Anda di halaman 1dari 24

BAGIAN ILMU BEDAH REFARAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DESEMBER 2018

UNIVERSITAS HALUOLEO

KONDROSARKOMA

Oleh:

Resty Yulianita Nurman

K1A112069

Pembimbing:

dr. Benny Murtaza, Sp.OT

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2018

0
KONDROSARKOMA
Resty Yulianita Nurman, Benny Murtaza

A. PENDAHULUAN

Tumor muskuloskeletal dapat berasal dari jaringan tulang maupun


jaringan lunak seperti otot, pebuluh darah, saraf, tendon dan lemak. Secara
umum tumor muskuloskeletal menurut sifatnya dibagi menjadi tumor jinak,
tumor ganas dan tumor metastatik. Tumor ganas dapat bersifat primer (berasal
dari jaringan muskuloskeletal, yakni tulang atau jaringan lunak) maupun
sekunder (berasal dari tumor jinak yang berubah menjadi ganas).1

Kondrosarkoma merupakan tumor ganas tulang kedua terbanyak


setelah osteosarkoma. Tumor ini dapat bersifat primer atau sekunder dari lesi
yang mengalami transformasi keganasan. Tumor ini banyak ditemui pada usia
30-60 tahun, laki-laki (2 kali beresiko lebih tinggi) dan lokasi terseringnya
adalah pelvis (30%), femur (20%), kosta serta kaput femur (10%).1

B. DEFINISI

Kondrosarkoma ialah tumor ganas dengan ciri khas pembentukan


jaringan tulang rawan oleh sel-sel tumor dan merupakan tumor ganas tulang
primer terbanyak setelah osteosarkoma. Kondrosarkoma merupakan tumor
tulang yang terdiri dari sel-sel kartilago (tulang rawan) anaplastik yang
berkembang menjadi ganas.2

C. ANATOMI DAN FISISOLOGI

Sistem muskuloskeletal tersusun dari tulang, kartilago, sendi, bursa,


ligamen dan tendon. Tulang adalah jaringan hidup yang strukturnya dapat
berbah sebagai akibat tekanan yang dialaminya. Tulang selalu diperbaharui
dengan pembentukan tulang baru dan resorpsi. Tulang bersifat keras karena
matriks ekstraselulernya mengalami kalsifikasi, dan mempunyai derajat
elastisitas tertentu akibat adanya serabut-serabut organik. Tulang terdiri atas

1
dua bentuk tulang kompakta dan tulang spongiosa. Tulang kompakta tampak
sebagai massa yang padat; tulang spongiosa terdiri atas anyaman trabekula.2
Kartilago normal ditemukan pada sendi, tulang rusuk, telinga, hidung,
diskus intervertebra dan tenggorokan. Kartilago tersusun dari sel (kondrosit
dan kondroblast) dan matriks. Kondroblas dan kondrosit memproduksi dan
mempertahankan matriks. Matriks terdiri dari elemen fibrous dan substansi
dasar. Matriks ini kuat dan solid tetapi lentur.2
Tulang rawan (Kartilago) merupakan bentuk jaringan ikat yang sel-sel
dan serabut-serabutnya tertanam di dalam matriks yang berbentuk seperti agar.
Matriks bertanggung jawab atas kekuatan dan kekenyalan tulang rawan.
Kecuali pada permukaan sendi, tulang rawan diliputi oleh selapis membrana
fibrosa, yang dinamakan perichondrium. Terdapat tiga jenis kartilago:2
Kartilago hyalin : mempunyai banyak matriks amorf yang mempunyai
indeks bias yang sama dengan serabut-serabut yang terbenam di dalamnya.
Selama masa anak-anak dan remaja, cartilago hyalin berperan penting pada
pertumbuhan tulang panjang (lempeng epiphyfisis terdiri dari tulang rawan
hyalin). Kartilago ini sangat tahan terhadap robekan dan meliputi hampir
semua permukaan sendi sinovial. Kartilago hyalin tidak dapat diperbaiki bila
mengalami fraktur; tempat kerusakan diisi oleh jaringan fibrosa.2
Kartilago Fibrosa : mempunyai banyak serabut kolagen yang tertanam
di dalam sedikit matriks dan ditemukan di dalam discus articularis (misalnya
pada articulatio temporomandibularis), articulatio sternoclavicularis, dan
articulatio genu) dan pada permukaan sendi clavicula dan mandibula. Bila
rusak, fibrokartilago dapat memperbaiki dirinya sendiri secara lambat dengan
cara yang sama dengan jaringan fibrosa lainnya di dalam tubuh. Discus
articularis mempunyai sedikit aliran darah, oleh karena itu tidak dapat
memperbaiki dirinya sendiri bila mengalami kerusakan.2
Kartilago elastis mempunyai banyak serabut elastis yang tertanam di
dalam matriks. Seperti yang dapat diduga, tulang rawan ini sangat fleksibel dan
ditemukan pada auricula, meatus acusticus externus, tuba auditiva dan

2
epiglotis. Bila mengalami kerusakan tulang rawan ini dapat memperbaiki
dirinya sendiri dengan jaringan fibrosa.2

Gambar 1. Anatomi Tulang

Pertumbuhan Tulang
Proses pembentukan tulang disebut osifikasi (ossi = tulang, fikasi =
pembuatan) atau disebut juga osteogenesis. Semua tulang berasal dari
mesenkim, tetapi dibentuk melalui dua cara yang berbeda. Tulang berkembang
melalui dua cara, baik dengan mengganti mesenkim atau dengan mengganti
tulang rawan. Susunan histologis tulang selalu bersifat sama, baik tulang itu
berasal dari selaput atau dari tulang rawan.3
a. Osifikasi membranosa
Osifikasi membranosa adalah osifikasi yang lebih sederhana
diantara dua cara pembentukan tulang. Tulang pipih pada tulang
tengkorak, sebagian tulang wajah, mandibula, dan bagian medial dari
klavikula dibentuk dengan cara ini. Juga bagian lembut yang membantu
tengkorak bayi dapat melewati jalan lahirnya yang kemudian mengeras
dengan cara osifikasi membranosa.3

3
Gambar 2.Osifikasi membranosa

a. Osifikasi Endokondral
Pembentukan tulang ini adalah bentuk tulang rawan yang terjadi
pada masa fetal dari mesenkim lalu diganti dengan tulang pada sebagian
besar jenis tulang. Pusat pembentukan tulang yang ditemukan pada corpus
disebut diafisis, sedangkan pusat pada ujung-ujung tulang disebut epifisis.
Lempeng rawan pada masing-masing ujung, yang terletak di antara epifisis
dan diafisis pada tulang yang sedang tumbuh disebut lempeng epifisis.
Metafisis merupakan bagian diafisis yang berbatasan dengan lempeng
epifisis. Penutupan dari ujung-ujung tulang atau dikenal dengan epifise
line rerata sampai usia 21 tahun, hal tersebut karena pusat kalsifikasi pada
epifise line akan berakhir seiring dengan pertambahan usia, dan pada
setiap tulang.

4
Gambar 3. Osifikasi Endokondral
Massa tulang bertambah sampai mencapai puncak pada usia 30-35
tahun setelah itu akan menurun karena disebabkan berkurangnya aktivitas
osteoblas sedangkan aktivitas osteoklas tetap normal. Secara teratur tulang
mengalami turn over yang dilaksanakan melalui 2 proses yaitu modeling
dan remodeling. Pada keadaan normal jumlah tulang yang dibentuk
remodeling sebanding dengan tulang yang dirusak. Ini disebut positively
coupled jadi masa tulang yang hilang nol. Apabila tulang yang dirusak lebih
banyak terjadi kehilangan masa tulang ini disebut negatively coupled yang
terjadi pada usia lanjut. Dengan bertambahnya usia terdapat penurunan
masa tulang secara linier yang disebabkan kenaikan turn over pada tulang
sehingga tulang lebih rapuh. Pengurangan ini lebih nyata pada wanita,
tulang yang hilang kurang lebih 0,5 sampai 1% per tahun dari berat tulang
pada wanita pasca menopouse dan pada pria diatas 70 tahun, pengurangan
tulang lebih mengenai bagian trabekula dibanding dengan korteks.3

5
D. ETIOLOGI
Etiologi kondrosarkoma masih belum diketahui secara pasti. Beberapa
unsur fisika dan kimia seperti radiasi, berilium dan isotop radioaktif telah
ditengarai sebagai faktor resiko potensial terhadap perkembangan tumor
kondroid. Berdasarkan penelitian yang terus berkembang, didapatkan bahwa
kondrosarkoma juga dapat berkembang dari tumor-tumor tulang jinak seperti
enkondroma atau osteokondroma. Tumor ini dapat juga terjadi efek samping
dari terapi radiasi untuk terapi kanker. Selain itu pasien dengan sindrom
enkondromatosis seperti penyakit Ollier dan sindrom Maffucci berisiko tinggi
terkena kondrosarkoma.4
E. EPIDEMIOLOGI

Kondrosarkoma bisa mengenai semua orang dengan berbagai umur,


meskipun sering terjadi pada dekade 5 atau 6 dengan perbandingan laki-laki :
perempuan (1,5-2: 1). Kondrosarkoma jarang terjadi pada anak, dan
seandainya terjadi kejadiannya agresif. Meskipun semua tulang bisa
terkena namun lokasi paling sering terkena adalah pelvis (40-50% dari
semua kondrosarkoma), pergelangan bahu, tulang panjang bagian
proksimal, iga, scapula, dan sternum. Kondrosarkoma primer jarang terjadi
di tulang punggung (<1%) dan tulang kraniofasial dan juga jarang terjadi
di tulang kecil tangan dan kaki (kira-kira 1%). Kejadian kondrosarkoma di
femur kira-kira 20%-35% diikuti di tibia 5%. Ekstremitas atas
kejadiannya sekitar 10%-20% dengan humerus bagian proksimal
merupakan tempat yang paling sering terjadi. Kerangka aksial juga paling
sering terkena dengan kejadian pada tulang innominata 25% kasus dan
kejadian pada tulang iga 8%. Lokasi yang jarang terjadi antara lain di scapula
(5%) dan di sternum (2%). Pada tulang panjang lesi umumnya terletak di
metafisis (49%) diikuti di diafisis (36%). Kondrosarkoma konvensional yang
terpusat di diafisis tidak banyak terjadi, hanya 16% kasus.5

6
F. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi kondrosarkoma ialah terbentuknya kartilago oleh sel-sel
tumor tanpa disertai osteogenesis. Sel tumor hanya memproduksi kartilago
hialin yang mengakibatkan abnormalitas pertumbuhan tulang dan kartilago.
Secara fisiologis, kondrosit yang mati dibersihkan oleh osteoklas kemudian
daerah yang kosong itu, diinvasi oleh osteoblas-osteoblas yang melakukan
proses osifikasi. Proses osifikasi ini bertambah panjang dan lempeng epifisis
kembali ke ketebalan semula. Seharusnya kartilago yang diganti oleh tulang
diujung diafisis lempeng memiliki ketebalan yang setara dengan pertumbuhan
kartilago baru di ujung epifisis lempeng. Namun pada kondrosarkoma proses
osteogenesis tidak terjadi., sel-sel kartilago menjadi ganas dan menyebabkan
abnormalitas penonjolan tulang, dengan berbagai variasi ukuran dan lokasi.
Proses keganasan kondrosit dapat berasal dari perifer atau sentral.
Apabila lesi awal dari kanalis intramedular, di dalam tulang itu sendiri
dinamakan kondrosarkoma sentral sedangkan kondrosarkoma perifer apabila
lesi dari permukaan tulang seperti kortikal dan periosteal. Tumor
kemudian tumbuh membesar dan mengikis korteks sehingga menimbulkan
reaksi periosteal pada formasi tulang baru dan soft tissue.Penelitian baru-
baru ini berkesimpulan patogenesis dari kondrosarkoma bisa
melibatkan inaktifasi mutasional dari gen supresor tumor terdahulu. Telah
dilaporkan terjadinya inaktifasi mutasional tumor supresor p16, Rb, dan
p53 pada contoh kondrosarkoma. Lebih lanjut lagi, inaktifasi p53
berhubungan dengan tumor tingkat yang lebih tinggi dan prognosis yang
lebih jelek.6

7
G. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan meliputi
pemeriksaan radiologi dan patologi anatomi.7
1. Diagnosis Klinis
Manifestasi klinis kondrosarkoma sangat beragam. Pada umumnya
penyakit ini memiliki perkembangan yang lambat, kecuali saat menjadi
agresif. Berikut adalah gejala yang bisa ditemukan pada kondrosarkoma.
a. Nyeri
Nyeri merupakan gejala yang paling banyak ditemukan. Sekitar 75%
pasien kondrosarkoma merasakan nyeri. Gejala nyeri ditimbulkan
tergantung pada predileksi serta ukuran tumor. Gejala dini biasanya
berupa nyeri yang bersifat tumpul akibat pembesaran tumor yang
perlahan-lahan. Nyeri berlansung lama dan memburuk pada malam
hari. Saat istirahat nyeri tidak menghilang.
b. Pembengkakan
c. Massa yang teraba
d. Frekuensi miksi yang meningkat
Manifestasi ini ditemukan pada kondrosarkoma di pelvis. Namun
semua manifetasi klinis ini tidak selalu ada di setiap
kondrosarkoma. Gejala yang ditimbulkan tergantung gradenya.
Pada grade tinggi, selain pertumbuhan tumor cepat juga disertai
nyeri yang hebat. Sedangkan pada grade rendah, pertumbuhan
tumor lambat dan biasanya disertai keluhan seperti nyeri pinggul
dan pembengkakan.
2. Pemeriksaan radiologi
Pada kondrosarkoma, pemeriksaan yang dapat dilakukan meliputi:
a. Foto konvensional
Foto konvensional merupakan pemeriksaan penting yang dilakukan
untuk diagnosis awal kondrosarkoma. Baik kondrosarkoma primer
atau sentral memberikan gambaran radiolusen pada area destruksi

8
korteks. Bentuk destruksi biasanya berupa pengikisan dan reaksi
eksternal perosteal pada formasi tulang baru, Scallop erosion pada
endosteal cortex terjadi akibat pertumbuhan tumor yang lambat dan
permukaan tumor yang licin. Pada kondrosarkoma, endosteal
scallopingg kedalamannya lebih dari 2/3 korteks, maka hal ini
dapat membedakan kondrosarkoma dengan enkondroma.

Gambar 4. Lesi intramedulla dengan endosteal scalloping dan


kalsifikasi chondral. Tidak ada reaksi periosteal atau massa ekstra-
osseus yang jelas.

9
Gambar 5. Anteroposterior and lateral radiographs show an
extensive diaphyseal tibial lesion that is predominantly lytic. Areas
of chondroid matrix mineralization are seen superiorly (large
arrow) and a focus of deep scalloping (small arrows), cortical
remodeling, and periosteal reaction (arrowheads) anterolaterally.

b. CT Scan
Dari 90% kasus ditemukan gambaran radiolusen yang berisi
kalsifikasi matriks kartilago. Pada pemeriksaan CT scan
didapatkan hasil lebih sensitif untuk penilaian distribusi kalsifikasi
matriks dan integritas korteks. Endosteal cortical scalloping pada
tumor intramedullar juga terlihat lebih jelas pada CT scan
dibandingkan dengan foto konvensional.

10
Gambar 6. Axial CT scan shows the deep endosteal scalloping,
cortical breakthrough, soft-tissue extension (M), and central
flocculent calcification (C). The nonmineralized component has
low attenuation.
c. MRI
MRI dapat menunjukkan lesi lobulated dengan sinyal rendah
atau menengah pada T1W1 dan intensitas sinyal tinggi pada
T2W1. MRI bisa menunjukkan staging yang tepat terhadap
adanya keterlibatan meduler dan massa jaringan lunak.
Kondrosarkoma derajat rendah menunjukkan lesi dengan pola
lobulated dan adanya peningkatan septasi setelah dilakukan
injeksi media kontras intravena. Tumor derajat tinggi tidak
memiliki septasi dan menunjukkan peningkatan penyangatan
heterogen yang difus. Tumor jinak dan kondrosakoma derajat
rendah tidak dapat dibedakan dengan MRI dari matriks saja.8

11
Gambar 7. Axial gadolinium-enhanced T1-weighted MR image
with fat saturation reveals mild peripheral enhancement (arrows)
with deep endosteal scalloping extending through the cortex with
softtissue extension (M).
3. Histopatologi
Gambaran makroskopis pada kebanyakan tumor memperlihatkan
sifat kartilaginosa, besar dengan penampilan berkilau dan berwarna kebiru-
biruan. Secara mikroskopis, beberapa tumor berdiferensiasi baik dan sulit
dibedakan dengan enkondroma bila hanya berdasarkan pada gambaran
histopatologi saja. Kecurigaan kearah keganasan apabila sel tumor berinti
besar, inti multiple dalam suatu sel tunggal atau adanya beberapa
kondroblas dalam satu lakuna. Diantara sel tersebut terdapat matriks
kartilaginosa yang mungkin disertai dengan kalsifikasi atau osifikasi.
Klasifikasi kondrosarkoma berdasarkan patologi anatomi.
1. Clear cell chondrosarcoma

Gambar 8. Clear cell chondrosarcoma

12
Clear cell chondrosarcoma adalah tumor berlobulasi, ukuran
sel besar, inti ditengah, sitoplasma banyak, transparan terang,
sekitar sel jernih, dapat terlihat banyak sel datia multinukleat,
derajat keganasan rendah. Pertumbuhan tumor lambat,
kebanyakan pada usia tengah baya dan lansia, nyeri relatif
ringan, dapat timbul bengkak. Tampilan sinar X berupa
destruksi osteolitik, tepi relatif jelas. Umumnya perlu
pembuktian patologik. Terapi utama operasi, menurut keadaan
dilakukan reseksi lokal luas atau amputasi. 10
2. Mesenchymal chondrosarcoma

Gambar 9. Mesenchymal chondrosarcoma


Ciri patologik tumor terbentuk dari sel mesenkim tak
berdiferensiasi dan lesi kondroid, volume sel lebih kecil,
morfologi relatif homogen, bentuk bulat atau kumparan.
Jaringan tulang rawan berdiferensiasi baik, morfologi kondrosit
seragam. Tumor umumnya timbul di vertebra, pelvis.
Kebanyakan ditemukan pada usia tengah baya. Gejala klinis
berupa nyeri dan massa. Ronsen menunjukkan destruksi
osteolitik, tepi tidak jelas tampak kalsifikasi, terdapat massa
jaringan lunak. Diagnosis berdasarkan patologi. Terapi dengan
reseksi luas atau amputasi.10

13
3. Dedifferentiated chondrosarcoma

Gambar 10. Dedifferentiated chondrosarcoma


Dedifferentiated chondrosarcoma sekitar 10% dari seluruh
tipe kondrosarkoma. Sifat khasnya adalah gabungan antara
grade rendah kondrosarkoma dan proses keganasan
degeneratif. Pada gambaran histopatologi tampak ikatan antara
sel kartilago dan nonkartilago, stroma kondroid, sel kondrosit
mengecil dan nukleus padat disertai beberapa pembesaran. Di
dalam kondrosarkoma berdiferensiasi relatif baik terdapat
bagian sarkoma berdiferensiasi buruk, seperti fibrosarkoma,
histiositoma maligna, atau osteosarkoma, dll. Secara patologik
dapat ditemukan jaringan kondroid relatif matur, namun
gambaran di area dediferensiasi sangat ganas. Pengambilan
spesimen yang tidak akurat dapat dikacaukan dengan

14
kondroma, osteosarkoma dan tumor ganas tulang lain. Jenis ini
memiliki derajat keganasan relatif tinggi, umumnya pada usia
tengah baya atau lanjut usia, nyeri bersifat progresif dan
bengkak merupakan gejala klinis utama. Tampilan sinar X
rumit, tampak gambaran ronsen kondrosarkoma, tapi juga
tampak gambaran fibrosarkoma atau osteosarkoma. Diagnosis
perlu secara patologik. Metastasis terjadi dini, operasi
berdasarkan stadium dilakukan reseksi luas atau amputasi.
Prognosis kurang baik.10
4. Juxtacortical chondrosarcoma

Gambar 11. Juxtacortical chondrosarcoma


Juxtacortical chondrosarcoma merupakan 2% dari seluruh
kondrosarkoma. Lesi umumnya terletak pada bagian metafisis
femur, jarang pada daerah diafisis.

15
H. KLASIFIKASI

Kondrosarkoma di klasifikasikan menjadi kondrosarkoma primer


(90%) jika lesi denovo dan kondrosarkoma sekunder (10%) jika berasal
dari defek kartilago jinak, seperti osteokondroma atau enkondroma.
Selanjutnya diklasifikasikan sebagai kondrosarkoma sentral (jika letak lesi
di kanal intramedular), kondrosarkomaperifer (jika letak lesi di permukaan
tulang) dan kondrosarkoma jukstakortikal atau periosteal dengan kejadian
jarang (2%). Secara patologi kondrosarkoma diklasifikasikan menjadi
kondrosarkoma konvensional (80-85%), dan kondrosarkoma dengan subtipe
tergantung lokasi, tampilan, terapi dan prognosis. Subtipe tersebut
antara lain kondrosarkoma clear cell (1%-2%), kondrosarkoma
miksoid (8%-10%), kondrosarkoma mesenkimal (3%-10%) dan
kondrosarkoma dedifferentiated (5%-10%).6

Secara histologis, berdasar ukuran lesi dan staining inti


(hiperkromasia) dan selularitasnya, derajat kondrosarkoma dibagi dalam skala
1-3. Derajat 1 merupakan tumor derajat rendah, derajat 2 merupakan derajat
sedang dan derajat 3 merupakan derajat tinggi. Tumor derajat 1 mempunyai
kondrosit dengan inti tebal, beberapa beberapa inti membesar (ukuran lebih
dari 8 mikro) dan sedikit sel multinucleates (kebanyakan binucleated). Stroma
lebih dominan dengan area miksoid sedikit atau bahkan tidak ada.
Kondrosarkoma derajat 2 mempunyai sedikit matriks kondroid dan lebih
banyak mengandung sel. Peningkatan sel lebih dominan ke perifer dengan
matriks kondroid yang hampir tidak ada dan jarang ditemukan gambaran
mitosis. 11

Kondrosarkoma derajat 3 menampilkan sel-sel yang lebih besar dan


inti lebih pleomorfik dibandingkan derajat 2. Matriks kondroid jarang bahkan
hampir tidak ada, sedangkan materi interseluler sedikit dan sering berupa
miksoid. Selnya umumnya berbentuk stellata atau ireguler. Fokus nekrois

16
sering tampak dan sering meluas. Inti sel umumnya berbentuk spindle dengan
ukuran lebih besar 5-10 kali dibanding normal.11

I. DIAGNOSIS BANDING
Kondrosarkoma biasanya berasal dari tulang normal atau merupakan
perubahan ganas dari kelainan jinak seperti osteokondroma dan enkondroma.
1. Osteokondroma

Gambar 12. Osteokondroma


Osteokondroma merupakan tumor jinak tersering kedua (32,5%) dari
seluruh tumor jinak tulang dan terutama ditemukan pada remaja yang
pertumbuhan aktif dan pada dewasa muda. Gejala nyeri terjadi bila terdapat
penekanan pada bursa atau jaringan lunak sekitarnya. Benjolan yang keras
dapat ditemukan pada daerah sekitar lesi. Lokasi osteokondroma biasanya
pada daerah metafisis tulang panjang khususnya femur distal tibia proksimal
dan humerus proksimal. Osteokondroma juga dapat ditemukan pada tulag
skapula dan ilium. Tumor bersifat soliter dengan dasar lebar atau kecil
seperti tangkai dan bila multipel dikenal diafisial aklasia(eksostosis
herediter multipel) yang bersifat herediter dan diturunkan secara dominan
gen mutan. Pada pemeriksaan radiologis ditemukan adanya penonjolan
tulang yang berbatas tegas sebagai eksostosis yang muncul dari
metafisis.Tumor dapat bersifat tunggal atau multipel tergantung dari
jenisnya. Pengobatan apabila terdapat gejala penekanan pada jaringan lunak

17
pada pembuluh darah atau saraf sekitarnya atau tumor tiba-iba membesar
disertai nyeri maka diperlukan tindakan operasi secepatnya, terutama bila
hal ini terjadi pada orang dewasa. 12
2. Enkondroma

Gambar 13. Enkondroma


Kondroma (disebut juga enkondroma) merupakan tumor jinak
tulang dengan frekuensi 9,8% dari seluruh tumor jinak tulang, biasanya
ditemukan pada usia dewasa muda tetapi dapat pula pada setiap umur.
Gejalanya biasa berupa benjolan yang tidak nyeri. Lokasi terutama pada
tulang, kaki, iga dan tulang-tulang panjang, bersifat soliter tapi dapat juga
multipel sebagai enkondromatosis yang bersifat kongenital (penyakit
ollier). Pengobatan tidak selalu diperlukan. Apabila tumor bertambah
besar atau ditemukan adanya fraktur patologis maka tumor sebaiknya

18
dikeluarkan melalui kuretase kemudian diisi dengan jaringan tulang dari
tempat lain (bone graft).12

J. PENATALAKSANAAN

Tujuan terapi adalah selain mengontrol lesi lokal, juga sedapat


mungkin mempertahankan fungsi ekstremitas sisi lesi. Penatalaksanaan
kondrosarkoma merupakan bentuk kerja tim antara dokter dengan profesional
kesehatan lainnya. Para radiologist, diperlukan untuk melihat faktor- faktor
untuk evaluasi kecepatan perkembangan tumor, diagnosis spesifik, dan
pembesaran tumor. Perawat dan ahli gizi, terlibat menjelaskan kepada pasien
efek samping dari penanganan kondrosarkoma dan memberikan dorongan
kesehatan makanan untuk membantu melawan efek samping tersebut.12
Jenis terapi yang diberikan kepada pasien tergantung pada beberapa
hal seperti:
1. Ukuran dan lokasi dari kanker
2. Menyebar tidaknya sel kanker tersebut.
3. Grade dari sel kanker tersebut.
4. Keadaan kesehatan umum pasien
Pasien dengan kondrosarkoma memerlukan terapi kombinasi
pembedahan (surgery), kemoterapi dan radioterapi.
a. Surgery
Langkah utama penatalaksanaan kondrosarkoma pembedahan
karena kondrosarkoma kurang berespon terhadap terapi radiasi dan
kemoterapi. Variasi penatalaksanaan bedah dapat dilakukan dengan kuret
intralesi untuk lesi grade rendah, eksisi radikal, bedah beku hingga
amputasi radikal untuk lesi agresif grade tinggi. Lesi besar yang rekuren
penatalaksanaan paling tepat adalah amputasi.12

19
Gambar 14. Proses pembedahan
b. Kemoterapi
Kemoterapi, meskipun bukan yang paling utama, namun ini
diperlukan jika kanker telah menyebar ke area tubuh lainnya. Terapi ini
menggunakan obat anti kanker (cytotoxic) untuk menghancurkan sel-sel
kanker.
c. Radioterapi
Prinsip radioterapi adalah membunuh sel kanker menggunakan sinar
berenergi tinggi. Namun kondrosarkoma merupakan radioresistant.

K. PROGNOSIS

Prognosis untuk kondrosarkoma ini tergantung pada ukuran, lokasi


dan grade dari tumor tersebut. Usia pasien juga sangat menentukan survival
rate dan prognosis dari penyakit ini. Pasien anak-anak memiliki mortalitas
yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien dewasa. Penanganan pada saat
pembedahan sangat menentukan prognosis kondrosarkoma karena jika
pengangkatan tumor tidak utuh maka rekurensi lokal bisa terjadi. Sebaliknya
apabila seluruh tumor diangkat, lebih dari 75% penderita dapat bertahan
hidup. Rekurensi kondrosarkoma biasa terjadi 5-10 tahun setelah operasi dan
tumor rekuren bersifat lebih afgresif lebih tinggi dibanding tumor awalnya.12

20
Evans et al, menunjukkan bahwa tingkat kelansungan hidup tergantung
pada tingkat histologi tumor, sebagai berikut:
Tumor grade I – 90% bertahan hidup pada 5 tahun
Tumor grade II – 81% bertahan hidup pada 5 tahun
Tumor grade III- 29% bertahan hidup pada 5 tahun

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidayat, R. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidayat-de


Jong Ed. 3. Jakarta : EGC.
2. Snell, RS. 2011. Anatomi Klinis Berdasarkan sistem. Jakarta EGC.
3. Amalia, F. 2015. Korelasi Antara Panjang Tulang Humerus Dengan
Tinggi Badan Pada Pria Dewasa Suku Lampung Dan Suku Jawa Di
Desa Sukabumi Kecamatan Talang Padang Kabupaten Tanggamus.
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
4. Mamudi CO, Amin Z, Rumendes CM. 2015. Kondrosarkoma
Mediastinum di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta: Sebuah
Laporan Kasus. Indonesian Journal of CHEST.

5. Sylvia, Lorraine. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses –proses Penyakit.


Edisi 6. Jakarta :EGC, 2006. P.149
6. Wirbel RJ, Schulte M, Maier B, Koschnik M, Mutschler W. 2000.
Chondrosarcoma of the pelvis: oncologic and functional outcome.
Sarcoma.
7. Mavrogenis AF, Gambarotti M, Angelini A, Palmerini E, Staals EL,
Ruggieri P, et al. 2012. Chondrosarcomas Revisited. Orthopedics
(35);2.
8. Roozeman LB, Hogeendorns PC, Bovee J. 2002. Diagnosis and
prognosis of chondrosarcoma of bone, Expert Review of Molecular
Diagnostics. Universiteit Leiden.
9. Ollivier L, Vanel D, Lecl`ereJ. 2003. Imaging of chondrosarcomas.
Cancer imaging. Paris : International Cancer Imaging Society
Radiographics.
10. Desen, W. 2013. Buku Ajar Onkologi Klinis Edisi 2. Jakarta : Badan
Penerbit FKUI

22
11. Murphey MD, Walker EA, Wilson AJ, Kransdorf MJ, Temple
TH, Gannon FH. 2003. Imaging of primary chondrosaroma :
Radiologic-pathologic correlation.
12. Rasjad, C. 2009. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta: Yarsif
Watampone.

23

Anda mungkin juga menyukai