Anda di halaman 1dari 25

Tugas Keperawatan HIV-AIDS

Proses Keperawatan Terhadap Pasien HIV DAN AIDS

PALUPI TRIWAHYUNI SKEP.,NERS., M.KES

Jhon William
Section B
Nim: 1751022
1. DEFINISI AIDS
Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency Syndrome (disingkat AIDS)
adalah sekumpulan gejala dan infeksi (atau: sindrom) yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan
tubuh manusia akibat infeksi virus HIV;[1] atau infeksi virus-virus lain yang mirip yang menyerang
spesies lainnya (SIV, FIV, dan lain-lain).

Virusnya sendiri bernama Human Immunodeficiency Virus (atau disingkat HIV) yaitu virus yang
memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap
infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor. Meskipun penanganan yang telah ada dapat
memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan.

HIV dan virus-virus sejenisnya umumnya ditularkan melalui kontak langsung antara lapisan kulit dalam
(membran mukosa) atau aliran darah, dengan cairan tubuh yang mengandung HIV, seperti darah, air mani,
cairan vagina, cairan preseminal, dan air susu ibu.[2][3] Penularan dapat terjadi melalui hubungan intim
(vaginal, anal, ataupun oral), transfusi darah, jarum suntik yang terkontaminasi, antara ibu dan bayi
selama kehamilan, bersalin, atau menyusui, serta bentuk kontak lainnya dengan cairan-cairan tubuh
tersebut.

Para ilmuwan umumnya berpendapat bahwa AIDS berasal dari Afrika Sub-Sahara.[4] Kini AIDS telah
menjadi wabah penyakit. AIDS diperkiraan telah menginfeksi 38,6 juta orang di seluruh dunia.[5] Pada
Januari 2006, UNAIDS bekerja sama dengan WHO memperkirakan bahwa AIDS telah menyebabkan
kematian lebih dari 25 juta orang sejak pertama kali diakui pada tanggal 5 Juni 1981. Dengan demikian,
penyakit ini merupakan salah satu wabah paling mematikan dalam sejarah. AIDS diklaim telah
menyebabkan kematian sebanyak 2,4 hingga 3,3 juta jiwa pada tahun 2005 saja, dan lebih dari 570.000
jiwa di antaranya adalah anak-anak.[5] Sepertiga dari jumlah kematian ini terjadi di Afrika Sub-Sahara,
sehingga memperlambat pertumbuhan ekonomi dan menghancurkan kekuatan sumber daya manusia di
sana. Perawatan antiretrovirus sesungguhnya dapat mengurangi tingkat kematian dan parahnya infeksi
HIV, namun akses terhadap pengobatan tersebut tidak tersedia di semua negara.[6]

Hukuman sosial bagi penderita HIV/AIDS, umumnya lebih berat bila dibandingkan dengan penderita
penyakit mematikan lainnya. Kadang-kadang hukuman sosial tersebut juga turut tertimpakan kepada
petugas kesehatan atau sukarelawan, yang terlibat dalam merawat orang yang hidup dengan HIV/AIDS
(ODHA).
2. ETIOLOGI HI-AIDS
Etiologi penyakit HIV diakibatkan oleh human immunodeficiency virus dengan host mayoritas
manusia.

Agen
Agen infeksi HIV disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus. Virus ini terdiri dari 2
subtipe, HIV-1 dan HIV-2.
HIV-1
HIV-1 merupakan jenis virus HIV yang paling umum ditemukan hampir di seluruh belahan dunia,
memiliki progresivitas yang tinggi, lebih cepat dalam meningkatkan nilai viral-load, dan
menurunkan tingkat CD4.
HIV-2
HIV-2 memiliki predominansi untuk ditemukan pada area Afrika Barat. Subtipe ini tidak seagresif
HIV-1 dan ketika ditemukan, umumnya memiliki tingkatan CD4 yang lebih tinggi dibanding
penderita infeksi HIV-1.
Host / Pejamu
Sesuai dengan namanya Human Immunodeficiency Virus, maka manusia merupakan pejamu
utama pada infeksi HIV. Walau demikian, manusia bukan satu-satunya pejamu infeksi HIV.
Diketahui bahwa infeksi ini berawal dari salah satu spesies simpanse di Afrika.[3-6]
Faktor Risiko
Terdapat berbagai perilaku dan tindakan yang dapat menyebabkan peningkatan risiko terinfeksi
HIV:
Melakukan hubungan seks yang tidak terproteksi
Memiliki riwayat mengidap infeksi menular seksual, terutama jika berulang
Menggunakan jarum yang telah terkontaminasi HIV, secara bergantian (seperti pada pengguna
narkoba suntik, tindik, atau tato)
Bekerja pada lingkungan yang berisiko tertusuk jarum/infeksius (pekerja/tenaga kesehatan)
Ibu HIV terhadap janin yang dikandungnya, atau pada bayinya[4,6]
Virus HIV yang menginfeksi seseorang tidak serta-merta langsung menimbulkan gejala-gejala
berat. Perlu waktu yang cukup lama hingga infeksi HIV berkembang menjadi kondisi AIDS
(Acquired Immune Deficiency Syndrome).

Seseorang yang terkena HIV akan mengalami tiga tahap infeksi. Tahap paling awal infeksi HIV
biasa disebut dengan infeksi akut atau serokonversi, biasanya terjadi dalam rentang waktu 2-6
minggu setelah terpapar. Dalam tahap ini, sistem kekebalan tubuh akan berjuang untuk
menaklukkan virus HIV.
Memahami Gejala Awal HIV
Gejala awal HIV begitu ringan dan tidak memiliki karakteristik yang khas. Banyak yang tidak
menyangka kalau sebenarnya gejala awal HIV bisa dibilang mirip dengan gejala-gejala yang
timbul akibat serangan virus lainnya, misalnya penyakit flu (flu-like syndrome). Lama munculnya
gejala bisa berlangsung selama 1-2 minggu.

Memahami Gejala Awal HIV


Gejala awal HIV begitu ringan dan tidak memiliki karakteristik yang khas. Banyak yang tidak
menyangka kalau sebenarnya gejala awal HIV bisa dibilang mirip dengan gejala-gejala yang
timbul akibat serangan virus lainnya, misalnya penyakit flu (flu-like syndrome). Lama munculnya
gejala bisa berlangsung selama 1-2 minggu.
Patofisiologi HIV (human immunodeficiency virus) dimulai dari transmisi virus ke dalam tubuh
yang menyebabkan infeksi yang terjadi dalam 3 fase: serokonversi, asimtomatik, dan acquired
immunodeficiency syndrome (AIDS).

Transmisi HIV

HIV ditransmisikan melalui cairan tubuh dari orang yang terinfeksi HIV, seperti darah, ASI,
semen dan sekret vagina. Virus masuk ke dalam tubuh manusia melalui port d’entree yang
terdapat pada tubuh, umumnya kemungkinan ini meningkat melalui perilaku berisiko yang
dilakukan.

Virus kemudian masuk ke dalam sel dengan menempel pada reseptor CD4 melalui pembungkus
glikoprotein. Sebagai retrovirus, HIV menggunakan enzim reverse-transcriptase, memungkinkan
terbentuknya DNA-copy, untuk terbentuk dari RNA-virus. Virus kemudian menempel dan
merusak CD4, sehingga terjadi deplesi nilai CD4 dalam darah, seiring dengan terjadinya
peningkatan replikasi virus yang direfleksikan dari hasil nilai viral load yang tinggi, menandakan
tingkat virulensi yang tinggi.

Fase Infeksi HIV

Infeksi HIV terdiri dari 3 fase: serokonversi, asimtomatik, dan AIDS.

Serokonversi

Fase serokonversi terjadi di masa awal infeksi HIV. Pada fase ini, terjadi viremia plasma dengan
penyebaran yang luas dalam tubuh, selama 4-11 hari setelah virus masuk melalui mukosa tubuh.
Kondisi ini dapat bertahan selama beberapa minggu, dengan gejala yang cukup ringan dan tidak
spesifik, umumnya berupa demam, flu-like syndrome, limfadenopati dan ruam-ruam. Kemudian,
keluhan akan berkurang dan bertahan tanpa gejala mengganggu. Pada masa ini, umumnya akan
mulai terjadi penurunan nilai CD4, dan peningkatan viral-load.

Fase Asimtomatik

Pada fase asimtomatik, HIV sudah dapat terdeteksi melalui pemeriksaan darah. Penderita infeksi
HIV dapat hidup bebas gejala hingga 5-10 tahun walau tanpa intervensi pengobatan. Pada fase
ini, replikasi virus terus berjalan, virulensi tinggi, viral load stabil tinggi, serta terjadi penurunan
CD4 secara konstan.

Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS)

Pada fase AIDS, umumnya viral-load tetap berada dalam kadar yang tinggi. CD4 dapat menurun
hingga lebih rendah dari 200/µl.

Infeksi oportunistik mulai muncul secara signifikan. Infeksi oportunistik ini bersifat berat,
meliputi dan mengganggu berbagai fungsi organ dan sistem dalam tubuh. Menurunnya CD4
mempermudah infeksi dan perubahan seluler menjadi keganasan. Infeksi oportunistik berupa:

Demam > 2 minggu


Tuberkulosis paru
Tuberkulosis ekstra paru
Sarkoma kaposi
Herpes rekuren
Limfadenopati
Candidiasis orofaring
Wasting syndrome
Stadium Infeksi HIV

Stadium infeksi HIV menurut WHO dibagi ke dalam 4 stadium.

Stadium 1

Stadium 1 infeksi HIV berupa sindrom serokonversi akut yang disertai dengan limfadenopati
persisten generalisata (muncul nodul-nodul tanpa rasa sakit pada 2 atau lebih lokasi yang tidak
berdampingan dengan jarak lebih dari cm dan waktu lebih dari 3 bulan).

Pasien stadium ini dapat tetap asimtomatik hingga bertahun-tahun tergantung pada pengobatan.
Status performa 1: aktif penuh dan asimtomatik.

Stadium 2

Pada stadium 2, pasien dapat kehilangan berat badan kurang dari 10% massa tubuh. Risiko
penyakit infeksi antara lain:

Herpes zoster
Manifestasi minor mukokutan
Infeksi saluran pernafasan atas rekuren
Status performa 2: simtomatik namun hampir aktif penuh.

Stadium 3
Stadium 3 HIV akan menyebabkan pasien kehilangan berat badan lebih dari 10% massa tubuh.
Pasien juga akan mengalami beberapa infeksi atau gejala berikut:

Diare kronik lebih dari 1 bulan


Demam prolong lebih dari 1 bulan
Kandidosis oral, kandidiasis vagina kronik
Oral hairy leukoplakia
Infeksi bakteri parah
Tuberkulosis paru
Status performa 3: berada di tempat tidur lebih dari 50% dalam satu bulan terakhir.

Stadium 4

Pasien HIV stadium 4 mengalami infeksi oportunistik yang juga dikenal sebagai AIDS defining
infections, antara lain:

Tuberkulosis ekstrapulmoner
Pneumoniac Pneumocystis jirovecii

Meningitis kriptokokal
Infeksi HSV lebih dari 1 bulan
Kandidiasis pulmoner dan esofageal
Toksoplasmosis
Kriptosporidiosis
CMV
HIV wasting syndrome
Ensefalopati HIV
Sarkoma Kaposi
Limfoma
Pneumonia rekuren
Status performa 4: hanya dapat beraktivitas diatas tempat tidur lebih dari 50% waktu keseharian.
[2-4]
3. Gejala Klinis HIV/AIDS

Gejala penyakit AIDS sangat bervariasi. Berikut ini gejala yang ditemui
pada penderita AIDS, panas lebih dari 1 bulan, batuk-batuk, sariawan dan nyeri menelan,
badan menjadi kurus sekali, diare, sesak napas, pembesaran kelenjar getah bening,
kesadaran menurun, penurunan ketajaman penglihatan, bercak ungu kehitaman di kulit.

Gejala penyakit AIDS tersebut harus ditafsirkan dengan hati-hati, karena dapat
merupakan gejala penyakit lain yang banyak terdapat di Indonesia, misalnya gejala panas
dapat disebabkan penyakit tipus atau tuberkulosis paru. Bila terdapat beberapa gejala
bersama-sama pada seseorang dan ia mempunyai perilaku atau riwayat perilaku yang mudah
tertular AIDS, maka dianjurkan ia tes darah HIV.

Pasien AIDS secara khas punya riwayat gejala dan tanda penyakit. Pada infeksi
Human Immunodeficiency Virus (HIV) primer akut yang lamanya 1 – 2 Minggu pasien akan
merasakan sakit seperti flu. Dan disaat fase supresi imun simptomatik (3 tahun) pasien akan
mengalami demam, keringat dimalam hari, penurunan berat badan, diare, neuropati,
keletihan ruam kulit, limpanodenopathy, pertambahan kognitif, dan lesi oral. Dan disaat fase
infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) menjadi AIDS (bevariasi 1-5 tahun dari
pertama penentuan kondisi AIDS) akan terdapat gejala infeksi opurtunistik, yang paling
umum adalah Pneumocystic Carinii (PCC), Pneumonia interstisial yang disebabkan suatu
protozoa, infeksi lain termasuk menibgitis, kandidiasis, cytomegalovirus, mikrobakterial,
atipikal.

Pembagian Stadium :
a. Stadium pertama : HIV
Infeksi di mulai dengan masuknya HIV dan di ikuti dengan terjadinya perubahan
serologis ketika antibodi terhadap virus tersebut berubah dari negatif menjadi positif.
Rentang waktu sejak HIV masuk ke dalam tubuh sampai tes antibodi terhadap
HIVmenjadi positif di sebut dengan window period. Lama window period adalah antara
satu sampai tiga bulan, bahkan ada yang dapat berlangsung sampai enam bulan

b. Stadium kedua : Asimptomatik ( tanpa gejala )


Asimptomatik berarti bahwa di dalam organ tubuh terdapat HIV, tetapi tubuh tidak
menunjukkan gejala apa pun. Keadaan ini dapat berlangsung rata-rata selama 5-10 tahun.
Cairan tubuh pasien HIV.AIDS yang tampak sehat ini sudah dapat menularkan HIV
kepada orang lain.
c. Stadium ketiga : Pembesaran kelenjar limfe secara menetap dan merata ( pesistent
Generalized Lynphadenopaty ). Hal ini tidak hanya muncul pada satu tempat saja dan
berlangsung lebih satu bulan.
d. Stadium keempat : AIDS
Keadaan ini di sertai dengan adanya bermacam-macam penyakit, antara lain penyakit
konstitusional, penyakit saraf, dan penyakit infeksi sekunder.

Gejala klinis pada stadium AIDS di bagi antara lain :

 Gejala utama / mayor :


a. Demam berkepanjangan lebih dari 3 bulan
b. Diare kronis lebih dari satu bulan berulang maupun terus menerus
c. Penurunan berat badan lebih dari 10 % dalam tiga bulan.

 Gejala minor :
a. Batuk kronis selama satu bulan
b. Infeksi pada mulut dan tenggorokan yang disebabkan oleh jamur Candida albicons
c. Pembengkakan kelenjar getah bening yangmenetap di seluruh tubuh
d. Munculnya herpes zoster berulang dan bercak-bercak gatal di seluruh tubuh.

4. Pengkajian Keperawatan HIV-AIDS

Pengkajian keperawatan untuk penderita AIDS (Doenges, 1999) adalah


a. Aktivitas / istirahat.

Mudah lelah, berkurangnya toleransi terhadap aktivitas biasanya, malaise

b. Sirkulasi.

Takikardia , perubahan TD postural, pucat dan sianosis.

c. Integritas ego.

Alopesia , lesi cacat, menurunnya berat badan, putus asa, depresi, marah, menangis.

d. Elimiinasi.

Feses encer, diare pekat yang sering, nyeri tekanan abdominal, absesrektal.

e. Makanan / cairan.

Disfagia, bising usus, turgor kulit buruk, lesi pada rongga mulut, kesehatan gigi / gusi
yang buruk, dan edema.

f. Neurosensori.

Pusing, kesemutan pada ekstremitas, konsentrasi buruk, apatis, dan respon melambat.

g. Nyeri / kenyamanan.

Sakit kepala, nyeri pada pleuritis, pembengkakan pada sendi, penurunan rentang gerak,
dan gerak otot melindungi pada bagian yangsakit.

h. Pernafasan.

Batuk, Produktif / non produktif, takipnea, distres pernafasan.

Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan diagnostic untuk penderita AIDS (Arif Mansjoer, 2000) adalah

a. Lakukan anamnesi gejala infeksi oportunistik dan kanker yang terkait dengan AIDS.

b. Telusuri perilaku berisiko yang memungkinkan penularan.


c. Pemeriksaan fisik untuk mencari tanda infeksi oportunistik dan kanker terkait. Jangan
lupa perubahan kelenjar, pemeriksaan mulut, kulit, dan funduskopi.

d. Dalam pemeriksaan penunjang dicari jumlah limfosot total, antibodi HIV, dan
pemeriksaan Rontgen.

Bila hasil pemeriksaan antibodi positif maka dilakukan pemeriksaan jumlah


CD4, protein purufied derivative (PPD), serologi toksoplasma, serologi sitomegalovirus,
serologi PMS, hepatitis, dan pap smear.Sedangkan pada pemeriksaan follow up diperiksa
jumlah CD4. Bila >500 maka pemeriksaan diulang tiap 6 bulan. Sedangkan bila jumlahnya
200-500 maka diulang tiap 3-6 bulan, dan bila <200 diberikan profilaksi
pneumonia pneumocystis carinii. Pemberian profilaksi INH tidak tergantung pada jumlah
CD4.Perlu juga dilakukan pemeriksaan viral load untuk mengetahui awal pemberian obat
antiretroviral dan memantau hasil pengobatan. Bila tidak tersedia peralatan untuk
pemeriksaan CD4 (mikroskop fluoresensi atau flowcytometer) untuk kasus AIDS dapat
digunakan rumus CD4 = (1/3 x jumlah limfosit total)-8.
5. Proses Medikasi

a. Apabila terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), maka terapinya yaitu (Endah
Istiqomah : 2009) :

1) Pengendalian Infeksi Opurtunistik

Bertujuan menghilangkan,mengendalikan, dan pemulihan infeksi opurtunistik,


nasokomial, atau sepsis. Tidakan

pengendalian infeksi yang aman untuk mencegah kontaminasi bakteri dan


komplikasi penyebab sepsis harus dipertahankan bagi pasien dilingkungan perawatan
kritis.

2) Terapi AZT (Azidotimidin)

Disetujui FDA (1987) untuk penggunaan obat antiviral AZT yang efektif terhadap
AIDS, obat ini menghambat replikasi antiviral Human Immunodeficiency Virus
(HIV) dengan menghambat enzim pembalik traskriptase. AZT tersedia untuk pasien
AIDS yang jumlah sel T4 nya <>3 Sekarang, AZT tersedia untuk pasien dengan
Human Immunodeficiency Virus (HIV) positif asimptomatik dan sel T4 > 500 mm3

Penggunaan obat dapat menyebabkan beberapa reaksi samping:

 perkembangan anemia, neutropenik atau leukopenia;


 munculnya sakit kepala, sensasi kantuk, parestesia, kelelahan parah, astenia,
mialgia dengan cardialgia, dan kelainan selera;
 munculnya diare, muntah, kembung dan mual, dan sebagai tambahan
perkembangan gastralgia atau pankreatitis dan gangguan nafsu makan;
 munculnya jenis infeksi sekunder dan perkembangan demam;
 munculnya batuk, insomnia, menggigil, meningkatnya frekuensi buang air
kecil, perkembangan depresi;
 perkembangan manifestasi dyspeptic atau hypercreatininaemia, serta
peningkatan aktivitas transaminase hati dan amilase dalam serum.
3) Terapi Antiviral Baru

Beberapa antiviral baru yang meningkatkan aktivitas system imundengan menghambat


replikasi virus / memutuskan rantai reproduksivirus pada prosesnya. Obat-obat ini
adalah :

a) Didanosine
b) Ribavirin
c) Diedoxycytidine
d) Recombinant CD 4 dapat larut
4) Vaksin dan Rekonstruksi Virus

Upaya rekonstruksi imun dan vaksin dengan agen tersebut seperti interferon, maka
perawat unit khusus perawatan kritis dapatmenggunakan keahlian dibidang proses
keperawatan dan penelitianuntuk menunjang pemahaman dan keberhasilan terapi
AIDS.

5) Diet

Penatalaksanaan diet untuk penderita AIDS (UGI:2012) adalahTujuan Umum Diet


Penyakit HIV/AIDS adalah memberikan intervensi gizi secara cepat dengan
mempertimbangkan seluruh aspek dukungan gizi pada semua tahap dini penyakit
infeksi HIV, mencapai dan mempertahankan berat badan secara komposisi tubuh yang
diharapkan, terutama jaringan otot (Lean Body Mass),Memenuhi kebutuhan
energy dan semua zat gizi, mendorong perilaku sehat dalam menerapkan
diet, olahraga dan relaksasi.

Tujuan Khusus Diet Penyakit HIV/AIDS adalah Mengatasi gejala diare, intoleransi
laktosa, mual dan muntah, meningkatkan kemampuan untuk memusatkan
perhatian, yang terlihat pada: pasien dapat membedakan antara gejala
anoreksia, perasaan kenyang, perubahan indra pengecap dan kesulitan menelan,
mencapai dan mempertahankan berat badan normal, mencegah penurunan berat badan
yang berlebihan (terutama jaringan otot), memberikan kebebasan pasien untuk
memilih makanan yang adekuat sesuai dengan kemampuan makan dan jenis terapi
yang diberikan.

Syarat-syarat Diet HIV/AIDS adalah:


a) Energi tinggi. Pada perhitungan kebutuhan energi, diperhatikan faktor stres,
aktivitas fisik, dan kenaikan suhu tubuh. Tambahkan energi sebanyak 13% untuk
setiap kenaikan Suhu 1°C. Protein tinggi, yaitu 1,1 – 1,5 g/kg BB untuk
memelihara dan mengganti jaringan sel tubuh yang rusak. Pemberian protein
disesuaikan bila ada kelainan ginjal dan hati.
b) Lemak cukup, yaitu 10 – 25 % dari kebutuhan energy total. Jenis lemak
disesuaikan dengan toleransi pasien. Apabila ada malabsorpsi lemak, digunakan
lemak dengan ikatan rantai sedang (Medium Chain Triglyceride/MCT). Minyak
ikan (asam lemak omega 3) diberikan bersama minyak MCT dapat memperbaiki
fungsi kekebalan.
c) Vitamin dan Mineral tinggi, yaitu 1 ½ kali (150%) Angka Kecukupan Gizi yang
di anjurkan (AKG), terutama vitamin A, B12, C, E, Folat, Kalsium, Magnesium,
Seng dan Selenium. Bila perlu dapat ditambahkan vitamin berupa suplemen, tapi
megadosis harus dihindari karena dapat menekan kekebalan tubuh.
d) Serat cukup; gunakan serat yang mudah cerna.
e) Cairan cukup, sesuai dengan keadaan pasien. Pada pasien dengan gangguan
fungsi menelan, pemberian cairan harus hati-hati dan diberikan bertahap dengan
konsistensi yang sesuai. Konsistensi cairan dapat berupa cairan kental (thick
fluid), semi kental (semi thick fluid) dan cair (thin fluid).
f) Elektrolit. Kehilangan elektrolit melalui muntah dan diare perlu diganti (natrium,
kalium dan klorida).
Jenis Diet dan Indikasi Pemberian

Diet AIDS diberikan pada pasien akut setelah terkena infeksi HIV, yaitu kepada
pasien dengan:

a) Infeksi HIV positif tanpa gejala.


b) Infeksi HIV dengan gejala (misalnya panas lama, batuk, diare, kesulitan menelan,
sariawan dan pembesaran kelenjar getah bening).
c) nfeksi HIV dengan gangguan saraf.
d) Infeksi HIV dengan TBC.
e) Infeksi HIV dengan kanker dan HIV Wasting Syndrome.
f) Makanan untuk pasien AIDS dapat diberikan melalui tiga cara, yaitu secara oral,
enteral(sonde) dan parental(infus). Asupan makanan secara oral sebaiknya
dievaluasi secara rutin. Bila tidak mencukupi, dianjurkan pemberian makanan
enteral atau parental sebagai tambahan atau sebagai makanan utama.
Ada tiga macam diet AIDS yaitu Diet AIDS I, II dan III.

a) Diet AIDS I diberikan kepada pasien infeksi HIV akut, dengangejala panas
tinggi, sariawan, kesulitan menelan, sesak nafas berat, diare akut, kesadaran
menurun, atau segera setelah pasien dapat diberi makan.Makanan berupa cairan
dan bubur susu, diberikan selama beberapa hari sesuai dengan keadaan pasien,
dalam porsi kecil setiap 3 jam. Bila ada kesulitan menelan, makanan diberikan
dalam bentuk sonde atau dalam bentuk kombinasi makanan cair dan makanan
sonde. Makanan sonde dapat dibuat sendiri atau menggunakan makanan enteral
komersial energi dan protein tinggi. Makanan ini cukup energi, zat besi, tiamin
dan vitamin C. bila dibutuhkan lebih banyak energy dapat ditambahkan glukosa
polimer (misalnya polyjoule).
b) Diet AIDS IIdiberikan sebagai perpindahan Diet AIDS I setelah tahap
akut teratasi. Makanan diberikan dalam bentuk saring atau cincang setiap 3
jam. Makanan ini rendah nilai gizinya dan membosankan. Untuk
memenuhi kebutuhan energy dan zatgizinya, diberikan makanan enteral
atau sonde sebagai tambahan atau sebagai makanan utama.
c) Diet AIDS IIIdiberikan sebagai perpindahan dari Diet AIDS II atau
kepada pasien dengan infeksi HIV tanpa gejala. Bentuk makanan lunak atau
biasa diberikandalam porsi kecil dan sering. Diet ini tinggi energy, protein,
vitamin dan mineral. Apabila kemampuan makan melalui mulut terbatas dan
masih terjadi penurunan berat badan, maka dianjurkan pemberian makanan
sondesebagai makanan tambahan atau makanan utama.
6. Patofisiologi HIV-AIDS
7. Konsep Asuhan Keperawatan

Pengkajian keperawatan untuk penderita AIDS (Doenges, 1999) adalah

a. Aktivitas / istirahat.

Mudah lelah, berkurangnya toleransi terhadap aktivitas biasanya, malaise

b. Sirkulasi.

Takikardia , perubahan TD postural, pucat dan sianosis.

c. Integritas ego.

Alopesia , lesi cacat, menurunnya berat badan, putus asa, depresi, marah, menangis.

d. Elimiinasi.

Feses encer, diare pekat yang sering, nyeri tekanan abdominal, absesrektal.

e. Makanan / cairan.

Disfagia, bising usus, turgor kulit buruk, lesi pada rongga mulut, kesehatan gigi / gusi
yang buruk, dan edema.

f. Neurosensori.

Pusing, kesemutan pada ekstremitas, konsentrasi buruk, apatis, dan respon melambat.

g. Nyeri / kenyamanan.

Sakit kepala, nyeri pada pleuritis, pembengkakan pada sendi, penurunan rentang gerak,
dan gerak otot melindungi pada bagian yangsakit.

h. Pernafasan.

Batuk, Produktif / non produktif, takipnea, distres pernafasan.


1. DIAGNOSA MENURUT DOENGES, 1999
a. Nyeri berhubungan dengan inflamasi/ kerusakan jaringan
b. Perubahan nutrisi yang kurang dari kebutuhan tubuh dihubungkan dengan gangguan
intestinal
c. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan diare berat
d. Resiko tinggi pola nafas tidak efektif berhubungan dengan proses infeksi dan ketidak
seimbangan muskuler (melemahnya otot-otot pernafasan)
e. Intoleransi aktovitas berhubungan dengan penurunan produksi metabolisme

2. INTERVENSI

DX1 : NYERI BERHUBUNGAN DENGAN INFLAMASI/ KERUSAKAN


JARINGAN

Hasil yang diharapkan :

 Keluhan hilang
 Menunjukan aekspresi wajah rileks
 Dapat tidur atau beristirahat secara adekuat.
INTERVENSI RASIONAL

1. Kaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi, 1. Mengindikasikan kebutuhan untuk


intensitas, frekuensi dan waktu. Tanda intervensi dan juga tanda-tanda
gejala nonverbal misalnya gelisah, perkembangan komplikasi.
takikardia, meringis.
2. Instruksikan pasien untuk
menggunakan visualisasi atau
imajinasi, relaksasi progresif, teknik 2. Meningkatkan relaksasi dan perasaan
nafas dalam. rileks.
3. Dorong pengungkapan perasaan

3. Dapat mengurangi ansietas dan rasa


4. Berikan analgesik atau antipiretik sakit, sehingga persepsi akan intensitas
narkotik. Gunakan ADP (analgesic rasa sakit.
yang dikontrol pasien) untuk 4. Memberikan penurunan nyeri/tidak
memberikan analgesia 24 jam. nyaman, mengurangi demam. Obat
yang dikontrol pasien berdasar waktu
24 jam dapat mempertahankan kadar
analgesia darah tetap stabil, mencegah
kekurangan atau kelebihan obat-obatan
5. Meningkatkan relaksasi atau
5. Lakukan tindakan paliatif misal
menurunkan tegangan otot.
pengubahan posisi, masase, rentang
gerak pada sendi yang sakit.

DX2 : PERUBAHAN NUTRISI YANG KURANG DARI KEBUTUHAN TUBUH


DIHUBUNGKAN DENGAN GANGGUAN INTESTINAL

Hasil yang diharapkan :

 Mempertahankan berat badan atau memperlihatkan peningkatan berat badan


yang mengacu pada tujuan yang diinginkan,
 Mendemostrasikan keseimbangan nitrogen positif,
 Bebas dari tanda-tanda malnutrisi
 Menunjukkan perbaikan tingkat energy.
INTERVENSI RASIONAL

1. Kaji kemampuan untuk mengunyah, 1. Lesi mulut, tenggorok dan esophagus


merasakan dan menelan. dapat menyebabkan disfagia,
penurunan kemampuan pasien untuk
mengolah makanan dan mengurangi
keinginan untuk makan.
2. Hopermotilitas saluran intestinal
umum terjadi dan dihubungkan dengan
2. Auskultasi bising usus
muntah dan diare, yang dapat
mempengaruhi pilihan diet atau cara
makan.
3. Melibatkan orang terdekat dalam
rencana memberi perasaan control
lingkungan dan mungkin
3. Rencanakan diet dengan orang meningkatkan pemasukan. Memenuhi
terdekat, jika memungkinakan kebutuhan akan makanan
sarankan makanan dari rumah. nonistitusional dan juga meningkatkan
Sediakan makanan yang sedikit tapi pemasukan.
sering berupa makanan padat nutrisi,
tidak bersifat asam dan juga minuman
dengan pilihan yang disukai pasien.
Dorong konsumsi makanan berkalori
tinggi yang dapat merangsang nafsu
makan
4. Batasi makanan yang menyebabkan 4. Rasa sakit pada mulut atau ketakutan
mual atau muntah. Hindari akan mengiritasi lesi pada mulut dapat
menghidangkan makanan yang panas akan menyebabakan pasien enggan
dan yang susah untuk ditelan untuk makan. Tindakan ini akan
berguna untuk meningkatakan
pemasukan makanan.
5. Mengindikasikan status nutrisi dan
5. Tinjau ulang pemerikasaan fungsi organ, dan mengidentifikasi
laboratorium, misal BUN, Glukosa, kebutuhan pengganti.
fungsi hepar, elektrolit, protein, dan
albumin.
6. Mengurangi insiden muntah dan
meningkatkan fungsi gaster
6. Berikan obat anti emetic misalnya
metoklopramid.

DX3 : RESIKO TINGGI KEKURANGAN VOLUME CAIRAN BERHUBUNGAN


DENGAN DIARE BERAT
Hasil yang diharapkan :

 Mempertahankan hidrasi dibuktikan oleh membrane mukosa lembab


 Turgor kulit baik
 Tanda-tanda vital baik
 Keluaran urine adekuat secara pribadi.

INTERVENSI RASIONAL

1. Pantau pemasukan oral dan pemasukan 1. Mempertahankan keseimbangan


cairan sedikitnya 2.500 ml/hari. cairan, mengurangi rasa haus dan
melembabkan membrane mukosa.
2. Meningkatkan pemasukan cairan
2. Buat cairan mudah diberikan pada
tertentu mungkin terlalu menimbulkan
pasien; gunakan cairan yang mudah
nyeri untuk dikomsumsi karena lesi
ditoleransi oleh pasien dan yang
pada mulut.
menggantikan elektrolit yang
dibutuhkan, misalnya Gatorade.
3. Kaji turgor kulit, membrane mukosa 3. Indicator tidak langsung dari status
dan rasa haus. cairan.
4. Hilangakan makanan yang potensial 4. Dapat mengurangi diare
menyebabkan diare, yakni yang pedas,
berkadar lemak tinggi, kacang, kubis,
susu. Mengatur kecepatan atau
konsentrasi makanan yang diberikan
berselang jika dibutuhkan
5. Berikan obat-obatan anti diare
misalnya ddifenoksilat (lomotil),
loperamid Imodium, paregoric.

5. Menurunkan jumlah dan keenceran


feses, dan mengurangi kejang usus dan
peristaltis.
DX4 : RESIKO TINGGI POLA NAFAS TIDAK EFEKTIF BERHUBUNGAN
DENGAN PROSES INFEKSI DAN KETIDAK SEIMBANGAN MUSKULER
(MELEMAHNYA OTOT-OTOT PERNAFASAN)

Hasil yang diharapkan :

 Mempertahankan pola nafas efektif


 Tidak mengalami sesak nafas.

INTERVENSI RASIONAL

1. Auskultasi bunyi nafas, tandai daerah 1. Memperkirakan adanya perkembangan


paru yang mengalami penurunan, atau komplikasi atau infeksi pernafasan,
kehilangan ventilasi, dan munculnya misalnya pneumoni
bunyi adventisius. Misalnya krekels,
mengi, ronki.
2. Catat kecepatan pernafasan, sianosis,
peningkatan kerja pernafasan dan 2. Takipnea, sianosis, tidak dapat
munculnya dispnea, ansietas beristirahat, dan peningkatan nafas,
menunjukkan kesulitan pernafasan dan
adanya kebutuhan untuk meningkatkan
pengawasan atau intervensi medis
3. Tinggikan kepala tempat tidur. 3. Meningkatkan fungsi pernafasan yang
Usahakan pasien untuk berbalik, optimal dan mengurangi aspirasi atau
batuk, menarik nafas sesuai kebutuhan. infeksi yang ditimbulkan karena
4. Berikan tambahan O2 Yng atelektasis.
dilembabkan melalui cara yang sesuai 4. Mempertahankan oksigenasi efektif
misalnya kanula, masker, inkubasi atau untuk mencegah atau memperbaiki
ventilasi mekanis krisis pernafasan

DX5 : INTOLERANSI AKTOVITAS BERHUBUNGAN DENGAN PENURUNAN


PRODUKSI METABOLISME
Hasil yang diharapkan :

 Melaporkan peningkatan energy,


 Berpartisipasi dalam aktivitas yang diinginkan dalam tingkat kemampuannya.
INTERVENSI RASIONAL

1. Kaji pola tidur dan catat perunahan 1. Berbagai factor dapat meningkatkan
dalam proses berpikir atau berperilaku kelelahan, termasuk kurang tidur,
tekanan emosi, dan efeksamping obat-
obatan
2. Periode istirahat yang sering sangat
2. Rencanakan perawatan untuk yang dibutuhkan dalam memperbaiki
menyediakan fase istirahat. Atur atau menghemat energi. Perencanaan
aktifitas pada waktu pasien sangat akan membuat pasien menjadi aktif
berenergi saat energy lebih tinggi, sehingga
dapat memperbaiki perasaan sehat dan
control diri.
3. Memungkinkan penghematan energy,
peningkatan stamina, dan mengijinkan
pasien untuk lebih aktif tanpa
menyebabkan kepenatan dan rasa

3. Dorong pasien untuk melakukan frustasi.

apapun yang mungkin, misalnya 4. Memungkinkan penghematan energy,

perawatan diri, duduk dikursi, berjalan, peningkatan stamina, dan mengijinkan

pergi makan pasien untuk lebih aktif tanpa


menyebabkan kepenatan dan rasa
frustasi.
4. Pantau respon psikologis terhadap
aktifitas, misal perubahan TD,
frekuensi pernafasan atau jantung 5. Latihan setiap hari terprogram dan
aktifitas yang membantu pasien
mempertahankan atau meningkatkan
kekuatan dan tonus otot

5. Rujuk pada terapi fisik atau okupasi


`

Kesimpulan
Hasil
yang diharapkan :
1.Mempertahankan integritas kulit.
2.Mendapatkan kembali kebiasaan defekasi yang normal.
3.Tidak mengalami infeksi.
4.Mempertahankan tingkat toleransi yang memadai terhadap aktivitas.
5.Mempertahankan tingkat proses berpikir yang lazim.
6.Mempertahankan klirens saluran napas yang efektif.
7.Mengalami peningkatan rasa nyaman, penurunan rasa nyeri.
8.Mempertahankan status nutrisi yang memadai.
9.Mengalami pengurangan perasaan terisolir dari pergaulan social.
10.Melewati proses kesedihan/dukacita.
11.Melaporkan peningkatan pemahaman tentang penyakit AIDS serta turut
berpartisipasi sebanyak mungkin dalam kegiatan keperawatan mandiri.tidak
adanya komplikasi.
8. Refrensi

https://www.google.co.id/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwjyjoCJovLdAhWI
Mo8KHV0vD50QFjAAegQICxAB&url=http%3A%2F%2Fgudangilmugigi.blogspot.com
%2F2012%2F03%2Fdefinisi-dan-etiologi-hivaids.html&usg=AOvVaw06fwTAxetceQZsu30hv7RS

https://www.google.co.id/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwiKtPCtovLdAhUJ
pI8KHfzxBv0QFjABegQIChAB&url=https%3A%2F%2Fdoktersehat.com%2Fapa-itu-hiv-aids
%2F&usg=AOvVaw3W35b3s4mq-9VYOcB_wQsC

https://www.google.co.id/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwiaj9nWovLdAhWI
v48KHYL9BP8QFjAAegQIChAB&url=https%3A%2F%2Fwww.alodokter.com%2Fhiv-aids
%2Fgejala&usg=AOvVaw1x4ar4gUX1RCWJL1OwGXTf
https://www.google.co.id/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwiazOuBo_LdAhXB
v48KHdlKBdMQFjAAegQIBxAB&url=https%3A%2F%2Fhellosehat.com%2Fpusat-kesehatan
%2Fhivaids%2Fobat-obatan-yang-digunakan-untuk-penderita-
hiv&usg=AOvVaw0u1D3lCORHLQIfEYgDe6i-
https://www.google.co.id/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=4&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwjzxvW0o_LdAhW
Mto8KHQVHATEQFjADegQIBxAB&url=http%3A%2F%2Fndandahndutz.blogspot.com
%2F2009%2F07%2Fasuhan-keperawatan-pada-klien-
dengan.html&usg=AOvVaw2fk9T7yfvylcw9CEZnqhia

Anda mungkin juga menyukai