Anda di halaman 1dari 17

HAM DAN DEMOKRASI DALAM ISLAM

2.1 Kontribusi Umat Islam dalam Perumusan dan Penegakan Hukum di Indonesia

Dilihat dari sketsa historis, hukum islam masuk ke indonesia bersama masuknya islam ke Indonesia pada
abad ke 1 hijriyah atau 7/8 masehi. Sedangkan hukum barat baru diperkenalkan VOC awal abad 17 masehi.
Sebalum islam masuk Indonesia, rakyat Indonesia menganut hukum adat yang bermacam-macam sistemnya
dan sangat majemuk sifatnya. Namun setelah islam datang dan menjadi agama resmi di berbagai kerajaan
nusantara, maka hukum islam pun munjadi hukum resmi kerajaan-kerajaan tersebut dan tersebar menjadi
hukum yang berlaku dalam masyarakat. Secara yuridis formal, keberadaan negara kesatuan Indonesia adalah
diawali pada saat proklamasi 17 Agustus 1945. Pada tanggal 18 Agustus 1945 kemudian diakui berlakunya
Undang-Undang Dasar 1945. Pada saat itulah keinginan para pemimpin islam untuk kembali menjalankan
hukum islam bagi umat islam berkobar1.
Hukum islam memiliki dua sifat, yaitu: Al- tsabat (stabil) yang artinya hukum islam sebagai wahyu akan
tetap dan tidak berubah sepanjang masa dan At-tathawwur (berkembang) yang artinya hukum islam tidak kaku
dalam berbagai kondisi dan situasi sosial. Atas dasar itu, melalui penerapan hukum islam umat Islam dapat
memberikan kontribusinya dalam perumusan dan penegakan hukum indonesia, sebagai berikut2:

2.1.1 Lahirnya UUD 1945


Peranan Umat Islam dalam Mempersiapkan dan Meletakkan Dasar-dasar Indonesia
Merdeka.Dalam upaya mempersiapkan kemerdekaan Indonesia, tidak disangsikan lagi peran kaum
muslimin terutama para ulama. Mereka berkiprah dalam BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia) yang dibentuk tanggal 1 maret 1945. Lebih jelas lagi ketika Badan ini
membentuk panitia kecil yang bertugas merumuskan tujuan dan maksud didirikannya negara Indonesia.
Panitia terdiri dari 9 orang yang semuanya adalah muslim atau para ulama kecuali satu orang beragama
Kristen. Meski dalam persidangan-persidangan merumuskan dasar negara Indonesia terjadi banyak
pertentangan antar (mengutip istilah Endang Saefudin Ansori dalam bukunya Piagam Jakarta) kelompok
nasionalis Islamis dan kelompok nasionalis sekuler. Kelompok Nasionalis Islamis antara lain KH.
Abdul Kahar Muzakir, H. Agus Salim, KH.Wahid Hasyim, Ki Bagus dan Abi Kusno menginginkan
agar Islam dijadikan dasar negara Indonesia. Sedangkan kelompok nasionalis sekuler dibawah pimpinan
Soekarno menginginkan negara Indonesia yang akan dibentuk itu netral dari agama. Namun Akhirnya
terjadi sebuah kompromi antara kedua kelompok sehingga melahirkan sebuah rumusan yang dikenal
dengan Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945, yang berbunyi :

1) Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya


2) Kemanusiaan yang adil dan beradab
3) Persatuan Indonesia
4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Rumusan tersebut disetujui oleh semua anggota dan kemudian menjadi bagian dari Mukaddimah
UUD 1945. Jadi dengan demikian Republik Indonesia yang lahir tanggal 17 Agustus 1945 adalah
republik yang berdasarkan ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syareat Islam bagi pemeluk-
pemeluknya Meskipun keesokan harinya 18 Agustus 1945 tujuh kata dalam Piagam Jakarta itu
dihilangkan diganti dengan kalimat “Yang Maha Esa”. Ini sebagai bukti akan kebesaran jiwa umat Islam

1
Nurul Jazilah A., Kontribusi Umat Islam dalam Perumusan dan Penegakan Hukum Indonesia, (Palembang: Jurnal UNSRI, 2015), hlm.
78.
2
Ibid, 80-103.
dan para ulama. Muh. Hatta dan Kibagus Hadikusumo menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan”
Yang Maha Esa” tersebut tidak lain adalah tauhid.
Saat proklamasi pun peran umat Islam sangat besar. 17 Agustus 1945 itu bertepatan dengan tangal 19
Ramadhan 1364 H. Proklamasi dilakukan juga atas desakan-desakan para ulama kepada Bung Karno.
Tadinya Bung Karno tidak berani. Saat itu Bung Karno keliling menemui para ulama misalnya para
ulama di Cianjur Selatan, Abdul Mukti dari Muhammadiyah, termasuk Wahid Hasyim dari NU. Mereka
mendesak agar Indonesia segera diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945.

2.1.2 Lahirnya Undang-undang Perkawinan

Pengaturan perkawinan di Indonesia tidak dapat lepas dari keterlibatan tiga pihak/kepentingan,
yaitu kepentingan agama, kepentingan negara dan kepentingan perempuan. M. Syura’i, S.H.I. dalam
tulisannya tanggal 6 November 2010 yang berjudul “Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan” menjelaskan bahwa Kelahiran Undang-undang perkawinan telah mengalami rentetan
sejarah yang cukup panjang. Bermula dari kesadaran kaum perempuan Islam akan hak-haknya yang
merasa dikebiri oleh dominasi pemahaman fikih klasik atau konvensional yang telah mendapat
pengakuan hukum, mereka merefleksikan hal tersebut dalam pertemuan-pertemuan yang kelak menjadi
embrio lahirnya Undang-Undang Perkawinan.
Kemudian, Arso Sosroatmojo mencatat bahwa pada rentang waktu 1928 kongres perempuan
Indonesia telah mengadakan forum yang membahas tentang keburukan-keburukan yang terjadi dalam
perkawinan di kalangan umat Islam. Hal tersebut juga pernah dibicarakan pada dewan rakyat
(volksraad).
Umat Islam waktu itu mendesak DPR agar secepatnya mengundangkan RUU tentang Pokok-
Pokok Perkawinan bagi umat Islam, namun usaha tersebut menurut Arso Sosroatmodjo tidak
berhasil.Simposium Ikatan Sarjana Wanita Indonesia (ISWI) pada tanggal 1972 menyarankan agar
supaya PP ISWI memperjuangkan tentang Undang-Undang Perkawinan. Selanjutnya organisasi
Mahasiswa yang ikut ambil bagian dalam perjuangan RUU Perkawinan Umat Islam yaitu Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) yang telah mengadakan diskusi panel pada tanggal 11 Februari 1973. Akhirnya
setelah bekerja keras, pemerintah dapat menyiapkan sebuah RUU baru. Tanggal 31 Juli 1973
pemerintah menyampaikan RUU tentang Perkawinan yang baru kepada DPR, yang terdiri dari 15 (lima
belas) bab dan 73 (tujuh puluh tiga) pasal. RUU ini mempunyai tiga tujuan, yaitu memberikan kepastian
hukum bagi masalah-masalah perkawinan sebab sebelum adanya undang-undang maka perkawinan
hanya bersifat judge made law, untuk melindungi hak-hak kaum wanita sekaligus memenuhi keinginan
dan harapan kaum wanita serta menciptakan Undang-undang yang sesuai dengan tuntutan zaman.
Pada tanggal 17-18 September, wakil-wakil Fraksi mengadakan forum pandangan umum atas
RUU tentang Perkawinan sebagai jawaban dari pemerintah yang diberikan Menteri Agama pada tanggal
27 September 1973. Pemerintah mengajak DPR untuk secara bersama bisa memecahkan kebuntuan
terkait dengan RUU Perkawinan tersebut.
Secara bersamaan, untuk memecahkan kebuntuan antara pemerintah dan DPR diadakan lobi-lobi
antara fraksi-fraksi dengan pemerintah. Antara fraksi ABRI dan Fraksi PPP dicapai suatu kesepakatan
antara lain:
1) Hukum agama Islam dalam perkawinan tidak akan dikurangi atau ditambah;
2) Sebagai konsekuensi dari poin pertama itu, maka hal-hal yang telah ada dalam Undang-
undang Nomor 22 Tahun 1964 dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tetap dijamin
kelangsungannya dan tidak akan diadakan perubahan; dan
3) Hal-hal yang bertentangan dengan agama Islam dan tidak mungkin disesuaikan dengan
undang-undang perkawinan yang sedang dibahas di DPR, segera akan dihilangkan.
Hasil akhir undang-undang perkawinan yang disahkan DPR terdiri dari 14 (empat belas) bab
yang dibagi dalam 67 (enam puluh tujuh) pasal, berubah dari rancangan semula yang diajukan
pemerintah ke DPR, yaitu terdiri dari 73 pasal.

2.1.3 Lahirnya Peradilan Agama

Peradilan Islam di Indonesia yang kemudian dikenal dengan istilah Peradilan Agama telah ada dan
dikenal jauh sebelum Indonesia merdeka. Peradilan Agama ada dan seiring dengan perkembangan
kelompok masyarakat di kala itu, yang kemudian memperoleh bentuk-bentuk ketatanegaraan yang
sempurna dalam kerajaan Islam. Hal ini diperoleh karena masyarakat Islam sebagai salah satu
komponen anggota masyarakat adalah orang yang paling taat hukum, baik secara perorangan maupun
secara kelompok.Perjalanan lembaga Peradilan Agama hingga era satu atap ini mengalami pasang surut
dan tantangan yang sangat berat, baik secara kelembagaan maupun secara konstitusional.
Lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memperkokoh keberadaan
pengadilan agama. Di dalam undang-undang ini tidak ada ketentuan yang bertentangan dengan ajaran
Islam. Pasa12 ayat (1) undang-undang ini semakin memperteguh pelaksanaan ajaran Islam (Hukum
Islam). Suasana cerah kembali mewarnai perkembangan peradilan agama di Indonesia dengan keluarnya
Undang- undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah memberikan landasan untuk
mewujudkan peradilan agama yang mandiri, sederajat dan memantapkan serta mensejajarkan
kedudukan peradilan agama dengan lingkungan peradilan lainnya.
Dalam sejarah perkembangannya, personil peradilan agama sejak dulu selalu dipegang oleh para
ulama yang disegani yang menjadi panutan masyarakat sekelilingnya. Hal itu sudah dapat dilihat sejak
dari proses pertumbuhan peradilan agama sebagai-mana disebut di atas. Pada masa kerajaan-kerajaan
Islam, penghulu keraton sebagai pemimpin keagamaan Islam di lingkungan keraton yang membantu tug
as raja di bidang keagamaan yang bersumber dari ajaran Islam, berasal dari ulama seperti KaBjeng
Penghulu Tafsir Anom IV pada Kesunanan Surakarta. Ia pemah mendapat tugas untuk membuka
Madrasah Mambaul Ulum pada tahun 1905. Namun sejak tahun 1970-an, perekrutan tenaga personil di
lingkungan peradilan agama khususnya untuk tenaga hakim dan kepaniteraan mulai diambil dati alumni
lAIN dan perguruan tinggi agama.
Dari uraian singkat tentang sejarah perkembangan peradilan agama tersebut di atas dapat
disimpulkan bahwa peradilan agama bercita-cita untuk dapat memberikan pengayoman dan pelayanan
hukum kepada masyarakat.

2.1.4 Pengelolaan Zakat

Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan Zakat menetapkan bahwa tujuan
pengelolaan Zakat adalah sebagai berikut:
1) Meningkatnya kesadaran masyarakat dalam penunaian dan dalam pelayanan ibadah Zakat.
2) Meningkatnya fungsi dan peranan pranata keagaman dalam upaya mewujudkan
kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial
3) Meningkatnya hasil guna dan daya guna Zakat.
Guna untuk tercapainya tujuan yang lebih optimal bagi kesejahteraan umum untuk seluruh
lapisan masyarakat, maka UU tentang Pengelolaan zakat mencakup pula tentang pengelolaan infaq,
sodhaqah, hibah, wasiat, waris dan kafarat. Hanya saja sistem pengadministrasian keuangannya
dilakukan secara terpisah. Terpisah antara zakat dengan Infaq, shodaqah, dan lain sebagainya.
2.2 Fungsi Hukum Islam dalam Kehidupan Bermasyarakat
Hukum Islam tidak hanya mengatur tentang hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga hubungan natara
manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan manusia lain dalam masyarakat dan antara manusia dengan
lingkungan hidup disekitarnya. Tujuan hukum Islam adalah untuk mencegah kemaslahatan bagi mereka,
mengarahkan mereka kepada kebenaran, dan kebajikan.
Hukum Islam disyariatkan oleh Allah dengan tujuan untuk meralisasikan dan melindungi kemaslahatan
umat manusia, baik individu ataupun kolektif. Guna menjamin, melindungi, dan menjaga kemaslahatan
tersebut, Islam menetapkan sejumlah aturan, baik berupa perintah atau larangan. Isalam sebagai agama
memiliki hukum yang fungsi utamanya terhadap kemaslahatan umat. Adapun fungsi hukum islam dalam
kehidupan bermasyarakat adalah sebagai berikut3:

2.2.1 Fungsi
Ibadah

Fungsi paling utama hukum islam adalah untuk beribadah. Hukum Islam adalah ajaran Allah swt. yang h

Semua penyebutan ibadah di dalam Al-Quran adalah tauhid. Artinya, jika dalam Al-Quran
terdapat perintah untuk beribadah kepada Allah, maksudnya adalah tauhidkan Allah atau sembahlah
(beribadahlah) hanya kepada Allah. Oleh sebab itu, makna ayat ini adalah: Tidaklah Aku ciptakan Jin
dan Manusia kecuali agar mereka beribadah hanya kepadaKu. Ibadah adalah penghambaan. Segala
macam perbuatan atau ucapan yang dicintai dan dirdhoi Allah adalah ibadah. Begitu pula fungsi
adanya aturan dalam islam adalah agar kita dapat melaksanakan perintah beribadah itu dengan baik.

2.2.2 Fungsi Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Walaupun hukum islam telah ada dan eksis mendahului masyarakat karena kalam Allah yang
qadi, dalam praktiknya hukum islam tetap bersentuhan dengan masyarakat. Contohnya adalah proses
pengharaman hukum riba dan khamar. Di dalam Al-Quran penjelasan mengenai khamar dijelaskan
pada surat Al-Baqarah: 219 dan surat Al-Maidah: 90 yang masing-masing berbunyi,

Artinya:

3
Ibrahim Hosen, “Fungsi Hukum Islam dalam Kehidupan Umat’ dalam Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, ed.
Amrullah A. (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 87-88.
“Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang khamr dan judi. Katakanlah, ‘Pada keduanya
terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar daripada
manfaatnya.‘ dan mereka menanyakan kepadamu (tentang) apa yang (harus) mereka infakkan.
Katakanlah, ‘Kelebihan (dari apa yang diperlukan)’. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepadamu agar kamu memikirkan” (Q.S Al Baqarah: 219)

Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala,
dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka
jauhilah (perbuatan-perbuatan) agar kamu beruntung” (Q.S Al-Maida: 90)

Kemudian penjelasan dalam Al-Quran mengenai riba dijelaskan, dalam Al-Quran surat Ar-Ruum:
39, An-Nisaa’: 160-161, Al-Imran: 130 (masih ada juga beberapa ayat lain yang menjelaskan tentang
riba) yang masing-masing berbunyi,

Artinya:
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar harta manusia bertambah, maka tidak bertambah
dalam pandangan Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk
memperoleh keridaan Allah, maka itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya)” (Q.S Ar-
Rum: 39)

Dan karena mereka telah menjalankan riba, padahal sungguh mereka telah dilarang darinya, dan karena
mereka memakan harta orang dengan cara tidak sah (batil). Dan kami sediakan untuk orang-orang kafir
di antara mereka azab yang pedih” (Q.S An-Nisaa’: 161)
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung” (Q.S Al-Imraan: 130)
Proses pengharaman hukum riba dan khamar ini jelas menunjukan adanya keterkaitan penetapan
hukum Allah dengan subjek dan objek hukum (perbuatan mukallaf). Penetapan hukum tidak pernah
mengubah atau memberiksn toleransi dalam hal proses pengharamannya. Riba dan khamar tidak
diharamkan sekaligus, tetapi secara bertahap. Penetap hukum menyadari bahwa hukum tidak bersifat
elitis dan melangit. Ketika suatu hukum lahir, yang terpenting adalah bagaimana agar hukum tersebut
dipatuhi dan dilaksanakan dengan kesadaran penuh. Penetap hukum sangat menyadari bahwa cukup
riskan bila riba dan khamar diharamkan secara sekaligus bagi masyarakat pecandu riba dan khamar.
Berkaca dari pengharaman riba dan khamar tampah bahwa hukum Islam berfungsi oula sebagai
salah satu sarana pengendali sosial (kontrol sosial). Kita sulit membayangkan apa saja yang akan terjadi
jika hukum riba dan kahmar dipaksakan. Hukum islam tidak hanya untuk islam. Hukum juga
memperhatikan kondisi masyarakat agar hukum tidak dilecehkan dan tali kendali sosial terlepas. Dari
fungsi amar ma’ruf nahi munkar ini akan tercapai tujuan hukum islam yaitu mendatangkan
(menciptakan) kemaslahatan dan menhindarkan kemudaratan di dunia akhirat.

2.2.3 Fungsi Zawajir

Fungsi ini terlihat dalam pengharaman membunuh dan berzina, yang disertai dengan ancaman
hukum atau sanksi hukum. Qisasdiyat diterapkan untuk tindak pidana terhadap jiwa/badan, hudud
untuk tindak pidana tertentu (pencurian, perzinaan), dan ta’zir untuk tindak pidana selain kedua
macama tindak pidana tersebut. Ta’zir juga diterapkan untuk pelanggaran terhadap hukum Islam yang
tidak ada ketentuan sanksi hukumnya dalam Al-Quran dan Hadits. Adanya sanksi hukum
mencerminkan fungsi hukum Islam sebagai sarana pemaksa yang melindungi warga masyarakat dari
segala bentuk ancaman serta perbuatan yang membahayakan.

2.2.4 Fungsi Tanzim wa Islah al-Ummah


Fungsi hukum islam keempat adalah seagai sarana untuk mengatur sebaik mungkin dan
memperlancar proses interaksi sosial sehingga terwujudlah masyarakat yang harmonis, aman dan
sejahtera. Dalam hal-hal tertentu hukum islam menetapkan aturan yang cukup rinci dan mendetail
sebagaimana terlihat dalam hukum yang berkenaan dengan maslaahan perkawinan dan kewarisan.
Sedangkan dalam masalah-masalah yang lain, yakni masalah muamalah pada umumnya hukum islam
hanya menetapkan aturan pokok dan nilai-nilai dasarnya. Perinciannya diserahkan kepada para ahli dan
pihak-pihak yang berkompeten pada bidang masing-masing, dengan tetap memperhatikan dan
berpegang teguh pada aturan pokok dan nilaidasar tersebut.
Keempat fungsi hukum islam tersebut tidak bisa dipilah-pilah begitu saja untuk bidang hukum tertentu.
Keempatnya saling berkait. Disamping tidak dapat dipilah-pilah secara ekstrem juga tidak bisa ditentukan,
fungsi manakah yang lebih utama. Hal ini bergantung pada sudut pandang ahli hukum Islam dan kasus
yangdihadapi.
2.3 HAM Menurut Ajaran Agama Islam

2.3.1 HAM Menurut Islam


HAM merupakan hak yang secara alamiah diperoleh seseorang sejak lahir, karena itu HAM
sejalan dengan fitrah manusia itu sendiri. HAM dalam Islam tidak semata-mata menekankan kepada hak
asasi saja, tetapi juga dilandasi kewajiban asasi manusia untuk mengabdi kepada Allah sebagai
Penciptanya.

2.3.2 Konsep HAM dalam Islam


Hak asasi manusia dalam Islam tertuang secara transenden untuk kepentingan manusia, lewat
syari’ah Islam yang diturunkan melalui wahyu. Menurut syari’ah, manusia adalah makhluk bebas yang
mempunyai tugas dan tanggung jawab, dan karenanya ia juga mempunyai hak dan kebebasan. Dasarnya
adalah keadilan yang ditegakkan atas dasar persamaan atau egaliter, tanpa pandang bulu. Artinya tugas
yang di emban tidak akan terwujud tanpa adanya kebebasan, sementara kebebasan secara eksistensial
tidak terwujud tanpa adanya tanggung jawab itu sendiri4.
Sistem HAM Islam mengandung prinsip-prinsip dasar tentang persamaan, kebebasan dan
penghormatan terhadap sesama manusia yang mana menganut paham egalitarianisme, yaitu bahwa
semua manusia setara di hadapan Tuhan, yang membedakan hanyalah derajat ketakwaannya saja 5, ini
terbukti dalam QS Al Hujurat ayat 13,

Sifat HAM dalam pandangan Islam dapat disebut sebagai Theosentris. Dimana Theosenteis
merupakan pandangan yang mana manusia dihadapkan kepada dua tanggung jawab, yaitu tanggung
jawab menjalankan amanah Allah selaku hamba-Nya dan sekaligus bertanggung jawab sebagai penentu
kebijakan dan pengatur kehidupan. Bahkan al-Qur'an dan Sunnah berfungsi sebagai transformasi dari
kualitas kesadaran manusia mengarahkan manusia untuk dapat mewujudkan keshalehan individual dan
kesalehan sosial sesuai dengan kesadaran dan kepatuhan kepada Allah. Pandangan seperti ini –dalam
istilah ilmu-ilmu sosial– disebut paham theosentris6. Manusia dituntut untuk hidup dan bekerja keras
dengan penuh kesadaran bahwa ia harus menunjukkan kepatuhannya kepada kehendak Allah dan
mengakui hak-hak yang dimilikinya sebagai sebuah kewajiban dalam rangka kepatuhan kepada-Nya7.
Namun pemahaman HAM barat yang disebut aliran yang menganut paham antroposentris, di
mana manusia dijadikan ukuran terhadap gejala sesuatu dan sebagai sasaran akhir dari pelaksanaan
HAM. Oleh karena itu nilai-nilai utama dari kebudayaan Barat seperti demokrasi, institusi sosial dan
kesejahteraan ekonomi sebagai perangkat pendukung tegaknya HAM lebih berorientasi kepada
penghargaan terhadap manusia.

4
M. Luqman Hakim, Deklarasi Islam tentang HAM, (Surabay: Risalah Gusti, 1993), hlm. 12.
5
Wahyu, M.S., Wawasan Ilmu Sosial Dasar, (Surabaya: Penerbit Usaha Nasional, 1986), hlm. 67.
6
Eggi Sujana, HAM dalam Pespektif Islam: Mencari Universalitas HAM bagi Tatanan Modernitas yang Hakiki, (Jakarta: Nuansa Madani,
2002), hlm. 9.
7
Wahyu, M.S., Op.Cit., hlm. 106.
Pemaknaan konsep HAM seperti dirumuskan oleh dunia Barat –dalam pandangan Alwi Shihab–
menunjukkan HAM yang berkembang di Barat semata-mata hanya menempatkan manusia dalam suatu
setting yang terpisah dengan Tuhan (devided God) dimana hubungannya tidak disebutkan sama sekali 8.
Hak asasi manusia dinilai sebagai perolehan alamiah sejak lahir. Sedangkan dalam ajaran Islam
HAM merupakan anugerah yang diberikan Tuhan sehingga setiap individu merasa bertanggung jawab
kepada Tuhan9.

2.3.3 HAM di Dalam Al-Quran


Tidak diragukan lagi bahwa al-Qur’an adalah firman Allah Azza wa Jalla yang benar dalam berita
yang terkandung di dalamnya, serta adil dalam perintah dan larangannya. Maka, tidak ada yang lebih
benar dari pada berita yang terkandung dalam kitab yang mulia ini dan tidak ada yang lebih adil dari
pada perintah dan larangannya. Al quran memberikan penjelasan-penjelasan tentang petunjuk dan
pembeda di antara yang hak dan bathil. Manusia dipilih untuk mengemban amanah Allah di bumi,
kepadanya Allah amanahkan berbagai tugas dan tanggung jawab untuk melakukan reformasi dan
mencegah macam tindakan pengrusakan. Untuk terlaksananya tugas dan tanggung jawab kepada-Nya,
Allah memberikan sejumlah hak yang harus dipelihara dan dihormat. Hak-hak itu bersifat sangat
mendasar, dan diberikan langsung oleh Allah sejak kehadirannya di muka bumi. Berikut beberapa hak-
hak asasi yang terdapat dalam al-Qur’an:
1) Hak untuk Hidup
Hak yang pertama kali dianugerahkan Islam di antara HAM ainnya adalah hak untuk
hidup dan menghargai hidup manusia. Islam memberikan jaminan sepenuhnya bagi setiap
manusia. Prinsip tentang hak hidup tertuang dalam Firman Allah Q.S Al-Isra’:33:

QS. Al Maidah ayat 32 :

Artinya:

8
Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 179.
9
Eggi Sudjana, HAM Dalam Perspektif Islam: Mencari Universalitas HAM bagi Tatanan Modernitas yang Hakiki, (Jakarta: Nuansa
Madani, 2002), hlm. 4.
“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang
membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan
karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia
seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah
dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada
mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian
banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat
kerusakan dimuka bumi.” (Qs. Al Maidah ayat 32)
Selain itu mengacu pada hadist Al-Bukhari, bahkan hak mayit pun dijaga oleh Allah.
Misalnya hadist nabi: "Apabila seseorang mengkafani mayat saudaranya, hendaklah ia
mengkafani dengan baik." Atau "Janganlah kamu mencaci-maki orang yang sudah mati.
Sebab mereka telah melewati apa yang mereka kerjakan." (Keduanya HR. Bukhari).

2) Hak Kebebasan Beragama dan Kebebasan Pribadi


Kebebasan pribadi adalah hak paling asasi bagi manusia, dan kebebasan paling suci
adalah kebebasan beragama dan menjalankan agamanya, selama tidak mengganggu hak-hak
orang lain. Firman Allah:

"Dan seandainya Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman orang di muka bumi seluruhnya.
Apakah kamu memaksa manusia supaya mereka menjadi orang beriman semuanya?" (QS.
Yunus ayat 99)
Untuk menjamin kebebasan kelompok, masyarakat dan antara negara, Allah
memerintahkan memerangi kelompok yang berbuat aniaya terhadap kelompok lain (QS. Al
hujurat Ayat 9). Kerukunan hidup beragama bagi golongan minoritas diatur oleh prinsip
umum "Tidak ada paksaan dalam beragama." (QS. Al Baqarah ayat 256).

3) Hak untuk Bekerja


Islam tidak hanya menempatkan bekerja sebagai hak tetapi juga kewajiban. Bekerja
merupakan kehormatan yang perlu dijamin. Nabi saw bersabda: "Tidak ada makanan yang
lebih baik yang dimakan seseorang daripada makanan yang dihasilkan dari usaha tangannya
sendiri." (HR. Bukhari). Dan Islam juga menjamin hak pekerja, seperti terlihat dalam
hadist: "Berilah pekerja itu upahnya sebelum kering keringatnya." (HR. Ibnu Majah).

4) Hak Kepemilikan
Islam menjamin hak pemilikan yang sah dan mengharamkan penggunaan cara apapun
untuk mendapatkan harta orang lain yang bukan haknya. Oleh karena itulah Islam melarang
riba dan setiap upaya yang merugikan hajat manusia. Islam juga melarang penipuan dalam
perniagaan.

5) Persamaan Hak dalam Hukum


Agama Islam menekankan persamaan seluruh umat manusia di mata Allah, yang
menciptakan manusia dari asal yang sama dan kepadaNya semua harus taat dan patuh. Islam
tidak mengakui adanya hak istimewa yang berdasarkan kelahiran, kebangsaan, ataupun
halangan buatan lainnya yang dibentuk oleh manusia itu sendiri. Kemuliaan itu terletak pada
amal kebajikan itu sendiri yang tercantum dalam QS.al-Hujarat: 13

“Wahai manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kamu dari dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
agra kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah
orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.”
Agama Islam menganggap bahwa semua manusia itu sama dan merupakan anak
keturunan dari nenek moyang sama. Semua adalah anak keturunan nabi Adam dan nabi Adam
diciptakan dari tanah liat dimana Agama Islam telah menhancurkan diskriminasi terhadap
kasta, kepercayaan, perbedaan warna kulit, dan agama.
6) Hak Mendapat Keadilan
Hak mendapatkan keadilan merupakan suatu hak yang sangat penting di mana agama Islam
telah menganugerahkannya kepada setiap umat manusia. Sesungguhnya agama Islam telah
datang ke dunia ini untuk menegakkan keadilan, sebagaimana dalam Al-Quran surat Asy-
Syura: 15 menyatakan:
“Dan Aku perintahkan supaya berlaku adil di antara kamu”
Umat Islam diperintahkan supaya menjungjung tinggi keadilan meskipun kepentingan
mereka sendiri dalam keadaan bahaya. Kemudian pada ayat lainnya dalam Al-Quran
dijelaskan dalam surat An-Nisaa’ ayat 135 yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman,
jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadlilan, menjadi saksi karena Allah biarpun
terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya atau miskin, maka
Allah lebih tahun kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin
menyimpang dari kebenaran. Dan jikakamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi
saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.”
7) Hak untuk Mendapat Pendidikan
Salah satu dari hak asasi yang terpenting adalah hak untuk memperoleh pendidikan. Tidak
seorangpun dapat dibatasi haknya untuk belajar dan mendapatkan pengetahuan dan
pendidikan, sepanjang ia memenuhi kualifikasi untuk itu. Ajaran Islam tidak saja menegakkan
sendi kemerdekaan belajar, lebih dari itu Islam mewajibkan semua orang Islam untuk belajar.
Pentingnya pendidikan dan pengetahuan tertuang dalam surat at-Taubah ayat 122:

8) Hak untuk Mendapatkan Keaamanan


Dalam Islam, keamanan tercermin dalam jaminan keamanan mata pencaharian dan
jaminan keamanan jiwa serta harta benda. Firman Allah:

"Allah yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan
mengamankan mereka dari ketakutan." (QS. Quraisy: 4)
Agama Islam menempatkanmanusia padaposisikemuliaan yang sangat tinggi, kemuliaan
itulah Islam melindungi jiwa manusia dari ancamansesamanya.Perlindungan tersebut
bertujuan untuk menyelamatkan dan memelihara eksistensi manusia. Sehingga, pembunuhan
atas satu jiwa manusia, pada hakikatnya sama seperti membunuh semua manusia. Dalam Islam
misalnya dapat kita temukan penjelasan Al-quran QS. Al isra’ ayat 70 yang artinya,“Dan
sesungguhnya kami telah memuliakan keturunan Adam, dan kami angkat mereka didaratan
dan dilautan.”kami beri mereka rejeki dari yang baik-baik dan kami lebih kan mereka dengan
kelebihan yang sempurna atas kebanyakan mahluk yang telah kami ciptakan. (QS.17:70).
Diantara jaminan keamanan adalah hak mendapat suaka politik. Ketika ada warga
tertindas yang mencari suaka ke negeri yang masuk wilayah Islam. Dan masyarakat muslim
wajib memberi suaka dan jaminan keamanan kepada mereka bila mereka meminta. Firman
Allah: "Dan jika seorang dari kaum musyrikin minta perlindungan kepadamu, maka
lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ke tempat
yang aman baginya." (QS. At Taubah ayat 6)

2.4 Demokrasi dalam Islam

2.4.1 Konsep dan Sejarah Demokrasi dalam Islam


Demokrasi-Islam terdiri dari dua istilah yang mewakili dua konsep yang asing antara satu dengan
yang lain. Islam adalah sebuah sistem kehidupan yang terbangun dari pandangan hidup tertentu (aqidah
islam), dan Islam merupakan sebuah prinsip nilai adi luhung dalam membangun komunikasi
komprehensif, baik dalam konteks kemanusiaan, maupun lingkungan dan peribadahan (hablum
minallah). Sedangkan demokrasi merupakan model pemerintahan yang dihasilkan dari pandangan hidup
yang lain (bukan aqidah islam), dan demokrasi merupakan prinsip hidup bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Demokrasi merupakan produk akal sedang Islam adalah wahyu yang difirmankan kepada
Rasulullah SAW. Fakta sejarah menunjukkan bahwa pemerintahan yang dijalankan oleh Rasulullah
SAW dan Khula’ al Rasyidin tidak menyebutkan atau berlandaskan pada demokrasi. Pertemuan Islam
dan demokrasi merupakan pertemuan peradaban, ideologi, dan latar belakang sejarah yang jauh berbeda
Dalam sejarah permulaan demokrasi di Yunani sampai revolusi inggris, amerika dan prancis dan
dari abad ke-19 sampai akhir abad ke-20, demokrasi berkembang dalam berbagai bentuk yang
berindikasi bahwa konsep demokrasi berubah dan berkembang mengikuti perkembangan sosial, politik
dan ekonomi. Fakta ini memperlihatkan bahwa tidak ada definisi pasti dari model demokrasi.
Sebagaimana W. B. Gallie menyebut demokrasi sebagai “Essensially Contested Concept”. Jadi di
bagian dunia manapun, para pemikir dan masyarakat umum secara aktif terlibat dalam upaya
menciptakan struktur demokrasi yang lebih efektif. Hal ini juga berlaku di dunia muslim di belahan
dunia manapun. Para pemikir muslim sampai saat ini berusaha untuk mendefinisikan, menafsirkan dan
membangun demokrasi dengan konsep-konsep Islam seperti konsep khilafah, syura, Ijma’, ijtihad, baiat,
dan lainnya10.

10
Yusdani, Fiqh Politik Muslim: Doktrin, Sejarah dan Pemikiran, (Yogyakarta: Amara Books, 2011), hlm. 68
2.4.2 Prinsip-prinsip Politik Kenegaraan dalam Al-Quran
Islam mengajarkan manusia tidak hanya hal-hal spiritual (ibadah), namun juga masalah akhlak
dan muamalat manusia. Oleh karena itu, dalam penyelenggaraan dan pengisian negara termasuk dalam
pengertian modern negara-bangsa, Al-Quran memberikan pesan-pesan yang lebih substansial yaitu
menawarkan nilai etik dan moral daripada bersifat formal yaiu menekankan benuk negara atau format
politik. Menurut Yusdani, prinsip-prinsip kenegaraan yang terdapat dalam Al-Quran antara lain11:

1) Kekuasaan sebagai Amanah

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah
Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS: 4.58)
2) Musyawarah sebagai Dasar Pengambilan Kekuasaan

“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang
urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari
rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS 42:38)

3) Keadilan Harus ditegakkan

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benarbenar penegak keadilan, menjadi
saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya
ataupun miskin, maka Allah lebih tahu keMaslahahtannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan
menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.”
(QS 4:135)

11
Yusdani, Fiqh Politik Muslim: Doktrin, Sejarah dan Pemikiran, (Yogyakarta: Amara Books, 2011), hlm. 101
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran)
karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu
kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada
takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (QS 5:8)
4) Adanya Prinsip Persamaan

“Dialah yang memperlihatkan kepadamu tanda-tanda (kekuasaan)Nya dan menurunkan untukmu


rezeki dari langit. Dan tiadalah mendapat pelajaran kecuali orang-orang yang kembali (kepada
Allah).” (QS 40:13)
5)

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan
dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya
Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui
batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.” (QS 17:30)
6) Perdamaian

Hal ini dijelaskan dalam Al-Quran SuratAL-Anfaal ayat 61 yang artinya, “Dan jika mereka condong
kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya
Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

2.4.3 Konsep Demokrasi dalam Islam


Kenyataan bahwa Islam mengajarkan etika politik yang bersesuaian dengan prinsip-prinsip
demokrasi, dapat dikatakan bahwa kurangnya pengalaman demokratis sebagian besar negara Islam tidak
ada hubungannya dengan dimensi “interior” ajaran Islam. Secara teologis, barangkali dapat diisyaratkan
bahwa kegagalan politik yang demokratis antara lain disebabkan oleh adanya pandangan yang legalistik
dan formalistik dalam melihat hubungan antara Islam dan politik. Karenanya, adalah pendekatan
substansialistik terhadap ajaran Islam diharapkan dapat mendorong terciptanya sebuah sintesa yang
memungkinkan antara Islam dan Demokrasi12
Dalam penjelasan mengenai demokrasi dalam kerangka konseptual Islam, Esposito mengatakan
bahwa kesesuaian demokrasi dengan Islam dapat dikembangkan melalui beberapa aspek khusus dari
ranah sosial dan politik. Seperti banyak konsep dalam tradisi politik barat, istilah-istilah ini tidak selalu
dikaitkan dengan pranata demokrasi dan mempunyai banyak konteks dalam wacana Muslim dewasa ini.
Demokrasi Islam dianggap sebagai sistem yang mengukuhkan konsep-konsep islami yang sudah lama
berakar, yaitu konsep syura, Ijma’, Maslahah, dan ijtihad. Hubungan antara Islam dan demokrasi seperti
berikut13:

12
Bahtiar Effendy, “Islam dan Demokrasi: Mencari Sebuah Sintesa yang Memungkinkan”, dalam M. Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher
(ed) Agama dan Dialog Antar Peradaban, Cet. 1, (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 307.
13
Sohrah, Musywarah vs Demokrasi, (Yogyakarta: Al-Risalah Volume 11 Nomor 1, 2011), hlm. 34-90.
1) Syura
Dalam Konsep Demokrasi Istilah musyawarah berasal dari kata .‫ ورةﻣﺸﺎ‬Ia adalah masdar
dari kata kerja syawara-yusyawiru, yang berakar kata syin, waw, dan ra, dengan pola
fa’ala. Pendapat senada mengemukakan bahwa musyawarah pada mulanya bermakna
“mengeluarkan madu dari sarang lebah”. Makna ini kemudian berkembang sehingga
mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain (termasuk
pendapat). Musyawarah juga dapat berarti mengatakan atau mengajukan sesuatu.
Karenanya, kata musyawarah pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik,
sejalan dengan makna dasarnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, musyawarah
diartikan sebagai: pembahasan bersama dengan maksud mencapai keputusan atas
penyelesaian masalah bersama. Selain itu dipakai juga kata musyawarah yang berarti
berunding dan berembuk.
Konsep syura dan demokrasi Fazlur Rahman juga berpendapat bahwa institusi semacam
syura telah ada pada masyarakat Arabia pra-Islam. Waktu itu, para pemuka suku atau kota
menjalankan urusan bersama melalui permusyawaratan. Institusi inilah yang kemudian
didemokrasitasi oleh al-Quran, yang menggunakan istilah syura. Perubahan dasar yang
dilakukan al-Quran adalah mengubah syura dari sebuah institusi suku menjadi institusi
komunitas, karena ia menggantikan hubungan darah dengan hubungan iman.
Menurut Syafii Maarif, pada dasarnya syura merupakan gagasan politik utama dalam al-
Quran. Jika konsep syura ditransformasikan dalam kehidupan modern sekarang, maka menurut
Syafii sistem politik demokrasi adalah lebih dekat dengan cita-cita politik Qurani, sekalipun ia
tidak terlalu identik dengan praktek demokrasi barat. Begitu halnya dengan Mohammad Iqbal
yang menganggap demokrasi sebagai cita-cita politik Islam, kritik Iqbal terhadap demokrasi
bukanlah dari aspek normatifnya, akan tetapi dalam praktek pelaksanaannya. Kohesi antara
Islam dan demokrasi terletak pada prinsip persamaan (equality), yang di dalam Islam
dimanifestasikan oleh tauhid sebagai satu gagasan kerja (a working idea) dalam kehidupan
sosio-politik umat Islam.
Perlunya musyawarah merupakan konsekuensi politik prinsip kekhalifahan manusia.
“perwakilan rakyat dalam sebuah negara Islam tercermin terutama dalam doktrin musyawarah
(syura). Karena semua muslim yang dewasa dan berakal sehat, baik pria maupun wanita
adalah khalifah (agen) Tuhan, mereka mendelegasikan kekuasaan mereka kepada penguasa
dan pendapat mereka harus diperhatikan dalam menangani permasalahan negara”. Ayatullah
Baqir Al-Sadr menegaskan bahwa musyawarah adalah hak rakyat. “rakyat sebagai khalifah
Allah berhak mengurus persoalan mereka sendiri aas dasar prinsip musyawarah” dan ini
termasuk “pembentukan majlis yang para anggotanya adalah wakil-wakil rakyat yang
sesungguhnya. Dengan demikian syura menjadi unsur operasional yang menentukan dalam
hubungan antara Islam dan demokrasi.
Secara umum konsep syura sangat sesuai dengan demokrasi karena menempatkan semua
masyarakat dalam satu tempat yang sama. Di Indonesia, demokrasi yang dibangun
berdasarkan konsep syura dimana setiap pemimpin dipilih oleh rakyatnya. Tentang apakah
sistem pemilihan tersebut secara langsung oleh pemerintah maupun melalui perwakilan di
dewan perwakilan rakyat sebenarnya adalah hal yang sama. Selama rakyat atau wakilnya
mempunyai keinginan yang sama hal tersebut bukanlah masalah.
Secara umum konsep syura sangat sesuai dengan demokrasi karena menempatkan semua
masyarakat dalam satu tempat yang sama. Di Indonesia, demokrasi yang dibangun
berdasarkan konsep syura dimana setiap pemimpin dipilih oleh rakyatnya. Tentang apakah
sistem pemilihan tersebut secara langsung oleh pemerintah maupun melalui perwakilan di
dewan perwakilan rakyat sebenarnya adalah hal yang sama. Selama rakyat atau wakilnya
mempunyai keinginan yang sama hal tersebut bukanlah masalah.
Namun akan berbeda ketika wakil rakyat yang telah dipilih tersebut tidak
menggambarkan apa yang menjadi keinginan rakyat yang diwakilinya. Oleh karena itu,
seorang wakil rakyat harus benar-benar mewakili setiap kebutuhan rakyat yang harus
diperjuangkan. Jika wakil rakyat hanya mewakili golongannya tentu sudah menyalahi dari
konsep demokrasi itu sendiri.
Piagam Madinah merupakan konstitusi demokrasi Islam pertama dalam sejarah
pemerintahan konstitusional. Para intelektual muslim sepakat bahwa prinsip syura adalah
sumber etika demokrasi Islam. Mereka menyamakan konsep syura dengan konsep demokrasi
modern.

2) Ijma’
Dalam Konsep Demokrasi Secara etimelogi Ijma’ mengandung arti kesepakatan atau
konsensus. Ijma’ juga dapat diartikan sebagai al Azmu ‘alassyai’ atau ketetapan hati untuk
melakukan sesuatu. Ijma’ secara terminolgi didefinisikan oleh beberapa ahli diantaranya:
menurut Al Ghazali Ijma’ adalah kesepakatan umat Muhammad Saw secara khusus atas suatu
urusan agama; definisi ini mengindikasikan bahwa Ijma’ tidak dilakukan pada masa
Rasulullah Saw, sebab keberadaan Rasulullah sebagai syar’i tidak memerlukan Ijma’.
Sedangkan menurut Al Amidi: Ijma’ adalah kesepakatan ahlul halli wal ‘aqdi atau para ahli
yang berkompoten mengurusi umat dari umat Nabi Muhammad pada suatu masa atau hukum
suatu kasus.
Ijma’ atau konsensus telah lama diterima sebagai konsep pengesahan resmi dalam
hukum Islam, terutama di kalangan kaum Muslim Sunni. Namun, hampir sepanjang sejarah
Islam pada konsensus sebagai salah satu sumber hukum Islam cenderung dibatasi pada
konsensus para cendekiawan, sedangkan konsensus rakyat kebanyakan mempunyai makna
kurang begitu penting dalam kehidupan umat Islam. Namun dalam pemikiran modern, potensi
fleksibilitas yang terkandung dalam konsep konsensus akhirnya mendapat saluran yang lebih
besar. Dalam pengertian lebih luas, konsensus dan musyawarah sering dipandang sebagai
landasan yang efektif bagi demokrasi Islam modern. Konsep konsensus memberikan dasar
bagi penerimaan sistem yang mengakui suara mayoritas. Beberapa cendekiawan kontemporer
menyatakan bahwa dalam sejarah Islam karena tiedak ada rumusan yang pasti mengenai
struktur negara dalam al-Quran, legitimasi negara bergantung pada sejauh mana organisasi dan
kekuasaan negara mencerminkan kehendak umat. Sebab seperti yang pernah ditekankan oleh
para ahli hukum klasik, legitimasi pranata-pranata negara tidak berasal dari sumber-sumber
tekstual, tetapi didasarkan pada prinsip Ijma’. Atas dasar inilah konsensus dapat menjadi
legitimasi sekaligus prosedur dalam suatu demokrasi Islam.

3) Maslahah dalam Konsep Demokrasi


Secara etimologis, arti al-Maslahah dapat berarti kebaikan, kebermanfaatan,
kepantasan, kelayakan, keselarasan, kepatutan. Kata alMaslahah adakalanya dilawankan
dengan kata al-mafsadah dan adakalanya dilawankan dengan kata al-madarrah, yang
mengandung arti: kerusakan. Secara terminologis, Maslahah telah diberi muatan makna oleh
beberapa ulama usûl al-fiqh. Al-Gazâli (w.505 H), misalnya, mengatakan bahwa makna
genuine dari Maslahah adalah menarik/mewujudkan kemanfaatan atau
menyingkirkan/menghindari kemudaratan (jalb al-manfa‘ah atau daf‘ al-madarrah). Menurut
al-Gazâli, yang dimaksud Maslahah, dalam arti terminologis-syar‟i, adalah memelihara dan
mewujudkan tujuan hukum Islam (Syariah) yang berupa memelihara agama, jiwa, akal budi,
keturunan, dan harta kekayaan.
Ditegaskan oleh al-Gazâli bahwa setiap sesuatu yang dapat menjamin dan melindungi
eksistensi salah satu dari kelima hal tersebut dikualifikasi sebagai Maslahah; sebaliknya,
setiap sesuatu yang dapat mengganggu dan merusak salah satu dari kelima hal tersebut dinilai
sebagai al-mafsadah; maka, mencegah dan menghilangkan sesuatu yang dapat mengganggu
dan merusak salah satu dari kelima hal tersebut dikualifikasi sebagai Maslahah.
Dalam konsep demokrasi, Maslahah menjadi bagian yang penting ketika dihadapkan
dengan kebebasan individu dan persamaan HAM. Konsep Maslahah memberikan penilaian
yang lebih obyektif tentang bagaimana kepentingan umum didahulukan daripada kepentingan
pribadi. Perwujudan Maslahah dan mafsadah dalam pelbagai situasi dan kondisi memerlukan
standar yang jelas dan berterusan untuik digunakan oleh para mujtahid. Apabila mafsadah dan
Maslahah tidak mampu dipertemukan maka hendaklah dilakukan pentarjihan di antara kedua
posisi dengan dipilih salah satu dari dua posisi yang lebih dominan. Bahkan ketika terjadi
kontradiksi antara Maslahah dengan Maslahah, mafsadah dengan mafsadah dalam kategori
yang sama seperti daruriyah, hajiyyah dan tahsiniyah.
Akan tetapi, terdapat kemungkinan muncul pihak-pihak yang menyalahgunakan
dalil/metode Maslahah memang tidak bisa dipungkiri. Mereka menggunakan Maslahah
sebagai dalil/metode untuk menetapkan hukum tanpa mengindahkan batasan-batasan dan
kaedah-kaedah yang baku. Hal ini mengakibatkan terjadinya kesalahan/kekacauan dalam
menetapkan hukum Islam, dan pada gilirannya melahirkan keresahan di kalangan masyarakat.
Dalam konteks ini, kehadiran institusi ijtihâd jamâ‘iy (ijtihad kolektif) seperti MUI, Bahtsul
Masa‟il NU, Majelis Tarjih Muhammadiyah, dan Dewan Hisbah Persis, menjadi urgen dalam
mengeliminasi kemungkinan penyalahgunaan dalil/metode Maslahah oleh aktivitas ijtihâd
fardiy sehingga konsepsi dan aplikasi Maslahah dalam proses ijtihad tersebut terhindar dari
salah paham dan salah kaprah. Meskipun demikian, ini tidak berarti menutup rapat rapat pintu
ijtihâd fardî.

Maslahah merupakan konsep bahwa kepentingan publik harus diutamakan dari


kepentingan individu. Dalam hal ini, penggusuran dalam rangka normalisasi sungai (seperti
yang dilakukan di Jakarta, Indonesia) yang dilakukan oleh pemerintah sudah selayaknya
diterima oleh masyarakat bahkan tanpa disediakan tempat untuk pindah, masyarakat wajib
mematuhinya. Pemerintah hanya perlu mengganti biaya ganti rugi dari masyarakat tersebut
tanpa harus membelinya, dan masyarakat harusnya juga memahami bahwa untuk kepentingan
umum, pengorbanan yang dilakukan akan mendapatkan pahala dari Allah SWT.

4) Ijtihad dalam Konsep Demokrasi


Konsep operasional yang terakhir adalah ijtihad, atau pelaksanaan penilaian yang ilmiah
dan mandiri. Bagi banyak pemikir muslim, upaya ini merupakan langkah kunci menuju
penerapan perintah Tuhan di suatu tempat atau waktu.
Ijtihad diterapkan pada pertanyaan-pertanyaan yang tidak tercakup oleh Al-Qur'an dan
Sunnah, tidak dengan taqlid, atau dengan analogi langsung (qiyas). Ijtihad dianggap, oleh
banyak pemikir Muslim, sebagai kunci untuk pelaksanaan kehendak Allah dalam waktu dan
tempat tertentu.
Hampir semua reformis dan intelektual Muslim abad 20 menunjukkan antusiasme dalam
konsep Ijtihad kontemporer, Muhmmad Iqbal, Khurshid Ahmad, Taha Jabir al 'Alwani dan
Altaf Gauhar menjadi beberapa dari mereka. Bentuk demokrasi menurut Fazlur Rahman dapat
berbeda-beda menurut kondisi yang ada dalam suatu masyarakat. Untuk dapat memilih suatu
bentuk demokrasi yang sesuai dengan keadaan suatu masyarakat Islam tertentu, peranan
ijtihad menjadi sangat menentukan.
Pemimpin Islam Pakistan, Khurshid Ahmad, memparkan hal ini dengan jelas. “Tuhan
hanya mewahyukan prinsip-prinsip utama dan memberi manusia kebebasan untuk menerapkan
prinsip-prinsip tersebut dengan arah yang sesuai dengan semangat dan keadaan zamannya.
Melalui ijtihad itulah masyarakat dari setiap zaman berusaha menerapkan dan menjalankan
petunjuk Ilahi guna mengatasi masalah-masalah zamannya. Ijtihad selalu menjadi konsep yang
kontroversial mengingat bahaya penyalahgunaannya. Adalah mungkin bahwa tindakan kaum
muslim itu akan didukung oleh kaum sekular dan Muslim abangan, yang akan membuka lebar-
labar pintu ijtihad dan menafsirkan ijtihad sedemikian rupa sehingga dapat dimanfaatkan
untuk membenarkan akibat-akibatnya tanpa peduli apakah aturan itu didasarkan atas kriteria
fiqh atau tidak. Namun makna penting ijtihad ditekankan oleh Iqba yang berharap bahwa
ijtihad yang benar akan memungkinkan “para ilmuwan sosial muslim untuk menelaah
fenomena sosial dengan kerangka dan paradigma epistemologi Islam dan selanjutnya memulai
proses pembangungn kembali peradaban Islam atas dasar pemahaman terhadap ilmu-ilmu
sosial itu. Dekonstruksi yang disambung dengan rekonstruksi inilah yang dibutuhkan umat
Islam jika ingin menjadi penengah bagi bangsa-bangsa lain sebagaimana tersurat dalam
alQuran”. Ijtihad saat ini menjadi tren pemikiran dari cendekiawan-cendekiawan muslim
kontemporer. Mati surinya ijtihad selama beberapa abad silam memang membuat dunia Islam
menjadi jalan ditempat. Ijtihad memberikan jalan alternatif dari perbagai permasalahan dalam
dunia modern saat ini.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Islam dan demokrasi pada hakikatnya merupakan hal yang sesuai (compatible). Islam mengatur segala
permasalahan manusia mulai dari ibadah, akhlak sampai muamalah. Pertanyaan Islam sesuai dengan Demokrasi
sebenarnya merupakan pertanyaan yang kurang sesuai, pertanyaan yang sebenarnya adalah bagaimana muslim
memahami Islam yang sesuai dengan demokrasi. Karena Islam dapat digunakan dalam segala bentuk
pemerintahan mulai dari demokrasi maupun kediktaroran, republikanisme maupun monarki. Sampai saat ini,
dekade kedua dari abad ke-21 tidak ada bentuk yang menjadi kesepakatan umum dari umat Islam dalam sistem
pemerintahan seperti bentuk monarki konservatif Arab Saudi, Iran dengan teokrasinya, Sudan dan Pakistan
dengan pemerintahan militer dan Taliban Afganistan. Bahkan peristiwa terbaru ketika Tunisia, Mesir, dan
Libya serta Bahrain mencoba untuk membuat sintesa baru tentang konsep demokrasi yang sesuai dengan Islam
dan kondisi sosial di negera tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa dalam masa modern ini negaranegara muslim
masih mencari bentuk yang sesuai dalam sosiopolitik pemerintahannya. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk
memahami dan mengamalkan Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin di masa modern ini.

3.2 Saran
Penulis mengetahui masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, penulis mohon kritik dan
saran yang membangun dari pembaca guna kesempurnaan makalah ini.

Anda mungkin juga menyukai