Anda di halaman 1dari 48

1

PROPOSAL PENELITIAN TESIS


PERAN KOMISI PEMILIHAN UMUM DAERAH DALAM MEMBANGUN
PARTISIPASI POLITIK MASYARAKAT PADA PEMILIHAN KEPALA
DAERAH (Studi Pemilihan Kepala Daerah
Kabupaten Kubu Raya Tahun 2018)
Oleh :
SUHARSO, S.IP
A.2021171079

A. Latar Belakang Penelitian

Negara demokratis memiliki keunggulan tersendiri, karena dalam setiap

kebijakan mengacu pada aspirasi rakyat. Indonesia, negara yang

menggunakan sistem demokrasi dimana rakyat memiliki peranan penting di

dalam urusan negara. Demokrasi yang secara normatif adalah pemerintahan

dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, ungkapan ini diterjemahkan dalam

setiap negara yang menganut demokrasi, di Indonesia tercantum di dalam

UUD 1945 (setelah Amandemen) pada Pasal 1 ayat (2): “Kedaulatan berada

ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.

Negara demokratis memiliki keunggulan tersendiri, karena dalam setiap

kebijakan mengacu pada aspirasi rakyat. Indonesia, negara yang

menggunakan sistem demokrasi dimana rakyat memiliki peranan penting di

dalam urusan negara. Demokrasi merupakan kekuasaan rakyat berbentuk

pemerintahan dengan semua tingkatan rakyat ikut mengambil bagian dalam

pemerintahan. Oleh karena itu, kekuasaan para pemimpin dan pejabat formal

itu bukan muncul dari pribadinya, akan tetapi merupakan titipan rakyat atau

merupakan kekuasaan yang dilimpahkan rakyat kepada pemimpin dan

pribadi–pribadi penguasa. Partisipasi atau keterlibatan masyarakat dalam

berpolitik merupakan ukuran demokrasinya suatu negara.


2

Eksistensi negara itu sendiri tidak lebih dari suatu produk perjanjian

sosial, dimana individu-individu dalam suatu masyarakat bersepakat untuk

menyerahkan sebagian hak-hak, kebebasan dan kekuasaan yang dimilikinya

kepada suatu kekuasaan bersama (common power) seperti diungkapkan

Rousseou dalam teori kontrak sosial. Kekuasaan bersama ini kemudian

dinamakan negara dan mendapat mandat dari rakyat untuk mengayomi dan

menjaga keamanan maupun harta benda mereka. Kekuasaan negara akan

tetap absah (legitimate) selama negara menjalankan kehendak rakyat yang

memberi mandat kepadanya.1

Rakyat membuat kontrak sosial lewat untuk mendelegasikan

kekuasaannya kepada pemerintah yang dipilih. Maka akan ada aturan main

yang berupa Undang–Undang Dasar, Peraturan Hukum dan sebagainya.

Kemudian dibuat dan ditetapkan dengan maksud agar dengan sarana-sarana

kekuasaan titipan yang dilaksanakan oleh pejabat atau penguasa itu benar–

benar demi kepentingan dan kesejahteraan rakyat, dan tidak dimanipulasikan

untuk kepentingan pribadi para pemimpin dan pejabat untuk mengambil

keuntungan dan memperkaya diri.2

Pembuatan kontrak sosial dilakukan melalui pemilu (pemilihan umum),

yakni sarana demokrasi yang daripadanya dapat ditentukan siapa yang berhak

menduduki kursi dilembaga politik negara, legislatif dan eksekutif. Melalui

pemilu, rakyat memilih figur yang dapat dipercaya yang akan mengisi jabatan

1
Launa. GB, “Perkembangan Pemikiran Negara: Dari Socrates Samapai Marx”. Jurnal Ilmu
Politik Progresif Vol 1. No 3 Thn 2001, h. 22-23
2
Kartini Kartono, Pendidikan Politik, Bandung: Mandar Maju, 1996, h.156-158.
3

legislatif dan jabatan eksekutif. Dalam pemilu, rakyat yang telah memilih,

secara bebas dan rahasia, menjatuhkan pilihannya pada figur yang di nilai

sesuai dengan aspirasinya.3

Partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilih pada pemilu atau

Pilkada atau disebut voter turnout tentu menjadi kebanggan bagi setiap warga

negara, karena proses itu bermakna bahwa publik berpartisipasi penuh dalam

menentukan nasib demokrasi dan bangsanya di masa yang akan datang.

Begitulah kondisinya jika hasil pemilu atau Pilkada memberi efek dan manfaat

yang signifikan bagi kehidupan mereka. Kenyatanya, tak sedikit rakyat yang

tidak mau terlibat dalam proses pemilu atau Pilkada. Mereka lebih suka

menggunakan hak pilihnya dengan tidak memilih atau Golput. Ini adalah

realitas politik yang harus diakui dalam konteks demokrasi di Indonesia. 4

Partisipasi politik urgen dalam dinamika perpolitikan di suatu

masyarakat. Partisipasi politik dari setiap individu maupun kelompok

masyarakat maka niscaya terwujud segala yang menyangkut kebutuhan warga

masyarakat secara universal. Meningkatnya keterlibatan masyarakat dalam

penyelenggaraan pemilu atau Pilkada menunjukkan semangkin kuatnya

tatanan demokrasi dalam suatu negara.

Demokrasi menghendaki adanya keterlibatan rakyat dalam setiap

kebijakan dan penyelenggaraan suatu negara. Individu masyarakat diposisikan

sebagai aktor penting kerena pada hakekatnya demokrasi mendasarkan pada

3
Thamrin , Kerangka Kerja Sistem Politik Indonesia, Padang : Jurusan Ilmu Politik Universitas
Andalas, 2012 h. 97- 98.
4
Pangi Syarwi, Titik Balik Demokrasi : Petunjuk Bagi Para Pejuang Demokrasi, Jakarta. Pustaka
Intelegensia 2012, h.4
4

logika gagasan bawa pemerintah memerlukan persetujuan dari yang individu

masyarakat yang diperintah. Melalui partisipasi politik yang diartikan sebagai:

Kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang

dimaksudkan untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah,

partisipasi bisa bersifat individual maupun kolektif, terorganisir ataupun spontan,

mantap atau sporadik, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal,

efektif atau tidak efektif.5

Partisipasi politik merupakan kehendak sukarela masyarakat baik

individu maupun kelompok dalam mewujudkan kepentingan umum.

Sebagaimana dikemukakan oleh Verba dalam Munjani 6

“partisipasi politik adalah berbagai aktifitas yang dilakukan oleh


individu-individu warganegara yang kurang lebih secara langsung
bertujuan untuk mempengaruhi pemilihan aparat pemerintah dan/atau
aksi maupun kebijakan yang mereka ambil”

Partisipasi yang paling mudah dan umum dilaksanakan adalah melalui

pemilu. Masyarakat yang mengikuti pemilu disebut pemilih. Menurut

Firmanzah, secara garis besar pemilih diartikan sebagai semua pihak yang

menjadi tujuan utama para kandidat untuk mereka pengaruhi dan yakinkan

agar mendukung dan kemudian memberikan suaranya kepada kandidat yang

bersangkutan. Secara sederhana pemilih adalah mereka yang terdaftar dalam

daftar pemilih tetap (DPT) yang dikeluarkan KPU karena telah memenuhi

syarat yang diatur oleh undang-undang.7

5
Samuel P. Hungtington; Joan M. Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang, Jakarta :
Rineka Cipta, 1990. h.5.
6
Gramedia Pustaka Utama, 2012. h.256.
7
Efriza, Political Explore : Sebuah Kajian Ilmu Politik, Bandung : Alfa Beta, 2012. h.480.
5

Pemilih memiliki hak untuk mengikuti pemilu dan memberikan suaranya

kepada kandidat yang didukungnya, tetapi juga memiliki hak untuk tidak

menggunakan hak pilihnya dikarenakan faktor tertentu. Besarnya jumlah

pemilih yang telah menggunakan hak pilihnya secara umum disebut voter

turnout bisa dijadikan tolak ukur keberhasilan sistem pemilu yang kemudian

juga menjadi tolak ukur keberhasilan demokrasi suatu negara.

Kemudian kinerja Komisi Pemilihan Umum dilaksanakan oleh sebuah

Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang independen dan non partisan untuk

mewujudkan kedaulatan rakyat guna menghasilkan suatu pemerintahan yang

bersifat Demokratis. Penyelenggaraan Pemilu yang bersifat LUBER JURDIL

hanya dapat terwujud apabila penyelenggaraan Pemilu mempunyai integritas

yang tinggi serta memahami dan menghormati hak-hak sipil dan politik dari

warga negara. Penyelenggaraan pemilu lemah berpotensi menghambat

pemilu yang berkualitas, sebagaimana hal tersebut dituangkan dalam

Undang-undang Nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan

Umum.8

Mengenai wilayah kerja KPU, lembaga ini memiliki wilayah kerja

meliputi seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). KPU

bersifat independen sebagaimana termakub dalam palam pasal 3 ayat (3) UU

Nomor 15 tahun 2011 yang bunyinya “Dalam menyelenggarakan pemilu, KPU

bebas dari pengaruh manapun berkaitan dengan tugas dan wewenangnya 9.”

8
Undang-undang Pemilu Nomor 15 Tahun 2011 “Tentang Penyelenggaraan Pemilu” (Yogyakarta:
Pustaka Mahardika, 2011). Hal 12.
9
Undang-undang Pemilu Nomor 15 Tahun 2011 “Tentang Penyelenggaraan Pemilu” (Yogyakarta:
Pustaka Mahardika, 2011). Hal 12.
6

Berbeda dengan peranan KPU, posisi lembaga ini dalam UU Nomor 15 tahun

2011 lebih mengakar karena adanya hubungan hierarkis antara KPU pusat

dan KPU kabupaten. Hubungan hierarkis ini dinyatakan dalam pasal 5 ayat (3)

UU Nomor 15 tahun 2011 “dalam menjalankan tugasnya, KPU dibantu oleh

Sekretariat Jendral; KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota masing-masing

dibantu oleh sekretariat10.

Untuk menjalankan roda kegiatan KPU, lembaga tersebut dibantu

Sekretariat Jendral (Setjen). Secara struktural KPU terdiri dari KPU Pusat dan

KPU Daerah. KPU pusat berkedudukan di Jakarta, KPU Provinsi

berkedudukan di ibu kota provinsi, KPU Kabupaten/Kota berkedudukan di ibu

kota/kabupaten. Dalam melaksanakan tugasnya, KPU dibantu oleh Pantia

Pemilihan Kecamatan (PPK) yang berkedudukan di setiap kecamatan, dan

Panitia Pemungutan Suara (PPS) yang berkedudukan di setiap desa atau

kelurahan, setelah terbentuk, PPS membentuk kelompok Penyelenggaraan

Pemungutan Suara.

Partisipasi politik dalam negara demokrasi merupakan indikator

implementasi penyelenggaraan kekuasaaan negara tertinggi yang absah oleh

rakyat (kedaulatan rakyat), yang dimanifestasikan keterlibatan mereka dalam

pesta demokrasi (Pemilu). Semakin tinggi tingkat partisipasi politik

mengindikasikan bahwa rakyat mengikuti dan memahami serta melibatkan diri

dalam kegiatan kenegaraan. Sebaliknya tingkat partisipasi politik yang rendah

10
Undang-undang Pemilu Nomor 15 Tahun 2011 “Tentang Penyelenggaraan Pemilu”
(Yogyakarta: Pustaka Mahardika, 2011). Hal 12.
7

pada umumnya mengindikasikan bahwa rakyat kurang menaruh apresiasi

atau minat terhadap masalah atau kegiatan kenegaraan. Rendahnya tingkat

partisipasi politik rakyat direfleksikan dalam sikap golongan putih (golput)

dalam pemilu.

Untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemilihan umum yang

dapat menjamin pelaksanaan hak politik masyarakat dibutuhkan

penyelenggara pemilihan umum yang profesional serta mempunyai integritas,

kapabilitas, dan akuntabilitas. Hal tersebut merupakan pertimbangan

dibentuknya Undang-Undang tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.

Konsekuensi dari adanya Pemilihan kepala daerah secara langsung,

maka rakyat memiliki peran yang nyata dalam rangka ikut menentukan nasib

daerahnya dengan perluasan partisipasi politik yang bersifat progresif melalui

pemilihan umum dimana pemilihan umum merupakan salah satu cara untuk

mewujudkan kehidupan demokrasi. Mengingat sebelum aturan ini dikeluarkan

maka yang berhak memilih Kepala Daerah adalah para anggota Dewan

Perwakilan Rakyat yang terdapat di daerah tersebut. Hal ini mengidentifikasi

dua jalan terpenting menuju demokrasi yaitu kompetisi dan partisipasi

Meningkatnya partisipasi berarti meningkatnya jumlah warga negara yang

memperoleh hak- hak politik dan kebebasan, sedangkan kompetisi

menyangkut pada tersedianya hak-hak dan kebebasan bagi anggota sistem

politik.

Untuk mendukung hal tersebut, diperlukan suatu lembaga yang mampu

mendukung pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah yang mampu dan


8

berkompeten. Lembaga tersebut adalah Komisi Pemilihan Umum Daerah

dimana mereka bertugas untuk mempersiapkan apa-apa saja yang perlu

untuk melakukan pemilihan umum. KPUD juga memiliki tanggungjawab untuk

mengarahkan masyarakat untuk turut berpartisipasi dalam pelaksanan

Pemilihan Kepala Daerah, sehingga Penyelenggaraan sebuah Pemilihan

Kepala Daerah dapat berjalan dengan tepat dan dengan asas Demokrasi

karena tingkat keberhasilan penyelenggaraan pemilihan umum maupun

pemilihan kepala daerah dapat dilihat berdasarkan partisipasi politik

masyarakatnya.

Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, baik gurbernur dan

Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, baik gurbernur dan wakil

gurbernur maupun bupati/walikota dan wakil bupati/walikota, secara langsung

merupakan perwujudan pengembalian hak-hak dasar rakyat dalam memilih

pemimpin daerah. Dengan itu rakyat memiliki kesempatan dan kedaulatan

untuk menentukan pemimpin daerah secara langsung, bebas dan rahasia

tanpa intervensi dari manapun.

Partisipasi politik yang merupakan wujud pengejawantahan

kedaulatan rakyat adalah suatu hal yang sangat fundamental dalam proses

demokrasi. Apabila masyarakat memiliki tingkat partisipasi yang tinggi, maka

proses pembangunan politik dan raktik demokratisasi di Indonesia akan

berjalan dnegan baik. Perwujudan demokrasi di tingkat lokal, salah satunya

adalah melaksanakan pemilukada di daerah-daerah. Sebagaimana pesta


9

demokrasi (pemilukada) di Kabupaten Kubu Raya yang dilaksanakan pada

tahun 2018.

Namun, tidak semua perwujudan demokrasi itu berjalan dengan

lancar. Masih banyak polemik mengenai partisipasi masyarakat bawah yang

mempengaruhi proses pemilihan.kecenderungan masyarakat terhadap

Jauhnya , dan lokasi yang bebukitan , ekonomi dan pendidikan maka dengan

berdampak pada menurunnya tingkat partisipasi masyarakat dalam

menentukan pilihan politiknya. Sehingga Merasa Bosan Terhadap Pemilihan

Umum, maka golput menjadi suara mayoritas.

Masyarakat desa dalam kehidupan keseharainnya hanya sebagai

petani atau bertani dan buruh cenderung apatis terhadap politik. Dalam

kesadaran berpolitik masyarakat desa tergolong masih rendah. Biasanya

mana calon yang Lebik lebih baik kepada Masyarakat, maka itulah yang dipilih

atau yang di kenali Dan jika tidak kenal maka mereka lebih memilih untuk

golput.

Oleh sebab itu, pemilukada menurut penulis tidak hanya merupakan

awal proses untuk memperbaharui legitimasi masyarakat yang diemban oleh

bupati/walikota, tetapi pemilukada juga merupakan sebuah proses politik

untuk penataan kembali struktur dan kultur politik, sehingga melahirkan tradisi

baru dalam proses atau regulasi politik bangsa Indonesia.

Totalitas pemilukada di Indonesia pada dasarnya masih menyisakan

persolan Misalnya, persoalan Daftar Pemilih Tetap (DPT), polemik tentang

keabsahan kertas suara dianggap sah atau tidak sah oleh masing–masing
10

saksi Parpol dan kesulitan masyarakat dalam menyesuaikan diri dengan

sistem baru tersebut serta keterbatasan pemahaman saksi–saksi yang

dipasang partai politik dihampir seluruh Tempat Pemungutan Suara.

TABEL HASIL PEMILIHAN BUPATI


DAN WAKIL BUPATI KUBU RAYA TAHUN 201811

1. Data Pemilih Laki-laki Perempuan Total


206.557 201.526 408.083

2. Pengguna Hak Pilih Laki-laki Perempuan Total


145.678 144.559 290.237

3. Partisipasi Pemilih Laki-laki Perempuan Total


70.53% 71.73% 71.12%

4. Grafik Partisipasi
Pemilih

70,53% 71,73% 71,12%

Perolehan Suara Persentase


1. MUDA MAHENDRAWAN, SH 195.207 70.21%
dan SUJIWO, SE
2. Ir. H. WERRY SYAHRIAL, M.H 39.003 14.03%
dan H.M. NASIR MAKSUDI
3. H. HAMZAH TAWIL, S.AG. M.Si 43.840 15.77%
dan KOHIM
JUMLAH SELURUH SUARA SAH 278.050
JUMLAH SUARA TIDAK SAH 12.187
JUMLAH SELURUH SUARA SAH DAN 290.237
SUARA TIDAK SAH

11
Olahan Data KPUD Kabupaten Kubu Raya Tanggal 14 Agustus 2018
11

Grafik Perolehan Suara

14.03 %

14.03 %

70.21 %

Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kubu Raya mengadakan Rapat Pleno

Terbuka untuk penetapan dan pengumuman peserta Calon Bupati dan Wakil

Bupati Kubu Raya di Gardenia Resort And Spa yang terletak di Jalan Ayani 2,

kabupaten Kubu Raya. KPU Kubu Raya telah menetapkan 3 pasangan Calon

yang akan berlaga di Pilkada Bupati Kabupaten Kubu Raya 2018. Muda

Mahendrawan dan Sujiwo, pasangan Werry Syahrial- HM Nasir, dan Hamzah

Tawil-Kohim. Muda Mahendrawan dan Sujiwo di usung oleh 7 partai yakni

Gerindra, Hanura, Demokrat, PDIP, PAN, PKS, dan Nasdem dengan total 33

kursi. Lalu Hamzah Tawil bersama Kohim di usunng oleh 2 partai, yakni Golkar

dan PKB. Dan terakhir pasangan Werry Syahrial dan HM Nasir melaju dengan

jalur Independen.12

Usai penetapan, ketiganya masing-masing menawarkan berbagai

program unggulan kepada masyarakat untuk meraih kemenangan di pilkada

nanti. Seperti paslon Werry Syahrial-Nasir Maksudi akan lebih fokus

12
http://pontianak.tribunnews.com/2018/02/12/ditetapkan-inilah-tiga-pasangan-calon-bupati-dan-
wakil-bupati-kubu-raya. Di akses tanggal 9 Agustus 2018
12

membangun ekonomi kerakyatan dengan mewujudkan desa sejahtera yang

mandiri.

“Karena jika ekonomi desa terbangun maka masyarakat daerah secara


keseluruhan akan lebih sejahtera dan mandiri. Inilah yang diinginkan
Presiden RI membangun ekonomi dari pinggiran juga akan
membangun infrastruktur air. melihat banyak sampah-sampah di
perairan Kubu Raya karena ini sangat membahayakan keselamatan
masyarakat yang menggunakan transportasi air, juga akan
membangun jembatan yang menghubungkan antar desa dan antar
kecamatan. Sehingga infrastruktur darat dan air akan terbangun,
karena ini akses utama ekonomi masyarakat”.

Sedangkan program unggulan yang ditawarkan paslon Muda

Mahendrawan-Sujiwo antara lain berkenaan dengan sektor pertanian,

pendidikan dan kesehatan.

“Program yang dulu pernah jaya akan kita hidupkan lagi. Seperti beras
lokal, BOS Daerah. Bahkan sekolah swasta mulai dari tingkat TK harus
diperkuat. Termasuk pelayanan kesehatan dengan skema BPJS
anggarannya mesti diperkuat,”.

Muda menilai program-program unggulan itu mesti dilaksanakan

secara simultan dan bergerak cepat. Jadi yang lebih penting program

unggulannya. Karena kalau hanya bicara rutinitas hal yang biasa. Maka harus

ada terobosan-terobosan baru.

Sementara paslon Hamzah Tawil-Kohim menjadikan ekonomi kreatif

sebagai program unggulannya yang ditawarkan kepada masyarakat karena

Kubu Raya banyak potensi lokal yang dikelola oleh masyarakat.

“Ekonomi kreatif lokal ini lah yang selama ini dapat menghidupkan
ekonomi masyarakat. Jadi akan kami galakkan terus ekonomi kreatif ini,
sektor infrastruktur tetap menjadi perhatian utama ia dan pasangannya
Kohim untuk terus ditingkatkan jika terpilih nanti. Karena infrastruktur ini
juga menjadi sarana pendukung ekonomi kreatif bisa bergerak dan
maju sehingga membangkitkan ekonomi daerah”.
13

Pada tanggal 27 April 2018, Kabupaten Kubu Raya menyelenggarakan

Pemilihan Umum Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah (Pemilukada) untuk

memilih Bupati dan Wakil Bupati. Ada 3 pasangan calon yang maju, baik yang

diusung oleh koalisi partai-partai politik maupun perseorangan (independen).

Adanya permasalahan di atas, telah menarik minat penulis untuk

mendalaminya melalui penelitian tesis dengan judul : “PERAN KOMISI

PEMILIHAN UMUM DAERAH DALAM MEMBANGUN PARTISIPASI

POLITIK MASYARAKAT PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH (Studi

Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Kubu Raya Tahun 2018)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, maka dapat ditarik

beberapa perumusan masalah yang akan menjadi inti pembahasan dari

penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagaimana Pola Dan Bentuk Kinerja KPUD Untuk Membangun Partisipasi

Politik Masyarakat Pada Pemilihan Kepala Daerah Di Kabupaten Kubu

Raya Tahun 2018 ?

2. Apakah Minimnya Partisipasinya Politik Masyarakat Pada Pemilihan Kepala

Daerah Merupakan Bentuk Kegagalan KPUD Dalam Menjalankan

Perannya Untuk Membangun Partisipasinya Politik Masyarakat ?

3. Apakah Faktor-Faktor Dominan Yang Menyebabkan Minimnya Partisipasi

Politik Masyarakat Dalam Pemilihan Daerah Mempunyai Korelasi Langsung

Dengan Peran KPUD ?


14

4. Langkah-Langkah Apa Yang Seharusnya Di Lakukan KPUD Agar

Partisipasi Politik Masyarakat Dalam Pemilihan Kepala Daerah Cendrung

Meningkat ?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk Mengetahui Dan Menganalisis Pola Dan Bentuk Kinerja KPUD Untuk

Membangun Partisipasi Politik Masyarakat Pada Pemilihan Kepala Daerah

Di Kabupaten Kubu Raya Tahun 2018.

2. Untuk Mengetahui Dan Menganalisis Minimnya Partisipasinya Politik

Masyarakat Pada Pemilihan Kepala Daerah Merupakan Bentuk Kegagalan

KPUD Dalam Menjalankan Perannya Untuk Membangun Partisipasinya

Politik Masyarakat.

3. Untuk Mengetahui Dan Menganalisis Faktor-Faktor Dominan Yang

Menyebabkan Minimnya Partisipasi Politik Masyarakat Dalam Pemilihan

Daerah Mempunyai Korelasi Langsung Dengan Peran KPUD.

4. Untuk Mengetahui Dan Menganalisis Langkah-Langkah Apa Yang

Seharusnya Di Lakukan KPUD Agar Partisipasi Politik Masyarakat Dalam

Pemilihan Kepala Daerah Cendrung Meningkat.

D. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat secara teoretis

maupun praktis :
15

1. Manfaat Teoritis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam

memberikan tambahan pemikiran dalam pengkajian dan pengembangan

ilmu pengetahuan di bidang hukum, khususnya yang terkait dengan Peran

Komisi Pemilihan Umum Daerah Dalam Membangun Partisipasi Politik

Masyarakat Pada Pemilihan Kepala Daerah.

2. Manfaat Praktis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan

kajian dan bahan evaluasi terhadap peran Komisi Pemilihan Umum

Kabupaten Kubu Raya dalam Dalam Membangun Partisipasi Politik

Masyarakat Pada Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Kubu Raya Tahun

2018 dan juga dapat dijadikan acuan agar Komisi Pemilihan Umum

dapat lebih meningkatkan partisipasi masyarakat pada Pemilihan Kepala

Daerah yang akan datang bisa jauh lebih baik dan lebih sukses dari yang

sebelumnya.

E. Kerangka Pemikiran Teoretik

Kerangka teoretik berfungsi sebagai pengarah konsepsional bagi

pelaksanaan penelitian ilmiah. Kerangka teoretik dijalin dengan memadukan

hubungan antar konsep sehingga dapat difungsikan untuk mendekati,

mengorganisasi, menjelaskan, menganalisis dan memprediksi fenomena-

fenomena hukum yang diteliti secara sistematik, rasional dan obyektif. Sesuai

dengan rumusan masalah tesis ini, maka konsep utama yang dijadikan

landasan pemikiran teoretik adalah Konsep Teori Peran, Konsep

Kelembagaan (Institusi), Teori Perilaku Memilih, Konsep Partisipasi

Politik dan Konsep Partisipasi Masyarakat dalam Politik dan Partisipasi


16

Masyarakat dalam Pemilihan Umum. kerangka teoritik tersebut dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Teori Peran

Teori peran (Role Theory) adalah teori yang merupakan perpaduan

antara teori, orientasi, maupun disiplin ilmu. Istilah “peran” diambil dari dunia

teater. Dalam teater, seorang aktor harus bermain sebagai seorang tokoh

tertentu dan dalam posisinya sebagai tokoh itu ia diharapkan untuk berperilaku

secara tertentu. Posisi aktor dalam teater (sandiwara) itu kemudian

dianologikan dengan posisi seseorang dalam masyarakat. Sebagaimana

halnya dalam teater, posisi orang dalam masyarakat sama dengan posisi aktor

dalam teater, yaitu bahwa perilaku yang diharapkan daripadanya tidak berdiri

sendiri, melainkan selalu berada dalam kaitan dengan adanya orang-orang

lain yang berhubungan dengan orang atau aktor tersebut. Dari sudut pandang

inilah disusun teori-teori peran.13

Kahn et al mengenalkan teori peran pada literatur perilaku organisasi.

Mereka menyatakan bahwa sebuah lingkungan organisasi dapat

mempengaruhi harapan setiap individu mengenai perilaku peran mereka.

Harapan tersebut meliputi norma-norma atau tekanan untuk bertindak dalam

cara tertentu. Individu akan menerima pesan tersebut,

menginterpretasikannya, dan merespon dalam berbagai cara. Masalah akan

muncul ketika pesan yang dikirim tersebut tidak jelas, tidak secara langsung,

13
Gartiria Hutami, Pengaruh Konflik Peran Dan Ambiguitas Peran Terhadap Komitmen
Independensi Auditor Internal Pemerintah Daerah (Studi Empiris Pada Inspektorat Kota Semarang)
(Universitas Diponegoro, Jurnal). Hal. 5.
17

tidak dapat diinterpretasikan dengan mudah, dan tidak sesuai dengan daya

tangkap si penerima pesan. Akibatnya, pesan tersebut dinilai ambigu atau

mengandung unsur konflik. Ketika hal itu terjadi, individu akan merespon

pesan tersebut dalam cara yang tidak diharapkan oleh si pengirim pesan.14

2. Teori Kelembagaan (Institusi)

Kelembagaan umumnya banyak dibahas dalam sosiologi, antropologi,

hukum dan politik, organisasi dan manajemen, psikologi maupun ilmu

lingkungan yang kemudian berkembang ke dalam ilmu ekonomi dan politik

karena kini mulai banyak pakar politik berkesimpulan bahwa kegagalan

pembangunan ekonomi dan politik pada umumnya karena kegagalan

kelembagaan. Dalam bidang ilmu politik kelembagaan banyak ditekankan

pada aturan main (the rules) dan kegiatan kolektif (collective action) untuk

kepentingan bersama atau umum (public).15

Tony Djogo (2003) Ada berbagai definisi kelembagaan yang

disampaikan oleh ahli dari berbagai bidang. Menurut Ruttan dan Hayami,

(1984) Lembaga adalah aturan di dalam suatu kelompok masyarakat atau

organisasi yang menfasilitasi koordinasi antar anggotanya untuk membantu

mereka dengan harapan di mana setiap orang dapat bekerjasama atau

berhubungan satu dengan yang lain untuk mencapai tujuan bersama yang

diinginkan. Sedangkan menurut Ostrom, (1985-1986) kelembagaan

14
Gartiria Hutami, Pengaruh Konflik Peran Dan Ambiguitas Peran Terhadap Komitmen
Independensi Auditor Internal Pemerintah Daerah (Studi Empiris Pada Inspektorat Kota Semarang)
(Universitas Diponegoro, Jurnal). Hal. 5.
15
Tony Djogo Dkk, Kelembagaan Dan Kebijakan Dalam Pengembangan Agroforestri ( Bogor :
World Agroforestry Centre (ICRAF) 2003). Hal.3-4.
18

diidentikan dengan aturan dan rambu-rambu sebagai panduan yang dipakai

oleh para anggota suatu kelompok masyarakat untuk mengatur hubungan

yang saling mengikat atau saling tergantung satu sama lain. Penataan institusi

(institutional arrangements dapat ditentukan oleh beberapa unsur: aturan

operasional untuk pengaturan pemanfaatan sumber daya, aturan kolektif

untuk menentukan, menegakan hukum atau aturan itu sendiri dan untuk

merubah aturan operasional serta mengatur hubungan kewenangan

organisasi.16

Dari definisi para ahli tersebut Djogo Dkk, menyimpulkan dan

mendefinisikan kelembagaan sebagai suatu tatanan dan pola hubungan

antara anggota masyarakat atau organisasi yang saling mengikat yang dapat

menentukan bentuk hubungan antar manusia atau antara organisasi yang

diwadahi dalam suatu organisasi atau jaringan dan ditentukan oleh faktor-

faktor pembatas dan pengikat berupa norma, kode etik aturan formal maupun

informal untuk pengendalian prilaku sosial serta insentif untuk bekerjasama

dan mencapai tujuan bersama.17

Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997) kelembagaan

didefinisikan sebagai suatu sistem badan sosial atau organisasi yang

melakukan suatu usaha untuk mencapai tujuan tertentu.18

16
Tony Djogo Dkk, Kelembagaan Dan Kebijakan Dalam Pengembangan Agroforestri ( Bogor :
World Agroforestry Centre (ICRAF) 2003). Hal.3-4.
17
Tony Djogo Dkk, Kelembagaan Dan Kebijakan Dalam Pengembangan Agroforestri ( Bogor :
World Agroforestry Centre (ICRAF) 2003). Hal 3.
18
Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,1997). Hal.979.
19

Pada umumnya Lembaga dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu

lembaga formal dan lembaga non-formal. Menurut Sitti Bulkis (2011),

Kelembagaan lokal dan area aktivitasnya terbagi menjadi tiga kategori, yaitu

kategori sektor publik (administrasi lokal dan pemerintah lokal); kategori sector

sukarela (organisasi keanggotaan dan koperasi); kategori sektor swasta

(organisasi jasa dan bisnis swasta). Bentuk resmi suatu lembaga yaitu

lembaga garis (line organization, military organization); lembaga garis dan staf

(line and staff organization); lembaga fungsi (functional organization) Jadi

pengertian dari kelembagaan adalah suatu sistem sosial yang melakukan

usaha untuk mencapai tujuan tertentu yang memfokuskan pada perilaku

dengan nilai, norma dan aturan yang mengikutinya, serta memiliki bentuk dan

area aktivitas tempat berlangsungnya.19

Dari berbagai elemen teori di atas dapat kita lihat bahwa definisi

institusi atau kelembagaan didominasi oleh unsur-unsur aturan, tingkah laku

atau kode etik, norma, hukum dan faktor pengikat lainnya antar anggota

masyarakat yang membuat orang saling mendukung dan bisa berproduksi

atau menghasilkan sesuatu karena ada keamanan, jaminan akan

penguasaan atas sumber daya alam yang didukung oleh peraturan dan

penegakan hukum serta insentif untuk mentaati aturan atau menjalankan

institusi. Tidak ada manusia atau organisasi yang bisa hidup tanpa interaksi

dengan masyarakat atau organisasi lain yang saling mengikat.

19
Sitti Bulkis, Manajemen Pembangunan, (Universitas Hasanudin, Makasar 2011). Hal.16.
20

Menurut Mariam Budiarjo dalam bukunya “Dasar-dasar Ilmu Politik”.

Institusional sering dinamakan pendekatan tradisional, mulai berkembang

abad 19 sebelum Perang Dunia II. Dalam pendekatan ini negara menjadi fokus

pokok, terutama segi konstitusional dan yuridisnya. Bahasan tradisional

menyangkut antara lain sifat dari UUD, masalah kedaulatan, kedudukan dan

kekuasaan formal serta yuridis dari lembaga-lembaga kenegaraan seperti

parlemen, badan eksekutif, dan badan yudikatif. Bahasan ini lebih bersifat

statis dan deskiptif daripada analitis, dan banyak memakai ulasan sejarah.

Yang terjadi, pendekatan tradisional lebih sering bersifat normatif (yaitu sesuai

dengan ideal atau standar tertentu) dengan mengasumsikan norma-norma

demokrasi Barat. Di samping itu, bahasan biasanya terbatas pada negara-

negara demokrasi Barat, seperti Inggris, Amerika, Prancis, Belanda dan

Jerman. Pendekatan ini cenderung untuk mendesak konsep kekuasaan dari

kedudukan sebagai satu-satunya faktor penentu, sehingga menjadi hanya

salah satu dari sekian banyak faktor (sekalipun mungkin penentu yang paling

penting) dalam proses menbuat dan melaksanakan keeputusan.20

3. Teori Perilaku Memilih

Secara garis besar pemilih diartikan sebagai semua pihak yang menjadi

tujuan utama para kandidat untuk dipengaruhi dan diyakinkan agar

mendukung dan memberikan suaranya kepada kandidat tersebut. 21 Pemilih

dalam hal ini dapat berupa konstituen maupun masyarakat pada umumnya.

20
Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta, PT. Gramedia Pustaka, 2008). Hal.74-76.
21
Firmanzah, Marketing Politik, edisi pertama, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2007 hal. 112
21

Konstituen adalah kelompok masyarakat yang merasa diwakili oleh suatu

ideologi tertentu yang kemudian termanifestasikan dalam institusi politik

seperti partai politik. Di samping itu, pemilih bisa saja merupakan bagian

masyarakat luas yang bisa saja tidak menjadi konstituen partai politik tertentu.

Masyarakat terdiri dari beragam kelompok. Terdapat kelompok masyarakat

yang memang non-partisan, dimana ideologi dan tujuan politik mereka tidak

dikaitkan kepada suatu partai politik tertentu. Mereka ‘menunggu’ sampai ada

suatu partai politik yang bisa menawarkan program kerja yang terbaik menurut

mereka, sehingga partai tersebutlah yang akan mereka pilih.

Otonomi pemilih menjadi sesuatu yang signifikan. Oleh karena otonomi

pemilih itu kembali kepada pandangan, pemikiran, dan perasaan (motivatif),

maka peta pertarungan kandidat dalam konteks tersebut mesti menempatkan

cara pikir pemilih seperti itu sebagai faktor pokok yang menentukan sukses

tidaknya dalam kompetisi politik Pilkada Kabupaten Kubu Raya tahun 2018.

Yang lebih kompleks, motivasi pemilih itu berubah ubah sesuai dengan

kepentingannya. Dalam konteks pemilih, setidaknya bisa dikategorikan

dalam ketiga kelompok besar, yaitu kelompok loyalis, kelompok rasional, dan

kelompok pragmatis. Membaca pemilih kelompok loyalis dan rasional jauh

lebih mudah untuk memprediksikan dominasi kandidat. Kelompok loyalis

biasanya adalah mereka yang secara ideologis memiliki keberkaitan kuat

dengan ideologi dan pandangan politik. Kelompok pemilih rasional adalah

mereka yang memiliki kapasitas memandang kandidat dalam konteks visi,

misi, dan program kerjanya maupun yang lainnya. Adapun membaca


22

kelompok pemilih pragmatis, jauh lebih sulit karena motivasi mereka dinamis

sesuai dengan kondisi pasar. Kelompok pragmatis adalah kelompok yang

berpikir ”berjuang” (beras, baju, dan uang) dalam pilkada, sehingga

keuntungan sesaat (instant material benefits) dijadikan sebagai patokan

melakukan pilihan atau perilaku politik.

Perilaku memilih menurut Jack C. Plano adalah dimaksudkan sebagai

suatu studi yang memusatkan diri pada bidang yang menggeluti kebiasaan

atau kecenderungan piihan rakyat dalam pemilihan umum, serta latar

belakang mengap mereka melakukan pilihan itu.22

Dalam dunia politik, ketertarikan pemilih kepada kontestan dapat

disebabkan faktor proximity, yaitu pemilih cenderung memberikan suaranya

kepada kontestan yang dianggap memiliki kesamaan serta kedekatan sistem

nilai dan keyakinan. Secara teoritis, seperti telah dijelaskan sebelumnya

menurut Huntington dan Nelson ada dua model partisipasi pemilih, yaitu

partisipasi otonom dan termobilisasi. Dalam kenyataan di negara-negara

berkembang perilaku memilih bukan hanya ditentukan oleh pemilih (partisipasi

otonom), tetapi dalam banyak hal justru ditentukan oleh tekanan kelompok,

intimidasi dan paksaan dari kelompok atau pemimpin tertentu (partisipasi

termobilisasi). Hal ini terjadi karena tingkat pendidikan dan kesejahteraan

relatif masih rendah sementara beberapa kultural masih berlangsung dengan

kuat di masyarakat.

22
Sofiah R, Kampanye Politik dan Perilaku Pemilih, dalam Jurnal Dinamika Vol.5 No.1 tahun 2005,
FISIP Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2005, hal.18
23

Brennan dan Lomasky menyatakan bahwa keputusan memilih selama

pemilu adalah perilaku ‘akspresif’.23 Perilaku ini tidak jauh berbeda dengan

perilaku supporter yang memberikan dukungannya pada tim sepakbola.

Menurut mereka, perilaku pemilih sangat dipengaruhi oleh loyalitas dan

ideologi. Keputusan untuk memberikan dukungan dan suara tidak akan terjadi

apabila tidak terdapat loyalitas pemilih yang cukup tinggi kepada partai politik

jagoannya. Begitu juga sebaliknya, pemilih tidak akan memberikan suaranya

kalau mereka menganggap bahwa suatu partai politik tidak loyal serta tidak

konsisten terhadap janji dan harapan yang telah mereka berikan. Selain itu,

perilaku memilih juga sarat dengan kedekatan ideologi antara pemilih dengan

partai politik serta memiliki biaya ekonomis berupa sedikit waktu dan usaha.

Kompleksitas, ketaatan, kebimbangan, dan ketidakpastian adalah ciri

khas yang selalu hadir pada saat pemilih harus menentukan pilihannya. Selain

itu, kebimbangan masyarakat juga dipengaruhi oleh kurangnya kemampuan

kontestan dalam memposisikan dirinya atas sebuah permasalahan politik,

sehingga pesan politiknya menjadi mengambang dan sukar dipahami

masyarakat. Melimpahnya informasi dan pesan politik menjelang kampanye

pemilu menyulitkan pemilih untuk mengolah dan menganalisinya. Di samping

itu, informasi yang tersedia sering sekali bertolak belakang dengan kenyataan

yang sebenarnya.

23
Firmanzah, op.cit hal 114
24

Pengambilan keputusan terfokus pada apakah si pengambil

keputusan itu rasional atau tidak rasional. Weber membedakannya menjadi

rasionalitas nilai (value rational) dan rasionalitas tujuan (goal rational). 24

Rasionalitas nilai diartikan sebagai orientasi aksi berdasarkan suatu nilai

apakah itu etika, moralitas, agama, hal-hal yang bersifat estetika, kesukaan

atau asal-usul. Rasionalitas seorang individu dinilai sejauh mana individu

tersebut mengambil keputusan atas nilai-nilai yang ia pegang, dan bukan dari

tujuan yang hendak dicapai. Rasionalitas tujuan, di sisi lain diartikan sebagai

orientasi keputusan dan aksi berdasarkan kesesuaian dengan tujuan akhir,

metode pencapaiannya dan konsekuensinya. Individu akan dinilai rasional

ketika keputusan dan aksinya mendukung tujuan akhir.

Florina serta Enelow dan Hinich mempelajari pengaruh dari isu dan

masalah dalam proses pengambilan keputusan politik. Mereka menyimpulkan

dalam studi mereka bahwa pemilih menaruh perhatian yang sangat tinggi atas

cara kontestan dalam menawarkan solusi sebuah permasalahan.25 Semakin

efektif seseorang/kontestan dalam menawarkan solusi yang tepat untuk

menjawab permasalahan, semakin tinggi pula probabilitas untuk dipilih

pemilih. Para pemilih mempunyai kecenderungan untuk tidak memilih

kontestan yang kurang mampu menawarkan program kerja dan hanya

mengandalkan spekulasi jargon-jargon politik.

24
Firmanzah, op.cit, hal 115
25
Firmanzah, op.cit, hal 116
25

Sementara itu, menurut Chappel dan Veiga, persoalan ekonomi

menjadi pusat perhatian, karena sangat erat kaitannya dengan kesejahteraan

masyarakat. Pemilih akan cenderung memilih kontestan yang menawarkan

solusi yamg paling menarik untuk menyelesaikan persoalan ekonomi seperti

pengangguran, inflasi, investasi, dan pajak. 26

Penilaian tentang ‘policy-problem-solving’ bisa dilakukan secara ‘ex-

post’ dan ‘ax-ante’. Penilaian ex-pos berarti menilai apa saja yang telah

dilakukan oleh sebuah partai atau pemimpin yang berkuasa untuk memperbaiki

kondisi yang ada. Sementara ex-ante dilakukan dengan cara mengukur dan

menilai kemungkinan program kerja dan solusi yang ditawarkan sebuah partai

ketika diterapkan untuk memecahkan sebuah permasalahan. Reputasi masa

lalu kontestan dan pengaruh pemimpin kharismatik dari kontestan

berkontribusi pada kesan serius dan program kerja yang ditawarkan. Faktor-

faktor tersebut juga merupakan petunjuk bagi pemilih untuk mengidentifikasi

kontestan. Petunjuk tersebut berguna untuk dua hal.

Pertama, menyimpulkan semua informasi tentang kontestan. Kedua,

sangat ekonomis dan memudahkan para pemilih, karena petunjuk itu

menyimpulkan banyak informasi. Sehingga pemilih tidak perlu menunggu

sampai informasinya menjadi lengkap untuk membuat keputusan yang

rasional. Masyarakat memiliki keterbatasan dalam menganalisis apakah

program kerja yang ditawarkan benar benar dapat menjawab permasalahan

yang ada atau tidak.

26
Ibid, hal. 117
26

Ramlan Surbakti menyebutkan, pemilih memilih kontestan/kandidat

tertentu dan bukan yang lain dibedakan menjadi lima sesuai dengan

pendekatan yang digunakan, yakni struktural, sosiologis, ekologis, psikologi

sosial dan pilihan.27

Pendekatan struktural melihat kegiatan memilih sebagai produk dari

kontek struktur yang lebih luas, seperti struktur sosial, sistem partai, sistem

pemilu, permasalahan dan program yang ditonjolkan. Struktur sosial yang

menjadi sumber kemajemukan politik dapat berupa kelas sosial atau

perbedaan-perbedaan antara majikan dan pekerja, agama, perbedaan kota

dan desa, bahasa dan nasionalisme. Jumlah partai, basis sosial sistem partai

dan program-program yang ditonjolkan mungkin berbeda dari satu daerah ke

daerah lain karena perbedaan struktur sosial tersebut.

Pendekatan sosiologis cenderung menempatkan kegiatan memilih

dalam kaitan dengan kontek sosial. Konkritnya, pilihan seseorang dalam

pilkada dipengaruhi latar belakang demografi dan sosial ekonomi, seperti jenis

kelamin, tempat tinggal (kota-desa), pekerjaan, pendidikan, kelas,

pendapatan, dan agama.

Pendekatan ekologis hanya apabila dalam suatu daerah pemilihan

terdapat perbedaan karakteristik pemilih berdasarkan unit teritorial, seperti

desa, kelurahan, kecamatan, dan kabupaten. Kelompok masyarakat, seperti

tipe penganut agama tertentu, buruh, kelas menengah, mahasiswa, suku

27
Susanto, Pilkada Langsung: Kajian Yuridis dan Politis. Jurnal Dinamika Vol. V No. I, Surakarta,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 2005, hal 9
27

tertentu, sub kultur tertentu dan profesi tertentu bertempat tinggal pada unit

teritorial sehingga perubahan komposisi penduduk yang tinggal di unit

teritorial dapat dijadikan sebagai penjelasan atas perubahan hasil pilkada.

Sementara itu pendekatan psikologi sosial digunakan untuk menjelaskan

peilaku untuk memilih pada pilkada berupa identifikasi kandidat. Konsep ini

merujuk pada persepsi pemilih atas kandidat-kandidat yang ada atau

keterikatan emosional pemilih terhadap kandidat tertentu. Konkritnya,

kandidat yang secara emosional dirasakan sangat dekat dengannya

merupakan kandidat yang selalu dipilih tanpa terpengaruh oleh faktor-faktor

lain.

Pendekatan pilihan rasional melihat kegiatan memilih sebagai produk

kalkulasi untung dan rugi. yang dipertimbangkan tidak hanya “ongkos” memilih

dan kemungkinan suaranya dapat mempengaruhi hasil yang diharapkan,

tetapi juga perbedaan dari alternatif berupa pilihan yang ada. Bagi pemilih,

pertimbangan untung dan rugi digunakan untuk membuat keputusan apakah

ikut memilih atau tidak ikut memilih.

Banyak rakyat yang berhak memilih tidak menggunakan hak pilihnya,

banyak pula rakyat bersusah payah menggunakan hak pilih dalam pilkada.

Pendekatan pilihan rasional tidak selalu benar karena cukup banyak rakyat

menggunakan hak pilih sebagai kebanggaan psikologis, seperti menunaikan

kewajiban sebagai warga negara, menegaskan identitas kelompok dan

menunjukkan loyalitas terhadap partai. Sebagian rakyat juga menggunakan


28

hak pilih berdasarkan informasi yang tidak lengkap dan akurat, seperti tradisi,

ideologi, dan citra partai/kandidat.

Berdasarkan buku yang berjudul “An economic theory of democracy”

dari Downs, keputusan memilih (to vote) berbeda secara signifikan dengan

keputusan ekonomi dan komersial pada umumnya.28 Keputusan memilih

selama pemilihan umum dapat dianalogikan sebagai perilaku pembelian

(purchasing) dalam dunia bisnis dan komersial, keputusan pembelian yang

salah akan berdampak langsung terhadap subjek dengan kehilangan utilitas

barang atau jasa yang dibelinya. Sedangkan keputusan yang salah dalam

pemilu tidak memiliki efek langsung bagi si pengambil keputusan, karena

keputusan individu tidak akan berarti apa-apa kecuali dalam jumlah besar.

Menurut Downs, partisipasi politik lebih dilihat sebagai aksi masing-masing

individu untuk mempertahankan dan memperkuat institusi demokrasi.

Menilik ideologi gerakan golput di Indonesia, memang punya sejarah

panjang. Gerakan ini lahir pada masa orde baru berkuasa menggelar pemilu

1971 (pemilu pertama) sampai dengan pemilu 1997 (pemilu terakhir). Mereka

bersikap golput karena tidak setuju dengan sistem politik yang diterapkan

pemerintah orde baru.

Golput dinilai sebagai sikap apatis karena dianggap sebagai tindakan

tidak peduli pada persoalan politik yang ada. Rosenberg menyebutkan tiga

alasan adanya apatis.29 Alasan pertama bahwa individu memandang aktivitas

28
Firmanzah, op.cit hal 104
29
Soedjono Sastroadmodjo, op.cit hal 75
29

politik merupakan ancaman terhadap beberapa aspek kehidupannya. Alasan

kedua individu menganggap aktivitas politik merupakan kegiatan yang sia-sia

belaka. Individu-individu beranggapan bahwa ia tidak akan mungkin dapat

mengubah keadaan dan melakukan control politik. Ketiga yaitu ketidakadaan

pesaing politik. Hal itu didasarkan atas pemikiran bahwa buah pikiran politik

itu tidak menarik baginya dan menganggap bahwa politik itu hanya

memberikan kepuasan sedikit dan tak langsung.

4. Teori Konsep Partisipasi Politik

Partisipasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merupakan

perihal turut berperan serta dalam suatu kegiatan. Partisipasi dapat juga

berarti bahwa pembuat keputusan menyarankan kelompok atau masyarakat

ikut terlibat dalam bentuk penyampaian saran dan pendapat, barang,

keterampilan, bahan dan jasa.

Menurut Miriam Budiardjo “Partisipasi politik adalah kegiatan

seseorang atau sekelompok orang untuk ikut secara aktif dalam kehidupan

politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan Negara secara langsung ataupun

tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy)”.30

Partisipasi politik adalah kegiatan warga Negara yang legal, yang

sedikit banyak langsung bertujuan mempengaruhi seleksi pejabat-pejabat

Negara atau tindakan-tindakan yang diambil mereka. Sedangkan Pemilih

pemula itu sendiri ialah pemilih yang baru pertama kali ikut memilih dalam

30 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009), h.
36.
30

pemilihan umum (Pemilu). Mereka baru akan merasakan pengalaman

pertama kali untuk melakukan pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat

(DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(DPRD), dan Presiden-Wakil Presiden.31

Partisipasi politik memiliki pengertian yang beragam. Ada beberapa ahli

yang mengungkapkan pendapatnya tentang partisipasi politik. Menurut

Ramlan Surbakti yang dimaksud dengan partisipasi politik adalah

keikutsertaan warga negara biasa dalam menentukan segala keputusan yang

menyangkut atau memengaruhi hidupnya. Miriam Budiarjo secara umum

mengartikan partisipasi politik sebagai kegiatan sesorang atau kelompok

orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik yaitu dengan jalan

memilih pimpinan negara secara langsung atau tidak langsung memengaruhi

kebijakan pemerinah (public policy).32 Dari beberapa pendapat ahli tersebut

maka yang dimaksud partisipasi politik adalah adanya kegiatan atau

keikutsertaan warga negara dalam proses pemerintahan. Kemudian kegiatan

tersebut diarahkan untuk memengaruhi jalannya pemerintahan. Sehingga

dengan adanya partisipasi politik tersebut akan berpengaruh terhadap

kehidupan mereka.33

Menurut Ramlan Surbakti partisipasi politik terbagi menjadi dua yaitu

partisipasi aktif dan pasrtisipasi pasif. Partisipasi aktif adalah mengajukan usul

31 Andi Faisal Bakti dkk, Literasi Politik dan Konsolidasi Demokrasi, (Jakarta: Churia
Press, 2012), ;h. 127.
32 Efriza, Political Explorer Sebuah Kajian Ilmu Politik, (Jakarta: Alfabeta, 2012). Hal.
155.
33
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Widisarana Indonesia, 2007,
hlm 142-143.
31

mengenai suatu kebijakan umum, mengajukan alternatif kebijakan umum yang

berlainan dengan kebijakan yang dibuat pemerintah, mengajukan kritik dan

perbaikan untuk meluruskan kebijakan, membayar pajak dan memilih

pemimpin pemerintah. Sebaliknya, kegiatan yang termasuk dalam kategori

partisipasi pasif berupa kegiatan-kegiatan yang menaati pemerintah,

menerima, dan melaksanakan saja setiap keputusan pemerintah.34

Menurut Surbakti beberapa faktor yang menyebabkan orang mau ikut

atau tidak mau ikut dalam proses politik antara lain:

a) Status sosial dan Ekonomi


Status sosial adalah kedudukan seseorang dalam masyarakat
karena keturunan, pendidikan dan pekerjaan. Sedangkan status
ekonomi adalah kedudukan seseorang dalam pelapisan masyarakat
berdasarkan pemikan kekayaan. Seseorang yang memiliki status
sosial yang tinggi diperkirakan tidak hanya memiliki pengetahuan
politik, tetapi juga mempunyai minat dan perhatian pada politik.
b) Situasi
Menurut Surbakti, situasi politik juga di pengaruhi oleh keadaan yang
mempengaruhi actor secara langsung seperti cuaca, keluarga,
kehadiran orang lain, keadaan ruang, suasana kelompok, dan
ancaman.
c) Kesadaran politik
Kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga Negara yang
menyangkut tentang pengetahuan seseorang tentang lingkungan
masyarakat dan politik, dan menyangkut minat dan perhatian
seseorang terhadap lingkungan masyarakat dan politik tempat dia
hidup.
d) Kepercayaan terhadap pemerintah
Kepercayaan terhadap pemerintah adalah penilaian seseorang
terhadap pemerintah apakah dia menilai pemerintah dapat di
percaya dan dapat di pengaruhi atau tidak, baik dalam pembuatan
kebijakan-kebijakan atau pelaksanaan pemerintahan.

34
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Widisarana Indonesia, 2007,
hlm 142-143.
32

e) Perangsang partisipasi melalui sosialisasi media massa dan


diskusidiskusi formal.

Partisipasi politik masyarakat memiliki perbedaan dalam intensitas dan

bentuknya. Hal itu di samping berkaitan dengan sistem politik, juga

berhubungan dengan perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam

masyarakat. Menurut Weimer, terdapat lima hal yang dapat mempengaruhi

partsisipasi politik yang lebih luas.35 Pertama adalah modernisasi. Modernisasi

di segala bidang berimplikasi pada komersialisasi pertanian, industrialisasi,

meningkatnya arus urbanisasi, peningkatan kemampuan baca tulis, perbaikan

pendidikan, dan pengembangan media massa/media komunikasi secara lebih

luas. Kemajuan itu berakibat pada partisipasi warga kota baru seperti kaum

buruh, pedagang, dan professional untuk ikut serta mempengaruhi kebijakan

dan menuntut keikutsertaannya dalam kekuasaan politik sebagai bentuk

kesadarannya bahwa mereka pun dapat mempengaruhi nasibnya sendiri.

Faktor kedua adalah terjadinya perubahan dalam struktur kelas sosial.

Perubahan struktur kelas baru itu sebagai akibat dari terbentuknya kelas

menengah dan pekerja baru yang makin meluas dalam era industrialisasi dan

modernisasi, sehingga membawa perubahan dalam pola partisipasi politik.

Pengaruh kaum intelektual dan meningkatnya komunikasi massa merupakan

faktor partisipasi politik masyarakat. Ide-ide baru seperti nasionalisme,

liberalisme, dan egaliterisme membangkitkan tuntutan-tuntutan untuk

berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Komunikasi yang meluas

35 Soedjono Sastroatmodjo, Op.cit , hal 89


33

mempermudah penyebaran ide-ide itu ke seluruh lapisan masyarakat. Hal itu

berimplikasi pada tuntutan rakyat dalam ikut serta mempengaruhi kebijakan

pemerintah.

Faktor keempat adalah adanya konflik di antara pemimpin-pemimpin

politik. Pemimpin politik yang bersaing memperebutkan kekuasaan seringkali

dilakukan dengan cara mencari dukungan massa. Implikasinya adalah

munculnya tuntutan terhadap hak-hak rakyat, sehingga pertentangan dan

perjuangan kelas menengah terhadap kaum bangsawan yang memegang

kekuasaan mengakibatkan perluasan hak pilih rakyat. Faktor kelima adanya

keterlibatan pemerintah yang semakin meluas dalam urusan sosial, ekonomi,

dan kebudayaan. Meluasnya ruang lingkup aktivitas pemerintah ini seringkali

merangsang tumbuhnya tuntutan-tuntutan yang terorganisasi untuk ikut serta

dalam mempengaruhi pembuatan keputusan politik.

Surbakti menyebutkan dua variabel penting yang mempengaruhi

tinggi-rendahnya tingkat partisipasi politik seseorang, yakni kesadaran politik

seseorang dan kepercayaan politik terhadap pemerintah. 36 Aspek kesadaran

politik seseorang meliputi kesadaran terhadap hak dan kewajibannya sebagai

warga negara baik hak-hak politik, ekonomi, maupun hak mendapat jaminan

sosial dan hukum. Selain itu, kewajibannya sebagai warga negara dalam

sistem politik maupun kehidupan sosial juga berpengaruh terhadap tinggi

rendahnya partisipasi politik. Faktor pertama tersebut sebenarnya juga

36
Soedjono Sastroatmodjo, Op.cit, hal 91
34

menyangkut seberapa banyak pengetahuan yang dimiliki seseorang akan

lingkungan masyarakat dan politik di sekitarnya. Faktor kedua menyangkut

bagaimanakah penilaian dan apresiasinya terhadap pemerintah, baik

terhadap kebijakan-kebijakan maupun terhadap pelaksanaan

pemerintahannya. Penilaian itu mrupakan rangkaian dari kepercayaannya,

baik yang menyangkut apakah pemerintah itu dapat dipercaya atau tidak,

maupun apakah pemerintah dapat dipengaruhi atau tidak. Artinya, jika mereka

memandang pemerintah tidak dapat dipengaruhi dalam proses pengambilan

keputusan politik, maka bagi mereka berpartisipasi secara aktif adalah hal

yang sia-sia.

Selain kedua variabel di atas, terdapat veriabel lain yang ikut

mempengaruhi partisipasi politik seseorang, seperti status sosial dan

ekonomi. Kedudukan sosial tertentu, misalnya orang yang memiliki jabatan

atau kedudukan yang tinggi dalam masyarakat akan memiliki tingkat

partisipasi politik yang cenderung lebih tinggi . Demikian pula orang yang

memiliki status ekonomi yang tinggi cenderung lebih aktif dalam berpartisipasi

politik. Variabel lainnya ialah afiliasi politik orang tuanya dan pengalaman-

pengalaman organisasi yang dimilikinya.

Sementara itu Milbrath memberikan empat alasan bervariasinya

partisipasi politik seseorang.37 Pertama, berkenaan dengan penerimaan

perangsang politik. Milbrath mengatakan bahwa keterbukaan dan kepekaan

37
Soedjono Sastroatmodjo, Op.cit, hal 92
35

seseorang terhadap perangsang politik melalui kontak-kontak pribadi,

organisasi, dan melalui media massa akan berpengaruh bagi keikutsertaan

seseorang dalam kegiatan politik. Keterbukaan dan kepekaannya menerima

perangsang politik melalui media massa akan mendorong seseorang secara

aktif terlibat dalam politik. Dengan mengikuti secara aktif perkembangan-

perkembangan politik melalui media massa, seseorang akan memiliki

referensi yang cukup aktual untuk memberikan tanggapan dan akhirnya

sebagai bahan dalam partisipasi politiknya. Meskipun demikian dalam

menanggapi perangsang-perangsang politik itu tentu dipengaruhi oleh

pengetahuan, sikap, nilai-nilai, pengalaman-pengalaman, dan kepribadian

yang dimiliki seseorang.

Alasan kedua menurut Milbrath, berkenaan dengan karakteristik sosial

seseorang. Status ekonomi, karakter suku, usia, jenis kelamin, dan agama,

merupakan karakteristik sosial yang memiliki pengaruh terhadap partisipasi

politik. Ketiga, menyangkut sistem politik dan sistem partai tempat seorang

individu itu hidup. Seseorang yang hidup dalam negara demokratis cenderung

berpartisipasi dalam politik karena partai-partai politiknya cenderung mencari

dukungan massa dan memperjuangkan kepentingan massa. Sedangkan

alasan Milbrath yang keempat ialah berupa perbedaan regional. Perbedaan

regional ini merupakan aspek lingkungan yang berpengaruh terhadap

perbedaan watak dan tingkah laku individu, sehingga mendorong perbedaan

perilaku politik dan partisipasi politik seseorang.


36

Pada masa berlakunya demokrasi konstitusional dan liberal, partisipasi

politik masyarakat tergolong tinggi. Partisipasi dalam bentuk-bentuk yang

tidak konvensional bahkan seringkali dipilih oleh rakyat dalam menyuarakan

aspirasi politiknya. Munculnya partisipai politik itu tentu tidak dengan

sendirinya, tetapi karena faktor yang mendukung lahirnya bentuk partisipasi

politik masa itu.

Menurut Sanit, ada lima faktor yang mendorong partisipasi politik pada

masa itu.38 Pertama, adanya kebebasan berkompetisi di segala bidang,

termasuk politik. Kedua, adanya kenyataan berpolitik secara luas dan terbuka.

Ketiga, adanya keleluasaan mengorganisasikan diri sehingga organisasi

masyarakat dan partai dapat tumbuh dengan subur. Keempat adanya

penyebaran sumber daya politik dalam masyarakat. Kelima adanya distribusi

kekuasaan dalam masyarakat sehingga tercipta perimbangan kekuasaan.

Dari sejarah politik Indonesia, krisis partisipasi pada prinsipnya

disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, adanya logika formal yang

menyatakan bahwa infrastruktur politik dibentuk tanpa melibatkan

keikutsertaan rakyat, sehingga setiap kebijakan yang diambil oleh

suprastruktur politik dirasakan kurang ada ikatan batin dengan sebagian

rakyat. Kedua, setiap keputusan suprastruktur politik harus mengikat dan

dipaksakan (enforcement). Hal itu karena adanya pengkotakan dan aliran

sempit (primordial, kesukuan, dsb) yang tidak mendapat respon yang wajar

dari rakyat. Ketiga, apatis yang tumbuh dan seringkali disusul dengan

38
Soedjono Sastroatmodjo, Op.cit hal 9
37

manifestasi ekstern berupa separatism dan demokrasi. Keempat adanya

volume tuntutan yang tidak mendapatkan wadah yang cukup dalam

suprastruktur politik, sehingga banyak persoalan pembangunan untuk

mengembangkan masyarakat menjadi terganggu.

5. Konsep Partisipasi Masyarakat dalam Politik dan Partisipasi


Masyarakat dalam Pemilihan Umum

Peran serta atau partisipasi masyarakat dalam politik adalah kegiatan

seseorang atau sekelompok orang untuk turut serta secara aktif dalam

kehidupan politik, dengan jalan memilih pimpinan negara, dan secara

langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah, ‘public

policy’. Secara konvensional kegiatan ini mencakup tindakan seperti:

memberikan suara dalam pemilihan umum, ‘voting’; menghadiri rapat umum,

‘campaign’; menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan;

mengadakan pendekatan atau hubungan, ‘contacting’ dengan pejabat

pemerintah, atau anggota parlemen dan sebagainya.39

Partisipasi politik adalah kegiatan warga yang bertindak sebagai

pribadip;ribadi yang di maksud mempengaruhi pembutan keputusan oleh

pemerintah Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau

spontan, mantap atau sporadik, secara damai atau dengan kekerasan, legal

atau ilegal, efektif atau tidak efektif. Fungsi utama partai politik adalah mencari

dan mempertahankan kekuasaan guna mewujudkan program-programnya

berdasarkan ideologi tertentu. Cara yang digunakan partai politik dalam sistem

39
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009), h. 55.
38

politik demokratis untuk mendapatkan dan/atau mempertahankan kekuasaan

itu adalah dengan melalui mekanisme pemilihan umum. Terkait dengan tugas

tersebut maka menjadi tugas partai politik untuk mencari dukungan seluas-

luasnya dari masyarakat agar tujuan itu dapat tercapai.40

Cara lain dalam mendorong partisipasi masyarakat terhadap pemilu

melalui penguatan partai politiknya. Argumentasinya, bahwa partai politik

diwajibkan melakukan pendidikan politik. Bukan malahan partai politik

mengarahkan pemilih dengan metode politik instan, yaitu pemberian uang.

Ketika pola atau cara ini masih direproduksi terus menerus, bisa dipastikan

nilai dan pemahaman masyarakat terhadap partisipasi menjadi mengecil

hanya dihargai dengan uang. Bukan karena kesadaran sendiri untuk memilih

partai karena kinerja serta keberpihakannya dalam momentum pemilu.

Seseorang mau terlibat aktif dalam kegiatan pertisipasi politik Menurut

Davis terdapat tiga unsur, yaitu:

a) Adanya penyertaan pikiran dan perasaan


b) Adanya motivasi untuk berkontribusi
c) Adanya tanggung jawab bersama.41
Partisipasi berasal dari dalam atau dari diri sendiri masyarakat tersebut.

Artinya meskipun diberi kesempatan oleh pemerintah atau Negara tetapi kalau

kemauan ataupun kemampuan tidak ada maka partisipasi tidak akan terwujud.

Di samping itu, ada bentuk-bentuk partisipasi politik sebagaimana

40
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009), h.
368.
41
Davis Keth, Human Behavior at Work: Organizational Behavior (New York: Mc GrawHill Book
Company, 1987), h. 145.
39

dikemukakan Sulaiman, bahwa bentuk-bentuk partisipasi politik adalah

sebagai berikut:

a) Partisipasi dalam kegiatan bersama secara fisik dan tatap muka


b) Partisipasi dalam bentuk iuran uang, barang, dan prasarana
c) Partisipasi dalam proses pengambilan keputusan
d) Partisipasi dalam bentuk dukungan.42

Sulaiman mengatakan ada beberapa jenis partisipasi politik yaitu :

a) Partisipasi pikiran “Psychological Participation”


b) Partisipasi tenaga “Physical Participation”
c) Partisipasi pikiran dan tenaga “Psychological and Physical
Participation”
d) Partisipasi keahlian “Participation With Skill”
e) Partisipasi barang “Material Participation”
f) Partisipasi uang/dana ‘Money Participation.43

Kesempatan berpartisipasi berasal dari luar masyarakat. Demikian pula

walaupun kemauan dan kemampuan berpartisipasi oleh masyarakat ada

tetapi kalau tidak diberi kesempatan oleh pemerintah Negara maka partisipasi

tidak akan terjadi. Oleh karena itu tiga hal tersebut kemauan, kemampuan

maupun kesempatan merupakan factor yang sangat penting dalam

mewujudkan partisipasi. Selama ini kegiatan partisipasi masyarkat masih

dipahami sebagai upaya mobilitasi masyarakat untuk kepentingan Pemerintah

atau Negara. Padahal sebenarnya partisipasi idealnya masyarakat ikut serta

dalam menentukan kebijakan Pemerintah yaitu bagian dari control masyarakat

terhadap kebijakan Pemerintah.

42
Affan Sulaiman, Public Policy-Kebijakan Pemerintah (Bandung: BKU Ilmu Pengetahun Program
Master, Ilmu-ilmu Sosial pada Intitut Imu Pemerinthan Bekerjasama UNPAD-IIP. 1998) h. 198.
43
Affan Sulaiman, Public Policy-Kebijakan Pemerintah, h. 200.
40

Implementasi partisipasi masyarakat seharusnya anggota masyarakat

merasa tidak lagi menjadi obyek dari kebijakan pemerintah tetapi harus dapat

mewakili masyarakat sendiri untuk kepentingan mereka sendiri. Analisis politik

modern partisispasi politik meruapakan suatu maslaah yang penting dan akhir-

akhir ini banyak dipelajari terutama hubungannya dengan Negara

berkembang. Sebagai definisi umum dapat dikatakan bahwa partisipasi politik

adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif

dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pimpinan Negara

secara langsung atau tidak langsung, memengaruhi kehidupan kebijakan

(public policy).44

Setiap perhelatan demokrasi atau pemiihan umum yang

diselenggarakan oleh Negara Republik Indonesia memiliki dampak terhadap

perkembangan kemajuan kehidupan berbangsa dan bernegara. Para elit

politik sejatinya memberikan pendidikan politik yang cerdas kepada

masyarakat agar kesadaran berdemokrasi semakin tinggi dari berbagai

kalangan. Kesadaran berdemokrasi tersebut akan tinggi jika partisipasi

masyarakat dalam memberik an haknya juga tinggi.

Kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi secara positif dalam sistem

politik yang ada, jika seseorang tersebut merasa dirinya sesuai dengan

suasana lingkungan dimana dia berada. Apabila kondisi yang terjadi adalah

sebaliknya, maka akan lahir sikap dan tingkah laku politik yang tampak janggal

44
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009), h.
367
41

atau negatif, misalnya jika seseorang sudah terbiasa berada dalam lingkungan

berpolitik yang demokratis, tetapi dia ditempatkan dalam sebuah lingkungan

masyarakat yang feodal atau tidak demokratis maka dia akan mengalami

kesulitan dalam proses beradaptasi.

Meningkatnya keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan

Pemilihan Umum (Pemilu), menunjukan semakin kuatnya tatanan demokrasi

dalam sebuah negara. Demokrasi menghendaki adanya keterlibatan rakyat

dalam setiap penyelenggaraan yang dilakukan negara. Rakyat diposisikan

sebagai aktor penting dalam tatanan demokrasi, karena pada hakekatnya

demokrasi mendasarkan pada logika persamaan dan gagasan bahwa

pemerintah memerlukan persetujuan dari yang diperintah. Keterlibatan

masyarakat menjadi unsur dasar dalam demokrasi. Untuk itu,

penyelenggaraan pemilu sebagai sarana dalam melaksanakan demokrasi,

tentu saja tidak boleh dilepaskan dari adanya keterlibatan masyarakat.

Partisipasi politik akan berjalan selaras manakala proses politik berjalan

secara stabill. Seringkali ada hambatan partisipasi politik ketika stabilitas

politik belum bisa diwujudkan, karena itu penting untuk dilakukan oleh para

pemegang kekuasaan untuk melakukan proses stabilisasi politik. Disamping

itu pula proses berikutnya melakukan upaya pelembagaan politik sebagai

bentuk dari upaya untuk memberikan kasempatan kepada masyarakat untuk

mengaktualisasikan citacitanya.45

45
Ikhsan Darmawan, Mengenal Ilmu Politik, ( Jakarta: Kompas Media Nusantara,2015) hal 55.
42

Cara partisipasi politik dapat didefinisikan sebagai cara partispasi politik

dimana warga Negara melakukan berbagai usaha untuk mempengaruhi

pembuatan kebijakan. Ada 3 jenis cara partisipasi yaitu : Interst Articulation,

partisipasi jenis ini artinya individu menyuarakan kepentingan melalui

hubungan personal, organisasi formal atau informal serta berbagai macam

proses Interest Aggregation, partsipasi politik jenis ini artinya seorang individu

menyatukan aspirasi yang banyak beraneka ragam. Policy Making, partisipasi

politik jenis ini artinya seseorang indivisu terlibat dalam proses pembuatan

kebijakan.46 Masyarakat yang bijak harus turut serta dalam proses pemilihan

umum dalam rangka menentukan pemimpin yang akan memimpin. Dengan

demikian, secara tidak langsung akan menentukan pembuat kebijakan yang

akan berusaha mensejahterakan masyarakat secara umum. Dalam turut

berpartisipasi dalam proses pemilihan umum maupun pemilihan kepala

daerah sebagai masyarakat yang cerdas harus mampu menilai calon yang

terbaik yang sekiranya mampu dan mau mendengarkan aspirasi masyarakat

agar pembangunan yang akan dilakukan sesuai dengan keinginan

masyarakat dan tidak memilih calon yang hanya mementingkan diri sendiri

atau kelompoknya saja sehingga melupakan janji-janji yang sudah diucapkan

dalam masa kampanye.

Sebagai pemilik hak pemilih dalam pemilu kita jangan sampai menyia-

nyiakan hak suara hanya untuk iming-iming sementara yang dalam artian kita

46
Ikhsan Darmawan, Mengenal Ilmu Politik, hal 55.
43

harus memberikan suara kita kepada calon yang tepat. Ketidakikutsertaan kita

sebenarnya justru akan membuat kita susah sendiri karena kita tidak turut

memilih tetapi harus mengikuti pemimpin yang tidak kita pilih. Partisipasi

pemilih dalam pelaksanaan Pemilu mutlak diperlukan, tanpa adanya

partisipasi pemilih, Pemilu hanyalah menjadikan sebagai objek semata dan

salah satu kritiknya adalah ketika masyarakat tidak merasa memiliki dan acuh

tak acuh terhadap pemilihan umum.

F. Metode Penelitian

Menurut Soerjono Soekanto & Sri Mamudji : “Penelitian Hukum

Normatif Penelitian Hukum Normatif (yuridis normatif) adalah metode

penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data

sekunder, berupa Bahan Hukum Primer, Sekunder dan Tertier”.47 Sedangkan

menurut Ronny Hanitijo Soemitro : “Penelitian Hukum Sosiologis atau empiris

adalah metode penelitian yang dilakukan untuk mendapatkan data primer dan

menemukan kebenaran dengan menggunakan metode berpikir induktif”.48

Mengacu pada kedua pendapat ini, maka penelitian tesis ini dilakukan

menggunakan metode penelitian hukum normatif dan sosiologis dengan

langkah-langkah sebagai berikut:

1. Studi Kepustakaan

a. Sumber Data :

47
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat),
Rajawali Pers, Jakarta, 2001, Hlm. 13-14
48
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Cetakan Kelima, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1994, Hlm., 12, 59-60
44

1) Bahan-bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan

yang mengatur Tentang Peran Komisi Pemilihan Umum Daerah

Dalam Membangun Partisipasi Politik Masyarakat Pada Pemilihan

Kepala Daerah.

2) Bahan hukum sekunder berupa literatur-literatur ilmu hukum, hasil

peneltitian, jurnal ilmiah, dan makalah-makalah para sarjana yang

relevan dengan masalah penelitian ini.

3) bahan hukum tertier berupa kamus hukum dan dokumen-dokumen

resmi (tetulis) lainnya yang relevan dengan masalah penelitian tesis

ini.

b. Teknik Pengumpulan Data.

Teknik pengumpulan data kepustakaan dilakukan dengan cara

menginventarisasi, mempelajari dan mengaplikasikan konsep-konsep,

asas-asas dan norma-norma hukum yang diperoleh dari data primer,

sekunder dan tertier, ke substansi masalah penelitian ini.

c. Teknik Analisa Data : dilakukan dengan metode deskriptif yuridis

melaui proses interpretasi, penalaran konseptual dan

kontekstualitasnya dengan masalah yang diteliti.

2. Studi lapangan dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut.49

a. Bertujuan untuk mengetahui pola dan bentuk kinerja KPUD untuk

membangun partisipasi politik masyarakat pada pemilihan kepala

daerah di Kabupaten Kubu Raya tahun 2018. untuk mengetahui

49
Rony Hanitijo Soemitro, Penelitian Hukum Dan Jurimetri, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1983.
45

minimnya partisipasinya politik masyarakat pada pemilihan kepala

daerah merupakan bentuk kegagalan KPUD dalam menjalankan

perannya untuk membangun partisipasinya politik masyarakat. untuk

mengetahui faktor-faktor dominan yang menyebabkan minimnya

partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan daerah mempunyai

korelasi langsung dengan peran KPUD. dan untuk mengetahui langkah-

langkah apa yang seharusnya di lakukan KPUD agar partisipasi politik

masyarakat dalam pemilihan kepala daerah cendrung meningkat.

b. Sumber data adalah responden yang ditetapkan dengan teknik

purposive sampling (sampel bertujuan), sebagai berikut :

1) 5 (lima) orang KPUD Kabupaten Kubu Raya .

2) 3 (tiga) Orang Bawaslu Kabupaten Kubu Raya.

3) 3 (tiga) orang Masyarakat Kubu Raya yang masuk dalam Daftar

Pemilihan Tetap (DPT) Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Kubu

Raya.

c.Teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara

berstruktur menggunakan kuesiner, yang disusun dalam bentuk

pertanyaan tertutup dan terbuka.

d. Analisa data dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif melalui

proses interpretasi, penalaran konseptual, dan kontekstualitasnya

dengan masalah yang diteliti.


46

G. Sistematika Penulisan.

Sistimatika penulisan tesis ini terdiri dari 4 (empat) bab, tiap-tiap bab

membahas materi yang saling berkaitan dengan tema utamanya.

Bab I Pendahuluan : berisi uraian tentang Latar Belakang Masalah,

Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Kerangka

Pemikiran Teoretik, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan, dan Jadwal

Penelitian.

Bab II Tinjauan Pustaka : berisi uraian tentang Pengertian Partisipasi

Politik, Prilaku Memilih, Arti, Asas dan Tujuan pemilihan kepala daerah

langsung dan Peran Komisi Pemilihan Umum Daerah Dalam Membangun

Partisipasi Politik Masyarakat Pada Pemilihan Kepala Daerah.

Bab III Analisis Hasil Penelitian dan Pembahasan : berisi uraian

tentang analisis masalah tesis yang diteliti.

Bab IV Penutup : berisi kesimpulan dan saran.

H. Jadwal Penelitian.

Penelitian dijadwalkan selama 6 (enam) bulan dengan alokasi waktu

sebagaimana tersebut di bawah ini :

1. Peyusunan Proposal Dan Seminar Proposal Tesis : Juli 2018;


2. Pelaksanaan Kegiatan Penelitian : Agustus 2018;
3. Penulisan Naskah Tesis : Agustus- September 2018
4. Ujian Tesis : Akhir Desember 2018
47

DAFTAR PUSTAKA
Buku :

Andi Faisal Bakti dkk, Literasi Politik dan Konsolidasi Demokrasi, (Jakarta:
Churia Press, 2012)

Affan Sulaiman, Public Policy-Kebijakan Pemerintah (Bandung: BKU Ilmu


Pengetahun Program Master, Ilmu-ilmu Sosial pada Intitut Imu
Pemerinthan Bekerjasama UNPAD-IIP. 1998)

Efriza, Political Explore : Sebuah Kajian Ilmu Politik, Bandung : Alfa Beta, 2012

Davis Keth, Human Behavior at Work: Organizational Behavior (New York: Mc


GrawHill Book Company, 1987)

Firmanzah, Marketing Politik, edisi pertama, Yayasan Obor Indonesia,


Jakarta, 2007

Ikhsan Darmawan, Mengenal Ilmu Politik, Jakarta: Kompas Media


Nusantara,2015

Kartini Kartono, Pendidikan Politik, Bandung: Mandar Maju, 1996,

Launa. GB, “Perkembangan Pemikiran Negara: Dari Socrates Samapai Marx”.


Jurnal Ilmu Politik Progresif Vol 1. No 3 Thn 2001

Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta, PT. Gramedia Pustaka,


2008).

Pangi Syarwi, Titik Balik Demokrasi : Petunjuk Bagi Para Pejuang Demokrasi,
Jakarta. Pustaka Intelegensia 2012

Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Gramedia Pustaka Utama,


Jakarta,1997

Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Widisarana


Indonesia, 2007

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Cetakan


Kelima, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994

………, Penelitian Hukum Dan Jurimetri, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1983

Samuel P. Hungtington; Joan M. Nelson, Partisipasi Politik di Negara


Berkembang, Jakarta : Rineka Cipta, 1990

Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat), Rajawali Pers, Jakarta, 2001
48

Sitti Bulkis, Manajemen Pembangunan, (Universitas Hasanudin, Makasar


2011)

Sofiah R, Kampanye Politik dan Perilaku Pemilih, dalam Jurnal Dinamika Vol.5
No.1 tahun 2005, FISIP Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2005,

Susanto, Pilkada Langsung: Kajian Yuridis dan Politis. Jurnal Dinamika Vol. V
No. I, Surakarta, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 2005,

Thamrin , Kerangka Kerja Sistem Politik Indonesia, Padang : Jurusan Ilmu


Politik Universitas Andalas, 2012

Tony Djogo Dkk, Kelembagaan Dan Kebijakan Dalam Pengembangan


Agroforestri ( Bogor : World Agroforestry Centre (ICRAF) 2003)

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN :
Undang-Undang Dasar 1945

Undang-undang Pemilu Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan


Pemilu

SUMBER INTERNET :

http://pontianak.tribunnews.com/2018/02/12/ditetapkan-inilah-tiga-pasangan-
calon-bupati-dan-wakil-bupati-kubu-raya. Di akses tanggal 9 Agustus 2018

Anda mungkin juga menyukai