DAFTAR ISI
COVER
DAFTAR ISI ........................................................................................................ i
BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................. 1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 2
2.1. Anatomi Pleura.................................................................................. 3
2.2. Fisiologi Pleura ................................................................................. 4
2.3. Pneumothoraks .................................................................................. 5
2.3.1. Definisi ................................................................................... 5
2.3.2. Etiologi ................................................................................... 6
2.3.3. Patofisiologi ........................................................................... 6
2.3.4. Klasifikasi ............................................................................... 7
2.3.5. Gejala Klinis ......................................................................... 10
2.3.6. Diagnosa ............................................................................... 10
2.3.7. Penatalaksanaan .................................................................... 17
BAB 3 STATUS PASIEN ................................................................................ 21
BAB 4 FOLLOW UP RUANGAN .................................................................. 26
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 27
2
BAB 1
PENDAHULUAN
Paru merupakan salah satu organ terpenting dalam tubuh kita. Paru berfungsi
sebagai alat pernafasan dimana paru merupakan tempat terjadinya pertukaran antara
gas O2 dengan gas CO2. Banyak permasalahan yang bisa terjadi pada paru yang dapat
mengakibatkan gangguan terhadap sistem pernafasan, salah satunya yaitu
pneumotoraks dan hematothoraks.
Trauma membunuh sekitar 150.000 orang setiap tahun dan merupakan
masalah kesehatan masyarakat utama. Menurut data terbaru, lebih dari 10% trauma
dan kecelakaan berakhir pada hasil yang mematikan atau tingkat berat
ketidakmampuan fisik. Trauma toraks melingkupi seperempat dari kematian, dan dua-
pertiga dari kematian ini terjadi setelah pasien mencapai rumah sakit. Salah satu jenis
trauma thoraks yang mengancam jiwa adalah pneumothoraks.1
Pneumotoraks didefinisikan sebagai adanya udara dalam rongga pleura.
Meskipun tekanan intrapleural negatif di sebagian besar siklus pernapasan, udara
tidak masuk ke dalam rongga pleura karena jumlah dari semua tekanan parsial gas
dalam rata-rata darah kapiler hanya 93,9 kPa (706 mmHg). Oleh karena itu, jika udara
hadir dalam ruang pleura, salah satu dari tiga peristiwa harus terjadi yaitu komunikasi
antara ruang alveolar dan pleura, komunikasi langsung atau tidak langsung antara
atmosfer dan ruang pleura atau adanya organisme yang memproduksi gas dalam
rongga pleura2.
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Rongga pleura terisi sejumlah tertentu cairan yang memisahkan kedua pleura
tersebut sehingga memungkinkan pergerakan kedua pleura tanpa hambatan selama
4
proses respirasi. Cairan pleura berasal dari pembuluh-pembuluh kapiler pleura, ruang
interstitial paru, kelenjar getah bening intratoraks, pembuluh darah intratoraks dan
rongga peritoneum. Jumlah cairan pleura dipengaruhi oleh perbedaan tekanan antara
pembuluh-pembuluh kapiler pleura dengan rongga pleura sesuai hukum Starling serta
kemampuan eliminasi cairan oleh sistem penyaliran limfatik pleura parietal. Tekanan
pleura merupakan cermin tekanan di dalam rongga toraks4.
tekanan luar jaringan paru (tekanan pleura) yang melingkupi dan menekan saluran
napas. Perbedaan antara kedua tekanan (tekanan jalan napas dikurangi tekanan pleura)
disebut tekanan transpulmoner. Tekanan transpulmoner memengaruhi pengembangan
paru sehingga memengaruhi jumlah udara paru saat respirasi5.
2.3. Pneumothoraks
2.3.1. Definisi
Pneumotoraks adalah kumpulan dari udara atau gas dalam rongga pleura
antara paru-paru dan dinding dada.6 Hal ini dapat terjadi secara spontan pada orang
tanpa kondisi paru-paru kronis (primer) serta pada mereka dengan penyakit paru-paru
(sekunder), dan banyak pneumothoraks terjadi setelah trauma fisik dada, cedera
ledakan, atau sebagai komplikasi dari perawatan medis.7
2.3.2. Etiologi
1. Tension Pneumothoraks
Penyebab tersering tension pneumotoraks adalah komplikasi penggunaan
ventilator dengan ventilasi tekanan positif pada penderita yang memiliki
kerusakan pada pleura visceral. Tension Pneumothoraks juga dapat timbul
sebagai komplikasi dari pneumotoraks sederhana akibat dari cedera thoraks
tembus atau tajam dengan perlukaan parenkim paru yang tidak menutup.
Kadangkala defek atau perlukaan pada dinding dada juga dapat menyebabkan
tension pneumotoraks. Tension Pneumothoraks juga dapat terjadi pada fraktur
tulang belakang thorax yang mengalami pergeseran.8
2. Pneumothoraks Terbuka
Defek atau luka yang besar pada dinding dada menyebabkan pneumothoraks
terbuka. Tekanan didalam rongga pleura akan segera menjadi sama dengan
tekanan atmosfir. Jika luka pada dinding dada lebih besar dari 2/3 diameter
trakea maka udara akan cenderung mengalir melalui luka karena mempunyai
tahanan yang kurang atau lebih kecil dibandingkan trakea. Akibatnya ventilasi
terganggu sehingga menyebabkan hipoksia atau hiperkapnia9.
6
2.3.3. Patofisiologi
Pada orang normal, tekanan di rongga pleura adalah negatif sehubungan
dengan tekanan alveolar selama siklus pernapasan. Seluruh tekanan gradien antara
alveoli dan ruang pleura atau disebut tekanan transpulmonary adalah hasil dari
elastisitas yang melekat dari paru-paru. Selama pernapasan spontan tekanan pleura
juga negatif terhadap tekanan atmosfer. Ketika terjadi komunikasi antara alveolus
atau rongga udara lain yang ada didalam paru dengan rongga pleura, maka udara akan
mengalir dari alveolus ke dalam rongga pleura sampai tidak ada lagi perbedaan
tekanan diantara keduanya9.
1. Tension Pneumothoraks
Tension pneumothoraks terjadi ketika terdapat gangguan yang melibatkan
pleura visceral, pleura parietal, atau cabang trakeobronkial. Gangguan terjadi
ketika terbentuknya sistem aliran katup satu arah, sehingga memungkinkan
aliran udara ke dalam rongga pleura, namun udara tidak bisa mengalir kembali
keluar. Volume udara yang nonabsorbable ini terus meningkat di rongga
pleura pada saat inspirasi. Akibatnya, tekanan meningkat dalam hemithoraks
yang terkena dampak, sehingga paru ipsilateral kolaps dan menyebabkan
hipoksia. Tekanan lebih lanjut menyebabkan pergeseran mediastinum ke sisi
kontralateral dan terus menekan paru-paru kontralateral dan pembuluh darah
yang memasuki atrium kanan jantung. Hal ini menyebabkan memburuknya
hipoksia dan aliran darah balik vena9.
Para peneliti masih memperdebatkan mekanisme yang tepat dari kolapsnya
sistem kardiovaskular, tetapi secara umum kondisi tersebut dapat berkembang
dari kombinasi efek mekanik dan hipoksia. Efek mekanik bermanifestasi
sebagai kompresi pada vena cava superior dan inferior karena pendorongan
mediastinum dan tekanan intrathoraks meningkat. Hipoksia menyebabkan
peningkatan resistensi pembuluh darah paru melalui vasokonstriksi. Jika tidak
diobati akan menyebabkan hipoksemia, asidosis metabolik, dan penurunan
cardiac output yang dapat menyebabkan serangan jantung dan kematian1.
2. Traumatic Pneumothoraks
Sebuah traumatik pneumothoraks dapat terjadi oleh karena adanya penetrasi
ke rongga dada ataupun adanya trauma dada non penetrating. Dengan
terjadinya trauma tembus pada dada, luka memungkinkan udara masuk ke
rongga pleura langsung melalui dinding dada atau melalui pleura visceral dari
7
2.4.4. Klasifikasi
Berdasarkan Penyebab
Pneumothoraks Spontan
o Primer (tidak diketahui dengan pasti penyebabnya)
Pneumothoraks spontan primer diperkirakan terjadi karena ruptur dari
bleb emfisematous di subpleura, yang biasanya terletak pada apeks paru-
paru. Bleb dapat ditemukan pada lebih dari 75% pasien yang menjalani
thorakoskopi sebagai terapi dari pneumotoraks spontan primer.
Patogenensis terjadinya bleb subpelural ini masih belum jelas. Bleb-bleb
seperti ini dihubungkan dengan abnormalitas congenital, inflamasi dari
bronkiolus, dan gangguan pada ventilasi kolateral. Angka kejadian
pneumothoraks spontan berhubungan dengan tingkat merokok
seseorang. Sangat mungkin bahwa penyakit yang diinduksi oleh
merokok pada saluran napas kecil berkontribusi terhadap terbentuknya
bleb subpleural. Pasien dengan pneumotoraks primer spontan biasanya
memiliki profil tubuh yang lebih tinggi dan kurus. Selain itu, terdapat
suatu kecenderungan berkembangnya pneumothoraks primer spontan
karena faktor herediter.10
o Sekunder (latar belakang penyakit paru)
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) adalah penyebab tersering pada
pasien dengan pneumothoraks spontan sekunder, walau sebenarnya
hampir semua penyakit paru-paru telah diasosiasikan dengan
pneumothoraks spontan sekunder. Pada suatu penelitian dengan 505
pasien dengan pneumothoraks spontan sekunder, 348 pasien memiliki
PPOK, 93 memilki tumor, 25 sakoidosis, 9 tuberkulosis, 16 memiliki
8
infeksi paru lainnya, dan 13 memiliki penyakit lain. Pada pasien dengan
PPOK, insidensi terjadinya pneumothoraks spontan sekunder meningkat
dengan progresifitas keparahan PPOK. Salah satu penyebab tersering
dari pneumothoraks spontan sekunder adalah infeksi Pneumocystis
jirovecii pada pasien dengan acquired immunodeficiency syndrome
(AIDS). Selain itu, terdajat insidensi tinggi pneumothoraks spontan pada
pasien dengan kistik fibrosis10.
Pneumothoraks Traumatik
Pneumothoraks traumatik adalah pneumotorhaks yang terjadi akibat suatu
trauma, baik trauma penetrasi maupun bukan yang menyebabkan robeknya
pleura, dinding dada maupun paru10.
Iatrogenik (akibat tindakan medis)
Aksidental (terjadi karena kesalahan/komplikasi tindakan) terjadi pada
tindakan parasentesis dada, biopsi pleura, biopsi transbronkial,
biopsi/aspirasi paru perkutaneus, kanulasi vena sentralis, barotrauma
(ventilasi mekanik) 10.
Bukan iatrogenik (akibat jejas kecelakaan)
Insidensi terjadinya pneumothoraks setelah adanya jejas tumpul
tergantung dari derajat keparahan trauma. Pneumothoraks traumatik
dapat terjadi karena trauma dada penetrasi maupun tidak penetrasi. Pada
trauma dada penetrasi, mekanisme pneumothoraks dapat dengan mudah
dimengerti karena luka terbuka menyebabkan udara masuk ke dalam
rongga pleura melalui rongga dada atau melalui pleura viseralis dari
pohon trakeobronkial. Pada trauma dada tanpa penetrasi, suatu
pneumothoraks dapat terjadi apabila pleura viseralis mengalami laserasi
secara sekunder karena adanya fraktur atau dislokasi iga. Walaupun
demikian, pada mayoritas pasien dengan pneumothoraks sekunder akibat
trauma tumpul tidak terdapat asosiasi dengat fraktur iga. Pada kasus
seperti itu, dipikirkan bahwa kompresi dada tiba-tiba, secara mendadak
meningkatkan tekanan alveolar, yang dapat menyebabkan ruptur
alveolar. Apabila sudah terjadi rupture alveolar, udara dapat memasuki
ruang interstitial dan berjalan ke pleura viseralis atau mediastinum.
9
2.3.6. Diagnosis
Diagnosis klinis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang :
a. Anamnesis15
- Pneumothoraks spontan biasanya muncul saat istirahat.
- Tanyakan dan periksa faktor resiko: perokok, usia 18-40 tahun, bertubuh
tinggi dan kurus, atau kehamilan.
- Riwayat penyakit paru, baik akut maupun kronis. Tanyakan juga mengenai
trauma, jenis trauma, mekanisme, waktu terjadi, dan sebagainya.
- Tanyakan riwayat pneumothoraks sebelumnya untuk kemungkinan
rekurensi.
- Eksplorasi gejala dan tanda dari manifestasi klinis pneumohtoraks.
b. Pemeriksaan Fisik16
- Pasien tampak sesak ringan-berat tergantung kecepatan udara yang masuk.
Penderita bernapas tersengal, pendek-pendek dengan mulut terbuka.
- Sesak napas dengan/ tanpa sianosis
- Penderita tampak sakit ringan-berat. Badan tampak lemah dan dapat
disertai syok. Bila pneumothoraks baru terjadi penderita berkeringat
dingin.
11
c. Pemeriksaan Penunjang16,17
Foto Thoraks
Bagian pneumotoraks akan tampak hitam, rata dan paru yang kolaps akan
tampak garis yang merupakan tepi paru. Kadang-kadang paru yang kolaps
tidak membentuk garis, akan tetapi berbentuk lobuler yang sesuai dengan
lobus paru. Adakala rongga ini sangat sempit sehingga hampir tidak
tampak, sehingga perlu diamati dengan teliti.
12
misalnya metode Rhea, Colklins, indeks Light atau perkiraan luas sesuai
panduan British Thoracic Society (BTS) atau American College of Chest
Physicians (ACCP).
BTS dan ACCP membagi pneumothoraks menjadi pneumotoraks kecil
(small) dan luas (large). Pengukuran pneumotoraks menurut ACCP
dilakukan dengan mengukur jarak dari apeks paru hingga puncak parietal
kubah (cupola) rongga ipsilateral (a pada gambar) yang ditentukan
berdasarkan foto toraks posisi berdiri. Pneumotoraks luas (large) bila
didapatkan jarak a≥3cm, sedangkan pneumotoraks kecil (small) bila jarak a
<3cm. Kelemahan metode ini adalah cenderung overestimasi bila terdapat
pneumotoraks local di apeks paru.
Ultrasonografi paru19,20
Pemeriksaan ultrasonografi pleura dilakukan menggunakan probe
frekuensi tinggi (5-7.5 MHz). Pemeriksaan dilakukan pada regio intrakosta
kedua sampai kelima pada bagian anterior dan lateral dada dengan penanda
garis parasternal, midclavicular, dan midaksila. Probe digerakkan secara
longitudinal dan transversal untuk memvisualisasikan permukaan paru.
Ultrasonografi dapat mendeteksi pneumotoraks dengan sensitivitas
98,1% dan spesifisitas 99,2%. Pergerakan jaringan paru (ocean) dengan
dinding dada yang statis (shore) disebut dengan seashore. Pada paru
normal, terdapat adanya pergerakan antara pleura visceral dan parietal yang
disebut sebagai lung sliding. Apabila terdapat udara pada intrapleural, adesi
pleura, efusi, dan gangguan parenkim, pneumotoraks dapat terjadi sehingga
lung sliding akan menghilang.
Pemeriksaan ultrasonografi paru normal
o Lung sliding: digambarkan sebagai garis hyperechoic yang bergerak
selama pernafasan yang menggambarkan pergerakan kedua lapisan
pleura.
o Seashore sign: merupakan tanda dinamis dari paru normal. Digambarkan
sebagai garis-garis parallel yang merepresentasikan dinding toraks
diatas garis pleura dan pola granular yang merupakan gambaran
dibawah garis pleura yang menggambarkan parenkim paru normal.
15
Tanda patologis
o “B” line: muncul minimal 3 buah, berupa garis hyperechoic vertikal.
Jumlah dari B line yang muncul tergantung pada derajat hilangnya
aerasi paru dan intensitas B line meningkat dengan pergerakan
ispirasi. Adanya B line menyingkirkan dugaan pneumothorax. B
line dapat muncul tunggal ataupun multipel, terlokalisasi atau
menyebar pada seluruh dinding dada anterior.
o Lung point: merupakan tanda spesifik untuk diagnosis
pneumotoraks. Lung point merupakan transisi antara tanda
pneumothorax (hilangnya lung sliding dan A line) dengan tanda
paru normal (adanya lung sliding). Pada kondisi pneumothorax,
terjadi hilangnya pergerakan 2 lapisan pleura karena adanya udara
pada rongga pleura.
16
CT-Scan Thorax
Dengan pemeriksaan radiologi ini akan lebih spesifik dalam membedakan
antara emfisema bulosa dengan pneumothoraks, batas antara udara dengan
cairan intra dan ekstrapulmoner dan untuk membedakan antara
pneumothoraks spontan dan primer.17
2.3.7. Penatalaksanaan
1. Tension Pneumothoraks
Tension Pneumothoraks membutuhkan dekompresi segera dan
penanggulangan awal dengan cepat berupa insersi jarum yang berukuran besar
(14-16 G) pada sela iga 2 garis midklavikula pada hemithoraks yang terkena.
Tindakan ini akan mengubah tension pneumothoraks menjadi pneumothoraks
sederhana. Evaluasi ulang selalu diperlukan. Terapi definitif selalu dibutuhkan
dengan pemasangan selang dada pada sela iga ke 5 di anterior garis
midaxilaris9.
2. Pneumotoraks spontan18
Pasien dengan pneumotoraks spontan primer yang kecil dan tanpa keluhan
dapat ditangani cukup dengan observasi dan suplementasi oksigen. Apabila
fistula yang menghubungkan alveoli dan rongga pleura telah menutup, maka
udara yang berada didalam rongga pleura tersebut akan direabsorbsi. Laju
reasorbsi tersebut akan meningkat apabila diberikan tambahan O2. Observasi
dilakukan dalam beberapa hari dengan foto toraks serial tiap 12-24 jam
pertama selama 2 hari.
Tindakan aktif seringkali diperlukan untuk pasien dengan pneumotoraks
spontan yang luas dan dengan keluhan sesuai kriteria BTS atau apabila dari
index Light didapatkan luas pneumotoraks ≥ 15% atau 20%. Studi lain
menyebutkan tindakan diperlukan untuk kasus pneumotoraks dengan luas
>30% untuk PSP dan 20% untuk SSP berdasarkan metode Rhea.
Tatalaksana awal yang paling disarankan untuk mayoritas pasien dengan PSP
luas adalah aspirasi manual. Dengan prosedur ini, jarum 14-16 G dengan
kateter polyethylene internal ditusukkan pada sela antar iga kedua sejajar garis
midklavikula setelah pemberian anestesi lokal. Kemudian, jarum dihubungkan
dengan three-way dan spuit 60 ml yang dilanjutkan dengan aspirasi manual
hingga tidak ada udara yang keluar atau terasa tahanan. Observasi selama 4
jam dilanjutkan dengan foto toraks.
Pneumotoraks spontan sekunder selalu disertai dengan penyakit paru yang
mendasari sehingga adanya kebocoran udara yang terbentuk sulit untuk
menutup secara spontan dan membutuhkan intervensi aktif. Selain itu,
pneumotoraks berulang pada pasien dengan penyakit paru dapat bersifat
mengancam jiwa sehingga tatalaksana kasus pneumotoraks spontan sekunder
18
tidak cukup hanya mengeluarkan udara dari rongga pleura tetapi juga
mengatasi penyakit dasarnya. Keberhasilan aspirasi manual pada
pneumotoraks spontan sekunder masih diragukan.
3. Pneumothoraks Terbuka
Penilaian dan tatalaksan awal pasien dengan trauma toraks terdiri dari primary
survey, resusitasi fungsi vital, secondary survey yang teliti dan penanganan
definitif. Mengingat hipoksia adalah manifestasi paling serius pada trauma
toraks maka intervensi awal ditujukan untuk mencegah atau memperbaiki
hipoksia. Secondary survey dilakukan berdasarkan anamnesis trauma dan
kecurigaan tinggi akan adanya trauma yang spesifik. Primary survey pada
pasien trauma toraks dimulai dari saluran pernafasan. Permasalahan utama
harus segera diatasi saat teridentifikasi12.
Pada trauma dada ada 3 faktor penyebab yang menyebabkan nyawa korban
terancam yaitu, perdarahan, penurunan cardiac output, dan distress
pernapasan. Pada perdarahan sangat sulit untuk diidentifikasi, akibat trauma
tumpul atau trauma tajam yang mengenai pembuluh darah pada rongga toraks.
Penurunan cardiac output mungkin diakibatkan penekananan yang disebabkan
oleh udara yang menumpuk pada rongga pleura dan mendesak mediastinum
sehingga menekan dari cabang vena cava, penurunan dari aliran darah balik
vena sehingga cardiac output menurun. Distress respirasi disebabkan oleh
desakan dari penumpukan udara pada rongga pleura sehingga paru-paru yang
terdesak akan menjadi kolaps. Pada penderita dengan dengan trauma dada,
fokus utama yang kita perhatikan pada breathing, gejala harus dapat ditangani
pada awal penilaian13.
Bantuan hidup dasar yang diberikan, pertama, melihat lapang tidaknya jalan
napas (airway), dengan melakukan manuver head tilt, chin lift, dan jaw thrus
jika korban dicurigai mengalami cedera cervical. Disini dilihat apakah ada
sumbatan jalan napas, yang diakibatkan oleh trauma, dilihat pergerakan napas
korban ada atau tidak, terdapat sumbatan atau tidak dari jalan napas korban
seperti benda asing atau cairan, sehingga sumbatan jalan napas dari benda
asing dapat dihilangkan. Setelah itu kita berlanjut pada breathing, disini kita
evaluasi dari pergerakan dada korban apakah simetris atau tidak, kita lihat
juga distensi dari pembuluh darah vena pada leher, luka yang terbuka,
penderita biasanya akan terlihat gelisah akibat kesulitan bernapas. Pemberian
19
oksigen terapi sangat diperlukan pada keadaan ini, karena pemberian terapi
oksigen 100% dapat meningkatkan absropsi udara pada pleura, oksigen terapi
100% diberikan untuk menurunkan tekanan alveolar terhadap nitrogen,
sehingga nitrogen dapat dikeluarkan dan oksigen dapat masuk melalui sistem
vaskular, terjadi perbedaan tekanan antara pembuluh kapiler jaringan dengan
udara pada rongga pleura, sehingga terjadi peningkatan absorpsi dari udara
pada rongga pleura13.
Pada pneumothoraks terbuka, terdapat luka yang menganga pada dinding dada
dan udara masuk melalui perlukaan tersebut. Penanganan awal yang dapat
dilakukan ialah penutupan luka terbuka tersebut dengan lapisan penutup steril
yang cukup lebar menutupi tepi defek dan diplester pada tiga sisi membentuk
efek flutter-type valve. Saat inspirasi, kassa akan menutup defek dan
mencegah udara luar masuk, sedangkan saat ekspirasi bagian terbuka kassa
akan membuka sehingga udara keluar dari rongga pleura. Karena jika kita
tutup pada ke empat sisinya, pneumothoraks terbuka ini akan berubah menjadi
pneumothoraks terdesak/tension pneumothorax, akibat udara yang masuk
tidak dapat keluar, dan terperangkap di rongga pleura13.
Tata laksana berikutnya adalah pemasangan pipa torakostomi digunakan pada
pneumothoraks dengan gejala klinis sulit bernapas yang sangat berat, nyeri
dada, dan hipoksia. Pada penggunaannya pipa torakostomi disambungkan
dengan alat yang disebut WSD (water seal drainage). WSD mempunyai 2
komponen dasar yaitu, ruang water seal yang berfungsi sebagai katup satu
arah berisi pipa yang ditenggelamkan dibawah air, untuk mencegah air masuk
kedalam pipa pada tekanan negatif rongga pleura. dan ruang pengendali
suction. WSD dilepaskan bila paru-paru sudah mengembang maksimal dan
kebocoran udara sudah tidak ada. Pemasangan WSD ialah tidak berdekatan
dengan lokasi defek. Lokasi ideal pemasangan WSD adalah setingkat puting
payudara, yakni sela iga V sebelah anterior pada linea midaksilaris
ipsilateral11.
Pada sirkulasi (circulation) kita menilainya dengan meraba denyut nadi, untuk
mengevaluasi kemungkinan tanda-tanda syok pada korban (denyut nadi cepat
dan lemah, akral dingin, laju pernafasan,dll) jika denyut nadi tidak teraba
langsung berikan kompresi sebanyak 30 kali dengan memberikan 2 kali napas
bantuan13.
20
Pemberian terapi cairan secara intravena dilakukan untuk resusitasi awal pada
penderita pneumotoraks dengan keadaan syok, dengan pemasangan kateter
intravena ukuran besar (minimum 16 gauge) dengan pemberian larutan
elektrolit isotonik, untuk menstabilkan volume vasukuler dengan mengganti
cairan pada ruang interstisial dan intraseluler13.
21
BAB 3
STATUS PASIEN
Identitas Pasien
No Rekam Medis : 027208
Nama Pasien : Tn. AN
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia Pasien : 33 tahun
Status : Menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
Primary Survey
KU : nyeri dada
A : paten
B : spontan, simetris, tachypnea,
RR 26x/m, SpO2 93%,
C : nadi 95x/m, reguler isi kuat, kulit normal, akral hangat
D : GCS E4M6V5
Secondary Survey
Masuk Rumah Sakit :
Kamis, 06 Oktober 2017, pukul 07.35 WITA
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Sakit Sedang
Kesadaran : Compos mentis
GCS : E4M6V5
Tanda vital:
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 60 x/menit; reguler, kuat angkat, isi cukup
Pernafasan : 28 x/menit
Suhu Badan : 36 oC
Saturasi O2 : 97%
Auskultasi
S1(N) S2(N) normal reguler Murmur (-) Gallop (-)
Vesikuler di hemitorax kanan, vesikuler melemah di hemitorax
kiri , Rh -/- Wh -/-
Abdomen
Inspeksi : Permukaan datar, simetris.
Auskultas : Bising usus ( + )
Perkusi : Timpani pada seluruh lapang abdomnen.
Palpasi : Hepar, lien, dan ginjal tidak teraba adanya
pembesaran. Nyeri tekan epigastrium (-)
Ekstremitas :
Akral Hangat, CRT <2”, edema ekstremitas bawah (-/ -)
Resume:
Pasien datang ke IGD RSHL Manambai dengan keluhan nyeri dada
sebelah kiri sejak 30 menit sebelum masuk RS. Nyeri dada dialami setelah
menabrak kerbau dan dada kiri pasien terkena stang motor. Sesak (+), nyeri
kepala (-), pingsan (-), mual (-), muntah (-).
TD 110/70, nadi 60/m, RR 28/m, suhu 36 SpO2 97%.
24
Pemeriksaan Penunjang:
- Lab
- Foto Rontgen Thorax
- EKG
- USG
Laboratorium IGD
GINJAL
Ureum 45 mg/dL <50 mg/dL
Kreatinin 1.3 mg/dL 0,50–0,90 mg/dL
ELEKTROLIT
Natrium (Na) 138.57mEq/L 135–155 mEq/L
Kalium (K) 4.31 mEq/L 3,6–5,5 mEq/L
Klorida (Cl) 104.70 mEq/L 96–106 mEq/L
METABOLISME KARBOHIDRAT
Glukosa Darah (Sewaktu) 138 mg/dL <200 mg/dL
25
Corakan bronkovaskular prominen pada lapangan paru kiri. Tidak tampak gambaran
pneumothorax. Cor ukuran dalam batas normal. Kedua sinus dan diafragma baik.
Gambaran fraktur pada costa III kiri lateral. Densitas lusen pada soft tissue bahu kiri.
Kesan: Gambaran kontusio paru kiri dengan fraktur costa III kiri lateral. Emfisema
subkutis regio shoulder kiri.
26
USG:
Diagnosa Kerja :
Emfisema subkutis + Pneumotorax spontan primer o/t left lung
Terapi :
- O2 nasal canul 4 lpm
- Infus RL 20 gtt/m
- Injeksi Ketorolac amp 30 mg/prn/IV
- Injeksi ondansentron amp
Prognosis :
- Ad vitam : Dubia ad bonam
- Ad fungsionam : Dubia ad bonam
- Ad sanationam : Dubia ad bonam
27
3.1.5. Follow Up
6-9 Oktober 2017
S Nyeri dada kanan (+) sesak napas (+)
O Hemodinamik Stabil
Thorax :
I: Asimetris, ketinggalan gerak pada hemitorax kiri
P: Nyeri tekan (+) hemithorax (S), teraba krepitasi pada ICS III,
teraba emfisema subkutis
P: Hemithorax dextra sonor, Hemithorax sinistra redup
A: hemithorax dextra vesikuler, hemithorax sinistra vesikuler
menurun, Rh(-/-), Wh (-/-)
A Fr costae III lateral (S) + Contusio Pulmonum
P IVFD RL 20gtt/I
IVFD petidine : ketorolac (100:60) / 24 jam
Inj Ceftriaxone 2gr
Inj.Omeprazole 40mg/24 jam
10 Oktober 2017
S Sesak (-), nyeri dada (-)
O Hemodinamik stabil
A Fr costae III lateral (S) + Contusio Pulmonum
P Cefixime Tab 2x1
As Mefenamat Tab 3x1
28
DAFTAR PUSTAKA
14. Fishman, A.P., et al., 2008. Fishman’s Pulmonary Diseases and Disorders. Edisi
4, Philadelphia: McGraw-Hill.
15. Tanto, C. et al. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
16. Alsagaff, H dan Isnu Pradjoko, 2010. Pneumotoraks Dalam: Alsagaff, H dan
Abdul Mukty, 2010. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga
University Press.
17. Malueka, Rusdy, dan Ghazali, 2007. Radiologi Diagnostik. Yogyakarta: Pustaka
Cendekia Press
18. Syafa’ah, Irmi. 2017. Pneumotoraks Spontan: Aspirasi Jarum vs Drainase Kateter
Toraks. FK Unair: Surabaya.
19. Stefanidis, K. 2011. Lung Sonography in the Diagnosis of Pneumothorax.
European Society of Radiology.
20. Tintinalli, J. E. 2016. Tintinalli’s Emergency Medicine. Edisi 8, New York:
McGraw-Hill.