Anda di halaman 1dari 7

LUDWIG WITTGENSTEIN

Oleh : Ryan Putra Langgeng Asmoro


IAIN Surakarta : Aqidah dan Filsafat Islam
A. Biografi Ludwig Wittgenstein
Ludwig Josef Johann Witrgenstein lahir di Vienna pada tanggal 26 April 1988.
Witrgenstein merupakan anak termurah dari delapan bersaudara (lima laki-laki dan tiga
perempuan).1 Ayahnya berasal dari famili Yahudi yang telah memeluk agama Kristen
Protestan dan ibunya beragama Katolik. Ayahnya adalah seorang insinyur yang dalam
jangka waktu sepuluh tahun sudah menjadi pempinan suatu industri baja yang besar.2
Pada tahun 1906 Wittgenstein mulai belajar di suatu Sekolah Tinggi Teknik di
Berlin. Pada tahun 1908 ia melanjutkan studi teknik di Manchester (Inggris). Disana ia
mengadakan riset dalam bidang pesawat terbang, khususnya mesin jet dan baling-
baling. Karena untuk teknik baling-baling perlu banyak pengetahuan tentang
matematika, perhatiannya semakin tertarik oleh matematika dan filsafat matematika.3
Sekitar tahun 1912 ia ke Cambridge, untuk studi pada Russell dalam filsafat
ilmu pasti dan logika. Pada permulaan perang (1914) ia menjadi tentara Austria, tapi
selam perang itu ia sempat menyelesaikan bukunya Tractatus Logico-Pholosophicus.4
Yang diselesaikan pada tahun 1918. Ketika pada tahun yang sama ia dijadikan tahan
perang oleh tentara Italia, naskah bukunya terdapat dalam ranselnya. Masih dalam tahan
ia dapat mengirimkan sebuah kopi naskah ke Russell dan Greget. Dengan perantara
Russell ia dibebaskan pada tahun 1918.5
Sejak tahun 1920 ia menjadi guru di Austria Samapi tahun 1926 lalu menjadi
arsitek selama dua tahun. Pada tahun 1929 ia kembali ke Cambridge dan menjadi dosen
di Cambridge.6 Berdasarkan bukunya Tractatus ia digelari doktor filsafat.7 Setelah itu
ia tidak menerbitkan buku lagi kecuali kalah untuk kuliah.8 Tahun 1947-1951 ia hidup
di Irlandia, dalam suasana agak depresi. Beberapa karyanya diterbitkan oleh pengikut-
pengikutnyasesudahbia meninggal.9

B. Tractatus Logico-Philosophicus : Wittgenstein I

1
Lihat Norman Malcoml, LUDWIG WITTGENSTEIN A MEMOIR, (OXFORD :CLARENDON PRESS,2001) ,
hlm. 4 (Online)
https://books.google.co.id/books?hl=en&lr=&id=JfnyUT7Oo_wC&oi=fnd&pg=PP9&dq=Ludwig+Wittgenstein
&ots=g_Y8cAGnJh&sig=o5uIQge2bF5tfiITTUoopNDUFOE&redir_esc=y#v=onepage&q=Ludwig%20Wittge
nstein&f=false
2
K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Inggris-Jerman, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 1990, Cet. 4),
hlm 39
3
Ibid., hlm. 41
4
Anton Bakker, METODE-METODE FILSAFAT, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1984), hlm. 121
5
K. Bertens, op.cit., hlm. 41
6
Anton Bakker, op.cit., hlm. 121
7
K. Bertens, op.cit., hlm. 41
8
Ibid., hlm. 43
9
Nuchelmans dalam Anton Bakker, op.cit., hlm. 122
Tractatus Logico-Philosophicus merupakan sebuah karya filsafat yang dirumuskan
secara padat, dan disusun berdasarkan berbagai dalil. Ada tujuh dalil utama yang masing-
masing dibagi dalam pecahan desimal, kecuali dalil ketujuh sebagai penutup.10 Kendatipun
untuk ukuran suatu karya filsafat, Tractatus bukanlah sebuah karya tulis yang panjang,
namun isinya memuat dasar-dasar pemikiran dari pengarangnya. 11 Tractatus diterbitkan
tahun 1912 dalam bahasa Jerman; dan tahun 1922 dalam bahasa Inggris.12 Analisa bahasa
telah mendapat tempat di gelanggang filsafat, terutama di Inggris. Nama besar Wittgenstein
mulai dikenal orang sebagai salah satu tokoh utama “Atomisme Logik” 13 dismping
Russel.14

Dalam bukunya Tractatus atau lebih dikenal sebagai Wittgenstein I membahas


tentang konsep atomisme logik, bahasa logika, teori gambar, konsep nyata dan konsep
formal, serta batas filsafat.

Dalam pengantar Tractatus, Wittgenstein menyoroti persoalan besar kekacauan


bahasa sebagai penyebab sulitnya memahami persoalan-persoalan yang disajikan filsafat.
Kekacauan bahasa itu disebabkan oleh kesalah pahaman dalam penggunaan bahasa logika,
yang mengakibatkan tidak adanya “tolok ukur” yang dapat menentukan apakah suatu
ungkapan filsafat itu bermakna dan kosong belaka.15 Oleh karena itu agar terhindar dari
persoalan semacam itu, maka sangat perlu disusun suatu kerangka ideal bagi filsafat.
Munculnya pemikiran seperti ini, adalah sebagai akibat dari ketidak percayaan
Wittgenstein terhadap penggunaan bahasa sehari-hari bagi filsafat.16 Disini Wittgenstein
menganggap bahwa bahasa filsafat adalah bahasa logika bukan bahasa sehari-hari.

Dalam suatu pandangannya yang jenius, menurut Wittgenstein bahwa bahasa logika
yang sempurna adalah menggandung aturan-aturan tata kalimat (sintaksis) tertentu,
sehingga dengan begitu ia mampu mencegah ungkapan-ungkapan yang tidak bermakna,
dan mempunyai simbol tunggal yang selalu bermakna unik dan terbatas keberadaannya.17

Menurutnya, proposisi dan persoalan utama yang terdapat dalam filsafat terdahulu
itu bukannya salah, melainkan tidak dapat dipahami. Hal ini karena mereka tidak mengerti
bahasa logika. Kita tidak dapat memikirkan sesuatu yang tidak logis, karena hal itu akan
membuat kita berpikir tidak logis pula.18 Salah satu fungsi filsafat adalah menunjukkan

10
Rizal Mustansyir, FILSAFAT ANALITIK, (Jakarta Utara : PTRajaGrafindo Persada, 1995, Cet. 2), hlm. 51
11
Ibid.
12
Anton Bakker, op.cit., hlm. 121
13
Atomisme logik ini adalah suatu faham atau ajaran yang berpandangan bahwa bahasa itu dapat dipecah
menjadi proposisi-proposisi atomik atau proposisi-proposisi elementer, melalui teknik analisa logik atau analisa
bahasa. Setiap proposisi atomik atau proposisi elementer itu tadi mengacu pada atau mengungkapkan
kepribadian suatu fakta atomik, yaitu bagian terkecil dari realitas. (Ibid., Hlm. 38)
14
Rizal Mustansyir, op.cit., hlm. 51-52
15
Muhammad Khoyin, Filsafat Bahasa, (Jawa Barat : CV Pustaka Setia, 2013), hlm 79
16
Asep Ahmad Hidayat, FILSAAT BAHASA Mengungkap Hakikat Bahasa, Tanda, dan Makna, (Bandung : PT
Remaja Rossa karya Offset, 2009, Cet. 2), hlm. 54
17
Asep Ahmad Hidayat, op.cit., hlm. 55
18
Ibid. 55
sesuatu yang tidak dapat dikatakan (atau difikirkan) dengan menghadirkan secara jelas
sesuatu yang dapat dikatakan.19

Sebagaimana halnya dengan Russel, Wittgenstein juga bertitik-tolak pada bahasa


logika untuk merumuskan persoalan filsafat. 20 Salah satu unsur penting sekali dalam
uraiannya adalah apa yang disebut picture theory atau “teori gambar” yang dapat dianggap
sebagai teori makna. Sebagaimana tersirat dalam buku ini, Wittgenstein berpendapat bahwa
bahasa menggambarkan realita dan makna itu tidak lain daripada menggambarkan suatu
keadaan faktual dalam realitas melalui bahasa. 21 Teori gambar yang dikembangkan
Wittgenstein ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan teori isomorfi (kesepadanan)
Russel.22

G.H. Von Wrige salah satu sahabat Wittgenstein menjelaskan, fungsi teori gambar
terletak pada kesesuaian antara unsur-unsur gambar dengan suatu dalam realitas. Hal itulah
yang sangat ditekankan oleh Wittgenstein, sehingga kita dapat saja membalik arti
kiasannya (analogi) dengan mengatakan bahwa proposisi itu berfungsi seperti sebuah
gambar karena ada hubungan yang sesuai antara unsur-unsur gambar itu dengan dunia
fakta. Cara itu dilakukan dengan menggabungkan bagian-bagian porposisi- struktur
proposisi menggambarkan kemungkinan bagi kombinasi uunsur-unsu rdalamrealitas, yaitu
suatu kemungkinan mengabaikan keadaan faktual atau suatu bentuk peristiwa. 23
Selanjutnya, Wittgenstein berkeyakinan bahwa ucapan kita mengandung satu atau lebih
proposisi elementer, yaitu proposisi yang tidak dapat dianalisis lagi.24

Proposisi itu adalah gambaran realitas, jika saya memahami proposisi itu berarti
saya mengetahui bentuk-bentuk peristiwa/ keadaan-keadaan faktual yang dihadirkan
melalui proposisi tersebut. Dan saya dengan mudah dapat memahami proposisi itu tanpa
perlu dijelaskan pengertian yang terkandung di dalamnya.25 Sebuah proposisi harus dapat
menunjukkan pengertian tertentu tentang realitas, sehingga seseorang yang dihadapkan
pada proposisi seperti itu hanya perlu mengatakan “ya” atau “tidak” untuk menyetujui
realitas yang dikandungnya.26 Pengertian lain, bahwa struktur yang ada dalam proposisi
berkesesuaian dengan struktur realitas adalah seperti sesuainya peta atau gambar kota
dengan kota itu sendiri.27

Kesesuaian antara penggunaan alat bahasa (gramatikal) dan makna yang dikandung
objek realitas yang diperbincangkannya (semantik) akan memudahkan siapapun dalam

19
Ludwig Wittgenstein dalam Rizal Mustansyir, op.cit.,, hlm. 53
20
Rizal Mustansyir, op.cit., hlm. 52
21
K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Inggris-Jerman, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 1990, Cet.
4), hlm 45
22
Asep Ahmad Hidayat, op.cit., hlm. 54
23
Pitcher dalam Rizal Mustansyir, op.cit., hlm. 55
24
Asep Ahmad Hidayat, op.cit., hlm. 57
25
Dalil 4.021 tractatus dalam Rizal Mustansyir, op.cit., hlm. 54
26
Dalil 4.022 dan 4.023 dalam Rizal Mustansyir, op.cit., hlm. 55
27
Asep Ahmad Hidayat, op.cit., hlm. 58
memahami sebuah ungkapan Filsafat (proposisi) karena pengertian yang dinyatakan
menggambarkan dengan jelas fakta yang dikandung realitas itu.28

Wittgenstein tidak pernah memberikan contoh tentang proposisi elementer (meski


dalam pengantar Tractatus yang ditulis Russel itu kita menjumpai contoh tentang proposisi
elementer) namun ia berkeyakinan bahwa ia mempunyai alasan baik untuk menuntut
adanya proposisi elementer biarpun contohnya tidak bisa disebutkan.29

Wittgenstein yang berkeyakinan bahwa bahasa yang digunakan oleh filsuf


terdahulu terdapat kerancuan sehingga sulit dipahami, maka ia mengembangkan filsafat
analitik untuk membenarkan bahasa dari filsuf terdahulu. Salah satu upaya yang dilakukan
Wittgenstein untuk menunjukkan kerancuan yang terjadi dalam bahasa filsafat itu yaitu
membedakan konsep nyata dengan konsep formal. 30 Wittgenstein melihat, kerancuan
dalam bahasa filsafat timbul karena para filsuf mencampuradukan pemakaian konsep nyata
dengan konsep formal.31 Konsep formal sebenarnya bukan konsep, hanya merupakan satu
nama yang variabel, yang harus di isi oleh konsep nyata.32 Sedangkan konsep nyata adalah
istilah atau rangkaian kata yang berkaitan langsung dengan realitas.33 Pegangan metodis
untuk menentukan konsep nyata ialah, kalau dapat difahami pengingkaran ucapan
mengenai konsep yang bersangkutan.34

Wittgenstein memiliki keyakinan ada beberapa hal yang tidak dapat diungkapkan
dalam proposisi. Wittgenstein berpendapat, “sesuatu yang memang dapat dikatakan
haruslah diungkapkan secara jelas, sedang sesuatu yang tidak dapat dikatakan, sebaiknya
didiamkan saja”. 35 Disinilah Wittgenstein mengungkapkan batas filsafat menurutnya
karena hal-hal ini bersifat mistis. Hal-hal itu adalah sebagai berikut :

1. Subjek; menurut Wittgenstein, “ subjek tidak termasuk dalam lingkup


dunia,melainkan hanya merupakan suatu batas dunia”.36
2. Kematian; bagi Wittgenstein, “ kematian bukanlah merupakan suatu
peristiwa kehidupan, sebab kematian itu bukanlah merupakan kehidupan
yang dijalani”.37
3. Allah; menurut Wittgenstein, “ Allah tidak mengakan diri-Nya dalam
dunia.”38
C. Philosophical Investigation : Wittgenstein II
Philosophical Invetigations merupakan karya dari Wittgenstein, buku ini muncul
setelah bukunya yang sangat fenomenal yaitu Tractatus Logico-Philosophicus. Buku ini

28
Sokolowski dalam Muhammad Khoyin, hlm. 179
29
Bertens dalam Rizal, hlm. 56
30
Rizal Mustansyir, op.cit., hlm. 60
31
Ibid., hlm. 63
32
Bakker dalam Rizal Mustansyir, op.cit., hlm 61
33
Rizal Mustansyir, op.cit., hlm. 61
34
Bakker dalam Rizal Mustansyir, op.cit., hlm 61
35
Dalil 4.126 dalam Rizal, hlm. 64
36
Dalil 5.632 dalam Rizal, hlm. 65
37
Dalil 6.4311 dalam Rizal,Ibid.
38
Dalil 6.432 dalam Rizal, Ibid.
sama fenomenalnya dengan buku Tractatus. Bahkan juga menjadi rujukan bagi generasi
setelahnya. Bahkan rasa ada yang kurang atau malah cacat ketika berbicara filsafat
analitik atau filsafat bahasa tapi tidak membicarakan Philosophical Investigation atau
yang juga dikenal sebagai Wittgenstein II.

Buku ini diterbitkan untuk pertama kali pada 1953 ( dua tahun setelah kematiannya)
dalam teks bahasa Inggris disamping teks aslinya bahasa Jerman, Philosophical
Untersuchung. Berbeda dari karyanya yang pertama (yang disuguhkan dalam bentuk dalil
yang ketat dan rumit) Philosophical Investigation ini disusun dalam bentuk section yang
terdiri dari banyak contoh yang mudah dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Ada kesan
tersendiri yang tampak dalam Philosophical Investigation ini yaitu, ilupaya menghindari
penggunaan bahasa logika dalam merumuskan konsepsi filsafatnya.39

Dalam karyanya yang kedua ada perbedaan yang bisa dikatakan sebagai bentuk
penolakan dari pemikiran yang tertuang dalam buku pertamanya. Penolakan itu terdapat
dalam tiga hal berikut :

1. Bahwa bahasa dipakai hanya untuk satu tujuan saja, yakni menetapkan state
of affairs (keadaan faktual),
2. Bahwa kalimat mendapat maknanya dengan satu cara saja, yakni
menggambarkan satu kejadian faktual, dan
3. Bahwa setiap jenis bahasa dapat dirumuskan dalam bahasa logika yang
sempurna, biarpun pada pandangan pertama barangkali sukar untuk
dilihat.40

Dalam periode keduanya ini Wittgenstein berfokus pada tata permainan bahasa atau
language games. Tata permainan bahasa ini adalah proses mengeluh penggunaan kata,
termasuk juga pemakaian bahasa yang sederhana sebagai suatu bentuk permainan. Konon
istilah permainan tata bahasa timbul sebagai suatu gagasan filsafat ketika suatu hari
Wittgenstein melihat sebuah pertandingan sepak bola. Tiba-tiba melintas dalam benaknya
bahwa sesungguhnya dalam bahasa, kita pun terlibat dalam suatu bentuk permainan kata.41

Bagi Wittgenstein, pada periode ini, kalimat akan mendapat maknanya dalam
kerangka acuan language games, yaitu pada banyaknya penggunaan kalimat dalam bahasa
sehari-hari. “Makna sebuah kata bergantung pada penggunaanya dalam kalimat, sedang
makna kalimat bergantung penggunaannya dalam bahasa”. Begitulah kata Wittgenstein.
Dengan kata lain makna kata-kata sangat bergantung pada situasi, tempat dan waktu. Hal
ini karena kata-kata itu memiliki fungsi masing-masingsesuai dengan pemakaiannya. 42
Menurut Wittgenstein bahasa mempunyai bermacam-macam penggunaan bahasa dan kita
perlu menyelidiki bagaimana kata-kata kunci dan ekspresi-ekspresi berfungsi dalam bahasa

39
Rizal Mustansyir, hlm. 81
40
Bertens dalam Rizal Mustansyir, hlm. 82
41
Pitcher dalam Rizal Mustansyir, hlm. 83
42
Asep Ahmad Hidayat, op.cit., hlm. 76
sehari-hari, yakni bahasa biasa bukan bahasa logika.43 Karena dalam sebuah permainan ada
aturan, maka dalam oeaiann bahasa pun juga ada aturannya.44

Sebenarnya, dengan language games itu Wittgenstein hendak menunjukkan tentang


kesalahan dan sekaligus kelemahan dari bahasa filsafat yang telah dipraktikkan oleh banyak
filosof. Dengan demikian, filsafat pada Wittgenstein adalah berfungsi sebagai terapi. 45
Tugas filsafat, kata Wittgenstein, sebaiknya tidak menerangkan apa-apa. Filsafat sekali-
kali tidak boleh campur tangan dalam penggunaan bahasa intelektual, ia hanya dapat
melukiskan pemakaian itu. Filsafat juga tidak memberikan pendasaran kepada pemakaian
bahasa itu.46
Tata permainan bahasa meliputi : “memberi perintah serta mematuhinya,
menggambarkan suatu objek, menyesuaikan suatu objek melalui pemberian, menyusun dan
menguji suatu hipotesa, menuduh hasil suatu percobaan dalam bentuk tabel dan diagram ...
.” (Philosophical Investigation, sect. 23).47 Setiap permainan bahasa memiliki atauran yang
berbeda-beda. Oleh karena itu mustahil dapat ditentukan aturan umum yang dapat
merangkum berbagai bentuk permainan bahasa tersebut, di sini terlihat penyangkalan
Wittgenstein terhadap teorinya sendiri dalam periode pertama yang menganggap bahwa
kata atau kalimat mendapat makna dengan satu cara saja.48

Ada dua aspek yang terkandung dalam analisa bahasa menurut Wittgenstein II,
yaitu aspek penyembuhan (therapeutics) dan cara berfilsafat yang sebaiknya ditempuh
(aspek metodis). Aspek penyembuhan yang diajukan Wittgenstein II serupa dengan
pemikirannya pada periode pertama, yaitu menghilangkan kekacauan dalam bahasa
filsafat. 49 Aspek metodis yang diperlihatkan Wittgenstein II anatara lain ; bertitik tolak
pada penggunaan bahasa sehari-hari dengan meneliti dan membedakan aturan-aturandalam
permainan bahasa, menampakkan jalannya bahasa, analisa bahasa harus berfungsi sebagai
metode netral dan tidak ikut “latah” memberikan penafsiran tentang realitas.50
DAFATRA PUSTAKA

Bertens, K. 1990. Filsafat Barat Kontemporer Inggris-Jerman. Jakarta : PT


Gramedia Pustaka Utama.
Bakker, Anton. 1984. METODE-METODE FILSAFAT. Jakarta : Ghalia Indonesia
Hidayat, Asep Ahmad. 2009. FILSAAT BAHASA Mengungkap Hakikat Bahasa,
Tanda, dan Makna. Bandung : PT Remaja Rossa karya Offset.

43
Ibid., hlm. 75
44
Ibid.
45
Asep Ahmad Hidayat, op.cit., hlm. 77
46
Ibid.
47
Wittgenstein dalam Rizal Mustansyir, op.cit., hlm. 84
48
Rizal Mustansyir, op.cit., hlm. 86
49
Ibid., hlm. 90
50
Lihat Rizal Mustansyir, op.cit., hlm. 90-93
Khoyin Muhammad. 2013. Filsafat Bahasa. Jawa Barat : CV Pustaka Setia.
Mustansyir, Rizal. FILSAFAT ANALITIK. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.

Malcoml, Norman. 2001. LUDWIG WITTGENSTEIN A MEMOIR. OXFORD


:CLARENDON PRESS (Online)
https://books.google.co.id/books?hl=en&lr=&id=JfnyUT7Oo_wC&oi=fnd&pg=PP9&dq
=Ludwig+Wittgenstein&ots=g_Y8cAGnJh&sig=o5uIQge2bF5tfiITTUoopNDUFOE&re
dir_esc=y#v=onepage&q=Ludwig%20Wittgenstein&f=false

Anda mungkin juga menyukai