DISUSUN OLEH:
dr. Shella
0002
NARASUMBER:
dr. Budi Novitri, M.Kes, Sp.A
Puji syukur kepada yang Maha Kuasa atas kesempatannya yang telah diberikan
kepada saya untuk membuat referat ini. Saya juga berterima kasih kepada pihak-pihak yang
telah membantu secara langsung maupun secara tidak langsung. Salah satunya adalah dr.
Budi Novitri, M.Kes, Sp.A sebagai narasumber dan sebagai pemberi informasi, kritikan, dan
saran yang membangun saya untuk lebih baik lagi.
Saya sadar bahwa referat ini masih banyak kekurangannya. Tetapi saya telah berusaha
untuk membuat referat yang berguna bagi para pembaca. Karena itu, saya mengharapkan
adanya kritik maupun saran yang membangun dari para pembaca demi perkembangan saya
ke depan.
Saya mengharapkan referat ini dapat digunakan untuk kepentingan para pembaca,
serta dapat menambah wawasan para pembaca. Akhir kata, saya mengucapkan terima kasih
sebesar-besarnya dan selamat membaca.
Penulis
2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar..................................................................................................2
Daftar Isi ..........................................................................................................3
Daftar Tabel......................................................................................................4
Bab 1
Pendahuluan............................................................................................5
1.1 Latar Belakang........................................................................................5
1.2 Tujuan......................................................................................................5
1.3 Manfaat....................................................................................................5
Bab 2 Tinjauan Pustaka....................................................................................6
2.1 Definisi....................................................................................................6
2.2 Epidemiologi...........................................................................................6
2.3 Etiologi....................................................................................................7
2.4 Patofisiologi............................................................................................7
2.5 Patogenesis..............................................................................................8
2.6 Manifestasi Klinis...................................................................................10
2.7 Diagnosis Kerja.......................................................................................11
2.8 Diagnosis Banding..................................................................................13
2.9 Penatalaksanaan......................................................................................17
2.10 Komplikasi..............................................................................................18
2.11 Pencegahan..............................................................................................20
2.12 Imunisasi campak....................................................................................21
2.13 Prognosis.................................................................................................24
Bab 3 Kesimpulan.............................................................................................25
Daftar Pustaka...................................................................................................26
Laporan Kasus..................................................................................................29
3
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Patogenesis campak tanpa penyulit....................................................9
4
BAB 1
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
Tujuan dari dilakukannya tinjauan pustaka mengenai campak ini adalah untuk dapat
memahami dan mengenal faktor risiko – faktor risiko yang dialami oleh pasien sehingga
dapat mengalami infeksi campak. Disamping itu, untuk memahami bagaimana pemahaman
masyarakat mengenai penyakit campak serta bagaimana cara mencegah dan memutus rantai
penularan penyakit campak.
1.3 Manfaat
5
Tinjuan pustaka ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada penulis dan
pembaca khususnya yang terlibat dalam bidang medis dan masyarakat secara umumnya agar
dapat lebih mengetahui dan memahami lebih dalam mengenai penyakit campak.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Campak adalah penyakit infeksi virus akut, dengan gejala-gejala eksantem akut,
demam, inflamasi mukosa dan saluran napas, yang diikuti erupsi makulopapular berwarna
merah dan diakhiri dengan deskuamasi kulit. Campak adalah penyakit menular yang ditandai
dengan 3 stadium, yaitu stadium inkubasi, stadium prodormal (kataral), dan stadium erupsi
yang bermanifestasi dengan demam, konjungtivitis dan bercak koplik. Umur terbanyak
penderita campak adalah < 12 bulan, diikuti kelompok umur 1-4 dan 5-14 tahun. Nama lain
penyakit ini adalah morbili, measles, dan rubeola.4
2.2 Epidemiologi
Lebih dari 20 juta penularan campak terjadi setiap tahunnya, dengan 139.300
kematian pada tahun 2010. Sepuluh tahun terakhir telah menunjukkan peningkatan cakupan
imunisasi dengan vaksinasi virus campak yang dilemahkan, jadwal vaksinasi sebanyak dua
kali, dan tindakan preventif terhadap campak telah menurunkan angka kematian global akibat
campak hingga 74% dari 535.000 kematian pada tahun 2000. Mayoritas dari jumlah kematian
karena campak ini terjadi di Afrika dan Asia akibat terhambatnya program imunisasi dan
kurangnya pelayanan kesehatan yang memadai.5
Di Indonesia, menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) campak menduduki
tempat ke-5 dalam urutan 10 macam penyakit utama pada bayi (0,7%) dan tempat ke-5 dalam
urutan 10 macam penyakit utama pada anak usia 1-4 tahun (0,77%).
Dari penelitian retrospektif dilaporkan bahwa campak di Indonesia ditemukan
sepanjang tahun. Studi kasus campak yang dirawat inap di rumah sakit selama kurun waktu
lima tahun, memperlihatkan peningkatan kasus pada bulan Maret dan mencapai puncak pada
bulan Mei, Agustus, September dan Oktober.
Pengalaman menunjukkan bahwa epidemi campak di Indonesia timbul secara tidak
teratur. Di daerah perkotaan epidemi campak terjadi setiap 2-4 tahun. Wabah terjadi pada
kelompok anak yang rentan terhadap campak, yaitu di daerah dengan populasi balita banyak
6
mengidap gizi buruk dan daya tahan tubuh yang lemah. Telah diketahui bahwa campak
menyebabkan penurunan daya tahan tubuh secara umum, sehingga mudah terjadi infeksi
sekunder atau penyulit. Penyulit yang sering dijumpai ialah bronkopneumonia (75,2%),
gastroenteritis (7,1%), ensefalitis (6,7%) dan lain-lain (7,9%).6
Dari tahun 2010 sampai 2015, diperkirakan terdapat 23.164 kasus campak. Jumlah
kasus ini diperkirakan masih lebih rendah dibanding angka sebenarnya di lapangan,
mengingat masih banyaknya kasus yang tidak terlaporkan, terutama dari pelayanan kesehatan
swasta serta kelengkapan laporan surveilans yang masih rendah.7
2.3 Etiologi
Virus campak berada di sekret nasofaring dan di dalam darah, minimal selama masa
tunas dan dalam waktu yang singkat sesudah timbulnya ruam. Virus tetap aktif minimal 34
jam pada temperatur kamar, 15 minggu di dalam pengawetan beku, minimal 4 minggu
disimpan dalam temperature 35°C, dan beberapa hari pada suhu 0°C. Virus tidak aktif pada
pH rendah.
Virus campak termasuk golongan paramyxovirus berbentuk bulat dengan tepi yang
kasar dan bergaris tengah 140 nm, dibungkus oleh selubung luar yang terdiri dari lemak dan
protein. Di dalamnya terdapat nukleokapsid yang berbentuk bulat lonjong, terdiri dari bagian
protein yang mengelilingi asam nukleat (RNA) – yang merupakan struktur helix
nucleoprotein dari myxovirus. Pada selubung luar seringkali terdapat tonjolan pendek. Salah
satu protein yang berada di selubung luar berfungsi sebagai hemaglutinin.
Virus campak adalah organisme yang tidak memiliki daya tahan tinggi. Apabila
berada di luar tubuh manusia, keberadaannya tidak kekal. Pada temperatur kamar ia akan
kehilangan 60% sifat infektivitasnya setelah 3-5 hari, pada suhu 37°C waktu paruh usianya 2
jam, sedangkan pada suhu 56°C hanya satu jam. Sebaliknya virus ini mampu berahan dalam
keadaan dingin, pada suhu -70°C dengan media protein ia dapat hidup selama 5,5 tahun,
sedangkan dalam lemari pendingin dengan suhu 4-6°C, dapat hidup selama 5 bulan. Tetapi
bila tanpa media protein, virus ini hanya mampu bertahan selama 2 minggu, dan dapat
dengan mudah dihancurkan oleh sinar ultraviolet.6
2.4 Patofisiologi
Campak ditularkan melalui penyebaran droplet, kontak langsung, melalui sekret
hidung atau tenggorokan dari orang yang terinfeksi. Masa penularan berlangsung mulai dari
7
hari pertama sebelum munculnya gejala prodormal biasanya sekitar 4 hari sebelum timbulnya
ruam, minimal hari kedua setelah timbulnya ruam. Virus campak menempel dan berkembang
biak pada epitel nasofaring. Tiga hari setelah invasi, replikasi dan kolonisasi berlanjut pada
kelenjar limfe regional dan terjadi viremia yang pertama. Virus menyebar pada semua sistem
retikuloendotelial dan menyusul viremia kedua setelah 5-7 hari dari infeksi awal. Adanya
giant cells dan proses peradangan merupakan dasar patologik ruam dan infiltrat peribronkial
paru. Juga terdapat udema, bendungan dan perdarahan yang tersebar pada otak. Kolonisasi
dan penyebaran pada epitel dan kulit menyebabkan batuk, pilek, mata merah (3C : coryza,
cough and conjuctivitis) dan demam yang makin lama makin tinggi. Gejala panas, batuk,
pilek makin lama makin berat dan pada hari ke 10 sejak awal infeksi (pada hari penderita
kontak dengan sumber infeksi) mulai timbul ruam makulopapuler warna kemerahan.Virus
dapat berbiak juga pada susunan saraf pusat dan menimbulkan gejala klinik ensefalitis.
Setelah masa konvelesen, hipervaskularisasi mereda dan menyebabkan ruam menjadi makin
gelap, berubah menjadi deskuamasi dan hiperpigmentasi. Proses ini disebabkan karena pada
awalnya terdapat perdarahan perivaskuler dan infiltrasi limfosit.8,9
2.5 Patogenesis
Penularannya sangat efektif, dengan sedikit virus yang infeksius sudah dapat
menimbulkan infeksi pada seseorang. Penularan campak terjadi secara droplet melalui udara,
sejak 1-2 hari setelah timbul gejala klinis sampai 4 hari setelah timbul ruam. 6 Infeksi virus
campak pertama kali terjadi pada epitel saluran nafas nasofaring. Infeksi di daerah nasofaring
ini akan diikuti dengan penyebaran virus campak ke jaringan limfatik regional yang
menyebabkan terjadinya viremia primer. Setelah viremia primer, terjadi replikasi ekstensif
dari virus campak yang terjadi pada jaringan limfatik regional maupun jaringan limfatik yang
lebih jauh. Replikasi virus campak juga terjadi di lokasi pertama infeksi.
Setelah lima hingga tujuh hari setelah infeksi terjadi viremia sekunder yang ekstensif
dan menyebabkan terjadinya infeksi campak secara generalisata. Kulit, konjungtiva, dan
saluran nafas adalah tempat yang jelas terkena infeksi, tetapi organ lainnya seperti kulit,
kandung kemih, dan usus.dapat terinfeksi pula.6,10
Pada hari ke-9-10, fokus infeksi yang berada di epitel saluran nafas dan konjungtiva,
akan menyebabkan timbulnya nekrosis pada satu sampai dua lapis sel. Pada saat itu virus
dalam jumlah banyak masuk kembali ke pembuluh darah dan menimbulkan manifestasi klinis
dari system saluran nafas diawali dengan dengan keluhan batuk pilek disertai selaput
konjungtiva yang tampak merah. Respon imun yang terjadi ialah proses peradangan epitel
8
pada system saluran pernapasan diikuti dengan manifestasi klinis berupa demam tinggi, anak
tampak sakit berat dan tampak suatu ulsera kecil pada mukosa pipi yang disebut bercak
Koplik, yang dapat tanda pasti untuk menegakkan diagnosis.6
Selanjutnya daya tahan tubuh menurun. Sebagai akibat respons delayed
hypersensitivity terhadap antigen virus, muncul ruam makulopapular pada hari ke-14 sesudah
awal infeksi dan pada saat itu antibody humoral dapat dideteksi pada kulit. Kejadian ini tidak
tampak pada kasus yang mengalami defisit sel-T.6
Dari hari ke-11 hingga 14 infeksi, kandungan virus dalam darah, saluran nafas, dan
organ lain mencapai puncaknya dan kemudian titer virus akan menurun menurun secara cepat
dalam waktu 2 hingga 3 hari. Selama proses infeksi, virus campak akan bereplikasi di dalam
sel endotel, sel epitel, monosit, dan makrofag.10
Daerah epitel yang nekrotik di nasofaring dan saluran pernafasan memberikan
kesempatan serangan infeksi bakteri sekunder berupa bronkopneumonia, otitis media, dan
lainnya. Dalam keadaan tertentu, adenovirus dan herpes virus pneumonia dapat terjadi pada
kasus campak.8
Hari Manifestasi
0 Virus campak dalam droplet kontak dengan permukaan epitel nasofaring atau
kemungkinan konjungtiva
Infeksi pada sel epitel dan multiplikasi virus
Stadium erupsi
10
Pada campak yang tipikal, ruam akan muncul sekitar hari ke-14 infeksi yaitu pada
saat stadium erupsi. Ruam muncul pada saat puncak gejala gangguan pernafasan dan saat
suhu berkisar 39,5˚C. Ruam pertama kali muncul sebagai makula yang tidak terlalu tampak
jelas di lateral atas leher, belakang telinga, dan garis batas rambut. Kemudian ruam menjadi
makulopapular dan menyebar ke seluruh wajah, leher, lengan atas dan dada bagian atas pada
24 jam pertama. Kemudian ruam akan menjalar ke punggung, abdomen, seluruh tangan, paha
dan terakhir kaki, yaitu sekitar hari ke-2 atau 3 munculnya ruam. Saat ruam muncul di kaki,
ruam pada wajah akan menghilang diikuti oleh bagian tubuh lainnya sesuai dengan urutan
munculnya.
Saat awal ruam muncul akan tampak berwarna kemerahan yang akan tampak
memutih dengan penekanan. Saat ruam mulai menghilang akan tampak berwarna kecokelatan
yang tidak memudar bila ditekan. Seiring dengan masa penyembuhan maka muncullah
deskuamasi kecoklatan pada area konfluensi. Beratnya penyakit berbanding lurus dengan
gambaran ruam yang muncul. Pada infeksi campak yang berat, ruam dapat muncul hingga
menutupi seluruh bagian kulit, termasuk telapak tangan dan kaki. Wajah penderita juga
menjadi bengkak sehingga sulit dikenali.4,11
11
Tetapi gejala klinis pada penyakit campak sering mengalami modifikasi misalnya
penyakit campak dapat timbul tanpa disertai demam dan tanpa timbul ruam-ruam pada kulit.
Hal seperti ini sering terjadi pada anak atau bayi yang sangat muda, penderita dengan
immunokompresi, anak dengan malnutrisi atau bisa pada anak yang sebelumnya telah
mendapat imunisasi campak. Karena banyak penderita menunjukkan gejala yang tidak jelas,
maka untuk memastikan diagnosis perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium.
1. Pemeriksaan darah rutin
Biasanya ditemukan leukopenia.
2. Deteksi virus
a. Virus campak dapat ditemukan pada sel mononuclear darah tepi, sekresi saluran nafas,
usapan konjugtiva dan dalam urin. Tetapi virus campak sangat sulit ditemukan,
sehingga pemeriksaan untuk menemukan virus jarang digunakan untuk menegakkan
diagnosis penyakit campak.
b. Sel epitel yang berasal dari nasofaring, mukosa bukalis, konjungtiva atau urin dapat
digunakan untuk pemeriksaan sitologi secara langsung untuk melihat sel raksasa dan
mendeteksi antigen dengan menggunakan antibodi terhadap protein N virus. Protein
ini paling banyak ditemukan pada sel yang terinfeksi.
c. Pemeriksaan jaringan langsung pada penderita dengan immunocompromised karena
respon antibodinya tidak terbentuk.
d. RNA virus dapat dideteksi dengan reverse transcription dan diamplifikasi memakai
PCR, teknik ini belum digunakan secara luas untuk menegakkan diagnosis.
3. Mendeteksi antibodi
Diagnosis penyakit campak paling sering ditegakkan dengan pemeriksaan serologi.
Menggunakan sampel saliva atau serum. Antibodi IgM muncul bersamaan dengan munculnya
ruam pada kulit dan sebagian besar dideteksi 3 hari sesudah munculnya ruam. Antibodi IgM
meningkat cepat dan kemudian menurun hingga tidak dapat dideteksi setelah 4-12 minggu.
IgG sebaiknya diperiksa pada sampel yang sama untuk mengetahui apakah sudah pernah
terinfeksi atau sudah pernah mendapat imunisasi.
Saat pengambilan serum yang tepat untuk dilakukan pemeriksaan laboratorium
adalah:
12
a. Usapan tenggorokan dan saliva diambil dalam 6 minggu sesudah munculnya gejala
untuk pemeriksaan antibodi IgM spesifik campak dan mendeteksi RNA virus.
b. Sampel darah diambil dalam 6 minggu sesudah munculnya gejala untuk mendeteksi
antibodi IgM spesifik virus dan RNA virus
c. Sampel darah umumnya diambil pada fase akut (1-7 hari setelah munculnya rum pada
kulit) dan pada fase konvalesen untuk mendeteksi antibodi IgG spesifik campak.
Positif jika terjadi kenaikan titer antara fase akut dan konvalesen 4 kali lipat.11,12
13
mendahului erupsi di kulit 1-5 hari sebelumnya. Pada beberapa penderita dewasa
gejala dan tanda tersebut dapat menetap lebih lama dan bersifat lebih berat. Pada 20%
penderita selama masa prodromal atau hari pertama erupsi, timbul enantemam
Forscheimer spot, yaitu macula atau petekia pada palatum molle, bias saling
merengkuh sampai seluruh permukaan faucia. Pembesaran kelenjar limfe bias timbul
5-7 hari sebelum timbul eksantema, khas mengenai kelenjar suboksipital,
postaurikular dan servikal, dan disertai nyeri tekan.
Masa eksantema. Seperti pada campak, eksantema mulai retroaurikular atau pada
muka dan dengan cepat meluas secara kraniokaudal ke bagian lain dari tubuh, mula-
mula berupa macula yang berbatas tegas dan kadang-kadang dengan cepat meluas dan
menyatu, memberikan bentuk campakform. Pada hari kedua eksantema di muka
menghilang, diikuti hari ke-3 di tubuh dan hari ke-4 di anggota gerak. Pada 40%
kasus infeksi rubella terjadi tanpa eksantema. Meskipun sangat jarang, dapat terjadi
deskuamasi posteksantematik.6
Selain eksantema, limfadenopati merupakan suatu gejala klinis yang penting pada
rubella. Biasanya pembengkakan kelenjar getah bening itu berlangsung selama 5-8 hari.
Pada penyakit rubella yang tidak mengalami penyulit sebagian besar penderita sudah
dapat bekerja seperti biasa pada hari ke-3. Sebagian kecil penderita masih terganggu dengan
nyeri kepala, sakit mata, rasa gatal selama 7-10 hari.6
2. Eksantema subitum
Eksantema subitum adalah penyakit virus pada bayi dan anak kecil yang bersifat akut,
biasanya terjadi secara sporadic dan dapat menimbulkan epidemic. Hal yang unik dari
eksantema subitum adalah ruam dan perbaikan klinis yang terjadi hampir simultan.
Eksantema subitum sudah lama dikenal sebagai penyakit eksantematus yang sering terjadi
pada anak. Beberapa nama lain dari penyakit ini adalah roseola infantum, sixth disease, the
rose rash of infants, dan pseudorubella.
Eksantema subitum merupakan infeksi primer HHV-6B. Eksantema subitum
merupakan penyakit yang umum, disertai panas yang akut pada anak. Meskipun manifestasi
klinik dari bayi atau anak yang menderita eksantema subitum bervariasi, tetapi memiliki
karakteristik khas yang timbul 3-6 hari. Pada periode demam ini berhubungan dengan
terdapatnya virus dalam darah. Saat periode demam selama 3-6 hari, anak menjadi rewel,
tetapi bila demam sudah menurun, anak menjadi tampak normal. Umumnya terjadi
14
limfadenopati servikal, tetapi karakteristik yang paling utama adalah timbulnya limfadenopati
di oksipital posterior pada 3 hari pertama infeksi, disertai eksantema (Nagayana’s spots) pada
palatum molle dan uvula.
Setelah panas turun, kemudian timbul ruam pada tubuh, menyebar kearah leher,
wajah, dan ekstremitas. Lesi yang timbul berbentuk campakform atau rubella-like dengan
macular, lesi berwarna merah muda, ukuran dengan diameter 1-3 mm. dapat ditemukan juga
ubun-ubun besar yang menonjol namun akan sembuh secara spontan. Infeksi primer ini dapat
asimtomatik, tetapi juga dapat menimbulkan manifestasi klinik yang lain dari eksantema
subitum yang klasi. Pada beberapa kasus, eksantema subitum dapat juga disertai gejala-gejala
yang lain seperti otitis media sampai infeksi saluran pernapasan atas dan gastroenteritis.6
3. Scarlet fever
Scarlet fever atau demam skarlatina adalah penyakit infeksi saluran napas atas yang
disebabkan infeksi Grup A Streptokokus (GAS) yang memproduksi eksotoksin pyrogenic
(erythrogenic toxin) di faring. Pada scarlet fever dapat ditemukan ruam yang karateristik, di
mana ruam ini diakibatkan infeksi Grup A Streptokokkus. Saat ini scarlet fever lebih sulit
ditemui dan virulensi-nya telah menurun dibanding masa lampau, tetapi siklus insidensi
masih ada, tergantung pada prevalensi strain bakteri yang memproduksi toxin dan status
imunitas populasi.
Metode transmisi penyebaran GAS pada faring terjadi melalui udara (droplet nuclei,
debu) dan lingkungan yang tercemar (baju, tempat tidur) merupakan sebagian kecil dari poses
penyebaran streptokokus. Kontak erat dengan individu terinfeksi dibutuhkan untuk transmisi
Streptokokus faring langsung secara droplet atau transfer fisik dari secret respirasi yang berisi
bakteri infeksi. Penyebaran di dalam keluarga dan sekolah sering terjadi. Pasien infeksi aktif
maupun infeksi subklinis mungkin bisa menyebarkan infeksi. Pada umumnya penyebaran
kedua (oleh penderita karier) terjadi 2 minggu pertama setelah bebas saki, karier karena
infeksi Streptokokus pada saluran nafas dan sering menimbulkan penularan organisme.
Makanan atau susu yang terkontaminasi mungkin bias menimbulkan infeksi Streptokokus
pada faring.
Ruam timbul pada 24-48 jam setelah onset simptom. Ruam sering dimulai dari area
sekitar leher dan menyebar ke perut dan dada serta ekstremitas. Ruam yang timbul difus,
popular berbatas tegas, dan erupsi eritme menghasilkan warna merah pucat pada kulit yang
menghilang dengan penekanan. Ruam sering ditemukan pada lipatan siku, axilla, dan
selangkangan. Saat diraba kulit terasa kasar dan teraba adanya bintik-bintik seperti pada kulit
15
angsa. Pada pipi sering terlihat kemerahan dengan mulut yang terlihat pucat. Setelah 3-4 hari
ruam mulai menghilang, diikuti dengan deskuamasi yang dimulai dari wajah kemudian
meluas ke bawah sehingga kulit terlihat seperti terbakar matahari ringan. Terkadang,
deskuamasi juga dapat terlihat pada ujung jari, telapak tangan, dan tumit. Selain itu, lidah
terlihat seperti terlapis dengan papilla yang membesar. Setelah deskuamasi, pada pasien
scarlet fever dapat ditemukan strawberry tongue.4
16
Pemeriksaan histopatologi dan imunofloresensi direk dapat membantu menegakkan
diagnosis erupsi obat alergi. Hal ini dapat dilihat dari adanya eosinofil dan edema jaringan.
Akan tetapi pemeriksaan ini tidak dapat menentukan obat penyebab erupsi.
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium digunakan untuk mengevaluasi dan menegakkan diagnosis
serta melihat kemungkinan etiologi penyebab erupsi. Pemeriksaan ini mencakup perhitungan
darah lengkap (atypical lymphocytosis, neutrophilia, eosinophilia, dan lain-lain) serta fungsi
kerja hati dan ginjal. Peningkatan jumlah eosinofil dapat menunjukkan erupsi obat alergi
dimana bila perhitungan eosinofil lebih dari 1000 sel/mm 3 menunjukkan erupsi obat alergi
yang serius. Level obat dapat terdeteksi apabila terdapat overdosis dari obat tersebut.
Pemeriksaan uji tempel dan uji provokasi
Uji tempel (patch test) memberikan hasil yang masih belum dapat dipercaya. Uji
provokasi (exposure test) dengan melakukan pemaparan kembali obat yang dicurigai adalah
yang paling membantu untuk saat ini, tetapi risiko dari timbulnya reaksi yang lebih berat
membuat cara ini harus dilakukan dengan cara hati-hati dan harus sesuai dengan etika
maupun alasan mediko legalnya.13
Pada erupsi obat alergi, dapat timbul erupsi makulopapular atau morbiliformis. Erupsi
makulopapular atau morbiliformis disebut juga erupsi eksantematosa dapat diinduksi oleh
hampir semua obat. Seringkali terdapat erupsi generalisata dan simetris yang terdiri atas
eritema dan selalu ada gejala pruritus. Kadang-kadang ada demam, malaise, dan nyeri sendi.
Lesi biasanya timbul dalam 1-2 minggu setelah dimulainya terapi. Erupsi jenis ini sering
disebabkan oleh ampisilin, OAINS, sulfonamid, dan tetrasiklin.13
2.9 Penatalaksanaan
Penderita campak tanpa komplikasi dapat berobat jalan. Anak harus diberikan cukup
cairan dan kalori, sedangkan pengobatan bersifat simtomatik, dengan pemberian antipiretik,
antitusif, ekspektoran, dan antikonvulsan bila diperlukan, diperlukan perbaikan keadaan
umum dengan memperbaiki kebutuhan cairan dan diet yang memadai.
Pemberian vitamin A pada pasien campak untuk usia <6 bulan sebanyak 50.000 IU,
usia 6 bulan – 1 tahun sebanyak 100.000 IU, anak >1 tahun sebanyak 200.000 IU sebanyak
satu kali.12 Apabila terdapat malnutrisi dilanjutkan 1500 IU tiap hari.6
Indikasi rawat inap bila hiperpireksia (suhu >39,5˚C), dehidrasi, kejang, asupan oral
sulit atau adanya penyulit. Di rumah sakit pasien campak dirawat di bangsal isolasi system
pernapasan. Pengobatan dengan penyulit disesuaikan dengan penyulit yang timbul.
17
2.10 Komplikasi
1. Bronkopneumonia
Bronkopneumonia dapat disebabkan virus Campak sendiri atau oleh Pneumococcus,
Streptococcus, dan Staphylococcus yang menyerang epitel pada saluran pernafasan. Ditandai
dengan batuk, meningkatnya frekuensi nafas, dan adanya ronki basah halus. Pada saat suhu
turun, apabila disebabkan oleh virus gejala pneumonia akan menghilang, kecuali batuk yang
masih dapat berlanjut sampai beberapa hari lagi. Apabila suhu tidak juga turun pada saat yang
diharapkan dan gejala saluran nafas masih terus berlangsung, dapat diduga adanya
pneumonia karena bakteri yang telah mengadakan invasi pada sel epitel yang telah dirusak
oleh virus. Gambaran infiltrate pada foto toraks dan adanya leukositosis dapat mempertegas
diagnosis. Di Negara sedang berkembang dimasa malnutrisi masih menjadi masalah, penyulit
pneumonia bakteri biasa terjadi dan dapat menjadi fatal bila tidak diberi antibiotik.
Untuk pengobatan diberikan antibiotik ampisilin 100 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis
intravena dikombinasikan dengan kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari intravena dalam 4 dosis,
sampai gejala sesak berkurang dan pasien dapat minum obat per oral. Antibiotic diberikan
sampai tiga hari demam reda. Apabila dicurigai infeksi spesifik, maka uji tuberculin
dilakukan setelah anak sehat kembali (3-4 minggu kemudian) oleh karena uji tuberkulin
biasanya negative (anergi) pada saat anak menderita campak. Gangguan reaksi delayed
hypersensitivity disebabkan oleh sel limfosit-T yang terganggu fungsinya.6
3. Ensefalitis
Merupakan penyakit neurologic yang paling sering terjadi, biasanya terjadi pada hari
ke-4-7 setelah timbulnya ruam. Kejadian ensefalitis sekitr 1 dalam 1000 kasus campak,
dengan mortalitas antara 30-40%. Terjadinya ensefalitis dapat melalui mekanisme
imunologik maupun melalui invasi langsung virus campak ke dalam otak. Gejala ensefalitis
18
dapat berupa kejang, letargi, koma dan iritabel. Keluhan nyeri kepala, frekuensi nafas
meningkat, twitching, disorientasi juga dapat ditemukan. Pemeriksaan cairan serebrospinal
menunjukkan pleositosis ringan, dengan predominan sel mononuclear, peningkatan protein
ringan, sedangkan kadar glukosa dalam batas normal.
Pada ensefalopati perlu diberikan kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4
dosis dan ampisilin 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis selama 7-10 hari. Deksametason
juga diberikan dengan dosis awal 1 mg/kgBB/hari, dilanjutkan 0,5 gr/kgBB/hari dibagi dalam
3 dosis sampai kesadaran membaik. Pemberian deksametason yang melebihi 5 hari dilakukan
tapering-off saat menghentikan terapi. Selain itu, perlu reduksi jumlah pemberian cairan
hingga ¾ kebutuhan untuk mengurangi edema otak dan perlu dilakukan koreksi elektrolit dan
gangguan gas darah.6,14
5. Enteritis
Beberapa anak yang menderita campak mengalami muntah dan mencret pada fase
prodromal. Keadaan ini akibat invasi virus ke dalam sel mukosa usus. Dapat pula timbul
enteropati yang menyebabkan kehilangan protein (protein losing enteropaty). Pada keadaan
berat anak mudah jatuh dalam dehidrasi sehingga pemberian cairan intravena dapat
dipertimbangkan apabila terdapat enteritis + dehidrasi.6
2.11 Pencegahan
a. Pencegahan tingkat awal
Pencegahan tingkat awal dilakukan dalam mencegah munculnya faktor predisposisi
atau resiko terhadap penyakit campak. Sasaran dari pencegahan primordial adalah anak-anak
yang masih sehat dan belum memiliki resiko yang tinggi agar tidak memiliki faktor resiko
19
yang tinggi untuk penyakit campak. Edukasi kepada orang tua anak sangat penting
peranannya dalam upaya pencegahan primordial. Tindakan yang perlu dilakukan seperti
penyuluhan mengenai pendidikan kesehatan, konselling nutrisi dan penataan rumah yang
baik.
b. Pencegahan tingkat pertama
Sasaran dan pencegahan primer adalah orang-orang yang termasuk kelompok
berisiko, yakni anak yang belum terkena campak, tetapi berpotensi untuk terkena penyakit
campak. Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk mencegah seseorang
terkena penyakit campak, yaitu:
Memberi penyuluhan kepada masyarakat mengenai pentingnya pelaksanaan
Program Imunisasi Nasional (vaksinasi campak) untuk semua bayi.
Vaksinasi dengan virus campak hidup yang dilemahkan. Vaksin ini diberikan
secara subkutan sebanyak 0,5 ml. Vaksin campak tidak boleh diberikan pada
wanita hamil, anak dengan TBC yang tidak diobati, dan penderita leukemia.
Vaksin campak dapat diberikan sebagai vaksin monovalent (measles-containing
vaccine; MCV) atau polivalen (measles-mumps-rubella; MMR).
20
campak. Pelayanan kesehatan yang holistik dan terintegrasi antara disiplin terkait juga sangat
diperlukan, terutama di rumah sakit rujukan, baik dengan para ahli sesama disiplin ilmu.8
Vaksin monovalen diberikan pada bayi usia 9 bulan, sedangkan vaksin polivalen
diberikan pada anak usia 15 bulan. Penting diperhatikan penyimpanan dan transportasi
vaksin harus pada temperature antara 2ºC - 8ºC atau ± 4ºC serta vaksin tersebut harus
dihindarkan dari sinar matahari.
21
Imunisasi tidak dianjurkan pada ibu hamil, anak dengan imunodefisiensi primer,
pasien TB yang tidak diobati, pasien keganasan atau transplantasi organ, mereka yang
mendapat pengobatan imunosupresif jangka panjang atau anak imunokompromais yang
terinfeksi HIV. Anak yang terinfeksi HIV tanpa imunosupresi berat dan tanpa bukti kekebalan
terhadap campak, bisa mendapat imunisasi campak.16
Reaksi KIPI
Reaksi KIPI imunisasi campak yang banyak dijumpai terjadi pada imunisasi ulang
pada seorang yang telah memiliki imunitas. Kejadian KIPI imunisasi campak telah
menurun dengan digunakannya vaksin campak hidup yang dilemahkan.
Gejala KIPI yang berupa demam yang lebih dari 39,5°C yang terjadi pada 5-15 %
kasus, demam mulai dijumpai pada hari ke 5-6 sesudah imunisasi dan berlangsung
selama 5 hari.
Berbeda dengan infeksi alami demam tidak tinggi, walaupun demikian peningkatan
suhu tubuh tersebut dapat merangsang terjadinya kejang demam.
Ruam dapat dijumpai pada 5% resipien, timbul pada hari ke 7-10 sesudah imunisasi
dan berlangsung selama 2-4 hari. Hal ini sukar dibedakan dengan akibat imunisasi
jika seseorang memperoleh imunisasi pada saat masa inkubasi penyakit alami.
Reaksi KIPI berat jika ditemukan gangguan fungsi sistem saraf pusat seperti
ensefalopati pasca imunisasi. Diperkirakan risiko terjadinya efek samping tersebut 30
hari sesudah imunisasi 1 di antara 1 milyar dosis vaksin.16
22
temperature 2-8°C atau lebih dingin dan terlindung dari cahaya. Vaksin harus digunakan
dalam waktu 1 jam setelah dicampur dengan pelarutnya, tetap sejuk dan terlindung dari
cahaya, karena setelah dicampur vaksin sangat tidak stabl dan cepat kehilangan potensinya
pada temperatur kamar. Pada temperature 22-25°C, akan kehilangan potensi 50% dalam 1
jam, pada temperature >37°C vaksin menjadi tidak aktif setelah 1 jam.
Pemberian vaksin MMR dengan dosis tunggal 0,5 ml suntikan secara intramuscular
atau subkutan dala,. Imunisasi ini menghasilkan serokonversi terhadap ketiga virus ini >90%
kasus dan diberikan pada umur 12-18 bulan.
Sesuai dengan Jadwal Pemberian Imunisasi anak umur 6-18 tahun rekomendasi IDAI
tahun 2014, vaksin MMR diberikan pada umur 15 bulan. Namun apabila belum mendapat
imunisasi campak, maka pemberian MMR dapat diberikan pada kesempatan pertama anak
datang ke tempat pelayanan kesehatan (rumah sakit atau dokter / dokter spesialis anak).
Pemberian imunisasi MMR kedua diberikan pada umur 5 tahun.
Vaksin MMR harus diberikan sekalipun ada riwayat infeksi campak, gondongan dan
rubella atau imunisasi campak. Tidak ada dampak imunisasi yang terjadi pada anak yang
sebelumnya telah mendapat imunitas terhadap salah satu atau lebih dari ketiga penyakit ini.
Berikut reaksi KIPI yang dapat terjadi pasca imunisasi MMR:
Pada penelitian yang mencakup 6000 anak yang berusia 1-2 tahun, dilaporkan setelah
vaksinasi MMR dapat terjadi malaise, demam, atau ruam yang sering terjadi 1 minggu
setekah imunisasi yang berlangsung selama 2-3 hari.
Laporan dari CDC menyatakan bahwa vaksin MMR dapat menyebabkan efek
samping demam, komponen campak yang paling sering menyebabkan efek samping
ini. Kurang lebih 5% anak akan mengalami demam >39,4°C setelah imunisasi MMR.
Reaksi demam tersebut biasanya berlangsung 7-12 hari setelah imunisasi dan
umumnya berlangsung 1-2 hari.
Dalam masa 6-11 hari setelah imunisasi, dapat terjadi kejang demam pada 0,1% anak,
ensefalitis pasca imunisasi <1/1.000.000, dan pembengkakan kelenjar parotis pada 1%
anak berusia sampai 4 tahun, pada umumnya terjadi pada minggu ketiga dan kadang-
kadang lebih lama.
Meningoensefalitis yang disebabkan oleh imunisasi gondongan terjadi kira-kira
1/1.000.000 kasus dengan galur virus gondongan Urabe, angka kejadian ini lebih kecil
apabila menggunakan jalur virus gondongan Jeryl Lyn.
23
Trombositopenia biasanya akan sembuh sendiri, kadang-kadang dihubungkan dengan
komponen rubella dari MMR. Kepada orang tua harus dijelaskan tentang
kemungkinan gejala yang bakal timbul dan diberikan petunjuk untuk mengurangi
demam, teramsuk pengguanan parasetamol pada masa 5-12 hari setelah imunisasi.16
2.13 Prognosis
Pada penyakit campak yang tidak disertai dengan komplikasi maka prognosisnya
baik. Sedangkan pada campak yang disertai komplikasi (misal ensefalitis dan pneumonia)
maka prognosisnya buruk karena dapat menimbulkan kecacatan seumur hidup meskipun
jarang ditemukan. Penyakit campak juga merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas
yang penting pada anak-anak yang mengalami malnutrisi sehingga harus diwaspadai.
24
BAB 3
KESIMPULAN
Campak adalah salah satu penyakit infeksi menular yang sering menyerang anak-anak
yang angka kejadiannya cukup tinggi didunia. Campak merupakaan penyakit yang
disebabkan oleh virus RNA dari famili Paramyxovirus dan genus Morbilivirus. Penyakit ini
ditandai dengan demam, korizya, batuk, konjungtivitis, dan tanda koplik. Penularan penyakit
ini dapat terjadi ketika seseorang yang daya tahan tubuhnya menurun menghirup percikan
yang mengandung virus dari secret nasofaring pasien. Pencegahan penyakit campak amat
penting. Di Indonesia sampai saat ini pencegahan penyakit campak dilakukan dengan
vaksinasi campak secara rutin yaitu diberikan pada bayi berumur 9-15 bulan.
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Thorrington D, Ramsay M, Hoek AJ, Edmunds WJ, Vivancos R, Bukasa A, et al. The
effect of measles on health-related quality of life: a patient-based survey. PLoS One
2014;9(9):105-53.
2. Rammohan A, Awofeso N, Fernandez RC. Paternal education status significantly
influences infants' measles vaccination uptake, independent of maternal education
status. BMC Public Health 2012;12:336.
3. Perry RT, Halsey NA. The clinical significance of measles: a review. J Infect Dis.
2004;189(1):4-16.
4. Nelson WE, Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM. Nelson ilmu kesehatan anak.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2012.
5. Haralambieva IH, Ovsyannikova IG, Pankratz VS, Kennedy RB, Jacobson RM,
Poland GA. The genetic basis for interindividual immune response variation to
measles vaccine: new understanding and new vaccine approaches. Expert Review of
Vaccines 2013 01;12(1):57-70.
26
6. Soedarmo, SSP. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Edisi Kedua. 2012.h.109-18.
7. WHO. Status Campak dan Rubella di Indonesia Saat Ini. 2015
8. Swart D, Rik L. 'The Pathogenesis of Measles Revisited'. Pediatric Infectious Disease
Journal 2007; 27(10).
9. Sabella C. 'Measles: Not just a childhood rash', Cleveland Clinic Journal of Medicine
2010;77(3):207-13.
10. Cherry J.D. Feign R.D. Textbook of pediatric infectious disease. Edisi ke-4.
Philadepia: WB Saunders; 2008.h.1889-91.
11. Soedarto. Sinopsis Kedokteran Tropis. Surabaya: Airlangga University Press; 2007.
12. Setiawan IM. Penyakit Campak. Jakarta: Sagung Seto; 2008.
13. Nababan KA. Profil erupsi obat di satuan medis fungsional ilmu kesehatan kulit dan
kelamin RSUP Haji Adam Malik tahun 2010 – 2013 [disertasi]. Medan: Universitas
Sumatera Utara; 2014.
14. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA, editor. Kapita selekta kedokteran. Jilid 1.
Edisi ke-4. Jakarta: Media Aesculapius; 2014.h.67-8.
15. Borras E, Urbiztondo L, Costa J, Batalla J, Torner N, Plasencia A, et al. Measles
antibodies and response to vaccination in children aged less than 14 months:
implications for age of vaccination. Epidemiol Infect 2012;140(9):1599-606.
16. Ranuh, IGNG, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB, Ismoedianto,
Soedjatmiko, edirot. Pedoman imunisasi di Indonesia. Edisi ke-5. Jakarta: Badan
Penerbut Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2014.
27
28
30
LAPORAN KASUS
Status Pasien
Nama : Kevindo Raka
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 6 tahun
No.RM : 00.25.89.91
Tgl masuk : 13 Desember 2018
Pekerjaan :-
3.2 Anamnesa
Keluhan Utama : Demam lima hari
Telaah : Orang tua pasien mengaku demam sudah dialami lebih kurang 5
hari naik turun. Demam turun tidak mencapai suhu normal.
Demam juga disertai dengan mual dan muntah setiap kali makan
dan juga batuk (+). Keluhan diare juga dialami oleh pasien lebih
kurang 10 kali dalam sehari tidak ada lender dan darah dan
pasien terlihat lemas tetapi tidak tampak tanda dehidrasi. Orang
tua pasien juga mengaku bahwa pasien tidak mau makan tetapi
masih mau minum. Orang tua pasien juga menginformasikan
bahwa muncul ruam bintik merah pada seluruh tubuh dalam 2
hari belakangan dari belakang telinga menyebar kearah
ekstremitas bawah. Didapatkan juga informasi bahwa di
lingkungan sekolah pasien banyak yang mengalami hal serupa.
Keluhan kejang disangkal dan juga keluhan gusi berdarah serta
tanda perdarahan lainnya disangkal. Tidak ada riwayat alergi obat
dan juga tidak ada riwayat penyakit terdahulu. Orang tua pasien
juga mengaku bahwa kejadian seperti ini adalah baru pertama
kali. Orang tua pasien mengatakan anak sudah mendapatkan
imunisasi dasar lengkap. Tetapi untuk imunisasi MMR belum
pernah diberikan.
Riwayat Penyakit Dahulu : Kejang demam
Riwayat Pemakaian Obat : obat demam (paracetamol)
Riwayat Penyakit Keluarga : tidak ada
Riwayat Kebiasaan : tidak ada
Pemeriksaan Fisik
KU : Lemah
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : E4 ; V5 ; M6
TD : - mmHg
RR : 24 x/menit
Nadi : 84 x/menit
Temperatur : 37,80C
Tinggi badan : 97 cm
Berat badan : 18 kg
Status Generalis
32
1. Kepala : Simetris, Normocephali, rambut hitam, tidak mudah
dicabut dan distribusi merata, tidak terdapat jejas
maupun hematom.
Perkusi : timpani
Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan Laboratorium pada tanggal 13 Januari 2018
HEMATOLOGI RUTIN
34
9 Hitung Eosinofil 0.00 % 2–4
Jenis
Basofil 1 % 0-1
Lekosit
Monosit 6.00 % 2–8
CRP
ANALISA FECES
1 Makroskopis “”
6 Mikroskopis “”
9 Eritrosit 1-3
10 Leukosit 0-2
11 Epitel Negative
12 Pencernaan “”
35
13 Amilum Negative Negative
16 Lain-lain N/A
Diagnosa Banding
1. Morbili
2. GEA
3. Demam tifoid
4. Demam berdarah dengue
Diagnosa
Morbili + GEA tanpa dehidrasi
Penatalaksanaan
Rawat inap di ruang isolasi
a) Aktivitas : Tirah baring
b) Diet : ML + rendah serat + Pisang
c) Medikamentosa :
IVFD Kaen 3B 20 gtt/i
Inj. PCT 200 mg
Inj. Ranitidine 25 mg
Inj. Ondansetron 2 mg
Holiday segar : 1000 + (BB-10) 50 = 1000 + 400= 1400
Follow Up
Tanggal S O A P
13/12/20 Demam 5 hari, TD: tidak diukur Morbili IVFD Kaen 3B 20 gtt/i
18 naik turun, ruam + ISPA + Praxion forte 3x5 ml
HR : 110 x/ menit Comtusi 3x5 ml
makulopapular GEA Isprinol 3x5 cc
(+), batuk (+), RR: 22 x/menit tanpa Ondansetron 2 mg IV / 8
mencret 10 kali, dehidrasi jam
T: 37.8°C Liprolac 2x1 sachet PO
mual muntah(+),
Vit A 200.000 IU
tanda dehidrasi (-) Zink 1x2 ml (20 mg)
36
demam(+), HR : 84 x/menit GEA Comtusi 3x5 ml
mencret (+), tanpa Isprinol 3x5 cc
RR : 24x/ menit Ondansetron 2 mg IV
batuk (+), ruam dehidrasi
jika mual muntah
makulopapupal T : 38,9°C Liprolac 2x1 sachet PO
(+), muntah (-) Vit A 200.000 IU
Zink 1x2 ml (20 mg)
15/12/20 Pasien tidak TD : tidak diukur Morbili + IVFD Kaen 3B 20 gtt/i
18 demam lagi tadi ISPA + Praxion forte 3x5 ml jika
HR : 98 x/menit demam
pagi, BAB cair GEA
Comtusi 3x5 ml
(-), batuk (+), RR : 22 x/menit tanpa Isprinol 3x5 cc
Ruam dehidrasi Ondansetron 2 mg IV/ 8
T : 36.1°C
makulopapular jam
Liprolac 2x1 sachet PO
(+), muntah (-)
Zink 1x2 ml (20 mg)
16/12/20 Pasien sudah TD : tidak diukur Morbili + IVFD Kaen 3B 20 gtt/i
18 tidak demm (-), ISPA + Praxion forte 3x5 ml jika
HR : 90x/menit demam
BAB cair (-), GEA
Comtusi 3x5 ml
batuk berkurang, RR : 22x/menit tanpa Isprinol 3x5 cc
muntah (-), ruam dehidrasi Ondansetron 2 mg IV
T : 36.6°C
merah sudah jika mual muntah
Liprolac 2x1 sachet PO
kehitaman
Zink 1x2ml (20 mg)
17/12/20 Pasien tidak TD : tidak diukur Morbili + IVFD Kaen 3B 20 gtt/i
17 demam (-), BAB ISPA + Praxion forte 3 x 5 ml
HR : 84x/menit jika demam
cair (-), mual GEA
Comtusi 3x5 ml
muntah (-), batuk RR : 18x/menit tanpa Isprinol 3x5 cc
berkurang, faring dehidrasi Zink syr 1x 2ml (20 mg)
T : 36.7°C Pasien pulang
hiperemis (-)
Kontrol kembali ke poli
anak jika ada keluhan
37