Anda di halaman 1dari 8

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014, Otonomi Daerah

mengandung arti bahwa daerah diberi kesempatan untuk mandiri dalam

mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri, dengan menggali

dan memanfaatkan sumber-sumber ekonomi yang ada untuk kesejahteraan

dan kemakmuran masyarakat di daerah berdasarkan prinsip-prinsip

demokrasi, prinsip pemerataan dan keadilan, peran, serta prakarsa dan

aspirasi masyarakat sendiri serta sesuai dengan kondisi, potensi dan

keanekaragaman wilayahnya. Dalam pengelolaan keuangan, Pemerintah

daerah menggunakan instrumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

(APBD). Pada dasarnya, APBD merupakan instrumen kebijakan yang

dipakai sebagai alat untuk meningkatkan pelayanan umum dan

kesejahteraan masyarakat. Upaya yang giat dilakukan dalam rangka

pengembangan daerah agar dapat mandiri yaitu dengan pendirian Badan

Usaha Milik Daerah (BUMD) sebagai salah satu basis yang paling

mendasar di daerah.

Sulawesi Tenggara merupakan salah satu Provinsi dalam Negara

Kesatuan Republik Indonesia, yang terletak di bagian tenggara jazirah

Pulau Sulawesi, yang terdiri atas 17 Kabupaten/Kota, 220 Kecamatan,

1.953 Desa, dan 376 Kelurahan (Statistik Badan Pusat Statistik, 2018).

Sulawesi Tenggara adalah salah satu provinsi di Indonesia yang

1
2

mendirikan Bank Perkreditan Rakyat. Bank Perkreditan Rakyat (BPR)

merupakan salah satu lembaga keuangan perbankan konvensional/syariah

yang dalam usahanya tidak ikut dalam lalu lintas pembayaran. BPR adalah

lembaga yang berfokus pada penghimpunan dana kelompok masyarakat

kecil yang berada di pelosok-pelosok daerah serta membantu pembiayaan

kelompok Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).

Menurut Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor

20/POJK.03/2014 tentang Bank Perkreditan Rakyat, BPR adalah bank yang

melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang dalam kegiatannya

tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Di Provinsi Sulawesi

Tenggara terdapat 12 BPR Milik pemerintah dan 4 BPR Milik Swasta. BPR

Milik Pemerintah disebut dengan Bank Perkreditan Rakyat Bahteramas

(BPR Bahteramas). Dalam Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2009, pasal 6

dijelaskan bahwa Tujuan dari Pembentukan BPR Bahteramas adalah untuk

membantu dan mendorong pertumbuhan ekonomi rakyat Sulawesi

Tenggara dan pembangunan daerah serta merupakan salah satu sumber

pendapatan daerah dalam rangka meningkatkan taraf hidup dan

kesejahteraan rakyat.

Dalam www.antaranews.com tanggal 19 Juli 2012, Abdul Razak

Yusuf, Koordinator BPR Bahteramas, menyatakan bahwa fokus utama BPR

Bahteramas adalah membidik Usaha Mikro Kecil dan Menengah untuk

masyarakat yang berada di setiap Kabupaten/Kota dan Masyarakat yang

berada di Pelosok Desa, serta pelayanan Fasilitas Kredit dengan Prosedur


3

yang lebih ringan dengan fokus binaan pada nasabah di sektor perdagangan,

Perikanan dan Industri Rumah Tangga. Hal ini sejalan dengan Amanat

Permendagri Nomor 22 Tahun 2006 tentang Bank Perkreditan Rakyat

bahwa untuk mendorong pertumbuhan perekonomian daerah dan

meningkatkan pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat serta sebagai

salah satu sumber pendapatan asli daerah, perlu dilakukan pemerataan

pelayanan perbankan.

Permodalan dari BPR Bahteramas sebagian besar bersumber dari

Penyertaan Modal Pemerintah Daerah yang berasal dari kekayaan daerah

yang dipisahkan. Menurut Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2009, modal

awal dari pembentukan BPR tersebut berasal dari sumbangan masing-

masing desa dan kelurahan melalui program bantuan dana hibah dari

Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2009, Bantuan dana hibah

tersebut merupakan Bantuan Keuangan pembangunan desa (Block Grant)

Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara yang terpilih pada tahun 2008-

2013 dengan anggaran sebesar Rp. 100.000.000,- per Tahun yang

dianggarkan dalam Program Bahteramas (Butuni, 2018:7). Dana tersebut

diberikan dalam rangka membentuk pemerintahan desa yang lebih

partisipatif dan akuntabel.

BPR Bahteramas mulai beroperasi pada tahun 2011. Pada awal

beroperasi, BPR Bahteramas berjumlah 6 BPR, yaitu: (1) BPR Bahteramas

Bau-Bau, (2) BPR Bahteramas Wakatobi, (3) BPR Bahteramas Bombana,

(4) BPR Bahteramas Konsel, (5) BPR Bahteramas Kendari, dan (6) BPR
4

Bahteramas Konawe. Pada tahun 2012, BPR Bahteramas bertambah satu

yaitu BPR Bahteramas Kolaka, dan pada tahun 2014 Pemerintah Daerah

kemudian meresmikan 5 BPR lagi, yaitu : (1) BPR Bahteramas Buton, (2)

BPR Bahteramas Butur, (3) BPR Bahteramas Muna, (4) BPR Bahteramas

Konut, dan (5) BPR Bahteramas Kolut, sehingga Total BPR Bahteramas

saat ini berjumlah 12 BPR. Hingga saat ini keberadaan BPR Bahteramas

telah melalui dua kali penyempurnaan, yaitu melalui Peraturan Daerah

Nomor 2 Tahun 2009 dan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2013,

penyempurnaan ini dilakukan dalam rangka penambahan setoran modal

dari modal dasar sebesar Rp 10.000.000.000,- menjadi Rp.

25.000.000.000,-, penambahan setoran modal diharapkan dapat

memperkuat struktur modal BPR, meningkatkan modal kerja, dan

meningkatkan efektifitas kinerja BPR Bahteramas.

Investasi Pemerintah daerah pada BPR Bahteramas diharapkan dapat

memberikan kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah. Investasi daerah

sangat penting untuk membantu pemerintah daerah dalam membiayai

kegiatan operasionalnya. Sejalan dengan semangat desentralisasi dan

dorongan bagi pemerintah daerah agar lebih kreatif dalam mencari sendiri

sumber pendapatan mereka, investasi daerah semisal pembelian surat

berharga dan penyertaan modal dapat menjadi alternatif untuk menambah

pundi-pundi keuangan mereka (Halim, 2012 :105), dalam hal ini kontribusi

yang diperoleh PEMDA atas BPR Bahteramas untuk Pendapatan Asli

Daerah adalah pembagian deviden yang berasal dari laba perusahaan yang
5

disisihkan, semakin banyak laba perusahaan maka semakin besar pula

deviden yang diterima. Namun, jika ditanjau dari pertumbuhan laba BPR

Bahteramas sebelum adanya tambahan setoran modal ( tahun 2011 hingga

2012) , telah mengalami perkembangan yang sangat fluktuatif, seperti pada

tabel berikut:

Tabel 1.1

Pertumbuhan Laba BPR Bahteramas

No Nama BPR Laba BPR Setelah Pajak (Ribuan Rupiah) Persentase

2011 2012 Perubahan

1 BPR Bahteramas Bau-Bau (Rp. 638.229) (Rp. 370.602) -58%

2 BPR Bahteramas Wakatobi (Rp. 869.406) (Rp. 182.213) -21%

3 BPR Bahteramas Bombana (Rp. 816.738) Rp. 40.876 5%

4 BPR Bahteramas Konsel (Rp. 440.213) Rp. 71.759 16%

5 BPR Bahteramas Kendari (Rp. 467.184) (Rp. 560.643) -120%

6 BPR Bahteramas Konawe (Rp. 510.473) Rp. 203.039 39%

Sumber : Diolah dari www.ojk.go.id

Berdasarkan tabel tersebut menunjukan kinerja BPR Bahteramas

diawal beroperasi (2011) belum mendapatkan laba, dan di tahun kedua

(2012) mulai menunjukan perkembangan namun belum signifikan. Padahal

di tahun ketiga investasi (2013) Pemerintah daerah melakukan perubahan

pada modal dasar BPR/melakukan tambahan setoran modal, dari modal

dasar sebesar Rp. 10.000.000.000 menjadi Rp. 25.000.000.000,

(meningkat) 150%. Perubahan ini terbilang sangat signifikan, mengingat


6

Proporsi Saham Pemerintah Daerah dalam Perda Nomor 3 Tahun 2013

paling sedikit sebesar 55%, Pemerintah Kab/Kota sebesar 25% dan

Pemerintah desa sebesar 15%, serta Pihak lainnya maksimal 5%.

Menurut Jumingan (2011:68), Tambahan setoran modal yang

diberikan pemerintah akan menjadi tambahan modal kerja. Modal kerja

yang cukup akan lebih baik daripada modal kerja yang berlebihan, karena

hal itu dapat menunjukkan perusahaan tidak bisa menggunakan dana yang

ada dengan baik, sehingga dana tersebut menjadi tidak produktif. Hal

tersebut akan berdampak terhadap tingkat pengembalian modal perusahaan

atau profitabilitas. Begitu juga sebaliknya modal kerja yang kurang akan

menjadi penyebab kemunduran dan bahkan kegagalan suatu perusahaan

sehingga menurunkan tingkat profitabilitas perusahaan.

Tambahan setoran modal yang jumlahnya besar ini tentu saja berasal

dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Sulawesi

Tenggara. Jika disandingkan pertumbuhan laba dengan persentase

tambahan setoran modal akan menunjukkan gap yang sangat besar. Padahal

selain berinvestasi dalam sektor jasa keuangan, pemerintah daerah juga

dapat menempatkan dananya dalam berbagai sektor ekonomi produktif dan

beberapa instrumen keuangan mengingat keuntungan/laba yang diperoleh

oleh BPR Bahteramas akan masuk dalam Pendapatan Asli Daerah, dan

akan digunakan lagi untuk membiayai pembangunan di daerah.


7

Berdasarkan uraian tersebut, maka dilakukan penelitian tentang

“Pengaruh Tambahan Setoran Modal Terhadap Kinerja Profitabilitas

BPR Bahteramas di Provinsi Sulawesi Tenggara”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya,

rumusan masalah yang dapat dipaparkan yaitu ”Apakah Tambahan Setoran

Modal berpengaruh Terhadap Kinerja Profitabilitas BPR Bahteramas di

Provinsi Sulawesi Tenggara?”.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui Pengaruh Tambahan

Setoran Modal Terhadap Kinerja Profitabilitas BPR Bahteramas di Provinsi

Sulawesi Tenggara.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat Penelitian yang diharapkan dari penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai

Bank Perkreditan Rakyat, model usaha BPR dan kinerja profitabilitas

BPR Bahteramas Provinsi Sulawesi Tenggara.


8

2. Manfaat Praktis

a. Sebagai bahan masukan bagi Akademisi dan pihak-pihak lainnya

dalam melakukan penelitian selanjutnya yang lebih baik lagi

mengenai permodalan dan kinerja profitabilitas BPR.

b. Sebagai bahan rujukan dalam pengambilan keputusan Stakeholder

BPR Bahteramas Provinsi Sulawesi Tenggara.

3. Manfaat Bagi Peneliti

a. Dapat memberikan tambahan wawasan yang bermanfaat bagi

peneliti dalam sektor jasa keuangan khususnya mengenai BPR, tata

kelola BPR dan profitabilitas BPR

b. Membantu Peneliti dalam meningkatkan kemampuan analisis

laporan keuangan perbankan.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini membahas mengenai pengaruh

tambahan setoran modal terhadap kinerja profitibailitas BPR Bahteramas di

Provinsi Sulawesi Tenggara. Penelitian dilakukan pada BPR Bahteramas

dengan periode laporan keuangan 2013-2017.

Indikator Kinerja Profitabilitas menurut Peraturan Bank Indonesia

nomor 13/1/PBI/2011 tanggal 5 Januari 2011 tentang penilaian tingkat

kesehatan Bank Umum, adalah Return On Asset (ROA), dan Beban

Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO), sehingga dalam

penelitian ini akan menggunakan ROA dan BOPO sebagai Indikator

penelitian dalam aspek profitabilitas.

Anda mungkin juga menyukai