Anda di halaman 1dari 38

Manajemen Diri : Mengenali Potensi,

Melejitkan Kompetensi & Mematangkan Emosi

Setelah mempelajari materi ini, pembaca diharapkan dapat :

1. mengetahui paradigma manusia menurut Islam,


mengetahui visi dan misi penciptaan manusia beserta
sejumlah potensi yang menyertainya.
2. mengetahui dan dapat mempraktikkan sejumlah cara
Islami untuk melejitkan kompetensi sebagai salah satu
konsekuensi hakikat hidup manusia.
3. mengetahui dan dapat mempraktikkan sejumlah cara
Islami untuk mematangkan emosi.

PARADIGMA MANUSIA

AL-UQDATU AL-KUBRO

Seorang muslim sudah seharusnya memahami hakikat hidupnya di dunia: Dari


mana ia berasal, untuk apa hidup dan bagaimana dia harus menjalani hidupnya, serta
kemana setelah mati? Pemahaman akan hakikat hidup sangatlah penting, karena ia akan
menentukan corak atau gaya hidup seseorang. Sedemikian pentingnya persoalan ini,
sampai-sampai mungkin dapat dikatakan, “janganlah kita hidup sebelum memahami apa
sebenarnya hakikat hidup kita itu”.
Namun demikian, tidak sedikit muslim yang tidak memahami, bahkan kehilangan
makna hidupnya yang hakiki. Ada yang terhanyut oleh pola hidup sekuler, ada pula yang
acuh tak acuh menjalani hidupnya. Padahal, memahami hakikat hidup bukan hal yang
sukar bagi seorang muslim. Allah SWT telah memberikan bekal dan potensi pada diri
manusia, berupa daya pikir (akal) dan fitrah yang melekat pada manusia sejak dia
diciptakan oleh Allah SWT. Allah SWT telah memberikan panca-indera, sebagai salah satu
unsur penting untuk proses berpikir.

“Dan Allah mengeluarkan kalian dari perut ibu-ibu kalian dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kalian pendengaran, penglihatan, dan
hati, agar kalian bersyukur.”
(QS An Nahl : 78)
Semua bekal ini semestinya bisa digunakan dengan sebaik-baiknya, agar manusia
dapat memahami hakikat hidupnya di dunia.
Kegagalan manusia dalam memahami hakikat hidupnya, tiada lain karena kelalaian
dan keengganannya menggunakan bekal-bekal tersebut, sehingga arah dan orientasi
hidupnya menjadi tidak jelas atau menyimpang dari jalan yang semestinya. Akhirnya,
hawa nafsu atau setanlah yang dijadikan “tuhan”, yakni menjadi sumber penentu sikap
dan tujuan hidupnya. Orang sesat seperti ini dicap oleh Allah SWT bagaikan binatang
ternak, bahkan lebih rendah lagi daripada itu.

“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi) neraka Jahannam banyak dari jin dan
manusia. Mereka mempunyai akal, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami
(ayat-ayat Allah), mereka mempunyai mata, (tetapi) tidak dipergunakannya untuk
melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga, (tetapi)
tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti
binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang
lalai.”
(QS Al A’raaf : 179)

“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai


tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Atau apakah
kamu mengira bahwa mereka itu mendengar atau memahami? Mereka itu tidak
lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi jalannya
(dari binatang ternak itu).”
(QS Al Furqaan : 43-44)

Jelaslah, memahami hakikat hidup merupakan suatu hal yang sangat fundamental.
Kegagalan memahami hakikat hidup, akan membuat seseorang menjalani hidup
bagaikan layang-layang putus yang bergerak mengikuti kemana saja angin berhembus,
atau dihempaskan ombak ke mana saja tanpa tujuan. Artinya, seorang muslim mudah
sekali tersesat, atau bahkan tak mustahil menjadi murtad tanpa dia sadari, sehingga
amalnya di dunia menjadi sia-sia bagaikan debu yang berterbangan.

“Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu
(bagaikan) debu yang beterbangan.”
(QS Al Furqaan : 24)

Dalam pandangan Islam, manusia diciptakan oleh Allah untuk beribadah kepada-
Nya. Makna ibadah secara bahasa (lughah) disebutkan Imam Al Fairuz Abadi dalam
kamus Al Muhith sebagai taat, dalam arti menjalankan segala perintah dan menjauhi
segala larangan. Sedangkan menurut istilah ada dua pengertian, yakni khusus (khaas)
dan umum (‘aam). Muhammad Husein Abdullah dalam kitab Dirasaat Fil Fikri al Islamy
memberikan pengertian khusus ibadah sebagai mentaati perintah dan larangan Allah
SWT yang mengatur hubungan antara Allah SWT dengan hamba-Nya, misalnya shalat,

Manajemen Diri – Potensi, Kompetensi, Emosi 2


shaum, doa dan lain-lain. Dalam pengertian umum ibadah bermakna mengikatkan diri
dengan seluruh hukum-hukum Allah SWT.

“Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah
kepada-Ku.”
(QS. Adz-Dzaariyaat: 56)

Manusia juga disebut sebagai khalifah.

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ”Sesungguhnya Aku


hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi ..”
(QS. Al Baqarah: 12)

Syekh Muhammad Ali Ash-Shobuni dalam kitab Shofatut Tafasir Juz I, menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan khalifah pada ayat di atas adalah manusia yang bertugas
mengelola dan memakmurkan bumi dengan hukum-hukum Allah SWT. Maka dari itu bila
manusia tidak memahami hukum-hukum Allah SWT, pasti akan sulit untuk melakukan
tugas-tugasnya sebagai khalifah sebagaimana telah ditetapkan Allah.
Pandangan dan pemahaman manusia bahwa misi penciptaannya hanyalah untuk
beribadah kepada Allah SWT terbentuk sejalan dengan kesimpulan yang didapatnya
berkenaan dengan keberadaan dirinya di dunia. Saat manusia menginjak usia dewasa
(baligh), yang dicirikan oleh kesempurnaan fungsi akalnya, mulailah ia berpikir tentang
beberapa hal yang sangat mendasar yang menuntut jawaban tuntas, yang memuaskan
akal sehatnya, menentramkan jiwa dan sesuai dengan fitrahnya, mengingat jawaban itu
pula yang akan menjadi landasan dan tujuan kehidupannya. Selama masalah mendasar
ini belum terjawab tuntas, selama itu pula orientasi hidup manusia tidak akan pernah
tetap, cenderung mudah terombang-ambing yang akhirnya membuatnya tidak pernah
merasa tenang. Bila itu yang terjadi, maka sebenarnya manusia telah melakukan
pengingkaran terhadap hakikat fitrah manusia itu sendiri.
Mengingat sifatnya sangat mendasar dan sekaligus sangat substantif, pertanyan
tersebut disebut pula sebagai al-‘Uqdatu al-Kubra atau simpul yang sangat besar.
Disebut demikian, karena mengandung penjelasan bahwa bila pertanyaan ini telah
terjawab maka dengan sendirinya akan terurailah berbagai pertanyaan/permasalahan
cabang berikutnya yang dihadapi manusia dalam kehidupannya di dunia. Persoalan
mendasar tersebut adalah berupa pertanyaan:
1. Min aina ataytu ?
Dari manakah manusia, hidup dan alam semesta ini berasal?
2. Limadza ji’tu?
Untuk apa manusia dan kehidupan ini ada?
3. Ila ayna al-mashir?
Kemana manusia dan kehidupan setelah di dunia ini?

Manajemen Diri – Potensi, Kompetensi, Emosi 3


Pertanyaan pertama, “Darimanakah manusia, hidup, dan alam semesta ini
berasal?” Apakah ketiganya ini ada dengan sendirinya ataukah ada yang
mengadakannya? Pertanyaan ini, berkaitan erat dengan fakta bahwa manusia itu hidup
di alam semesta (li anna al-insaana yahya fi al-kaun). Maka wajar bila manusia
menanyakan tentang dirinya, tentang hidup (dalam arti biologis) yang ada pada dirinya
dan makhluk lainnya, dan tentang alam semesta yang merupakan tempat hidupnya.
Pertanyaan pertama ini, menanyakan tentang hakikat apa yang ada sebelum kehidupan
dunia (qabla al-hayati al-dunya).

Manajemen Diri – Potensi, Kompetensi, Emosi 4


SEBELUM
SEBELUM KEHIDUPAN SESUDAH
SESUDAH
KEHIDUPAN DUNIA KEHIDUPAN
KEHIDUPAN KEHIDUPAN
DUNIA DUNIA
DUNIA DUNIA

MANUSIA
MANUSIA
HUBUNGAN? KEHIDUPAN
KEHIDUPAN HUBUNGAN?
ALAM
ALAM
SEMESTA
SEMESTA

MANUSIA
MANUSIA MANUSIA
MANUSIA
LAHIR
LAHIR MATI
MATI

DARI UNTUK KEMANA


MANA APA AKU
AKU AKU SETELA
BERASAL HIDUP? H MATI?
?

Peraga 1. Al-Uqdatu al-Kubro

Manajemen Diri – Potensi, Kompetensi, Emosi 5


Pertanyaan kedua, “Untuk apa manusia dan kehidupan ini ada?” Pertanyaan ini
berkaitan dengan fakta bahwa manusia telah lahir dan eksis di dalam kehidupan dunia ini
(al-hayatu al-dunya). Sehingga wajar bila dalam benaknya muncul pertanyaan mengenai
untuk apa dia hidup dan bagaimana dia harus menjalani hidup (dalam arti sosiologis).
Dalam bahasa Hafizh Shalih dalam kitabnya An Nahdhah, pertanyaan ini berhubungan
dengan makna keberadaan manusia dalam kehidupan (ma’na wujudi al- insaan fi al-
hayah).
Pertanyaaan ketiga, “Kemana manusia dan kehidupan ini setelah di dunia ini?”
Pertanyaan ini juga sangat wajar, karena setiap manusia pasti akan berjumpa dengan
kematian. Dalam benaknya pasti terbit pertanyaan apakah setelah kematian berarti
segala sesuatunya juga akan berakhir, ataukah justru kematian itu merupakan suatu
pintu untuk memasuki fase kehidupan yang baru selanjutnya. Pertanyaan ini berkaitan
dengan hakikat apa yang ada setelah kehidupan dunia (ba’da al-hayati al-dunya).
Di samping ketiga pertanyaan utama tersebut, hal penting lain yang juga menjadi
pertanyaan adalah adakah hubungan (‘alaaqah/shilah) antara apa yang ada sebelum
kehidupan dunia (qabla al-hayati al-dunya) dengan kehidupan dunia kini (al-hayatu al-
dunya), serta hubungan antara kehidupan dunia kini (ba’da al-hayati al-dunya) dengan
apa yang ada sesudah kehidupan dunia (ba’da al-hayati al-dunya). Jika ada, hubungan
apakah itu?
Inilah pertanyaan-pertanyaan utama yang tercakup dalam apa yang disebut dengan
Al-Uqdatu al-Kubro. Untuk lebih jelasnya, dapat diperhatikan peraga berikut ini.
Tak ayal lagi, semua pertanyaan dalam simpul besar itu memang merupakan
pertanyaan-pertanyaan fundamental yang memerlukan jawaban tuntas sebagaimana
halnya simpul-simpul besar pada tali yang harus diuraikan terlebih dahulu agar tali itu
dapat digunakan. Bila simpul besar ini berhasil diurai, niscaya simpul-simpul cabang
berikutnya akan dengan mudah diuraikan.
Simpul-simpul ini adalah pertanyaan-pertanyaan praktis yang berkaitan langsung
dengan kehidupan sehari-hari, semisal mengapa dan bagaimana kita harus bekerja
mencari nafkah, bagaimana kita harus membina sebuah keluarga yang bahagia,
bagaimana kita harus berpolitik dalam kehidupan bernegara, dan sebagainya.
Menghadapi pertanyaan mendasar dalam Al-Uqdatu al-Kubro itu, sikap manusia
bermacam-macam. Ada yang lari atau tak acuh terhadap pertanyaan-pertanyaan
tersebut, sehingga akhirnya mereka menjalani hidup sekedarnya saja. Tanpa makna,
tanpa visi, tanpa misi. Kosong dan absurd. Namun ada pula yang berhasil menjawabnya
setelah berusaha mencari jawabannya dengan serius, terlepas dari benar tidaknya
jawaban tersebut.
Jawaban-jawaban terhadap al-Uqdatu al-Kubro ini menurut Muhammad Husain
Abdullah dalam kitabnya Dirasat fi al-Fikri al-Islami disebut dengan fikrah kulliyah
(pemikiran menyeluruh) karena jawabannya mencakup segala sesuatu yang maujud
(alam semesta, manusia, dan kehidupan) di samping mencakup ketiga fase kehidupan
yang dilalui manusia, beserta hubungan-hubungan di antara ketiganya. Jawaban itu
disebutnya juga sebagai aqidah (pemikiran yang mendasar) dan qa’idah fikriyah
(landasan pemikiran). Disebut aqidah, karena memang jawaban terhadap al-Uqdatu al-

Manajemen Diri – Potensi, Kompetensi, Emosi 6


Kubro merupakan pemikiran yang mendasar. Dan disebut qa’idah fikriyah, karena
jawaban itu merupakan basis pemikiran yang di atasnya dapat dibangun pemikiran-
pemikiran cabang tentang kehidupan.
Maka, jawaban terhadap al-Uqdatu al-Kubro bisa beraneka macam, bergantung
kepada aqidah (keyakinan) yang dianut seseorang. Di sini akan diuraikan jawaban dari
sudut pandang keyakinan Islam dan sekulerisme, mengingat paham sekulerisme inilah
yang kini merajalela di dunia, termasuk di dunia Islam, setelah sosialisme runtuh di
penghujung tahun 80-an.
Jawaban yang memuaskan akal, menentramkan jiwa yang berarti sesuai dengan
fitrah penciptaan manusia atas ketiga pertanyaan di atas akan menjadi landasan dan
pemahaman manusia terhadap berbagai persoalan kehidupan berikutnya.

JAWABAN ISLAM TERHADAP AL-UQDATU AL-KUBRO

Jawaban Islam terhadap al-Uqdatu al-Kubro bersumber dari Al Qur`an dan As


Sunnah. Keduanya merupakan wahyu yang diturunkan Allah melalui Rasulullah
Muhammad SAW sebagai petunjuk hidup.

1. Jawaban Atas Pertanyaan “Dari Mana Manusia, Hidup dan


Alam Semesta Berasal?”

Terhadap pertanyaan “Dari manakah manusia, hidup, dan alam semesta berasal?”,
Islam memberikan jawaban bahwa ketiga hal tersebut diciptakan oleh Allah SWT, tidak
maujud dengan sendirinya. Dengan kata lain, apa yang ada sebelum kehidupan dunia
(qabla al-hayati al-dunya), adalah Allah SWT. Jawaban ini diterangkan dalam banyak
nash.

“Hai manusia sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kalian dan orang-orang
sebelum kalian, agar kalian bertakwa.”
(QS Al Baqarah : 21)

“Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka)


terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah. Yang telah menciptakan kamu lalu
menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang.”
(QS. Al Infithaar : 6-7)

“Mengapa kalian kafir kepada Allah, padahal kalian tadinya mati lalu Allah
menghidupkan kalian; kemudian Allah mematikan kalian dan menghidupkan
kembali kalian, kemudian kepada-Nya-lah kalian dikembalikan?”
(QS Al Baqarah : 28)

Ayat-ayat di atas menegaskan bahwa muasal manusia adalah karena diciptakan


oleh Allah, bukan ada dengan sendirinya, juga bukan tercipta semata-mata karena

Manajemen Diri – Potensi, Kompetensi, Emosi 7


proses-proses alam, atau tercipta melalui evolusi dari organisme lain yang lebih
sederhana. Allah-lah yang telah menciptakan manusia dan membuatnya hidup di dunia
sampai batas waktu tertentu untuk kemudian nanti dikembalikan lagi kepada-Nya.

2. Jawaban Atas Pertanyaan “Untuk Apa Manusia dan Kehidupan ini


Ada?”

Terhadap pertanyaan “Untuk apa manusia hidup?” Islam menjawab, bahwa


manusia hidup di dunia adalah untuk beribadah kepada-Nya. Yaitu untuk mentaati Allah
SWT dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya dalam
segala aspek kehidupan. Misi hidup manusia ini dijelaskan Allah:

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah (beribadah) kepada-Ku.”
(QS Adz Dzariyaat : 56)

“Padahal mereka tidak diperintah kecuali supaya mereka beribadah (menyembah)


Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama…”
(QS Al Bayyinah : 5)

Ibadah sebagaimana telah dijelaskan di muka - ini pula yang dimaksud dengan
ibadah dalam kedua ayat di atas - adalah mentaati segala perintah dan menjauhi segala
larangan-larangan Allah. Adapun arti ibadah secara khusus adalah ketaatan kepada
hukum syara’ yang mengatur hubungan antara manusia dengan Rabbnya, seperti shalat,
zakat, haji, do’a, dan sebagainya.
Mengaktualisasikan ibadah dalam arti umum inilah yang secara konkret merupakan
misi hidup manusia di dunia menurut Islam. Inilah hakekat hidup manusia di dunia, dan
ini pula yang wajib menjadi landasan segala kiprahnya. Aktualisasi ibadah terwujud
ketika seorang muslim mengikatkan dirinya dengan hukum-hukum syara’ dalam segala
aktivitasnya, baik ketika berhubungan dengan Rabb-nya dalam bidang aqidah dan
ibadah, berhubungan dengan dirinya sendiri dalam bidang akhlak, makanan, minuman,
dan pakaian, maupun berinteraksi dengan sesamanya dalam bidang mu’amalah dan
uqubat (hukuman dan sanksi).
Ketika seorang muslim menjalankan shalat lima waktu, mengeluarkan zakat setiap
tahun, berpuasa di bulan Ramadhan, beribadah haji, bertaubat, atau membaca Al Qur`an
disebut sedang melaksanakan ibadah (dalam arti khusus). Begitu pula tatkala dia
bekerja secara profesional dengan etos kerja tinggi didukung keahlian dan sikap
amanah, mendidik anak dengan cara Islam, menepati janji, mengkaji ajaran Islam,
mempedulikan keadaan kaum muslimin yang lain, aktif berdakwah atau dalam kegiatan
keIslaman, bersabar tatkala mendapat musibah, memerintahkan isteri atau anak
perempuannya berjilbab, menengok teman yang sakit, bermusyawarah, menjaga
kesehatan dan kebersihan dan sebagainya dia pun juga tengah menjalankan misi
ibadah.

Manajemen Diri – Potensi, Kompetensi, Emosi 8


Sebaliknya, tatkala seseorang melalaikan tugas, melakukan korupsi dan manipulasi,
memberi atau menerima suap, berbohong, berzina, menenggak minuman keras,
mengkonsumsi narkoba, mengunjungi pub/diskotik, membantu terjadinya perzinaan, suka
mendzalimi orang lain dan sebagainya, dikatakan ia telah melakukan maksiat kepada
Allah. Berarti ia telah lupa terhadap hakikat keberadaannya di dunia. Demikian pula
halnya bila dia menentang dakwah Islam, berjudi, menyatakan bahwa hukum Islam tidak
layak karena dinilai kejam, merayakan Natal bersama, melakukan pelecehan seksual,
berhutang tak mau bayar, meninggalkan shalat lima waktu atau shalat Jum’at, tidak
memakai jilbab; berarti dia telah lalai dari arti hakikat hidupnya di dunia, yaitu beribadah
kepada Allah.

SEBELUM KEHIDUPAN
KEHIDUPAN SESUDAH
SEBELUM SESUDAH
KEHIDUPAN KEHIDUPAN
KEHIDUPAN KEHIDUPAN
DI DUNIA DI
DI DUNIA
DUNIA DI DUNIA
DI DUNIA DI DUNIA
MANUSIA
MANUSIA
KEHIDUPAN
KEHIDUPAN
ALAM
ALAM
SEMESTA
SEMESTA

Hubungan Hubungan
Hubungan
Penciptaan Hubungan
Pembangkitan
Penciptaan Pembangkitan

Hubungan
Hubungan Hubungan
Hubungan Hisab
Hisab
Perintah/Larangan
Perintah/Larangan amal
amal

MANUSIA MANUSIA
LAHIR MATI

Manusia Hidup Manusia


diciptakan Ibadah kembali
Allah SWT kepada kepada
Allah SWT Allah SWT

Manajemen Diri – Potensi, Kompetensi, Emosi 9

Peraga 2.
Jawaban Islam Terhadap Al-Uqdatu Al-Kubro
Jawaban Atas Pertanyaan “Kemana Manusia dan Kehidupan Ini Setelah di
Dunia?”

Terhadap pertanyaan, “Kemana manusia dan Kehidupan setelah di dunia?”, Islam


menjawab, bahwa setelah kematian akan ada Hari Kiamat (Yaumu al-Qiyamah). Islam
menegaskan bahwa kehidupan tidaklah hanya ada di dunia saja, tapi juga di akhirat,
yang mau tidak mau pasti akan dilalui manusia.
Manusia adalah mahluk Allah, berasal dari Dia dan akan dikembalikan kepada-Nya.
Pada hari Kiamat, manusia akan dibangkitkan lagi dari kuburnya untuk dihisab amal
perbuatannya oleh Allah SWT, lalu ditentukan tempat selanjutnya: di surga atau neraka.

“Kemudian, sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati.


Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan dari kuburmu di Hari
Kiamat.”
(QS Al Mukminun : 15-16)

“Apakah manusia mengira, bahwa Kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang
belulangnya? Bukan demikian, sebenarnya Kami berkuasa menyusun (kembali) jari
jemarinya dengan sempurna.”
(QS Al Qiyaamah : 3-4)

Ketika dibangkitkan dari kuburnya, manusia dalam keadaan telanjang bulat. Sabda
Nabi SAW :

“Sesungguhnya kalian akan dibangkitkan pada Hari Kiamat tanpa alas kaki,
telanjang bulat, dan tidak berkhitan. ‘Aisyah bertanya, ’Ya Rasulullah, laki-laki dan
perempuan saling melihat (aurat) yang lain?’ Rasulullah menjawab, ‘Hai ‘Aisyah,
pada saat itu perkara (Hari Kiamat) sangat dahsyat sehingga orang tidak akan
memperhatikan hal itu.”
(Muttafaqun ‘alaihi)

Pada Hari Kiamat itu keadaan manusia yang dibangkitkan beraneka ragam sesuai
dengan iman dan amal perbuatannya di dunia.

“Pada hari itu manusia keluar dari kuburnya dalam keadaan yang bermacam-
macam supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka.”
(QS Al Zalzalah : 6-8).

Orang-orang kafir yang tak mempercayai Hari Kiamat akan benar-benar kaget
dibuatnya.

Manajemen Diri – Potensi, Kompetensi, Emosi 10


“Dan ditiupkan sangkakala, maka tiba-tiba mereka keluar dengan segera dari
kuburnya (menuju) kepada Rabb mereka. Mereka berkata: ‘Aduh celakalah kami!
Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)?’ Inilah yang
dijanjikan Dzat yang Maha Pemurah dan benarlah para rasul-Nya”
(QS Yasin : 51-52)

Karena penyesalan yang teramat sangat, sampai-sampai orang-orang kafir saat itu
berharap alangkah baiknya seandainya dulu di dunia menjadi tanah saja!

“Dia mengatakan, ’Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal saleh)
untuk hidupku ini.”
(QS Al Fajr : 24)

“Sesungguhnya Kami telah memperingatkan kepada kalian (hai orang kafir) siksa
yang dekat, pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua
tangannya; dan orang orang kafir berkata, ”Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu
adalah tanah.”
(QS An Naba` : 40)

Adapun orang muslim yang banyak berbuat dosa juga akan menyesal mengapa
semasa hidup di dunia tidak menjalankan ajaran Islam sebagaimana mestinya dan telah
mengambil teman (panutan) yang sesat dan menyesatkan.

“Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya seraya
berkata, ’Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul.’
Kecelakaan besarlah bagiku, kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si Fulan itu teman
akrab(ku). Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al Qur’an ketika Al
Qur`an itu telah datang kepadaku…”
(QS Al Furqaan : 27-29)

Sedangkan orang-orang muslim yang taat menjalankan ketentuan-ketentuan ajaran


Islam ketika di dunia tidak mengalami kegoncangan atau kekerasan pada Hari Kiamat.

“Orang-orang ahli Laa ilaaha illallah (yang mengucapkan kalimat tersebut dan
menunaikan haknya/konsekuensinya) tidak akan mengalami kegoncangan tatkala
wafat, di alam kubur, dan tatkala dia dibangkitkan. Seolah-olah aku melihat mereka
– ketika ditiup sangkakala yang kedua (saat dibangkitkan dari kubur) — sedang
menyingkirkan tanah (pasir) dari kepala mereka seraya berkata,’Segala puji bagi
Allah, yang telah menghilangkan duka cita dari kami.”
(HR. Abu Ya’la)

Setelah dibangkitkan, manusia kemudian dihisab oleh Allah SWT. Pada saat itu Allah
SWT akan menanyakan segala amal baik dan amal buruk yang pernah dilakukan manusia

Manajemen Diri – Potensi, Kompetensi, Emosi 11


di dunia, baik amal yang kecil dan remeh, maupun amal yang besar dan agung. Pada saat
itu, tiap manusia bahkan dapat membaca sendiri catatan amal perbuatannya dalam
sebuah kitab yang diberikan kepada mereka.

“Maka demi Rabbmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua tentang apa yang
telah mereka kerjakan dahulu.”
(QS Al Hijr : 92-93)

“Kedua telapak kaki seorang anak Adam di Hari Kiamat masih belum beranjak
sebelum ditanya kepadanya mengenai 5 (lima perkara): tentang umurnya, untuk
apa dihabiskan, tentang masa mudanya, apa yang dilakukannya, tentang hartanya,
dari mana dia peroleh dan untuk apa dia belanjakan, dan tentang ilmunya, apa yang
dia kerjakan dengan ilmunya itu.”
(HR Ahmad).

Allah SWT berfirman bahwa manusia akan membaca catatan amalnya sendiri
selama hidup di dunia :

“Adapun orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya, maka dia akan
diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah, dan dia akan kembali pada kaumnya
(yang sama-sama beriman) dengan gembira. Adapun orang yang diberikan
kitabnya dari belakang, maka dia akan berteriak ‘Celakalah aku’. Dan dia akan
masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).“
(QS Al Insyiqaq : 7-12)

“Dan diletakkan kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang yang bersalah ketakutan
terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: ‘Aduh celaka kami,
kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar,
melainkan ia mencatat semuanya dan mereka dapati apa yang mereka telah
mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorangpun jua.”
(QS Al Kahfi : 49).

Setelah itu manusia akan digiring ke tempat dimana timbangan amal perbuatannya
diletakkan.

“Kami akan memasang timbangan yang tepat pada Hari Kiamat, maka tiadalah
dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jika (amalan) itu hanya seberat biji
sawi pun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami sebagai
pembuat perhitungan.”
(QS Al Anbiyaa` : 47).

Manajemen Diri – Potensi, Kompetensi, Emosi 12


“Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka dia berada
dalam kehidupan yang memuaskan. Dan adapun orang-orang yang ringan
timbangan (kebaikan)nya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah.”
(QS Al Qari’ah : 6-9).

Setelah tahapan ini selesai, manusia akan dimasukkan ke dalam neraka atau surga.
Orang kafir, baik dari kalangan ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) atau orang musyrik, akan
dijebloskan ke neraka dengan diseret atas muka mereka selamanya. Muslim yang lebih
banyak dosanya daripada amal baiknya, akan masuk neraka untuk sementara waktu
sesuai yang dikehendaki Allah dan selanjutnya masuk surga.

“… Allah memerintahkan para malaikat mengentas dari neraka itu orang-orang


yang tidak pernah sekalipun melakukan perbuatan syirik. Yaitu mereka yang
berucap Laa ilaaha illallah. Orang-orang ini dapat diketahui melalui ciri khasnya,
yakni di wajahnya ada bekas sujud. Api yang membakar tubuh manusia itu tidak
sampai melalap bagian-bagian tubuh yang pernah bersujud. Dan itu memang
dilarang Allah. Maka keluarlah mereka dalam keadaan terbakar. Untuk memadam-
kannya, disiramkanlah ke tubuh-tubuh yang hangus itu air kehidupan. Dari air itu
bekas-bekas yang terbakar menjadi musnah dan membuat mereka tumbuh seperti
biji-biji yang terbawa air bah.”
(HR. Muslim dari Abu Hurairah RA)

“Orang-orang (kafir) yang dihimpunkan ke neraka Jahannam dengan diseret atas


muka-muka mereka, mereka itulah orang yang paling buruk tempatnya dan paling
sesat jalannya.”
(QS Al Furqaan : 34)

“Sesungguhnya orang-orang kafir, yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan
masuk) ke neraka Jahannam. Mereka kekal di dalamnya. Mereka itulah seburuk-
buruk makhluk.”
(QS Al Bayyinah : 6)

Siksa neraka begitu dahsyat. Amat berat penderitaan para penghuni neraka
menanggung semua siksa. Rasul menggambarkan, siksa yang paling ringan saja cukup
membuat otak mendidih.

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami
masukkan mereka ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti
kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab.
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
(QS An Nisaa` : 56).

Manajemen Diri – Potensi, Kompetensi, Emosi 13


“Disiramkan air yang mendidih ke atas kepala mereka. Dengan air itu
dihancurluluhkan segala apa yang ada dalam perut mereka dan juga kulit mereka.”
(QS Al Hajj : 19-20).

“Azab yang paling ringan di neraka pada Hari Kiamat adalah seseorang yang pada
dua telapak kakinya ada dua bongkah bara api, lalu bara api ini akan merebus otak
orang tersebut.”
(HR. At Tirmidzi)

Adapun orang-orang mukmin, mereka akan masuk surga yang penuh kenikmatan,
seraya mendapatkan ridlo dari Allah Azza Wa Jalla. Para Nabi, syuhada, ulama, shiddiqin,
akan masuk ke dalam surga-Nya dengan mendapat limpahan rahmat dan ridla-Nya.

“Mereka dikelilingi oleh anak-anak muda yang tetap muda dengan membawa gelas,
cerek dan minuman yang diambil dari air yang mengalir. Mereka tidak pening
karenanya dan tidak pula mabuk. Dan buah-buahan dari apa yang mereka pilih,
dan daging burung dari apa yang mereka inginkan. Dan (di dalam surga itu) ada
bidadari-bidadari yang bermata jeli, laksana mutiara yang tersimpan baik. Sebagai
balasan bagi apa yang telah mereka kerjakan.”
(QS Al Waqi’ah : 17-24).

“Mereka tidak mendengar di dalamnya perkataan yang sia-sia dan tidak pula
perkataan yang menimbulkan dosa, akan tetapi mereka mendengarkan ucapan
salam. Dan golongan kanan, alangkah bahagianya golongan kanan itu. Berada di
antara pohon bidara yang tidak berduri dan pohon pisang yang tersusun (buahnya),
dan naungan yang terbentang luas, dan air yang tercurah, dan buah-buahan yang
banyak, yang tidak berhenti (buahnya) dan tidak terlarang mengambilnya, dan
kasur-kasur yang tebal dan empuk. Sesungguhnya Kami ciptakan mereka (bidadari-
bidadari) lagi sebaya umurnya, (Kami ciptakan mereka) untuk golongan kanan,
(yaitu segolongan besar dari orang yang terdahulu, dan segolongan besar pula dari
orang yang kemudian).”
(QS Al Waqi’ah : 25-40).

Hubungan Antar Fase-fase Kehidupan

Islam menjelaskan pula, antara sebelum kehidupan dunia dengan kehidupan dunia
terdapat 2 (dua) hubungan. Pertama, hubungan penciptaan (shilatu al-khalqi). Yakni
bahwa Allah SWT sajalah yang menciptakan manusia, kehidupan, dan alam semesta ini.
Kedua, hubungan perintah dan larangan (shilatu al-awamir wa al-nawahi). Artinya Allah
SWT tidak sekedar menciptakan, namun juga memberikan perintah dan larangan kepada
manusia, yang termaktub dalam wahyu (Al Qur`an dan As Sunnah) yang dibawa oleh
Nabi Muhammad SAW. Kedua bentuk hubungan itu dijelaskan dalam Al Qur’an:

Manajemen Diri – Potensi, Kompetensi, Emosi 14


“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah,Tuhan
semesta alam.”
(QS Al A’raaf : 74)

Dalam ayat di atas, ditegaskan bahwa menciptakan (al-khalq) dan memerintah (al-
amr) adalah hak Allah semata. Hak memerintah dari Allah ini terwujud dalam dua bentuk.
Pertama, perintah untuk alam semesta (al-amru al-kauni) berupa hukum-hukum alam
(sunnatullah) yang berlaku untuk alam semesta; Kedua, perintah hukum syara’ (al-amru
al-tasyri’i) berupa hukum-hukum syara’ yang mengatur peri kehidupan manusia.
Hubungan antara kehidupan dunia (al-hayatu al-dunya) dengan apa yang ada
setelah kehidupan dunia (ba’da al-hayati al-dunya) dijelaskan oleh Islam dalam 2
hubungan. Pertama, hubungan pembangkitan dan pengumpulan (shilatu al-ba’tsi wa al-
nusyur). Yakni bahwa Allah SWT akan membangkitkan manusia dari kuburnya, kemudian
mengumpulkan mereka di Padang Mahsyar. Kedua, hubungan perhitungan amal (shilatu
al-muhasabah). Yakni Allah SWT tidak sekadar membangkitkan dan mengumpulkan
manusia, namun juga melakukan hisab (perhitungan) terhadap amal perbuatan manusia
tatkala hidup dunia, apakah ia beriman kepada Allah atau tidak; bila beriman, apakah ia
menjalankan perintah-Nya atau tidak serta menjauhi larangan-Nya atau malah
mengerjakannya.

“Kemudian, sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati.


Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan dari kuburmu di hari
kiamat.”
(QS Al Mukminun : 15-16).

Tentang hisab atau perhitungan amal baik dan buruk manusia, Allah menjelaskan:

“Maka demi Rabbmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua tentang apa yang
telah mereka kerjakan dahulu”.
(QS Al Hijr : 92-93).

Demikianlah jawaban Aqidah Islamiyah yang sangat gamblang dan jelas terhadap
al-Uqdatu al-Kubro. Jawaban-jawaban ini diikhtisarkan dalam peraga 2.

JAWABAN SEKULERISME TERHADAP AL-UQDATU AL-KUBRO


Bagaimanakah Sekulerisme menjawab al-Uqdatu al-Kubro? Sekulerisme menjawab
tiga pertanyaan mendasar itu kadang berdasarkan pada wahyu, kadang berdasar pada
pemikiran spekulatif. Terhadap pertanyaan, “Dari manakah manusia, hidup dan alam
semesta ini berasal?”, Sekulerisme memang menjawab, bahwa manusia, juga alam
semesta dan kehidupan, adalah ciptaan Tuhan. Dengan kata lain, antara apa yang ada
sebelum kehidupan dunia (qabla al-hayati al-dunya) dengan kehidupan dunia kini (al-
hayatu al-dunya) terdapat hubungan penciptaan (shilatu al-khalqi). Jawaban ini wajar
Manajemen Diri – Potensi, Kompetensi, Emosi 15
adanya, karena paham sekulerisme tidak menafikan agama (Nashrani), melainkan hanya
menolak perannya dalam mengatur kehidupan. Jadi, pengakuan terhadap eksistensi
Tuhan dan peran-Nya dalam penciptaan tetap ada, walaupun hanya bersifat formalitas
belaka.
Bedanya dengan Islam, Sekulerisme tidak mengakui adanya hubungan perintah dan
larangan (shilatu al-awamir wa al-nawahi) antara Tuhan dengan manusia. Tuhan dianggap
tidak berhak mengatur bagaimana manusia harus berkiprah dalam aspek politik,
ekonomi, budaya, pendidikan, dan bidang kehidupan lainnya. Manusialah yang mengatur
semua itu dengan hukum buatannya sendiri. Tuhan hanya mengatur hubungan khusus
yang bersifat personal antara manusia dengan Nya. Dalam kehidupan publik, manusialah
yang berhak mengaturnya, bukan Tuhan (Shalih, 1988).
Mengenai pertanyaan ”Untuk apa manusia dan kehidupan ini ada?”, Sekulerisme
memberikan jawaban bahwa manusia hidup di dunia adalah untuk mengejar kebahagiaan
duniawi, yakni mencari kepuasan jasmani yang sebesar-besarnya.
Jawaban inilah yang menyebabkan mengapa di tengah-tengah mereka berkembang
paham hedonisme, pragmatisme, dan utilitarianisme. Dan semua sarana pemuasan
tersebut dianggap tidak perlu diperoleh berdasarkan aturan agama. Cukup diperoleh
dengan aturan yang dibuat oleh manusia itu sendiri. Bahkan untuk kehidupan umum
mereka bersikeras harus steril dari pengaruh aturan agama (Al Qashash, 1995).
Ini jelas sangat berbeda dengan Islam. Islam menjelaskan bahwa tugas manusia di
dunia adalah beribadah, yang pasti menggunakan ketentuan dan aturan Islam (hukum-
hukum syara’) dalam segala aspek kehidupannya, bukan dalam aspek ibadah mahdhah
saja. Bahkan Islam memandang, Islam harus diamalkan secara menyeluruh (kaffah),
tidak boleh sepotong-sepotong. Mengamalkan Islam secara sepotong-sepotong, misalnya
menerima hukum Islam dalam beribadah shalat dan haji, tapi menolak hukum Islam
dalam sistem pemerintahan dan ekonomi, adalah sesuatu yang amat bertolak belakang
dengan Islam, yang dapat menimbulkan celaka di dunia dan di akhirat.

“Apakah kalian akan beriman kepada sebahagian Al Kitab dan ingkar terhadap
sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian di antara
kalian, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada Hari Kiamat nanti
mereka akan dikembalikan kepada siksa yang sangat berat.”
(QS Al Baqarah : 85)

Mengenai pertanyaan “Kemana manusia dan kehidupan setelah di dunia ini?”,


Sekulerisme memang menjawab bahwa nanti manusia akan dibangkitkan lagi pada Hari
Kiamat. Jadi, hubungan pembangkitan dan pengumpulan (shilatu al-ba’tsi wa al-nusyur)
mereka juga akui adanya.
Namun bertolak belakang dengan Islam, Sekulerisme tidak mengakui adanya
hubungan perhitungan amal (shilatu al-hisab), atau setidak-tidaknya hubungan itu
menjadi absurd dan kontradiktif. Sebab hubungan perhitungan amal hanya akan wujud,
jika manusia di dunia diharuskan berpegang pada perintah dan larangan-Nya. Oleh
karena mereka membuat aturan hidupnya sendiri dan tidak menjalankan agama dalam

Manajemen Diri – Potensi, Kompetensi, Emosi 16


mengatur kehidupan, bagaimana mungkin mereka diharuskan
mempertanggungjawabkannya di hadapan Tuhan? Bukankah seharusnya mereka
mempertanggungjawabkannya terhadap diri sendiri? Pemikiran seperti ini tentu saja
sangat naif.

JAWABAN YANG BENAR TERHADAP AL-UQDATU AL-KUBRO


Dari kedua versi jawaban di atas, manakah jawaban yang benar? Agar jawaban yang
diberikan atas tiga pertanyaan tersebut memuaskan akal sekaligus dapat menentramkan
jiwa yang berarti sesuai dengan fitrah manusia, maka jawaban itu harus pasti benar.
Dan jawaban yang pasti benar hanya mungkin didapat bila bersumber dari sesuatu yang
pasti benar juga. Itulah al-Qur’an, yang otentik merupakan wahyu Allah, sehingga apa
saja yang dikatakan al-Qur’an pasti benar.
Sementara, pemikiran spekulatif tidak berdasar. Nilainya bisa benar bisa salah.
Namun bila terdapat sumber yang pasti benar, maka pemikiran spekulatif tentang
hakikat hidup di dunia pasti salah adanya. Maka, bagi seorang muslim, jawaban yang
benar tentu saja adalah yang bersumber dari al-wahyu, yakni Al Qur`an dan As
Sunnah. Namun, bagaimana meyakini bahwa al-Qur`an itu betul-betul merupakan wahyu
Allah ? Apa buktinya?

Manajemen Diri – Potensi, Kompetensi, Emosi 17


Peraga 3.
Perbandingan Jawaban Islam dan Sekulerisme

N ASPEK ISLAM SEKULERISME


PERTANYAAN
1. ”Darimana Manusia diciptakan Manusia diciptakan
manusia berasal?” Allah SWT Tuhan (secara
formalitas)
Mengakui
hubungan perintah & Tidak mengakui
larangan (shilatu al- hubungan perintah &
awamir) antara Allah larangan antara Allah
dan manusia dan manusia (kecuali
secara parsial dan
personal)
2. “Untuk apa Ibadah kepada Allah Mencari kepuasan
manusia ada?” SWT (hidup sesuai jasmani yang sebesar-
tuntunan Islam) besarnya (tidak terikat
dengan tuntunan
agama)
3. “Kemana Kebangkitan pada Kebangkitan pada Hari
manusia setelah Hari Kiamat Kiamat (secara
di dunia ini? formalitas)
Mengakui
hubungan Tidak mengakui
perhitungan amal hubungan perhitungan
(shilatu al- amal (shilatu al-
muhasabah) muhasabah), atau
membuat hubungan itu
tidak jelas

KESIMPULAN SAHIH BATIL

Manajemen Diri – Potensi, Kompetensi, Emosi 18


Secara faktual, al-Qur’an adalah kitab berbahasa Arab yang dibawa oleh Rasulullah
Muhammad SAW. Maka, secara rasional hanya ada tiga kemungkinan asal Al Qur'an: 1)
karangan bangsa Arab; 2) karangan Nabi Muhammad SAW; 3) berasal dari Allah SWT.
Kemungkinan pertama bahwa Al Qur’an adalah karangan bangsa Arab tidak bisa
diterima. Sebab, faktanya bangsa Arab taklah pernah mampu memenuhi tantangan
untuk membuat kitab serupa al-Qur'an.

"Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Qur'an yang Kami wahyukan
kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal dengan Al
Qur'an itu dan ajaklah penolong-penolong kalian selain Allah, jika kamu orang-orang
yang benar"
(QS Al Baqarah : 23)

Kemungkinan kedua bahwa Al Qur’an adalah karangan Nabi Muhammad SAW juga
tidak bisa diterima. Mengapa? Ada dua sebab. Pertama, Nabi Muhammad SAW termasuk
orang Arab. Kalau seluruh orang Arab tidak mampu memenuhi tantangan untuk
membuat satu surat pun yang semisal dengan Al Qur'an, apalagi Nabi Muhammad yang
ummi (tidak bisa membaca dan menulis) tentu lebih tidak bisa lagi. Andai saja nabi
Muhammad bisa membuat al-Qur’an, apalagi orang-orang Arab lain yang lebih pandai
dari Nabi Muhammad tentu lebih bisa membuat al-Qu’an.
Kedua, gaya bahasa dalam tutur kata beliau sebagaimana yang terekam dalam
hadits-hadits qauliyah ternyata berbeda dengan gaya bahasa Al-Qur'an. Sekalipun
seseorang barangkali bisa berbicara dalam dua gaya bahasa, namun mengeluarkan
ungkapan dalam intensitas yang tinggi sebagaimana yang terjadi dalam kehidupan
sehari-hari Rasulullah SAW adalah suatu hal yang mustahil terjadi. Kalau pun ada yang
berupaya keras melakukannya, kemiripan di antara dua gaya bahasa yang dia ungkapkan
akan kerap kali terjadi. Sedangkan gaya bahasa Al-Qur'an jelas berbeda dari gaya
bahasa hadits. Ini jelas menunjukkan bahwa Al-Qur'an bukanlah perkataan (kalaam) Nabi
Muhammad SAW sendiri.
Bahwa Al-Qur`an itu bukan buatan Muhammad SAW, juga dibuktikan dengan
adanya fakta-fakta ilmiah yang terkandung dalam sebagian ayat-ayat Al-Qur`an. Fakta-
fakta yang sedemikian canggih dan rumit itu baru terbukti pada masa modern kini, yang
menunjukkan Al-Qur`an tidak mungkin dikarang oleh Muhammad SAW yang ummi itu.
Dengan kata lain, Al-Qur`an itu hanya dari sisi Allah saja, bukan dari yang lainnya. Di
antara fakta-fakta ilmiah itu antara lain tentang atmosfer bumi dan pergiliran siang dan
malam secara cepat.

“Dan Kami menjadikan langit itu sebagai atap yang terpelihara, sedang mereka
berpaling dari segala tanda-tanda (kekuasaan Allah) yang terdapat padanya.”
(QS Al Anbiyaa` : 32)

Para ilmuwan sekarang menjelaskan kepada kita bahwa “atap yang terpelihara”
(saqfan mahfuzhan) dalam ayat di atas adalah lapisan atmosfer, yaitu udara yang

Manajemen Diri – Potensi, Kompetensi, Emosi 19


berlapis-lapis di atas bumi. Seandainya atmosfer tidak ada, niscaya jutaan meteor yang
setiap hari terbakar di angkasa akan jatuh mengenai kita dan membakar segala sesuatu
di bumi. Atmosfer telah dijadikan Allah bagaikan atap yang kokoh yang melindungi bumi
beserta segenap makhluk hidup di dalamnya.
Tentang pergiliran siang dan malam secara cepat, Allah berfirman,

“Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat.”


(QS Al A’raaf : 54)

Maksud ayat di atas, bahwa siang dan malam, masing-masing saling mengikuti
secara cepat dengan tidak terputus. Ayat tersebut mengandung suatu isyarat tentang
rotasi bumi yang menyebabkan datangnya siang dan malam.

“Dia menutupkan malam kepada siang dan menutupkan siang kepada malam.”
(QS Az Zumar : 5)

“Dia memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam


malam.”
(QS Faathir : 13)

“Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-
masing beredar menurut garis edarnya.”
(QS Al Anbiyaa` : 33)

Kosmonot Rusia, Yuri Gagarin, ketika terbang ke angkasa mengatakan bahwa dia
menyaksikan dengan mata kepala sendiri pergiliran gelap dan cahaya yang cepat di
permukaan bumi karena adanya rotasi bumi.
Inilah beberapa contoh ayat Al-Qur`an yang membuktikan pula bahwa Al-Qur`an itu
berasal dari dari Allah SWT semata, bukan buatan manusia, termasuk Muhammad SAW.
Pada zaman Nabi Muhammad SAW ilmu pengetahuan yang mengungkapkan hakikat
ayat-ayat itu tidak dikenal. lmu pengetahuan seperti ini hanya diketahui oleh manusia
modern saat ini. Maha benar Allah dengan firman-Nya:

“Katakanlah, ’Al Qur`an itu diturunkan oleh (Allah) yang mengetahui rahasia langit
dan bumi. Sesungguhnya dia adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS Al Furqaan : 6)

Bila kemungkinan pertama dan kedua tidak terbukti, maka kemungkinan ketigalah
yang pasti benar, yaitu bahwa Al-Qur'an itu berasal dari sisi Allah SWT. Al-Qur'an adalah
ucapan (kalaam) Allah SWT. Patut dicatat di sini bahwa seorang tokoh sastrawan Quraisy
yang bernama Walid bin Mughirah pernah mengatakan:

Manajemen Diri – Potensi, Kompetensi, Emosi 20


"Aku adalah orang yang paling tahu tentang sya'ir Arab. Tak ada yang lebih pandai
tentang hal itu kecuali aku. Sungguh apa yang dibaca Muhammad itu bukanlah
ucapan manusia. Dia itu tinggi, tak ada yang lebih tinggi darinya."

Adapun jawaban paham Sekulerisme terhadap al-Uqdatul al-Kubro, adalah jawaban


yang amat spekulatif, karena ia berasal dari manusia yang lemah dan terbatas, serta
tidak dapat menjangkau pengetahuan di luar batas-batas kemampuan inderawinya.
Bahkan merekapun sendiri tak yakin, apakah jawaban itu benar. Bila ada jawaban yang
pasti benar (yang bersumber dari al-wahyu), maka jawaban spekulatif ini pasti salah.
Oleh karena itu, wajib bagi setiap muslim untuk meyakini jawaban tentang al-
Uqdatu al-Kubro yang diberikan oleh Islam karena jawaban ini didasarkan pada al-wahyu
yang pasti benar. Allah menjelaskan bahwa tiap muslim wajib mengikuti apa yang telah
diturunkan-Nya dan haram mengambil petunjuk selain darinya.

“Ikutilah apa yang diturunkan kepada kalian dari Tuhan kalian dan janganlah kalian
mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya.”
(QS Al A’raaf : 3)

Jawaban Islam tentang al-Uqdatu al-Kubro yang bersumber dari wahyu Allah adalah
jawaban yang sahih, memuaskan akal, dan sesuai dengan fitrah manusia.

“Alif laam miim. Kitab (Al Qur`an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi
mereka yang bertaqwa.”
(QS Al Baqarah : 1-2)

Sementara, sekulerisme memang memberikan jawaban terhadap Al-Uqdatul al-


Kubro. Tapi jawaban yang diberikan itu salah, karena berlandaskan pada pemikiran
spekulatif.

Manajemen Diri – Potensi, Kompetensi, Emosi 21


MANUSIA

Dari
Dari mana?
mana?
Untuk
Untuk Apa?
Apa?
Akan
Hidup
Akan
di
kemana?
kemana?
dunia
untuk
ibadah

Memenuhi
Memenuhi
ghorizah (naluri)
(naluri) &
&
hajatul udlowiyah
(kebutuhan
(kebutuhan jasmani)
jasmani)
dengan
dengan cara
cara Islam
Islam

Peraga 4. Paradigma Manusia

Manajemen Diri – Potensi, Kompetensi, Emosi 22


Dengan jawaban tuntas yang diberikan Islam tentang tiga pertanyaan mendasar
“dari mana manusia berasal?”, “untuk apa manusia hidup?” dan “kemana setelah mati?”,
tersingkaplah simpul besar hakikat hidup seorang muslim dengan gamblang, yakni
bahwa manusia diciptakan Allah untuk beribadah kepada-Nya. Setelah mati akan kembali
kepada Allah untuk mempertanggung jawabkan apa yang telah dilakukan di dunia pada
hari perhitungan (yaumu al-hisab). Dari itu akan ditentukan apakah manusia akan
menjadi penghuni surga atau neraka. Maka, hidup seorang muslim adalah hidup dengan
misi yang agung, hidup yang terarah dan mantap, serta hidup yang bermutu tinggi
dengan keyakinan akan kegemilangan hidup hakiki yang abadi di akherat kelak.
Maka, kehidupan dunia dengan kehidupan sebelumnya terikat dengan hubungan
penciptaan (shilatu al-khalq). Sementara, kehidupan dunia dengan kehidupan
sesudahnya terikat dengan perhitungan (hisab).

Ketika menciptakan manusia, Allah SWT melengkapinya dengan potensi-potensi


kehidupan (thaqatun hayawiyatun) yang secara fitri akan mendorongnya untuk
beraktifitas mewujudkan misi penciptaannya sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya.
Potensi kehidupan yang dimaksud, menurut Syekh Muhammad Muhammad Ismail dalam
kitab Al Fikru Al Islamy, berupa hajatu al ‘udhawiyah (kebutuhan jasmani) dan gharizah
(naluri).
Hajatu al ‘udhawiyah dapat berupa rasa lapar, haus dan kebutuhan untuk buang
hajat besar dan kecil, sementara gharizah berupa naluri beragama (gharizatu al-tadayun)
yang berwujudannya berupa kecenderungan manusia untuk melakukan ibadah atau
aktifitas mensucikan segala sesuatu yang dianggapnya besar; naluri melangsungkan
keturunan (gharizatu al nau’) dimana perwujudannya diantaranya berupa ketertarikan
manusia kepada lawan jenisnya; dan naluri untuk mempertahankan diri (gharizatu al
baqa’), yang salah satu wujudnya adalah keinginan manusia untuk menjadi pemimpin.
Kebutuhan jasmani dan naluri itu menghendaki pemenuhan. Persoalannya kemudian
adalah disamping terkait dengan kemampuan menyediakan sarana/alat (material)
pemuas, juga adalah bagaimana caranya manusia memuaskan semua kebutuhan
jasmani dan naluri-naluri itu. Di sinilah, sesuai dengan misi penciptaan manusia
sebagai abdullah dan khalifah Allah SWT, upaya memenuhi dan menyalurkan
segenap potensi kehidupan itu juga senantiasa harus berlandaskan pada aturan-aturan
syariat Allah. Maka, upaya memenuhi kebutuhan jasmani dan naluri dengan cara yang
tidak sesuai dengan aturan Allah berarti dengan sendirinya bertentangan dengan hakikat
misi penciptaan manusia itu sendiri.

MELEJITKAN KOMPETENSI

Ibadah Mahdhah, Sebuah Energi

Muhammad adalah Rasulullah. Beliau dan para sahabatnya tukang ruku’ dan sujud
bersimpuh di hadapan Allah SWT. Sejak awal, memang, beliau diperintahkan oleh Allah
SWT Pencipta kita untuk senantiasa dekat dengan-Nya. Ibadah mahdhah merupakan
Manajemen Diri – Potensi, Kompetensi, Emosi 23
jalan penting meraih kedekatan ini. Dan, ternyata Rasulullah SAW beserta sahabat-
sahabatnya memiliki ketegaran dalam mengarungi hidup memperjuangkan Islam sebagai
buah dari ibadah yang dilakukannya. Kemenangan pun mereka raih. Kehidupan mereka
yang berat dapat diraih dengan gemilang.
Sama seperti mereka, hidup ini memang berat. Apalagi jaman sekarang. Sebagai
contoh; seorang Mahasiswa mengeluh karena Dosennya sulit ditemui sehingga skripsi
tidak beres-beres, Sarjana pusing tujuh keliling karena kesulitan mencari pekerjaan
sedangkan godaan tak terhitung banyaknya. Disisi lain, masyarakat banyak mengidap
penyakit –sikap-- acuh tak acuh, orang seringkali tidak peka terhadap kesulitan
temannya, tetangga rumah sering membuat masalah, mobil rusak berat karena tertabrak
orang yang tidak bertanggung jawab dari belakang, anak merengek-rengek terus minta
jajan sedangkan uang sudah sangat minim bahkan kurang, atau barangkali problem
interaksi dengan isteri/suami tidak harmonis. Wajar saja jika Anda atau siapapun
orangnya merasa penat menghadapi persoalan hidup tersebut. Apalagi jika Anda adalah
seorang pengemban dakwah. Sekalipun permasalahan pribadi tak dipandang sebagai
persoalan berat, namun persoalan menyampaikan dakwah pun tidak semulus jalan tol.
Ejekan, sikap sinis, tuduhan, cap negatif, ancaman, propaganda, kekhawatiran akan
dijebloskan ke penjara, rekrutmen yang tersendat, dimata-matai, tuntutan banyak
sementara kemampuan terasa kurang, kewajiban lebih banyak daripada waktu 24 jam
sehari yang dimiliki dan berbagai persoalan lainnya.
Pribadi yang dapat tegar dalam menghadapi semua ini adalah pribadi yang
memiliki kekuatan raksasa. Kekuatan itu bukanlah dorongan materil berupa uang,
popularitas, relasi banyak, atau banyak kenalan yang membantu. Bukan pula kekuatan
maknawiyah berupa kasihan pada orang lain, sayang menghambur-hamburkan waktu,
atau membela saudara. Bukan, sekali lagi bukan itu kekuatan raksasa yang kokoh
tersebut. Kekuatan raksasa itu tidak lain adalah kekuatan rûhiyah yang berupa kesadaran
akan hubungan kita --sebagai makhluk-- dengan Allah SWT sebagai khaliq (idrâk shilah
billâh), yang terwujud dalam ketaatan dan akhirnya menjelma menjadi kedekatan kita
dengan-Nya. Setiap bentuk ketaatan dapat mendekatkan diri kepada Allah Pencipta Alam.
Dan, siapapun dapat meraihnya. Termasuk kita. Diantara cara untuk mencapai kedekatan
tersebut adalah dengan melakukan ibadah mahdhah secara sungguh-sungguh kepada-
Nya. Yakinlah, Allah SWT Maha Dekat kepada siapapun yang ingin mendekatkan diri
kepada-Nya.
Berkaitan dengan hal ini Rasulullah SAW bersabda dalam suatu hadits Qudsiy
bahwa Allah SWT berfirman:

“Bila seseorang mendekat kepada-Ku sejengkal maka Aku mendekat kepadanya


sehasta, bila ia mendekat kepada-Ku sehasta maka Aku mendekat kepadanya sedepa,
dan apabila ia datang kepada-Ku dengan berjalan maka Aku datang kepadanya dengan
berlari.” (HR. Bukhari)

Mendekatkan diri dengan memperkuat ibadah mahdhah ini amatlah penting.


Buktinya, Nabi SAW melakukan hal tersebut. Beliau adalah orang yang paling banyak

Manajemen Diri – Potensi, Kompetensi, Emosi 24


kebaikannya. Kepadatan aktivitas dakwahnya pun tidak ada yang menandingi. Tapi, toh,
Beliau tetap melakukan penuh kesungguhan ibadah mahdhahnya.
Alkisah. Suatu malam, seperti biasanya, Rasulullah Muhammad SAW bersama
isterinya, ‘Aisyah, bangun untuk shalat tahajjud. Nampak kedua kaki Beliau bengkak-
bengkak. Kondisi demikian mendo-rong ‘Aisyah bertanya kepadanya. “Wahai Rasulullah,
kenapa tuan berbuat seperti itu (shalat tahajjud terus menerus) sedangkan Allah telah
mengampuni segala dosa tuan, baik dosa yang lampau maupun dosa yang akan
datang?,” tanyanya. Beliau menjawab: ”Apakah tidak sepantasnya aku menjadi seorang
hamba Allah yang bersyukur?” (HR. Bukhari dan Muslim)
Peristiwa di atas menunjukkan betapa Rasulullah SAW mengajari kita untuk
senantiasa kontinyu dan bersungguh-sungguh mendekatkan diri kepada Allah SWT
dengan berbagai ibadah, termasuk ibadah mahdhah. Dengan demikian, tidak ada alasan
bagi siapapun yang mencintai Rasul dan hendak mencontohnya mengabaikan ibadah
mahdhah tersebut. Bila Anda sibuk berdakwah, itu bagus. Namun, jika kesibukan tadi
dijadikan dalih meninggalkan aktivitas mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui
ibadah mahdhah maka jiwa akan hampa dan kedekatan kepada-Nya pun menjadi
hambar. Yakinlah, ibadah mahdhah merupakan charger bagi batere yang lemah hingga
berenergi terus (Silakan hayati makna surat Al Furqân [25] ayat 64).

Meniti Jalan Ibadah


Kalau kita memikirkan bagaimana jalan ibadah dari pangkal hingga ke akhirnya,
kita akan mengetahui bahwa jalan tersebut bukanlah jalan yang mudah. Siapapun pernah
merasakan hal ini. Sebagai contoh, boleh jadi ada diantara kita yang masih berat
melakukan shalat, apalagi shalat tahajjud. Dorongan untuk melakukannya tidak terasa
kuat. Membaca Al Quran pun bila tidak dipaksakan seringkali terlupakan, padahal itu
adalah kitab yang kita serukan sebagai sistem kehidupan. Bukan mustahil ada diantara
kita yang abai mengamalkan dzikir-dzikir yang diajarkan Rasulullah, atau lupa lagi akibat
lama tak diamalkan. Saya yakin kita semua merasakan bahwa perjalanan ibadah
demikian jauh, banyak bukit yang harus didaki, berat ujiannya, banyak halangannya,
sedikit manusia yang mau memahaminya dan sedikit pula di antara manusia yang
berhasil melewatinya. Gambaran seperti ini bukanlah berarti bahwa ibadah itu berat dan
memberatkan. Tetapi memang untuk menempuhnya diperlukan berbagai modal agar
seorang hamba berhasil melewati jalan ibadah itu dengan baik. Satu kata kunci dalam
hal ini adalah kesungguhan/keistiqamahan.
Suatu ketika ada seorang sahabat yang bertanya: Ya Rasul, beri aku satu nasihat
yang dengan nasihat itu aku tidak perlu lagi bertanya kepada orang lain tentang Islam !
Rasul yang mulia pun menjawab: qul amantu billâhi tsummastaqim ! (katakanlah: aku
beriman kepada Allah kemudian beristiqamahlah). Istiqamah itu bermakna teguh
pendirian dalam mengemban dan melaksanakan suatu keyakinan.
Pada masa sekarang, di mana agama hanya dianggap satu bagian (yang kecil) dari
aturan-aturan kehidupan yang mengikat manusia, bahkan bagian tersebut bukanlah
bagian yang cukup penting; terasa lebih mempersulit langkah seorang hamba yang ingin
melaksanakan aturan syara’ apalagi untuk beristiqamah di jalan tersebut. Beribadah
Manajemen Diri – Potensi, Kompetensi, Emosi 25
dengan istiqamah dan istiqamah dalam peribadahan, memang satu ujian bagi seseorang.
Berbagai kendala akan senantiasa ada kapanpun. Menunggu suatu waktu di mana tidak
ada lagi ujian dan cobaan untuk beribadah dan beristiqamah adalah mustahil.
Karenanya, tidak ada jalan dan pilihan lain kecuali menghadapi segala situasi dan kondisi
yang ada, bagaimanapun, di manapun dan kapanpun.
Menjadi seorang ahli ibadah –dalam arti ibadah mahdhah-- jelas membutuhkan
banyak persiapan; mulai dari persiapan pemahaman tentang makna ibadah itu sendiri
sampai persiapan untuk mampu menghadapi berbagai rintangan dan cobaannya.
Persiapan ini menjadi begitu pentingnya karena persiapan ini berarti kita menyiapkan
bekal guna menempuh suatu perjalanan yang teramat penting yang nantinya akan
menentukan bagaimana corak kehidupan kita nantinya baik di dunia maupun kehidupan
akherat. Persiapan-persiapan yang harus kita wujudkan segera itu di antaranya adalah
beberapa persiapan berikut:

Pertama, menuntut ilmu


Siapapun tidak akan mengagungkan Allah SWT jika ia tidak tahu dan yakin bahwa
Allah itu Maha Agung. Demikian pula, tidak mungkin seseorang melakukan ‘ibadah
dengan benar jika ia tidak mengetahui dan meyakini aturan ibadah yang benar dalam
Islam. Kalau kita umpamakan seseorang yang akan menempuh perjalanan ke Blitar,
maka pertama-tama ia harus mengetahui di mana kota Blitar itu dan jalan mana yang
harus ia lalui. Bagaimana ia dapat sampai ke kota itu, jalan mana yang tidak boleh ia lalui
dan sebagainya. Tanpa itu maka ia tidak akan dapat sampai ke Blitar.
Ringkasnya, langkah pertama yang harus ditapaki oleh seorang hamba dalam
menempuh jalan ibadahnya adalah menuntut ilmu sehingga ia tahu tentang aturan-
aturan Islam dan akhirnya ia tidak berbuat semaunya sendiri. Inilah pintu gerbang yang
harus dilalui untuk menempuh perjalanan panjang menuju tempat tujuan. Disinilah letak
pentingnya menuntut ilmu. Berbagai ayat dan puluhan hadits telah menguraikan tentang
kewajiban dan keutamaan menuntut ilmu tersebut.
Dalam menuntut ilmu, beberapa hal berikut ini harus dicamkan, yaitu:
a. Ilmu Islam itu bukan hanya untuk kepuasan intelektual atau kepuasan akal saja,
tetapi untuk diamalkan. Jadi, sesaat setelah kita mengetahui tentang sesuatu
langsung kita amalkan.
b. Menuntut ilmu itu harus melalui proses fikriyah, yaitu harus melalui proses berfikir
sehingga kita betul-betul mengerti, memahami dan meyakininya.
c. Amalkan ilmu Islam yang telah diketahui sekarang juga, jangan menunda-nunda.
d. Lakukan upaya penyebaran ilmu yang dimiliki. Hal ini akan menambah kepahaman
si pengembannya.

Kedua, Bertaubat
Inilah langkah kedua dalam jalan ibadah. Langkah ini merupakan langkah
pembersihan hati/jiwa atas segala kesalahan terdahulu. Sekaligus hal ini merupakan
upaya untuk meringankan beban bagi perjalanan selanjutnya. Taubat, suatu perbuatan
hati yang mencakup perasaan dan pengakuan bersalah, benci atas perbuatan salahnya

Manajemen Diri – Potensi, Kompetensi, Emosi 26


tersebut dan berusaha serius untuk tidak mengulanginya lagi. Insya Allah taubat seperti
inilah yang maqbul. Diri yang lalai seringkali melupakan taubah, padahal Imam Bukharî
dan Muslim meriwayatkan satu hadits, Rasulullah bersabda:

“Sesungguhnya aku memohon ampun dan bertaubat kepada Allah dalam satu hari
lebih dari tujuh puluh kali.”

Sesekali, sengajakan untuk mandi lalu shalat taubat dua rakaat, dan
bermunajatlah ke hadirat Allah. Mengadulah sepuas-puasnya, memohonlah atas segala
kemurahan-Nya, angkatlah kedua tangan seraya berdoa:

“Ya Allah, ya Rabbî inilah hamba-MU, datang ke hadapan-Mu, membawa banyak cacat
cela atas segala tingkah, membawa kekeruhan jiwa karena dosa, membawa harapan
agar Kau tiada bosan mengampuni seluruh dosa, memaafkan segala khilaf. Pandanglah
aku dengan pandangan rahmat-Mu. Terimalah aku dengan kekuasaan maghfirah-Mu.
Yaa Rabbî, andai Engkau tak memenuhi hajat hamba-MU yang lemah ini, kepada siapa
kami kan mencari ganti-MU? Tiada Ilâh selain Engkau, Yaa Rahman Yaa Rahîm, pelihara
dan kuatkanlah kami dalam langkah ini ...”

Ketiga, Zuhud
Zuhud maknanya adalah tidak tergiur dan tertarik oleh dunia sehingga
menyebabkan lupa akhirat. Zuhud bukanlah meninggalkan dunia sama sekali. Zuhud
bukanlah dengan mengasingkan diri, jauh dari komunitas dan mengkhususkan diri untuk
melakukan ritual-ritual ibadah semata. Karena Allah-pun memerintahkan kita untuk
mencari karunia yang diturunkan-Nya di dunia. Allah SWT berfirman:

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akherat dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi.” (QS.
Al-Qashash [28] : 77)

Mencari penghidupan duniawi jelas berbeda dengan menghambakan diri bagi


kehidupan duniawi. Jiwa yang terbiasa dengan sikap zuhud akan mewujudkan amal
ikhlash dan istiqamah. Tetap tegar meski manusia meremehkannya atau bahkan
melecehkannya. Salman al-Farisî, salah seorang shahabat dan arsitek perang Khandaq,
berpesan: “Hati yang zuhud terhadap dunia akan terang oleh cahaya hikmat dan
anggota badannya saling membantu untuk beribadah. Selain itu amal ibadah orang yang
zuhud sangat berharga di sisi Allah swt.”
Zuhud, setidaknya harus nampak dalam memilih teman, serta memerangi syaithan
dan hawa nafsu. Zuhud dalam memilih teman, berarti tidak sembarangan berteman
tetapi memilih teman yang berkepribadian Islam. Teman yang berkepriba-dian itu secara
kasat mata dapat kita ketahui dari beberapa hal, di antaranya:
1. Komitmen terhadap syari’at Islam dengan niat yang ikhlash, jujur dalam ketaatan
dan kontinyu beramal.

Manajemen Diri – Potensi, Kompetensi, Emosi 27


2. Tidak tampak kemaksiyatan, bid’ah atau-pun hal-hal yang bertentangan dengan
syara’ dalam dirinya.
3. Sibuk mentafakuri aib dan kesalahan sendiri, masa bodoh terhadap aib orang lain.
4. Beramar ma’ruf nahi munkar.
5. Nampak sinar keimanan terpancar dari wajahnya.
6. Bersemangat dan berdaya juang tinggi dalam menyelesaikan problematika umat.
7. Berdakwah full semangat serta ikhlash dalam berjuang membangkitkan umat.
Adapun zuhud dalam memerangi syaithan, maka pertama-tama kita mengucap-
kan lafazh ta’awudz (A’udzu billahi minasy syaithânir rajîm) dengan lisan dan disadari
dalam hati. Jika syaithan masih mengganggu, maka tekadkan dengan kuat untuk terus
memeranginya dengan cara tidak mempertu-rutkan kehendaknya. Sementara itu nafsu
ibarat kuda binal. Bila dibiarkan, ia akan kabur entah ke mana, namun bila dikendalikan
maka ia akan patuh kepada kusirnya. Nah, kendali hawa nafsu itu adalah taqwa. Dengan
didasari taqwa inilah mata dijaga agar tidak memandang yang haram (QS. an-Nûr
[24] : 31-32), telinga dicegah mendengarkan perkataan dosa dan tidak berguna,
lidahpun tak akan bicara seenaknya.
Dengan zuhud seperti itu, insya Allah, dorongan untuk ibadah sangatlah kuat. Dari
dalam diri mendorong, teman pun mendukung.

Ke empat, Jangan takut kekurangan rizki


Sesungguhnya musibah, kesengsaraan, kebahagiaan, semua itu adalah ujian. Rizki
menguji manusia apakah ia sabar disaat rizkinya sedikit, dan apakah ia akan bersyukur
ketika rizkinya banyak. Ketetapan Allah atas hal ini sudah jelas, sebagaimana firman Allah
dalam ayat berikut:

“Dan janganlah kalian membunuh mereka (anak-anakmu) karena takut miskin. Kamilah
yang akan memberi rizki kepada mereka dan juga kepadamu.” (TQS. Al-Isra’ [17] :
31)

“Dan di langit terdapat rizkimu dan apa yang dijanjikan kepadamu.” (TQS. Adz-
Dzariyat [51] : 22)

Musibah, kesengsaraan dan ujian tidak akan menimpa kita kecuali apa yang
ditetapkan oleh Allah kepada kita. Hadapilah semua itu dengan kesabaran. Yakinlah
semua itu merupakan yang terbaik bagi kita. Namun walaupun demikian, kita harus
berusaha menghindarinya. Ingat semua itu tentu ada hikmah baiknya bagi kita. Pilihan
Allah tentu yang terbaik. Coba renungkan hal berikut ini ! Andaikata ada orang yang
berkata kepada Anda bahwa segala urusan Anda akan ditanggung olehnya, dan diatur
sesuai dengan kemaslahatan Anda. Anda disuruh menyerah-kan segala urusan Anda
kepadanya. Sedang-kan orang yang berkata itu adalah orang yang paling luas ilmu dan
kebijaksanaannya, paling kuat dan berkuasa serta paling benar.
Kalau demikian, niscaya Anda akan senang dan berterimakasih kepadanya. Tentu
Anda yakin dia tidak akan memilihkan yang jelek. Coba kita renungkan, apakah kita

Manajemen Diri – Potensi, Kompetensi, Emosi 28


kurang percaya kepada Allah sampai-sampai kita tidak mau menyerahkan urusan
kepada-Nya? Siapakah yang lebih sayang, lebih tahu, lebih kuasa, dan lebih kaya
daripada Allah?

Kelima, harus khauf dan roja.


Untuk menjaga diri dari maksiyat, nafsu kita harus dididik dengan khauf, yaitu
merasa takut terhadap siksa Allah. Dengan khauf ini kita akan terdorong selalu taat
kepada-Nya. Di samping khauf, juga perlu roja, yaitu merasa penuh harapan mengingat
kemurahan Allah dan merasa tentram mengingat luasnya rahmat Allah. Seperti halnya
seorang petani tetap rajin bekerja di tengah terik matahari, disela-sela derasnya hujan
karena punya harapan akan menuai hasil tanamannya kelak suatu ketika. Khauf dan roja
ini dapat diperoleh dengan mengingat; a) firman-firman Allah yang dapat menimbul-kan
khauf dan roja, b) akan murka Allah di samping ampunan-Nya, dan c) balasan Allah
kepada hamba-Nya berupa pahala dan siksa.

Keenam, jangan riya’ dan ujub


Riya artinya beramal karena mengha-rap keuntungan dunia atau tidak diniatkan
lillâhi ta’ala; seperti beramal karena ingin dipuji, dihormati, disenangi atau mendapatkan
harta benda lainnya. Kebalikan riya’ adalah ikhlash, yaitu beramal hanya mengharap ridla
Allah semata. Ikhlash berarti pula tidak menghiraukan senang dan tak senangnya
pandangan manusia. Riya’ dan ikhlash memang pekerjaan hati, karenanya berhati-hatilah
dan berusahalah agar tetap memiliki hati yang bersih dari tujuan-tujuan lain selain lillâhi
ta’ala. Selain itu jagalah jiwa dari rasa ujub. Ujub berarti merasa diri memiliki sifat-sifat
yang serba sempurna. Rasa ujub sebenarnya hanyalah hak Allah, karena Ia-lah yang
Maha sempurna dalam segala hal. Manusia dengan pangkat apapun dan kedudukan
setinggi apapun tetap bukanlah makhluk yang berhak untuk merasa ujub.

Ketujuh, memuji dan bersyukur kepada Allah


Memuji dan bersyukur kepada-Nya atas segala nikmat yang diberikan-Nya akan
semakin menambah kenikmatan itu kepada kita. Bersyukur merupakan satu ciri
kehamba-an seorang hamba. Selain itu, syukur menciri-kan kebutuhan hamba akan
kelanggengan dan pertambahan nikmat yang selama ini diterimanya. Allah berfirman:

“Dan ingatlah ketika rabbmu mema’lumkan: ‘Sesungguhnya bila kamu bersyukur pasti
kami akan menambahkan nikmat kepadamu. Dan jika kamu mengingkari nikmat-Ku
sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih.” (TQS. Ibrahim [14] :7)

Betapa sombong orang yang telah beribadah tapi tidak bersyukur. Seseorang yang
dapat melakukan ibadah di tengah banyak orang tidak mampu melakukannya, bukankah
ini suatu nikmat besar yang patut disyukuri?! Sesaat seseorang bersyukur ia akan
terdorong untuk melakukan syukur berikutnya. Sebab, dapatnya ia bersyukur di tengah
banyak orang tidak mampu bersyukur kepada-Nya merupakan suatu nikmat pula.

Manajemen Diri – Potensi, Kompetensi, Emosi 29


Bila semua ini telah secara penuh dimiliki oleh siapapun, terlebih-lebih para
pengemban dakwah, niscaya ia akan menjelma menjadi seorang pejuang Islam (mujâhid)
sekaligus pada saat yang sama sebagai ahli dalam beribadah (muta’âbid). Setiap langkah
perjuangannya padat berisi amal-amal kebaik-an.

MEMATANGKAN EMOSI

Alkisah. Di Gunung Puteri, Bogor. Minggu ketiga Pebruari 2002, ada suatu acara
pengajian umum ibu-ibu. Penyelenggaranya seorang gadis. Dialah satu-satunya aktivis
andalan di sana. Belum ada pembicara yang pas untuk ibu-ibu, termasuk dirinya. Tak
kehilangan akal, sang ukhti mengundang pembicara dari Bogor. Awalnya pembicara
keberatan. “Saya harus membawa anak tiga, masih kecil-kecil,” alasannya. Namun,
dengan sabar ukhti itu menyanggupi menjemputnya. Bukan naik mobil pribadi,
melainkan naik bus. Jadi, betul-betul menjemput dalam arti sebenarnya. Tidak persoalan,
yang penting aktivitas dakwah berjalan. Sesampainya di tempat, sang ukhti dengan rasa
sabar membereskan tempat acara. Kelelahan nampak di wajahnya. Seusainya pengajian,
ia harus mengantar ibu pembicara dengan ketiga anaknya. Sore itu, tepat pukul 17.00
WIB, sampailah di Cibinong. “Dik, sudah saja mengantarnya sampai di sini,” tutur ibu
pembicara. “Besok, pukul delapan pagi adik ‘kan akan menikah. Saya do’akan semoga
menjadi keluarga sakinah,” tambahnya.
Subhânallâh. Akad nikah yang akan dilangsungkan besok tidak menghalanginya
beraktivitas untuk mengembangkan Islam. Padahal, di daerah Sunda masih dipahami
oleh banyak orang bahwa seorang perempuan yang akan menikah tidak boleh bepergian
kemana-mana. Apalagi, sehari menjelang hari H. Namun, penuh rasa sabar gadis
Shalihah itu meretas jalan setapak demi setapak semata untuk menumbuhkan bibit
dakwah di daerahnya. Saya, atau mungkin juga Anda, percaya andai saja berbagai
bisikan dalam hati dituruti (‘sudah, acaranya dibatalkan saja ‘kan akan menikah’, ‘seperti
tidak ada waktu lain saja’, ‘Ini ‘kan hari istimewa, lupakan saja dulu masalah dakwah’,
dan godaan lainnya), lalu kesabaran untuk menjalaninya sirna, tak mungkin acara yang
sudah diagendakan dapat terlaksana. Acara bubar. Agenda berantakan. Semangat ibu-
ibu terganjal. Padahal, sangat mungkin saat itu merupakan momen paling tepat untuk
menanam bibit dakwah Islam di sana.
Penggalan realitas tadi hanyalah sebagai bahan renungan bagi kita, betapa
kesabaran akan menghasilkan suatu kesuksesan. Tanpa kesabaran, apa yang kita
kehendaki hanya akan menjadi harapan tanpa kenyataan. Itu sekedar acara pengajian.
Apalagi, dalam perjuangan, kesabaran mutlak diperlukan.
Kesabaran meretas jalan menuju kematangan emosi. Ada sejumlah cara yang
dapat dilakukan untuk itu :

1. Mengingat janji Allah saat kita memenuhi kebutuhan fisik (hâjatul


‘udhawiyah) kita dan naluri (gharîzah).

Manajemen Diri – Potensi, Kompetensi, Emosi 30


Nafsu dalam diri kita bila tidak dijalankan di atas rahmat Allah swt. dapat menjadi
hama bagi kesabaran kita. Barangkali Anda adalah seorang mahasiswa. Ketika duduk di
bangku kuliah, seakan jalan perjuangan mulus laksana jalan tol. Betapa tidak, pikiran
hanya sekedar terfokus pada dakwah menegakkan Islam dan mencurahkan sebagian
pikiran untuk mempersiapkan ujian. Keuangan? Sudah dijamin oleh orang tua. Tiap
awal bulan, wesel dijamin datang; atau sudah ditransfer di rekening. Namun, Anda yang
baru saja lulus secara alami akan mulai berpikir untuk bekerja. Mendingan kalau
langsung memperoleh pekerjaan. Bila tidak, orang tua sudah menghentikan memberikan
‘gaji’. Sementara pekerjaan belum mendapatkan. Berencana bisnis, modal tidak ada.
Pada sisi lain, tuntutan bekerja pun terus datang. Mana keinginan menikah sudah
mendesak, lagi. Jangan salahkan diri Anda andaikan pada saat seperti itu terbetik dalam
diri Anda ketidaksabaran. Boleh jadi terlintas dalam diri Anda kata-kata “Wah, akibat
dakwah jadinya begini”. Yang sebenarnya hanyalah ungkapan pelarian dan legalisasi
terhadap sikap pribadi yang tak sabar. Karenanya, lintasan hati tersebut tak sepatutnya
dituruti. Sebab, hal tersebut hanyalah merupakan bisikan yang bila diperturutkan justru
membahayakan jiwa dan diri sendiri.
Yakinlah, setiap orang hidup pasti punya persoalan. Bukankah hdup ini ujian?
Bayangkan, apakah dengan berhasil bekerja atau berusaha sendiri persoalan selesai?
Dengan punya isteri semua masalah tuntas? Tidak! Masalah akan terus bermunculan
sepanjang kita hidup. Hanya jenisnya yang berbeda-beda. Bukan hanya persoalan
pribadi yang muncul, melainkan justru permasalahan perjuangan menegakkan Islam pun
berdatangan. Oleh karena persoalan akan terus dihadapi selama hidup, maka sabar
dalam mengungguli permasalahan yang dihadapi dalam perjuangan itu pun mutlak
seumur hidup. Upayakan ungguli setiap persoalan dan terus dengan sabar tapaki jalan
perjuangan dan dakwah.
Bila kita termasuk orang yang sekarang sedang menghadapi tantangan diri sendiri
seperti tadi, segeralah ingat kembali firman Allah swt. :
‫مم‬ ‫م‬ ‫و من أوحسن قوقولل ممون دعاَإمول الم و عممل م‬
‫لاَ وو وقاَول إ نمن مون الننمنسلم ن و‬
‫ي‬ ‫صاَ ل‬
‫و و و و‬ ‫و و ن ن و ن ن ن وو‬

“Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang berdakwah
(mengajak berpegang) kepada Allah, melakukan amal shalih dan menyatakan
‘seungguh aku bagian dari kaum muslimin’?” (QS. Fushilat [41] : 33)
Jelaslah, tidak ada perkataan yang lebih baik daripada dakwah. Jalan dakwah adalah
pilihan hidup kita. Oleh karena itu, resiko apapun dari dakwah ini merupakan pilihan
rasional kita. Dengan memilih jalan ini kita akan menjadi manusia terbaik yang dijanjikan
Allah Pencipta Alam untuk mendapatkan sorga Firdaus nan tinggi. Apalagi, bekerja atau
tidak bekerja, cepat punya jodoh atau tidak, miskin atau kaya, begitu juga kualitas hidup
tinggi atau rendah tidak berkaitan dengan dilakukannya dakwah. Tidak sedikit orang
yang tidak mendapatkan pekerjaan padahal tidak berdakwah, banyak orang yang belum
mendapatkan jodoh padahal dia tidak aktif berdakwah, tak jarang orang berada dalam
kemiskinan sekalipun tidak berjuang untuk tegaknya Islam dengan dakwah, dan banyak
sekali contoh mereka yang kualitas hidupnya rendah padahal hidupnya tidak sibuk

Manajemen Diri – Potensi, Kompetensi, Emosi 31


berdakwah. Jadi, tidak sepatutnya seseorang yang tengah mendapatkan kesulitan
pribadi melemahkan ghirahnya dalam dakwah. Secara manusiawi wajar saja hal ini
terjadi. Namun, bila sikap itu dikembangkan untuk tidak sabar dalam menapaki jalan
perjuangan, atau bahkan dijadikan dalih untuk melarikan diri dari jalan dakwah, bukanlah
sikap bijak. Bagaimana tidak, ketaksabaran dalam perjuangan tidak serta merta
menyelesaikan persoalan. Yang pasti, seseorang yang menipis kesabarannya dalam
berjuang lama-kelamaan bukan mustahil ia akan semakin jauh dari perjuangan itu
sendiri. Bila demikian, yang rugi bukanlah orang lain, tapi diri sendiri.
Memang, tidak patut kita memungkiri sama sekali adanya lintasan hati seperti
tadi. Justru yang perlu adalah bagaimana mengarahkannya hingga yang muncul justru
upaya untuk mengunggulinya dengan tetap sabar berada dalam perjuangan. Caranya
setiap kita memenuhi kebutuhan fisik (hâjatul ‘udhawiyah) kita dan naluri (gharîzah)
senantiasa kita mengingat janji Allah swt. yang akan diberikannya baik di dunia maupun
di akhirat. Allah swt. mengajarkan dalam surat Adh Dhuhâ [93] ayat 4:
‫ك ممون انلننوول‬
‫وولونلومخورةن وخنيَقرر لو و‬
“Dan sungguh akhirat itu lebih baik bagi engkau daripada kehidupan sebelumnya
(dunia)”.
Misalnya, ketika kita makan sekedar di warung Tegal terlintas ingin juga seperti
orang lain makan di restauran besar. Ingatlah Allah swt. membedakan rizki pada masing-
masing orang (QS. An Nahl [16] :71). Kalau mampu tidak apa-apa. Namun, bila tidak,
ingatlah saat itu bahwa makan itu adalah untuk mendapatan sehat demi beribadah
kepada Allah Maha Kuasa. Bila kita betul-betul beribadah total serta memperjuangkan
agama Allah swt. niscaya kelak akan dimasukkan sorga dengan diberi rizki tanpa
terhitung banyaknya (QS. Ghafir [40] : 40); minum dari air yang tidak berubah rasa dan
baunya, air susu yang tidak berubah rasa dan baunya, sungai dari khamr yang lezat
rasanya, dan sungai dari madu yang disaring, dan segala macam buah-buahan beserta
ampunan (QS. Muhammad [47] : 15); kelak akan dikelilingi anak-anak muda yang tetap
muda dengan membawa gelas, cerek dan sloki berisi minuman yang diambil dari air yang
mengalir, mereka tidak pening karenanya, tidak pula mabuk, buah-buhan disediakan
sesuai yang kita pilih, juga daging burung yang diinginkan (QS. Al Wâqi’ah [56] : 17-21).
Kerinduan untuk menikmati semua itu semakin bertambah. Karenanya semakin
meningkat pula kesabaran dalam berjuang menegakkan agama Allah swt. ini.
Begitu pula, ketika kita merebahkan badan di tempat tidur kita. Boleh jadi kasur
yang kita tempati sangat empuk dan mahal. Atau, sebaliknya, kecil dan lepet. Bahkan,
sebagian kita tidur tidak beralaskan kasur. Saat demikian, ingatlah betapapun bagusnya
tempat tidur yang kita miliki, kita rindu untuk mendapatkan tempat tidur yang dijanjikan
Allah swt.
‫م‬ ‫مم‬ ‫عولىَ سرر نمو ر‬
‫ي وعلويَنقوهاَ نمتوقوقاَبمل ن و‬
﴾16﴿ ‫ي‬ ‫﴾ متنكئ ن و‬15﴿ ‫ضنونوة‬
‫و نن ن ن‬

“Mereka berada di atas dipan yang bertahtakan emas dan permata, seraya bertelekan
di atasnya berhadap-hadapan,” (QS. Al Wâqi’ah [56] : 15-16.

Manajemen Diri – Potensi, Kompetensi, Emosi 32


Seorang pengemban dakwah yang belum mendapatkan jodoh, tak persoalan
baginya. Begitu juga pengemban dakwah pada saat menikah, dia merasa gembira.
Namun, hal ini tak segembira bila ia mendapatkan bidadari yang dijanjikan Allah swt.
Mereka rindu untuk mendapatkan bidadari di sorga.
‫صنفوفورة و وزنونجوناَنهم مبنور مع ن ر‬
‫ي‬ ‫مم‬
‫ن ن‬ ‫ي وعولىَ نسنرر نم ن ن و‬
‫نمتنكئ ن و‬

“Mereka beretelekan di atas dipan-dipan berderetan dan Kami kawinkan mereka


dengan bidadari-bidadari yang cantik bermata jeli,” (QS. Ath Thûr [52] : 20)
Ia pun segera sadar, semua itu hanya diperuntukkan bagi orang yang taat kepada Allah
swt. disertai berjuang terus menegakkan agama-Nya. Karenanya, baik pada saat belum
dapat jodoh, ditinggal isteri atau suami, maupun pada waktu acara pernikahan yang
menggembirakan ia tetap sabar dalam taat dan perjuangan fi sabîlillâh. Fokus
pikirannya tertuju pada janji Allah swt itu.
Bukan sekedar itu. Saat sekarang sedang digembar-gemborkan RUU antiterosme.
Intinya, siapa yang diduga atau patut diduga berbuat tindakan teroris dapat dihukum
tanpa pengadilan ataupun pembuktian. Padahal, teroris yang dimasud lebih diarahkan
kepada mereka yang hendak menegakkan syariat Islam sekalipun tanpa kekerasan.
Menghadapi realitas demikian wajar saja siapapun, termasuk pengemban dakwah,
merasa takut. Kewajaran ini lahir dari adanya naluri mempertahankan diri (gharîzah
baqa`) yang ada pada setiap orang. Karenanya, tidak mustahil sebagian orang menciut
nyalinya seraya meninggalkan perjuangan menegakkan Islam. Tapi tidak demikian
dengan mereka yang sadar akan hakikat hidupnya. Ketika rasa takut ini muncul, ia
segera ingat kepada janji Allah Syadîdul ‘Adzâb bahwa siapa saja yang berpaling dari Al
Quran sebagai peringatan Allah swt. maka di dunia akan mendapat kehidupan yang
sempit dan di akhirat akan dikumpulkan dalam keadaan buta (QS. Thâha [20] : 124) dan
siapa saja yang tidak menerapkan apa-apa yang dibawa Rasulullah dan meninggalkan
apa-apa yang dicegah Rasulullah niscaya akan di’adzab dengan pedih oleh-Nya (QS. Al
Hasyr [49] : 7). Muncullah rasa takut akan siksa Allah swt. yang jauh lebih dahsyat
daripada rasa takutnya kepada manusia. Konsekuensinya, ancaman bagi mereka yang
memperjuangkan Islam tidak menyebabkannya bergeming, apalagi lari dari taat dan
perjuangan. Ia tetap sabar menapaki perjuangan tegaknya Islam.
Demikianlah, dengan senantiasa mengingat janji Allah swt. saat kita memenuhi
kebutuhan fisik (hâjatul ‘udhawiyah) dan naluri (gharîzah), insyâ Allâh akan semakin
mengokohkan sabar kita dalam berjuang. Cobalah bila Anda ingin merasakannya!

2. Yakinlah, keberhasilan akan datang

Beberapa waktu yang lalu, ada seorang tokoh nasional yang menyatakan ke saya:
“Saya sudah berjuang untuk Islam tiga puluh tahun lebih. Tapi, perjuangan saya gagal! ”
Pernyataan demikian, wajar saja terjadi. Satu sisi dapat dibaca sebagai betapa besarnya
keinginan untuk segera berhasil, dan sisi lain dapat dipahami sebagai betapa besarnya
tantangan yang dihadapi. Sementara itu, usia semakin senja.

Manajemen Diri – Potensi, Kompetensi, Emosi 33


Hal serupa dapat pula menimpa mereka yang masih muda. Bayangkan, bila setelah
belasan tahun berdakwah pendukung belum mencapai 1 juta orang (0.5% dari penduduk
Indonesia), perubahan yang kasat mata pun belum dapat disaksikan secara mudah, dan
tantangan makin hari makin besar. Belum lagi dipadu oleh gangguan setan berujud
manusia yang meragu-ragukan keberhasilan tegaknya Islam. Jiwa mulai lelah. Tak sabar,
bahkan, frustasi pun menjelang datang.
Kenyataan seperti itu tidak perlu disikapi dengan sewot. Sebab, kadang kala
manusia bersifat demikian.

‫وووكاَون امل نوساَنن وعنجنولل‬

“Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa,” (QS. Al Isrâ [17] : 11)


Gejala demikian umum terjadi, bahkan pada para sahabat Nabi. Dalam surat Al Baqarah
[2] : 214 Allah Maha Tahu memberitahukan bahwa orang-orang terdahulu ditimpa
malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan dengan bermacam-macam cobaan
sampai-sampai saking beratnya cobaan di hadapan perjuangan mereka Rasul dan orang-
orang beriman bersamanya berkata ‘Bilakah datangnya pertolongan Allah?’ Keberhasilan
belum mereka raih. Dalam keadaan demikian, dalam ayat yang sama, Allah swt.
memberi tahu bahwa pertolongan Allah itu amat dekat. Keberhasilan segera datang.
Rasul dan sahabatnya, tentu saja, meyakini hal ini. Beliau yakin jalan yang ditempuhnya
benar, keberhasilan tinggal menunggu waktunya. Kapan Allah swt. memberikannya, saat
itulah keberhasilan diraih.
Memang, mereka yang yakin jalan yang ditempuh benar, akan sabar menapaki
perjuangan. Keberhasilan hanyalah persoalan waktu saja. Sebaliknya, mereka yang ragu
terhadap jalan yang ditempuhnya akan tergoncang kesabarannya dalam
memperjuangkan Islam. Tengoklah, lima ratusan orang berangkat dari Gambir ke
Jogjakarta dengan menggunakan kereta api Argo Lawu. Perjalanannya cukup lama, 8
jam. Ada orang yang terlihat gelisah sepanjang jalan, ia risau. “Satu jam terasa
sewindu,” akunya. Selidik punya selidik, ia ragu kalau kereta yang ditumpanginya betul
menuju Jogjakarta. Berbeda dengan itu, penumpang yang yakin kereta itu menuju
Jogjakarta sekalipun percaya perjalanan cukup lama namun tenang dan penuh sabar
disertai keyakinan akan sampai ke tempat tujuannya itu. Bila perjalanan kereta api saja
begini apalagi perjalanan menuju tegaknya Islam. Mereka yang ragu akan jalan yang
dilaluinya, bukan mustahil ‘gugur’ di tengah perjalanan. Berbeda dengan itu, para
pengemban dakwah yang yakin dengan kebenaran jalan yang ditempuhnya sesuai
perintah Allah swt., mereka terus penuh kesabaran menapaki jalan perjuangan setapak
demi setapak diliputi keyakinan akan keberhasilan. Disinilah beda antara orang yang
memahami dengan orang yang tidak.
Selain itu, realitas menunjukkan bahwa perjuangan menegakkan Islam hakikatnya
bertarung melawan pihak-pihak yang tidak menghendakinya. Mereka sama-sama
manusia. Musuh Islam juga punya rasa capek, lelah, bahkan frustasi. Jadi, bila
pengemban dakwah tidak sabar dalam perjuangan hakikatnya ia kalah sabar oleh musuh
yang hendak memadamkan cahaya Islam. Untuk itu, seorang pengemban dakwah tidak

Manajemen Diri – Potensi, Kompetensi, Emosi 34


akan bersikap demikian. Sebab, ia menyadari bahwa antara pejuang Islam dan
penghalangnya sama, sama-sama manusia. Bedanya, pejuang Islam dijamin akan diberi
kemenangan oleh Allah swt. dan balasan baik di sorga, sedangkan musuh Islam
sebaliknya (lihat QS. Ar Rûm [30] : 47, Ash Shaf [61] : 13, Al Anfâl [8] : 62). Konsekuensi
dari semua ini adalah sabar dalam perjuangan.
Ia tidak akan tergesa-gesa dengan tidak sabar dalam berjuang. Ia senantiasa ingat
pada sabda Nabi saw. Abu ‘Abdullah Khabbab bin Al Aratt ra. berkata: “Kami mengadu
kepada Rasulullah saw saat beliau sedang berbantalkan sorbannya dibawah naungan
ka’bah. Kami berkata: ‘Apakah tuan tidak memintakan pertolongan untuk kami? Apakah
tuan tidak mendo’akan kami?” Beliau menjawab: “Orang-orang sebelum kalian itu ada
seseorang yang ditanam hidup-hidup, ada seseorang yang digergaji dari atas kepalanya
hingga tubuhnya terbelah dua, dan ada pula seseorang yang disisir dengan sisir besi
yang mengenai daging dan tulangnya tetapi yang demikian itu tidak menggoyahkan
mereka dari agamanya. Demi Allah, Allah pasti akan mengembangkan Islam ini hingga
merata dari Shan’a sampai Hadratulmaut dimana masing-masing dari mereka tidak takut
melainkan hanya kepada Allah melebihi takutnya kambing terhadap serigala. Tetapi
kamu sekalian sangat tergesa-gesa” (HR. Bukhari). Jelas sekali, Rasulullah mengajarkan
sabar dalam perjuangan.

3. Sabar, suatu kemestian dalam perjuangan.

Sabar mutlak diperlukan dalam setiap aktivitas. Sebagai contoh kecil, suatu hari
motor Anda rusak. Anda lantas membawanya ke montir. Anda tidak tahu apa
kerusakannya, bagaimana cara memperbaikinya, dan berapa lama akan selesainya.
Setelah menunggu setengah jam, motor belum kunjung selesai. Apa yang terjadi bila
saat itu Anda putuskan untuk menghentikan proses perbaikan? Motor tidak akan dapat
dijalankan! Sikap montir, tentu bukan demikian. Dia tahu waktu yang diperlukan cukup
lama, bahkan boleh jadi ia tak dapat memprediksinya. Namun, diayakin akan selesai.
Dia mencoba mencari berbagai kerusakan yang ada. Ia pun terus berjuang
mengatasinya. Dengan penuh rasa sabar ia selesaikan kerusakan demi kerusakan.
Akhirnya, tuntaslah sudah. Bayangkan, apa jadinya andai saja montir yang sebenarnya
tahu kerusakan dan cara mengatasinya tapi tidak sabar melakukannya sehingga belum
selesai kerusakan diperbaiki sudah ia tinggalkan? Apa yang terjadi? Motor tetap rusak!
Seperti halnya dalam perbaikan motor, dalam setiap penggal perjuangan, kesabaran
itu mutlak diperlukan. Katakan saja, pada tanggal 26 Pebruari 2002 lalu 1500 massa
Hizbut Tahrir Indonesia melakukan masîrah (demontrasi damai) di depan Kedutaan Besar
Singapura, Jakarta, menentang tuduhan Lee Kuan Yew bahwa Indonesia sarang teroris.
Laki-laki dan perempuan, bahkan ada anak-anak, dengan sabar berjalan dibawah terik
matahari. Dengan kesabaran pula mendengarkan orasi sambil menunggu 5 orang
perwakilannya yang diterima wakil Dubes. Sampai-sampai seorang ibu muda
mengatakan: “Saya ridla menggendong anak saya ini, demi memprotes kemungkaran,
disamping memberikan ‘pendidikan jihad’ bagi anak saya ini.” Lanjutnya, “Panas? Wah,
panas dalam ketaatan kepada Allah swt. itu nikmat. Yang harus ditakuti itu panas neraka,

Manajemen Diri – Potensi, Kompetensi, Emosi 35


mas!” Bayangkan, apa yang terjadi apabila mereka tidak sabar menanti teman-
temannya kumpul sebelum acara mulai? Apa yang terjadi bila mereka tidak sabar
berjalan? Tidak sabar akan panas? Tidak sabar menunggu orasi? Tentu, masîrah tidak
akan jadi. Protes tidak berjalan. Acara bubar. Tuduhan yang memojokkan umat Islam
menggelinding terus. Kesabaran, sungguh, merupakan keniscayaan dalam setiap
aktivitas menyongsong kesuksesan. Begitulah dalam setiap langkah perjuangan.
Sekali lagi, kesabaran mutlak dimiliki setiap orang. Apalagi dalam perjuangan
menegakkan kalimat Allah Rabbul ‘Âlamîn. Karenanya, orang yang memahami realitas ini
akan terus sabar dalam perjuangan. Tidak ada kata frustasi untuk berjuang dalam
dirinya. Ia yakin meninggalkan sabar dalam perjuangan hanyalah bermakna menanam
bibit kegagalan dan kerugian.
Keniscayaan sabar dalam perjuangan ini pun dapat kita pahami dari realitas
perjuangan para Rasul beserta kaum beriman bersamanya. Diantaranya, para Rasul
yang demikian teguh hatinya (ûlul ‘azmi) digambarkan Allah swt. sebagai orang-orang
yang memiliki kesabaran luar basa dalam perjuangan. Rasulullah saw. pun diperintahkan
untuk bersabar dalam perjuangan seperti mereka. Dalam Al Quran disebutkan:

‫صبَوقور أننولننواالنوعنزمم ممون المرنسمل‬


‫صم نب وكوماَ و‬
‫وفاَ ن‬

“Maka bersabarlah engkau seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari
rasul-rasul telah bersabar …” (QS. Al Ahqâf [46] : 35)
Belum lagi, siapapun yang menelaah jalan hidup Nabi Muhammad saw. akan meyaini
bahwa sepanjang perjuangannya beliau senantiasa bersabar. Dan, semua tahu, buah
yang dihasilkannya adalah keberhasilan. Berdasarkan hal ini, siapapun yang mengaku
Rasulullah saw. sebagai tauladannya, niscaya akan terus sabar dalam perjuangan. Dia
tidak akan gugur di tengah jalan dakwah. Betapa tidak, junjungannya mencontokan
sabar dalam menapaki perjuangan menegakkan Islam.
Merujuk pada realitas bahwa dalam setiap penggal kehidupan ini diperlukan
kesabaran dalam meraih kemenangan, juga setiap Rasul senantiasa sabar dalam taat
dan menunaikan tugas dari Allah Al khâliq; nyatalah dalam perjuangan sekarang inipun
mutlak ada kesabaran dari mereka yang sedang berupaya menyalakan sinar Islam dan
umatnya. Untuk itu, tidak ada alasan secuil pun untuk menanggalkan sikap sabar dalam
perjuangan dari setiap diri muslim, terlebih-lebih pengemban dakwah. Karenanya, bila
kebetulan Anda sekarang sedang tergoda setan hingga muncul sikap tak sabar untuk
terus menegakkan Islam, segeralah merenungkan realitas-realitas tadi! Atau, jangan
tunda-tunda, bacalah Al Quran, cari seluruh ayat yang mengandung kata sabar, dengan
cepat Anda akan menemukan betapa sabar dalam perjuangan merupakan suatu
keniscayaan. Atau, segeralah buka sirah Rasul. Bukalah, lembar demi lembar. Di sana
terpampang dengan jelas, setiap kali Anda membuka lembarannya setiap kali itu pula
Anda akan menemukan kesabaran junjungan Anda, Nabi Muhammad saw., dalam
perjuangan meninggikan kalimatullâh. Lalu, istighfarlah! Sesalilah lintasan setan
tersebut. Tataplah ke depan, tegakkan bahu, tancapkan tekad untuk terus menapaki

Manajemen Diri – Potensi, Kompetensi, Emosi 36


perjuangan betapapun kesulitan pribadi tengah melilit Anda, senyumlah, dan berjuanglah
terus dengan bismillâh.

4. Sabar, jalan datangnya pertolongan.

Dalam al-Quran Allah swt. memerintahkan :

‫صهلوةذ إلن اله همهع ال ل‬


‫صاَبذذريَيهن‬ ‫صيبذر هوال ل‬ ‫ذ‬ ‫ذ‬
‫يَهاَهيَييههاَ الذيَيهن هءاهمنْنييواايسته ي‬
‫عيِينْنييوا بشاَل ل‬

“Hai orang-orang yang beriman mintalah petolongan (kepada Allah) dengan sabar dan
shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. al-Baqarah [2] :
153)
Ayat sebelumnya (ayat 151 dan 152) menjelaskan bahwa Allah swt. telah mengutus
Rasul untuk membacakan ayat-ayatNya, menyucikan kita dari syirik dan berhala,
mengajari Al Quran dan hikmah (berupa hukum-hukum yang dikandungnya),
memerintahkan untuk berpegang teguh pada ‘aqidah dan hukum-hukum, mengingat
Allah dan dakwah Islam serta bersykur. Sementara itu, ayat sesudahnya (ayat 154)
menjelaskan bahwa orang-orang yang gugur fî sabîlillâh hakikatnya hidup. Berdasarkan
kedua hal ini teranglah bahwa dalam surat Al Baqarah [2] ayat 153 tadi Allah Dzat Maha
Perkasa memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk senantiasa meminta
pertolongan kepada Allah swt. dengan sabar dan shalat dalam mengemban dan
mendakwahkan Islam serta berpegang teguh kepadanya. Perbuatan Rasulullah saw.
lebih menegaskan hal ini. Kita tahu, apabila beliau saw. sedang memiliki suatu
permasalahan segeralah beliau shalat. Dan, sejarah pun mencatat betapa kesabaran
beliau dalam mengemban dakwah Islam. Jadi, ayat ini menegaskan bahwa sabar dan
shalat merupakan suatu jalan pertolongan. Allah bersama dengan orang-orang yang
sabar.
Orang yang shalatnya khusyu tahu bahwa shalat memberikan daya kekuatan kepada
seorang mukmin dalam menghadapi kezhaliman dan para pengembannya, serta
memberinya keteguhan dan ketegaran dalam memegang kebenaran. Sementara itu,
dalam ayat tadi sabar disebut lebih dahulu sebelum kata shalat. Hal ini menunjukkan
betapa urgennya sabar. Konsekuensinya, seorang muslim yang memahami hal ini akan
senang shalat dan senang bersikap sabar. Sebab, dengan melakukan keduanya berarti
terdapat pertolongan dalam menghadapi berbagai kesulitan, termasuk kesulitan dalam
perjuangan menegakkan Islam. Sikap datar atau biasa-biasa saja dalam melakukan
shalat hanyalah berarti menjauhkan pertolongan dari Allah Dzat Maha Gagah. Sama
halnya dengan itu, orang yang tidak senang bersikap sabar dalam mengungguli kesulitan
perjuangan. Sebaliknya, saat ia menemukan kesulitan apapun segeralah ia meninggikan
kualitas shalat wajibnya dan meningkatkan kuantitas dan kualitas shalat sunnatnya.
Betapa senang ia melakukannya. Hatinya rindu untuk melakukan shalat, shalat dan
shalat lagi. Kegembiraan saat ia menunaikan shalat jauh melebihi kegembiraan apapun,
termasuk kegembiraan saat menjadi pengantin. Kata Nabi,

Manajemen Diri – Potensi, Kompetensi, Emosi 37


‫صهلةذ‬
‫نجذعهل قنيلرةن هعييِذنْيِ ذفيِ ال ل‬

“Telah dijadikan kesenanganku (qurratu ‘ayni) ada dalam shalat” (HR. Ahmad dan An
Nasâi)
Bersamaan dengan itu, ia yakin shalat merupakan jalan pertolongan.
Sabar, sebagaimana dalam surat Al Baqarah [2] ayat 153 tadi, juga merupakan jalan
pertolongan dari Allah swt. Seorang mukmin bukan hanya segera meningkatkan
kuantitas shalat sunnat ketika ia menghadapi kesulitan, namun ia juga menambah
kesabarannya. Saat seorang mukmin menghadapi halangan apapun, ia tidak menyerah,
sebaliknya ia bersabar dengan penuh kegembiraan dan harapan akan datangnya
pertolongan. Di dalam kesabarannya terkandung kegembiraan, harapan, keteguhan, dan
kedekatan dengan Allah swt, serta keyakinan akan datangnya pertolongan dari Dzat
Maha Kuasa.
Atas dasar kenyataan bahwa sabar itu merupakan jalan pertolongan bagi
pengemban dakwah dan mukmin lainnya maka sikap abai terhadap perjuangan hanya
karena adanya kesulitan yang dihadapi merupakan sikap tak rasional. Dengan semakin
menjauh dari perjuangan, dengan kian meninggalkan sabar dalam perjuangan, makin
jauh pertolongan datang pada dirinya. Bila hal ini berlaku secara kolektif maka akibatnya
pun akan dirasakan secara kolektif juga. Ringkasnya, sabar merupakan jalan pertolongan,
juga sabar diperintahkan Allah swt. untuk dilakukan dalam perjuangan; sebab itu, sikap
tidak sabar harus dibuang jauh-jauh dari diri seorang pengemban dakwah. Kalau dapat,
buang hingga ke ruang angkasa.
Nyatalah, sabar merupakan keniscayaan dalam perjuangan. Kesulitan yang dihadapi
bukan malah menyurutkan api perjuangan, melainkan justru secara syar’iy harus menjadi
pengokohnya dengan menjadikan sabar sebagai jalan datangnya pertolongan Allah swt.
Satu hal yang penting dicamkan, sabar dalam perjuangan bukan berarti mengalah pada
kebatilan. Sabar dalam perjuangan, justru, tegar dalam memegang kebenaran serta terus
menapaki jalan perjuangan untuk mengembalikan kejayaan Islam dan kaum muslim.
Alhamdulillâh.

Pustaka

An Nabhani, T. 2000. Pembentukan Partai Politik Islam (terjemahan). Depok, Pustaka


Thariqul Izzah.
Kurnia, M.R. 2002. Membangun Rasa Percaya Diri. Bogor, Al Azhar Press.
Kurnia, M.R. 2002. Merambah Jalan Menjadi Ahli Ibadah. Bogor, Al Azhar Press.
Kurnia, M.R. 2002. Menempa Sabar dalam Perjuangan. Bogor, Al Azhar Press.
Yusanto, M.I. dan M.K. Widjajakusuma. 2002. Pengantar Manajemen Syariah. Jakarta,
Khairul Bayan.
Manajemen Diri – Potensi, Kompetensi, Emosi 38

Anda mungkin juga menyukai