Anda di halaman 1dari 5

Kebun Kandang, Membangun Harmoni Alam dan Manusia

Oleh: Yoyok Tri Setyobudi

Bagi warga masyarakat pedesaan tentu tidak asing dengan keberadaan kebun dan kandang.
Dengan mudah keduanya dapat dijumpai di dalam/di luar kawasan pemukiman. Kandang
menjadi salah satu komponen usahatani yang dimiliki oleh hampir setiap rumah tangga petani.
Kebanyakan kandang dibangun di atas lahan pekarangan, bahkan ada yang menyatu dengan
bangunan rumah, dengan pertimbangan faktor keamanan dan kemudahan pemeliharaan.
Namun demikian, tidak jarang ditemui kandang didirikan di atas lahan kebun atau tegalan
dengan pertimbangan faktor dampak pencemaran. Kandang semacam ini biasanya digunakan
untuk budidaya ternak dalam jumlah banyak, seperti ayam potong dan ayam petelur.

Seperti halnya kandang, kebun juga merupakan komponen usahatani, terutama dimiliki oleh
rumah tangga petani mapan. Kebun dibangun di atas hamparan lahan kering yang berada di
luar lahan pekarangan atau bahkan di luar kawasan pemukiman. Kebun ini ada yang terbentuk
sejak pertama kali proses pengolahan/pemanfaatan lahan kering, namun ada juga yang
terbentuk dari lahan tegalan yang diubah pemanfaatannya menjadi kebun. Dalam
perkembangannya ada juga kebun yang dibangun di atas lahan pekarangan belakang rumah,
terutama pada lahan pekarangan yang cukup luas.

Secara umum kebun dapat dipahami sebagai lahan pertanian/usahatani yang sudah menetap
dengan peruntukan sebagai lahan budidaya tanaman tahunan, baik sejenis maupun campuran.
Jenis tanaman yang diusahakan sangat beragam antara lain: singkong, pisang, kelapa, mangga,
cengkeh, jenitri, karet dan lain-lain. Namun, ada juga kebun yang tidak dimanfaatkan untuk
usahatani, yaitu kebun kosong dan kebun binatang .

Berbeda dengan istilah kebun yang berkaitan erat dengan dunia tanaman, sebutan kandang
lebih lekat dengan dunia satwa/binatang kecuali kandang mobil a.k.a garasi . Namun kalau
yang parkir di dalamnya z*bra, k*jang, p*nther, dan k*da, garasi semacam ini sepertinya layak
juga disebut kandang . Pengertian kandang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
bangunan tempat tinggal binatang atau ruang berpagar tempat memelihara binatang.

Bagi masyarakat pedesaan keberadaan kedua komponen ini memiliki peran yang cukup penting
dalam menopang pemenuhan langsung kebutuhan dasar rumah tangga, yaitu pangan dan papan.
Bahkan tak jarang untuk pemenuhan kebutuhan sekunder dan tersierpun diperoleh dari
komponen ini. Kebun dan kandang menjadi sumber penghasilan tambahan, bahkan acapkali
menjadi sumber utama, bagi rumah tangga petani. Peran yang dimainkan komponen kebun dan
kandang sebagai sumber penghasilan bagi rumah tangga petani tidak tergantung pada luasan.
Berapapun luas kebun dan kandang yang dimiliki dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan
pendapatan rumah tangga.

Kebun dan kandang adalah satu di antara beragam cara manusia memanfaatkan alam (tanah,
air, tumbuhan, dan hewan) dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Ketika upaya
pemanfaatan dilakukan dengan cara bijaksana, yaitu tidak mengambil dan tidak membuang
secara berlebihan, maka alam tidak akan merasa terusik dan memberikan respon negatif yang
merugikan manusia. Tidak mengambil berlebihan maknanya: 1) dalam memanfaatkan lahan
tidak menguras kandungan hara tanah; 2) dalam melakukan pemanenan tidak mengangkut
semua hasil panen tanpa menyisakan biomasa tanaman; dan 3) dalam melakukan pemanenan
tidak membabat/menebang semua vegetasi/tanaman di atas lahan. Tidak membuang berlebihan
maknanya: 1) dalam memanfaatkan lahan tidak membiarkan air hujan terbuang menjadi aliran
permukaan; 2) dalam memandikan ternak ataupun membersihkan kandang tidak banyak
menggunakan air tanah; dan 3) dalam mengelola ternak tidak membuang kotoran ternak tanpa
pengolahan.

Pemanfaatan komponen kebun dan kandang dengan cara tidak bijaksana akan memunculkan
dampak negatif terhadap manusia, seperti penurunan kualitas hidup atau bahkan menimbulkan
kerugian materi/membahayakan keselamatan jiwa. Sebagai contoh, pengelolaan kandang
ternak tanpa memperhatikan aspek pengolahan limbah. Kotoran ternak yang tidak dikelola dan
diolah dengan baik akan menyebabkan penurunan kualitas kesegaran udara serta memicu
berkembangnya bibit penyakit. Contoh lain misalnya pemanenan pada areal kebun kayu-
kayuan dengan cara tebang habis yang diikuti pembersihan lahan (land clearing) untuk
persiapan tanam tahap berikutnya. Pada kawasan dengan topografi curam, pengelolaan kebun
dengan model seperti ini akan memicu terjadinya bencana tanah longsor yang dapat
menimbulkan kerugian materiil.

Cara-cara tidak bijaksana dalam pengelolaan komponen kebun dan kandang salah satunya
dipicu oleh motif ekonomi yang menginginkan hasil sebesar-besarnya dalam waktu relatif
singkat (instan). Akibatnya manusia berupaya menggenjot produktivitas lahan kebun dan
ternak dengan banyak menggunakan input dari luar: pupuk & pestisida anorganik, pakan
pabrikan, jenis/varietas berumur pendek, dan pola tanam seragam. Manusia meninggalkan
kearifan tradisional dalam pengelolaan sumber daya yang secara turun temurun telah
dipraktekkan dan terbukti mampu membangun harmoni alam dan manusia.

Secara sederhana harmoni dapat dipahami sebagai keselarasan atau ketertiban. Harmoni lahir
dari sebuah proses kerja sama antar berbagai faktor sedemikian rupa sehingga faktor-faktor
tersebut dapat menghasilkan satu kesatuan yang utuh, selaras dan luhur. Harmoni alam dan
manusia menjadi sebuah keniscayaan bagi keberlangsungan hidup yang berkualitas, baik bagi
manusia, bumi maupun makhluk hidup lainnya. Dalam hal pengelolaan komponen kebun dan
kandang, harmoni alam akan terwujud ketika manusia mampu memandang dan memelihara
keduanya sebagai satu kesatuan yang saling bersinergi membentuk sebuah ekosistem dan
berada dalam ukuran, takaran dan perhitungan yang stabil.

Komponen kebun dan kandang harus dibangun dan dikelola sebagai sebuah miniatur hutan
alam agar tercipta harmoni alam dan manusia. Hutan alam merupakan wujud ekosistem stabil
yang membentuk sebuah harmoni kehidupan. Agar menjadi miniatur hutan alam maka
pengelolaan kebun dan kandang harus didesain sebagai berikut:

1. Memiliki komponen-komponen penyusun ekosistem hutan alam, yaitu:


a. Komponen biotik, berupa makhluk hidup yang meliputi: tanaman budidaya, binatang
ternak, serta organisme-organisme lainnya (seperti: mikroba pengurai, kapang, cacing);
b. Komponen abiotik, berupa makhluk tidak hidup yang meliputi: suhu, cahaya matahari,
air, iklim, tanah, angin, batu, dan lain-lain;
c. Komponen autotrof, yaitu komponen yang mampu menyediakan makanan sendiri
(memiliki zat hijau daun/klorofil) seperti: tanaman kayu-kayuan dan rumput-rumputan;
d. Komponen heterotrof, yaitu komponen yang selalau memanfaatkan bahan organik
sebagai makanannya seperti: binatang ternak, kapang, dan jasad renik.

2. Membentuk siklus-siklus penting bagi keberlangsungan ekosistem, yaitu:


a. Siklus hara tertutup, yaitu suatu sistem yang memiliki jumlah kehilangan hara lebih
rendah dibandingkan dengan jumlah masukan hara yang diperoleh dari penguraian
serasah atau dari serap ulang (recycle) hara pada lapisan tanah dalam. Untuk itu di antara
jenis tanaman budidaya yang dipilih harus mampu menghasilkan banyak serasah dan
mempunyai kedalaman perakaran yang beragam. Selain itu, diperlukan pula penambahan
bahan organik pada permukaan tanah dengan menggunakan hasil pengolahan limbah
kotoran ternak;
b. Siklus hidrologi, yaitu sirkulasi air yang tidak pernah berhenti dari atmosfir ke bumi dan
kembali ke atmosfir. Tanaman memiliki peran vital dalam siklus ini karena menentukan
porsi/takaran air hujan yang teruapkan melalui intersepsi, takaran air hujan yang masuk
ke dalam tanah melalui proses infiltrasi, dan mempengaruhi porsi air hujan yang lolos
menjadi aliran permukaan tanah/limpasan.
c. Siklus energi, yaitu perputaran energi di antara komponen-komponen ekosistem (cahaya
matahari, tanaman, hewan ternak, dan jasad renik) yang berlangsung dengan adanya
proses rantai makanan.

3. Membentuk struktur tajuk yang bertingkat dan komposisi jenis vegetasi yang beragam.
Kondisi ini berpengaruh terhadap keseimbangan siklus hara dan siklus air di dalam
ekosistem. Air hujan yang kaya mineral akan tertahan oleh tajuk tanaman dan berubah
menjadi air lolosan (througfall) dan aliran batang (stemflow). Hal ini akan memperbesar
potensi input hara ke dalam tanah karena serasah dan tumbuhan bawah akan memperkecil
terjadinya aliran air hujan (hara) pada permukaan tanah. Hara yang terkandung dalam air
yang masuk ke dalam tanah tidak langsung mengalami pelindian (leaching) karena tertahan
oleh serasah dan perakaran tanaman dan akan dapat diserap kembali oleh perakaran
tanaman. Sementara itu kondisi jenis vegetasi yang beragam akan menyediakan habitat yang
nyaman bagi beragam jenis satwa liar, baik makrofauna maupun mikrofauna. Satwa liar
berperan dalam banyak hal, seperti: penyerbukan, pengendalian hama penyakit tanaman,
dan pengurai/dekomposisi bahan organik.

Selain merekayasa kebun kandang menyerupai ekosistem hutan alam, pengaturan dalam
pemanfaatannya juga menjadi faktor penting yang tidak dapat diabaikan. Pemanfaatan perlu
diatur sedemikian rupa sehingga kebun kandang mampu memberikan nilai ekonomi yang
cukup tinggi namun tetap mampu mempertahankan keseimbangan ekosistem. Untuk itu desain
kebun kandang juga perlu menerapkan konsep sebagai berikut:

1. Pola budidaya yang diterapkan adalah budidaya lorong (alley cropping) dengan komposisi
peruntukan lahan 25% untuk tanaman keras dan 75% untuk tanaman musiman. Tanaman
keras dibudidayakan dalam pola jalur, sedangkan tanaman musiman ditempatkan pada
lorong-lorong yang terbentuk di antara jalur. Tanaman keras dijangkakan untuk
memberikan penghasilan jangka menengah dan panjang, sedangkan tanaman musiman
untuk sumber penghasilan jangka pendek;
2. Jarak tanam antar tanaman keras dalam setiap jalur 3,00 m x 2,45 m dengan arah penanaman
membujur Timur – Barat. Dalam luasan satu hektar populasi tanaman keras mencapai 340
batang;
3. Tanaman keras terdiri dari tanaman penghasil kayu dan tanaman multiguna atau MPTS
(multipurpose tree species) dengan komposisi sebesar 70% : 30%. Tersedianya beragam
jenis tanaman keras bernilai ekonomi tinggi dengan umur panen yang berbeda-beda
memudahkan rumah tangga petani mengatur periode pendapatan. Pilihan jenis tanaman
penghasil kayu untuk pendapatan jangka 5 tahunan seperti sengon dan jabon, jangka 10
tahunan seperti akasia dan gmelina, serta untuk jangka 15 tahunan seperti jati dan mahoni.
Sementara itu tanaman multiguna buah-buahan ditujukan untuk memberikan penghasilan
tahunan. Apabila menghendaki untuk memperoleh penghasilan harian/bulanan dari tanaman
multiguna dapat dipilih jenis seperti: karet (getah), aren ((nira/buah), dan salam (daun).
4. Populasi tanaman keras memiliki struktur pertumbuhan pada tingkat pancang, tiang dan
pohon dengan jumlah berturut-turut 240 batang : 75 batang, dan 25 batang. Struktur
pertumbuhan tingkat semai digantikan dengan tanaman semusim/tanaman pertanian.
Struktur pertumbuhan ini membentuk 3 (tiga) strata tajuk yang berperan penting dalam
siklus hara dan hidrologi. Semai menempati strata bawah, pancang dan tiang berada pada
strata tengah serta pohon berada pada strata atas;
5. Setiap pemanenan tanaman keras dan tanaman semusim harus diikuti dengan kegiatan
penanaman kembali sehingga penutupan vegetasi terjaga dengan baik. Limbah hasil
pemanenan dimanfaatkan sebagai sumber pakan ternak dan/atau sumber penambahan bahan
organik bagi tanah;
6. Komponen binatang ternak dipilih dari jenis ternak ruminansia dan unggas dengan
pertimbangan untuk mengatur periode pendapatan dan ketersediaan keragaman jenis unsur
hara tanaman.

Anda mungkin juga menyukai