Anda di halaman 1dari 27

1

TUGAS MATA KULIAH PEMBANGUNAN DAN LINGKUNGAN


DR. ZULKIFLI, S.Pi, M.Si

PENGELOLAAN TERPADU WILAYAH PESISIR &


LAUTAN PROVINSI RIAU

OLEH :

NURHASNA
NIM 1810246474
HP. 0812 753 6566

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN


PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2018
2

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Dengan berlakunya UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, maka
peran daerah dalam pengelolaan pembangunan di sektor kelautan akan menjadi besar.
Diharapkan dengan dilaksanakannya otonomi daerah dapat mendorong pertumbuhan
yang lebih merata ke seluruh daerah, serta peran masyarakat dalam pembangunan dapat
lebih diberdayakan. Implementasi desentralisasi dalam pengelolaan wilayah pesisir dan
lautan yang diorientasikan sepenuhnya bagi kesejahteraan masyarakat luas, dan
diwadahi dalam format aturan hukum, dukungan pengetahuan serta intelektualitas yang
jelas, tegas dan memadai
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari sekitar 17.504 pulau
dengan panjang garis pantai kurang lebih 81.000 km. Di sepanjang garis pantai ini
terdapat wilayah pesisir yang relatif sempit tetapi memiliki potensi sumber daya alam
hayati dan non-hayati; sumber daya buatan; serta jasa lingkungan yang sangat penting
bagi kehidupan masyarakat. Potensi-potensi tersebut perlu dikelola secara terpadu agar
dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Wilayah pesisir secara ekologis merupakan
daerah pertemuan antara ekosistem darat dan laut. Ke arah darat meliputi bagian tanah,
baik yang kering maupun yang terendam air laut, dan masih dipengaruhi oleh sifat-sifat
fisik laut seperti pasang surut, ombak dan gelombang serta perembesan air laut. Yang ke
arah laut mencakup bagian perairan laut yang dipengaruhi oleh proses alami yang
terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar dari sungai maupun yang
disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan, pembuangan
limbah, perluasan permukiman serta intensifikasi pertanian Sebagai negara kepulauan
terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi laut yang sangat besar. Namun, selama ini
potensi laut tersebut belum termanfaatkan dengan baik dalam meningkatkan
kesejahteraan bangsa pada umumnya, dan pemasukan devisa negara khususnya.
Bahkan, sebagian besar hasil pemanfaatan laut selama ini justru “lari” atau “tercuri” ke
luar negeri oleh para nelayan asing yang memiliki perlengkapan modern dan beroperasi
hingga perairan Indonesia secara ilegal. Dalam konteks inilah upaya pemanfaatan laut
Indonesia secara maksimal tidak saja tepat tetapi juga merupakan suatu keharusan.
3

Pertanyaan yang timbul kemudian adalah pemanfaatan laut yang bagaimana?


Seharusnya adalah pemanfaatan laut yang dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya
pada masyarakat secara lestari. Dalam konteks inilah kerjasama dalam pengelolaan
potensi sumberdaya tersebut sangat diperlukan, karena yang diinginkan bukan saja
peningkatan hasil pemanfaatan laut, tetapi juga pemerataan hasil pemanfaatan yang
dinikmati seluasluasnya oleh masyarakat
Kekayaan alam kelautan dan sumberdaya pesisir yang dimiliki Indonesia tersebut
antara lain berupa sumberdaya perikanan, sumberdaya hayati (biodiversity) seperti
mangrove, terumbu karang, padang lamun, serta sumberdaya mineral seperti minyak
bumi dan gas alam termasuk bahan tambang lainnya yang memiliki nilai ekonomi
tinggi. Lahan pesisir (coastal land) yang landai seperti pantai Timur Sumatera, Pantai
Utara Jawa dan Pantai Barat Sulawesi Selatan pada umumnya secara geologis terbentuk
oleh endapan alluvial yang subur dan dapat menjadi lahan pertanian produktif. Di
samping itu, kini banyak terungkap bahwa wilayah lautan Indonesia memiliki harta
Pengelolaan Ruang Wilayah Pesisir Dan Lautan 141 Seiring Dengan Pelaksanaan
Otonomi Daerah(Rokhimin Dahuri) karun yang banyak di dasar laut akibat kapal-kapal
pelayaran niaga yang karam pada masa lalu.
Wilayah laut dan pesisir adalah kawasan yang sangat penting bagi sebagian besar
penduduk Indonesia. Hampir 60% dari total penduduk Indonesia, tinggal dan
beraktivitas di kawasan laut dan pesisir (DAHURI, 1995). Lebih dari 14 juta penduduk
atau ± 7,5% dari total penduduk Indonesia menggantungkan hidupnya pada kegiatan
yang ada di kawasan ini (DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN, 2003).
Sekitar 26% dari total Produk Domestik Bruto (Gross National Product / GDP)
Indonesia disumbangkan dari kegiatan dan sumberdaya laut dan pesisir
(DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN, 2003). Wilayah laut dan pesisir
Indonesia juga merupakan kawasan yang penting untuk lingkungan hidup di dunia.
Indonesia diakui sebagai pusat keragaman hayati dunia untuk biota-biota laut dan
pesisir, termasuk terumbu karang, ikan karang, moluska dan mangrove (TOMASCIK et
al., 1997). Laut dan pesisir Indonesia adalah habitat bagi 47 jenis mangrove (KANTOR
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, 2004), hampir 30% dari hutan
mangrove di dunia atau sekitar 4,25 juta hektar berada di Indonesia (HINRICHSEN,
4

1998). Diperkirakan 75.000 km² atau 14% dari luas terumbu karang yang ada di dunia
hidup di perairan Indonesia (CESAR, 1996). Seluruh dari 15 suku karang yang ada
dunia juga hidup di perairan Kepulauan Nusantara, dengan total sekitar 80 marga dan
452 jenis yang sudah diidentifikasi sampai saat ini (PET-SOEDE et al, 2002). Wilayah
laut dan pesisir Indonesia juga ditumbuhi oleh kurang lebih 15 dari 52 jenis lamun
(seagrass) yang ada di dunia (KURIANDEWA, 2003). Luas padang lamun di perairan
Indonesia diperkirakan sebanyak 3 juta hektare (KURIANDEWA, 2003).
Namun sayangnya, pengelolaan yang kurang bijaksana telah menyebabkan
banyak ekosistem laut dan biota-biota laut tertentu mengalami penurunan kualitas dan
jumlah pada tingkat yang sangat mengkhawatirkan. Pada tahun 2000, Pusat Penelitian
Oseanografi – LIPI melaporkan bahwa lebih dari 70% terumbu karang di Indonesia
dalam kondisi buruk dan sedang, hanya sekitar 29% dari total seluruh karang di
Indonesia dalam kondisi baik dan sangat baik (NONTJI, 2000). Eksploitasi yang tak
terkendali juga telah menyebabkan kerusakan hampir 40% dari total hutan mangrove
yang dimiliki oleh Indonesia (HINRICHSEN, 1998).
Agenda 21 menjadi salah satu titik balik dari keberlangsungan pembangunan
berkelanjutan di dunia internasional yang menjadi dasar pembangunan berkelanjutan
kepada masyarakat untuk saat ini dan abad ke 21 " biogeofisik, sosekbud, kelembagaan,
dan LSM.
Jumlah penduduk di wilayah pesisir perkotaan yang makin meningkat, ternyata
mengakibatkan sumberdaya di daratan semakin terbatas, maka wilayah pesisir dan laut
beserta sumberdayanya menjadi alternatif pendukung pembangunan daerah maupun
nasional yang strategis di masa mendatang. Oleh karena itu sangatlah beralasan, jika
dalam pembangunan jangka panjang bangsa Indonesia mengorientasikan kiprah
pembangunannya terutama pada wilayah pesisir dan laut. Komitmen pemerintah dalam
bidang ini dapat terlihat dari masih diperlukannya kementerian yang mengurusi masalah
lingkungan hidup serta kelautan, bahkan pada kabinet saat ini ditambah dengan Menteri
Koordinator Maritim. Saat ini yang masih menjadi keprihatinan kita, beberapa kegiatan
pembangunan di kawasan daratan dan lautan, masih banyak yang memberikan dampak
negatif pada lingkungan yang akhirnya berakibat pada menurunnya kualitas lingkungan
pesisir dan laut maupun kelestarian sumberdaya alam, yaitu berupa pencemaran dan
5

kerusakan lingkungan serta pemanfaatan yang berlebih atas sumberdaya pesisir dan
laut. Sehubungan dengan hal tersebut, maka upaya pengendalian pencemaran dan
kerusakan lingkungan yang mungkin timbul harus menjadi bagian dari kebijakan dan
langkah aksi pengelolaan lingkungan pada setiap sektor kegiatan pembangunan.
Disamping permasalahan tersebut di atas, juga terdapat masalah lain, yaitu sistem
manajemen yang belum terpadu. Pengelolaan pesisir saat ini masih banyak dilakukan
secara sektoral dan tidak ada keterpaduan antara pengelolaan daratan dan lautan.
Padahal sumber pencemaran dan kerusakan di wilayah pesisir berasal dari kegiatan
yang ada di daratan dan di lautan. Menurut Undang-Undang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil pengelolaan di wilayah pesisir ini harus dilakukan secara terpadu
Permasalahan dalam pengelolaan pesisir di Indonesia pada dasarnya adalah
masalah menejemen dan masalah teknis yang bersumber dari daratan dan lautan.
Pengelolaan pesisir belum dilaksanakan secara terpadu, namun masih sektoral. Dalam
pelaksanaan program tidak didasarkan pada rencana strategis pengelolaan pesisir yang
disusun dengan melibatkan semua stakeholder atau sudah ada rencana strategisnya
namun pelaksanaan program atau proyeknya tidak berdasarkan pada rencana strategis
yang telah dibuat tersebut. Koordinasi yang belum baik juga merupakan salah satu
kendala, beberapa daerah belum membentuk Tim Teknis Pengelolaan Pesisir Secara
Terpadu, sehingga koordinator atau leading sector yang menangani pengelolaan pesisir
dan laut ini tidak jelas. Pemahaman atas pengelolaan pesisir secara terpadu oleh aparat
pengelola belum merata atau tidak paham sama sekali. Masalah menejemen yang lain
adalah kurangnya data dan informasi yang valid atau belum adanya data base
management untuk pengelolaan pesisir, adanya ego sectoral, lemahnya penegakan
hukum, rendahnya komitmen, tidak adanya dana yang berkelanjutan, perpindahan staf
yang cukup sering, belum adanya kebersamaan dan keterpaduan antar sektor, belum
adanya tata ruang pesisir dan laut, kerangka hukum untuk pengelolaan pesisir di daerah
masih lemah, keterlibatan ilmuwan atau pakar belum optimal sehingga hasil kajian
ilmiah belum dipakai sebagai salah satu dasar pengambilan keputusan, serta
permasalahan lain yang masing-masing daerah berbeda sesuai dengan situasi dan
kondisi setempat. Sering pengelolaan pesisir tidak mendasarkan pada prinsip good
6

environmental governance, yaitu: (1) partisipasi, (2) penegakan hukum, (3) transparansi,
(4) kesetaraan, (5) daya tanggap, (6) wawasan ke depan, (7) akuntabilitas, (8)
pengawasan, (9) efisien dan efektif, (10) profesionalisme. Adanya kelemahan
menejemen ini, mengakibatkan pengelolaan pesisir sampai batas 12 mill belum dapat
dilakukan secara optimal. Potensi pariwisata, sumberdaya perikanan, mineral dan lain-
lainnya belum digarap secara terpadu untuk menaikkan pendapatan daerah maupun
pendapatan masyarakat pesisir. Dilain pihak, mutu lingkungan pesisir dan laut makin
menurun dari tahun ke tahun.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah pada makalah
ini adalah menurunnya kualitas pesisir dan laut yang diakibatkan oleh kegiatan yang ada
di daratan dan di lautan
Maka rumusan masalah pada makalah ini adalah:
1. Potensi sumberdaya pesisir dan masalah pengelolaannya, serta penyusunan
rencana pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut secara terpadu.
2. Pemanfaatan wilayah pesisir beserta segenap sumberdaya alam yang terkandung
di dalamnya secara berkenjutan”
3. Peranan sumberdaya pesisir diperkirakan akan semakin meningkat dimasa-masa
mendatang dalam menunjang pembangunan ekonomi nasional, regional, maupun
local

1.3. Tujuan Penulisan


Adapun tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimana kiat-kiat
mengembangkan keberhasilan pengelolaan kelautan dan pesisir secara terpadu agar
potensi kelautan pesisir dapat terjaga secara berkelanjutan dan pencemaran dan
kerusakan di wilayah dapat diminimalisir.

1.4.Manfaat penulisan

Adapun manfaat penulisan ini adalah agar terukurnya keberhasilan pengelolaan


kelautan dan pesisir secara terpadu agar potensi kelautan pesisir dapat terjaga secara
berkelanjutan.
7

II. Pengelolaan Terpadu Wilayah Pesisir Dan Lautan

Dalam Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu dijelaskan


bahwa wilayah pesisir (coastal zone) adalah wilayah peralihan antara ekosistem darat
dan laut yang saling berinteraksi, dimana ke arah laut 12 mil dari garis pantai untuk
provinsi dan sepertiga dari wilayah laut itu untuk kabupaten/kota, dan kearah darat batas
administrasi kabupaten/kota. Pada umumnya sumber daya pesisir dan laut dibagi
menjadi 4 (empat) kelompok, yaitu (a) sumberdaya yang dapat pulih (renewable
resources), (b) sumberdaya tidak dapat pulih (non renewable resources), (c) energi
kelautan serta (d) jasa-jasa lingkungan kelautan (environmental services). Sumberdaya
yang dapat pulih antara lain ikan, rumput laut, mangrove termasuk kegiatan mariculture.
Sumberdaya yang tidak pulih antara lain berupa mineral, pasir laut, minyak bumi, gas
alam. Energi kelautan antara lain gelombang laut, pasang surut air laut. Sedangkan jasa
lingkungan di wilayah pesisir dan laut antara lain: pariwisata bahari, transportasi laut.
Pada waktu lampau sumberdaya ini belum dimanfaatkan secara maksimal oleh
Pemerintah Daerah, karena kewenangan pengelolaannya ada di Pemerintah Pusat,
sehingga setiap kali Pemerintah Daerah mengajukan anggaran ke DPRD selalu ditolak
atau diberi namun porsinya hanya sedikit. Padahal pengelolaan pesisir dan laut secara
terpadu dapat meningkatkan pendapatan daerah. Berdasarkan pada data Kementerian
Kelautan produksi perikanan Indonesia mencapai 11,06 juta ton hingga triwulan ketiga
2013 yang disumbangkan oleh sub sektor perikanan tangkap 5,86 juta ton. PDB sub
sektor perikanan juga terus mengalami pertumbuhan yang signifikan selama tahun 2013
dengan rata-rata kenaikan 6,45 %. Ekosistem hutan mangrove mempunyai kegunaan
yang beragam sehingga mempunyai nilai ekonomis yang sangat tinggi. Ekosistem ini
juga mempunyai produktivitas biomassa yang tinggi, bahkan dapat mencapai 5.000
grCal/m2 /tahun (Lugo & Snedaker, 1974). Kegunaan hutan mangrove antara lain
merupakan spawning ground, nursery ground dan feeding ground bagi berbagai jenis
satwa air maupun satwa darat. Selain itu, dapat digunakan pula sebagai bahan bakar,
bahan bangunan, obatobatan serta dapat melindungi pesisir dari hempasan ombak,
gelombang pasang, badai serta dapat menahan sedimen dan mencegah terjadinya abrasi
pantai. Data luasan mangrove di Indonesia sampai tahun 2010 yang dimuat dalam SLHI
8

tahun 2012 yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup seluas 5.543.012.08


hektar dengan konsisi 56,91 % baik, 10,69 % sedang, 7,20% rusak dan 25,20 % tidak
teridentifikasi. Terumbu karang merupakan kumpulan dari banyak sekali habitat mikro
yang saling berhubungan dengan ribuan spesies tumbuhan maupun tanaman sebagai
penyusunnya. Ekosistem terumbu karang mempunyai nilai yang sangat tiggi, namun
sangat rentan. Fungsi terumbu karang antara lain sebagai breeding nursery dan feeding
ground bagi banyak spesies ikan, invertebrata dan reptelia, selain itu juga dapat
menahan ombak dan mencegah terjadinya abrasi. Kawasan terumbu karang juga sangat
baik untuk obyek wisata, obyek penelitian, mariculture, bioteknologi. Data SLHI tahun
2013 Luas terumbu karang di Indonesia 50.875 km2 atau 18 % dari total terumbu
karang di dunia. Sedangkan kondisi terumbu karang di Indonesia hasil penelitian
Oseanografi LIPI tahun 2012 di 1.133 lokasi menunjukkan hanya 5,30 % terumbu
karang yang kondisinya sangat baik, 27,19 % baik, 37, 25 % cukup baik dan 30,45 %
kurang baik.
Lamun adalah tumbuhan berbunga (spermatophyta) yang hidup di laut, berbiji
satu (monokotil) dan terdiri dari tiga bagian utama yaitu daun, rimpang (rhizome) dan
akar. Lamun dapat menyesuaikan diri untuk hidup dan tumbuh pada lingkungan laut
dengan kemampuan : hidup pada air asin, berfungsi normal dalam keadaan terbenam,
bertahan terhadap arus dan gelombang melalui sistem perakaran yang baik, berbiak
secara generatif (biji) dalam keadaan terbenam. Luas area padang lamun di Indonesia
data BPS tahun 2013 yang dimuat dalam SLHI tahun 2013 seluas 2.016.728.46 hektar
pada tahun 2012. Produktifitas padang lamun sangat tinggi, dapat mencapai lebih dari
5000 grCal/m2 /tahun. Di Indonesia terdapat 12 jenis lamun yang dapat dijumpai dalam
skala besar dan menutupi dasar perairan yang luas untuk membentuk suatu padang
lamun (seagrass bed). Keberadaan lamun di perairan laut dangkal sangat penting, karena
: (1) dapat membentuk lingkungan berupa padang lamun yang menjadi salah satu
ekosistem terkaya dan paling produktif, (2) dapat menjaga dan memelihara stabilitas
pantai pesisir dan lingkungan ekosistem estuaria, (3) merupakan sumber makanan bagi
banyak hewan laut seperti duyung, penyu, ikan dan bulu babi, (4) merupakan tempat
berlindung banyak jenis hewan dan tumbuhan dari hewan pemangsa, (5) merupakan
komoditas yang banyak digunakan sebagai pupuk, kertas, pakan ternak dll. Selain
9

bencana alam (badai), kegiatan manusia (pencemaran dan perusakan) dapat mengancam
kelestarian lamun. Ekosistem estuaria merupakan ekosistem yang khas, karena air tawar
dan air laut bertemu sehingga sumberdaya yang dapat pulih banyak terdapat di wilayah
tersebut. Indonesia yang merupakan negara kepulauan dengan sungai-sungai yang
mengalir didaratannya menjadikan wilayah estuary menjadi banyak dan luas. Mengingat
pentingnya wilayah estuary ini, maka wilayah estuary perlu dilestarikan. Aktivitas yang
paling mengancam ekosistem estuary ini adalah aktivitas manusia terutama penebangan
pohon yang mengakibatkan erosi dan sedimentasi serta pencemaran lingkungan. Salah
satu wilayah estuaria di Indonesia yang telah mengalami kerusakan akibat sedimentasi
adalah Segara Anakan di Kabupaten Cilacap, namun demikian usaha penyelamatan
masih terus diupayakan. Potensi sumberdaya yang tidak dapat pulih di Indonesia yang
paling potensial adalah minyak dan gas bumi. Sedangkan energi kelautan belum banyak
dimanfaatkan, namun usaha ke arah pemanfaatan energi kelautan telah mulai dilakukan,
yaitu yang dikenal dengan ocean thermal energy conversion (OTEC) antara lain berupa
energi kinetik dari gelombang, pasang surut dan arus, konversi energi dari perbedaan
salinitas. Penelitian oleh BPPT telah dilakukan di pantai Baron di Yogyakarta, Bagan
Siapi-api dan Merauke serta akan di kembangkan lagi di pantai utara Pulau Bali. Laut
Indonesia menyimpan kekayaan migas yang cukup tinggi. Dari 40 cekungan yang ada
di laut diperkirakan berpotensi menghasilkan 106,2 milyar barel setara minyak.
Cadangan minyak yang belum terjamah diperkirakan sebanyak 57,3 milyar barrel
terkandung di lepas pantai. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai potensi
untuk pengembangan wisata bahari dan pelayaran. Namun demikian, masih banyak
wisata bahari yang belum dikembangkan secara professional. Padahal Keanekaragaman
flora dan fauna di wilayah pesisir dan laut dapat dijual sebagai obyek wisata. Potensi
wisata bahari yang dapat dikembangkan antara lain: wisata pantai, menyelam dll. Jasa
transportasi laut juga belum dikembangkan secara optimal. Pihak asing masih menguasi
jasa pelayaran di Indonesia.
Definisi wilayah pesisir yang baku, namun demikian, terdapat kesepakatan umum
di dunia bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan (interface area) antara
ekosistem daratan dan laut. Definisi dan batas wilayah pesisir yang digunakan di
Indonesia adalah wilayah dimana daratan berbatasan dengan laut. Batas ke arah darat
10

meliputi (1) secara ekologis: kawasan daratan yang masih dipengaruhi oleh proses-
proses kelautan seperti pasang-surut, angin laut, dan intrusi air laut; (2) secara
administrasi: batas terluar sebelah hulu dari desa pantai atau jarak definitif secara arbiter
2 km dari garis pantai. Sedangkan batas ke arah laut meliputi (1) secara ekologis:
kawasan laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami di daratan seperti
sedimentasi, dan mengalirnya air tawar kelaut, serta daerah-daerah laut yang
dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di daratan; (2) secara administrasi: batas 4
mil dari garis pantai ke arah laut. Adapun yang dimaksud dengan masyarakat pesisir
adalah berbagai pihak (baik perorangan, kelompok lembaga, maupun badan hukum)
yang bermukim di wilayah pesisir dan memiliki mata pencaharian yang berasal dari
sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan pesisir. Berdasarkan basis tempat tinggal dan
mata pencaharian tersebut dapat dipetakan komponen masyarakat pesisir yakni nelayan,
petani ikan, pemilik atau pekerja indusri pariwisata, pemilik atau pekerja industri
pariwisata, pemilik atau pekerja perusahaan perhubungan laut, pemilik dan pekerja
pertambangan dan energi, pemilik dan pekerja industri maritim galangan kapal.
Sumberdaya di wilayah pesisir dan lautan terdiri dari sumberdaya alam yang dapat
pulih, dan sumberdaya alam yang tidak dapat pulih. Sumberdaya yang dapat pulih
(sumberdaya perikanan laut, mangrove, terumbu karang, padang lamun, rumput laut,
dan bahan-bahan bioaktif) maupun sumberdaya yang tidak dapat pulih (minyak bumi,
gas, mineral, pasir, dan bahan tambang lainnya) serta berbagai macam energi kelautan
(gelombang, pasang surut, ocean thermal energy conversion, dan angin) dan jasa-jasa
lingkungan (media transportasi dan komunikasi, pengaturan iklim, keindahan alam, dan
penyerapan limbah). Keseluruhan ekosistem dan sumberdaya ini berpotensi sebagai aset
ekonomi, ekologi, pendidikan dan penelitian, pertahanan dan keamanan bagi suatu
negara. Potensi ekonomi sumberdaya pesisir dapat didefinisikan sebagai kegiatan
ekonomi yang dilakukan diwilayah pesisir dan atau kegiatan ekonomi yang
menggunakan sumberdaya pesisir. Bidang kelautan ini meliputi sektor-sektor produktif
yang terdiri dari sektor: (1) kegiatan perikanan; (2) kegiatan pariwisata bahari; (3)
kegiatan pertambangan dan energi; (4) kegiatan perhubungan laut; (5) kegiatan industri
maritim; dan (6) kegiatan kegiatan bangunan kelautan. Potensi ekologis sumberdaya
pesisir dapat didefinisikan sebagai peran pesisir sebagai pengatur keseimbangan
11

lingkungan, keseimbangan iklim, dan keseimbangan panas bumi. Potensi pertahanan


dan keamanan wilayah pesisir dapat didefinisikan sebagai peran pesisir untuk menjaga
kedaulatan negara khususnya pesisir pulau terluar yang berbatasan dengan negara lain.
Sementara potensi pendidikan dan penelitian wilayah pesisir dapat diartikan bahwa
wilayah pesisir memiliki peran sebagai media pembelajaran dan kegiatan riset untuk
menunjang pembangunan ekonomi.

DASAR-DASAR KEBIJAKSANAAN PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN


KERUSAKAN LINGKUNGAN PESISIR
Undang-undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional menegaskan bahwa
sumberdaya alam agar dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dan
harus dapat dinikmati baik oleh generasi sekarang maupun generasi mendatang. Konsep
pembangunan berkelanjutan yang telah diletakkan sebagai kebijaksanaan pada masa
lalu, pada kenyataannya selama ini justru terjadi pengelolaan sumber daya alam yang
tidak terkendali dengan akibat kerusakan lingkungan yang mengganggu kelestarian
alam.
Kebijakan Agenda 21 Indonesia, dimana pengelolaan sumber daya alam
merupakan agenda keempat. Tiga sub-agenda dirumuskan dalam agenda ini, yaitu: (1)
konservasi keanekaragaman hayati; (2) pengembangan bioteknologi; dan (3)
pengelolaan terpadu wilayah pesisir dan lautan. Penanganan bagi ketiga aspek tersebut
diarahkan pada upaya pelestarian dan perlindungan biologi pada tingkat genetic, spesies
dan ekosistem, serta menjamin kekayaan alam, binatang dan tumbuhan di seluruh
Indonesia.
Pasal 65 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan: “Setiap orang berhak atas lingkungan
hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia". Selain itu pada Pasal
67 Undang-Undang tersebut menyatakan:“Setiap orang berkewajiban memelihara
kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup". Hal ini berarti antara masyarakat dan pemerintah perlu
menjalin hubungan yang baik dalam melestarikan lingkungan hidup. Dalam pengaturan
sumber daya alam, fungsi pemerintah adalah :
12

1. Mengatur dan mengembangkan kebijaksanaan dalam rangka pengelolaan


lingkungan hidup;
2. Mengatur penyediaan, peruntukan, penggunaan, pengelolaan lingkungan hidup,
dan pemanfaatan kembali sumberdaya alam, termasuk sumberdaya genetika;
3. Mengatur perbuatan hukum dan hubungan hukum antara orang dan/atau subyek
hukum lainnya serta perbuatan hukum terhadap sumberdaya alam dan sumberdaya
buatan, termasuk sumberdaya genetika;
4. Mengendalikan kegiatan yang mempunyai dampak sosial;
5. Mengembangkan pendanaan bagi upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Sedangkan mengenai kebijaksanaan nasional lingkungan hidup mengacu pada
nilai-nilai dasar dalam pelestarian lingkungan, yaitu sebagai berikut:
1. Pelestarian lingkungan dilaksanakan berdasarkan konsep Pembangunan
Berkelanjutan, yaitu pembangunan yang mampu memenuhi aspirasi dan
kebutuhan manusia pada generasi–generasi mendatang. Pembangunan
Berkelanjutan didasarkan atas kesejahteraan masyarakat serta keadilan dalam
jangka waktu pendek, menengah dan panjang dengan keseimbangan pertumbuhan
ekonomi, dinamisme social dan pelestarian lingkungan hidup.
2. Fungsi lingkungan perlu dilestarikan demi kepentingan manusia baik dalam
jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang. Pengambilan keputusan
dalam pembangunan perlu memperhatikan pertimbangan daya dukung lingkungan
sesuai fungsi lingkungannya. Daya dukung lingkungan menjadi kendala
(constraint) dalam pengambilan keputusan dan prinsip ini perlu dilakukan secara
kontinu dan konsekuen.
3. Pemanfaatan sumber daya alam tak terpulihkan perlu memperhatikan kebutuhan
antar generasi. Pemanfaatan sumber daya alam terpulihkan perlu mempertahankan
daya pemulihannya.
4. Setiap warga negara mempunyai hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik
dan sehat dan berkewajiban untuk melestarikan lingkungan. Oleh karenanya,
13

setiap warga negara mempunyai hak untuk mendapatkan informasi lingkungan


yang benar, lengkap dan mutahir.
5. Dalam pelestarian lingkungan, usaha pencegahan lebih diutamakan daripada
usaha penanggulangan dan pemulihan.
6. Kualitas lingkungan ditetapkan berdasarkan fungsinya. Pencemaran dan
perusakan lingkungan perlu dihindari; bila sampai terjadi pencemaran dan
perusakan lingkungan, maka diadakan penanggulangan dan pemulihan dengan
tanggung jawab pada pihak yang menyebabkan.
7. Pelestarian lingkungan dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip pelestarian
melalui pendekatan menejemen yang layak dengan sistem pertanggungjawaban.

Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


mengamanatkan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan secara terpadu. Dalam
Pasal 2 huruf d. dinyatakan “Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan hidup
dilaksanakan berdasarkan asas keterpaduan”.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka pelaksanaan pengelolaan pesisir dan laut
harus dilakukan secara terpadu. Keterpaduan ini meliputi keterpaduan antar sektor
(permukiman, pariwisata, perhubungan, perikanan, kehutanan, industri dll.),
keterpaduan tugas dan kewajiban serta keterpaduan antara aspek, yaitu sosial ekonomi,
ekologi, teknologi dan kelembagaan (institusi).
Untuk melaksanakan kebijakan di bidang pengelolaan pesisir dan laut, Pemerintah
Daerah telah diberikan kewenangan di wilayah laut. Pasal 18 Undang-Undang Nomor
32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, memberikan kewenangan Pemerintah
Daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut meliputi:
1. Eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut;
2. Pengaturan kepentingan administrative;
3. Pengaturan tata ruang;
4. Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang
dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah;
5. Ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; dan
14

6. Ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara.


Kewenangan daerah yang tersebut di atas merupakan dasar dalam pengelolaan
wilayah pesisir secara terpadu, dengan demikian daerah dapat memanfaatkan sumber
daya alam yang ada diwilayahnya untuk meningkatkan pendapatan daerah. Kemudian
dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, dinyatakan bahwa kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut
paling jauh 12 (dua belas) mill laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau
ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan
provinsi untuk kabupaten/kota.
Adanya kewenangan yang diberikan kepada pemerintah daerah sampai 12 mil,
maka kegiatan pemantauan, pengawasan pengendalian, evaluasi dan pelaporan di
wilayah pesisir dapat dilakukan secara rutin dan berkesinambungan. Pada Pasal 18 Ayat
(3) huruf d. Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah, dinyatakan bahwa
kewenangan Daerah di wilayah laut termasuk penegakan hukum terhadap peraturan
yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah.
Hal ini memungkinkan Pemerintah Daerah untuk mengeluarkan Peraturan Daerah yang
berkaitan dengan pengelolaan pesisir dan laut, sehingga pemahaman atas konvensi
internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia menjadi sangat penting
agar tidak terjadi kerancuan hukum. Adanya wewenang melakukan penegakan hukum
di wilayah laut juga dapat mendorong diadakannya Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Lingkungan Hidup, sehingga langkah penegakan hukum dapat lebih lancar.

Agenda 21 Indonesia
Permasalahan di wilayah pesisir dan laut yang telah diuraikan di atas
membutuhkan penanganan yang lebih baik oleh Pemerintah Daerah, khususnya yang
menyangkut aspek kebersamaan dan keterpaduan serta kewenangan kelembagaannya,
sehingga pengelolaan kawasan pesisir dan laut diharapkan juga dapat mendorong
pengelolaan di wilayah hulu (daratan) yang akhirnya pembangunan daerah
kota/Kabupaten dapat meningkat. Bidang program yang dibahas dalam agenda 21
Indonesia untuk mengatasi permasalahan pesisir dan laut, meliputi:
1. Perencanaan dan Pengemnbangan Sumberdaya Terpadu
15

2. Pemantauan dan Perlindungan Lingkungan Pesisir dan Laut


3. Pemanfaatan Sumberdaya Laut yang Berkesinambungan
4. Pemberdayaan dan Penguatan Masyarakat Pesisir
5. Pembangunan Kepulauan Kecil Secara Berkelanjutan
6. Pemeliharaan Keamanan Daerah Ekonomi Eksklusif (ZEE)
7. Pengelolaan Dampak Perubahan Iklim dan Gelombang Pasang.
Dengan dipublikasikannya Agenda 21 Indonesia, maka dokumen tersebut dapat
dipakai sebagai landasan dalam pembuatan perencanaan program maupun dalam
implementasi Program Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Laut yang
dikemas dalam Program Pantai dan Laut Lestari. Upaya-upaya yang perlu dilakukan
dalam mengintegrasikan Agenda 21 Indonesia dalam pengelolaan lingkungan maupun
pembangunan (Djajadiningrat, Surna T., 2001) adalah sebagai berikut:
1. Pemahaman dan penghayatan terhadap visi dan isi dokumen Agenda 21 Indonesia
menjadi kunci utama proses implementasi dokumen Agenda 21 Indonesia, yang
kemudian diikuti dengan pengkajian kembali rencana jangka pendek dan panjang.
2. Menyadari kompleksitas pengelolaan lingkungan, salah satu kunci keberhasilan
terwujudnya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan adalah
kerjasama yang sangat erat dan koordinasi yang terus menerus dari masing-
masing pengelola lingkungan baik di tingkat pusat, daerah, sektoral dan
masyarakat lainnya.
3. Dilihat dari perspektif perencanaan pengelolaan lingkungan, dokumen Agenda 21
Indonesia dapat langsung digunakan pada skala nasional, sektoral, regional dan
lokal. Skala lokal, seperti perumusan dan penyusunan program-program
masyarakat dan organisasi-organisasi non pemerintah lainnya.
4. Penyebarluasan visi dan subtansi yang terkandung di dalam Agenda 21 ke segala
lapisan masyarakat merupakan salah satu upaya untuk mendapatkan keseragaman
pandangan yang mengarah pada terwujudnya tujuan pembangunan berkelanjutan
yang berwawasan lingkungan seperti yang diamanatkan dalam GBHN
5. Upaya pemahaman dan penghayatan dokumen Agenda 21 Indonesia di atas
memberikan masukan yang berharga terhadap perumusan dan penyusunan
16

kebijakan tentang lingkungan hidup dan pembangunan, sesuai dengan sifat


dokumen Agenda 21 Indonesia yang merupakan dokumen yang hidup (living
document) yang diharapkan selalu dapat sesuai dengan perkembangan dinamika
pembangunan.

Arahan Agenda 21 Indonesia mengenai tujuan untuk perencanaan dan


pengembangan sumberdaya terpadu di daerah pesisir pada periode 2003 - 2020 adalah
sebagai berikut:
1. Meninjau kembali dan meningkatkan pengelolaan terpadu sumberdaya pesisir dan
lautan.
2. Meneruskan peningkatan kemampuan kelembagaan untuk pengembangan terpadu
sumberdaya pesisir dan lautan.
3. Mendorong dan mendidik para perencana dan pengambil keputusan dalam
pembuatan dan pemakaian basis informasi yang cocok untuk meningkatkan
proses perencanaan dan pengambilan keputusan dan membantu pengembangan
sumberdaya pesisir dan lautan yang berkesinambungan.
4. Melanjutkan kerjasama antar daerah dan di tingkat internasional tentang
pengelolaan berkesinambungan sumberdaya pesisir dan lautan.

PERMASALAHAN WILAYAH PESISIR


Dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi dan pesatnya kegiatan pembangunan
di pesisir bagi berbagai peruntukan (industri, pelabuhan, tambak, pemukiman), maka
tekanan ekologis terhadap ekosisitem pesisir semakin meningkat pula. Meningkatnya
tekanan ini tentunya dapat mengancam keberadaan dan kelansungan ekosistem dan
sumberdaya pesisir baik secara langsung (misalnya kegiatan konversi lahan untuk
pembangunan jembatan penyeberangan) maupun tidak langsung (misalnya pencemaran
oleh limbah industri pengeboran minyak). Gambaran tentang pelaksanaan pembangunan
pesisir yang berlangsung saat ini dicirikan dengan lima karakteristik: (1) pertumbuhan
ekonomi yang dihasilkan pada umumnya bersifat ekstraktif, tidak berkelanjutan dan
hanya dinikmati oleh sebagian kecil penduduk; (2) menciptakan ekonomi dualistik
kesenjangan yang menganga antara kelompok pengusaha kecil (tradisional) dengan
17

kelompok usaha besar (komersial); (3) kawasan pesisir sebagai keranjang sampah dari
berbagai jenis limbah dan sedimen yang berasal dari kegiatan di darat; (4) konflik
egoisme sektoral, dimana sektor-sektor yang dapat menghasilkan cash money jangka
pendek dan tidak memerlukan lingkungan yang tinggi; (5) ketidakseimbangan tingkat
pemanfaatan dan kerusakan lingkungan antar wilayah. Penyebab kurang berhasilnya
pembangunan pesisir saat ini antara lain: (1) penerapan paradigma pola pembangunan
yang secara dominan mengejar keuntungan jangka pendek dan kurang mengindahkan
aspek keberlanjutan; dan (2) mekanisme pembangunan yang sentralistik, topdown, dan
sektoral. Pembangunan di wilayah pesisir yang merupakan proses perubahan untuk
meningkatkan taraf hidup masyarakat, tidak terlepas dari aktifitas pemanfaatan ruang
dan sumberdaya pesisir juga aktifitas pemanfaatan jasa asimilasi lingkungan pesisir.
Aktifitas-aktifitas ini sering melakukan perubahan-perubahan pada sumberdaya alam.
Perubahan-perubahan yang dilakukan tentunya akan memberikan pengaruh pada
lingkungan hidup. Makin tinggi laju pembangunan, makin tinggi pula tingkat
pemanfaatan ruang, sumberdaya dan jasa asimilasi dan makin besar pula perubahan
yang terjadi pada lingkungan hidup yang mengancam kapasitas keberlanjutannya
(sustainable capacity). Berbagai kasus seperti kondisi tangkap lebih (over fishing),
pencemaran perairan, degradasi fisik habitat pesisir (mangrove dan terumbu karang),
dan abrasi pantai merupakan sebagian indikator bahwa pelaksanaan pembangunan
sumberdaya pesisir menuju ke arah yang tidak optimal dan tidak berkelanjutan
(unsustainable). Kondisi ini telah memberikan tekanan lingkungan yang kompleks dan
membengkak terhadap wilayah pesisir dan lautan terutama berupa (1) konflik
pemanfaatan sumberdaya; (2) konflik pemanfaatan ruang wilayah pesisir dan lautan;
dan (3) pemanfaatan kapasitas asimilasi wilayah pesisir yang melebihi daya dukungnya.
Hal ini sebagai akibat dari kurangnya koordinasi dan kerjasama antar pelaku
pembangunan kawasan pesisir, rendahnya kualitas sumberdaya manusia dalam
pengelolaan pesisir, dan lemahnya penegakan hukum.

PENGELOLAAN SECARA TERPADU


Untuk dapat mewujudkan pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan,
diperlukan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu (integrated coastal zone
18

management). Pilihan ini didasarkan pada : (1) wilayah pesisir merupakan multiple use
zone dimana terdapat lebih dari dua macam sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan
serta terdapat lebih dari dua macam pemanfaatan kawasan pesisir; (2) karakteristik dan
dinamika alamiah the nature sumberdaya pesisir dan lautan yang secara ekologis saling
terkait satu sama lain termasuk dengan ekosistem lahan atas; (3) wilayah pesisir dihuni
lebih dari satu kelompok etnis yang memiliki preferensi mata pencaharian yang
berbeda. Pengelolaan pesisir dapat dilakukan oleh lembaga pemerintah, swasta,
organisasi kemasyarakatan yang terlibat dalam kegiatan sehari-hari yang terjadi di
wilayah pesisir. Keseluruhan proses diatas menurut Sorensen dan McCreary (1990),
harus dilaksanakan secara berkesinambungan dan dinamis dengan mempertimbangkan
segenap aspek sosial, ekonomi, budaya dan aspirasi masyarakat pengguna kawasan
pesisir dan lautan serta konflik pemanfaatan sumberdaya dan konflik pemanfaatan ruang
wilayah pesisir dan lautan yang mungkin ada. Keterpaduan pengelolaan sumberdaya
pesisir dan lautan ini mencakup empat aspek (Dahuri et al 2001): (1) keterpaduan
ekologis; (2) keterpaduan sektoral; (3) keterpaduan disiplin ilmu; dan (4) keterpaduan
stakeholders. Keterpaduan ekologis: secara ekologis wilayah pesisir memiliki
keterkaitan antara lahan atas (daratan) dan lautan. Hal ini disebabkan karena wilayah
pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan lautan. Dengan keterkaitan
kawasan tersebut maka pengelolaan kawasan pesisir tidak terlepas dari pengelolaan
lingkungan di kedua wilayah tersebut. Berbagai dampak lingkungan yang terjadi pada
kawasan pesisir merupakan dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan pembangunan yang
dilakukan dilahan atas seperti industri pengeboran minyak, pemukiman, pertanian dan
sebagainya Demikian pula dengan kegiatan yang dilakukan di laut lepas seperti kegiatan
pengeboran minyak lepas pantai, perhubungan laut. Penanggulangan pencemaran dan
sedimentasi yang diakibatkan oleh limbah industri tidak dapat dilakukan hanya di
kawasan pesisir saja tetapi harus dilakukan mulai dari sumber dampaknya. Oleh karena
itu pengelolaan wilayah ini harus diintegrasikan dengan pengelolaan wilayah daratan
dan laut. Keterpaduan sektor: sebagai konsekuensi dari besar dan beragamnya
sumberdaya alam di kawasan pesisir adalah banyaknya instansi atau sektor-sektor
pembangunan yang bergerak dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir. Akibatnya
seringkali terjadi tumpang tindih pemanfaatan sumberdaya pesisir antara satu sektor
19

dengan sektor lainnya. Kegiatan suatu sektor tidak dibenarkan menganggu apalagi
sampai mematikan kegiatan sektor lain. Penyusunan tata ruang dan panduan
pembangunan wilayah pesisir sangat perlu dilakukan untuk menghindari benturan
antara satu kegiatan dengan kegiatan pembanguan lainnya. Oleh karena itu pengelolaan
wilayah ini dalam perencanaannya harus mengintegrasikan kepentingan semua sektoral.
Keterpaduan disiplin ilmu: wilayah pesisir memiliki sifat dan karakteristik yang unik
dan spesifik, baik sifat dan karakteristik ekosistem pesisir maupun sifat dan karakteristik
sosial budaya masyarakatnya. Oleh karena itu dibutuhkan keterpaduan disiplin ilmu
dalam pengelolaan wilayah pesisir, mengikuti karakteristik ekosistem dan sosial budaya
masyarakatnya. Keterpaduan stakeholder: segenap keterpaduan diatas akan berhasil
diterapkan apabila ditunjang oleh keterpaduan dari pelaku dan pengelola pembagunan di
wilayah pesisir. Seperti diketahui bahwa pelaku pembangunan dan pengelola
sumberdaya pesisir antara lain terdiri dari pemerintah, masyarakat, swasta, dan juga
lembaga swadaya masyarakat yang masingmasing memiliki kepentingan terhadap
pemanfaatan sumberdaya pesisir. Penyusunan perencanaan pengelolaan terpadu harus
mampu mengakomodir segenap kepentingan pelaku pembangunan pesisir. Oleh karena
itu perencanaan pengelolaan pembangunan harus menggunakan pendekatan dua arah,
yaitu pendekatan top down dan pendekatan bottom up. Dengan latar belakang pemikiran
diatas akan muncul model pembangunan berkelanjutan yang dikenal dengan sustainable
development yang mengandung tiga unsur utama yang meliputi dimensi ekonomi,
ekologi dan sosial (Harris et al, 2001 dalam Dahuri, 2003). Suatu pembangunan
kawasan pesisir, pertama secara ekonomi dianggap berkelanjutan (economic growth)
jika kawasan tersebut mampu menghasilkan barang dan jasa secara berkesinambungan;
kedua secara ekologis dianggap berkelanjutan (ecological sustainability) manakala basis
ketersediaan sumberdaya alamnya dapat dipelihara secara stabil, tidak terjadi ekploitasi
berlebih terhadap sumberdaya alam yang dapat diperbaharui, tidak terjadi pembuangan
limbah melampaui kapasitas asimilasi lingkungan yang dapat mengakibatkan kondisi
tercemar, serta pemanfaatan sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui yang dibarengi
dengan pengembangan bahan substitusinya secara memadai, dan ketiga secara sosial
dianggap berkelanjutan (social equity) apabila kebutuhan dasar seluruh penduduknya
terpenuhi; terjadi distribusi pendapatan dan kesempatan berusaha secara adil. Menurut
20

Bengen (2004) pembangunan sumberdaya pesisir dan lautan secara optimal dan
berkelanjutan terwujud apabila memenuhi tiga persyaratan ekologis: (1) pemanfaatan
sumberdaya pesisir dan lautan yang sesuai dengan daya dukungnya; (2) pemanfaatan
ruang wilayah pesisir dan lautan yang harmonis; dan (3) pemanfatan kapasitas asimilasi
wilayah pesisir sesuai dengan daya dukung lingkungan.
Berbagai persoalan yang masih menggantung dalam pelaksanaan otonomi daerah
tersebut perlu direspon dan disikapi secara arif dan bijaksana. Untuk pelaksanaan
otonomi daerah di masa mendatang haruslah yang mampu meningkatkan pelayanan
publik, kesejahteraan warga dan mendorong kondisi dunia usaha yang kondusif bagi
pengembangan ekonomi lokal/daerah. Berkaitan dengan hal tersebut, maka beberapa hal
yang masih perlu disempurnakan antara lain: 1. Adanya keikhlasan pusat agar daerah
memperoleh hak-haknya untuk mengolah dan mengelola sumberdaya di daerahnya
secara optimal. Sebelum Peraturan Pemerintah dikeluarkan, hendaknya pemerintah
pusat mendengarkan aspirasi daerah dan mengakomodasikannya dalam subtansi PP
tersebut. 2. Untuk mencegah disincentives , pemda perlu mengembangkan strategi
efisiensi dalam segala bidang (yang menjadi tolok ukur bukanlah besarnya dana, tapi
seberapa optimal pelayanan diberikan kepada masyarakat sesuai dengan skala prioritas
pembangunan daerahnya) 3. Untuk menopang pelaksanaan otonomi daerah, perlu
dikembangkan ekonomi lokal yang kuat dan secara sistemik akan mensinergikan
potensi sumberdaya lokal dengan basis kemitraan lintas aktor-aktor pembangunan
(stakeholders). Dengan cara demikian, pertumbuhan ekonomi akan lebih merata antar
kawasan dan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi. 4. Memperbaiki fundamental ekonomi
nasional dengan memberi kesempatan yang lebih luas kepada Usaha kecil-mikro (UK5.
Memanfaatkan dan mengelola SDA secara proporsional dan arif, agar kekayaan
(resources endowment) tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal dan lestari (green
economic paradigm) 6. Mendorong agregasi permintaan masyarakat (public demand)
terhadap layanan publik dengan mendorong partisipasi masyarakat dalam perencanaan,
pembuatan dan pengawasan dari kebijakan pembangunan (ekonomi) daerahnya. 7.
Mendorong desentralisasi pembangunan daerah dan mendayagunakan kelembagaan di
daerah untuk memiliki wewenang dan kemandirian dalam membuat produk hukum
pembangunan di daerahnya. 8. Untuk memperkuat basis keuangan daerah, Pemda tidak
21

harus selalu dan melulu menambah jenis pungutan, karena tidak sepantansnya
dilakukan. Karena kemandirian ekonomi daerah tidaklah secara otomatis dapat
melegitimasi Pemda (dan DPRD) untuk membuat aturan yang pada akhirnya justru
menambah beban masyarakat. 9. Dalam era otonomi daerah ini, birokrat Pemda harus
mampu bertindak layaknya seorang entreprenuer dan pemerintah daerah sebagai
institusi harus juga mampu bertindak layaknya sebagai enterprise. Era otonomi daerah
telah mendorong pemerintah daerah / kabupaten untuk menggali potensi ekonomi secara
optimal untuk membiayai kegiatan pembangunan daerah. Namun harus diwaspadai agar
kebijakan pemanfaatan potensi sumberdaya pesisir dan laut tetap bersandar pada
kepantingan publik dan kelestarian lingkungan. Dua hal yang terlihat kontradiktif ini
harus dapat disinergikan secara terpadu. Berkaitan dengan hal tersebut, maka prinsip
pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut secara terpadu dapat difokuskan pada empat
aspek yaitu: • Keterpaduan antara berbagai sektor dan swasta yang berasosiasi. •
Keterpaduan antara berbagai level pemerintahan, mulai dari pusat, kabupaten/kota,
kecamatan dan desa. • Integrasi antara pemanfaatan ekosistem darat dan laut. • Integrasi
antara sain/teknologi dan manajemen. Prinsip pengelolaan yang terpadu ini dilakukan
berdasarkan pertimbangan bahwa pemanfaatan sumberdaya pesisir pada saat ini tidak
boleh mengorbankan kebutuhan sumberdaya pesisir bagi generasi yang akan datang.
Prinsip ini bisa lebih efektif dilaksanakan bila pengelolaannya bersifat demokratis,
trasparan dan didesentralisasikan ke level pemerintahan yang rendah yang melibatkan
masyarakat pesisir setempat.

ISU-ISU STRATEGIS DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR DAN


LAUT
Dengan semakin mencuatnya paradigma pembangunan kelautan serta
dilaksanakannya otonomi daerah, maka semakin terbaca beberapa persoalan serius 3
yang menjadi isu-isu strategis dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut ini, yaitu:
1. Kondisi sumberdaya pesisir dan laut yang bersifat common property (milik bersama)
dengan akses yang bersifat quasi open access. Istilah common property ini lebih
mengarah pada kepemilikan yang berada di bawah kontrol pemerintah atau lebih
mengarah pada sifat sumberdaya yang merupakan public domain, sehingga sifat
22

sumberdaya tersebut bukanlah tidak ada pemiliknya. Ini berarti sumberdaya tersebut
tidak terdefinisikan dalam hal kepemilikannya sehingga menimbulkan gejala yang
disebut dengan dissipated resource rent, yaitu hilangnya rente sumberdaya yang
semestinya diperoleh dari pengelolaan yang optimal. Dengan adanya sifat sumberdaya
yang quasi open access tersebut, maka tindakan salah satu pihak yang merugikan pihak
lain tidak dapat terkoreksi oleh pasar (market failure). Hal ini menimbulkan ketidak
efisienan ekonomi karena semua pihak akan berusaha mengeksploitasi sumberdaya
sebesar-besarnya, jika tidak maka pihak lain yang akan mendapat keuntungan. Kondisi
seperti inilah yang terjadi saat ini. Dengan didukung oleh teknologi, pihak-pihak yang
lebih kuat dan mampu mengeksploitasi sumberdaya secara berlebihan sehingga terjadi
hukum rimba (siapa yang kuat, dia yang menang) dan daya produksi alamiah menjadi
terganggu. 2. Adanya degradasi lingkungan pesisir dan laut. Pada awal tahun 80-an,
banyak pihak yang tersentak setelah menyaksikan kebijakan pembangunan yang hanya
mengejar pertumbuhan ekonomi dan produktivitas ternyata telah menimbulkan
kerusakan yang serius terhadap lingkungan. Program modernisasi perikan contohya,
yang bertujuan menigkatkan produksi hasil tangkapan nelayan menggunakan teknologi
penangkapan yang semakin modern tidak disertai dengan sosialisasi pemahaman yang
baik terhadap lingkungan kelautan. Hal ini berakibat fatal terhadap kelestarian
lingkungan karena terjadi ekploitasi sumberdaya secara maksimal tanpa memperhatikan
potensi lestari yang ada. Degradasi lingkungan pesisir dan laut yangmanjdi ancaman
bagi kelangsungan hidup masyarakat pesisir dan nelayan akibat faktor-faktor lain masih
berlanjut hingga saat ini seperti misalnya pencemaran lingkungan perairan akibat
limbah industri dan rumah tangga. Selain merusak potensi sumberdaya perairan,
degradasi lingkungan ini juga berakibat buruk bagi kesehatan dan kelangsungan hidup
manusia, terutama masyarakat pesisir. 3. Kemiskinan dan kesejahteraan nelayan.
Perikanan di Indonesia melibatkan banyak stakeholders. Yang paling vital adalah
nelayan kecil yang merupakan lapisan yang paling banyak jumlahnya. Mereka hidup
dalam kemiskinan dan tekanan-tekanan sosial ekonomi yangberakar pada faktor-faktor
kompleks yang saling terkait. Faktor-faktor tersebut dapat diklasifikasikan sebagai
faktor alamiah dan non alamiah. Faktor alamiah berkaitan dengan fluktuasi musim dan
struktur alamiah sumberdaya ekonomi desa. Sedangkan faktor non alamiah
23

berhubungan dengan keterbatasn daya jangkau teknologi, ketimpangan dalam sistem


bagi hasil, tidak adanya jaminan sosial tenaga 4 kerja yang pasti, lemahnya jaringan
pemasaran, tidak berfungsinya koperasi nelayan yang ada, serta dampak negatif
kebijakan modernisasi perikanan yang ada. Perubahan sosial ekonomi di desa-desa
pesisir atau desa nelayan telah memperjelas garis stratifikasi sosial masyarakatnya.
Nelayan buruh telah memberikan kontribusinya terhadap akumulasi kekayaan ekonomi
pada sebagian kecil masyarakatnya yang memiliki alat produksi serta pihak yang
menguasai modal dan pasar. Kemiskinan, kesenjangan sosial, dan tekanan kehidupan
yang melanda tumah tangga nelayan buruh tidak memungkinkan anggota keluarganya
terlibat aktif dalam tanggung jawab sosial di luar permasalahan kehidupan yang
substansial bagi mereka. Faktor yang demikian sering menjadi alasan bagi pihak lain
untuk menilai secara negatif perilaku sosial masyarakat nelayan. Persepsi seperti ini
hanya melestarikan kesenjangan hubungan sosial dalam relasi politik antara pemerintah
dan masyarakat nelayan. Dalam jangka panjang, hal ini tidak menguntungkan untuk
mendorong perwujudan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Untuk itu
diperlukan reorientasi model kepemimpinan dan sasaran perencanaan pembangunan
agar lebih kontekstual dan partisipatif. 4. Akses pemanfaatan teknologi yang terbatas.
Semakin tingginya persaingan dalam pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir,
menuntut masyarakat untuk memaksimalkan produksi mereka. Salah satu cara yang
digunakan adalah dengan penggunaan teknologi. Keterbatasan pengetahuan dan
kemampuan dalam penggunaan teknologi ini menjadi salah satu kendala dan pemicu
adanya eksploitasi sumberdaya yang merusak potensi lestari dan berdampak negatif
bagi lingkungan. Salah satu contohnya adalah penggunaan bom ikan dan potasium
sianida untuk menangkap jenis-jenis ikan dengan nilai ekonomis tinggi di habitat
terumbu karang telah merusak dan menimbulkan pencemaran lingkungan yang parah.
Contoh lain adalah adanya kesenjangan penggunaan teknologi antara nelayan besar dan
tradisional yang berakibat pada makin terdesaknya nelayan tradisional dalam persaingan
pemanfaatan sumberdaya laut, sehingga banyak yang beralih profesi menjadi buruh
nelayan atau buruh bangunan. 5. Peraturan dan kebijakan yang kurang kondusif.
Dengan lahirnya aturan main yang menyangkut hak kepemilikan sumberdaya pada
tingkat lokal, secara tidak langsung akan memberikan hak kepemilikan (property rights)
24

kepada pemerintah daerah. Pemerintah daerah dapat mengelola sumberdaya pesisir dan
laut secara lebih rasional mengingat ketersediaan sumberdaya serta terdegradasinya
sumberdaya akan menentukan tingkat kemakmuran masyarakat di daerah yang
bersangkutan. Kebijakan pembangunan perikanan yang dijalankan seharusnya tidak
hanya mengejar kepentingan ekonomi (khususnya peningkatan devisa negara dari
ekspor hasil laut), tetapi juga diimbangi secara proporsional dengan komitmen menjaga
kelestarian sumberdaya perikanan yang ada. Disamping itu, harus pula ada komitmen
yang tinggi dan konsisten dalam menegakkan peraturan hukum yang berlaku agar dapat
menghindari terjadinya konflik-konflik sosial dan ekonomi. Kearifan lokal harus dapat
diakomodir sebagai salah satu pranata hukum 5 yang dapat memperkecil terjadinya
konflik antar nelayan. Salah satu bentuk akomodasi kearifan lokal ini adalah melalui
penyusunan tata ruang wilayah pesisir. Hingga saat ini masih belum banyak daerah dan
kawasan pesisir yang memilikinya sehingga belum memiliki kesamaan misi dari
berbagai pengaturan dan kebijakan yang dibuat untuk pengelolaan sumberdaya tersebut.

KERJA SAMA PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUT


Untuk mengatasi berbagai permasalahan dan isu-isu yang mucul dalam
pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut ini, dibutuhkan suatu model pengelolaan yang
kolaboratif yang memadukan antara unsur masyarakat pengguna (kelompok nelayan,
pengusaha perikanan, dll) dan pemerintah yang dikenal dengan Comanagement yang
menghindari peran dominan yang berlebihan dari satu pihak dalam pengelolaan
sumberdaya pesisir dan laut sehingga pembiasaan aspirasi pada satu pihak dapat
dieliminasi. Melalui model ini, pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut dilaksanakan
dengan menyatukan lembaga-lembaga terkait terutama masyarakat dan pemerintah serta
stakeholder lainnya dalam setiap proses pengelolaan sumberdaya, mulai dari
perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan dan pengawasan. Pembagian tanggung jawab
dan wewenang antar stakehoder dapat terjadi dalam berbagai pola, tergantung
kemampuan dan kesiapan sumberdaya manusia dan institusi yang ada di masing-masing
daerah. Susuna dalam model pengelolaan ini bkanlah sebuah struktur legal yang statis
terhdap hak dan aturan, melainkan sebuah proses yang dinamis dalam menciptakan
sebuah struktur lembaga yang baru. Dalam jangka panjang, pelaksanaan Co-
25

management ini diyakini akan memberikan perubahan-perubahan ke arah yang lebih


baik yaitu: • Meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya sumberdaya pesisir
dan laut dalam menunjang kehidupan. • Meningkatkan kemampuanmasyarakat,
sehingga mampu berperan serta dalam setiap tahapanpengelolaan secara terpadu. •
Meningkatkan pendapatan masyarakat dengan bentuk-bentuk pemanfaatan yang lestari
dan berkelanjutan serta berwawasan lingkungan. Keberhasilan pengelolaan dengan
model Co-management ini sangat dipengaruhi oleh kemauan pemerintah untuk
mendesentralisasikan tanggung jawab dan wewenang daalm pengelolaan kepada
nelayan dan stakeholder lainnya. Oleh karena Co-management membutuhkan dukungan
secara legal maupun finansial seperti formulasi kebijakan yang mendukung ke arah Co-
management, mengijinkan dan mendukung nelayan dan masyarakat pesisir untuk
mengelola dan melakukan restrukturisasi peran para pelaku pengelolaan perikanan.
Pengelolaan Co-management menggabungkan antara pengelolaan sumberdaya yang
sentralistis yang selama ini banyak dilakukan oleh pemerintah (government based
management) dengan pengelolaan sumberdaya yang berbasis masyarakat 6 (community
based management). Hirarki tertinggi berada pada tataran hubungan saling kerjasama
(cooperation), baru kemudian pada hubungan consultative dan advisory. Hubungan
kerjasama yang dilakukan dapat mencakup kerjasama antar sektor, antar wilayah, serta
antar aktor yang terlibat. 1. Kerjasama Lintas Sektor Pada kawasan pesisir, tidak hanya
sektor perikanan yang berperan besar. Sektor-sekor lainnya pun memiliki peranan besar
karena saling terkait untuk dapat memecahkan permasalahan yang ada. Misalnya saja
yang berkaitan dengan perekonomian masyarakat pesisir, sektor industri dan jasa
menjadi sektor yang memiliki kontribusi besar dalam pengembangan usaha produktif
masyarakat. Yang berkaitan dengan kelestarian lingkungan juga tidak lepas dari peran
serta dan keterlibatan sektor industri dimana biasanya limbah industri dibuang ke
perairan. Infrastruktur pendukung juga menjadi hal penting untuk dapat
mengembangkan wilayah dan menjaga kelestarian lingkungan. Untuk itu, kerjasama
lintas sektor sangat perlu diperhatikan karena masing-masing sektor memiliki
kepentingannya sendiri-sendiri. Masing-masing sektor harus saling mendukung. Peran
pemerintah daerah dalam hal ini sangat besar agar terjadi sinergi yang baik dalam
pengembangan setiap sektor, sehingga tidak ada yang saling merugikan. 2. Kerjasama
26

Antar wilayah Kawasan pesisir pada dasarnya tidak dapat dibatasi secara administratif.
Berkaitan dengan hal ini, maka wilayah yang termasuk dalam suatu kawasan (adanya
homogenitas baik secara ekologis maupun ekonomis) haruslah saling bekerjasama
untuk meminimalisir konflik kepentingan. Kerjasama antar wilayah dapat digalang
melalui pembentukan forum kerjasama atau forum komunikasi antar pemerintah daerah
yang memiliki kawasan pesisir dan laut untuk mengantisipasi sejak dini timbulnya
perkembangan terburuk seperti konflik antar nelayan. Kesepakatan dan penetapan
norma-norma kolektif tentang pemanfaatan sumberdaya lokal sesuai dengan semangat
otonomi daerah harus disosialisasikan secara luas dan benar kepada masyarakat nelayan
agar mereka memiliki cara pandang yang sama. 3. Kerjasama Antar Aktor
(stakeholders) Upaya pengurangan kesenjangan sektoral dan daerah jelas memerlukan
strategi khusus bagi penanganan secara komprehensif dan berkesinambungan. Untuk
itu, diperlukan adanya kebijakan dari Pemerintah Pusat untuk menjembatani persoalan
kemiskinan dan kesenjangan sektoral dan daerah tersebut, melalui mekanisme
kerjasama antar aktor (stakehokders) yang melibatkan unsur-unsur masyarakat
(kelompok nelayan), pihak swasta / pengusaha perikanan (Private Sector), dan
pemerintah (Government). Sebagai anak bangsa yang prihatin melihat kondisi yang
menjadi potret buram dalam pengelolaan kawasan pesisir dan laut yang belum
memberikan kesejahteraan bagi masyarakatnya tersebut, maka diperlukan perhatian
yang serius berupa terobosan pemikiran bagi upaya percepatan pembangunan dan
pengembangan ekonomi lokal yang 7 8 melibatkan partispasi masyarakat dalam proses
dan pelaksanaan pengelolaannya. Upaya penanggulangan kemiskinan dan kesenjangan
sektoral dan daerah tersebut yang berintikan suatu paradigma baru, dimana inisiatif
pembangunan daerah tidak lagi digulirkan dari pusat, namun merupakan inisiatif lokal
(daerah) untuk memutuskan langkah-langkah yang terbaik dalam mengimplementasikan
rencana pengelolaan kawasan dan rencana aksi yang sesuai dengan kebutuhan dan
kapasitas yang dimiliki.
27

DAFTAR PUSTAKA

Bambang Pramudyanto, 2014 Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan di Wilayah


Pesisir. Jurnal Lingkar Widyaiswara. Edisi 1 No. 4, Oktober – Desember
2014, p.21-40

Dahuri R. 2003. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan. Naskah


Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar Tetap Ilmu Pengelolaan Sumberdaya
Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Mahfud Effendy, 2009. Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu: Solusi


Pemanfaatan Ruang, Pemanfaatan Sumberdaya Dan Pemanfaatan Kapasitas
Asimilasi Wilayah Pesisir Yang Optimal Dan Berkelanjutan, Jurnal Kelautan,
Volume 2, No.1 April 2009

Anda mungkin juga menyukai