OLEH :
NURHASNA
NIM 1810246474
HP. 0812 753 6566
I. PENDAHULUAN
1998). Diperkirakan 75.000 km² atau 14% dari luas terumbu karang yang ada di dunia
hidup di perairan Indonesia (CESAR, 1996). Seluruh dari 15 suku karang yang ada
dunia juga hidup di perairan Kepulauan Nusantara, dengan total sekitar 80 marga dan
452 jenis yang sudah diidentifikasi sampai saat ini (PET-SOEDE et al, 2002). Wilayah
laut dan pesisir Indonesia juga ditumbuhi oleh kurang lebih 15 dari 52 jenis lamun
(seagrass) yang ada di dunia (KURIANDEWA, 2003). Luas padang lamun di perairan
Indonesia diperkirakan sebanyak 3 juta hektare (KURIANDEWA, 2003).
Namun sayangnya, pengelolaan yang kurang bijaksana telah menyebabkan
banyak ekosistem laut dan biota-biota laut tertentu mengalami penurunan kualitas dan
jumlah pada tingkat yang sangat mengkhawatirkan. Pada tahun 2000, Pusat Penelitian
Oseanografi – LIPI melaporkan bahwa lebih dari 70% terumbu karang di Indonesia
dalam kondisi buruk dan sedang, hanya sekitar 29% dari total seluruh karang di
Indonesia dalam kondisi baik dan sangat baik (NONTJI, 2000). Eksploitasi yang tak
terkendali juga telah menyebabkan kerusakan hampir 40% dari total hutan mangrove
yang dimiliki oleh Indonesia (HINRICHSEN, 1998).
Agenda 21 menjadi salah satu titik balik dari keberlangsungan pembangunan
berkelanjutan di dunia internasional yang menjadi dasar pembangunan berkelanjutan
kepada masyarakat untuk saat ini dan abad ke 21 " biogeofisik, sosekbud, kelembagaan,
dan LSM.
Jumlah penduduk di wilayah pesisir perkotaan yang makin meningkat, ternyata
mengakibatkan sumberdaya di daratan semakin terbatas, maka wilayah pesisir dan laut
beserta sumberdayanya menjadi alternatif pendukung pembangunan daerah maupun
nasional yang strategis di masa mendatang. Oleh karena itu sangatlah beralasan, jika
dalam pembangunan jangka panjang bangsa Indonesia mengorientasikan kiprah
pembangunannya terutama pada wilayah pesisir dan laut. Komitmen pemerintah dalam
bidang ini dapat terlihat dari masih diperlukannya kementerian yang mengurusi masalah
lingkungan hidup serta kelautan, bahkan pada kabinet saat ini ditambah dengan Menteri
Koordinator Maritim. Saat ini yang masih menjadi keprihatinan kita, beberapa kegiatan
pembangunan di kawasan daratan dan lautan, masih banyak yang memberikan dampak
negatif pada lingkungan yang akhirnya berakibat pada menurunnya kualitas lingkungan
pesisir dan laut maupun kelestarian sumberdaya alam, yaitu berupa pencemaran dan
5
kerusakan lingkungan serta pemanfaatan yang berlebih atas sumberdaya pesisir dan
laut. Sehubungan dengan hal tersebut, maka upaya pengendalian pencemaran dan
kerusakan lingkungan yang mungkin timbul harus menjadi bagian dari kebijakan dan
langkah aksi pengelolaan lingkungan pada setiap sektor kegiatan pembangunan.
Disamping permasalahan tersebut di atas, juga terdapat masalah lain, yaitu sistem
manajemen yang belum terpadu. Pengelolaan pesisir saat ini masih banyak dilakukan
secara sektoral dan tidak ada keterpaduan antara pengelolaan daratan dan lautan.
Padahal sumber pencemaran dan kerusakan di wilayah pesisir berasal dari kegiatan
yang ada di daratan dan di lautan. Menurut Undang-Undang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil pengelolaan di wilayah pesisir ini harus dilakukan secara terpadu
Permasalahan dalam pengelolaan pesisir di Indonesia pada dasarnya adalah
masalah menejemen dan masalah teknis yang bersumber dari daratan dan lautan.
Pengelolaan pesisir belum dilaksanakan secara terpadu, namun masih sektoral. Dalam
pelaksanaan program tidak didasarkan pada rencana strategis pengelolaan pesisir yang
disusun dengan melibatkan semua stakeholder atau sudah ada rencana strategisnya
namun pelaksanaan program atau proyeknya tidak berdasarkan pada rencana strategis
yang telah dibuat tersebut. Koordinasi yang belum baik juga merupakan salah satu
kendala, beberapa daerah belum membentuk Tim Teknis Pengelolaan Pesisir Secara
Terpadu, sehingga koordinator atau leading sector yang menangani pengelolaan pesisir
dan laut ini tidak jelas. Pemahaman atas pengelolaan pesisir secara terpadu oleh aparat
pengelola belum merata atau tidak paham sama sekali. Masalah menejemen yang lain
adalah kurangnya data dan informasi yang valid atau belum adanya data base
management untuk pengelolaan pesisir, adanya ego sectoral, lemahnya penegakan
hukum, rendahnya komitmen, tidak adanya dana yang berkelanjutan, perpindahan staf
yang cukup sering, belum adanya kebersamaan dan keterpaduan antar sektor, belum
adanya tata ruang pesisir dan laut, kerangka hukum untuk pengelolaan pesisir di daerah
masih lemah, keterlibatan ilmuwan atau pakar belum optimal sehingga hasil kajian
ilmiah belum dipakai sebagai salah satu dasar pengambilan keputusan, serta
permasalahan lain yang masing-masing daerah berbeda sesuai dengan situasi dan
kondisi setempat. Sering pengelolaan pesisir tidak mendasarkan pada prinsip good
6
environmental governance, yaitu: (1) partisipasi, (2) penegakan hukum, (3) transparansi,
(4) kesetaraan, (5) daya tanggap, (6) wawasan ke depan, (7) akuntabilitas, (8)
pengawasan, (9) efisien dan efektif, (10) profesionalisme. Adanya kelemahan
menejemen ini, mengakibatkan pengelolaan pesisir sampai batas 12 mill belum dapat
dilakukan secara optimal. Potensi pariwisata, sumberdaya perikanan, mineral dan lain-
lainnya belum digarap secara terpadu untuk menaikkan pendapatan daerah maupun
pendapatan masyarakat pesisir. Dilain pihak, mutu lingkungan pesisir dan laut makin
menurun dari tahun ke tahun.
1.4.Manfaat penulisan
bencana alam (badai), kegiatan manusia (pencemaran dan perusakan) dapat mengancam
kelestarian lamun. Ekosistem estuaria merupakan ekosistem yang khas, karena air tawar
dan air laut bertemu sehingga sumberdaya yang dapat pulih banyak terdapat di wilayah
tersebut. Indonesia yang merupakan negara kepulauan dengan sungai-sungai yang
mengalir didaratannya menjadikan wilayah estuary menjadi banyak dan luas. Mengingat
pentingnya wilayah estuary ini, maka wilayah estuary perlu dilestarikan. Aktivitas yang
paling mengancam ekosistem estuary ini adalah aktivitas manusia terutama penebangan
pohon yang mengakibatkan erosi dan sedimentasi serta pencemaran lingkungan. Salah
satu wilayah estuaria di Indonesia yang telah mengalami kerusakan akibat sedimentasi
adalah Segara Anakan di Kabupaten Cilacap, namun demikian usaha penyelamatan
masih terus diupayakan. Potensi sumberdaya yang tidak dapat pulih di Indonesia yang
paling potensial adalah minyak dan gas bumi. Sedangkan energi kelautan belum banyak
dimanfaatkan, namun usaha ke arah pemanfaatan energi kelautan telah mulai dilakukan,
yaitu yang dikenal dengan ocean thermal energy conversion (OTEC) antara lain berupa
energi kinetik dari gelombang, pasang surut dan arus, konversi energi dari perbedaan
salinitas. Penelitian oleh BPPT telah dilakukan di pantai Baron di Yogyakarta, Bagan
Siapi-api dan Merauke serta akan di kembangkan lagi di pantai utara Pulau Bali. Laut
Indonesia menyimpan kekayaan migas yang cukup tinggi. Dari 40 cekungan yang ada
di laut diperkirakan berpotensi menghasilkan 106,2 milyar barel setara minyak.
Cadangan minyak yang belum terjamah diperkirakan sebanyak 57,3 milyar barrel
terkandung di lepas pantai. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai potensi
untuk pengembangan wisata bahari dan pelayaran. Namun demikian, masih banyak
wisata bahari yang belum dikembangkan secara professional. Padahal Keanekaragaman
flora dan fauna di wilayah pesisir dan laut dapat dijual sebagai obyek wisata. Potensi
wisata bahari yang dapat dikembangkan antara lain: wisata pantai, menyelam dll. Jasa
transportasi laut juga belum dikembangkan secara optimal. Pihak asing masih menguasi
jasa pelayaran di Indonesia.
Definisi wilayah pesisir yang baku, namun demikian, terdapat kesepakatan umum
di dunia bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan (interface area) antara
ekosistem daratan dan laut. Definisi dan batas wilayah pesisir yang digunakan di
Indonesia adalah wilayah dimana daratan berbatasan dengan laut. Batas ke arah darat
10
meliputi (1) secara ekologis: kawasan daratan yang masih dipengaruhi oleh proses-
proses kelautan seperti pasang-surut, angin laut, dan intrusi air laut; (2) secara
administrasi: batas terluar sebelah hulu dari desa pantai atau jarak definitif secara arbiter
2 km dari garis pantai. Sedangkan batas ke arah laut meliputi (1) secara ekologis:
kawasan laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami di daratan seperti
sedimentasi, dan mengalirnya air tawar kelaut, serta daerah-daerah laut yang
dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di daratan; (2) secara administrasi: batas 4
mil dari garis pantai ke arah laut. Adapun yang dimaksud dengan masyarakat pesisir
adalah berbagai pihak (baik perorangan, kelompok lembaga, maupun badan hukum)
yang bermukim di wilayah pesisir dan memiliki mata pencaharian yang berasal dari
sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan pesisir. Berdasarkan basis tempat tinggal dan
mata pencaharian tersebut dapat dipetakan komponen masyarakat pesisir yakni nelayan,
petani ikan, pemilik atau pekerja indusri pariwisata, pemilik atau pekerja industri
pariwisata, pemilik atau pekerja perusahaan perhubungan laut, pemilik dan pekerja
pertambangan dan energi, pemilik dan pekerja industri maritim galangan kapal.
Sumberdaya di wilayah pesisir dan lautan terdiri dari sumberdaya alam yang dapat
pulih, dan sumberdaya alam yang tidak dapat pulih. Sumberdaya yang dapat pulih
(sumberdaya perikanan laut, mangrove, terumbu karang, padang lamun, rumput laut,
dan bahan-bahan bioaktif) maupun sumberdaya yang tidak dapat pulih (minyak bumi,
gas, mineral, pasir, dan bahan tambang lainnya) serta berbagai macam energi kelautan
(gelombang, pasang surut, ocean thermal energy conversion, dan angin) dan jasa-jasa
lingkungan (media transportasi dan komunikasi, pengaturan iklim, keindahan alam, dan
penyerapan limbah). Keseluruhan ekosistem dan sumberdaya ini berpotensi sebagai aset
ekonomi, ekologi, pendidikan dan penelitian, pertahanan dan keamanan bagi suatu
negara. Potensi ekonomi sumberdaya pesisir dapat didefinisikan sebagai kegiatan
ekonomi yang dilakukan diwilayah pesisir dan atau kegiatan ekonomi yang
menggunakan sumberdaya pesisir. Bidang kelautan ini meliputi sektor-sektor produktif
yang terdiri dari sektor: (1) kegiatan perikanan; (2) kegiatan pariwisata bahari; (3)
kegiatan pertambangan dan energi; (4) kegiatan perhubungan laut; (5) kegiatan industri
maritim; dan (6) kegiatan kegiatan bangunan kelautan. Potensi ekologis sumberdaya
pesisir dapat didefinisikan sebagai peran pesisir sebagai pengatur keseimbangan
11
Agenda 21 Indonesia
Permasalahan di wilayah pesisir dan laut yang telah diuraikan di atas
membutuhkan penanganan yang lebih baik oleh Pemerintah Daerah, khususnya yang
menyangkut aspek kebersamaan dan keterpaduan serta kewenangan kelembagaannya,
sehingga pengelolaan kawasan pesisir dan laut diharapkan juga dapat mendorong
pengelolaan di wilayah hulu (daratan) yang akhirnya pembangunan daerah
kota/Kabupaten dapat meningkat. Bidang program yang dibahas dalam agenda 21
Indonesia untuk mengatasi permasalahan pesisir dan laut, meliputi:
1. Perencanaan dan Pengemnbangan Sumberdaya Terpadu
15
kelompok usaha besar (komersial); (3) kawasan pesisir sebagai keranjang sampah dari
berbagai jenis limbah dan sedimen yang berasal dari kegiatan di darat; (4) konflik
egoisme sektoral, dimana sektor-sektor yang dapat menghasilkan cash money jangka
pendek dan tidak memerlukan lingkungan yang tinggi; (5) ketidakseimbangan tingkat
pemanfaatan dan kerusakan lingkungan antar wilayah. Penyebab kurang berhasilnya
pembangunan pesisir saat ini antara lain: (1) penerapan paradigma pola pembangunan
yang secara dominan mengejar keuntungan jangka pendek dan kurang mengindahkan
aspek keberlanjutan; dan (2) mekanisme pembangunan yang sentralistik, topdown, dan
sektoral. Pembangunan di wilayah pesisir yang merupakan proses perubahan untuk
meningkatkan taraf hidup masyarakat, tidak terlepas dari aktifitas pemanfaatan ruang
dan sumberdaya pesisir juga aktifitas pemanfaatan jasa asimilasi lingkungan pesisir.
Aktifitas-aktifitas ini sering melakukan perubahan-perubahan pada sumberdaya alam.
Perubahan-perubahan yang dilakukan tentunya akan memberikan pengaruh pada
lingkungan hidup. Makin tinggi laju pembangunan, makin tinggi pula tingkat
pemanfaatan ruang, sumberdaya dan jasa asimilasi dan makin besar pula perubahan
yang terjadi pada lingkungan hidup yang mengancam kapasitas keberlanjutannya
(sustainable capacity). Berbagai kasus seperti kondisi tangkap lebih (over fishing),
pencemaran perairan, degradasi fisik habitat pesisir (mangrove dan terumbu karang),
dan abrasi pantai merupakan sebagian indikator bahwa pelaksanaan pembangunan
sumberdaya pesisir menuju ke arah yang tidak optimal dan tidak berkelanjutan
(unsustainable). Kondisi ini telah memberikan tekanan lingkungan yang kompleks dan
membengkak terhadap wilayah pesisir dan lautan terutama berupa (1) konflik
pemanfaatan sumberdaya; (2) konflik pemanfaatan ruang wilayah pesisir dan lautan;
dan (3) pemanfaatan kapasitas asimilasi wilayah pesisir yang melebihi daya dukungnya.
Hal ini sebagai akibat dari kurangnya koordinasi dan kerjasama antar pelaku
pembangunan kawasan pesisir, rendahnya kualitas sumberdaya manusia dalam
pengelolaan pesisir, dan lemahnya penegakan hukum.
management). Pilihan ini didasarkan pada : (1) wilayah pesisir merupakan multiple use
zone dimana terdapat lebih dari dua macam sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan
serta terdapat lebih dari dua macam pemanfaatan kawasan pesisir; (2) karakteristik dan
dinamika alamiah the nature sumberdaya pesisir dan lautan yang secara ekologis saling
terkait satu sama lain termasuk dengan ekosistem lahan atas; (3) wilayah pesisir dihuni
lebih dari satu kelompok etnis yang memiliki preferensi mata pencaharian yang
berbeda. Pengelolaan pesisir dapat dilakukan oleh lembaga pemerintah, swasta,
organisasi kemasyarakatan yang terlibat dalam kegiatan sehari-hari yang terjadi di
wilayah pesisir. Keseluruhan proses diatas menurut Sorensen dan McCreary (1990),
harus dilaksanakan secara berkesinambungan dan dinamis dengan mempertimbangkan
segenap aspek sosial, ekonomi, budaya dan aspirasi masyarakat pengguna kawasan
pesisir dan lautan serta konflik pemanfaatan sumberdaya dan konflik pemanfaatan ruang
wilayah pesisir dan lautan yang mungkin ada. Keterpaduan pengelolaan sumberdaya
pesisir dan lautan ini mencakup empat aspek (Dahuri et al 2001): (1) keterpaduan
ekologis; (2) keterpaduan sektoral; (3) keterpaduan disiplin ilmu; dan (4) keterpaduan
stakeholders. Keterpaduan ekologis: secara ekologis wilayah pesisir memiliki
keterkaitan antara lahan atas (daratan) dan lautan. Hal ini disebabkan karena wilayah
pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan lautan. Dengan keterkaitan
kawasan tersebut maka pengelolaan kawasan pesisir tidak terlepas dari pengelolaan
lingkungan di kedua wilayah tersebut. Berbagai dampak lingkungan yang terjadi pada
kawasan pesisir merupakan dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan pembangunan yang
dilakukan dilahan atas seperti industri pengeboran minyak, pemukiman, pertanian dan
sebagainya Demikian pula dengan kegiatan yang dilakukan di laut lepas seperti kegiatan
pengeboran minyak lepas pantai, perhubungan laut. Penanggulangan pencemaran dan
sedimentasi yang diakibatkan oleh limbah industri tidak dapat dilakukan hanya di
kawasan pesisir saja tetapi harus dilakukan mulai dari sumber dampaknya. Oleh karena
itu pengelolaan wilayah ini harus diintegrasikan dengan pengelolaan wilayah daratan
dan laut. Keterpaduan sektor: sebagai konsekuensi dari besar dan beragamnya
sumberdaya alam di kawasan pesisir adalah banyaknya instansi atau sektor-sektor
pembangunan yang bergerak dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir. Akibatnya
seringkali terjadi tumpang tindih pemanfaatan sumberdaya pesisir antara satu sektor
19
dengan sektor lainnya. Kegiatan suatu sektor tidak dibenarkan menganggu apalagi
sampai mematikan kegiatan sektor lain. Penyusunan tata ruang dan panduan
pembangunan wilayah pesisir sangat perlu dilakukan untuk menghindari benturan
antara satu kegiatan dengan kegiatan pembanguan lainnya. Oleh karena itu pengelolaan
wilayah ini dalam perencanaannya harus mengintegrasikan kepentingan semua sektoral.
Keterpaduan disiplin ilmu: wilayah pesisir memiliki sifat dan karakteristik yang unik
dan spesifik, baik sifat dan karakteristik ekosistem pesisir maupun sifat dan karakteristik
sosial budaya masyarakatnya. Oleh karena itu dibutuhkan keterpaduan disiplin ilmu
dalam pengelolaan wilayah pesisir, mengikuti karakteristik ekosistem dan sosial budaya
masyarakatnya. Keterpaduan stakeholder: segenap keterpaduan diatas akan berhasil
diterapkan apabila ditunjang oleh keterpaduan dari pelaku dan pengelola pembagunan di
wilayah pesisir. Seperti diketahui bahwa pelaku pembangunan dan pengelola
sumberdaya pesisir antara lain terdiri dari pemerintah, masyarakat, swasta, dan juga
lembaga swadaya masyarakat yang masingmasing memiliki kepentingan terhadap
pemanfaatan sumberdaya pesisir. Penyusunan perencanaan pengelolaan terpadu harus
mampu mengakomodir segenap kepentingan pelaku pembangunan pesisir. Oleh karena
itu perencanaan pengelolaan pembangunan harus menggunakan pendekatan dua arah,
yaitu pendekatan top down dan pendekatan bottom up. Dengan latar belakang pemikiran
diatas akan muncul model pembangunan berkelanjutan yang dikenal dengan sustainable
development yang mengandung tiga unsur utama yang meliputi dimensi ekonomi,
ekologi dan sosial (Harris et al, 2001 dalam Dahuri, 2003). Suatu pembangunan
kawasan pesisir, pertama secara ekonomi dianggap berkelanjutan (economic growth)
jika kawasan tersebut mampu menghasilkan barang dan jasa secara berkesinambungan;
kedua secara ekologis dianggap berkelanjutan (ecological sustainability) manakala basis
ketersediaan sumberdaya alamnya dapat dipelihara secara stabil, tidak terjadi ekploitasi
berlebih terhadap sumberdaya alam yang dapat diperbaharui, tidak terjadi pembuangan
limbah melampaui kapasitas asimilasi lingkungan yang dapat mengakibatkan kondisi
tercemar, serta pemanfaatan sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui yang dibarengi
dengan pengembangan bahan substitusinya secara memadai, dan ketiga secara sosial
dianggap berkelanjutan (social equity) apabila kebutuhan dasar seluruh penduduknya
terpenuhi; terjadi distribusi pendapatan dan kesempatan berusaha secara adil. Menurut
20
Bengen (2004) pembangunan sumberdaya pesisir dan lautan secara optimal dan
berkelanjutan terwujud apabila memenuhi tiga persyaratan ekologis: (1) pemanfaatan
sumberdaya pesisir dan lautan yang sesuai dengan daya dukungnya; (2) pemanfaatan
ruang wilayah pesisir dan lautan yang harmonis; dan (3) pemanfatan kapasitas asimilasi
wilayah pesisir sesuai dengan daya dukung lingkungan.
Berbagai persoalan yang masih menggantung dalam pelaksanaan otonomi daerah
tersebut perlu direspon dan disikapi secara arif dan bijaksana. Untuk pelaksanaan
otonomi daerah di masa mendatang haruslah yang mampu meningkatkan pelayanan
publik, kesejahteraan warga dan mendorong kondisi dunia usaha yang kondusif bagi
pengembangan ekonomi lokal/daerah. Berkaitan dengan hal tersebut, maka beberapa hal
yang masih perlu disempurnakan antara lain: 1. Adanya keikhlasan pusat agar daerah
memperoleh hak-haknya untuk mengolah dan mengelola sumberdaya di daerahnya
secara optimal. Sebelum Peraturan Pemerintah dikeluarkan, hendaknya pemerintah
pusat mendengarkan aspirasi daerah dan mengakomodasikannya dalam subtansi PP
tersebut. 2. Untuk mencegah disincentives , pemda perlu mengembangkan strategi
efisiensi dalam segala bidang (yang menjadi tolok ukur bukanlah besarnya dana, tapi
seberapa optimal pelayanan diberikan kepada masyarakat sesuai dengan skala prioritas
pembangunan daerahnya) 3. Untuk menopang pelaksanaan otonomi daerah, perlu
dikembangkan ekonomi lokal yang kuat dan secara sistemik akan mensinergikan
potensi sumberdaya lokal dengan basis kemitraan lintas aktor-aktor pembangunan
(stakeholders). Dengan cara demikian, pertumbuhan ekonomi akan lebih merata antar
kawasan dan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi. 4. Memperbaiki fundamental ekonomi
nasional dengan memberi kesempatan yang lebih luas kepada Usaha kecil-mikro (UK5.
Memanfaatkan dan mengelola SDA secara proporsional dan arif, agar kekayaan
(resources endowment) tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal dan lestari (green
economic paradigm) 6. Mendorong agregasi permintaan masyarakat (public demand)
terhadap layanan publik dengan mendorong partisipasi masyarakat dalam perencanaan,
pembuatan dan pengawasan dari kebijakan pembangunan (ekonomi) daerahnya. 7.
Mendorong desentralisasi pembangunan daerah dan mendayagunakan kelembagaan di
daerah untuk memiliki wewenang dan kemandirian dalam membuat produk hukum
pembangunan di daerahnya. 8. Untuk memperkuat basis keuangan daerah, Pemda tidak
21
harus selalu dan melulu menambah jenis pungutan, karena tidak sepantansnya
dilakukan. Karena kemandirian ekonomi daerah tidaklah secara otomatis dapat
melegitimasi Pemda (dan DPRD) untuk membuat aturan yang pada akhirnya justru
menambah beban masyarakat. 9. Dalam era otonomi daerah ini, birokrat Pemda harus
mampu bertindak layaknya seorang entreprenuer dan pemerintah daerah sebagai
institusi harus juga mampu bertindak layaknya sebagai enterprise. Era otonomi daerah
telah mendorong pemerintah daerah / kabupaten untuk menggali potensi ekonomi secara
optimal untuk membiayai kegiatan pembangunan daerah. Namun harus diwaspadai agar
kebijakan pemanfaatan potensi sumberdaya pesisir dan laut tetap bersandar pada
kepantingan publik dan kelestarian lingkungan. Dua hal yang terlihat kontradiktif ini
harus dapat disinergikan secara terpadu. Berkaitan dengan hal tersebut, maka prinsip
pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut secara terpadu dapat difokuskan pada empat
aspek yaitu: • Keterpaduan antara berbagai sektor dan swasta yang berasosiasi. •
Keterpaduan antara berbagai level pemerintahan, mulai dari pusat, kabupaten/kota,
kecamatan dan desa. • Integrasi antara pemanfaatan ekosistem darat dan laut. • Integrasi
antara sain/teknologi dan manajemen. Prinsip pengelolaan yang terpadu ini dilakukan
berdasarkan pertimbangan bahwa pemanfaatan sumberdaya pesisir pada saat ini tidak
boleh mengorbankan kebutuhan sumberdaya pesisir bagi generasi yang akan datang.
Prinsip ini bisa lebih efektif dilaksanakan bila pengelolaannya bersifat demokratis,
trasparan dan didesentralisasikan ke level pemerintahan yang rendah yang melibatkan
masyarakat pesisir setempat.
sumberdaya tersebut bukanlah tidak ada pemiliknya. Ini berarti sumberdaya tersebut
tidak terdefinisikan dalam hal kepemilikannya sehingga menimbulkan gejala yang
disebut dengan dissipated resource rent, yaitu hilangnya rente sumberdaya yang
semestinya diperoleh dari pengelolaan yang optimal. Dengan adanya sifat sumberdaya
yang quasi open access tersebut, maka tindakan salah satu pihak yang merugikan pihak
lain tidak dapat terkoreksi oleh pasar (market failure). Hal ini menimbulkan ketidak
efisienan ekonomi karena semua pihak akan berusaha mengeksploitasi sumberdaya
sebesar-besarnya, jika tidak maka pihak lain yang akan mendapat keuntungan. Kondisi
seperti inilah yang terjadi saat ini. Dengan didukung oleh teknologi, pihak-pihak yang
lebih kuat dan mampu mengeksploitasi sumberdaya secara berlebihan sehingga terjadi
hukum rimba (siapa yang kuat, dia yang menang) dan daya produksi alamiah menjadi
terganggu. 2. Adanya degradasi lingkungan pesisir dan laut. Pada awal tahun 80-an,
banyak pihak yang tersentak setelah menyaksikan kebijakan pembangunan yang hanya
mengejar pertumbuhan ekonomi dan produktivitas ternyata telah menimbulkan
kerusakan yang serius terhadap lingkungan. Program modernisasi perikan contohya,
yang bertujuan menigkatkan produksi hasil tangkapan nelayan menggunakan teknologi
penangkapan yang semakin modern tidak disertai dengan sosialisasi pemahaman yang
baik terhadap lingkungan kelautan. Hal ini berakibat fatal terhadap kelestarian
lingkungan karena terjadi ekploitasi sumberdaya secara maksimal tanpa memperhatikan
potensi lestari yang ada. Degradasi lingkungan pesisir dan laut yangmanjdi ancaman
bagi kelangsungan hidup masyarakat pesisir dan nelayan akibat faktor-faktor lain masih
berlanjut hingga saat ini seperti misalnya pencemaran lingkungan perairan akibat
limbah industri dan rumah tangga. Selain merusak potensi sumberdaya perairan,
degradasi lingkungan ini juga berakibat buruk bagi kesehatan dan kelangsungan hidup
manusia, terutama masyarakat pesisir. 3. Kemiskinan dan kesejahteraan nelayan.
Perikanan di Indonesia melibatkan banyak stakeholders. Yang paling vital adalah
nelayan kecil yang merupakan lapisan yang paling banyak jumlahnya. Mereka hidup
dalam kemiskinan dan tekanan-tekanan sosial ekonomi yangberakar pada faktor-faktor
kompleks yang saling terkait. Faktor-faktor tersebut dapat diklasifikasikan sebagai
faktor alamiah dan non alamiah. Faktor alamiah berkaitan dengan fluktuasi musim dan
struktur alamiah sumberdaya ekonomi desa. Sedangkan faktor non alamiah
23
kepada pemerintah daerah. Pemerintah daerah dapat mengelola sumberdaya pesisir dan
laut secara lebih rasional mengingat ketersediaan sumberdaya serta terdegradasinya
sumberdaya akan menentukan tingkat kemakmuran masyarakat di daerah yang
bersangkutan. Kebijakan pembangunan perikanan yang dijalankan seharusnya tidak
hanya mengejar kepentingan ekonomi (khususnya peningkatan devisa negara dari
ekspor hasil laut), tetapi juga diimbangi secara proporsional dengan komitmen menjaga
kelestarian sumberdaya perikanan yang ada. Disamping itu, harus pula ada komitmen
yang tinggi dan konsisten dalam menegakkan peraturan hukum yang berlaku agar dapat
menghindari terjadinya konflik-konflik sosial dan ekonomi. Kearifan lokal harus dapat
diakomodir sebagai salah satu pranata hukum 5 yang dapat memperkecil terjadinya
konflik antar nelayan. Salah satu bentuk akomodasi kearifan lokal ini adalah melalui
penyusunan tata ruang wilayah pesisir. Hingga saat ini masih belum banyak daerah dan
kawasan pesisir yang memilikinya sehingga belum memiliki kesamaan misi dari
berbagai pengaturan dan kebijakan yang dibuat untuk pengelolaan sumberdaya tersebut.
Antar wilayah Kawasan pesisir pada dasarnya tidak dapat dibatasi secara administratif.
Berkaitan dengan hal ini, maka wilayah yang termasuk dalam suatu kawasan (adanya
homogenitas baik secara ekologis maupun ekonomis) haruslah saling bekerjasama
untuk meminimalisir konflik kepentingan. Kerjasama antar wilayah dapat digalang
melalui pembentukan forum kerjasama atau forum komunikasi antar pemerintah daerah
yang memiliki kawasan pesisir dan laut untuk mengantisipasi sejak dini timbulnya
perkembangan terburuk seperti konflik antar nelayan. Kesepakatan dan penetapan
norma-norma kolektif tentang pemanfaatan sumberdaya lokal sesuai dengan semangat
otonomi daerah harus disosialisasikan secara luas dan benar kepada masyarakat nelayan
agar mereka memiliki cara pandang yang sama. 3. Kerjasama Antar Aktor
(stakeholders) Upaya pengurangan kesenjangan sektoral dan daerah jelas memerlukan
strategi khusus bagi penanganan secara komprehensif dan berkesinambungan. Untuk
itu, diperlukan adanya kebijakan dari Pemerintah Pusat untuk menjembatani persoalan
kemiskinan dan kesenjangan sektoral dan daerah tersebut, melalui mekanisme
kerjasama antar aktor (stakehokders) yang melibatkan unsur-unsur masyarakat
(kelompok nelayan), pihak swasta / pengusaha perikanan (Private Sector), dan
pemerintah (Government). Sebagai anak bangsa yang prihatin melihat kondisi yang
menjadi potret buram dalam pengelolaan kawasan pesisir dan laut yang belum
memberikan kesejahteraan bagi masyarakatnya tersebut, maka diperlukan perhatian
yang serius berupa terobosan pemikiran bagi upaya percepatan pembangunan dan
pengembangan ekonomi lokal yang 7 8 melibatkan partispasi masyarakat dalam proses
dan pelaksanaan pengelolaannya. Upaya penanggulangan kemiskinan dan kesenjangan
sektoral dan daerah tersebut yang berintikan suatu paradigma baru, dimana inisiatif
pembangunan daerah tidak lagi digulirkan dari pusat, namun merupakan inisiatif lokal
(daerah) untuk memutuskan langkah-langkah yang terbaik dalam mengimplementasikan
rencana pengelolaan kawasan dan rencana aksi yang sesuai dengan kebutuhan dan
kapasitas yang dimiliki.
27
DAFTAR PUSTAKA