Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN PENDAHULUAN NSTEMI

A. DEFINISI

Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (ST Elevation Myocardial


Infarct) merupakan bagian dari spektrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri
atas angina pektoris tak stabil (UAP), IMA tanpa elevasi ST, dan IMA dengan elevasi
ST (Sudoyo, 2010).
IMA (Infark Miokard Akut) diklasifikasikan berdasarkan EKG 12 lead dalam
dua kategori, ST- elevation infark miocard (STEMI) dan non ST- elevation infark
miocard (NSTEMI). STEMI merupakan oklusi total dari arteri koroner yang
menyebabkan area infark yang lebih luas meliputi seluruh ketebalan miokardium,
yang ditandai dengan adanya elevasi segmen ST pada EKG. Sedangkan NSTEMI
merupakan oklusi sebagian dari arteri koroner tanpa melibatkan seluruh ketebalan
miokardium, sehingga tidak ada elevasi segmen ST pada EKG.

Unstable Angina (Angina tidak stabil) merupakan suatu spektrum dari


sindroma iskemik infark miokard akut yang berada diantara angina pectoris stabil
dan infark miokard akut.(Anwar Bahri,2009)

B. EPIDEMIOLOGI
The thai registry of acute coronary syndrome (TRACS) melaporkan bahwa
dari data yang di kumpulkan dalam kurun waktu oktober 2007 sampai desember
2008 terhadap 2007 pasien, didapatkan angka kejadian ST elevasi myocardial
infraction (STEMI) sebesar 55%, non ST elevasi myocardial infraction (NSTEMI)
33% dan unstable angina pectoris (UAP) sebesar 12% dimana angkamortalitas
rumah sakit dari pasien STEMI adalah sebesar 5,3%, NSTEMI sebesar 5,1%< dan
pasien UAP sebesar 1,7% (Srimahachota dkk, 2012).
Tahun 2013 terdapat kurang lebih 478.000 pasien di Indonesia didiagnosi
penyakit jantug koroner, prevalensi STEMI meningkat dari 25% menjadi 40% dari
presentasi infrak miocard, antara 105 hingga 30% terjadi peningkatan dari pasien
dengan angina tidak stabil menjadi MI dalam 1 tahun dan 29% kematian karena MI
dalam 5 tahun. (Depkes, 2013).
Data prevalensi penyakit tahun 2015 di Ruang CVCU Rumah Sakit Dr. Syaiful
Anwar Malang meunjukan kematian tertinggi adalah kasus STEMI yaitu sebanyak
198 kasus atau 29,79% dari data 10 penyakit terbanyak.

1
C. ETIOLOGI

Etiologi menurut Tierney (2002):


1. Ruptur plak
Ruptur plak aterosklerotik dianggap penyebab terpenting NSTEMI,
sehingga tiba-tiba terjadi oklusi subtotal dari pembuluh darah koroner yang
sebelumnya mempunya penyempitan yang minimal.

Dua pertiga dari pembuluh darah yang mengalami rupture sebelumnya


mempunyai 50% atau kurang, dan pada 90% pasien dengan NSTEMI
mempunyai penyempitan kurang dari 70%. Plak arteri sklerotik terdiri dari inti
yang mengandung banyak lemak dan pelindung dari jaringan fibrotic (fibrotic
cap). Plak tidak stabil terdiri dari intiyang banyak mengandung lemak dan adanya
infiltrasi sel makrofag. Biasanya rupture terjadi pada tepi plak yang berdekatan
dengan inti yang normal atau pada bahu pada timbunan lemak. Kadang-kadang
keretakan timbul pada dinding plak yang paling lemah karena adanya enzim
protease yang dihasilkan makrofag dan secara enzimatik melemahkan dinding
plak (fibrous cap)

2. Trombosis dan agregasi trombosit


Agregasi platelet dan pembentukan thrombus merupakan salah satu
dasar terjadinya NSTEMI. Terjadinya thrombosis setelah plak tergantung
disebabkan karena interaksi yang terjadi antara lemak, sel otot polos dan sel
busa (foam cell) yang ada dalam plak berhubungan dengan ekspresi factor
jaringan dalam plak tak stabil (Trisnohadi, 2006)

3. Vasospasme
Terjadnya vasokontriksi juga mempunyai peran penting pada NSTEMI.
Diperkirakan adanya disfungsi endotel dan bahan vasoaktif yang diproduksi oleh
platelet berperan dalam perubahan tonus pembuluh darah dan menyebabkan
spasme. Spasme yang terlokalisir menyebabkan NSTEMI. Adanya spasme
sering kali terjadi pada plak yang tak stabil dan mempunyai peran dalam
pembentukan thrombus (Trisnohadi, 2006)

4. Erosi pada plak tanpa ruptur


Terjadinya penyempitan juga dapat di sebabkan karena terjadinya proliferasi dan
migrasi dari otot polos sebagai reaksi terhadap kerusakan endotel; adanya

2
perubahan bentuk dari lesi karena bertambahnya sel otot polos dapat
menimbulkan penyempitan pembuluh dengan cepat dan keluhan iskemia.
a) Faktor Resiko Yang Tidak Dapat Dimodifikasi
Merupakan faktor resiko yang tidak bisa dirubah atau dikendalikan, yaitu di
antaranya:
 Usia
Resiko meningkat pada pria datas 45 tahun dan wanita di atas 55 tahun
(umumnnya setelah menopause)
 Jenis Kelamin
Morbiditas akibat NSTEMI pada laki-laki dua kali lebih besar dibandingkan
pada perempuan, hal ini berkaitan dengan estrogen endogn yang bersifat
protektif pada perempuan. Hal ini terbukti insidensi NSTEMI meningkat
dengan cepat dan akhirnya setare dengan laki pada wanita setelah masa
menopause
 Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga yang positif terhadap penyakit jantung koroner (saudara
atau orang tua yang menderita penyakit ini sebelum usia 50 tahun)
meningkatkan kemungkinan timbulnya aterosklerosis prematur. Pentingnya
pengaruh genetik dan lingkungan masih belum diketahui. Komponen genetik
dapat diduga pada beberapa bentuk aterosklerosis yang nyata, atau yang
cepat perkembangannya, seperti pada gangguan lipid familial. Tetapi,
riwayat keluarga dapat pula mencerminkan komponen lingkungan yang kuat
seperti misalnya gaya hidup yang menimbulkan stres atau obesitas.
 Ras
Orang Afrika lebih rentan terhadap aterosklerosis daripada orang kulit putih

 Geografi
Tingkat kematian akibat NSTEMI lebih tinggi di Irlandia Utara, Skotlandia,
dan bagian Inggris Utara dan dapat merefleksikan perbedaan diet,
kemurnian air, merokok, struktur sosio-ekonomi, dan kehidupan urban.
 Kelas sosial
Tingkat kematian akibat NSTEMI tiga kali lebih tinggi pada pekerja kasar
laki-laki terlatih dibandingkan dengan kelompok pekerja profesi (missal
dokter, pengacara dll). Selain itu frekuensi istri pekerja kasar ternyata 2 kali

3
lebih besar untuk mengalami kematian dini akibat NSTEMI dibandingkan istri
pekerja professional/non-manual.
b) Faktor Resiko Yang Dapat Dimodifikasi
Merupakan faktor resiko yang bisa dikendalikan sehingga dengan Intervensi
tertentu maka bisa dihilangkan. Yang termasuk dalam kelompok ini diantaranya:
 Mayor:
1. Hipertensi
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik sedikitnya 140
mmHg atau tekanan diastolik sedikitnya 90 mmHg. Peningkatan tekanan
darah sistemik meningkatkan resistensi vaskuler terhadap pemompaan
darah dari ventrikel kiri. Akibatnya kerja jantung bertambah, sehingga
ventrikel kiri hipertrofi untuk meningkatkan kekuatan pompa. Bila proses
aterosklerosis terjadi, maka penyediaan oksigen untuk miokard
berkurang. Tingginya kebutuhan oksigen karena hipertrofi jaringan tidak
sesuai dengan rendahnya kadar oksigen yang tersedia (Brown, 2006).
2. Hiperlipidemia
Abnormalitas kadar lipid serum yang merupakan faktor resiko adalah
hiperlipidemia. Hiperlipidemia adalah peningkatan kadar kolesterol atau
trigliserida serum di atas batas normal. The National Cholesterol
Education Program (NCEP) menemukan kolesterol LDL sebagai faktor
penyebab penyakit jantung koroner. The Coronary Primary Prevention
Trial (CPPT) memperlihatkan bahwa penurunan kadar kolesterol juga
menurunkan mortalitas akibat infark miokard (Brown, 2006).
3. Obesitas
Obesitas meningkatkan resiko terkena penyakit jantung koroner. Sekitar
25-49% penyakit jantung koroner di negara berkembang berhubungan
dengan peningkatan indeks masa tubuh (IMT). Overweight didefinisikan
sebagai IMT > 25-30 kg/m2 dan obesitas dengan IMT > 30 kg/m2.
Obesitas sentral adalah obesitas dengan kelebihan lemak berada di
abdomen. Biasanya keadaan ini juga berhubungan dengan kelainan
metabolik seperti peninggian kadar trigliserida, penurunan HDL,
peningkatan tekanan darah, inflamasi sistemik, resistensi insulin dan
diabetes melitus tipe II (Ramrakha, 2006).
4. Kadar Kolesterol Total dan LDL tinggi danKadar Kolesterol HDL rendah.

4
Resiko terjadinya penyakit arteri koroner meningkat pada peningkatan
kadar kolesterol total dan kolesterol LDL (kolesterol jahat) dalam darah.
Jika terjadi peningkatan kadar kolesterol HDL (kolesterol baik), maka
resiko terjadinya penyakit arteri koroner akan menurun
5. Diabetes
Resiko terjadinya penyakit NSTEMI pada pasien dengan DM sebesar 2-4
lebih tinggi dibandingkan orang biasa. Hal ini berkaitan dengan adanya
abnormalitas metabolisme lipid, obesitas, hipertensi sistemik, peningkatan
trombogenesis (peningkatan tingkat adhesi platelet dan peningkatan
trombogenesis).
6. Merokok
Merokok meningkatkan resiko terkena penyakit jantung kororner.
Penggunaan tembakau berhubungan dengan kejadian miokard infark
akut prematur di daerah Asia Selatan. Rokok yang di bakar akan
menghasilkan ribuan zat yang berbahaya, seperti gas CO dan nikotin.
Satu batang rokok menghasilakan gas CO mencapai 3-0% dan
dapat di hisap oleh siapa saja baik perokok pasif dan pasif. Gas CO
mempunyai kemampuan mengikat Hb yang terdapat dalam sel darah
merah lebih kuat dibanding oksigen, sehingga setiap ada asap rokok
disamping kadar oksogen udara yang sudah berkurang, ditambah lagi sel
darah merah akan semakin kekurangan oksigen, oleh karna yang
diangkut Co bukan O2. Sel tubuh yang menderita kekurangan O2 akan
berusaha meningkatkan melalui kompensasi pembuluh darah dengan
jalan menciut atau spasme. Jika berlangsung lama pembuluh darah akan
mudah rusak dengan terjadinya aterosklerosis atau penyempitan pada
otak, jantung, paru,ginjal,kaki.
Sedangkan efek nikotin menyebabkan perangsangan hormon
kathekolamin (adrenalin) yang bersifat memacu jantung dan tekanan
darah, efek lain merangsang berkelompoknya trombosit akan
menggumpal dan akhirnya akan menyumbat pembuluh darah yang sudah
sempit atau spasme karna asap yang mengandung Co yang berasal dari
rokok.
7. Hobi makan junk food
Makanan kaya lemak yang masuk ke dalam tubuh dapat menyebabkan
penumpukan zat-zat lemak (kolesterol, trigliserida) di bawah lapisan

5
terdalam (endotelium) dari dinding pembuluh nadi bisa mengakibatkan
penyumbatan dan penyempitan pembuluh arteri kororner (arteroklerosis).
Sedangkan, lemak jenuh yang banyak terdapat dalam makanan sejenis
junk food juga mampu merangsang hati untuk memproduksi banyak
kolesterol. Kolesterol yang mengendap lama-kelamaan akan
menghambat aliran darah dan oksigen sehingga menggangu
metabolisme sel otot jantung.
8. Mengkonsumsi alkohol
Mengkonsumsi alkohol satu atau dua sloki kecil per hari ternyata
sedikit mengurangi resiko terjadinya infark miokard. Namun bila
mengkonsumsi berlebihan, yaitu lebih dari dua sloki kecil per hari,
pasien memiliki peningkatan resiko terkena penyakit (Beers, 2004).
 Minor:
1. Kepribadian tipe A (agresif, ambisius, emosional, kompetitif)
Tipe kepribadian A yang memiliki sifat agresif, kompetitif, kasar, sinis, gila
hormat, ambisius, dan gampang marah sangat rentan untuk terkena IMA.
Terdapat hubungan antara stress dengan abnnormalitas metabolisme lipid.
2. Stress psikologis berlebihan
Faktor psikososial seperti peningkatan stres kerja, rendahnya dukungan
sosial, personalitas yang tidak simpatik, ansietas dan depresi secara
konsisten meningkatkan resiko terkena.
3. Inaktifitas fisik
Wanita yang tidak aktif bergerak mempunyai risiko 2-3 kali lebih besar
menderita serangan jantung. Selain mengurangi berat badan, olahraga teratur
dapat memperkuat otot jantung dan memperbaiki sistem peredaran darah.

6
Tekanan vena pulmonalis
meningkat

E. PATOFISIOLOGI.

Modifikasi
Mayor : hipertensi,
hiperlipidemia,
Non Modifikasi
obesitas,diabetes, merokok,
Usia,Jenis kelamin, Riwayat
junk food, konsumsi alkohol,
keluarga, Ras, Geografi,Kelas
sosial
Minor: kepribadian tipe
A,stress berlebihan,inaktifitas
fisik

hiperlipedemia

Melekat pada dinding pembuluh darah

LDL menembus pembuluh darah melalui lapisan sel endotel

Masuk ke lapisan pembuluh darah lebih dalam (intina)

Menyempitkan pembuluh darah

LDL teroksidasi atau dirusak oleh radikal bebas

Mengubah monosit menjadi makrofag

LDL teroksidasi tahap 2

Mengubah makrofag menjadi sel busa

7

Sel busa berikatan membentuk gumpalan

Penyempitan lumen pembuhuh darah

Stimulasi saraf Aliran darah tidak lancar

LDL teroksidasi

Timbul bercak lemak

Plak halus
Meningkatnya ↓
permeabilitas terhadap Aktivasi faktor VII dan X
lipid ↓
Defisit Perawatan Diri
Protrombin  thrombin Deficit perawatan diri
Fibrinogen  fibrin ↑
Perub. Metabolik ↓ Motivasi personal hygiene ↓
aerob  anaerob Rupture plak
Nyeri Akut
Intoleransi Aktivitas ↓ as
Thrombus
↓ ↑
Oklusi arteri koroner Kelemahan
Suplai O2 tidak
seimbang dg ↑ ↑
permintaan O2 Aliran darah koroner Hipoksia
menurun ↑
↓ Penurunan aliran darah
Supply O2 ke jaringan Penurunan CO2 Kematian jaringan Gagal pompa ventrikel kiri
berkurang ↓ ↓

Penurunan Cardiac Hipotensi Penurunan cardiac
Kebutuhan O2
Output tidak ↓ output
tercukupi Syok
↓ ↓
Takipneu Penurunan kesadaran Reflux ke paru-paru Gagal pompa ventrikel

8
↓ ↓ ↓ kanan
Resiko Injury
Ketidakefektifan Resiko injury Alveoli edema ↓
Pola Napas Tekanan diastole
Gangguan Metabolism anaerob meningkat
Pertukaran Gas ↓ ↓
Distress Kultural
Asam laktat meningkat Bendungan atrium kanan
↓ ↓
Menganggap penyakit tidak
masuk akal Nyeri terus menerus Terjadi malam hari Bendungan vena sistemik
Informasi tidak adekuat (reseptor nyeri) ↓ ↓
↓ ↓ Gangguan pola tidur Hepar
Respon penyebabGangguan
penyakit Pola tidur
salah Salah terapi, salah ↓
Ansietas persepsi Ansietas Hepatomegali
↓ ↓
Persepsi thdp Mendesak diafragma
penyakit inadekuat Kurang Pengetahuan
Gang. Interaksi
Gangguan Komunikasi ↓
Sosial
Verbal
Sesak nafas
Gagal pompa ventrikel kiri ↓
Ketidakefektifan Ketidakefektifan pola
Pola Napas nafas
Forward failure Backward failure
↓ ↓ Mendesak organ GIT
Suplai darah Suplai O2 otak ↓ Renal flow ↓ LVED naik ↓
jaringan ↓ ↓ ↓ ↓ Mual muntah
↓ Sinkop RAA ↑ Tek.vena pulmonalis ↑ ↓
Metabolism
Ketidakseimbangan
↓ ↓ ↓
anaerob
Gangguan Gangguan Aldosteron ↑ Tek.kapiler paru ↑
nutrisi kurang dari

Perfusi perfusi ↓ ↓
kebutuhan tubuh
Asidosis metabolic
Jaringan jaringan ADH ↑ Edema paru Beban ventrikel kanan ↑
↓ ↓ ↓ ↓
Serebral
Penimbunan asam Retensi Na + Ronchi basah Hipertrovi ventrikel kanan
laktat dan ATP ↓ H2O ↓ ↓
↓ ↓ Iritasi mukosa paru Penyempitan lumen
Fatigue Kelebihan Kelebihan ↓ ventrikel kanan
↓ Volume Cairan volume c Reflek batuk ↓
Intoleransi
Intoleransi ↓
Ketidakefektifan
Aktivitas
Bersihan Jalan Napas
9
aktivitas Penumpukan secret

Edema Menghambat pertukaran
Tidak dapat ↓ O2 dan CO2
beribadah seperti Perubahan ↓
biasa Pertukaran
Gangguan bentuk Gangguan pertukaran Suplai O2 di sirkulasi ↓
Gas
Distres Spiritual Gangguan Citra
Tubuh
Kurang Informasi dan dukungan
Pengetahuan Mobilisasi berkurang tidak adekuat Kurang pengetahuan
↓ ↓
Bedrest Sirkulasi O2 terganggu Nafsu makan ↓
↓ ↓
Ansietas Dekubitus Intake kurang Imunitas tubuh ↓
↓ ↓ ↓
Disfungsi Seksual
Ketidakseimbangan
Kerusakan Kerusakan intergitas Nutrisi kurang dari Leukosit kurang ↓
nutrisi kurang
Integritas dari
Kulit kulit kebutuhan tubuh ↓ Tidak mau menerima
↓ tubuh
Resiko Infeksi
kebutuhan
keadaan tubuh
Kesepian ↓
↓ ↓ Tidak patuh dalam
Albumin ↓ pengobatan
Stress Berlebihan ↓ Invasi ↓
Kerusakan Integritas Kerusakan integritas mikroorganisme
Ketidakefektifan

Jaringan jaringan (mudah masuk)
Pemeliharaan ↓
Hambatan Komunikasi
Perawatan
Kesehatan intensif
Infeksi
Verbal ↓
Bedrest
Hipertermi

Hambatan Interaksi
Pembatasan immobilisasi
Sosial

10
PATOFISIOLOGI

Kejadian infark miokard diawali dengan terbentuknya ateroklerosis yang


kemudian rupture dan menyumbat pembuluh darah. Leukosit yang bersirkulasi
menempel pada sel endotel teraktivasi. Kemudian leukosit bermigrasi ke sub
endotel dan berubah menjadi makrofag. Di sini makrofag berperan sebagai
pembersih dan bekerja mengeliminasi kolesterol LDL. Sel makrofag yang terpajan
dengan kolesterol LDL teroksidasi disebut sel busa (foam cell) (Brown, 2006).
Faktor pertumbuhan dan trombosit menyebabkan migrasi otot polos dari
tunika media ke dalam tunika intima dan proliferasi matriks. Proses ini mengubah
bercak lemak menjadi atheroma matur. Lapisan fibrosa menutupi atheroma matur,
membatasi lesi dari lumen pembuluh darah. Perlekatan thrombosit ke tepian
atheroma yang kasar menyebabkan terbentuknya trombisis. Ulserasi atau ruptur
mendadak lapisan fibrosa atau perdarahan yang terjadi dalam atheroma
menyebabkan oklusi arteri (Brown, 2006).
Selama kejadian iskemia, terjadi beragam abnormalitas metabolisme, fungsi
dan struktur sel. Miokard normal memetabolisme asam lemak dan glukosa menjadi
karbon dikosida dan air. Akibat kadar oksigen yang berkurang, asam lemak tidak
dapat dioksidasi, glukosa diubah menjadi asam laktat dan pH intersel menurun.
Keadaan ini mengganggu stabilitas membrane sel. Gangguan fungsi membrane
sel menyebabkan kobocoran kanal K+ dan ambilan Na+ oleh monosit. Keparahan
dan durasi dari ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
menentukan apakah kerusakan miokard yang terjadi reversible (<20 menit) atau
irreversible (>20 menit). Iskemia yang irreversible berakhir pada infark miokard
(Selwyn and Braunwald, 2005).
Infark miokard dapat bersifat transmural dan subendokardial
(nontransmural). Infark miokard transmural disebabkan oleh oklusi arteri koroner
yang terjadi cepat yaitu dalam beberapa jam hingga minimal 6-8 jam. Semua otot
jantung yang terlibat mengalami nekrosis dalam waktu yang bersamaan. Infark
miokard subendokardial terjadi hanya di sebagian miokard dan terdiri dari bagian
nekrosis yang telah terjadi pada waktu berbeda-beda (Selwyn and Braunwald,
2005).
Non STEMI merupakan tipe infark miokard tanpa elevasi segmen ST yang
disebabkan oleh thrombus yang terbentuk biasanya tidak menyebabkan oklusi
menyeluruh lumen arteri coroner sedangkan STEMI terjadi saat terjadi oklusi
menyeluruh lumen arteri coroner (Kalim, 2001).

(Gambar 2.1) Skema ACS


Dari gambar diatas, dapat dilihat bahwa skema di atas adalah skema ACS
(Acute Coronary Syndrom) terdiri dari fase-fase berikut: (1) arteri abnoram; (2)
mulai terjadinya lesi akumulai lipid ekstraseluler pada daerah intima; (3) terjai
evolusi ke tahap fibrofatty; (4) progresi lesi dengan ekspresi prokoagulan dan
memperlemah kapsul fibrosa. ACS berkembang ketika plak yang rentan atau
beresiko tinggi mulai merusak kapsul fibrosa; (5) kerusakan plak menstimulus
trombogenesis. Resorpsi thrombus mungkin akan diikuti skumilasi kolagen dan
pertumbuhan sel otot polos dan (6) pasien merasakan ischemic discomrort karena
adanya penurunan aliran darah arteri coroner yang berdampak pada epikardial.
Penurunan aliran darah ini disebabkan adanya oklusi total atau subtotal oleh
thrombus. Pasien dengan ischemic discomrort mungkin memperhatikan ada atau
tidaknya elevasi segmen ST pada hasil EKG. Adanya pasien dengan segmen ST
elevasi, akhirnya benyak berkembang gelombang Q pada infark miokard akut
(QwMI atau Q wave MI), dimana juga terdapat beberapa yang tidak ditunjukkan
gelombang Q (NQMI atau non-Q-wave MI). pasien tanpa elevasi segmen ST
mungkin menderita angina pectoris tidak stabil atau NSTEMI (non-ST-segmen
elevation MI), perbedaannya dapat dilihat dari aada atau tidaknya marker serum
kardiak seperti CKMB atau troponin yang terdeteksi di darah. Kebanyakan pasien
dengan NSTEMI memperlihatkan NQMI pada ECG, dan sedikit yang menunjukkan
QwMI (Libby et al., 2006)
STEMI biasa terjadi ketika aliran darah koroner menurun secara tiba-tiba
setelah oklusi trombotik dari arteri koroner yang sebelumnya mengalami
atherosclerosis. STEMI terjadi ketika thrombus pada arteri koroner berkembang
secara cepat pada tempat terjadinya kerusakan vascular. Kerusakan ini difasilitasi
oleh beberapa faktor, seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid. Pada
sebagian besar kasus, STEMI terjadi ketika permukaan plak atherosclerotic
mengalami ruptur sehingga komponen plak tersebut terekspos dalam darah dan
kondisi yang mendukung trombogenesis (terbentuknya thrombus). Mural thrombus
(thrombus yang menempel pada pembuluh darah) terbentuk pada tempat
rupturnya plak, dan terjadi oklusi pada arteri koroner. Setelah platelet monolayer
terbentuk pada tempat terjadinya ruptur plak, beberapa agonis (kolagen, ADP,
epinefrin, serotonin) menyebabkan aktivasi platelet. Setelah stimulasi agonis
platelet, thromboxane A2 (vasokonstriktor local yang kuat) dilepas dan terjadi
aktivasi platelet lebih lanjut (Price, 2005).
Selain pembentukan thromboxane A2, aktivasi platelet oleh agonis
meningkatkan perubahan konformasi pada reseptor glikoprotein IIb/IIIa. Ketika
reseptor ini dikonversi menjadi bentuk fungsionalnya, reseptor ini akan membentuk
protein adhesive seperti fibrinogen. Fibrinogen adalah molekul multivalent yang
dapat berikatan dengan dua plateet secara simultan, menghasilkan ikatan silang
patelet dan agregasi. Kaskade koagulasi mengalami aktivasi karena paparan faktor
jaringan pada sel endotel yang rusak, tepatnya pada area rupturnya plak. Aktivasi
faktor VII dan X menyebabkan konversi protrombin menjadi thrombin, yang
kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner seringkali
mengalami oklusi karena thrombus yang terdiri dari agregat platelet dan benang-
benang fibrin.
Pada sebagian kecil kasus, STEMI dapat terjadi karena emboli arteri
koroner, abnormalitas congenital, spasme koroner, dan berbagai penyakit sistemik,
terutama inflamasi. Besarnya kerusakan myocardial yang disebabkan oklusi
koroner tergantung pada
a) daerah yang disuplai oleh pembuluh darah yang mengalami oklusi
b) apakah pembuluh darah mengalami oklusi total atau tidak
c) durasi oklusi koroner
d) kuantitas darah yang disuplai oleh pembuluh darah kolateral pada jaringan yang
terkena
e) kebutuhan oksigen pada miokardium yang suplai darahnya menurun secara tiba-tiba
f) faktor lain yang dapat melisiskan thrombus secara dini dan spontan
g) keadekuatan perfusi miokard pada zona infark ketika aliran pada arteri koroner
epikardial yang mengalami oklusi telah dikembalikan.

F. MANIFESTASI KLINIS

Tanda dan gejala NSTEMI adalah :


1) Nyeri :
a. Nyeri dada yang terjadi secara mendadak dan terus-menerus tidak mereda,
biasanya dibagian dada depan bawah sternum dan abdomen bagian atas, ini
merupakan gejala utama.
b. Keparahan nyeri dapat meningkat secaara menetap sampai nyeri tidak
tertahankan lagi.
c. Nyeri tersebut sangat sakit, seperti tertusuk-tusuk yang dapat menjalar ke
bahu dan terus ke bawah menuju lengan (biasanya lengan kiri).
d. Nyeri mulai secara spontan (tidak terjadi setelah kegiatan atau gangguan
emosional), menetap selama lebih dari 15 detik – 30 menit, dan tidak hilang
dengan bantuan istirahat atau nitrogliserin (NTG).
e. Nyeri dapat menjalar ke arah rahang dan leher, atau seperti sakit gigi,
penderita tdk bisa menunjuk lokasi nyeri dg 1 jari tetapi ditunjukkan dg
telapak tangan.
f. Nyeri sering disertai dengan sesak nafas, pucat, dingin, diaforesis berat,
pening atau kepala terasa melayang dan mual muntah.
g. Pasien dengan diabetes melitus tidak akan mengalami nyeri yang hebat
karena neuropati yang menyertai diabetes dapat mengganggu neuroreseptor
(mengumpulkan pengalaman nyeri).
2) Sesak nafas : mengidentifikasikan ancaman gagal ventrikel kiri.
3) Gejala GI : peningkatan aktivitas fadal menyebabkan mual dan muntah dan
dikatakan lebih sering terjadi pada infrak inferior. Stimulasi diafragmatik pada
infrak inferior juga dapat menyebabkan cegukan.
4) Gejala lain : palpitasi, rasa pusing, aritmia ventrikel, dan gejala akibat emboli
arteri (stroke, iskemia ekstermitas).
5) Laborat
Pemeriksaan Enzim jantung :
a. CPK-MB/CPK
merupakan enzim yg spesifik sebagai penanda terjadinya kerusakan pd otot
jantung. Kadar CPK yang ditemukan pada otot jantung meningkat antara 2-6
jam, memuncak pada 24 jam pertama pasca serangan, kembali normal dalam
2-3 hari.
b. LDH/HBDH
Meningkat pada hari ke 2-3 kemudian normal kembali pada hari ke 5-6.
c. Cardiac Troponin
Meningkat 3-6 jam pasca serangan dan tetap tinggi selama 14-21 hari. Kadar
kardiak troponin I meningkat 7-14 jam pasca serangan dan tetap tinggi untuk 5-7
hari pasca serangan.

d. AST/SGOT (kurang spesifik/khusus)


Kadar SGOT terdeteksi setelah 8 jam serangan. Kadarnya meningkat hingga 24-
48 jam dan menurun pada hari ke 3-4. Oleh karena itu kadar SGOT harus
diperiksa pada 24, 48, dan 72 jam serangan.
6) EKG
Perubahan EKG yang terjadi pada fase awal adanya gelombang T tinggi dan
simetris. Tidak terdapat elevasi segmen ST. Perubahan yang terjadi kemudian
ialah adanya gelombang Q/QS yang menandakan adanya nekrosis.
a. Segmen ST depresi
b. Gelombang T invesi (arrow hard)
c. Q patologis.
Skor nyeri menurut White :
0 = tidak mengalami nyeri
1 = nyeri pada satu sisi tanpa menggangu aktifitas
2 = nyeri lebih pada satu tempat dan mengakibatkan terganggunya aktifitas,
mislnya kesulitan bangun dari tempat tidur, sulit menekuk kepala dan lainnya.

G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
 Pemeriksaan fisik
Menunjukkan pasien tampak cemas dan tidak bisa beristirahat (gelisah)
dengan ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada
substernal >30 menit dan banyak keringat.
 EKG
Untuk mengetahui fungsi jantung : T. Inverted, ST depresi, Q. patologis
 Creatine Kinase (CK atau CPK)
Dikeluarkan dari otot yang rusak, CK adalah enzim yang ditemukan di
jantung, otot rangka dan otak. Ini terdiri dari 3 isoenzim;. Mm ( ditemukan di
otot rangka ), MB ( ditemukan pada otot jantung ) dan BB ( ditemukan dalam
jaringan otak ). Kerusakan pada salah satu jaringan menyebabkan pelepasan
CK ke dalam aliran darah sehingga jumlahnya dalam darah lebih tinggi dari
normal.

 CKMB
Setelah cedera jantung, CK dan MB isoenzyme dilepaskan ke dalam aliran
darah pada tingkat yang dapat diprediksi. Dalam waktu 4 sampai 8 jam
( setelah cedera ) tingkat CKMB naik di atas normal dan dalam waktu 12
sampai 24 jam tingkat ini meningkat sekitar 5 sampai 15 kali normal. Dalam
waktu 2 sampai 3 hari CKMB kembali normal. Karena isoenzyme MB adalah
eksklusif untuk jaringan otot jantung.
 Troponin
Troponin adalah protein yang membantu mengatur kontraksi otot jantung dan
karena itu dapat diisolasi dalam darah, itu dianggap sebagai indikator yang
sensitif dari infark miokard akut. Troponin terdiri dari 3 protein yang terpisah
yaitu Troponin I, Troponin T dan Troponin C.
Fungsi dari masing-masing protein spesifik adalah sebagai berikut:
 Troponin C
Mengikat ion kalsium dan tidak digunakan untuk menentukan jaringan sel
/ kematian.

Nilai Normal Enzim Jantung


Enzyme/Protein Normal Value
Creatine Kinase 50 – 80 U/L
Total Creatinine Phosphokinase 30 - 200 U/L
(CPK)
CPK MB (Fraction) 0 - 8.8 ng/ml
CPK MB (Fraction with percent of 0 - 4 %
total CPK).
CPK MB2 (Fraction) Less than 1 U/L
Troponin 1 0 – 0.4 ng/ml
Troponin T 0 – 0.1 ng/ml

 Troponin I dan T
Biasanya / normalnya tidak ditemukan dalam aliran darah sehingga setiap
terdeteksi protein ini dalam darah menunjukkan infark atau kematian otot
jantung / jaringan.
 Elektrolit
Ketidakseimbangan dapat mempengaruhi konduksi dan kontraktilitas, missal
hipokalemi, hiperkalemi
 Sel darah putih
Leukosit (10.000 – 20.000) biasanya tampak pada hari ke-2 setelah IMA
berhubungan dengan proses inflamasi
 Kecepatan sedimentasi
Meningkat pada ke-2 dan ke-3, menunjukkan inflamasi.
 Kimia
Mungkin normal, tergantung abnormalitas fungsi atau perfusi organ akut atau
kronis
 Analisa Gas Darah
Dapat menunjukkan hipoksia atau proses penyakit paru akut atau kronis.
 Kolesterol atau Trigliserida serum
Meningkat, menunjukkan arteriosclerosis
 Foto dada
Mungkin normal atau menunjukkan pembesaran jantung diduga GJK atau
aneurisma ventrikuler.
 Ekokardiogram
Dilakukan untuk menentukan dimensi serambi, gerakan katup atau dinding
ventrikuler dan konfigurasi atau fungsi katup.
 Pencitraan darah jantung (MUGA)
Mengevaluasi penampilan ventrikel khusus dan umum, gerakan dinding regional
dan fraksi ejeksi (aliran darah)
 Angiografi koroner
Menggambarkan penyempitan atau sumbatan arteri koroner. Biasanya
dilakukan sehubungan dengan pengukuran tekanan serambi dan mengkaji
fungsi ventrikel kiri (fraksi ejeksi).
 Nuklear Magnetic Resonance (NMR)
Memungkinkan visualisasi aliran darah, serambi jantung atau katup ventrikel,
lesivaskuler, pembentukan plak, area nekrosis atau infark dan bekuan darah.
 Tes stress olah raga
Menentukan respon kardiovaskuler terhadap aktifitas atau sering dilakukan
sehubungan dengan pencitraan talium pada fase penyembuhan.(Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, 2010)

1. Penatalaksanaan Medis
a) Terapi reperfusi
Terapi reperfusi (sebisa mungkin berupa IKP primer) diindikasikan apabila
terdapat bukti klinis maupun EKG adanya iskemia yang sedang berlangsung,
bahkan bila gejala telah ada lebih dari 12 jam yang lalu atau jika nyeri dan
perubahan EKG tampak tersendat.
Dalam menentukan terapi reperfusi, tahap pertama adalah menentukan
ada tidaknya rumah sakit sekitar fasilitas IKP. Bila tidak ada, langsung pilih terapi
fibrinolitik. Bila ada, pastikan waktu tempuh dari tempat kejadian (baik rumah sakit
atau klinik) ke rumah sakit tersebut apakah kurang atau lebih dari (2 jam). Jika
membutuhkan waktu lebih dari 2 jam, reperfusi pilihan adalah fibrinolitik. Setelah
ibrinolitik selesai diberikan, jika memungkinkan pasien dapat dikirim ke pusat
dengan fasilitas IKP.
1) Intervensi koroner perkutan primer
IKP primer adalah terapi reperfusi yang lebih disarankan dibandingkan dengan
fibrinolisis apabila dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit dari
waktu kontak medis pertama. IKP primer diindikasikan untuk pasien gagal jantung
akut yang berat atau syok kardiogenik, kecuali bila diperkirakan bahwa pemberian IKP
akan tertunda lama dan bila pasien dating dengan awitan gejala yang telah lama.
Stenting lebih disarankan dibandingkan angioplasty balon untuk IKP primer.
Tidak disarankan untuk melakukan IKP secara rutin pada arteri yang telah
tersumbat total lebih dari 24 jam setelah awitan gejala pada pasien stabil tanpa gejala
iskemia, baik yang telah maupun belum diberikan fibrinolisis. Bila pasien tidak
memiliki indikasi kontra terhadap terapi antiplatelet dual (dual antiplatelet therapy-
DAPT) dan kemungkinan dapat patuh terhadap pengobatan, drug-eluting stents
(DES) lebih disarankan daripada Bare Metal Stents (BMS).
2) Terapi fibrinolitik
Fibrinolisis merupakan strategi reperfusi yang penting, terutama pada tempat-
tempat yang tidak dapat melakukan IKP pada pasien NSTEMI dalam waktu yang
disarankan. Terapi fibrinolitik direkomendasikan diberikan dalam 12 jam sejak awitan
gejala pada pasien-pasien tanpa indikasi kontra apabila IKP primer tidak bisa
dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit sejak kontak medis
pertama.
Dosis Awal Koterapi Kontraindikasi
antitrombin spesifik
Streptokinase 1,5 juta U dalam Heparin IV selama Sebelum Sk atau
(Sk) 100 mL Dextrose 24-48 jam anistreplase
5% atau larutan
salin 0,9% dalam
waktu 30-60
menit
Alteplase (tPA) Bolus 15 mg Heparin IV selama
intravena 0,75 24-48 jam
mg/kg selama 30
menit, kemudian
0,5 mg/kg
selama 60 menit
Dosis total tidak
lebih dari 100
mg
 Kontraindikasi terapi fibrinolitik
Kontraindikasi Absolut Kontraindikasi Relatif
Stroke hemoragik atau stroke yang Transient Ischaemic Attack (TIA)
penyebabnya belum diketahui, dengan dalam 6 bulan terakhir
awitan kapanpun
Stroke iskemik 6 bulan terakhir Pemakaian antikoagulan oral
Kerusakan sistem saraf sentral dan Kehamilan atau dalam 1 minggu
neoplasma post-partum
Trauma operasi/trauma kepala yang berat Tempat tusukan yang tidak dapat
dalam 3 minggu terakhir dikompresi
Perdarahan saluran cerna dalam 1 bulan Resusitasi traumatik
terakhir
Penyakit perdarahan Hipertensi refrakter (tekanan darah
sistolik >180 mmHg)
Diseksi aorta Penyakit hati lanjut
Infeksi endokarditis
Ulkus peptikum yang aktif
b) Koterapi antikoagulan
1) Pasien yang mendapat terapi reperfusi fibrinolisis, sebaiknya diberikan
terapi antikoagulan selama minimum 48 jam dan lebih baik selama rawat
inap, hingga maksimum 8 hari (dianjurkan regimen non UFH bila lama
terapi lebih dari 48 jam karena risiko heparin-induced thrombocytopenia
dengan terapi UFH berkepanjangan.
2) Strategi lain yang digunakan adalah meliputi LMWH atau fondaparinuks
dengan regimen dosis sama dengan pasien yang mendapat terapi
fibrinolisis.
3) Pasien yang menjalani IKP primer setelah mendapatkan antikoagulan
berikut ini merupakan rekomendasi dosis :
- Bila telah diberikan UFH, berikan bolus UFH tambahan sesuai
kebutuhan untuk mendukung prosedur, dengan pertimbangan GP
IIb/IIIa telah diberikan.
- Bila telah diberikan enoksaparin, dosis subkutan terakhir diberikan
dalam 8 jam, tak perlu dosis tambahan, bila dosis subkutan terakhir
antara 8-12 jam, maka ditambahkan enoxapain intravena 0,3 mg/kg.
- Bila telah diberikan fondaparinuks, diberikan antikoagulan tambahan
dengan aktivitas anti IIa dengan pertimbangan telah diberikan GP
IIb/IIa.
4) Karena adanya risiko thrombosis kateter, fondaparinuks tidak dianjurkan
digunakan sebagai antikoagulan tunggal pendukung IKP, sebaiknya
ditambahkan antikoagulan lain dengan aktivitas anti IIa.
c) Terapi jangka panjang
Terapi jangka panjang yang disarankan setelah pasien pulih adalah :
1) Kendalikan faktor risiko seperti hipertensi, diabetes, dan terutama merokok,
dengan ketat.
2) Terapi antiplatelet dengan aspirin dosis rendah (75-100 mg) diindikasikan
tanpa henti.
3) DAPT (aspirin dengan penghambat reseptor ADP) diindikasikan hingga 12
bulan setelah STEMI.
4) Pengobatan oral dengan penyekat beta diindikasikan untuk pasien-pasien
dengan gagal ginjal atau disfungsi ventrikel kiri.
5) Statin dosis tinggi perlu diberikan atau dilanjutkan segera setelah pasien
masuk tumah sakit bil tidak ada kontra indikasi atau riwayat intoleransi, tanpa
memandang nilai kolesterol inisial.
6) Antagonis aldosteron diindikasikan bila fraksi ejeksi ≤40% atau terdapat gagal
ginjal atau diabetes, bila tidak ada gagal ginjal atau hiperkalemia.
(Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2015)

H. PENANGANAN SECARA FARMACOLOGY

a. Obat anti ischemia.


b. Nitrat, penyekat beta.
c. Obat anti agregasi trombosit.
d. Aspirin, tiklodipine, clopidogrel, inhibitor, glycoprotein 2B/3A.
e. Obat anti thrombin.
f. Unfraktionated heparin, LMWH.
g. Direktrombin inhibitor.
h. Anti koagulasi dengan LMWH subcutan atau UFH intravena sebaiknya
ditambahkan kedalam terapi anti platelet dengan aspirin (ASA) dan atau
clopidogrel.
i. LMWH lebih disukai dibandingkan UFH sebagai anti koagulan pada pasien
angina tidak stabil dan NTEMI, kecuali direncakanan waktu CABG dalam
waktu 24 jam.

I. KOMPLIKASI
a) Gangguan hemodinamik
1) Gagal jantung
Dalam fase akut dan subakut setelah NSTEMI, seringkali terjadi disfungsi
miokardium. Bila revaskularisasi dilakukan segera dengan PCI atau trombolisis,
perbaikan fungsi ventrikel dapat segera terjadi, namun apabila terjadi jejas transmural
dan/atau obstruksi mikrovaskular, terutama pada dinding anterior, dapat terjadi
komplikasi akut berupa kegagalan pompa dengan remodeling patologis disertai tanda
dan gejala klinis kegagalan jantung, yang dapat berakhir dengan gagal jantung kronik.
Gagal jantung juga dapat terjadi sebagai komplikasi mekanis.
Diagnosis gagal jantung secara klinis pada fase akut dan subakut NSTEMI
didasari oleh gejala-gejala khas seperti dispnea, tanda seperti sinus takikardia, suara
jantung ketiga atau ronchi pulmonal, dan bukti-bukti objektif disfungsi kardiak seperti
dilatasi ventrikel kiri, dan berkurangnya fraksi ejeksi.
2) Hipotensi
Hipotensi ditandai oleh tekanan darah sistolik yang menetap di bawah 90
mmHg. Keadaan ini dapat terjadi akibat gagal jantung, namun dapat juga disebabkan
oleh hipovolemia, gangguan irama atau komplikasi mekanis. Bila berlanjut, hipotensi
dapat menyebabkan gangguan ginjal, acute tubular necrosis, dan berkurangnya urine
output.
3) Kongesti paru
Kongesti paru ditandai dispnea dengan ronkhi basah paru di segmen basal,
berkurangnya saturasi oksigen arterial, kongesti paru pada rontgen dada dan
perbaikan klinis terhadap diuretik dan/atau terapi vasodilator
4) Keadaan output rendah
Keadaan output rendah menggabungkan tanda perfusi perifer yang buruk
dengan hipotensi., gangguan ginjal dan berkurangnya produksi urin. Ekokardiografi
dapat menunjukkan fungsi ventrikel kiri yang buruk, komplikasi mekanis atau infark
ventrikel kanan.
5) Syok kardiogenik
Syok kardiogenik terjadi dalam 6-10% kasus NSTEMI dan merupakan
penyebab kematian utama, dengan laju mortalitas di rumah sakit mendekati 50%.
Meskipun syok seringkali terjadi di fase awal setelah awitan infark miokard akut, ia
biasanya tidak didiagnosis saat pasien pertama tiba di rumah sakit. Penelitian
registry SHOCK (Should we emergently revascularize Occluded coronaries for
Cardiogenic shoCK) menunjukkan bahwa 50% syok kardiogenik terjadi dalam 6
jam dan 75% syok terjadi dalam 24 jam. Tanda dan gejala klinis syok kardiogenik
yang dapat ditemukan beragam dan menentukan berat tidaknya syok serta
berkaitan dengan luaran jangka pendek. Pasien biasanya dating dengan hipotensi,
bukti output kardiak yang rendah (takikardia saat istirahat, perubahan status
mental, oliguria, ekstremitas dingin) dan kongesti paru .
Kriteria hemodinamik syok kardiogenik adalah indeks jantung <2,2 L/menit/m2 dan
peningkatan wedge pressure >18 mmHg. Selain itu, diuresis biasanya <20 mL/jam.
Pasien juga dianggap menderita syok apabila agen inotropik intravena dan/atau
IABP dibutuhkan untuk mempertahankan tekanan darah sistolik >90 mmHg. Syok
kardiogenik biasanya dikaitkan dengan kerusakan ventrikel kiri luas, namun juga
dapat terjadi pada infark ventrikel kanan.
6) Aritmia dan gangguan konduksi dalam fase akut
Aritmia dan gangguan konduksi sering ditemukan dalam beberapa jam
pertama setelah infark miokard. Aritmia yang terjadi setelah reperfusi awal dapat
berupa manifestasi dari kondisi berat yang mendasarinya, seperti iskemia miokard,
kegagalan pompa, perubahan tonus otonom, hipoksia, dan gangguan elektrolit
(seperti hipokalemia) dan gangguan asam-basa.

b) Komplikasi kardiak
1) Regugirtasi katup mitral
Regurgitasi katup mitral dapat terjadi selama fase subakut akibat dilatasi
ventrikel kiri, gangguan m. Papilaris, atau pecahnya ujung m. Papilaris atau
chordate tendinae. Keadaan ini biasanya ditandai dengan perburukan
hemodinamis dengan dispnea akut, kongesti paru dan murmur sistolik baru, yang
biasanya tidak terlalu diperhatikan dalam konteks ini. Diagnosis ini dicurigai
dengan pemeriksaan klinis dan perlu segera konfirmasi dengan ekokardiografi
darurat. Edema paru dan syok kardiogenik dapat terjadi dengan cepat.
2) Ruptur jantung
Ruptur dinding bebas ventrikel kiri dapat terjadi pada fase subakut setelah
infark transmural, dan muncul sebagai nyeri tiba-tiba dan kolaps kardiovaskular
dengan disosiasi elektromekanis. Hemoperikardium dan tamponade jantung
kemudian akan terjadi secara cepat dan bersifat fatal. Diagnosis dikonfirmasi
dengan ekokardiografi. Apabila tersumbat oleh formasi thrombus, rupture dinding
subakut yang terdeteksi dengan cepat dapat dilakukan perikardiosentesis dan
operasi segera.
3) Ruptur septum ventrikel
Ruptur septum ventrikel biasanya ditandai perburukan klinis yang terjadi
dengan cepat dengan gagal jantung akut dan murmur sistolik yang kencang yang
terjadi pada fase subakut. Diagnosis ini dikonfirmasi dengan ekokardiografi, yang
dapat membedakan keadaan ini dengan regurgitasi mitral akut dan dapat
menentukan lkasi dan besarnya ruptur. Left-to-right shunt yang terjadi sebagai
akibat dari ruptur ini dapat meghasilkan tanda dan gejala gagal jantung kanan akut
awitan baru.
4) Infark ventrikel kanan
Biasanya gejalanya muncul sebagai triad hipotensi, lapangan paru yang
bersih serta peningkatan tekanan vena jugularis. Elevasi segmen ST 1 mV di
V1 dan V4R merupakan ciri infark ventrikel kanan dan perlu secara rutin dicari
pada pasien dengan STEMI inferior yang disertai dengan hipotensi.
Ekokardiografi Doppler biasanya menunjukkan dilatasi ventrikel kanan, tekanan
arteri pulmonal yang rendah, dilatasi vena hepatica dan jejas dinding inferior
dalam berbagai derajat.
5) Perikarditis
Insidensi perikarditis setelah NSTEMI semakin berkurang dengan
semakin majunya terapi reperfusi yang modern dan efektif. Gejala perikarditis
antara lain nyeri dada berulang, biasanya khas yaitu tajam dan, bertentangan
dengan iskemia rekuren, terkait dengan postur dan pernapasan.
6) Aneurisma ventrikel kiri
Pasien dengan infark transmural besar, terutama di dinding anterolateral,
dapat mengalami perluasan infark yang diikuti dengan pembentukan aneurisma
ventrikel kiri. Proses remodeling ini terjadi akibat kombinasi gangguan sistolik
dan diastolic dan, seringkali, regurgitasi mitral.
7) Trombus ventrikel kiri
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hampir seperempat infark
miokard anterior memiliki thrombus ventrikel kiri yang dapat terdeteksi, keadaan
ini dikaitkan dengan prognosis yang buruk karena berhubungan dengan infark
yang luas, terutama bagian anterior dengan keterlibatan apical, dan risiko
embolisme sistemik.
(Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2015)

J. Asuhan Keperawatan

Pengkajian
 Keluhan utama
Keluhan utama biasanya nyeri dada, perasaan sulit bernapas, dan pingsan.
 Riwayat penyakit saat ini
Pengkajian PQRST yang mendukung keluhan utama dilakukan dengan
mengajukan serangkaian pertanyaan mengenai nyeri dada pada klien secara
PQRST yang meliputi :
Provoking Incident : Nyeri setelah beraktivitas dan tidak berkurang dengan istirahat
dan setelah diberikan nitrogliserin.
Quality of pain : Seperti apa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien. Sifat
nyeri dapat seperti tertekan, diperas, atau diremas.
Region : Lokasi nyeri di daerah substernal atau nyeri di atas pericardium.
Penyebaran nyeri dapat meluas hingga area dada. Dapat terjadi nyeri dan
ketidakmampuan menggerakkan bahu dan tangan.
Severity of pain : Klien ditanya dengan menggunakan rentang 0-4 atau 0-10 (visual
analog scale) dan klien akan menilai seberapa berat nyeri yang dirasakan.
Biasanya pada saat angina terjadi, skala nyeri berkisar antara 3-4 (skala 0-4) atau
7-9 (skala 0-10).
Time : Sifat mula timbulnya (onset). Biasanya gejala nyeri timbul mendadak. Lama
timbulnya (durasi) nyeri dada umumnya dikeluhkan lebih dari 15 menit. Nyeri oleh
infark miokardium dapat timbul pada waktu istirahat, nyeri biasanya dirasakan lebih
berat dan berlangsung lebih lama. Gejala-gejala yang menyertai infark miokardium
meliputi dispnea, berkeringat, ansietas, dan pingsan.
 Riwayat penyakit dahulu
Data ini diperoleh dengan mengkaji apakah sebelumnya klien pernah menderita
nyeri dada, hipertensi, diabetes mellitus, atau hiperlipidemia. Cara mengkaji
sebaikya sekuens dan terinci. Tanyakan mengenai obat-obatan yang biasa
diminum oleh klien pada masa yang lalu yang masih relevan dengan obat-obatan
antiangina seperti nitrat dan penghambat beta serta obat-obat antihipertensi. Catat
adanya efek samping yang terjadi di masa lalu, alergi obat, dan reaksi alergi yang
timbul. Seringkali klien menafsirkan suatu alergi sebagai efek samping obat.
 Riwayat penyakit keluarga
Perawat senantiasa harus menanyakan tentang penyakit yang pernah dialami oleh
keluarga, anggota keluarga yang meninggal, dan penyebab kematian. Penyakit
jantung iskemik pada orang tua yang timbulnya pada usia muda merupakan faktor
risiko utama terjadinya penyakit jantung iskemik pada keturunannya.
 Riwayat pekerjaan dan pola hidup
Perawat menanyakan situasi tempat bekerja dan lingkungannya. Demikian pula
dengan kebiasaan sosial dengan menanyakan kebiasaan dan pola hidup misalnya
minum alkohol atau obat tertentu. Kebiasaan merokok dikaji dengan menanyakan
kebiasaan merokok sudah berapa lama, berapa batang per hari, dan jenis rokok.
Di samping pertanyaan-pertanyaan di atas, data biografi juga merupakan data
yang perlu diketahui seperti nama, umur, jenis kelamin, tempat tinggal, suku, dan
agama yang dianut oleh klien.
Dalam mengajukan pertanyaan kepada klien, hendaknya perhatikan kondisi klien.
Bila klien dalam keadaan kritis, maka pertanyaan yang diajukan bukan pertanyaan
terbuka tetapi pertanyaan tertutup, yaitu pertanyaan yang jawabannya adalah “ya”
dan “tidak”. Atau pertanyaan yang dapat dijawab dengan gerakan tubuh seperti
mengangguk atau menggelengkan kepala sehingga tidak memerlukan energy yang
besar.
 Pengkajian psikososial
Perubahan integritas ego terjadi bila klien menyangkal, takut mati, perasaan ajal
sudah dekat, marah pada penyakit atau perawatan yang tak perlu, khawatir
tentang keluarga, pekerjaan, dan keuangan. Gejala perubahan integritas ego yang
dapat dikaji adalah klien menolak, menyangkal, cemas, kurang kontak mata,
gelisah, marah, perilaku menyerang, dan fokus pada diri sendiri.
Perubahan interaksi sosial yang dialami klien terjadi karena stress yang dialami
klien dari berbagai aspek seperti keluarga, pekerjaan, kesulitan biaya ekonomi,
atau kesulitan koping dengan stressor yang ada.
 Pemeriksaan fisik
- Keadaan umum : kesadaran klien IMA biasanya baik atau composmentis dan
akan berubah sesuai tingkat gangguan yang melibatkan perfusi sistem saraf
pusat.
- B1 (Breathing) :
Klien tampak sesak, frekuensi napas melebihi normal dan mengeluh sesak
napas seperti tercekik. Dispnea kardiak biasanya ditemukan. Sesak napas
terjadi akibat pengerahan tenaga dan disebabkan oleh kenaikan tekanan akhir
diastolic ventrikel kiri yang meningkatkan tekanan vena pulmonalis. Hal ini
terjadi karena terdapat kegagalan peningkatan curah darah oleh ventrikel kiri
pada saat melakukan kegiatan fisik. Dispnea kardiak pada infark miokardium
yang kronis dapat timbul pada saat istirahat.
- B2 (Blood) :
 Inspeksi
Inspeksi adanya jaringan parut pada dada klien. Keluhan lokasi nyeri
biasanya di daerah substernal atau nyeri di atas pericardium. Penyebaran
nyeri dapat meluas di dada. Dapat terjadi nyeri dan ketidakmampuan
menggerakkan bahu dan tangan.
 Palpasi
Denyut nadi perifer melemah. Thrill pada IMA tanpa komplikasi biasanya
tidak ditemukan.
 Auskultasi
Tekanan darah biasanya menurun akibat penurunan volume sekuncup yang
disebabkan IMA. Bunyi jantung tambahan akibat kelainan katup biasanya
tidak ditemukan pada IMA tanpa komplikasi.
 Perkusi
Batas jantung tidak mengalami pergeseran.
- B3 (Brain) :
Kesadaran umum klien biasanya composmentis. Tidak ditemukan sianosis
perifer. Pengkajian objektif klien, yaitu wajah meringis, perubahan postur
tubuh, menangis, merintih, meregang, dan menggeliat yang merupakan
respons dari adanya nyeri dada akibat infark pada miokardium.
- B4 (Bladder) :
Pengukuran volume output urine berhubungan dengan intake cairan klien.
Oleh karena itu, perawat perlu memonitor adanya oliguria pada klien dengan
IMA karena merupakan tanda awal syok kardiogenik.
- B5 (Bowel) :
Klien biasanya mengalami mual dan muntah. Pada palpasi abdomen
ditemukan nyeri tekan pada keempat kuadran, penurunan peristaltik usus
yang merupakan tanda utama IMA.
- B6 (Bone) :
Aktivitas klien biasanya mengalami perubahan. Klien sering merasa
kelemahan, kelelahan, tidak dapat tidur, pola hidup menetap, dan jadwal
olahraga tak teratur. Tanda klinis lain yang ditemukan adalah takikardia,
dispnea pada saat istirahat maupun saat beraktivitas.
Kaji higienis personal klien dengan menanyakan apakah klien mengalami
kesulitan melakukan tugas perawatan diri.
(Muttaqin, 2009)
K. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Nyeri Tujuan NIC : Pain Management
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 1. Kaji karakteristik nyeri : PQRST
2. Observasi isyarat nonverbal dari
x 24 jam, nyeri dada klien berkurang
ketidaknyamanan
Kriteria Hasil 3. Lakukan manajemen nyeri non
NOC : Pain Level
farmakologis :
Indikator 1 2 3 4 5 - Atur posisi fisiologis
Reported pain - Istirahatkan klien
Facial - Berikan O2 sesuai indikasi
- Manajemen lingkungan : lingkungan
expressions of
tenang dan batasi pengunjung
pain - Ajarkan teknik relaksasi napas dalam
Diaphoresis
Respiratory dan teknik distraksi
4. Kolaborasi pemberian terapi farmakologis
rate
Blood pressure antiangina
Penurunan curah jantung Tujuan NIC : Cardiac Care : Acute
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 1. Evaluasi nyeri dada
2. Monitor ritme dan frekuensi jantung
x 24 jam, curah jantung meningkat
3. Auskultasi bunyi jantung
4. Auskultasi paru (ada suara napas
Kriteria Hasil
NOC : Cardiac Pump Effectiveness tambahan/tidak)
5. Monitor status neurologis
Indikator 1 2 3 4 5 6. Monitor intake dan output
Systolic blood 7. Lakukan pemeriksaan EKG
pressure 8. Monitor TD dan parameter hemodinamik
Diastolic blood 9. Monitor hasil lab
pressure 10. Kolaborasi pemberian obat sesuai
Dysrhytmia
24-hour intake
and output
balance
Urine output
Intoleransi aktivitas Tujuan NIC : Energy Management
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 6 1. Kaji keterbatasan fisik klien
2. Monitor intake nutrisi
x 24 jam, toleransi klien dalam beraktivitas
3. Monitor respon kardiorespiratori saat
meningkat
beraktivitas (takikardi, disritmia,
Kriteria Hasil dispnea, diaphoresis, tekanan
NOC : Activity Tolerance
hemodinamik, RR)
Indikator 1 2 3 4 5 4. Monitor pola tidur klien dan jumlah jam
Oxygen saturation tidur
with activity 5. Batasi aktivitas fisik yang berlebihan
Respiratory rate with 6. Gunakan latihan ROM aktif/pasif untuk
activity mengembalikan kekuatan otot
Systolic blood
pressure with activity
Diastolic blood
pressure with activity
Electrocardiogram
findings
Ease of performing
activities of Daily
Living (ADL)
DAFTAR PUSTAKA

a. Bulechek, Gloria M. ; Bucher, Howard K. ; Dochterman, Joanne McCloskey.


2008. Nursing Intervention Classification (NIC) (Fifth Edition). United States
of America: Elsevier.
b. Guyton, Arthur. 2007. Buku ajar fisiologi kedokteran. Jakarta: EGC
c. Heardman, T. Heather (Editor). 2012. NANDA International Nursing
Diagnosis: Definition and classification 2011-2014. Oxford: Wiley Blackwell
d. Moorhead, sue;Johnson, Marion: mass, Maridean L.; Swason, Elizabeth.
2008. Nursing Outcomes Classification (NOC) (Fourth Edition). United for
Health and Clinical Exellence. 2010. Unstable Angina and NSTEMI
e. Wantiyah. 2010. Analisis Faktor-faktor yang mempengaruhi afikasi dari
pada Pasien penderita penyakit jantung koroner dalam konteks Asuhan
keperawatan. FIK Universitas Indonesia.

Diagnostic Coronary Angiography (DCA)

1. Pengertian
Diagnostic Coronary Angiography(DCA)terdiri dari tiga kata yakni Diagnostic
yang artinya adalah tindakan yang dilakukan dalam rangka mendiagnosa
kelainan/penyakit jantung koroner, Coronary adalah pada arteri koroner, dan
Angiography adalah tindakan invasif yang menggunakan sinar X untuk
mendeteksi penyempitan atau sumbatan pada pembuluh darah jantung (Djamal
Hasan, 2011).
Coronary Angiography merupakan tindakan memasukkan kateter melalui
femoral (Judkins) atau brachialis (Sones) kemudian didorong ke aorta assendes
dan diarahkan ke arteri koronaria yang dituju dengan bantuan fluoroskopi.Pada
saat ini kateter femoral lebih banyak digunakan ukuran 6 atau bahkan 5 French.
Kateter tersebut terbuat dari poliuretan atau polietilen yang telah terbentuk
sebelumnya untuk memungkinkan intubasi yang lebih mudah di ostium arteri
koroner kiri dan kanan (Underhil et al, 2005; Black & Hawk, 2005; Smeltzer &
Bare, 2008)
Setelah diposisikan dalam ostium arteri koroner, media kontras dimasukkan
untuk mengopasifikasi arteri koroner sehingga gambar arteri koroner dapat
diperoleh dengan manuver kamera radiografi disekitar pasien untuk
mendapatkan gambar dari sudut yang berbeda. Gambar arteri jantung kiri dan
kanan dapat dilihat melalui proyeksi right anterior oblique (RAO) dan left anterior
oblique (LAO). Gambar tersebut diperoleh dari arah kepala atau kaki untuk
memvisualisasi lessi lebih baik (Gray, Dawkins, Morgan, Simpson, 2002; Underhil
et al, 2005).
Angiografi koroner merupakan test yang paling akurat (golden standart)
untuk mendiagnosis penyakit jantung koroner. Dokter akan merekomendasikan
tindak lanjut pengobatan yang tepat tergantung hasil angiogram, baik dengan
medikamentosa/ balloon angioplasty/ bedah jantung (bypass surgery) (Djamal
Hasan, 2011).

2. Indikasi
1. Penyakit koroner
- serangan angina baru
- unstable angina
- iskhemia tidak tampak
- Treadmill test positif
- atypical chest pain / spasme otot
2. Infark myocard
- unstable angina post infark
- gagal trombolisis
- shock komplikasi mekanik (VSD, ruptur dinding/ otot papilaris)
3. Evaluasi
- Post operasi CABG (Coronary Bypass)
- Post PTCA

3. Kontraindikasi
1. Relatif
- Penyakit gagal jantung kongestif tidak terkontrol (hipertensi, aritmia)
- Penyakit pembuluh darah yang kurang dari 1 bulan
- Infeksi/demam
- Elektrolit inbalance
- Perdarahan gastrointestinal akut atau anemia
- Kehamilan
- Antikoagulasi (atau diketahui perdarahan akut tidak terkontrol)
- Pasien tidak kooperatif
- Keracunan obat (seperti digitalis, phennotizine)
- Gagal ginjal
2. Mutlak
- Tidak cukup perlengkapan / fasilitas
PENATALAKSANAAN : PASKA TINDAKAN DIAGNOSTIC CORONARY
ANGIOGRAPHY (DCA)
A. PROSEDUR PENCABUTAN SHEATH
1. Sheet kateter akan dilepas 4-6 jam setelah tindakan PCI dan
untuk tindakan DCA sheet bisa langsung dilepas setelah tindakan,
anjurkan pasien untuk tidak menggerakan bagian tubuh bekas
penusukan sheet kateter tersebut.
2. Setelah sheet kateter dilepas, tempat penusukan dibebat dengan
perban elastis selama 4-6 jam, pasien masih tidak diperkenankan
menggerakkan kaki. Total minimal 8 jam setelah tindakan, perban
elastis boleh dibuka dan pasien sudah boleh menggerakkan kaki.
3. Observasi perdarahan dan haematoma
4. Observasi tanda –tanda vital
5. Perubahan ekg 12 lead
6. Observasi keluhan pasien dan kondisi klinis (nyeri dada)
7. Observasi hasil laboratorium ( creatinin = gangguan ginjal karena zat
kontras, ckmb = cedera otot jantung)
8. Observasi efek alergi kontras
9. Observasi gangguan sirkulasi perifer (pulsasi arteri dorsalis pedis,
tibialis, radialis)
10. Observasi hypovolemi
11. Hidrasi sesuai kebutuhan
12. Observasi terjadi infeksi

Prosedur pencabutan SHEATH(California Pacific Medical Center, 2008)


Area penusukan di arteri femoralis:
1. 4 jam post tindakan, sheath boleh dicabut/aff oleh dokter jika nilai ACT
(Activating Clothing Time, nilai normal < 100 detik)
2. Dengan menggunakan sarung tangan steril dan prosedur steril, sheath di
aff dan dilakukan penekanan selama kurang lebih 10-15 menit sampai
dengan perdarahan berhenti
3. Beritahu kepada klien bahwa prosedur pencabutan sheath akan dilakukan
dan ajarkan teknik relaksasi napas dalam untuk mencegah terjadinya reflek
vagal
4. Observasi tanda-tanda vital (tekanan darah, denyut nadi, pernapasan,
saturasi oksigen), pulsasi arteri perifer, dan keluhan klien selama aff sheath
5. Bila darah sudah tidak keluar, luka pungsi ditutup dengan kasa steril dan
dibebat dengan tensocrepe.
6. Klien 6 jam post aff sheath baru diperbolehkan mobilisasi
7. Observasi daerah distal ekstremitas dan keadaan umum klien post aff
sheath (tekanan darah, nadi, irama ekg/perubahan gelombang EKG,
saturasi O2, pernapasan, nilai ureum dan kreatinin) dari adanya komplikasi
berupa perdarahan/hematoma, thrombosis, fistula arteriovenosus, dan CIN
(Contras Induce Nefropathy).

B. KOMPLIKASI
1. Mayor
- Thromboemboli
- Infark myocard
- Alergi berat terhadap zat kontras : spasme laring, bronkus hipotensi
berat, henti jantung
- Aritmia berat: fibrilasi ventrikel
- Tamponade jantung
- Kematian

2. Minor

• Aritmia : sinus bradikardia, VES, VT


• Alergi ringan
• Perdarahan, hematoma, atau infeksi tempat penusukan
• Oedem paru
• Jarang : ruptur pembuluh darah, kateter melilit, kateter putus, perforasi
arteri koroner
• Kontras pewarna bisa merusak ginjal (terutama pada pasien dengan
diabetes)
• Bisa terbentuk gumpalan darah pada kateter dan kemudian memblokir
pembuluh darah di tempat lain di tubuh.

3. ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian
Data umum
Data umum meliputi nama, umur, alamat, jenis kelamin,
status perkawinan, pekerjaan, agama, TB, BB, diagnosa medis.
Riwayat penyakit
Riwayat penyakit meliputi keluhan utama datang ke rumah
sakit, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat
keluarga, riwayat pekerjaan, riwayat geografi, riwayat alergi,
kebiasaan social dan kebiasaan merokok.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik awal dilakukan secara umum meliputi
pemeriksaan kepala dan leher yaitu raut muka, bibir, mata,
tekanan vena jugular, arteri karotis, kelenjar thyroid, trachea.
Pemeriksaan fisik sistem respirasi yang meliputi asimetris
pengembangan dada, frekuensi napas, gerakan dinding dada,
suara paru, batas paru, dan suara nafas.
Pemeriksaan fisik sistem kardiovaskuler yang meliputi nadi
perifer yaitu irama, frekuensi isi nadi, dan jantung yaitu bentuk
prekordium, denyut apeks jantung, getaran, gerakan trachea,
batas kelainan jantung, dan bunyi jantung.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan
laboratorium yaitu enzim jantung untuk mengetahui keefektifan
revaskularisasi, gula darah, kadar lemak kolesterol, fungsi ginjal
dan faktor pembekuan darah untuk mengetahui faktor resiko,
hematologi rutin, analisa gas darah dan elektrolit sebagai
pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan hemodinamik meliputi frekuensi nadi,
tekanan darah, frekuensi napas dan saturasi oksigen dilakukan
untuk mengetahui kerja jantung setelah dilakukan prosedur
tindakan.
Pemeriksaan grafik meliputi EKG untuk mengetahui
efektivitas revaskularisasi dan ECHO untuk menilai kerja jantung
Pemeriksaan radiografi yaitu angiografi yang dilakukan
sebelum prosedur untuk menentukan lokasi dan besar sumbatan.
4. DIAGNOSA KEPERAWATANYANG MUNGKIN MUNCUL
o Cemas berhubungan dengan ketidakmampuan individu
sekunder kurang pengetahuanterhadap penyakitnya dan
prosedur tindakan ditandai dengan pasien menyatakan cemas
dengan penyakit dan rencana prosedur, wajah tegang, gelisah,
denyut jantung meningkat dan tekanan darah meningkat.
Tujuan rencana keperawatan adalah pasien tidak cemas
setelah dilakukan tindakan keperawatan.
Intervensi keperawatan :
 Dampingi pasien dan keluarga saatdijelaskan tentang
penyakit dan rencana tindakan prosedur.
 Berikan surat ijin tindakan dan surat jaminan untuk ditanda
tangani dan diurus sesuai jaminan
 Anjurkan pada keluarga pasien untuk memberi dukungan,
mendampingi dan berdoa untuk keberhasilan tindakan.
 Kolaborasi dengan dokter untuk memberikan penenang jika
diperlukan.
o Resiko perdarahan berhubungan dengan tindakan invasive dan
pemberian antikoagulan ditandai dengan adanya perdarahan
pada area penusukan sheet kateter, kulit pucat, akral dingin,
tekanan darah turun, palpitasi, kadar hemoglobin turun, ACT
dan aPTT memanjang.
Tujuan rencana keperawatan : tidak terjadi perdarahan setelah
tindakan keperwatan selama 1 x 6 jam
Intervensi keperawatan :
 Catat banyaknya perdarahan yang timbul saat terjadi
prosedur tindakan.
 Observasi dan catata adanya perdarahan atau hematoma
pada luka penusukan shet kateter
 Observasi dan catat perubahan hemodinamik
 Observasi dan catat adnya perubahan warna kulit
 Cek ACT 4 jam setelah prosedur DCA sebelum aff sheet
untuk sheet kateter pada femoralis atau brakialis
 Bebat beks area penusukan dengan elastic band melebihi
setengah sisi paha atau brakial setelah aff sheet
 Anjurkan pasien untuk mengurangi aktifitas menggunakan
anggota tubuh yang digunakan untuk prosedur DCA selama
6 jam setelah aff sheet.
o Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan,proses
pemasangan stent di arteri koroner,iskemia miokard ditandai
dengan pasien menyatakan nyeri dada, gelisah, denyut jantung
meningkat, tekanan darah meningkat.
Tujuan rencana keperawatan : nyeri berkurang setelah
dilakukan tindakan selama 8 jam
Intervensi keperawatan :
 Kaji tingkat nyeri dada dan area penusukan
 Observasi dan catat ekspresi nyeri pasien
 Observasi dan catat perubahan hemodinamik kaitannya
dengan nyeri
 Berikan posisi yang nyaman dan tekhnik relaksasi untuk
mengurangi nyeri
 Anjurkan pada keluarga untuk memberikan dukungan pada
pasien
 Kolaborasi dengan dokter untuk memberikan obat anti
nyeri.
o Resiko terjadi infeksi berhubungan dengan tindakan dan
pemasangan alat-alat invasive ditandai dengan pasien merasa
demam, suhu tubuh lebih dari 37,5 derajat C, adanya
kemerahan pada luka tusuk sheet kateter, peningkatan leukosit.
Tujuan rencana keperawatan: mencegah timbulnya infeksi
setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 8 jam
Intervensi keperawatan :
 Gunakan prinsip steril saat melakukan pencabutan sheet
kateter
 Gunakan prinsip steril saat melakukan perawatan luka
bekas sheet kateter
 Observasi dan catat perubahan hemodinamik
 Observasi dan catat adanya tanda tanda infeksi
 Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian profilaksis
antibiotik jika diperlukan

DAFTAR PUSTAKA

Bidang Diklat PJNHK. (2001). Buku ajar keperawatan kardiovaskuler.Ed 1.


Jakarta: Pusat Jantung Nasional Harapan Kita.

Haris, H. (2007). Intervensi koroner perkutan pada penyakit jantung koroner dan
permasalahannya.Medan: Universitas Sumatera Utara.
Smeltzer, S C. O’Connell, RN, EDD, FAAN & Brenda G. Bare, RN, MSN. (2003 ).
Brunner & Suddarth’s: Textbook of Medical-Surgical Nursing. Ed 10.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
http://en.m.wikipedia.org//
http://www.heartsite.com.

Anda mungkin juga menyukai