Anda di halaman 1dari 27

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH : KOLITIS ULSERATIVE

ASUHAN KEPERAWATAN GANGGUAN PADA PENCERNAAN


“KOLITIS ULSERATIF”
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah I (KMB
I)
DosenPengampu : Akhmad Rizani

Oleh:
Kelompok VIII
Nia Ulfah
Rahmat kurniawan
Siti rohmi datul nuri
Zainal abidin

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN BANJARMASIN
JURUSAN KEPERAWATAN
BANJARBARU

2013

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kolitis berasal dari kata kolon (usus besar) dan itis (peradangan). Kolitis ulserativa merupakan
penyakit radang non spesifik kolon yang umumnya berlangsung lama disertai masa remisi dan
eksaserbasi yang berganti-ganti. Sakit abdomen, diare dan perdarahan rektum merupakan tanda dan
gejala yang penting. Frekuensi penyakit paling banyak antara usia 20 -40 tahun, dan menyerang ke dua
jenis kelamin sama banyak. Insiden kolitis ulserativa adalah sekitar 1 per 10.000 orang dewasa kulit
putih per tahun.
Tugas utama kolon ialah untuk menyimpan sisa makanan yang nantinya harus dikeluarkan,
absorpsi air, elektrolit dan asam empedu. Absorpsi terhadap air dan elektrolit terutama dilakukan
di kolon sebelah kanan, yaitu di coecum dan kolon asenden, dan sebagian kecil dibagikan kolon
lainnya. Begitu juga beberapa macam obat-obat yang diberikan per rektal dapat dilakukan
absorpsi, umumnya dalam bentuk suppositoria. Kolon yang normal selama 24 jam dapat
melakukan absorpsi 2,5 liter air, 403 mEq Na dan 462 mEq Cl. Sebaliknya kolon mengeluarkan
sekresi 45 mEq K dan 259 mEq bikarbonat.
Peradangan kolon akut dapat disebabkan oleh sejumlah agen infeksi yaitu virus, bakteri, atau
parasit. Manisfestasi klinik infeksi ini adalah demam, sakit kejang abdomen bagian bawah, dan
diare yang dapat berdarah. Pada kasus yang berat darah secara kasar dapat ditemukan dalam feses,
dan gambaran klinik dan sigmoidoskopi dapat menyerupai kolitis ulserativa akut. Sel-sel radang
akut terdapat pada infeksi Shigella atau Salmonella, kolitis amoeba akut, atau kolitis ulserativa
idiopatik; sel-sel ini tidak terdapat pada gastroenteritis virus atau diare yang disebabkan oleh
enterotoksin.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari makalah ini adalah bagaimana konsep dasar penyakit serta asuhan

keperawatan colitis ulseratif?

C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum
Tujuan umum dari penulisan makalah ini adalah menjelaskan dan memahami tentang konsep dasar
penyakit serta asuhan keperawatan colitis ulseratif.
2. Tujuan khusus
a. Memahami definisi kolitis ulseratif
b. Memahami penyebab kolitis ulseratif
c. Memahami patofisiologis kolitis ulseratif
d. Memahami pemeriksaan diagnostik kolitis ulseratif
e. Memahami tanda dan gejala kolitis ulseratif
f. Memahami penatalaksanaan untuk kolitis ulseratif
g. Memahami konsep dasar asuhan keperawatan yang meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan
yang biasanya timbul, intervensi atau perencanaan keperawatan untuk kolitis ulseratif.

D. Manfaat Penelitian
Makalah ini diharapkan dapat menambah khasanah dalam perkembangan ilmu pengetahuan
dan memberikan informasi tentang colitis ulseratif.

BAB II
ISI

A. Konsep Dasar Penyakit


1. Definisi Kolitis Ulseratif
Kolitis ulseratif adalah suatu penyakit ulseroinflamatorik yang mengenai kolon, tetapi
terbatas di mukosa dan submukosa, kecuali pada kasus yang sangat parah. Kolitis ulseratif
berawal di rektum dan meluas perkontinuitatum ke proksimal, kadang-kadang mengenai seluruh
kolon (Robbins, 644,2004).
Kolitis ulseratif adalah kondisi kronis yang tidak diketahui penyebabnya biasanya mulai pada
rektum dan bagian distal kolon dan mungkin menyebar keatas dan melibatkan sigmoid dan kolon
desenden atau seluruh kolon. Ini biasanya hilang timbul ( akut eksaserbasi dengan remisi
panjang), tetapi beberapa individu (30%-40%) mengalami gejala terus menerus (Doenges, 471,
2000).

2. Etiologi Kolitis Ulseratif


Penyebab dari kolitis ulseratif sangat beragam, meliputi fenomena autoimun, faktor genetik
perokok pasif, diet, pascapendektomi, dan infeksi.
Pada fenomena autoinum, serum, dan mukosa auto-antibodi akan melawan sel-sel epitel usus
yang mungkin terlibat. Pada studi individu dengan kolitis elseratif sering ditemkan memiliki
antibodi p-antineutrophil cytoplasmic (Fiocchi, 1998).
Pada fenomena yang diperantarai respons imun, terdapat kelainan humoral dan imunisasi
yang diperantarai sel dan reaktivitas umum terhadap antigen bakteri usus. Hilangnya toleransi
terhadap flora usus normal diyakini merupakan peristiwa utama dalam pathogenesis penyakit
inflamasi usus (Khan, 2009).
Faktor kerentanan genetik (kromosom 12 dan 16) adalah factor yang dikaitkan dengan kolitis
ulseratif. Sejarah keluarga yang positif (diamati pada 1 dan 6 keluarga) berhubungan dengan
resiko lebih tinggi untuk terjadinya penyakit (Salby, 1998). Perokok pasif dikaitkan dengan
kolitis ulseratif sedangkan perokok justru lebih rendah untuk terjadinya kolitis ulseratif. Kondisi
ini merupakan fenomena terbalik dibandingkan dengan enteritis regional (Chron’s disease)
(Thoomas, 2000).
Faktor konsumsi makanan, khususnya yang terbuat dari susu dapat meningkatkan respon
penyakit (Jayanthi, 1991). Pascaapendektomi mempunyai asosiasi negatif dengan kolitis ulseratif
(Le, 2008). Infeksi tertentu telah terlibat dalam peyakit inflamasi usus, misalnya campak, infeksi
mikrobakteri atipikal (Tremaini, 2000).

3. Patofisiologi Kolitis Ulseratif


Kolitis ulseratif hanya melibatkan mukosa; kondisi ini ditandai dengan pembentukan abses
dan deplesi dari sel-sel Goblet. Dalam kasus yang berat, submukosa mungkin terlibat; dalam
beberapa kasus, makin dalam lapisan otot dinding kolon juga terpengaruh.
Kolitis akut berat dapat mengakibatkan kolitis fulminan atau megakolon toksik, yang
ditandai dengan penipisan dinding tipis, pembesaran, serta dilatasi usur besar yang
memungkinkan terjadinya perforasi. Penyakit kronis dikaitkan dengan pembentukan pseudopolip
pada sekitar 15-20% dari kasus. Pada kondisi kronis dan berat juga dihubungkan dengan risiko
peningkatan prekanker kolon, yaitu berupa karsinoma ini situ atau dispalsia. Secara antomis
sebagai besar kasus melibatkan rectum; beberapa pasien juga mengalami mengembangkan ileitis
terminal disebabkan oleh katup oleocecal yang tidak kompeten. Dalam kasus ini, sekitar 30 cm
dari ileum terminal biasanya terpengaruh.
Selanjutnya terdapat beberapa perubahan imunologis akan terlibat, yaitu meliputi hal-hal
sebagai berikut.
1. Akumulasi sel T di dalam lamina propia dari segmen kolon yang mengalami
peradangan. Pada pasien dengan kolitis ulseratif, ini adalah sel T sitotoksik ke epitel kolon.
Perubahan ini disertai dengan peningkatan populasi sel B dan sel plasma, dengan peningkatan
produksi immunoglobulin G (IgG) dan immunoglobulin E (IgE).
2. Biopsi sampel kolon dari pasien dengan colitis ulseratif dapat menunjukkan
peningkatan secara signifikan tingkat platelet-activating factor (PAF). Pelepasan PAF
dirangsang oleh leukotrienes, endotoksin atau faktor lain yang mungkin bertanggung jawab atas
peradangan mukosa, namun proses ini tidak jelas.
3. Antibody antikolonik telah terdeteksi pada pasien dengan ulseratif colitis.
Respons awal kolitis ulseratif adalah edema yang berlanjut pada terbentuknya jaringan parut
dan pembentukan ulkus disertai adanya perdarahan. Lesi berlanjut, yang terjadi secara bergiliran,
satu lesi diikuti oleh lesi yang lainnya. Proses penyakit mulai pada rektum dan akhirnya dapat
mengenai seluruh kolon. Pada kondisi ini, penipisan dinding usus atau ketebalan normal, tetapi
dengan adanya respons inflamasi local yaitu edema, serta akumulasi lemak dan hipertrofi dari
lapisan otot dapat memberikan kesan dinding usus menebal sehingga memberikan manifestasi
penyempitan lumen usus dan terjadi pemendakan dari usus.
Obstruksiusus
megakolon toksik
refraktor terhadap
terapi farmatologi
pendarahanmasif
Gambar 7.30
Patofisiologi kolitis ulseratif ke masalah keperawatan.
Gangguan gastrointestinal aplikasi askep medical bedah. Jakarta : penerbit salemba medika
Perubahan peradangan secara mikroskopis jaringan yang mengalami ulkus segera ditutupi
oleh jaringan granulasi yang selanjutnya akan merusak mukosa dan akan terbentuk jaringan
polypoidal atau yang dikenal sebagai polip atau peradangan pseudopolip.

4. Pemeriksaan Diagnostik
Pengkajian pemeriksaan diagnostik terdiri atas pemeriksaan laboratorium, radiografik, dan
endoskopik.

1. Pemeriksaan laboratorium (Wu, 2009).


Temuan pada pemeriksaan laboratorium dalam evaluasi kolitis ulseratif mungkin
endoskopik.
a. Anemia (yaitu hemoglobin <14 g/dl pada pria dan <12 g/dl pada wanita).
b. Peningkatan tingkat sedimentasi (variable referensi rentang, biasanya 0-33 mm/jam) dan
peningkatan C-reactive protein (yaitu >100 mg/L). kedua temuan ini berkorelasi dengan aktivitas
penyakit.
c. Trombositosis (yaitu platelet >350.000 / L).

d. Hipoalbuminemia (yaitu albumin <3,5 g/dl).


e. Hipokalemia (yaitu kalium <3,5 mEq/L).
f. Hipomagnesemia (yaitu magnesium <1,5 mg/dL).
g. Peningkatan alkalin fosfatase : lebih dari 125 U/L menunjukkan kolangitis sclerosing
primer (biasanya >3 kali batas atas dari kisaran referensi).
h. Pada diagnosis kolitis ulseratif kronis, pemeriksaan fases yang cermat dilakukan untuk
membedakannya dengan disentri yang disebabkan oleh organism usus umum, khususnya
Entamoeba histolytica, Fases terhadap darah.

2. Pemeriksaan radiografik
a. Foto polos abdomen
Sinar rontgen mungkin menunjukkan dilatasi kolon, dalam kasus yang parah bisa
didapatkan megakolon toksik. Selain itu, bukti perforasi, obstruksi, atau ileusjuga dapat diamati
(Khan, 2009).
b. Studi kontras barium
Barium enema dapat dilakukan dengan aman dalam kasus ringan. Dengan barium enema
dapat dilihat adanya megakolon toksik, kondisi ulkus, dan penyempitan kolon. Selain itu, enema
barium akan menunjukkan iregularitas mukosal, pemendekan kolon, dan dilatasi lengkap usus
(Carucci, 2002).
c. CT Scan
Secara umum CT scan menunjukkan peran yang kecil dalam diagnosis kolitis ulseratif. CT
scan dapat menunjukkan penebalan dinding kolon dan dilatasi bilier primer kolangitis sklerosis
(Carucci, 2002).

3. Prosedur endoskopi
Endoskopi dapat menunjukkan mukosa yang rapuh, mukosa terinflamasi dengan eksudat
dan ulserasi. Temuan di sigmoidoskopi fleksibel dapat memberikan diagnosis kolitis. Tujuan lain
dari pemeriksaan ini adalah untuk mendokumentasi kan sejauh mana progresivitas penyakit,
untuk memantau aktivitas penyakit, dan sebagai surveilans untuk displasia atau kanker. Namun,
berhati-hati dalam upaya kolonoskopi dengan biopsi pada pasien dengan penyakit parah karena
risiko yang mungkin perforasi atau lainnya komplikasi (Rajwal, 2004).

5. Manifestasi Klinik
Gejala yang pertama kali diajukan yaitu keluarnya keluarnya darah segar per rektum
terutama setelah defekasi dan atau adanya diare. Pada akhirnya terjadi diare bercampur darah.
Pada sebagian penderita dapat timbul secara akut dari permulaan dengan disertai diare berdarah
dan penderita terlihat sakit berat untuk beberapa hari atau minggu. Gejala-gejala akut ini timbul
bilamana terjadi perdarahan dari kolon yang difus. Tak jarang penyakit ini timbul sejak penderita
sedang hamil dan menyebabkan keadaan jadi berat. Bilamana penyakit ini hanya dibagian kolon
sigmoid (prokto sigmoiditis), maka terjadi perdarahan kronis sehingga timbul anemi.
Tapi bila terjadi perluasan dari penyakit dan merupakan stadium akut maka terjadi panas,
takhikardi, Hb menurun (anemia normositik), berat badan menurun, badan merasa lemah dan
lesu, otot-otot lemah. Serangan yang berat dapat disertai dengan diare yang dapat lebih dari 20
kali sehari. Tinja cair dan bercampur dengan darah, mukopurulen. Mungkin disertai dengan
nausea dan vomitus. Disamping itu akan terjadi gangguan elektrolit.
Ada rasa nyeri di perut yang kadang-kadang ada kolik. Pada saat diare juga akan kehilangan
protein, dapat menyebabkan hipoproteinemia dan terjadi edema. Pada pemeriksaan fisik pada
penderita yang berat terlihat lemah, anemia, tanda-tanda dehidrasi positif. Dinding abdomen
yang lembek, nyeri tekan. Pada penderita yang mengalami dilatasi dari kolon, maka terlihat
abdomen yang mengembung, meteoristik, timpanitik.

6. Penatalaksanaan
1. Terapi farmakologi
Tujuan terapi farmakologi adalah untuk mengurangi morbiditas dan untuk mencegah
komplikasi, dengan pertimbangan terapi berikut ini.
a. Tumor necrosis factor (TNF) inhibitors.
Agen ini mencegah sitokin endogen dari mengikat ke reseptor permukaan sel dan
mengarahkan aktivitas biologis.

b. Immunomodulators
Agen ini mengatur faktor-faktor kunci dari sistem kekebalan tubuh.
c. Antibiotik
Antibiotik belum terbukti memberikan keuntungan yang konsisten dari beberapa uji coba
terkontrol untuk pengobatan kolitis ulseratif aktif. Akan tetapi, biasanya diberikan pada dasar
empiris pada pasien dengan kolitis yang parah dan dapat membantu menghindari suatu infeksi
yang mengancam jiwa.
d. Kortikosteroid
Digunakan dalam moderat hingga berat kasus aktif untuk induksi remisi. Agen ini tidak
memiliki manfaat dalam mencegah remisi; penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan efek
samping.

2. Terapi bedah
Bedah memainkan peran integral dalam pengobatan kolitis ulseratif untuk mengontrol dan
mengobati gejala komplikasi. Pembedahan dilakukan sesuai dengan kondisi klinik individu.
Beberapa jenis pembedahan pada kolitis ulseratif, meliputi : Subtotal Colectomy with Ileostomy
and Hartmann’s Pouch, Total Proctocolectomy with Ileostomy, Total Abdominal Colectomy with
Ileal Rectal Anastomosis, Total Proctocolectomy with Continent (Kock) Pouch, Total
Proctocolectomy with Ileal Pouch Anal Anastomosis, Anal Transition Zone Preservation, dan
Doverting Ileostomy.
Pertimbangan untuk total kolektomi adalah sebagai berikut (Becker, 1999).
a. Refraktori penyakit dengan kegagalan terapi medis.
b. Terdapat bukti karsinoma atau dysplasia.
c. Pendarahan parah.
d. Kolitis fulminan tidak responsif terhadap pengobatan.
e. Megakolon toksik.
f. Perforasi.
g. Obstruksi dan striktur dengan kecurigaan untuk kanker.
h. Sistemik komplikasi dari obat, khususnya steroid.
i. Gagal tumbuh pada anak-anak.

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Kolitis Ulseratif


1. Pengkajian
Pengakajian kolitis ulseratif terdiri atas pengkajian anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
evaluasi diagnostik. Pada anamnesis keluhan utama yang lazim didapatkan adalah nyeri
abdomen, diare, tenesmus intermiten, dan perdarahan rektal.
Keluhan nyeri biasanya bersifat kronis, yaitu berupa nyeri kram pada kuadran
periumbilikal kiri bawah. Kondisi rasa sakit bisa mendahului diare dan mungkin sebagian pasien
melaporkan perasaan nyaman setelah BAB. Diare biasanya disertai darah. Pasien melaporkan
mengeluarkan fases cair 10-20 kali sehari. Pasien juga mengeluh saat BAB seperti ada yang
menghalangi.
Pada pengkajian riwayat penyakit sekarang, kondisi ringan karena karena kolitis ulseratif
adalah penyakit mukosa yang terbatas pada kolon, gejala yang paling umum adalah pendarahan
anus, diare, dan sakit perut. Pada kondisi kolitis ulseratif berat terjadi pada sekitar 100% dari
pasien, didapat keluhan lainnya yang menyertai, seperti peningkatan suhu tubuh, mual, muntah,
anoreksia, perasaan lemah, dan penurunan nafsu makan. Pasien dengan kolitis yang paras dapat
mengalami komplikasi yang mengancam nyawa, termasuk pendarahan parah, mengkolon toksik,
atau perforasi usus.
Riwayat penyakit dahulu penting digali untuk menentukan penyakit dasar yang
menyebabkan kondisi enteritis regional. Pengkajian predisposisi seperti genetik, lingkungan,
infeksi, imunitas, makanan, dan merokok perlu didokumentasikan. Anamnesis penyakit sistemik,
seperti DM, hipertensi, dan tuberculosis dipertimbangkan sebagai sarana pengkajian preoperatif.
Pengkajian psikososial akan didapatkan peningkatan kecemasan karena nyeri abdomen dan
rencana pembedahan, serta perlunya pemenuhan informasi prabedah.
Temuan pada pemeriksaan fisik bervariasi tergantung pada sejauh mana, durasi, dan
tingkat keparahan penyakit. Pemeriksaan fisik yang didapatkan sesuai dengan menifestasi klinik
yang muncul. Pada kolitis ulseratif berat survey umum pasien terlihat lemah dan kesakitan. TTV
mengalami perubahan sekunder dari nyeri dan diare. Suhu badan pasien akan naik 38,5ºC dan

terjadi takikardia. Pengkajian berat badan yang disesuaikan dengan tinggi badan dapat
menentukan status nutrisi.
Pada pemeriksaan fisik focus akan didapatkan :
B1 : takipnea dapat hadir karena sembelit atau sebagai mekanisme kompensasi asidosis dalam
kasus dehidrasi parah.
B2 : takikardia dapat mewakili anemia atau hipovolemia. Turgor kulit >3 detik menandakan
gejala dehidrasi.
B3 : perubahan tingkat kesadaran berhubungan dengan penurunan perfusi ke otak. Pasien
dengan episkleritis dapat hadir dengan erythematous yang menyakitkan mata.
B4 : oliguria dan anuria pada dehidrasi berat.
B5 : Inpeksi : kram abdomen didapatkan. Perut didapatkan kembung. Pada kondisi kronis, status nutrisi bisa
didapatkan tanda-tanda kekurangan gizi, seperti atrofi otot dan pasien terlihat kronis.
Palpasi : nyeri tekan abdomen (tenderness), menunjukkan penyakit parah dan kemungkinan perforasi.
Nyeri lepas dapat terjadi pada kuadran kanan bawah. Sebuah massa dapat teraba menunjukkan
obstruksi atau megakolon. Pembesaran limpa mungkin menunjukkan hipertensi portal dari
hepatitis autoimun terkait atau kolongitis sklerosis.
Perkusi : nyeri ketuk dna timpani akibat adanya flatulen.
Auskultasi : bising usus bisa normal, hiperaktif atau hipoaktif. Nada gemerincing bernada tinggi dapat
ditmukan dalam kasus-kasus obstruksi.
B6 : kelemahan fisik umum sekunder dari keletihan dan pemakaian energy setelah nyeri dan
diare. Nyeri sendi (arthralgia) adalah gejala umum yang ditemukan pada penyakit inflamasi
usus. Sendi besa, seperti lutut, pergelangan kaki, pergelangan tangan, dan siku, yang paling
sering terlibat, tetapi setiap sendi dapat terlibat. Pada integument, kulit pucat mungkin
mengungkapkan anemia, penurunan tugor kulit dalam kasus dehidrasi, eritema nodosum dapat
terlihat pada permukaan ekstensor.
a. Aktivitas/istirahat
Gejala: kelemahan, kelelahan, malaise, cepat lelah. Insomnia, tidak tidur semalaman karena
diare. Merasa gelisah dan ansietas. Pembatasan aktivitas/kerja sehubungan dengan efek proses
penyakit.
b. Sirkulasi
Tanda: takikardia (respons terhadap demam, dehidrasi, proses inflamasi, dan nyeri)
Kemerahan, area ekimosis (kekurangan vitamin K)
TD: Hipotensi, termasuk postural.
Kulit/membran mukosa: turgor buruk, kering, lidah pecah-pecah (dehidrasi/malnutrisi)
c. Integritas ego
Gejala: ansietas, ketakutan, emosi kesal, mis. Perasaan tak berdaya/tak ada harapan.
Factor stress akut/kronis, missal hubungan dengan keluarga/pekerjaan,
Pengobatan yang mahal, faktor budaya peningkatan prevalensi pada populasi yahudi
Tanda ; Menolak, perhatian menyempit, depresi
d. Eliminasi
Gejala : Tekstur feses bervariasi dari bentuk lunak sampai bau atau ber air, episode diare
berdarah tak dapat diperkirakan, hilang timbul, sering, tak dapat di control ( sebanyak 20-30 kali
defekasi/hari): perasaan dorongan/kram (tenesmus): defekasi berdarah/pus/mukosa dengan atau
tanpa keluar feses
Tanda : menurunnya bising usus, tak ada peristaltic atau adanya peristaltic yang dapat di lihat.
Hemoroid, fisura anal (25%): fistula perianal ( lebih sering pada crohn ). Oliguria
e. Makanan/ cairan
Gejala ; anoreksia, mual/muntah, penurunan berat badan, tidak toleran terhadap diet/sensitive
missal buah segar sayur, produk susu, makanan berlemak.
Tanda ; penuruna lemak subkutan/ massa otot. Membrane mokusa pucat; luka, inflamasi rongga
mulut.
f. Hygiene
Tanda ; ketidak mampuan mempertahanan perawatan diri, stomatitis menunjukkan kekurangan
vitamin. Bau badan
g. Nyeri/ kenyamanan
Gejala; nyeri/nyeri tean pada kuadran kiri bawah ( mungkin hilang dengan defekasi), titik nyeri
berpindah, nyeri tekan (artritis), nyeri mata, fotopobia (iritis)
Tanda : nyeri tekan abdomen/distensi
h. Keamanan
Gejala ; riwayat lupus eritematosus, anemia hemolitik, vaskulitis. Arthritis ( memperburuk gejala
dengen eksaserbasi penyakit usus ).
Peningkatan suhu 39,6-40 (eksaserbasi akut). Penglihatan kabur.
Alergi terhadap makanan/produk susu ( mengeluarkan histamine
kedalam usus dan mempunyai efek inflamasi )
tanda: lesi kulit mungkin ada missal eritema nodusum ( meningkat, nyeri tekan, kemerahan, dan
bengkak) pada tangan , muka ; pioderma gangrenosa ( lesi tekan purulen/ lepuh dengan batas ke
unguan) pada paha, kaki, dan mata, ankilosa spondilitis, uveitis, konjungtivitis iritis.
i. Seksualitas
Gejala : frequensi menurun/menghindari aktivitas seksual

j. Intraksi sosial
Gejala : masalah hubungan/peran sehubungan dengan kondisi ketidakmampuan aktif dalam
social
k. Penyuluhan/pembelajaran
Gejala : riwayat keluarga berpenyakit inflamasi usus.
Pertimbangan
Rencana pemulangan : DRG menunjukkan rerata lama dirawat 7,1 hari
: bantuan dengan program diet, program obat, dukungan psikologi.

2. Diagnosa keperawatan
a. Nyeri b.d. iritasi intestinal, diare, kram abdomen, respons pembedahan.
b. Risiko ketidakseimbangan cairan tubuh b.d. keluar cairan tubuh dari muntah.
c. Aktual/risiko tinggi ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. intake makanan
yang kurang adekuat.
d. Pemenuhan informasi b.d. adanya evaluasi doagnostik, rencana pembedahan, dan rencana
perawatan rumah.
e. Gangguan aktivitas sehari-hari b.d. kelemahan fisik umum, keletihan pascanyeri dan diare.
f. Risiko injuri b.d. pascaprosedur bedah kolektomi atau ilestomi.
g. Aktual/risiko ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d. kemampuan batuk menurun, nyeri
pascabedah.
h. Risiko tinggi infeksi b.d. adanya port de entree luka pascabedah.
i. Kecemasan b.d. prognosis penyakit, misinterprestasi informasi, rencana pembedahan.

3. Intervensi dan Perencanaan Keperawatan


a. Nyeri berhubungan dengan iritasi intestinal, diare, kram abdomen, sembelit, respons
pembedahan.
Tujuan : dalam waktu 3x24 jam pascabedah, nyeri berkurang atau teradaptasi.
Kriteria evaluasi :
- Secara subjektif pernyataan nyeri berkurang atau teradaptasi.
- Skala nyeri 0-1 (0-4).
- TTV dalam batas normal, wajah pasien rileks.
Intervensi Rasional
Jelaskan dan bantu pasien dengan Pendekatan dengan menggunakan
tindakan pereda nyeri relaksasi dan nonfarmakologi
nonfarmakologi dan noninvasif. lainnya telah menunjukkan
keefektifan dalam mengurangi
nyeri.

Lakukan manajemen nyeri Pendekatan PQRST dapat secara


keperawatan , meliputi: komprehensif menggali kondisi
 Kaji nyeri dengan pendekatan nyeri pasien.
PQRST P: Penyebab nyeri dapat
diakibatkan oleh respons diare,
kram abdomen, dan sembelit
atau kerusakan jaringan
pascabedah.
Q: kualitas nyeri seperti tumpul,
kram, dan mules.
R: Area nyeri pada abdomen
bawah kiri.
S: pasien mengalami skala nyeri 3
(0-4).
T: Nyeri bertambah bila tidak
bisa melakukan BAB.

 Beri oksigen nasal apabila skala Pemberian oksigen dilakukan


nyeri ≥3 (0-4). untuk memenuhi kebutuhan
oksigen pada saat pasien
mengalami nyeri pascabedah
yang dapat mengganggu kondisi
hemodinamik.

Istirahat diperlukan untuk


menurunkan peristaltik usus.
 Istirahatkan pasien pada saat Istirahat secara fisiologis dan
nyeri muncul. Biasakan pasien melakukan BAB di tempat tidur
untuk BAB di tempat tidur. akan menurunkan kebutuhan
oksigen yang diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan
metabolisme basal pada aktivitas
dan menurunkan keletihan
pascanyeri.

Pengaturan posisi semifowler


dapat membantu merelaksasi
otot-otot abdomen pascabedah

 Atur posisi fisiologis. sehingga dapat menurunkan


stimulus nyeri dari luka
pascabedah.
Memberikan respons vasodilatasi.
Kompres ini hanya dilakukan
pada pasien tanpa pembedahan.

Meningkatkan intake oksigen


 Beri kompres hangat pada sehingga akan menurunkan nyeri
abdomen. sekunder dari iskemia spina.

Distraksi (pengalihan perhatian)


dapat menurunkan stimulus
 Ajarkan teknik internal.
relaksasi pernapasan dalam pada
saat nyeri muncul. Manajemen sentuhan pada saat
nyeri berupa sentuhan dukungan
psikologis dapat membantu
menurunkan nyeri.

 Ajarkan teknik distraksi pada


saat nyeri. Pengetahuan yang akan dirasakan
membantu mengurangi nyerinya
dan dapat membantu
mengembangkan kepatuhan

 Lakukan manajemen sentuhan. pasien terhadap rencana


terapeutik.

Tingkatkan pengetahuan tentang: Analgetik diberikan untuk

sebab-sebab nyeri dan membantu menghambat stimulus


nyeri ke pusat persepsi nyeri di
menghubungkan berapa lama korteks selebri sehingga nyeri
nyeri akan berlangsung. dapat berkurang.
Penurunan respons diare dapat
menurunkan stimulus nyeri.

Kolaborasi dengan tim medi


suntuk pemberian:
 Analgetik via intravena.

 Antidiare.

b. Risiko tinggi nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake makanan yang
kurang adekuat.

Tujuan: setelah 3x24 jam pada pasien nonbedah dan setelah 7x24 jam pascabedah intake nutrisi
dapat optimal dilaksanakan.
Kriteria evaluasi:
- Pasien dapat menunjukkan metode menelan makanan yang tepat.

- Keluhan mual dan muntah berkurang.

- Secara subjektif melaporkan peningkatan nafsu makan.

- Berat badan pada hari ke-7 pascabedah meningkat 0,5 kg.

No Intervensi Rasional
1. Kaji dan berikan nutrisi Pemberian nutrisi pada pasien
sesuai tingkat toleransi dengan enteritis regional
individu. bervariasi sesuai dengan
kondisi klinik dan tingkat
toleransi individu.
2. Sajikan makanan dengan Membantu merangsang nafsu
cara yang menarik. makan. Hal ini dapat diberikan
bila toleransi oral tidak
menjadi masalah pada pasien.
3. Fasilitasi pasien Diet diberikan pada pasien
memperoleh diet rendah dengan gejala malabsorpsi
lemak. akibat hilangnya fungsi
penyerapan permukaan
mukosa, khususnya
penyerapan lemak.
Keterlibatan ileum terminal
dapat mengakibatkan
steatorrhea (buang air besar
dengan feses bercampur
lemak).
4. Fasilitasi pasien Suplemen serat dikatakan
memperoleh diet dengan bermanfaat bagi pasien dengan
kandungan serat tinggi. penyakit kolon karena fakta
bahwa serat diubah menjadi
rantai pendek asam lemak,
yang menyediakan bahan
bakar untuk penyembuhan
Fasilitasi pasien mukosa kolon.
5. memperoleh diet rendah Diet rendah serat biasanya
serat pada gejala obstruksi. diindikasikan untuk pasien
dengan gejala obstruksi.
Fasilitasi untuk pemberian Nutrisi parenteral total (TPN)
nutrisi parenteral total. digunakan bila gejala penyakit
6. usus inflamasi bertambah
berat. Dengan TPN, perawat
dapat mempertahankan catatan
akurat tentang intake dan
output cairan, serta berat badan
pasien setiap hari.
Pantau intake dan output, Berguna dalam mengukur
anjurkan untuk timbang keefektifan nutrisi dan
7. berat badan secara periodik dukungan cairan.
(sekali seminggu).
Lakukan perawatan mulut. Intervensi ini untuk
menurunkan risiko infeksi
8. oral.
Kolaborasi dengan ahli gizi Ahli gizi harus terlibat dalam
mengenai jenis nutrisi yang penentuan komposisi dan jenis
9. akan digunakan pasien. makanan yang akan diberikan
sesuai dengan kebutuhan
individu.

c. Aktual/risiko ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan diare, kehilangan


cairan dari gastrointestinal, gangguan absorpsi usus besar, pengeluaran elektrolit dari muntah.

Tujuan: dalam waktu 1x24 jam tidak terjadi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.
Kriteria:
- Pasien tidak mengeluh pusing TTV dalam batas normal, kesadaran optimal.

- Membran mukosa lembab, turgor kulit normal, CRT >3 detik.


- Laboratorium: Nilai elekrolit normal, analisis gas darah normal.

Intervensi Rasional
Kaji terhadap adanya tanda kekurangan Sebagai parameter dasar untuk pemberian
volume cairan: kulit dan membran mukosa intervensi terapi cairan atau pemenuhan
kering, penurunan turgor kulit, oliguria, hidrasi.
kelelahan, penurunan suhu, peningkatan
hematokrit, peningkatan berat jenis urine, dan
hipotensi.
Intervensi pemenuhan cairan:
 Identifikasi faktor penyebab, awitan (onset), Parameter dalam menentukan intervensi
spesifikasi usia dan adanya riwayat penyakit kedaruratan. Adanya riwayat keracunan dan
lain. usia anak atau lanjut usia memberikan
tingkat keparahan dari kondisi
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.

 Lakukan pemasangan IVFD. Apabila kondisi diare dan muntah berlanjut,


maka lakukan pemasangan IVFD. Pemberian
cairan intravena disesuaikan dengan derajat
dehidrasi.
Pemberian 1-2 L cairan Ringer Laktat
dengan tetesan cepat sebagai kompensasi
awal hidrasi cairan diberikan untuk
mencegah syok hipovolemik.

 Dokumentasi dengan akurat tentang asupan Sebagai evaluasi penting dari intervensi

dan haluaran cairan. hidrasi dan mencegah terjadinya over hidrasi.

 Bantu pasien apabila muntah. Aspirasi muntah dapat terjadi terutama pada
usia lanjut dengan perubahan kesadaran.
Perawat mendekatkan tempat muntah dan
memberikan masase ringan pada pundak
untuk membantu menurunkan respons nyeri
dari muntah.
Intervensi pada penurunan kadar elektrolit:
 Evaluasi kadar elektrolit serum. Untuk mendeteksi adanya kondisi
hiponatremi dan hipokalemi sekunder dari
hilangnya elektrolit dari plasma.

 Dokumentasikan perubahan klinik dan Perubahan klinik seperti penurunan urine


laporkan dengan tim medis. output secara akut perlu diberitahu kepada
tim medis untuk mendapatkan intervensi
selanjutnya dan menurunkan risiko terjadinya
asidosis metabolik.

 Monitor khusus ketidakseimbangan elektrolit Individu lansia dapat dengan cepat


pada lansia. mengalami dehidrasi dan menderita kadar
kalium rendah (hipokalemia) sebagai akibat
diare. Individu lansia yang menggunakan
digitalis harus waspada terhadap cepatnya
dehidrasi dan hipokalemia pada diare.
Individu ini juga diintruksikan untuk
mengenali tanda-tanda hipokalemia karena
kadar kalium rendah dapat memperberat
kerja digitalis, yang dapat menimbulkan
toksisitas digitalis.
Kolaborasi dengan tim medis terapi
farmakologis.
 Antimikroba. Antimikroba diberikan sesuai dengan
pemeriksaan feses agar pemberian
antimkroba dapat rasional diberikan dan
mencegah terjadinya resistensi obat.
 Antidiare/antimotilitas. Agen ini digunakan untuk menurunkan
frekuensi diare. Salah satu obat yang lazim
diberikan adalah Loperamide (Imodium).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kolitis ulseratif adalah suatu penyakit ulseroinflamatorik yang mengenai kolon, tetapi terbatas
di mukosa dan submukosa, kecuali pada kasus yang sangat parah. Kolitis ulseratif berawal di
rektum dan meluas perkontinuitatum ke proksimal, kadang-kadang mengenai seluruh kolon
(Robbins, 644,2004).
Kolitis ulseratif adalah kondisi kronis yang tidak diketahui penyebabnya biasanya mulai pada
rektum dan bagian distal kolon dan mungkin menyebar keatas dan melibatkan sigmoid dan kolon
desenden atau seluruh kolon. Ini biasanya hilang timbul ( akut eksaserbasi dengan remisi
panjang), tetapi beberapa individu (30%-40%) mengalami gejala terus menerus (Doenges, 471,
2000).
Penyebab dari kolitis ulseratif sangat beragam, meliputi fenomena autoimun, faktor genetik
perokok pasif, diet, pascapendektomi, dan infeksi. Untuk memastikan adanya penyakit kolitis
ulseratif dapat dilakukan beberapa pemeriksaan diagnostik seperti pemeriksaan laboratorium,
prosedur endoskopi, pemeriksaan radiografik diantaranya CT scan, foto polos abdomen, dan
studi kontras barium. Sedangkan untuk Asuhan Keperawatan kolitis ulseratif mencakup semua
kebutuhan dasar manusia.
DAFTAR PUSTAKA

Doenges, Marilynn E, dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC

Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G. Bare. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &

Suddarth vol.2 edisi 8. Jakarta: EGC

Arif, muttaqin dan sari kumala. 2011. Gangguan gastrointestinal aplikasi askep medical bedah. Jakarta :

penerbit salemba medika

Dr. Sujono Hadi. Gastroenterologi.Bandung. 1981. Alumni.


Adji Dharma. Gangguan Saluran Pencernaan. Jakarta. 1981. EGC.

Anda mungkin juga menyukai