dan endothelial nitric oxide) sehingga tekanan darah sistemik biasanya
menurun pada awal kehamilan dan tekanan darah diastolik biasanya 10 mmHg di
bawah garis normal pada trimester kedua, tetapi kembali naik ke batas normal
secara perlahan pada trimester ketiga. Jadi tiga perubahan hemodinamik utama
yang terjadi dalam masa kehamilan adalah peningkatan curah jantung, peningkatan
denyut jantung dan penurunan resistensi perifer.1,5,8

5
Selama persalinan, terjadi peningkatan curah jantung (15% selama kala I
dan 50% selama kala II) yang diakibatkan rasa takut, cemas, nyeri selama
persalinan dan kontraksi uterus. Kontraksi uterus akan mengembalikan darah 300-
500 ml dari uterus ke sirkulasi sistemik. Respon simpatis dari rasa takut, cemas dan
nyeri akan menaikkan denyut jantung dan tekanan darah yang akan meningkatkan
curah jantung. Curah jantung lebih banyak meningkat selama kontraksi
dibandingkan dengan di antara kontraksi.8,10
Segera setelah persalinan darah dari uterus akan kembali ke sirkulasi
sistemik akibat hilangnya kompresi vena kava inferior dan kontraksi uterus yang
mengembalikan darah ke sirkulasi sistemik. Pada kehamilan normal, mekanisme
kompensasi ini akan melindungi ibu dari efek hemodinamik yang terjadi akibat
perdarahan post partum, namun bila ada kelainan jantung maka sentralisasi darah
yang akut ini akan meningkatkan tekanan pulmoner dan terjadi kongesti paru.
Dalam dua minggu pertama post partum terjadi mobilisasi cairan ekstra vaskuler
dan diuresis. Pada wanita dengan stenosis katup mitral dan kardiomiopati sering
terjadi dekompensasi jantung pada masa mobilisasi cairan post partum. Curah
jantung biasanya akan kembali normal setelah 2 minggu post partum.1, 10

2.2 Diagnosis
Kebanyakan wanita dengan kelainan jantung telah terdiagnosis sebelum
kehamilan, misalnya pada mereka yang pernah menjalani operasi karena kelainan
jantung kongenital maka akan mudah untuk mendapat informasi yang rinci.
Sebaliknya penyakit jantung pertama kali didiagnosis saat kehamilan bila ada gejala
yang dipicu oleh peningkatan kebutuhan jantung.1
Gejala klasik penyakit jantung adalah palpitasi, sesak nafas, dan nyeri dada.
Berhubung karena gejala ini juga dapat normal ditemukan selama kehamilan maka
perlu melakukan anamnesis yang cermat untuk menentukan apakah gejala ini
merupakan penyakit jantung ataupun bukan. Oleh karena itu perlu diperhatikan
pendekatan diagnosis kardiologis yang lengkap, mulai dari anamnesis, pemeriksaan
fisik, EKG, ekokardiografi sampai kateterisasi, termasuk klasifikasi fungsional dan
etiologi maupun kelainan anatomik.1, 11

6
Tabel 2.1. Temuan-temuan umum pada kehamilan normal8
Lelah, penurunan tingkat aktifitas
Nyeri kepala ringan, pingsan
Gejala
Palpitasi
Dispnea, ortopnea
Distensi vena jugularis
Peningkatan intensitas S1, penambahan berlebihan
Pemeriksaan Fisik Midsistolik, ejeksi tipe murmur (linea sternalis kiri bawah
atau di atas paru-paru
Bunyi jantung S3
Deviasi axis QRS
EKG Q kecil, dan P terbalik pada sadapan III
Sinus takikardi, aritmia
Jantung tampak horizontal
Radiologi
Peningkatan marker paru
Peningkatan dimensi sistolik dan diastolik ventrikel kiri
yang rendah
Ekokardiografi Peningkatan ukuran atrium kanan, ventrikel kiri, dan atrium
kiri
Regurgitasi fungsional trikuspid dan mitral

2.2.1 Anamnesis
Kebanyakan pasien mengakui toleransi melakukan aktivitas sangat
berkurang dan merasa mudah kelelahan. Kondisi ini berhubungan erat dengan
peningkatan berat badan yang diperoleh selama masa kehamilan dan akibat anemia
fisiologis pada kehamilan. Episode pingsan atau sakit kepala ringan terjadi sebagai
akibat dari kompresi mekanik dari rahim yang hamil pada vena cava inferior,
sehingga menyebabkan aliran balik vena ke jantung tidak adekuat, terutama pada
trimester ketiga. Gejala lain yang sering dikeluhkan termasuk hiperventilasi dan
ortopnea yang disebabkan oleh tekanan mekanik dari rahim yang membesar pada
diafragma. Palpitasi juga umum dijumpai dan hal ini diduga berhubungan dengan
sirkulasi yang hiperdinamik selama kehamilan.8
Pada pasien dengan riwayat penyakit jantung, sangat penting untuk
menanyakan tentang kapasitas fungsional, prevalensi gejala terkait lainnya,
regimen terapi yang diperoleh, tes diagnostik sebelumnya (misalnya,
ekokardiogram, tes olahraga, dan kateterisasi jantung), dan riwayat operasi paliatif.
Pada pasien penyakit jantung penting untuk menanyakan tentang riwayat penyakit
jantung rematik, episode sianosis pada saat lahir atau anak usia dini, adanya

7
gangguan reumatologik (misalnya lupus eritematosus sistemik), episode aritmia,
terjadinya sinkop eksersional atau nyeri dada, dan edema tungkai yang sering
terjadi. Selain itu, pertanyaan mengenai ada tidaknya riwayat keluarga dengan
penyakit jantung bawaan, penyakit arteri koroner prematur, atau kematian
mendadak pada anggota keluarga.8
Klasifikasi penyakit jantung (status fungsional) berdasarkan klasifikasi
yang ditetapkan oleh New York Heart Association (NYHA) pada tahun 1979,
sebagai berikut:3
Kelas / derajat I : Aktivitas biasa tidak terganggu.
Kelas / derajat II : Aktivitas fisik terbatas, namun tidak ada gejala saat istirahat.
Kelas / derajat III : Aktivitas ringan sehari-hari terbatas, timbul sesak atau nyeri,
palpitasi pada aktifitas yang ringan.
Kelas / derajat IV : Gejala timbul pada waktu istirahat, dan terdapat gejala gagal
jantung.

2.2.2 Pemeriksaan Fisik


Hiperventilasi dapat ditemukan pada kehamilan normal, sehingga penting
untuk membedakan hiperventilasi dari dispnea, yang umum ditemukan pada gagal
jantung kongestif.8
Impuls ventrikel kiri mudah teraba. Pulsasi perifer sering kolaps dan dapat
membingungkan dengan temuan klinis pada regurgitasi aorta. Sejumlah besar
wanita hamil mengalami edema kaki. Hal ini terjadi sebagai akibat dari penurunan
tekanan onkotik koloid plasma dengan peningkatan seiring dengan tekanan vena
femoralis sebagai akibat dari aliran balik vena yang tidak adekuat.8
Pemeriksaan fisik harus fokus pada wajah, kelainan jari, atau skeletal yang
menunjukkan adanya anomali kongenital. Adanya clubbing, sianosis, atau pucat,
harus diamati dengan seksama. Pemeriksaan dada dapat mengesampingkan
deformitas pectus excavatum, tonjolan prekordial, atau adanya pulsasi ventrikel
kanan atau kiri. Bunyi jantung pertama biasanya terpisah (yang dapat disalahartikan
sebagai bunyi jantung keempat). Bunyi jantung pertama yang keras dapat
menunjukkan mitral stenosis, sedangkan bunyi jantung pertama intensitas rendah
menunjukkan blok jantung tingkat pertama. Bunyi jantung kedua terpisah dapat
diartikan sebagai defek septum atrium, sedangkan suara paradoksikal yang terpisah

8
dapat ditemukan pada hipertrofi ventrikel kiri yang berat atau blok cabang berkas
kiri. Bunyi jantung ketiga adalah normal pada kehamilan. Bunyi jantung IV,
ejection click, opening snap, atau mid sistolik hingga late sistolik mengindikasikan
penyakit jantung. Murmur sistolik dapat terdengar pada wanita hamil dan
merupakan hasil dari sirkulasi hiperkinetik selama masa kehamilan. Murmur yang
terdengar yaitu murmur mid sistolik dan didengar terbaik pada linea sternum kiri
bawah dan di atas area pulmonal memerlukan penyelidikan lebih lanjut oleh
ekokardiografi dan USG doppler.8

Tabel 2.2 Beberapa indikator klinik penyakit jantung dalam kehamilan3


Gejala
Dispnea yang progresif atau orthopnea
Batuk pada malam hari
Hemoptisis
Sinkop
Nyeri dada
Tanda-tanda klinik
Sianosis
Clubbing pada jari-jari
Distensi vena di daerah leher yang menetap
Bising sistolik derajat 3/6 atau lebih
Bising diastolik
Kardiomegali
Aritmia persisten
Terpisahnya bunyi jantung dua yang persisten
Adanya kriteria hipertensi pulmonal

2.2.3 Pemeriksaan Elektrokardiografi


Pemeriksaan EKG sangat aman dan dapat membantu menjawab pertanyaan
yang sangat spesifik. Kehamilan dapat menyebabkan interpretasi dari variasi
gelombang ST-T lebih sulit dari yang biasanya. Depresi segmen ST inferior sering
didapati pada wanita hamil normal. Pergeseran aksis QRS ke kiri, sering dijumpai,
tetapi deviasi aksis ke kiri yang nyata (-30o) menyatakan adanya kelainan jantung.12

2.2.4 Pemeriksaan Ekokardiografi


Pemeriksaan ekokardiografi termasuk dopler sangat aman dan tanpa risiko
terhadap ibu dan janin. Pemeriksaan transesofageal ekokardiografi pada wanita
hamil tidak dianjurkan karena risiko anestesi selama prosedur pemeriksaan
radiografi. Semua pemeriksaan radiografi harus dihindari terutama pada awal

9
kehamilan. Pemeriksaan radiografi mempunyai risiko terhadap organogenesis
abnormal pada janin, atau malignancy pada masa kanak-kanak terutama leukemia.
Jika pemeriksaan sangat diperlukan, sebaiknya dilakukan pada kehamilan lanjut,
dengan dosis radiasi seminimal mungkin dan perlindungan terhadap janin seoptimal
mungkin.12

2.3 Penatalaksanaan
2.3.1 Antepartum
Wanita dengan penyakit jantung sebelum memutuskan untuk hamil,
sebaiknya terlebih dahulu konsultasi dengan dokter. Mortalitas maternal umumnya
bervariasi sesuai dengan status fungsional jantung selama onset kehamilan, namun
dapat bertambah tinggi seiring dengan bertambahnya umur kehamilan.3
Penanganan penyakit jantung pada kehamilan ditentukan oleh kapasitas
fungsional jantung. Pada semua wanita hamil, tetapi khususnya pada penderita
penyakit jantung, pertambahan berat badan yang berlebihan, dan retensi cairan yang
abnormal harus dicegah.1
Memburuknya kondisi jantung dalam kehamilan sering terjadi secara samar
namun membahayakan. Pada kunjungan rutin harus dilakukan pemeriksaan denyut
jantung, pertambahan berat badan dan saturasi oksigen. Pertambahan berat badan
yang berlebihan menandakan perlunya penanganan yang agresif. Penurunan
saturasi oksigen biasanya akan mendahului gambaran radiologi (foto toraks) yang
abnormal.1
Evaluasi resiko kehamilan pada wanita dengan penyakit jantung
direkomendasikan menggunakan klasifikasi resiko modifikasi dari WHO (World
Health Organization). Klasifikasi resiko ini mencakup semua faktor resiko
kardiovaskular maternal termasuk penyakit jantung sebelumnya dan komorbiditas
lainnya.5

10
Tabel 2.3 Prinsip klasifikasi risiko kardiovaskular maternal (WHO Modifikasi)

Pada wanita dengan resiko WHO kelas I, Resiko mortalitas maternal sangat
rendah, wanita dengan resiko WHO kelas II mempunyai resiko mortalitas maternal
yang rendah sampai sedang, dan direkomendasikan follow up kehamilannya tiap
trisemester. Pada wanita dengan resiko WHO kelas III, ada resiko tinggi akan
komplikasi pada maternal, dan sangat direkomendasikan membutuhkan advis dari
dokter spesialis jantung dan kandungan, sedangkan pada wanita dengan resiko
WHO kelas IV, kehamilan dikontraindikasikan, tetapi bila wanita tersebut hamil
dan tidak mau melakukan terminasi, maka control tiap bulan yang ketat harus
dilakukan5

11
Tabel 2.4 Aplikasi klasifikasi risiko kardiovaskular maternal (WHO Modifikasi)

Beberapa kelainan jantung dengan risiko kematian ibu yang tinggi antara
lain Sindrom Eisenmenger, hipertensi pulmonal dengan disfungsi ventrikel kanan
dan Sindrom Marfan dengan dilatasi aorta yang signifikan.1
American College of Obstetricians and Gynecologists (1992) menekankan
empat konsep yang mempengaruhi penanganan wanita dengan penyakit jantung,
yaitu:2
1. Peningkatan curah jantung dan volume plasma sebesar 50% terjadi pada awal
trimester ketiga.
2. Fluktuasi volume plasma dan curah jantung terjadi pada masa peripartum.
3. Penurunan tahanan vaskuler sistemik mencapai titik terendah pada trimester
kedua dan meningkat lagi sampai 20% di bawah normal pada akhir kehamilan.

12
4. Hiperkoagubilitas. Perhatian khusus diberikan pada wanita yang membutuhkan
antikoagulan derivat koumarin sebelum kehamilan.
Penanganan antepartum termasuk kunjungan ke klinik jantung-kebidanan,
istirahat yang cukup, diet tinggi protein, rendah garam dan pembatasan cairan pada
trimester II dan III, perbaikan keadaan umum (roboransia dan anti anemia),
pencegahan infeksi, evaluasi pemberian digitalis, evaluasi terminasi kehamilan dan
pembedahan jantung. Pasien diharuskan segera ke dokter bila ditemukan gejala
infeksi saluran pernafasan bagian atas, khususnya bila ada demam. 1,11
Tabel 2.5 Prinsip umum manajemen kehamilan pada wanita dengan
penyakit kardiovaskular13
Stage Prinsip Penanganan
Sebelum Identifikasi kondisi kardiovaskular dan kelas fungsional.
Konsepsi Mendapatkan evaluasi dari kardiologis
Disarankan untuk melakukan koreksi bedah bila dibutuhkan
Konseling tentang prognosis dari keberhasilan persalinan,
termasuk keselamatan ibu dan kelainan janin
Mengevaluasi kehamilan kedepannya
Mengevaluasi medikasi dan mendiskusikan resiko dan
keuntungan tiap medikasi dengan kardiologis dan pasien
Memberikan konseling kontrol kehamilan agar mencegah
kehamilan yang tidak diinginkan
Trimester I Melakukan evaluasi yang multidisiplin dengan kardiologis
dan perinatologis
Konseling tentang resiko mortalitas dan morbiditas ibu, dan
juga prognosis keberhasilan kehamilan
Mengevaluasi ulang medikasi dengan kardiologis, untuk
meninimalkan resiko kelainan fetus tanpa menganggu status
kardiovaskular ibu
Menghindari terapi intervensi yang dapat ditunda hingga
trimester ke II (contoh: Fluoroskopi)
Mengevaluasi opsi terminasi kehamilan jika terdapar resiko
mortalitas dan morbiditas yang tinggi terhadap ibu

13
Mendiskusikan untuk rujukan ke tempat dengan fasilitas
yang lebih baik
Trimester II Melanjutkan evaluasi multidisiplin pada pasien
Mengevaluasi akan adanya penyakit jantung bawaan pada
fetus dengan fetal ultrasound lvl II
Mengevaluasi perkembangan janin dengan serial fetal
ultrasound
Mengatur dosis medikasi untuk mempertahankan level
terapeutik
Membatasi aktivitas maternal untuk mempertahankan
stabilitas kardiovaskular
Trimester III Melanjutkan evaluasi multidisiplin pada pasien
Mengevaluasi perkembangan janin dengan serial fetal
ultrasound
Mengonsultasikan dengan ahli anestesi mengenai persalinan
Melakukan pertemuan dengan ahli lain selama kehamilan
dan persalinan untuk merencanakan manajemen persalinan
Mengevaluasi resiko dan keuntungan induksi persalinan,
persalinan spontan dan sektio sesaria elektif
Jika diberikan antikoagulan, ganti dengan unfractionated
heparin
Selama Monitoring yang ketat oleh ahli multidisiplin tim
Persalinan Penanganan nyeri yang adekuat
Monitoring kondisi kardiovaskular maternal dan status
cairan pada keadaan seperti di ICU
Post Partum Monitoring hemodinamik dalam keadaan seperti di ICU

2.3.2 Intrapartum
Persalinan untuk penderita kelainan jantung idealnya adalah singkat dan
bebas nyeri. Induksi persalinan dilakukan bila serviks sudah matang. Kadang kala
penderita penyakit jantung yang berat memerlukan pemantauan hemodinamik yang
invasif dengan pemasangan kateter arteri dan arteri pulmonalis.1,11

14
Selama persalinan penderita harus ditopang dengan bantal yang cukup
untuk membantu pernapasan, usahakan tersedianya oksigen yang dapat diberikan
secara intermitten atau terus menerus bila terdapat sesak napas atau sianosis. Kalau
perlu ahli jantung mendampingi proses partus. Sedasi dan analgesia yang cukup
dengan morfin sangat diperlukan. Metode persalinan bila sudah aterm dapat
dipercepat dengan pemecahan ketuban atau pada persalinan pervaginam dengan
mempercepat kala II, forsep atau episiotomi. Cara anastesi dapat dipilih antara
regional, spinal, kaudal, atau pudendal maupun umum.11
Pada kala II, mengedan dengan menafan nafas harus dilarang, karena
bertambahnya curah jantung selanjutnya harus dihindari. Pemakaian forsep sedini
mungkin sebaliknya sangat diperlukan. Pemakaian suntik ergometrin harus
dihindarkan karena bila diberikan secara IV akan menyebabkan kontraksi uterus
yang tonik dan meningkatkan aliran darah balik.11
Pada relaksasi uterus dan perdarahan yang besar lebih aman memberikan
oksitosin. Setelah kala III, harus diperhatikan tanda-tanda dekompensasi atau
edema paru karena saat inilah yang paling rawan pada proses persalinan.
Tatalaksana gagal jantung akut berupa posisi ½ duduk, anastesi kaudal terus
menerus, oksigen, digitalis (sebaiknya setelah ada indikasi tegas dari kardiologis),
lakukan observasi yang ketat (perhatikan tekanan darah, nadi, pernapasan, balans
cairan, elektrolit, anemia dan sebagainya ).11
Standar penanganan penderita kelainan jantung dalam masa persalinan
adalah:1
1. Diagnosis yang akurat
2. Jenis persalinan berdasarkan pada indikasi obstetri
3. Penanganan medis dimulai pada awal persalinan
a. Hindari partus lama
b. Induksi dilakukan bila serviks sudah matang
4. Pertahankan stabilitas hemodinamik
a. Pemantauan hemodinamik invasif bila diperlukan
b. Mulai dengan keadaan hemodinamik yang sudah terkompensasi
c. Penanganan yang spesifik tergantung pada kondisi jantung.

15
5. Cegah nyeri dan respons hemodinamik dengan pemberian analgesia epidural
dengan narkotik dan teknik dosis rendah lokal.
6. Antibiotik profilaksis diberikan bila ada risiko endokarditis.
7. Ibu tidak boleh mengedan. Persalinan dengan vakum atau forcep rendah.
8. Hindari perdarahan dengan melakukan managemen aktif kala III dan
penggantian cairan yang dini dan sesuai.
9. Managemen cairan pada postpartum dini: sering diperlukan pemberian diuresis
yang agresif namun pelu hati-hati.

2.3.3 Puerperalis
Persalinan dan masa puerperium merupakan periode dengan risiko
maksimum untuk pasien dengan kelainan jantung. Selama periode ini, pasien harus
dipantau untuk mengetahui ada tidaknya tanda-tanda gagal jantung, hipotensi dan
aritmia. Perdarahan postpartum, anemia, infeksi dan tromboemboli merupakan
komplikasi yang menjadi lebih serius bila ada kelainan jantung.3,11
Sangat penting untuk mencegah kehilangan darah yang berlebihan pada kala
III. Oksitosin sebaiknya diberikan secara infus kontinu untuk menghindari
penurunan tekanan darah yang mendadak. Alkaloid ergot seperti metil ergometrin
tidak boleh dipakai karena obat ini dapat mengakibatkan peningkatan tekanan vena
sentral dan hipertensi sementara.1,11
Dalam masa post partum diperlukan pengawasan yang cermat terhadap
keseimbangan cairan. Dalam 24-72 jam terjadi perpindahan cairan ke sirkulasi
sentral dan dapat menyebabkan kegagalan jantung. Perhatian harus diberikan
kepada penderita yang tidak mengalami diuresis spontan. Pada keadaan ini, bila ada
penurunan saturasi oksigen yang dipantau dengan pulse oxymetri, biasanya
menandakan adanya edema paru.1,11
Penderita harus mendapat istirahat yang cukup dan diberikan pencegahan
dengan antibiotik terhadap kemungkinan infeksi, termasuk endokarditis. Penderita
dengan kelas fungsional NYHA I dan II diusahakan untuk mobilisasi dini,
pemberian obat-obat kardiovaskular dievaluasi lagi, selanjutnya ditentukan follow
up dan prognosis untuk kehamilan selanjutnya. Harus dicegah terjadinya
dekompensasi kordis, dan perhatikan pula cara perawatan bayi, termasuk rawat
rumah pada saat penderita dipulangkan.11

16
2.4 Penggunaan Obat Kardiovaskular
2.4.1 Diuretik
Diuretik dapat digunakan untuk pengobatan gagal jantung kongestif yang tidak
dapat dikontrol dengan restriksi natrium dan merupakan obat lini terdepan untuk
pengobatan hipertensi. Tidak satu diuretik pun merupakan kontra indikasi dan yang
paling sering digunakan adalah golongan diuretik tiazid dan forosemid. Diuretik
tidak boleh digunakan untuk profilaksis terhadap toksemia atau pengobatan
terhadap edema pedis.12,14

Diuretik diberikan untuk mengurangi gejala-gejala dispnea nokturnal


paroksismal dan exertional dan edema perifer yang nyata dalam kehamilan.
Komplikasi ibu terhadap terapi diuretik mirip dengan pasien yang tidak hamil
seperti alkalosis metabolik, penurunan toleransi karbohidrat, hipokalemia,
hiponatremia, hiperurisemia, dan pankreatitis.14

2.4.2 Obat Inotropik


Digoksin bermanfaat untuk efek baik pada kontraktilitas ventrikel dan pada
kontrol di tingkat atrial fibrilasi. Indikasi penggunaan digitalis tidak berubah pada
kehamilan. Digoksin dan digitoksin dapat melalui plasenta, dan kadar serum pada
janin lebih kurang sama dengan ibu. Digoksin dengan dosis yang sama bila
diberikan pada ibu hamil, akan menghasilkan kadar serum yang lebih rendah bila
dibanding diberikan pada wanita yang tidak hamil. Jika efek yang diinginkan tidak
tercapai, maka perlu diukur kadarnya dalam serum. Digitalis dapat memperpendek
masa gestasi dan kelahiran karena efeknya pada miometrium sama dengan efek
inotropiknya pada miokardium. Digoxin juga disekresi dalam ASI.12,14
Bila inotropik intravena atau vasopressor diperlukan, obat-obat standar
seperti dopamin, dobutamin, atau norepinefrin dapat digunakan, tetapi efeknya
membahayakan janin karena akan menurunkan aliran darah ke uterus dan
mestimulasi kontraksi uterus. Efedrin adalah obat awal yang baik pada percobaan
binatang dan tidak mempengaruhi aliran darah ke uterus.12

17
2.4.3 Vasodilator
Bila diperlukan pada krisis hipertensi atau untuk mengurangi afterload dan
preload emergensi, nitropruside merupakan obat vasodilator pilihan. Rekomendasi
yang kontroversi telah dibuat karena obat ini sangat efektif, bekerja segera, dan
mudah ditoleransi. Juga efeknya segera menghilang bila penggunaan obat tersebut
segera dihentikan. Namun, nitroprusside natrium harus digunakan hanya ketika
semua intervensi lain telah gagal dan ketika itu sangat penting untuk kesejahteraan
ibu. Bahkan di bawah kondisi dosis dan durasi terapi harus diminimalkan karena
metabolisme agen ini untuk tiosianat dan sianida, yang dapat mengakibatkan
keracunan sianida janin pada model binatang, akan tetapi tidak menjadi problem
yang signifikan pada manusia.12,14
Hidralazin, nitrogliserin, dan labetalol intravena adalah pilihan lain untuk obat
parenteral. Reduksi afterload kronik untuk pengobatan hipertensi, regurgitasi aorta
atau mitral, atau disfungsi ventrikel selama kehamilan telah didapat dengan calcium
chanel blocker, hidralazin, dan metildopa. Efek yang membahayakan terhadap janin
tidak dilaporkan. ACE inhibitor merupakan kontra indikasi pada kehamilan karena
obat ini menambah risiko untuk terjadinya kelainan pada perkembangan ginjal
janin. Hingga kini tidak ada data yang melaporkan mengenai penggunaan losartan,
valsartan dan penghambat angiotensin II.12

2.4.4 Obat Penghambat Reseptor Adrenergik


Dalam observasi terlihat bahwa penggunaan obat penghambat beta dapat
menurunkan darah ke umbilikus, memulai kelahiran prematur, dan mengakibatkan
plasenta yang kecil serta infark plasenta dan mempunyai potensi untuk
menimbulkan bayi berat badan lahir rendah sehingga penggunaannya memerlukan
perhatian. Sebagian besar penelitian tidak mendukung hal ini dan obat penghambat
beta telah banyak digunakan pada wanita hamil tanpa efek yang merugikan.
Sehingga penggunaannya untuk indikasi klinis sangat beralasan.12
Beta blockers umumnya aman dan efektif selama kehamilan, walaupun
mungkin ada tingkat peningkatan pembatasan pertumbuhan janin ketika mereka
diberikan. Sesekali kasus apnea neonatus, hipotensi, bradikardia, dan hipoglikemia
juga telah dilaporkan, terutama setelah penggunaan jangka panjang dari propanolol.
Beta blocker tidak berhubungan dengan peningkatan risiko kelainan kongenital.

18
Propranolol, labetalol, atenolol, nadolol, dan metoprolol diekskresikan dalam ASI.
Meskipun efek samping belum dilaporkan, adalah tepat untuk memantau bayi yang
baru lahir untuk gejala blokade beta ketika obat tersebut pernah digunakan.14

2.4.5 Obat Anti Aritmia


Penghambatan nodus atrioventrikuler (AV node) kadang-kadang diperlukan
semasa kehamilan. Untuk itu dapat digunakan digoksin, penyekat beta, dan
penyekat kalsium. Laporan awal menyokong, penggunaan adenosin yang dapat
digunakan secara aman sebagai obat penyekat nodus. Obat ini umumnya lebih
disukai untuk menghindarkan penggunaan obat anti aritmia standar pada pasien
semasa kehamilan. Bila diperlukan untuk aritmia berulang atau untuk keselamatan
ibu, maka dapat digunakan.12
Lidokain merupakan obat lini pertama yang diberikan. Depresi neonatus
transien telah terbukti terjadi bila kadar lidokain darah janin melebihi 2,5
mikrogram/liter. Untuk itu, direkomendasikan untuk memelihara kadar lidokain
darah pada ibu 4 mikrogram/liter, karena kadar pada janin 60% dari kadar pada
ibu.12
Jika diperlukan obat anti aritmia oral, dapat dimulai dengan kuinidin karena
mempunyai availabilitas jangka panjang. Dan obat ini paling sering digunakan
karena tidak jelas efek yang membahayan pada bayi. Informasi awal mengenai
amiodaron mendukung kemungkinan meningkatnya angka kehilangan janin dan
deformitas janin.12

2.4.6 Anti Koagulan


Fenomena tromboemboli tidak jarang merupakan komplikasi CHF. Lebih
lanjut, pasien hamil bahkan tanpa penyakit jantung akan mengalami peningkatan
risiko untuk terjadinya tromboemboli. Kejadian tromboemboli vena sebanyak 5
kasus dalam 1.000 kelahiran dan selanjutnya meningkat setelah melahirkan.12,14
Bila diperlukan antikoagulan, sebagian penulis menganjurkan menggunakan
heparin untuk trimester pertama dan kemudian dilanjutkan dengan pemberian
warfarin pada lima bulan berikutnya, dan kembali lagi menggunakan heparin
sebelum melahirkan. Walaupun kehamilan yang sukses dapat dicapai dengan cara
ini, penulis memilih untuk menghindarkan penggunaan warfarin selama kehamilan.

19
Obat anti platelet ternyata meningkatkan kesempatan untuk terjadinya perdarahn
maternal dan dapat melewati plasenta. Selain itu, warfarin juga memberikan efek
teratogenik pada janin, termasuk warfarin embriopati dan kelainan sistem saraf
yang terdiri dari displasia garis tengah punggung dan perut serta perdarahan ketika
digunakan selama trimester pertama.12,14
Meskipun heparin memiliki sejumlah efek samping, termasuk menipisnya
antitrombin III, trombositopenia dan osteoporosis dini pada ibu, itu tetap
merupakan agen yang aman pada kehamilan. Suatu studi melakukan evaluasi pada
100 kehamilan terkait dengan terapi heparin memperoleh hasil yaitu terdapat 17
janin yang dilahirkan dengan efek samping heparin. Sembilan adalah kelahiran
prematur, yang memiliki hasil akhir normal dan lima dikaitkan dengan kondisi
komorbiditas yang dirasakan menjadi faktor risiko komplikasi lainnya.14
Baik heparin atau warfarin tidak disekresikan ke dalam ASI dan karena itu
tidak menimbulkan efek antikoagulan pada bayi yang mengonsumsi ASI.
Akibatnya, kedua obat tersebut dapat digunakan pada periode postpartum.14

2.5 Kelainan Jantung Berisiko terhadap Ibu Hamil


2.5.1 Atrial Septal Defect (ASD)
Atrial septal defect (ASD) merupakan kelainan jantung kongenital yang
paling sering ditemukan dalam kehamilan dan umumnya asimptomatik. Pada
pemeriksaan tampak tanda yang khas berupa dorongan ventrikel kanan dan bising
sistolik yang keras pada tepi sternum kiri, dan bunyi jantung kedua yang terpisah.
Pada pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) tampak hipertrofi ventrikel kanan dan
right bundle branch block dengan aksis jantung normal. Pada pemeriksaan foto
toraks tampak peningkatan vaskularisasi paru dan pembesaran ruang jantung
kanan.1,2,3
Biasanya perubahan pada kehamilan dapat ditolerir oleh penderita ASD
kecuali peningkatan volume darah yang terjadi pada trimester kedua. Ada beberapa
laporan mengenai terjadinya kegagalan jantung kongestif dan aritmia pada pasien-
pasien ini. Kegagalan jantung kongestif merupakan indikasi untuk melakukan
operasi untuk mengoreksi defek. Sebagian kecil penderita ASD kemudian
mengalami hipertensi pulmonal dan sindrom Eisenmenger (shunt balik dari kanan
ke kiri karena tekanan arteri pulmonalis suprasistemik). Keadaan ini dapat

20
membahayakan jiwa penderita sehingga perlu penanganan yang hati-hati dan
serius.2

2.5.2 Hipertensi Pulmonal Primer


Hipertensi pulmonal primer merupakan keadaan dimana terjadi penebalan
abnormal dan konstriksi tunika media arteri pulmonalis yang menyebabkan fibrosis
tunika intima dan pembentukan trombus. Penyebabnya tidak diketahui, ditemukan
pada wanita muda dan menyebabkan peningkatan tekanan arteri pulmonalis yang
progresif. Gejalanya berupa sesak, fatig, palpitasi dan sinkop.2
Pada pemeriksaan fisik tampak penonjolan gelombang “A” pada vena
jugularis, desakan ventrikel kanan dan biasanya bunyi jantung kedua yang dapat
dipalpasi. Pada tahap akhir akan tampak tanda-tanda kegagalan jantung kanan
berupa peningkatan tekanan vena jugularis, hepatomegali dan edem. Pada
pemeriksaan EKG dan foto toraks tampak pembesaran ventrikel kanan dan deviasi
aksis jantung ke kanan.2
Risiko kehamilan bervariasi sesuai dengan jenis hipertensi pulmonar dan
telah ditingkatkan dengan ketersediaan target terapi yang baru dan penggunaan
pendekatan multidisiplin berbasis tim. Kehamilan mungkin tampak lebih aman saat
ini, tetapi angka kematian tetap tinggi pada wanita dengan Pulmonary Arterial
Hypertension (PAH) sekitar 16-30% risiko kematian ibu. Oleh karena itu, pada
wanita dengan PAH direkomendasikan untuk menghindari kehamilan dan ketika
terjadi kehamilan terminasi harus didiskusikan. Periode risiko terbesar adalah masa
nifas dan post-partum dini. 15
Pada wanita dengan hipertensi pulmonal penyebab kematian paling
umumnya adalah krisis hipertensi pulmonal, trombosis paru dan gagal jantung
kanan. Penyebab tersebut dapat terjadi bahkan pada pasien dengan beberapa gejala
sebelum kehamilan. Faktor risiko kematian ibu adalah keparahan hipertensi
pulmonal, tindakan yang terlambat dan mungkin penggunaan anestesi umum dan
peningkatan kematian janin dan neonatal (0-30%), terutama jika ada persalinan
prematur, mengurangi CO ibu, dan / atau hipoksemia.15
Bila penderita memilih untuk tetap melanjutkan kehamilannya maka harus
dilakukan tirah baring, rawat inap pada trimester ketiga, pengobatan dini terhadap
gejala kegagalan jantung kongestif dengan digoksin dan diuretik dan lakukan

21
pemantauan hemodinamik invasif selama persalinan. Pemberian antikoagulan
dapat memperbaiki prognosis penyakit ini. Nifedipin dosis tinggi dan pemberian
adenosin intravena bermanfaat untuk menurunkan resistensi pembuluh darah
pulmoner.1,2

2.6 Anestesi pada Penyakit Jantung


Pada prinsipnya manajemen anestesi bertujuan meminimalisasi stres
tambahan saat persalinan dan kelahiran. Penanganan pasien dibagi dalam 2
kelompok besar, yaitu pasien yang mendapat keuntungan dari penurunan resistensi
vaskuler sistemik akibat teknik analgesi neuroaksial (biasanya bukan akibat
pemberian cairan yang berlebihan). Kelompok ini adalah pasien dengan insufisiensi
katup mitral, insufisiensi katup aorta, gagal jantung kronis, atau lesi kongenital
dengan shunting dari kiri ke kanan (left to right shunt: LTRS). Simpatektomi akibat
teknik spinal atau epidural dapat menurunkan preload dan afterload, mencegah
kongesti paru, dan pada beberapa kasus menaikkan cardiac output. Kelompok
kedua adalah pasien yang tidak mendapat keuntungan dengan terjadinya penurunan
resistensi vaskuler sistemik, yang termasuk dalam kelompok ini adalah pasien
dengan stenosis aorta, lesi kongenital dengan shunting dari kanan ke kiri (RTLS)
atau shunting bidirectional (2 arah) atau hipertensi pulmonal. Penurunan venous
return (preload) atau afterload biasanya tidak dapat ditoleransi. Pasien ini lebih baik
dilakukan spinal opioid saja, oabt-obatan sistemik, blok nervus pudendal, dan bila
perlu anestesi umum.16

2.6 Anestesi Umum pada Seksio Caecarea


Penggunaan anestesi umum pada persalinan lebih baik dihindari untuk
mencegah adanya aspirasi pada pasien kecuali dalam keadaan gawat darurat.
Berikut indikasi dilakukan anestesi umum pada persalinan pervaginam:16
Tabel 2.6 Indikasi anestesi umum pada persalinan pervaginam16

22
Di beberapa negara, kelahiran sesar dianggap lebih baik dibandingkan
dengan persalinan dan frekuensinya jauh lebih tinggi daripada di Amerika Serikat,
bervariasi antara 15% dan 35% dari rumah sakit ke rumah sakit. Di Amerika
Serikat, operasi caesar yang paling elektif dilakukan di bawah anestesi spinal.
Anestesi regional menjadi teknik yang disukai karena anestesi umum dikaitkan
dengan risiko morbiditas dan mortalitas ibu yang lebih besar, fluktuasi
hemodinamik yang lebih besar selama induksi anestesi dan kebutuhan untuk
analgesia tambahan selama pemulihan anestesi.16
Kematian yang dikaitkan dengan anestesi umum umumnya terkait dengan
masalah jalan napas, seperti ketidakmampuan untuk intubasi, ketidakmampuan
untuk ventilasi, atau pneumonitis aspirasi. Namun, sebagian besar penelitian
menunjukkan risiko anestesi umum yang lebih besar pada saat sebelum adanya
video laringoskop. Kematian yang dikatikan dengan anestesi regional umumnya
terkait dengan penyebaran blokade dermatom yang berlebihan atau toksisitas
anestesi lokal.16
Tabel 2.7 Indikasi mayor sectio caesarea16

23
Keuntungan anestesi umum (1) onset yang sangat cepat, (2) kontrol
terhadap jalan nafas dan ventilasi, (3) kenyamanan yang lebih besar untuk ibu yang
sangat cemas, dan (4) potensi hipotensi lebih kecil daripada anestesi regional.
Anestesi umum juga memfasilitasi manajemen jika terjadi komplikasi hemoragik
parah seperti plasenta akreta. Kerugian utamanya adalah risiko aspirasi paru,
potensi ketidakmampuan untuk intubasi atau ventilasi pasien, dan depresi janin
akibat obat-obatan. Namun, teknik anestesi umum saat ini membatasi dosis agen
intravena sehingga depresi janin biasanya tidak signifikan secara klinis ketika
persalinan terjadi dalam waktu 10 menit sejak induksi anestesi. Terlepas dari jenis
anestesi, neonatus yang dilahirkan lebih dari 3 menit setelah insisi uterus memiliki
skor Apgar yang lebih rendah.16
Aspirasi pulmonal isi lambung dan intubasi endotrakeal yang gagal adalah
penyebab utama morbiditas dan mortalitas ibu yang terkait dengan anestesi umum.
Semua pasien harus menerima profilaksis antasid terhadap aspirasi pneumonia
dengan 0,3 M natrium sitrat, 30 mL, 30-45 menit sebelum induksi. Pasien dengan
faktor risiko tambahan yang membuat mereka rentan terhadap aspirasi juga
diberikan ranitidin intravena 50 mg atau metoclopramide 10 mg atau keduanya,
dalam 1-2 jam sebelum induksi anestesi umum. 16
Faktor risiko tersebut termasuk morbid obesitas, gejala gastroesophageal
reflux, saluran udara yang berpotensi sulit, atau persalinan darurat tanpa periode
puasa elektif. Premedikasi dengan omeprazol oral 40 mg, pada malam hari dan di
pagi hari, juga tampaknya sangat efektif pada pasien berisiko tinggi yang menjalani
operasi caesar elektif. Meskipun antikolinergik secara teoritis dapat mengurangi
tonus sfingter esofagus bagian bawah, premedikasi dengan glycopyrrolate 0,1 mg
membantu mengurangi sekresi jalan napas dan harus dipertimbangkan pada pasien
dengan jalan nafas yang berpotensi sulit.16
Antisipasi intubasi endotrakeal yang sulit dapat membantu mengurangi
kejadian gagal intubasi.16 Pemeriksaan leher, mandibula, gigi, dan orofaring sering
membantu memprediksi pasien mana yang memiliki masalah. Prediktor yang
berguna pada sulit intubasi diantaranya klasifikasi Mallampati, leher pendek,
rahang bawah yang terlalu kebelakang, gigi insisivus rahang atas yang menonjol,
dan riwayat sulit intubasi. Insiden gagal intubasi relatif lebih tinggi pada wanita

24
hamil dibandingkan yang tidak hamil mungkin karena edema saluran napas, gigi
penuh lebih mungkin ditemukan pada pasien muda, atau payudara besar yang bisa
menghalangi pegangan laringoskop pada pasien dengan leher pendek. Posisi kepala
dan leher yang tepat dapat memfasilitasi intubasi endotrakeal pada pasien obesitas:
elevasi bahu, fleksi tulang servikal, dan ekstensi sendi atlantooccipital.16

Gambar 2.2 Algoritma pada pasien obstetri yang sulit intubasi16

Perjalanan anestesi umum dapat dibagi menjadi tiga fase: (1) induksi, (2)
maintanance, dan (3) Emergensi. Anestesi inhalasi terutama halotan dan
sevoflurane sangat berperan dalam induksi pasien anak yang mungkin sulit untuk
memulai jalur intravena. Meskipun orang dewasa biasanya diinduksi dengan agen

25
intravena, onset cepat sevoflurane membuat inhalasi induksi lebih praktis. Terlepas
dari usia pasien, anestesi sering dimonitoring dengan agen inhalasi. Karena rute
pemberian yang unik, anestesi inhalasi memiliki sifat farmakologis yang berguna
yang tidak dimiliki oleh agen anestesi lainnya.17
Anestesi umum adalah keadaan fisiologis yang berubah ditandai dengan
hilangnya kesadaran, analgesia, amnesia, dan relaksasi otot. Banyak sekali zat yang
mampu menghasilkan anestesi umum, unsur lembam (xenon), senyawa anorganik
sederhana (nitro oksida), hidrokarbon terhalogenasi (halotan), eter (isoflurane,
sevoflurane, desflurane) dan struktur organik kompleks (propofol dan ketamin).
Agen inhalasi berinteraksi dengan berbagai saluran ion yang ada di SSP dan sistem
saraf tepi.17
Nitro oksida dan xenon diyakini menghambat reseptor N-metil-D-aspartat
(NMDA). Reseptor NMDA adalah reseptor rangsang (eksitasi) di otak. Agen
inhalasi lain dapat berinteraksi pada reseptor lain (misalnya, asam γ-aminobutyric
[GABA] konduktansi saluran klorida aktif) yang mengarah ke efek anestesi. Selain
itu, beberapa penelitian menunjukkan bahwa agen inhalasi bekerja pada beberapa
reseptor protein yang menghalangi saluran rangsang dan meningkatkan aktivitas
saluran penghambat yang memengaruhi aktivitas neuron serta oleh beberapa efek
membran yang non spesifik.17
Anestesi umum dimulai dengan agen inhalasi eter, nitro oksida, dan
kloroform, tetapi dalam praktik saat ini, anestesi dapat diinduksi dan di
maintanance dengan obat yang masuk pada pasien melalui berbagai rute. Induksi
anestesi umum biasanya dilakukan dengan inhalasi atau pemberian obat intravena.
Anestesi umum dipertahankan dengan teknik total anestesi intravena (TIVA),
teknik inhalasi, atau kombinasi keduanya.17
Agen injeksi yang digunakan untuk menghasilkan narkosis (tidur),
termasuk barbiturat, benzodiazepin, ketamin, etomidat, propofol, dan
dexmedetomidine.18
1. Ketamin
Ketamin memiliki banyak efek di seluruh sistem saraf pusat, dan dikenal baik
untuk menghambat saluran N-metil-D aspartat (NMDA) dan saluran kationik
teraktivasi hiperpolarisasi neuronal (HCN1). Namun demikian, bagaimana ketamin

26
menghasilkan anestesi atau analgesia masih kontroversial. Ketamin secara
fungsional “disosiasi/memisahkan” impuls sensorik dari korteks limbik (yang
terlibat dengan sensasi kesadaran). Secara klinis, keadaan anestesi disosiatif ini
dapat menyebabkan pasien tampak sadar (misalnya membuka mata, menelan,
kontraktur otot) tetapi tidak dapat memproses atau menanggapi input sensorik.
Ketamin mungkin memiliki tambahan aksi pada jalur analgesik endogen.18
Ketamin memiliki efek pada suasana hati (mood), agen ini sekarang banyak
digunakan untuk mengobati depresi berat yang resisten terhadap pengobatan,
terutama ketika pasien memiliki ide bunuh diri. Dosis ketamin intravena yang kecil
juga digunakan untuk melengkapi anestesi umum dan untuk mengurangi kebutuhan
opioid selama dan setelah prosedur pembedahan. Infus ketamin dosis rendah telah
digunakan untuk analgesia pada pasien pasca operasi dan yang lain yang refrakter
terhadap pendekatan analgesik konvensional. Ketamin telah diidentifikasi oleh
WHO sebagai agen penting yang diperlukan.18
Ketamin diberikan secara oral, nasal, rektal, subkutan, dan epidural, tetapi
dalam praktik klinis biasa diberikan intravema atau intramuskuler. Kadar plasma
puncak biasanya dicapai dalam 10 hingga 15 menit setelah injeksi intramuskuler.
Ekskresi dari hasil biotransformasi ketamin akan dikeluarkan melalui ginjal.
Berikut dosis untuk beberapa obat-obatan intra vena.18
Tabel 2.8 Penggunaan dan dosis ketamin, etomidat dan propofol18

2. Propofol
Induksi propofol anestesi umum dapat melibatkan fasilitasi neurotransmisi
penghambat yang dimediasi oleh pengikatan reseptor GABAA. Propofol secara
alogenik meningkatkan afinitas pengikatan GABA untuk reseptor GABAA.

27
Reseptor ini, seperti yang disebutkan sebelumnya, digabungkan ke saluran klorida,
dan aktivasi reseptor menyebabkan hiperpolarisasi membran saraf. Propofol
(seperti kebanyakan anestesi umum) mengikat berbagai saluran ion dan reseptor.18
Propofol diberikan secara intravena untuk induksi anestesi umum dan untuk
sedasi sedang hingga dalam. Propofol memiliki onset aksi yang cepat. Proses
recovery dari dosis bolus tunggal juga cepat karena waktu paruh distribusi awal
yang sangat singkat (2-8 menit). Pemulihan dari propofol lebih cepat dan disertai
dengan lebih sedikit "mabuk" daripada pemulihan dari metoheksital, tiopental,
ketamin, atau etomidat. Ini membuatnya menjadi anestesi yang baik untuk operasi
rawat jalan. Dosis induksi yang lebih kecil direkomendasikan pada pasien usia
lanjut karena volume distribusi (Vd) yang lebih kecil. Usia juga merupakan faktor
kunci yang menentukan tingkat infus propofol yang diperlukan untuk TIVA. Di
negara-negara selain Amerika Serikat, perangkat yang disebut Diprifusor
digunakan untuk memberikan target (konsentrasi) infus propofol yang terkontrol.
Pengguna harus memasukkan usia dan berat pasien dan konsentrasi target yang
diinginkan. Perangkat menggunakan data ini, komputer mikro, dan parameter
farmakokinetik standar untuk terus-menerus menyesuaikan laju infus. Sayangnya,
perangkat ini tidak tersedia di Amerika Serikat.18
Selain itu terdapat analgetik agent yang dapat diberikan pada anestesi umum
yaitu pemberian opioid. Opioid berikatan dengan reseptor spesifik yang terletak di
seluruh sistem saraf pusat dan jaringan lain. Empat jenis reseptor opioid utama telah
diidentifikasi: mu (μ, dengan subtipe μ1 dan μ2), kappa (κ), delta (δ), dan sigma
(σ). Semua reseptor opioid berpasangan dengan protein G; pengikatan agonis ke
reseptor opioid menyebabkan hiperpolarisasi membran. Efek opioid akut dimediasi
oleh penghambatan adenylyl cyclase (pengurangan konsentrasi cyclic adenosine
monophosphate intraseluler) dan aktivasi fosfolipase C. Opioid menghambat
saluran kalsium yang diberi tegangan dan mengaktifkan saluran potassium yang
mengoreksi ke dalam. Efek opioid bervariasi berdasarkan durasi paparan, dan
toleransi opioid mengarah pada perubahan respons opioid. Berikut tabel reseptor
opioid dan jenis obatnya:19

28
Tabel 2.9 Klasifikasi reseptor opioid19

Absorpsi cepat dan lengkap diikuti injeksi intramuskukar dan subkutan


hidromorfon, morfin, atau meperidin, dengan kadar plasma puncak biasanya
tercapai setelah 20-60 menit. Berbagai macam opioid efektif dengan pemberian oral
termasuk oksikodon, hidrokodon, kodein, tramadol, morfin, hidromorfon, dan
metadon. Absorpsi fentanyl sitrat transmukosa oral (fentanyl “lollipop”)
memberikan onset analgesia dan sedasi yang cepat pada pasien yang bukan
kandidat yang baik untuk pemberian opioid oral, intravena, atau intramuskuler.19
Fentanyl sering diberikan dalam dosis kecil (10-25 mcg) secara intratekal .
Morfin dalam dosis antara 0,1 dan 0,5 mg dan hidromorfon dalam dosis antara 0,05
dan 0,2 mg memberikan analgesia 12 hingga 18 jam setelah pemberian intratekal.
Morfin dan hidromorfon biasanya dimasukkan dalam larutan anestesi lokal yang
diinfuskan untuk analgesia epidural pasca operasi. Berikut jenis obat-obatan opioid
dan dosis serta cara pemberiannya.19
Tabel 2.10 Penggunaan dan dosis opioid yang biasa digunakan19

29
Selain itu pada anestesi umm juga digunakan agen relaksasi otot rangka.
Relaksasi otot rangka dapat dihasilkan oleh anestesi inhalasi dalam, blok saraf
regional, atau agen blokade neuromuskuler (umumnya disebut muscle
relaxant/pelemas otot). Agen blokade neuromuskular dibagi menjadi dua kelas
yaitu depolarisasi dan non depolarisasi. Pembagian ini menggambarkan perbedaan
dalam mekanisme aksi, respons terhadap stimulasi saraf perifer, dan reversal
blok.20
Tabel 2.11 Muscle relaxant depolarisasi dan non depolarisasi20

Depolarisasi relaksan otot sangat mirip asetilkolin (Ach) dan mudah


mengikat reseptor ACh, menghasilkan potensi aksi otot. Tidak seperti ACh, obat-
obatan ini tidak dimetabolisme oleh asetilkolinesterase dan konsentrasinya dalam
celah sinaptik tidak turun dengan cepat sehingga menghasilkan depolarisasi yang
berkepanjangan dari ujung otot. Depolarisasi end-plate yang terus menerus
menyebabkan relaksasi otot karena pembukaan saluran natrium perijunctional
terbatas waktu (saluran natrium dengan cepat "inaktif" dengan depolarisasi
berkelanjutan). Setelah eksitasi dan pembukaan awal, saluran natrium ini inaktif
dan tidak dapat dibuka kembali sampai end-plate repolarisasi. End-plate tidak dapat
melakukan repolarisasi selama relaksan otot depolarisasi berlanjut untuk berikatan
dengan reseptor ACh; ini disebut blok fase I. Depolarisasi end-plate yang lebih lama
dapat menyebabkan perubahan yang kurang dipahami dalam reseptor ACh yang
menghasilkan blok fase II, yang secara klinis menyerupai relaksan otot yang
nondepolarisasi.20
Nondepolarisasi relaksan otot mengikat reseptor ACh tetapi tidak mampu
menginduksi perubahan yang diperlukan untuk pembukaan kanal ion. Karena ACh
dicegah berikatan pada reseptornya, tidak ada potensi end-plate yang berkembang.

30
Blokade neuromuskuler terjadi bahkan jika hanya satu subunit α yang diblokir. Jadi,
relaksan otot depolarisasi bertindak sebagai agonis reseptor ACh, sedangkan
relaksan otot yang nondepolarisasi berfungsi sebagai antagonis kompetitif.
Perbedaan mendasar dalam mekanisme aksi ini menjelaskan efeknya yang
bervariasi pada kondisi penyakit tertentu. Misalnya, kondisi yang terkait dengan
penurunan kronis pelepasan ACh (misalnya, cedera denervasi otot) merangsang
peningkatan kompensasi dalam jumlah reseptor ACh dalam membran otot.
Kejadian ini juga mempromosikan ekspresi isoform imatur (ekstrajungsional) dari
reseptor ACh, yang menampilkan sifat konduktansi kanal rendah dan pemanjangan
waktu pembukaan kanal. Peningkatan regulasi ini menyebabkan respons berlebihan
terhadap depolarisasi relaksan otot (dengan lebih banyak reseptor yang
didepolarisasi), tetapi resistensi terhadap relaksan nondepolarisasi (lebih banyak
reseptor yang harus diblokir). Sebaliknya, kondisi yang terkait dengan lebih sedikit
reseptor ACh (misalnya, penurunan regulation pada myasthenia gravis)
menunjukkan resistensi terhadap depolarisasi relaksan dan peningkatan kepekaan
terhadap relaksan yang nondepolarisasi.20
Rocuronium memiliki onset aksi yang cepat. Rocuronium tidak
dimetabolisme dan dieliminasi terutama oleh hati dan sedikit oleh ginjal. Durasi
kerjanya tidak dipengaruhi secara signifikan oleh penyakit ginjal, tetapi sedikit
diperpanjang oleh gagal hati dan kehamilan. Karena rocuronium tidak memiliki
metabolit aktif sehingga merupakan pilihan yang lebih baik daripada vecuronium
pada pasien yang membutuhkan infus berkepanjangan dalam keadaan unit
perawatan intensif. Pasien lanjut usia mungkin mengalami durasi aksi yang lama
karena penurunan massa hati.20
Rocuronium kurang poten daripada kebanyakan relaksan otot steroid
lainnya (potensinya berbanding terbalik dengan kecepatan onset). Dibutuhkan 0,45-
0,9 mg/kg intravena untuk intubasi dan 0,15 mg/kg bolus untuk maintanance.
Intramuskular rocuronium (1 mg/kg untuk bayi; 2 mg/kg untuk anak-anak)
menyebabkan paralisis pita suara dan diafragma untuk intubasi, tetapi tidak sampai
3-6 menit (injeksi deltoid memiliki onset lebih cepat daripada quadrisep).
Persyaratan infus untuk rocuronium 5-12 mcg/kg/menit. Rocuronium dapat
menghasilkan durasi tindakan tak terduga yang berkepanjangan pada pasien usia

31
lanjut. Persyaratan dosis awal sedikit meningkat pada pasien dengan penyakit hati
lanjut, mungkin karena volume distribusi yang lebih besar.20

32
BAB 3
LAPORAN KASUS

Identitas Pasien
Nama : Ny. SR
MR : 00.99.21.13
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 35 tahun/ 08-08-1983
Anamnesis
Keluha utama :
Nyeri pinggang menjalar ke ari-ari sejak 2 jam sebelum masuk rumah sakit.
Riwayat Penyakit Sekarang :
- Nyeri pinggang menjalar ke ari-ari sejak 2 jam sebelum masuk rumah sakit.
Pasien kiriman Poli Obgyn dengan G3P2A0H2 parturien aterm 39-39 minggu
kala 1 fase laten + Atrial Septal Defect + Hipertensi Pulmoner.
- Keluar lendir bercampur darah dari kemaluan (+) sejak ± 2 jam sebelum masuk
rumah sakit.
- Keluar air-air yang banyak dari kemaluan tidak ada.
- Keluar darah yang banyak dari kemaluan tidak ada.
- Tidak haid sejak ± 9 bulan yang lalu. HPHT lupa, TP sulit ditentukan
- Gerak anak (+) dirasakan sejak ± 5 bulan yang lalu
- Riwayat hamil muda: mual tidak ada, muntah tidak ada
- Riwayat hamil tua: mual tidak ada, muntah tidak ada
Riwayat Penyakit Dahulu :
- Pasien dikenal dengan Atrial Septal Defect dan Hipertensi Pulmoner
- Riwayat hipertensi (-), diabetes mellitus (-), ginjal (-), hati (-)
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada anggota keluarga yang memiliki penyakit yang sama.
Anamnesis Penyulit Anestesi
 Asma (-)
 Alergi (-)
 Penyakit hati (-)

33
 Penyakit ginjal (-)
 Kejang (-)
 Batuk (-)
 Pilek (-)
 Demam (-)
 Kelainan kardiovaskular (+) ASD dan Hipertensi Pulmoner
Riwayat Obat yang sedang dikonsumsi:
Bisoprolol 2,5 mg
Spironolakton 25 mg
Beraprost 2 x 20 mcg

Riwayat Operasi Sebelumnya: tidak ada

Riwayat Anestesi Sebelumnya: tidak ada

Hasil Konsultasi Bagian Jantung: (10 Desember 2018, 14.50 WIB)


A/ ASD Bidirectional shunt + Hipertensi Pulmoner dalam kehamilan G3P2A0H2
parturien aterm 38-39 minggu
P/ Terminasi segera (cito), anjuran SC dengan General Anestesi
Rawat bersama dibagian kebidanan
Post operasi di rawat di ICU
Beraprost 2 x 20 mcg
Spironolakton 1 x 25 mg
Bisoprolol 1 x 2,5 mg
Berdasarkan Lee Revised Cardiac Index 6,6%
Echocardiography:
 Dilakukan tindakan bubble test tampak bubble menyeberang dari RA ke LA
 mPAP 50 mmHg
 SatO2  tidak dilakukan TEE
 ASD sekundum besar bidirectional shunt
 TR moderate, PH high probability

34
Hasil Konsultasi Bagian Penyakit Dalam: (10 Desember 2018, 17.30 WIB)

S/ Hamil, umur kehamilan 38-39 minggu


Riwayat hipertensi tidak ada
Riwayat Diabetes Mellitus tidak ada
Riwayat sakit jantung tidak ada
Riwayat asma tidak ada
Riwayat makan OAT tidak ada
Riwayat alergi tidak ada
Riwayat perdarahan tidak ada
Riwayat keganasan tidak ada
Riwayat stroke tidak ada
Riwayat operasi tidak ada
O/ Keadaan umum: sakit sedang
Kesadaran: cmc
TD: 120/80 mmHg
Nadi: 80x/menit
RR: 20X/menit
T: afebris
Mata : conjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
Leher: JVP 5-2 cmH2O
Paru: suara napas vesikular, rh -/-, wh -/-
Jantung: irama teratur, murmur (+)
Abdomen: gravida (+)
Ekstremitas: edem (+/+)

35
EKG: SR, HR 75x/menit, axis deviasi ke kanan P mitral + RBBB + T inverted di
Lead II, III, aVF, V1-V6. Kesan: Iskemik anterior, lateral, inferior
Foto thoraks: tidak dilakukan pemeriksaan
A/ G3P2A0H2 parturien aterm 38-39 minggu + ASD + Hipertensi Pulmonal
P/ Saat ini untuk dilakukan tindakan dalam narkose dengan risiko operasi
Risiko kardiovaskular: Goldman risk class III
Risiko pulmoner: risiko ringan
Risiko metabolik: risiko ringan
Faal hemostatik: stabil

Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Komposmentis kooperatif (GCS 15)
Vital sign
TD : 130/80 mmHg
Nadi : 72 x/i
Nafas : 28x/i
Suhu : 37,10C
Berat badan : 55 kg
Tinggi badan : 160 cm

Airway
- Clear, pasien dapat berbicara dengan lancar, tidak ada suara nafas tambahan,
dan hembusan nafas dapat dirasakan.
B1 (Breath)
- Respiratory Rate (RR) : 28 kali/menit
- Tidak ada suara ronkhi pada kedua basal paru
- Tidak ada retraksi iga
- Tidak ada penggunaan otot-otot bantu pernapasan
B2 (Blood)
- Akral hangat, merah, kering
- Nadi 72 x/ menit, kuat angkat dan pengisian penuh
- CRT <2 detik

36
- Tekanan darah : 130/80 mmHg
- Konjungtiva anemis (-/-)
- Sklera ikterik (-/-)
B3 (Brain)
- Kesadaran komposmentis
- Pupil bulat, isokor, Refleks cahaya (+/+)
- Kekuatan motorik
5 5
5 5
B4 (Bladder)
Pasien terpasang kateter sejak 4 jam sebelum operasi (200 cc  0,9 cc/kgBB/jam)
B5 (Bowel)
Buang air besar tidak ada kelainan. Tidak ada mual dan muntah.
B6 (Bone)
- Fraktur dan trauma (-)
- Muskuloskeletal dalam batas normal

Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-


Paru : Suara napas vesikular, rh-/-, wh -/-
Jantung : Irama teratur, bising -
Abdomen :
Leopold I : Teraba massa, lunak, noduler
Leopold II : Teraba tahanan terbesar di bagian kiri dan bagian kecil-kecil
sebelah kanan
Leopold III : Teraba massa, bulat, keras
Leopold IV : Konvergen
HIS 1-2x/15-20 detik/kuat
DJJ 130-140x/ menit
Genitalia : v/u tenang, perdarahan pervaginam tidak ada
VT: Ø 2-3 cm, ketuban (+), teraba kepala HI-II, ubun-ubun kecil
tidak bisa dinilai.
Ekstremitas : Akral hangat, perfusi baik, udem (+) ekstremitas inferior
Neurologis : Defisit neurologis (-), hemiparise (-)

37
Laboratorium
Darah (07 Desember 2018):
Hb : 13,4 gr/dl Natrium : 135 Mmol/L
Leukosit : 6.270/mm3 Kalium : 4,2 Mmol/L
Trombosit : 156.000/mm3 Klorida : 111 Mmol/L
Hematokrit : 43 % Total protein : 5,5 g/dl
PT : 10 detik Albumin : 3,0 g/dl
APTT : 33,6 detik Globulin : 2,5 g/dl
HbsAg : Non reaktif Bil total : 0,4 mg/dl
GDS : 71 mg/dl Bil direk : 0,2 mg/dl
Ureum : 26 mg/dl Bil indirek : 0,2 mg/dl
Kreatinin : 0,9 mg/dl SGOT : 15 u/l
Kalsium (koreksi) : 8,7 mg/dl SGPT : 8 u/l

Kesimpulan : ASA IV + Emergency


Diagnosis preoperative : G3P2A0H2 Parturien Aterm 38-39 Minggu Kala
1 Fase Laten + Atrial Septal Defect + Hipertensi
Pulmoner + IUGR + Oligohidramnion.
Jenis operasi : Sectio Caesarea Transperitoneal Profunda +
Tubektomi Pomeroy
Rencana teknik anastesi : General Anestesi dengan ETT ukuran 7 dengan
induksi inhalasi Sevoflurance
Persiapan pasien
 Pada pasien telah dijelaskan prosedur pembiusan.
 Pasien puasa 6 jam sebelum operasi.
 Pasien di instruksikan berdoa.
 Pasien dipastikan tidak menggunakan gigi palsu
 Akses intravena satu jalur loading cairan kristaloid (Ringer Laktat) dengan
menggunakan tranfusi set telah terpasang di tangan kiri dan tangan kanan,
menetes lancar.
 Pasien diminta untuk melepaskan perhiasan yang yang ada atau melekat
ditubuh pasien.

38
 Pakaian pasien dilepas dan diganti dengan baju operasi.
 Pasien diposisikan tidur telentang dengan perlindungan mata.
 Di kamar operasi dipasang Lead EKG dan saturasi oksigen. Evaluasi nadi,
EKG lead 2 dan saturasi oksigen.

Durante Operatif
Monitoring
 EKG Lead 2
 SpO2
 Tekanan Darah
 Heart Rate
Penilaian pra-induksi

 Waktu : 18.50
 Kesadaran : CMC
 Nadi : 107x/menit
 RR : 34
 Saturasi O2 : 77%
Persiapan alat
 Mempersiapkan mesin anestesi, monitor, selang penghubung (connector),
face mask, tensimeter, oksimeter, memastikan selang gas O2 dan N2O
terhubung dengan sumber sentral, mengisi vaporizer sevoflurane dan
isoflurane.

39
 Mempersiapkan alat general anestesi yaitu stetoskop, oropharynx tube
(guedel) ukuran 8 cm, ETT ukuran 7, spuit 20 cc, introducer, hipafix
(plester) 2 lembar ukuran 15x1,5 cm dan 2 lembar ukuran 5x3 cm, konektor
dan selang suction.
 Mempersiapkan spuit obat ukuran 3, 5, dan 10 cc.
 Alat infus kontinius.

Obat Anastesi Umum


 Ketamin 10 mg
 Fentanyl 200 mcg
 Roculax 50 mg
 Oksigen dan N2O 2 L/menit
 Sevoflurane 1 Vol. %

Tahapan anastesi
1. Premedikasi
- Dengan akses intravena berikan bolus Fentanyl 200 mcg
2. Oksigenasi
- Alirkan O2 2 L/menit melalui face mask, dan alirkan kearah depan wajah
pasien
3. Induksi
- Inhalasi dengan Sevoflurane
4. Ventilasi
- Kuasai patensi jalan nafas pasien, dengan memposisikan ekstensi
kepala, gunakan oropharynx tube untuk mencegah sumbatan lidah pada
jalan nafas pasien.
- Pasang face mask no. 5, dan berikan aliran O2 2 L/menit ditambah
dengan aliran N2O 2 L/menit dan aliran sevoflurane 1 Vol. %. Pasien
diberikan ventilasi secara manual dengan frekuensi nafas 20x/menit
selama 3 menit.
5. Intubasi
Persiapan

40
- Pastikan alat-alat yang dibutuhkan dan pastikan alat-alat tersebut
berfungsi.
- Pastikan semua berada dalam jangkauan kerja.
- Perhatikan terutama :
a. Pilih ukuran tube yang sesuai dan siapkan satu tube ukuran lebih
kecil dan satu tube ukuran lebih besar
b. Pilih tipe dan ukuran laringoskop yang sesuai, cek lampu
laringoskop apakah dapat menyala dengan baik
c. Lubrikasi trakeal tube dengan water-soluble anestetic jelly
d. Cek balon trakeal tube dengan cara memasukkan udara melalui
katup balon tube dengan syringe
Prosedur
1. Beritahukan pasien (bila sadar) bahwa tindakan akan dilakukan. Beri
penenangan bila pasien takut.
2. Posisikan pasien dalam posisi terlentang, dengan occiput dielevasikan
dan kepala ditengadahkan pada sendi atlanto occipital supaya bilah
laringoskop dan trakea berada dalam satu garis (garis axis mulut, faring,
dan trakea).
3. Oksigenasi pasien selama paling sedikit 3 menit dengan menggunakan
bag-valve-mask oksigen).
4. Hentikan ventilasi ketika akan intubasi
5. Cara memasukkan tube:
a. Pertama buka mulut pasien dengan tangan kanan (misalnya dengan
maneuver
cross-finger).
b. Genggam gagang laringoskop dengan tangan kiri dan masukkan
bilah dari ujung kanan mulut pasien, dorong lidah ke kiri sehingga
pandangan tidak terhalang oleh lidah. Lindungi bibir dari terjepit
gigi dan bilah laringoskop.
c. Secara perlahan gerakkan laringoskop ke garis tengah dan
visualisasikan mulut pasien, uvula, faring dan epiglotis, sementara

41
pindahkan tangan kanan ke belakang kepala atau dahi untuk
menengadahkan kepala.
d. Angkat epiglotis langsung dengan bilah lurus atau tak langsung bila
bilahnya bengkok. Visualisasikan aritenoid dan garis tengah dan
terakhir pita suara.
e. Ekspose laring dengan menarik gagang laringoskop ke depan pada
sudut kanannya. Jangan gunakan gigi atas sebagai tumpuan. Jangan
memutar bilah laringoskop pada pergelangan tangan, karena nanti
pandangan akan terhalang. Bila menggunakan laringoskop yang
bengkok, memasukkan bilah terlalu dalam akan menekan epiglotis
ke bawah, sedangkan bila terlalu depan akan menyebabkan
pandangan terhalang pangkal lidah. Menggunakan bilah lurus,
insersi terlalu dalam ke esofagus akan mengangkat seluruh laring
hilang dari pandangan. Kesalahan ini dapat dihindari dengan melihat
kartilago aritenoid.
f. Bila perlu, minta asisten menekan leher untuk mendorong laring ke
belakang supaya dapat terlihat dengan baik, dan untuk menarik
sudut kanan mulut untuk mendapat tempat untuk memasukkan tube.
g. Masukkan trakeal tube dengan tangan kanan melalui sudut kanan
mulut pasien, sementara melihat melalui laringoskop. Putar tube bila
perlu. Perhatikan ujung tube dan balon melewati pintu masuk laring.
Bila menggunakan stylet, minta asisten untuk menarik stylet
sementara anda memegang tubenya ketika ujungnya melewati
laring. Masukkan lebih dalam sehingga balon terletak tepat di bawah
pita suara. Penempatan yang baik mayoritas akan menempatkan
panjang tube 21 ± 2 cm pada gigi atas.
h. Minta asisten memegang tube pada sudut kanan mulut pasien. Bila
rahang relaks, pindahkan laringoskop dari mulut pasien, bila tidak,
biarkan dulu untuk mencegah gigitan pada pasien.
6. Kembangkan balon sementara untuk menutup selama ventilasi tekanan
positif dan mencegah aspirasi.

42
7. Segera ventilasi dan oksigenasi dengan menggunakan unit bag-valve
oksigen atau sirkuit anestesi dan pindahkan ke ventilator mekanik bila
diperlukan, tetapi hanya bila setelah posisi tube dan kemampuan untuk
melakukan ventilasi telah diyakinkan dengan pengembangan paru
manual. Auskultasi dada.
8. Minta asisten untuk mengambil alih ventilasi dan oksigenasi untuk
sementara.
9. Pindahkan bilah laringoskop dari mulut pasien dan insersikan tube
orofaringeal atau pencegah gigitan.
10. Posisikan tube dengan benar untuk mencegah posisi tube yang terlalu
dalam sehingga masuk ke dalam bronkus, lihat pengembangan paru
dengan ventilasi tekanan positif. Auskultasi kedua paru untuk
menyingkirkan intubasi bronkus (biasanya sebelah kanan) dan untuk
menentukan perlu tidaknya dilakukan suctioning.
11. Rekatkan selotip pada tube untuk menahan posisi tube yang benar ke
wajah.
12. Cek ulang balon tube, sambil melakukan ventilasi tekanan positif secara
kontinyu, kempiskan dan kembangkan lagi balon, tetapi hanya sampai
pada tidak terdengar lagi kebocoran udara.
13. Suction trakeobronkial bila perlu.
14. Jaga hubungan tube ke alat ventilasi.
Evaluasi
1. Pertahankan endotrakeal tube selama yang diperlukan, berikan ventilasi
oksigenasi yang cukup, periksa tube dan hubungannya secara berkala.
2. Monitoring pasien secara rutin.
3. Dokumentasikan hasil tindakan dan pemeriksaan pada rekam medis.

43
Maintenance
- Inhalasi O2 2 L/menit, N2O 2 L/menit, dan Sevoflurance 1 vol %.

Keadaan selama pembedahan


 Lama operasi : 60 menit
 Lama anestesi : 70 menit
 Jenis anastesi : General anastesi
 Posisi : Telentang
 Monitoring
Pukul Tekanan Nadi SpO2
darah
19.00 112/72 114 90
19.15 87/57 94 94
19.30 93/59 114 98
19.45 94/61 112 98
20.00 96/67 110 98

 Puasa : 6 jam
 Blood loss : 200 cc
 Jumlah cairan : RL 1000 cc
 Maintanance : (4x10) + (2x10) + (1x35) = 95 cc/jam
 Stress operasi : 8 cc/kgBB/jam = 8x55 = 440 cc
 Pengganti puasa : 6x95 = 570 cc
 EBV : 70xBB = 70x55 = 3850 cc
 ABV : EBV x 20% = 770 cc
 Pemberian cairan :
Jam I : maintanance + stres operasi + 50% pengganti puasa
95 + 440 + (50%x570) = 95 + 440 + 285 = 820 cc  1,5 kolf

Monitoring Post Operatif: instruksi dokter


 Bila kesakitan : Tramadol 100 mg
 Infus : RL 500 cc

44
Follow up
Selasa/ 11 Desember 2018 (ICU-Hari rawatan 1)

Tekanan darah : 122/77 mmHg


Nadi : 70x/menit
SpO2 : 91x/menit

Rabu/ 12 Desember 2018 (ICU-Hari rawatan 2)

Tekanan darah : 122/78 mmHg


Nadi : 84x/menit
SpO2 : 85x/menit

45
BAB 4
DISKUSI

Telah dilaporkan seorang pasien perempuan berusia 35 tahun dengan


diagnosis G3P2A0H2 Parturien Aterm 38-39 Minggu Kala 1 Fase Laten + Atrial
Septal Defect + Hipertensi Pulmoner + IUGR + Oligohidramnion. Pada pasien telah
dilakukan sectio caesarea dengan general anestesi. Diagnosis ditegakan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Anamnesis pasien didapatkan keluhan utama Nyeri pinggang menjalar ke
ari-ari sejak 2 jam sebelum masuk rumah sakit. Penyulit anestesi pada pasien ini
adalah atrial septal defect dan hipertensi pulmoner. Pasien rutin kontrol rawat jalan
ke Poli Obstetri dan Jantung sejak 2 bulan terakhir, mendapat Beraprost 3 x 20 mcg.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak saskit sedang,
kesadaran composmentis cooperatif, tekanan darah 130/80 mmHg, heart rate 72
x/menit, persafasan 28 x/menit.
Pemeriksaan laboratorium darah didapatkan hasil Hb 13,4 gr/dl, leukosit
6.270/mm3, trombosit 156.000/mm3, hematokrit 43%, PT 10 detik, APTT 33,6
detik, HbsAg non reaktif, GDS 71 mg/dl, ureum 26 mg/dl, kreatinin 0,9 mg/dl,
kalsium (koreksi) 8,7 mg/dl, natrium 135 Mmol/L, kalium 4,2 Mmol/L, klorida 111
Mmol/L, total protein 5,5 g/dl, albumin 3,0 g/dl, globulin 2,5 g/dl, bilirubin total
0,4 mg/dl, bilirubin direk 0,2 mg/dl, bilirubin indirek 0,2 mg/dl, SGOT 15 u/l,
SGPT 8 u/l. Berdasarkan pemeriksaan labor darah didapatkan kesan natrium, total
protein dan albumin rendah. Sehingga dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang pasien digolongkan ke dalam ASA IV dan Emergensi. ASA
(The American Society of Anesthesologist) merupakan kategorisasi sederhana
penilaian kebugaran fisik dalam memprediksi risiko anestesi, karena dampak
samping anestesia tidak dapat dipisahkan dari dampak samping pembedahan.21, 22
ASA IV berarti pasien memiliki penyakit sistemik berat yang membahayakan
hidupnya. Emergensi merujuk pada operasi darurat yang didefinisikan sebagai
keterlambatan dalam perawatan pasien akan menyebabkan peningkatan yang
signifikan dalam ancaman terhadap kehidupan atau suatu bagian dari tubuh.23

46
Jenis anestesi yang dipilih untuk pasien ini adalah general anestesi. Sebelum
dilakukan anestesi pasien diberikan premedikasi. Premedikasi adalah pemberian
obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi yang bertujuan untuk meredakan kecemasan
dan ketakutan, memperlancar induksi anestesi, mengurangi sekresi kelenjar ludah
dan bronkus, meminimalkan jumlah obat anestetik, mengurangi mual-muntah pasca
bedah, menciptakan amnesia, mengurangi isi cairan lambung serta mengurangi
refleks yang membahayakan.22 Obat-obat yang biasa digunakan adalah analgetik,
sedatif dan antiemetik. Pada pasien ini diberikan fentanyl 200 mcg secara intravena.
Fentanyl diberikan dengan dosis 2-50 mcg/kg.19 Jumlah obat yang diberikan pada
pasien ini sesuai dengan dosis pada literatur.
Tindakan selanjutya adalah alirkan O2 2 L/menit melalui face mask dan
induksi inhalasi dengan sevoflurane 1 Vol% dan induksi intravena dengan ketamin
10 mg. Induksi yaitu tindakan membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar,
sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Setelah pasien
tidur akibat induksi anestesi langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesia
sampai tindakan pembedahan selesai.22 Berdasarkan literatur obat yang biasa
digunakan untuk induksi anestesi pada anestesi umum adalah ketamin 1-2
mg/kgbb.18
Selama operasi pasien bernapas dengan ventilator dengan tidal volume 400
ml, frekuensi napas 14x/menit, tanpa PEEP (Positive End-Expiratory Pressure/
tekanan positif yang akan tetap di jalan napas pada akhir siklus pernapasan yang
lebih besar dari tekanan atmosfer pada pasien dengan ventilasi mekanis) dengan O2
2 liter/menit dan terpasang infus ringer laktat.
Kemudian obat analgetik yang diberikan post operatif adalah tramadol 100
mg dan penanganan mual-muntah ondansetron 4 mg. Tramadol adalah analog
kodein fenilpiperidin yang merupakan agonis lemah pada semua reseptor opioid
dengan preferensi 20 kali lipat untuk reseptor MOP (μ opioid peptide). Obat
menghambat reuptake neuron dari norepinefrin yang berpotensi melepaskan
serotonin dan menyebabkan penurunan nosisepsi. Dosis oral dan parenteral 50-100
mg setiap 4 jam.24
Mual dan muntah sering terjadi setelah tindakan anestesi terutama pada
penggunaan opioid, bedah intra-abdomen, hipotensi. Obat mual-muntah yang

47
sering digunakan salah satunya adalah ondansetron dengan dosis 0,05-0,1 mg/kgBB
intravena.22 Dosis yang diberikan pada pasien ini berada dalam rentang dosis obat
berdasarkan berat badan pasien.

48
DAFTAR PUSTAKA

1. Easterling TR, Stout K. Heart disease. In: Obstetrics-normal and problem


pregnancies. 5 th ed. Gabbe SG, Niebyl JR, Simpson JL, eds. London:
Churchill Livingstone Inc; 2002. p. 913-34.
2. Tillery KA, Clarck SL. Cardiac disease in pregnancy. In : Clinical obstetrics
the fetus & mother. 3 rd ed. Reece A, Hobbins JC, eds. New York: Blackwell
Publishing; 2007. p. 700-14
3. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Gilstrap LC, Wenstorm
KD, eds. Cardiovascular diseases. In: Williams obstetrics. 22 nd ed. New York:
McGraw Hill; 2007. p. 1181-203.
4. Swiet MD, ed. Heart disease in pregnancy. In: Medical disorders in obstetrics
practice. 4 th ed. London: Blackwell Publishing; 2002. p. 125-58
5. Zagrosek VR, et al. ESC Guidelines on the management of cardiovascular
disease in pregnancy. In : European heart journal (2011). Berlin: European
Society of Cardiology; 2011. p. 3150-91
6. Yáñez-Gutiérrez L, Cerrud-Sánchez CE, López-Gallegos D, Márquez-
González H, García-Pacheco MB, Jiménez-Santos M, et al. Pregnancy in
women with congenital heart disease. Rev Mex Cardiol. 2015;26(4):180–6.
7. Canobbio MM, Warnes CA, Aboulhosn J, Connolly HM, Khanna A, Koos BJ,
et al. Management of Pregnancy in Patients with Complex Congenital Heart
Disease: A Scientific Statement for Healthcare Professionals from the
American Heart Association. Vol. 135, Circulation. 2017. 50-87 p.
8. DeCherney AH, Nathan L, Goodwin TM, Laufer N, eds. Cardiac disorder in
pregnancy. In : Current diagnosis & treatment obstetrics & gynecology. 10 th
ed. New York: The McGraw Hill; 2006. p. 22.1-9
9. Sulin, Djusar. Perubahan anatomi dan fisiologi pada perempuan hamil. In :
Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. 4 th ed. Saifuddin AB, Rachimhadhi
T, Wiknjosastro G, eds. Jakarta : PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo;
2008. p. 182-3
10. Bender JR, Russel KS, Rosenfeld LE, Chaudry S, eds. Heart disease in
pregnancy. In : Oxford American Handbook of Cardiology. New York : Oxford
University Press; 2011. p. 405-10
11. Hartanuh, Edi. Penyakit jantung pada kehamilan. In : Buku Ajar Kardiologi
FKUI. Rilantono LI, Baraas F, Karo SK, Roebiono PS, eds. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 2003. p. 289-99
12. Anwar, TB. Wanita kehamilan dan penyakit jantung. Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatra Utara: USU repository; 2004. p. 1-33
13. Mushlin, PS et Davidson KM. Cardiovascular disease in pregnancy. In :
Anesthetic and obstetric management of high risk pregnancy. 3 rd ed. Datta S,
ed. New York : Springer; 2004. p. 161
14. Lang, RM. Pharmacologic Management of Heart Failure in Pregnancy.
[online]. [cited 2012 December 09]; Available from: URL:
http://cmbi.bjmu.edu.cn/uptodate/congestive%20heart%20failure/Treatment/
Pharmacologic%20management%20of%20heart%20failure%20in%20pregna
ncy.htm.

49
15. Zagrosek VR, Bauersachs J, Blomstrom C, et al. ESC Guidelines for the
Management of Cardiovascular Disease during Pregnancy. European Heart
Journal; 2018. p. 3165-3241.
16. Frölich MA. Obstetrics anesthesia. In: Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick
JD. Morgan & Mikhail’s Clinical Anesthesiology, 6th ed. United States,
McGraw-Hill, 2018; 41: 1454-1516.
17. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Inhalation Anesthetics. 6th ed.
United States, McGraw-Hill, 2018; 8: 268-303.
18. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Intravenous Anesthetics. 6th ed.
United States, McGraw-Hill, 2018; 9: 304-328.
19. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Analgesic Agent. 6th ed. United
States, McGraw-Hill, 2018; 10: 329-47.
20. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Neuromuscular Blocking Agent. 6th
ed. United States, McGraw-Hill, 2018; 11: 348-86.
21. Doyle DJ, Garmon EH. American Society of Anesthesiologists Classification
(ASA Class) [Updated 2018 Oct 27]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island
(FL): StatPearls Publishing; 2018. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441940/.
22. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. 2nd ed.
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universeitas
Indonesia. Jakarta; 2001.
23. American Society of Anesthesiologist. ASA Physical Status Classification
System. 2014. Available from: https://www.asahq.org/resources/clinical-
information/asa-physical-status-classification-system.
24. M.Trivedi, S.Shaikh, C.Gwinnut. Pharmacology of Opioids. Update in
Anesthesia. 2008 : 24 (2). page 118-124

50

Anda mungkin juga menyukai