PARADIGMA MANUSIA
AL-UQDATU AL-KUBRO
“Dan Allah mengeluarkan kalian dari perut ibu-ibu kalian dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kalian pendengaran, penglihatan, dan
hati, agar kalian bersyukur.”
(QS An Nahl : 78)
Semua bekal ini semestinya bisa digunakan dengan sebaik-baiknya, agar manusia
dapat memahami hakikat hidupnya di dunia.
Kegagalan manusia dalam memahami hakikat hidupnya, tiada lain karena kelalaian
dan keengganannya menggunakan bekal-bekal tersebut, sehingga arah dan orientasi
hidupnya menjadi tidak jelas atau menyimpang dari jalan yang semestinya. Akhirnya,
hawa nafsu atau setanlah yang dijadikan “tuhan”, yakni menjadi sumber penentu sikap
dan tujuan hidupnya. Orang sesat seperti ini dicap oleh Allah SWT bagaikan binatang
ternak, bahkan lebih rendah lagi daripada itu.
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi) neraka Jahannam banyak dari jin dan
manusia. Mereka mempunyai akal, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami
(ayat-ayat Allah), mereka mempunyai mata, (tetapi) tidak dipergunakannya untuk
melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga, (tetapi)
tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti
binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang
lalai.”
(QS Al A’raaf : 179)
Jelaslah, memahami hakikat hidup merupakan suatu hal yang sangat fundamental.
Kegagalan memahami hakikat hidup, akan membuat seseorang menjalani hidup
bagaikan layang-layang putus yang bergerak mengikuti kemana saja angin berhembus,
atau dihempaskan ombak ke mana saja tanpa tujuan. Artinya, seorang muslim mudah
sekali tersesat, atau bahkan tak mustahil menjadi murtad tanpa dia sadari, sehingga
amalnya di dunia menjadi sia-sia bagaikan debu yang berterbangan.
“Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu
(bagaikan) debu yang beterbangan.”
(QS Al Furqaan : 24)
Dalam pandangan Islam, manusia diciptakan oleh Allah untuk beribadah kepada-
Nya. Makna ibadah secara bahasa (lughah) disebutkan Imam Al Fairuz Abadi dalam
kamus Al Muhith sebagai taat, dalam arti menjalankan segala perintah dan menjauhi
segala larangan. Sedangkan menurut istilah ada dua pengertian, yakni khusus (khaas)
dan umum (‘aam). Muhammad Husein Abdullah dalam kitab Dirasaat Fil Fikri al Islamy
memberikan pengertian khusus ibadah sebagai mentaati perintah dan larangan Allah
SWT yang mengatur hubungan antara Allah SWT dengan hamba-Nya, misalnya shalat,
“Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah
kepada-Ku.”
(QS. Adz-Dzaariyaat: 56)
Syekh Muhammad Ali Ash-Shobuni dalam kitab Shofatut Tafasir Juz I, menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan khalifah pada ayat di atas adalah manusia yang bertugas
mengelola dan memakmurkan bumi dengan hukum-hukum Allah SWT. Maka dari itu bila
manusia tidak memahami hukum-hukum Allah SWT, pasti akan sulit untuk melakukan
tugas-tugasnya sebagai khalifah sebagaimana telah ditetapkan Allah.
Pandangan dan pemahaman manusia bahwa misi penciptaannya hanyalah untuk
beribadah kepada Allah SWT terbentuk sejalan dengan kesimpulan yang didapatnya
berkenaan dengan keberadaan dirinya di dunia. Saat manusia menginjak usia dewasa
(baligh), yang dicirikan oleh kesempurnaan fungsi akalnya, mulailah ia berpikir tentang
beberapa hal yang sangat mendasar yang menuntut jawaban tuntas, yang memuaskan
akal sehatnya, menentramkan jiwa dan sesuai dengan fitrahnya, mengingat jawaban itu
pula yang akan menjadi landasan dan tujuan kehidupannya. Selama masalah mendasar
ini belum terjawab tuntas, selama itu pula orientasi hidup manusia tidak akan pernah
tetap, cenderung mudah terombang-ambing yang akhirnya membuatnya tidak pernah
merasa tenang. Bila itu yang terjadi, maka sebenarnya manusia telah melakukan
pengingkaran terhadap hakikat fitrah manusia itu sendiri.
Mengingat sifatnya sangat mendasar dan sekaligus sangat substantif, pertanyan
tersebut disebut pula sebagai al-‘Uqdatu al-Kubra atau simpul yang sangat besar.
Disebut demikian, karena mengandung penjelasan bahwa bila pertanyaan ini telah
terjawab maka dengan sendirinya akan terurailah berbagai pertanyaan/permasalahan
cabang berikutnya yang dihadapi manusia dalam kehidupannya di dunia. Persoalan
mendasar tersebut adalah berupa pertanyaan:
1. Min aina ataytu ?
Dari manakah manusia, hidup dan alam semesta ini berasal?
2. Limadza ji’tu?
Untuk apa manusia dan kehidupan ini ada?
3. Ila ayna al-mashir?
Kemana manusia dan kehidupan setelah di dunia ini?
MANUSIA
MANUSIA
HUBUNGAN? KEHIDUPAN
KEHIDUPAN HUBUNGAN?
ALAM
ALAM
SEMESTA
SEMESTA
MANUSIA
MANUSIA MANUSIA
MANUSIA
LAHIR
LAHIR MATI
MATI
Terhadap pertanyaan “Dari manakah manusia, hidup, dan alam semesta berasal?”,
Islam memberikan jawaban bahwa ketiga hal tersebut diciptakan oleh Allah SWT, tidak
maujud dengan sendirinya. Dengan kata lain, apa yang ada sebelum kehidupan dunia
(qabla al-hayati al-dunya), adalah Allah SWT. Jawaban ini diterangkan dalam banyak
nash.
“Hai manusia sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kalian dan orang-orang
sebelum kalian, agar kalian bertakwa.”
(QS Al Baqarah : 21)
“Mengapa kalian kafir kepada Allah, padahal kalian tadinya mati lalu Allah
menghidupkan kalian; kemudian Allah mematikan kalian dan menghidupkan
kembali kalian, kemudian kepada-Nya-lah kalian dikembalikan?”
(QS Al Baqarah : 28)
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah (beribadah) kepada-Ku.”
(QS Adz Dzariyaat : 56)
Ibadah sebagaimana telah dijelaskan di muka - ini pula yang dimaksud dengan
ibadah dalam kedua ayat di atas - adalah mentaati segala perintah dan menjauhi segala
larangan-larangan Allah. Adapun arti ibadah secara khusus adalah ketaatan kepada
hukum syara’ yang mengatur hubungan antara manusia dengan Rabbnya, seperti shalat,
zakat, haji, do’a, dan sebagainya.
Mengaktualisasikan ibadah dalam arti umum inilah yang secara konkret merupakan
misi hidup manusia di dunia menurut Islam. Inilah hakekat hidup manusia di dunia, dan
ini pula yang wajib menjadi landasan segala kiprahnya. Aktualisasi ibadah terwujud
ketika seorang muslim mengikatkan dirinya dengan hukum-hukum syara’ dalam segala
aktivitasnya, baik ketika berhubungan dengan Rabb-nya dalam bidang aqidah dan
ibadah, berhubungan dengan dirinya sendiri dalam bidang akhlak, makanan, minuman,
dan pakaian, maupun berinteraksi dengan sesamanya dalam bidang mu’amalah dan
uqubat (hukuman dan sanksi).
Ketika seorang muslim menjalankan shalat lima waktu, mengeluarkan zakat setiap
tahun, berpuasa di bulan Ramadhan, beribadah haji, bertaubat, atau membaca Al Qur`an
disebut sedang melaksanakan ibadah (dalam arti khusus). Begitu pula tatkala dia
bekerja secara profesional dengan etos kerja tinggi didukung keahlian dan sikap
amanah, mendidik anak dengan cara Islam, menepati janji, mengkaji ajaran Islam,
mempedulikan keadaan kaum muslimin yang lain, aktif berdakwah atau dalam kegiatan
keIslaman, bersabar tatkala mendapat musibah, memerintahkan isteri atau anak
perempuannya berjilbab, menengok teman yang sakit, bermusyawarah, menjaga
kesehatan dan kebersihan dan sebagainya dia pun juga tengah menjalankan misi
ibadah.
SEBELUM KEHIDUPAN
KEHIDUPAN SESUDAH
SEBELUM SESUDAH
KEHIDUPAN KEHIDUPAN
KEHIDUPAN KEHIDUPAN
DI DUNIA DI
DI DUNIA
DUNIA DI DUNIA
DI DUNIA DI DUNIA
MANUSIA
MANUSIA
KEHIDUPAN
KEHIDUPAN
ALAM
ALAM
SEMESTA
SEMESTA
Hubungan Hubungan
Hubungan
Penciptaan Hubungan
Pembangkitan
Penciptaan Pembangkitan
Hubungan
Hubungan Hubungan
Hubungan Hisab
Hisab
Perintah/Larangan
Perintah/Larangan amal
amal
MANUSIA MANUSIA
LAHIR MATI
Peraga 2.
Jawaban Islam Terhadap Al-Uqdatu Al-Kubro
Jawaban Atas Pertanyaan “Kemana Manusia dan Kehidupan Ini Setelah di
Dunia?”
“Apakah manusia mengira, bahwa Kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang
belulangnya? Bukan demikian, sebenarnya Kami berkuasa menyusun (kembali) jari
jemarinya dengan sempurna.”
(QS Al Qiyaamah : 3-4)
Ketika dibangkitkan dari kuburnya, manusia dalam keadaan telanjang bulat. Sabda
Nabi SAW :
“Sesungguhnya kalian akan dibangkitkan pada Hari Kiamat tanpa alas kaki,
telanjang bulat, dan tidak berkhitan. ‘Aisyah bertanya, ’Ya Rasulullah, laki-laki dan
perempuan saling melihat (aurat) yang lain?’ Rasulullah menjawab, ‘Hai ‘Aisyah,
pada saat itu perkara (Hari Kiamat) sangat dahsyat sehingga orang tidak akan
memperhatikan hal itu.”
(Muttafaqun ‘alaihi)
Pada Hari Kiamat itu keadaan manusia yang dibangkitkan beraneka ragam sesuai
dengan iman dan amal perbuatannya di dunia.
“Pada hari itu manusia keluar dari kuburnya dalam keadaan yang bermacam-
macam supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka.”
(QS Al Zalzalah : 6-8).
Orang-orang kafir yang tak mempercayai Hari Kiamat akan benar-benar kaget
dibuatnya.
Karena penyesalan yang teramat sangat, sampai-sampai orang-orang kafir saat itu
berharap alangkah baiknya seandainya dulu di dunia menjadi tanah saja!
“Dia mengatakan, ’Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal saleh)
untuk hidupku ini.”
(QS Al Fajr : 24)
“Sesungguhnya Kami telah memperingatkan kepada kalian (hai orang kafir) siksa
yang dekat, pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua
tangannya; dan orang orang kafir berkata, ”Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu
adalah tanah.”
(QS An Naba` : 40)
Adapun orang muslim yang banyak berbuat dosa juga akan menyesal mengapa
semasa hidup di dunia tidak menjalankan ajaran Islam sebagaimana mestinya dan telah
mengambil teman (panutan) yang sesat dan menyesatkan.
“Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya seraya
berkata, ’Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul.’
Kecelakaan besarlah bagiku, kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si Fulan itu teman
akrab(ku). Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al Qur’an ketika Al
Qur`an itu telah datang kepadaku…”
(QS Al Furqaan : 27-29)
“Orang-orang ahli Laa ilaaha illallah (yang mengucapkan kalimat tersebut dan
menunaikan haknya/konsekuensinya) tidak akan mengalami kegoncangan tatkala
wafat, di alam kubur, dan tatkala dia dibangkitkan. Seolah-olah aku melihat mereka
– ketika ditiup sangkakala yang kedua (saat dibangkitkan dari kubur) — sedang
menyingkirkan tanah (pasir) dari kepala mereka seraya berkata,’Segala puji bagi
Allah, yang telah menghilangkan duka cita dari kami.”
(HR. Abu Ya’la)
Setelah dibangkitkan, manusia kemudian dihisab oleh Allah SWT. Pada saat itu Allah
SWT akan menanyakan segala amal baik dan amal buruk yang pernah dilakukan manusia
“Maka demi Rabbmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua tentang apa yang
telah mereka kerjakan dahulu.”
(QS Al Hijr : 92-93)
“Kedua telapak kaki seorang anak Adam di Hari Kiamat masih belum beranjak
sebelum ditanya kepadanya mengenai 5 (lima perkara): tentang umurnya, untuk
apa dihabiskan, tentang masa mudanya, apa yang dilakukannya, tentang hartanya,
dari mana dia peroleh dan untuk apa dia belanjakan, dan tentang ilmunya, apa yang
dia kerjakan dengan ilmunya itu.”
(HR Ahmad).
Allah SWT berfirman bahwa manusia akan membaca catatan amalnya sendiri
selama hidup di dunia :
“Adapun orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya, maka dia akan
diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah, dan dia akan kembali pada kaumnya
(yang sama-sama beriman) dengan gembira. Adapun orang yang diberikan
kitabnya dari belakang, maka dia akan berteriak ‘Celakalah aku’. Dan dia akan
masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).“
(QS Al Insyiqaq : 7-12)
“Dan diletakkan kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang yang bersalah ketakutan
terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: ‘Aduh celaka kami,
kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar,
melainkan ia mencatat semuanya dan mereka dapati apa yang mereka telah
mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorangpun jua.”
(QS Al Kahfi : 49).
Setelah itu manusia akan digiring ke tempat dimana timbangan amal perbuatannya
diletakkan.
“Kami akan memasang timbangan yang tepat pada Hari Kiamat, maka tiadalah
dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jika (amalan) itu hanya seberat biji
sawi pun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami sebagai
pembuat perhitungan.”
(QS Al Anbiyaa` : 47).
Setelah tahapan ini selesai, manusia akan dimasukkan ke dalam neraka atau surga.
Orang kafir, baik dari kalangan ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) atau orang musyrik, akan
dijebloskan ke neraka dengan diseret atas muka mereka selamanya. Muslim yang lebih
banyak dosanya daripada amal baiknya, akan masuk neraka untuk sementara waktu
sesuai yang dikehendaki Allah dan selanjutnya masuk surga.
“Sesungguhnya orang-orang kafir, yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan
masuk) ke neraka Jahannam. Mereka kekal di dalamnya. Mereka itulah seburuk-
buruk makhluk.”
(QS Al Bayyinah : 6)
Siksa neraka begitu dahsyat. Amat berat penderitaan para penghuni neraka
menanggung semua siksa. Rasul menggambarkan, siksa yang paling ringan saja cukup
membuat otak mendidih.
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami
masukkan mereka ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti
kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab.
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
(QS An Nisaa` : 56).
“Azab yang paling ringan di neraka pada Hari Kiamat adalah seseorang yang pada
dua telapak kakinya ada dua bongkah bara api, lalu bara api ini akan merebus otak
orang tersebut.”
(HR. At Tirmidzi)
Adapun orang-orang mukmin, mereka akan masuk surga yang penuh kenikmatan,
seraya mendapatkan ridlo dari Allah Azza Wa Jalla. Para Nabi, syuhada, ulama, shiddiqin,
akan masuk ke dalam surga-Nya dengan mendapat limpahan rahmat dan ridla-Nya.
“Mereka dikelilingi oleh anak-anak muda yang tetap muda dengan membawa gelas,
cerek dan minuman yang diambil dari air yang mengalir. Mereka tidak pening
karenanya dan tidak pula mabuk. Dan buah-buahan dari apa yang mereka pilih,
dan daging burung dari apa yang mereka inginkan. Dan (di dalam surga itu) ada
bidadari-bidadari yang bermata jeli, laksana mutiara yang tersimpan baik. Sebagai
balasan bagi apa yang telah mereka kerjakan.”
(QS Al Waqi’ah : 17-24).
“Mereka tidak mendengar di dalamnya perkataan yang sia-sia dan tidak pula
perkataan yang menimbulkan dosa, akan tetapi mereka mendengarkan ucapan
salam. Dan golongan kanan, alangkah bahagianya golongan kanan itu. Berada di
antara pohon bidara yang tidak berduri dan pohon pisang yang tersusun (buahnya),
dan naungan yang terbentang luas, dan air yang tercurah, dan buah-buahan yang
banyak, yang tidak berhenti (buahnya) dan tidak terlarang mengambilnya, dan
kasur-kasur yang tebal dan empuk. Sesungguhnya Kami ciptakan mereka (bidadari-
bidadari) lagi sebaya umurnya, (Kami ciptakan mereka) untuk golongan kanan,
(yaitu segolongan besar dari orang yang terdahulu, dan segolongan besar pula dari
orang yang kemudian).”
(QS Al Waqi’ah : 25-40).
Islam menjelaskan pula, antara sebelum kehidupan dunia dengan kehidupan dunia
terdapat 2 (dua) hubungan. Pertama, hubungan penciptaan (shilatu al-khalqi). Yakni
bahwa Allah SWT sajalah yang menciptakan manusia, kehidupan, dan alam semesta ini.
Kedua, hubungan perintah dan larangan (shilatu al-awamir wa al-nawahi). Artinya Allah
SWT tidak sekedar menciptakan, namun juga memberikan perintah dan larangan kepada
manusia, yang termaktub dalam wahyu (Al Qur`an dan As Sunnah) yang dibawa oleh
Nabi Muhammad SAW. Kedua bentuk hubungan itu dijelaskan dalam Al Qur’an:
Dalam ayat di atas, ditegaskan bahwa menciptakan (al-khalq) dan memerintah (al-
amr) adalah hak Allah semata. Hak memerintah dari Allah ini terwujud dalam dua bentuk.
Pertama, perintah untuk alam semesta (al-amru al-kauni) berupa hukum-hukum alam
(sunnatullah) yang berlaku untuk alam semesta; Kedua, perintah hukum syara’ (al-amru
al-tasyri’i) berupa hukum-hukum syara’ yang mengatur peri kehidupan manusia.
Hubungan antara kehidupan dunia (al-hayatu al-dunya) dengan apa yang ada
setelah kehidupan dunia (ba’da al-hayati al-dunya) dijelaskan oleh Islam dalam 2
hubungan. Pertama, hubungan pembangkitan dan pengumpulan (shilatu al-ba’tsi wa al-
nusyur). Yakni bahwa Allah SWT akan membangkitkan manusia dari kuburnya, kemudian
mengumpulkan mereka di Padang Mahsyar. Kedua, hubungan perhitungan amal (shilatu
al-muhasabah). Yakni Allah SWT tidak sekadar membangkitkan dan mengumpulkan
manusia, namun juga melakukan hisab (perhitungan) terhadap amal perbuatan manusia
tatkala hidup dunia, apakah ia beriman kepada Allah atau tidak; bila beriman, apakah ia
menjalankan perintah-Nya atau tidak serta menjauhi larangan-Nya atau malah
mengerjakannya.
Tentang hisab atau perhitungan amal baik dan buruk manusia, Allah menjelaskan:
“Maka demi Rabbmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua tentang apa yang
telah mereka kerjakan dahulu”.
(QS Al Hijr : 92-93).
Demikianlah jawaban Aqidah Islamiyah yang sangat gamblang dan jelas terhadap
al-Uqdatu al-Kubro. Jawaban-jawaban ini diikhtisarkan dalam peraga 2.
“Apakah kalian akan beriman kepada sebahagian Al Kitab dan ingkar terhadap
sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian di antara
kalian, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada Hari Kiamat nanti
mereka akan dikembalikan kepada siksa yang sangat berat.”
(QS Al Baqarah : 85)
"Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Qur'an yang Kami wahyukan
kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal dengan Al
Qur'an itu dan ajaklah penolong-penolong kalian selain Allah, jika kamu orang-orang
yang benar"
(QS Al Baqarah : 23)
Kemungkinan kedua bahwa Al Qur’an adalah karangan Nabi Muhammad SAW juga
tidak bisa diterima. Mengapa? Ada dua sebab. Pertama, Nabi Muhammad SAW termasuk
orang Arab. Kalau seluruh orang Arab tidak mampu memenuhi tantangan untuk
membuat satu surat pun yang semisal dengan Al Qur'an, apalagi Nabi Muhammad yang
ummi (tidak bisa membaca dan menulis) tentu lebih tidak bisa lagi. Andai saja nabi
Muhammad bisa membuat al-Qur’an, apalagi orang-orang Arab lain yang lebih pandai
dari Nabi Muhammad tentu lebih bisa membuat al-Qu’an.
Kedua, gaya bahasa dalam tutur kata beliau sebagaimana yang terekam dalam
hadits-hadits qauliyah ternyata berbeda dengan gaya bahasa Al-Qur'an. Sekalipun
seseorang barangkali bisa berbicara dalam dua gaya bahasa, namun mengeluarkan
ungkapan dalam intensitas yang tinggi sebagaimana yang terjadi dalam kehidupan
sehari-hari Rasulullah SAW adalah suatu hal yang mustahil terjadi. Kalau pun ada yang
berupaya keras melakukannya, kemiripan di antara dua gaya bahasa yang dia ungkapkan
akan kerap kali terjadi. Sedangkan gaya bahasa Al-Qur'an jelas berbeda dari gaya
bahasa hadits. Ini jelas menunjukkan bahwa Al-Qur'an bukanlah perkataan (kalaam) Nabi
Muhammad SAW sendiri.
Bahwa Al-Qur`an itu bukan buatan Muhammad SAW, juga dibuktikan dengan
adanya fakta-fakta ilmiah yang terkandung dalam sebagian ayat-ayat Al-Qur`an. Fakta-
fakta yang sedemikian canggih dan rumit itu baru terbukti pada masa modern kini, yang
menunjukkan Al-Qur`an tidak mungkin dikarang oleh Muhammad SAW yang ummi itu.
Dengan kata lain, Al-Qur`an itu hanya dari sisi Allah saja, bukan dari yang lainnya. Di
antara fakta-fakta ilmiah itu antara lain tentang atmosfer bumi dan pergiliran siang dan
malam secara cepat.
“Dan Kami menjadikan langit itu sebagai atap yang terpelihara, sedang mereka
berpaling dari segala tanda-tanda (kekuasaan Allah) yang terdapat padanya.”
(QS Al Anbiyaa` : 32)
Para ilmuwan sekarang menjelaskan kepada kita bahwa “atap yang terpelihara”
(saqfan mahfuzhan) dalam ayat di atas adalah lapisan atmosfer, yaitu udara yang
Maksud ayat di atas, bahwa siang dan malam, masing-masing saling mengikuti
secara cepat dengan tidak terputus. Ayat tersebut mengandung suatu isyarat tentang
rotasi bumi yang menyebabkan datangnya siang dan malam.
“Dia menutupkan malam kepada siang dan menutupkan siang kepada malam.”
(QS Az Zumar : 5)
“Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-
masing beredar menurut garis edarnya.”
(QS Al Anbiyaa` : 33)
Kosmonot Rusia, Yuri Gagarin, ketika terbang ke angkasa mengatakan bahwa dia
menyaksikan dengan mata kepala sendiri pergiliran gelap dan cahaya yang cepat di
permukaan bumi karena adanya rotasi bumi.
Inilah beberapa contoh ayat Al-Qur`an yang membuktikan pula bahwa Al-Qur`an itu
berasal dari dari Allah SWT semata, bukan buatan manusia, termasuk Muhammad SAW.
Pada zaman Nabi Muhammad SAW ilmu pengetahuan yang mengungkapkan hakikat
ayat-ayat itu tidak dikenal. lmu pengetahuan seperti ini hanya diketahui oleh manusia
modern saat ini. Maha benar Allah dengan firman-Nya:
“Katakanlah, ’Al Qur`an itu diturunkan oleh (Allah) yang mengetahui rahasia langit
dan bumi. Sesungguhnya dia adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS Al Furqaan : 6)
Bila kemungkinan pertama dan kedua tidak terbukti, maka kemungkinan ketigalah
yang pasti benar, yaitu bahwa Al-Qur'an itu berasal dari sisi Allah SWT. Al-Qur'an adalah
ucapan (kalaam) Allah SWT. Patut dicatat di sini bahwa seorang tokoh sastrawan Quraisy
yang bernama Walid bin Mughirah pernah mengatakan:
“Ikutilah apa yang diturunkan kepada kalian dari Tuhan kalian dan janganlah kalian
mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya.”
(QS Al A’raaf : 3)
Jawaban Islam tentang al-Uqdatu al-Kubro yang bersumber dari wahyu Allah adalah
jawaban yang sahih, memuaskan akal, dan sesuai dengan fitrah manusia.
“Alif laam miim. Kitab (Al Qur`an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi
mereka yang bertaqwa.”
(QS Al Baqarah : 1-2)
Dari
Dari mana?
mana?
Untuk
Untuk Apa?
Apa?
Akan
Hidup
Akan
di
kemana?
kemana?
dunia
untuk
ibadah
Memenuhi
Memenuhi
ghorizah (naluri)
(naluri) &
&
hajatul udlowiyah
(kebutuhan
(kebutuhan jasmani)
jasmani)
dengan
dengan cara
cara Islam
Islam
MELEJITKAN KOMPETENSI
Muhammad adalah Rasulullah. Beliau dan para sahabatnya tukang ruku’ dan sujud
bersimpuh di hadapan Allah SWT. Sejak awal, memang, beliau diperintahkan oleh Allah
SWT Pencipta kita untuk senantiasa dekat dengan-Nya. Ibadah mahdhah merupakan
Manajemen Diri – Potensi, Kompetensi, Emosi 23
jalan penting meraih kedekatan ini. Dan, ternyata Rasulullah SAW beserta sahabat-
sahabatnya memiliki ketegaran dalam mengarungi hidup memperjuangkan Islam sebagai
buah dari ibadah yang dilakukannya. Kemenangan pun mereka raih. Kehidupan mereka
yang berat dapat diraih dengan gemilang.
Sama seperti mereka, hidup ini memang berat. Apalagi jaman sekarang. Sebagai
contoh; seorang Mahasiswa mengeluh karena Dosennya sulit ditemui sehingga skripsi
tidak beres-beres, Sarjana pusing tujuh keliling karena kesulitan mencari pekerjaan
sedangkan godaan tak terhitung banyaknya. Disisi lain, masyarakat banyak mengidap
penyakit –sikap-- acuh tak acuh, orang seringkali tidak peka terhadap kesulitan
temannya, tetangga rumah sering membuat masalah, mobil rusak berat karena tertabrak
orang yang tidak bertanggung jawab dari belakang, anak merengek-rengek terus minta
jajan sedangkan uang sudah sangat minim bahkan kurang, atau barangkali problem
interaksi dengan isteri/suami tidak harmonis. Wajar saja jika Anda atau siapapun
orangnya merasa penat menghadapi persoalan hidup tersebut. Apalagi jika Anda adalah
seorang pengemban dakwah. Sekalipun permasalahan pribadi tak dipandang sebagai
persoalan berat, namun persoalan menyampaikan dakwah pun tidak semulus jalan tol.
Ejekan, sikap sinis, tuduhan, cap negatif, ancaman, propaganda, kekhawatiran akan
dijebloskan ke penjara, rekrutmen yang tersendat, dimata-matai, tuntutan banyak
sementara kemampuan terasa kurang, kewajiban lebih banyak daripada waktu 24 jam
sehari yang dimiliki dan berbagai persoalan lainnya.
Pribadi yang dapat tegar dalam menghadapi semua ini adalah pribadi yang
memiliki kekuatan raksasa. Kekuatan itu bukanlah dorongan materil berupa uang,
popularitas, relasi banyak, atau banyak kenalan yang membantu. Bukan pula kekuatan
maknawiyah berupa kasihan pada orang lain, sayang menghambur-hamburkan waktu,
atau membela saudara. Bukan, sekali lagi bukan itu kekuatan raksasa yang kokoh
tersebut. Kekuatan raksasa itu tidak lain adalah kekuatan rûhiyah yang berupa kesadaran
akan hubungan kita --sebagai makhluk-- dengan Allah SWT sebagai khaliq (idrâk shilah
billâh), yang terwujud dalam ketaatan dan akhirnya menjelma menjadi kedekatan kita
dengan-Nya. Setiap bentuk ketaatan dapat mendekatkan diri kepada Allah Pencipta Alam.
Dan, siapapun dapat meraihnya. Termasuk kita. Diantara cara untuk mencapai kedekatan
tersebut adalah dengan melakukan ibadah mahdhah secara sungguh-sungguh kepada-
Nya. Yakinlah, Allah SWT Maha Dekat kepada siapapun yang ingin mendekatkan diri
kepada-Nya.
Berkaitan dengan hal ini Rasulullah SAW bersabda dalam suatu hadits Qudsiy
bahwa Allah SWT berfirman:
Kedua, Bertaubat
Inilah langkah kedua dalam jalan ibadah. Langkah ini merupakan langkah
pembersihan hati/jiwa atas segala kesalahan terdahulu. Sekaligus hal ini merupakan
upaya untuk meringankan beban bagi perjalanan selanjutnya. Taubat, suatu perbuatan
hati yang mencakup perasaan dan pengakuan bersalah, benci atas perbuatan salahnya
“Sesungguhnya aku memohon ampun dan bertaubat kepada Allah dalam satu hari
lebih dari tujuh puluh kali.”
Sesekali, sengajakan untuk mandi lalu shalat taubat dua rakaat, dan
bermunajatlah ke hadirat Allah. Mengadulah sepuas-puasnya, memohonlah atas segala
kemurahan-Nya, angkatlah kedua tangan seraya berdoa:
“Ya Allah, ya Rabbî inilah hamba-MU, datang ke hadapan-Mu, membawa banyak cacat
cela atas segala tingkah, membawa kekeruhan jiwa karena dosa, membawa harapan
agar Kau tiada bosan mengampuni seluruh dosa, memaafkan segala khilaf. Pandanglah
aku dengan pandangan rahmat-Mu. Terimalah aku dengan kekuasaan maghfirah-Mu.
Yaa Rabbî, andai Engkau tak memenuhi hajat hamba-MU yang lemah ini, kepada siapa
kami kan mencari ganti-MU? Tiada Ilâh selain Engkau, Yaa Rahman Yaa Rahîm, pelihara
dan kuatkanlah kami dalam langkah ini ...”
Ketiga, Zuhud
Zuhud maknanya adalah tidak tergiur dan tertarik oleh dunia sehingga
menyebabkan lupa akhirat. Zuhud bukanlah meninggalkan dunia sama sekali. Zuhud
bukanlah dengan mengasingkan diri, jauh dari komunitas dan mengkhususkan diri untuk
melakukan ritual-ritual ibadah semata. Karena Allah-pun memerintahkan kita untuk
mencari karunia yang diturunkan-Nya di dunia. Allah SWT berfirman:
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akherat dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi.” (QS.
Al-Qashash [28] : 77)
“Dan janganlah kalian membunuh mereka (anak-anakmu) karena takut miskin. Kamilah
yang akan memberi rizki kepada mereka dan juga kepadamu.” (TQS. Al-Isra’ [17] :
31)
“Dan di langit terdapat rizkimu dan apa yang dijanjikan kepadamu.” (TQS. Adz-
Dzariyat [51] : 22)
Musibah, kesengsaraan dan ujian tidak akan menimpa kita kecuali apa yang
ditetapkan oleh Allah kepada kita. Hadapilah semua itu dengan kesabaran. Yakinlah
semua itu merupakan yang terbaik bagi kita. Namun walaupun demikian, kita harus
berusaha menghindarinya. Ingat semua itu tentu ada hikmah baiknya bagi kita. Pilihan
Allah tentu yang terbaik. Coba renungkan hal berikut ini ! Andaikata ada orang yang
berkata kepada Anda bahwa segala urusan Anda akan ditanggung olehnya, dan diatur
sesuai dengan kemaslahatan Anda. Anda disuruh menyerah-kan segala urusan Anda
kepadanya. Sedang-kan orang yang berkata itu adalah orang yang paling luas ilmu dan
kebijaksanaannya, paling kuat dan berkuasa serta paling benar.
Kalau demikian, niscaya Anda akan senang dan berterimakasih kepadanya. Tentu
Anda yakin dia tidak akan memilihkan yang jelek. Coba kita renungkan, apakah kita
“Dan ingatlah ketika rabbmu mema’lumkan: ‘Sesungguhnya bila kamu bersyukur pasti
kami akan menambahkan nikmat kepadamu. Dan jika kamu mengingkari nikmat-Ku
sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih.” (TQS. Ibrahim [14] :7)
Betapa sombong orang yang telah beribadah tapi tidak bersyukur. Seseorang yang
dapat melakukan ibadah di tengah banyak orang tidak mampu melakukannya, bukankah
ini suatu nikmat besar yang patut disyukuri?! Sesaat seseorang bersyukur ia akan
terdorong untuk melakukan syukur berikutnya. Sebab, dapatnya ia bersyukur di tengah
banyak orang tidak mampu bersyukur kepada-Nya merupakan suatu nikmat pula.
MEMATANGKAN EMOSI
Alkisah. Di Gunung Puteri, Bogor. Minggu ketiga Pebruari 2002, ada suatu acara
pengajian umum ibu-ibu. Penyelenggaranya seorang gadis. Dialah satu-satunya aktivis
andalan di sana. Belum ada pembicara yang pas untuk ibu-ibu, termasuk dirinya. Tak
kehilangan akal, sang ukhti mengundang pembicara dari Bogor. Awalnya pembicara
keberatan. “Saya harus membawa anak tiga, masih kecil-kecil,” alasannya. Namun,
dengan sabar ukhti itu menyanggupi menjemputnya. Bukan naik mobil pribadi,
melainkan naik bus. Jadi, betul-betul menjemput dalam arti sebenarnya. Tidak persoalan,
yang penting aktivitas dakwah berjalan. Sesampainya di tempat, sang ukhti dengan rasa
sabar membereskan tempat acara. Kelelahan nampak di wajahnya. Seusainya pengajian,
ia harus mengantar ibu pembicara dengan ketiga anaknya. Sore itu, tepat pukul 17.00
WIB, sampailah di Cibinong. “Dik, sudah saja mengantarnya sampai di sini,” tutur ibu
pembicara. “Besok, pukul delapan pagi adik ‘kan akan menikah. Saya do’akan semoga
menjadi keluarga sakinah,” tambahnya.
Subhânallâh. Akad nikah yang akan dilangsungkan besok tidak menghalanginya
beraktivitas untuk mengembangkan Islam. Padahal, di daerah Sunda masih dipahami
oleh banyak orang bahwa seorang perempuan yang akan menikah tidak boleh bepergian
kemana-mana. Apalagi, sehari menjelang hari H. Namun, penuh rasa sabar gadis
Shalihah itu meretas jalan setapak demi setapak semata untuk menumbuhkan bibit
dakwah di daerahnya. Saya, atau mungkin juga Anda, percaya andai saja berbagai
bisikan dalam hati dituruti (‘sudah, acaranya dibatalkan saja ‘kan akan menikah’, ‘seperti
tidak ada waktu lain saja’, ‘Ini ‘kan hari istimewa, lupakan saja dulu masalah dakwah’,
dan godaan lainnya), lalu kesabaran untuk menjalaninya sirna, tak mungkin acara yang
sudah diagendakan dapat terlaksana. Acara bubar. Agenda berantakan. Semangat ibu-
ibu terganjal. Padahal, sangat mungkin saat itu merupakan momen paling tepat untuk
menanam bibit dakwah Islam di sana.
Penggalan realitas tadi hanyalah sebagai bahan renungan bagi kita, betapa
kesabaran akan menghasilkan suatu kesuksesan. Tanpa kesabaran, apa yang kita
kehendaki hanya akan menjadi harapan tanpa kenyataan. Itu sekedar acara pengajian.
Apalagi, dalam perjuangan, kesabaran mutlak diperlukan.
Kesabaran meretas jalan menuju kematangan emosi. Ada sejumlah cara yang
dapat dilakukan untuk itu :
“Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang berdakwah
(mengajak berpegang) kepada Allah, melakukan amal shalih dan menyatakan
‘seungguh aku bagian dari kaum muslimin’?” (QS. Fushilat [41] : 33)
Jelaslah, tidak ada perkataan yang lebih baik daripada dakwah. Jalan dakwah adalah
pilihan hidup kita. Oleh karena itu, resiko apapun dari dakwah ini merupakan pilihan
rasional kita. Dengan memilih jalan ini kita akan menjadi manusia terbaik yang dijanjikan
Allah Pencipta Alam untuk mendapatkan sorga Firdaus nan tinggi. Apalagi, bekerja atau
tidak bekerja, cepat punya jodoh atau tidak, miskin atau kaya, begitu juga kualitas hidup
tinggi atau rendah tidak berkaitan dengan dilakukannya dakwah. Tidak sedikit orang
yang tidak mendapatkan pekerjaan padahal tidak berdakwah, banyak orang yang belum
mendapatkan jodoh padahal dia tidak aktif berdakwah, tak jarang orang berada dalam
kemiskinan sekalipun tidak berjuang untuk tegaknya Islam dengan dakwah, dan banyak
sekali contoh mereka yang kualitas hidupnya rendah padahal hidupnya tidak sibuk
“Mereka berada di atas dipan yang bertahtakan emas dan permata, seraya bertelekan
di atasnya berhadap-hadapan,” (QS. Al Wâqi’ah [56] : 15-16.
Beberapa waktu yang lalu, ada seorang tokoh nasional yang menyatakan ke saya:
“Saya sudah berjuang untuk Islam tiga puluh tahun lebih. Tapi, perjuangan saya gagal! ”
Pernyataan demikian, wajar saja terjadi. Satu sisi dapat dibaca sebagai betapa besarnya
keinginan untuk segera berhasil, dan sisi lain dapat dipahami sebagai betapa besarnya
tantangan yang dihadapi. Sementara itu, usia semakin senja.
Sabar mutlak diperlukan dalam setiap aktivitas. Sebagai contoh kecil, suatu hari
motor Anda rusak. Anda lantas membawanya ke montir. Anda tidak tahu apa
kerusakannya, bagaimana cara memperbaikinya, dan berapa lama akan selesainya.
Setelah menunggu setengah jam, motor belum kunjung selesai. Apa yang terjadi bila
saat itu Anda putuskan untuk menghentikan proses perbaikan? Motor tidak akan dapat
dijalankan! Sikap montir, tentu bukan demikian. Dia tahu waktu yang diperlukan cukup
lama, bahkan boleh jadi ia tak dapat memprediksinya. Namun, diayakin akan selesai.
Dia mencoba mencari berbagai kerusakan yang ada. Ia pun terus berjuang
mengatasinya. Dengan penuh rasa sabar ia selesaikan kerusakan demi kerusakan.
Akhirnya, tuntaslah sudah. Bayangkan, apa jadinya andai saja montir yang sebenarnya
tahu kerusakan dan cara mengatasinya tapi tidak sabar melakukannya sehingga belum
selesai kerusakan diperbaiki sudah ia tinggalkan? Apa yang terjadi? Motor tetap rusak!
Seperti halnya dalam perbaikan motor, dalam setiap penggal perjuangan, kesabaran
itu mutlak diperlukan. Katakan saja, pada tanggal 26 Pebruari 2002 lalu 1500 massa
Hizbut Tahrir Indonesia melakukan masîrah (demontrasi damai) di depan Kedutaan Besar
Singapura, Jakarta, menentang tuduhan Lee Kuan Yew bahwa Indonesia sarang teroris.
Laki-laki dan perempuan, bahkan ada anak-anak, dengan sabar berjalan dibawah terik
matahari. Dengan kesabaran pula mendengarkan orasi sambil menunggu 5 orang
perwakilannya yang diterima wakil Dubes. Sampai-sampai seorang ibu muda
mengatakan: “Saya ridla menggendong anak saya ini, demi memprotes kemungkaran,
disamping memberikan ‘pendidikan jihad’ bagi anak saya ini.” Lanjutnya, “Panas? Wah,
panas dalam ketaatan kepada Allah swt. itu nikmat. Yang harus ditakuti itu panas neraka,
“Maka bersabarlah engkau seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari
rasul-rasul telah bersabar …” (QS. Al Ahqâf [46] : 35)
Belum lagi, siapapun yang menelaah jalan hidup Nabi Muhammad saw. akan meyaini
bahwa sepanjang perjuangannya beliau senantiasa bersabar. Dan, semua tahu, buah
yang dihasilkannya adalah keberhasilan. Berdasarkan hal ini, siapapun yang mengaku
Rasulullah saw. sebagai tauladannya, niscaya akan terus sabar dalam perjuangan. Dia
tidak akan gugur di tengah jalan dakwah. Betapa tidak, junjungannya mencontokan
sabar dalam menapaki perjuangan menegakkan Islam.
Merujuk pada realitas bahwa dalam setiap penggal kehidupan ini diperlukan
kesabaran dalam meraih kemenangan, juga setiap Rasul senantiasa sabar dalam taat
dan menunaikan tugas dari Allah Al khâliq; nyatalah dalam perjuangan sekarang inipun
mutlak ada kesabaran dari mereka yang sedang berupaya menyalakan sinar Islam dan
umatnya. Untuk itu, tidak ada alasan secuil pun untuk menanggalkan sikap sabar dalam
perjuangan dari setiap diri muslim, terlebih-lebih pengemban dakwah. Karenanya, bila
kebetulan Anda sekarang sedang tergoda setan hingga muncul sikap tak sabar untuk
terus menegakkan Islam, segeralah merenungkan realitas-realitas tadi! Atau, jangan
tunda-tunda, bacalah Al Quran, cari seluruh ayat yang mengandung kata sabar, dengan
cepat Anda akan menemukan betapa sabar dalam perjuangan merupakan suatu
keniscayaan. Atau, segeralah buka sirah Rasul. Bukalah, lembar demi lembar. Di sana
terpampang dengan jelas, setiap kali Anda membuka lembarannya setiap kali itu pula
Anda akan menemukan kesabaran junjungan Anda, Nabi Muhammad saw., dalam
perjuangan meninggikan kalimatullâh. Lalu, istighfarlah! Sesalilah lintasan setan
tersebut. Tataplah ke depan, tegakkan bahu, tancapkan tekad untuk terus menapaki
“Hai orang-orang yang beriman mintalah petolongan (kepada Allah) dengan sabar dan
shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. al-Baqarah [2] :
153)
Ayat sebelumnya (ayat 151 dan 152) menjelaskan bahwa Allah swt. telah mengutus
Rasul untuk membacakan ayat-ayatNya, menyucikan kita dari syirik dan berhala,
mengajari Al Quran dan hikmah (berupa hukum-hukum yang dikandungnya),
memerintahkan untuk berpegang teguh pada ‘aqidah dan hukum-hukum, mengingat
Allah dan dakwah Islam serta bersykur. Sementara itu, ayat sesudahnya (ayat 154)
menjelaskan bahwa orang-orang yang gugur fî sabîlillâh hakikatnya hidup. Berdasarkan
kedua hal ini teranglah bahwa dalam surat Al Baqarah [2] ayat 153 tadi Allah Dzat Maha
Perkasa memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk senantiasa meminta
pertolongan kepada Allah swt. dengan sabar dan shalat dalam mengemban dan
mendakwahkan Islam serta berpegang teguh kepadanya. Perbuatan Rasulullah saw.
lebih menegaskan hal ini. Kita tahu, apabila beliau saw. sedang memiliki suatu
permasalahan segeralah beliau shalat. Dan, sejarah pun mencatat betapa kesabaran
beliau dalam mengemban dakwah Islam. Jadi, ayat ini menegaskan bahwa sabar dan
shalat merupakan suatu jalan pertolongan. Allah bersama dengan orang-orang yang
sabar.
Orang yang shalatnya khusyu tahu bahwa shalat memberikan daya kekuatan kepada
seorang mukmin dalam menghadapi kezhaliman dan para pengembannya, serta
memberinya keteguhan dan ketegaran dalam memegang kebenaran. Sementara itu,
dalam ayat tadi sabar disebut lebih dahulu sebelum kata shalat. Hal ini menunjukkan
betapa urgennya sabar. Konsekuensinya, seorang muslim yang memahami hal ini akan
senang shalat dan senang bersikap sabar. Sebab, dengan melakukan keduanya berarti
terdapat pertolongan dalam menghadapi berbagai kesulitan, termasuk kesulitan dalam
perjuangan menegakkan Islam. Sikap datar atau biasa-biasa saja dalam melakukan
shalat hanyalah berarti menjauhkan pertolongan dari Allah Dzat Maha Gagah. Sama
halnya dengan itu, orang yang tidak senang bersikap sabar dalam mengungguli kesulitan
perjuangan. Sebaliknya, saat ia menemukan kesulitan apapun segeralah ia meninggikan
kualitas shalat wajibnya dan meningkatkan kuantitas dan kualitas shalat sunnatnya.
Betapa senang ia melakukannya. Hatinya rindu untuk melakukan shalat, shalat dan
shalat lagi. Kegembiraan saat ia menunaikan shalat jauh melebihi kegembiraan apapun,
termasuk kegembiraan saat menjadi pengantin. Kata Nabi,
“Telah dijadikan kesenanganku (qurratu ‘ayni) ada dalam shalat” (HR. Ahmad dan An
Nasâi)
Bersamaan dengan itu, ia yakin shalat merupakan jalan pertolongan.
Sabar, sebagaimana dalam surat Al Baqarah [2] ayat 153 tadi, juga merupakan jalan
pertolongan dari Allah swt. Seorang mukmin bukan hanya segera meningkatkan
kuantitas shalat sunnat ketika ia menghadapi kesulitan, namun ia juga menambah
kesabarannya. Saat seorang mukmin menghadapi halangan apapun, ia tidak menyerah,
sebaliknya ia bersabar dengan penuh kegembiraan dan harapan akan datangnya
pertolongan. Di dalam kesabarannya terkandung kegembiraan, harapan, keteguhan, dan
kedekatan dengan Allah swt, serta keyakinan akan datangnya pertolongan dari Dzat
Maha Kuasa.
Atas dasar kenyataan bahwa sabar itu merupakan jalan pertolongan bagi
pengemban dakwah dan mukmin lainnya maka sikap abai terhadap perjuangan hanya
karena adanya kesulitan yang dihadapi merupakan sikap tak rasional. Dengan semakin
menjauh dari perjuangan, dengan kian meninggalkan sabar dalam perjuangan, makin
jauh pertolongan datang pada dirinya. Bila hal ini berlaku secara kolektif maka akibatnya
pun akan dirasakan secara kolektif juga. Ringkasnya, sabar merupakan jalan pertolongan,
juga sabar diperintahkan Allah swt. untuk dilakukan dalam perjuangan; sebab itu, sikap
tidak sabar harus dibuang jauh-jauh dari diri seorang pengemban dakwah. Kalau dapat,
buang hingga ke ruang angkasa.
Nyatalah, sabar merupakan keniscayaan dalam perjuangan. Kesulitan yang dihadapi
bukan malah menyurutkan api perjuangan, melainkan justru secara syar’iy harus menjadi
pengokohnya dengan menjadikan sabar sebagai jalan datangnya pertolongan Allah swt.
Satu hal yang penting dicamkan, sabar dalam perjuangan bukan berarti mengalah pada
kebatilan. Sabar dalam perjuangan, justru, tegar dalam memegang kebenaran serta terus
menapaki jalan perjuangan untuk mengembalikan kejayaan Islam dan kaum muslim.
Alhamdulillâh.
Pustaka