PENDAHULUAN
Diagnosis psikosis oleh karena kondisi medis umum dibuat ketika riwayat medis pasien,
pemeriksaan fisik atau hasil uji laboratorium menunjukkan satu atau lebih kondisi medis
misalnya perubahan otak yang mungkin menimbulkan gejala psikotik, dan gejala psikotiknya
(misalnya, halusinasi, waham) sebenarnya ada sejak kondisi medis terjadi. Banyak kondisi medis
yang berbeda mampu menimbulkan psikosis. Kondisi neurologis yang dapat menyebabkan
psikosis termasuk tumor otak, penyakit serebrovaskular, penyakit Huntington, multipel sklerosis,
epilepsi, gangguan atau trauma neuron visual atau pendengaran, tuli, migrain dan infeksi sistem
saraf pusat.
Stroke atau yang disebut juga dengan penyakit serebrovaskuler berkontribusi terhadap
timbulnya delusi dan halusinasi di kemudian hari. Pengobatan yang diberikan pada kondisi
medis sering menghasilkan remisi dari psikosis tetapi hal tersebut tidaklah selalu terjadi. Gejala
psikosis dapat bertahan lama setelah kondisi medis yang menyebabkannya sembuh.
Psikosis adalah komplikasi pasca stroke yang jarang terjadi. Insidennya kira-kira 1%
(Santos, 2009). Penelitian terhadap pasien stroke yang berusia lebih dari 60 tahun selama periode
9 tahun, hanya lima pasien yang diidentifikasi mengalami psikosis. Semuanya Laporan Kasus
Jurnal Kesehatan Andalas. 2015; 4 mengalami lesi pada frontoparietal kanan dan atropi
subkorteks. Tiga dari lima pasien mengalami kejang pasca stroke.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 STROKE
2.1.1 Definisi
Stroke menurut WHO didefinisikan sebagai tanda-tanda klinis yang berkembang cepat
akibat gangguan fungsi otak fokal maupun global dengan gejala-gejala yang berlangsung selama
24 jam atau lebih ataupun menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain
vaskuler
2.1.2 Epidemiologi
Stroke merupakan penyebab kematian kedua terbanyak di negara maju dan ketiga
terbanyak di negara berkembang. Berdasarkan data WHO tahun 2002, lebih dari 5,47 juta orang
meninggal karena stroke di dunia. Dari data yang dikumpulkan oleh American Heart Association
tahun 2004 setiap 3 menit satu orang meninggal akibat stroke
I. Penatalaksanaan umum
1. Umum :
2. Khusus :
Rehabilitasi
Pencegahan stroke : tindakan promosi, primer dan sekunder.
Kontra Indikasi : rtPA tidak boleh digunakan pada pasien yang mengalami
resiko tinggi perdarahan, pasien yang menerima antikoagulan oral (warfarin),
menunjukkan atau mengalami perburukan pendarahan, punya riwayat stroke
atau kerusakan susunan saraf pusat, haemorrhage retinopathy, sedang
mengalami trauma pada external jantung (<10 hari), arterial hipertensi yang
tidak terkontrol, adanya infeksi bakteri endocarditis, pericarditis, pancreatitis
akut, punya riwayat ulcerative gastrointestinal disease selama 3 bulan terakhir,
oesophageal varicosis, arterial aneurisms, arterial/venous malformation,
neoplasm dengan peningkatan resiko pendarahan, pasien gangguan hati parah
termasuk sirosis hati, portal hypertension (oesophageal varices) dan hepatitis
aktif, setelah operasi besar atau mengalami trauma yang signifikan pada 10
hari, pendarahan cerebral, punya riwayat cerebrovascular disease, keganasan
intrakranial, arteriovenous malformation, pendarahan internal aktif. Dosis :
dosis yang direkomendasikan 0,9mg/kg (dosis maksimal 90 mg) secara infusi
selama 60 menit dan 10% dari total dosis diberikan secara bolus selama 1
menit. Pemasukan dosis 0,09 mg/kg (10% dari dosis 0,9mg/kg) secara iv bolus
selama 1 menit, diikuti dengan 0,81 mg/kg (90% dari dosis 0,9mg/kg) sebagai
kelanjutan infus selama lebih dari 60 menit. Heparin tidak boleh dimulai
selama 24 jam atau lebih setelah penggunaan alteplase pada terapi stroke.
2.2.1 Definisi
Gangguan mental organik adalah gangguan mentak organik yang berkaitan dengan
penyakit atau gangguan sistemik atau otak yang dapat didiagnosis tersendiri (Rusdi Maslim,
2003; 22). Gangguan Mental Organik (GMO) adalah suatu Gangguan patologi yang jelas,
misalnya; tumor otak, penyakit serebrovaskular, atau intoksikasi obat (Arif Mansjoer, 2001;
189).
2.2.2 Etiologi
Gangguan jiwa yang psikotik atau non psikotik yang disebabkan oleh gangguan fungsi
jaringan otak. Adapun faktor-faktor penyebab terjadinya gangguan mental organik antara lain:
Menurut Arif Mansjoer (2003; 18), GMO dapat dibagi menjadi menjadi 4, yaitu;
1. Delirium
2. Demensia
3) Demensia yang berhubungan dengan suatu kondisi medis lain (HIV, Parkinson, trauma
kepala,
3. Gangguan Amnesia
Menurut Rusdi Maslim (2001; 22), gangguan mental organik terbagi menjadi 3, yaitu:
Misalnya: Daya ingat (memory), daya pikir (Intellect), daya belajar (Learning).
2. Gangguan sensorium
1) Persepsi (halusinasi)
2.2.5 Terapi
Beberapa obat dapat membantu perbaikan fungsi kognitif, namun hanya sementara.
Intervensi farmakologi dapat berupa pemberian obat golongan inhibitor enzim
asetilkolineseterase (donepezil, rivagstigmine, galantamine) yang dapat memperlambat progresi
penyakit secara temporary namun tidak dapat mengembalikan fungsi otak yang telah rusak.
Pemberian obat golongan antagonis reseptor NMDA (memantine) juga diketahui dapat
memperlambat deteriorasi pada pasien. Obat psikotropik lainnya dapat digunakan untuk
mengatasi gejala yang timbul seperti cemas, depresi, maupun psikosis. Penatalaksaan intervensi
psikologis yang dapat diberikan antara lain dnegan memory wallet, latihan memori, maupun
pemberiannsistem navigasi untuk mencegah terseat atau hilang.
Psikosis adalah komplikasi pasca stroke yang jarang terjadi. Insidennya kira-kira 1%.
Penelitian terhadap pasien stroke yang berusia lebih dari 60 tahun selama periode 9 tahun, hanya
lima pasien yang diidentifikasi mengalami psikosis. Semuanya mengalami lesi pada
frontoparietal kanan dan atropi subkorteks. Tiga dari lima pasien mengalami kejang pasca stroke.
Informasi tentang mekanisme psikosis pasca stroke berasal dari penelitian terhadap lima pasien
yang mengalami psikosis pasca stroke, mereka menemukan pada semua pasien memiliki lesi di
hemisfer kanan, primer melibatkan regio frontoparietal. Bila dibandingkan dengan pasien lain
yang tidak mengalami psikosis setelah dilakukan matching umur, pendidikan, ukuran dan lokasi
lesi, pasien-pasien dengan psikosis sekunder memiliki atropi subkortikal yang lebih besar seperti
diperlihatkan pada area yang luas pada kedua tanduk frontal dari ventrikel lateral dan korpus
ventrikel lateral.
Beberapa peneliti juga melaporkan tingginya frekuensi kejang pada pasien dengan
psikosis sekunder. Kejang ini biasanya dimulai setelah timbulnya lesi otak tetapi sebelum awitan
psikosis. Telah dihipotesiskan bahwa tiga faktor yang mungkin penting pada mekanisme
halusinasi organik antara lain keterlibatan lesi hemisfer kanan dari kortek temporoparietal,
kejang dan atropi otak subkortikal.6 Gambaran klinis stroke dapat menimbulkan spektrum yang
bervariasi dari sindrom neurobehavior yang harus menjadi perhatian oleh praktisi kesehatan
mental dalam mengevaluasi gejala psikiatri pada pasien. Efek neurobehavior yang dapat terjadi
antara lain gejala afektif ataupun gejala psikotik yang dapat terjadi segera setelah serangan stroke
atau beberapa bulan sampai beberapa tahun kemudian.
Adanya penyakit otak yang mendasari akan mempunyai efek samping terhadap
penyembuhan gejala neurobehavior. Episode psikosis (halusinasi dan waham) berkembang
secara akut dan menetap selama beberapa hari sampai beberapa bulan. Selain itu dijumpai juga
adanya riwayat kejang pada pasien tersebut. Ditemukan pada pasien-pasien yang mengalami
fenomena halusinasi secara signifikan menunjukkan atrofi subkortikal daripada pasien-pasien
kontrol, yang ditunjukkan dari perbedaan yang signifikan pada besarnya rasio frontal horn
ventrikel lateral otak dan ventrikel ketiga otak. Halusinasi visual dapat terjadi akibat lesi vaskuler
fokal di jaras visual lobus temporalis, parietalis dan oksipitalis. Halusinasi ini disebut juga
release hallucinations, biasanya dijumpai pada pasien stroke denganlokasi lesi yang hampir
sama. Pada pasien-pasien yang mengalami fenomena halusinasi secara signifikan menunjukkan
atrofi subkortikal daripada pasien kontrol, yang ditunjukkan dari perbedaan yang signifikan pada
besarnya rasio frontal horn ventrikel lateral otak dan ventrikel ketiga otak.5 Halusinasi visual
dapat terjadi akibat lesi vaskuler fokal di jaras visual lobus temporalis, parietalis dan oksipitalis.
Halusinasi ini disebut juga release hallucinations. Biasanya dijumpai pada pasien stroke dengan
lesi di hemisfer kanan sehingga dapat menjelaskan peran hemisfer kanan pada proses persepsi
visual. Isi halusinasinya bermacam-macam, berlangsung beberapa menit bahkan kadang-kadang
sampai beberapa hari. Infark di lobus oksipital dapat menyebabkan halusinasi psychedelic yaitu
pasien memvisualisasikan bentukbentuk geometrik, spiral, papan main dam dan lainlain.
Halusinasi autoscopy yaitu pasien melihat gambar atau bayangannya sendiri. Halusinasi ini
biasanya disebabkan oleh perdarahan subarachnoid. Kadang-kadang disertai waham yaitu pasien
meyakini bahwa dirinya benar-benar dua disebut Dopplganger. Halusinasi akustik dapat
disebabkan lesi struktur otak terutama dikorteks auditorik temporal, jarang disebabkan oleh lesi
vaskuler.8 Waham pada pasien pasca stroke sering ditemukan waham kejar, sindrom Capgras
dan neutoscopy. Adanya waham penyangkalan penyakit (anosognosia) atau Anton’s syndrome.
Waham pasca stroke sering disebabkan oleh trombus atau perdarahan intraserebri pada
temporoparietal kiri atau subkorteks.
Demensia vaskuler (vascular dementia) adalah kerusakan daya kognitif (daya mengenali)
yang disebabkan oleh kerusakan pembuluh darah di otak. Ini dapat disebabkan oleh satu stroke
(serangan otak), atau oleh beberapa serangan otak yang terjadi selama beberapa waktu.
Demensia vaskuler merupakan diagnosa jika ada bukti adanya penyakit pembuluh darah di otak
dan fungsi kognitif yang terganggu yang mempersukar hidup sehari-hari. Gejala-gejala demensia
vaskuler dapat bermula tiba-tiba setelah suatu serangan otak, atau mulai perlahan-lahan.
1. DVa paska stroke yang mencakup demensia infark strategis, demensia multiinfark, dan
stroke perdarahan. biasanya mempunyai korelasi waktu yang jelas antara stroke dengan
terjadinya demensia.
2. DVa subkortikal, yang meliputi infark lakuner dan penyakit Binswanger dengan kejadian
stroke yang sering tidak terdeteksi namun memiliki faktor resiko vaskuler
3. Demensia tipe campuran, yaitu demensia dengan patologi vaskuler dalam kombinasi dengan
demensia alzhaimer
Sedangkan pembagian DVa secara klinis adalah sebagai berikut:
1. DVa pasca stroke
Demensia infark strategis yaitu lesi di girus angularis, thalamus, basal forebrain, teritori arteri
serebri posterior, dan arteri serebri anterior. Multiple infark Dementia &perdarahan
intraserebral.
2. DVa subkortikal lesi iskemik substansia alba 9nfark lakuner subkortikal infark non lakuner
subkortikal
Penyakit serebrovaskular fokal terjadi sekunder dari oklusi vaskular emboli atau
trombotik. !rea otak yang berhubungan dengan penurunan kognitif adalah substansia alba
dari hemisfera serebral dan nuklei abu)abu dalam, terutama striatum dan thalamus.
BAB III
KESIMPULAN