Anda di halaman 1dari 22

Lanjut ke konten

Widget

intenpratiwii

MODEL-MODEL PEMBELAJARAN
KONTRUKTIVISME
Diposkan pada 11 Juni 2015

Guru adalah jabatan dan pekerja profesional. Sebagai seorang pendidik, profesionalisme seorang
guru bukanlah pada kemampuan mengembangkan ilmu pengetahuan, tetapi lebih pada
kemampuannya untuk melaksanakan pembelajaran yang menarik dan bermakna.menurut Degeng
(dalam bukunya Sugiyanto, 2009) daya tarik suatu mata pelajaran (pembelajaran) ditentukan
oleh dua hal, pertama oleh mata pelajaran itu sendiri, dan kedua oleh cara mengajar yang
dilakukan seorang guru. Oleh karena itu tugas profesional seorang guru adalah menjadikan
pelajaran yang sebelumnya tidak menarik menjadi menarik, yang dirasakan sulit menjadi mudah,
yang tadinya tidak berarti menjadi bermakna. Jika hal tersebut dapat dilaksanakan guru, siswa
secara sukarela mempelajari lebih lanjut karena adanya kebutuhan yang dan belajar bukan
sekedar kewajiban, maka guru sebagai pengajar dapat dikatakan berhasil.namun untuk
menciptakan hal tersebut tidaklah mudah, sebab diperlikan pendidikan, keahlian dan ketrampilan
yang terangkum dalam empat kompetensi, yakni kompetensi kepribadian, kompetensi
pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi sosial ( UU nomor 14 tahun 2005;Furqon 2005).
Kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, dan
berwibawa, menjadi teladan bagi perserta didik, dan berakhlak mulia. Kompetensi pedagogik
adalah kemampuan mengelola pembelrjaran peserta didik yang meliputi pemahaman peserta
didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, dan pengembangan peserta didik untuk
mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilliki. Kompentensi profesional adalah
kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang
memungkinkannya membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan
dalam standar nasional pendidikan. Kompentensi sosial adalah kemampuan pendidik sebagai
bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik dan
masyarakat.
Jika keempat kompetensi tersebut dikuasai para guru, maka berbagai peran dalam pembelajaran
diharapkan dapat dilaksanakan secara optimal yaitu sebagai sumber belajar, fasilitator,
pengelola, demonstrator, pembimbing, motivator, dan evaluator. Jika peran tersebut dapat
dijalankan maka usaha memberikan layanan pembelajaran yang optimal ke araah pelaksanaan
pendekatan kontruktivisme semoga dapat dicapai dengan baik.
Nah untuk memahami model-model pembelajaran kontruktivisme, seperti discovery learning,
reception learning, assisted learning, active learning, the acclerated learning, quantum learning,
dan contextual teaching and learning, kooperative learning, ikuti uraian berikut ini:

A. Discovery Learning
Salah satu model pembelajaran kognitif yang paling berpengaruh adalah discovery learning-nya
Jerome Bruner (Slavin, 1994), yaitu siswa didorong untuk belajar dengan diri mereka sendiri.
Siswa belajar melalui aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, dan guru mendorong
siswa untuk mempunyai pengalaman-pengalaman dan menghubungkan pengalaman-pengalaman
tersebut untuk menemukan prinsip-prinsip bagi diri mereka sendiri.
Discovery learning telah banyak aplikasinya dalam dunia keilmuan, misalnya pada beberapa
museum sains ada beberapa silinder yang memiliki ukuran dan berat yang berbeda-beda,
beberapa ada yang ringan dan yang lain berat. Siswa didorong untuk mengamati secara detail
perbedaan-perbedaan silinder tersebut, di antaranya adalah menentukan kecepatan silinder
tersebut.
Discovery learning mempunyai beberapa keuntungan mempunyai keuntungan dalam belajar,
antara lain siswa memiliki motivasi dari dalam diri sendiri untuk menyelesaikan pekerjaan
sampai mereka menemukan jawaban-jawaban atas problem yang dihadapi mereka. Selain itu
siswa juga belajar untuk mandiri dalam memecahkan problem dan memiliki keterampilan
berpikir kritis, karena mereka harus menganalisis dan mengelola informasi.

B. Reception Learning
David Ausabel (Slavin 1994) memberikan kritik terhadap discovery learning. Dia berargument
bahwa siswa tidak selalu mengetahui apa yang penting atau relavan, dan beberapa siswa
membutuhkan motivasi eksternal untuk mempelajari apa yang diajarkan di sekolah.
Namun demikian, kendati peran guru dalam reception learning maupun discovery learning
berbeda, namun keduanya memiliki beberapa persamaan pandangan, antara lain:
1. Antara reception learning dan discovery learning, sama-sama membutuhkan keaktifan siswa
belajar.
2. Kedua pendekatan tersebut menekankan cara-cara bagaimana pengetahuan siswa yang sudah
ada dapat menjadi bagian dari pengetahuan baru.
3. Kedua pedekatan sama-sama mengasumsikan pengetahuan sebagai sesuatu yang dapat
berubah terus.
Ausabel menjelaskan sebuah alternatif model pembelajaran yang disebut reception learning. Para
penganut teori resepsi ini menyatakan bahwa guru mempunyai tugas untuk menyusun situasi
pembelajaran, memilih materi yang sesuai bagi siswa, kemudian mempresentasikan dengan baik
pelajaran yang dimulai dari umum ke yang spesifik. Inti pendekatan reception lesrning adalah
exspository teaching, yaitu perencanaan pembelajaran yang sistematis terhadap informasi yang
bermakna.
Pengajaran ekspositori berisi tiga prinsip tahapan pembelajaran, yaitu:
1. Tahap pertama, advance organizer. Secara umum belajar secara maksimal terjadi bila ada
potensi kesesuaian antara skema dimiliki siswa dengan materi atau informasi yang akan
dipelajarinya. Agar terjadi kesesuaian tersebut, Ausabel (Woolfolk, 1995) menyarankan sebuah
strategi yang disebut dengan advance organizer, yaitu sebuah statemen perkenalan yang
menghubungkan antara skema yang sudah dimiliki oleh siswa dengan informasi baru yang akan
dia pelajari. Fungsi dari advance organizer ini adalah memberi bimbingan untuk memahami
informari yang baru. Dengan kata lain, advance organizer ini dapat menjadi jembatan antara
meteri pelajaran atau informasi baru dengan pengetahuan yang sudah dimiliki oleh siswa.
Pemberian advance organizer mempunyai tiga tujuan, yaitu memberi arahan bagi siswa untuk
mengetahui apa yang terpenting dari materi yang akan dipelajarinya; menghigh-light diantara
hubungan-hubungan yang akan dipelajari; dan memberikan penguatan terhadap pengetahuan
yang diperoleh atau dipelajari.
2. Tahap kedua, meyampaikan tugas-tugas belajar. Setelah pemberian advance organizer,
langkah berikutnya adalah menyampaikan persamaan dan perbedaan dengan contoh yang
sederhana. Untuk belajar sesuatu yang baru, siswa tidak harus melihat hanya persamaan antara
materi yang akan dipelajari dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya. Lebih dari itu, siswa
juga perlu melihat perbedaannya pula. Dengan demikian, tidak terjadi kebingungan ketika siswa
mempelajari materi yang baru dengan pengetahuan yang sudah ada. Untuk membantu siswa
memahami persamaan dan perbedaan ini dapat digunakan berbagai cara, antara lain cara
ceramah, diskusi, film-film, atau tugas-tugas belajar.
3. Tahap ketiga, penguatan organisasi kognitif. Pada tahap ini, Ausabel menyatakan bahwa guru
mencoba untuk menambahkan informasi baru ke dalam informasi yang sudah dimiliki oleh siswa
pada awal pelajaran dimulai dengan membantu siswa untuk mengamati bagaimana setiap detail
dari informasi berkaitan dengan informasi yang lebih besar atau lebih umum. Dengan
memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan pemahamannya tentang informasi
apa yang baru mereka pelajari.

C. Assisted Learning
Assisted learning mempunyai peran yang sangat penting bagi perkembangan kognitif individu.
Vygotsky menyatakan bahwa perkembangan kognitif terjadi melalui interaksi dan percakapan
seorang anak dengan lingkungan di sekitarnya, baik dengan teman sebaya, orang dewasa, atau
orang lain dalam lingkungannya. Orang tersebut sebagai pembimbing atau guru yang
memberikan informasi dan dukungan penting yang dibutuhkan anak untuk menumbuhkan
intelektualitasnya. Orang dewasa yang ada di sekitar anak memberikan perhatian dan bimbingan
terhadap apa yang dilakukan, dikatakan, ataupun dipikirkan oleh anak, sehingga anak
mengetahui manakah yang benar dan manakah yang salah. Dengan demikian, seorang anak
“tidak sendirian” dalam menemukan dunianya sebagai bagian proses perkembangan kognitifnya.
Anak dapat melakukan konservasi dan klasifikasi dengan bantuan anggota keluarga, guru, atau
kelompok bermainnya. Pada umumnya bimbingan ini di komunikasikan melalui bahasa.
Jerome Bruner menyebut bantuan orang dewasa dalam proses belajar anak dengan istilah
scaffolding, yaitu sebuah dukungan untuk belajar dan memecahkan problem. Dukungan ini dapat
berupa isyarat-isyarat, peringatan-peringatan, dorongan, memecahkan problem dalam beberapa
tahap, memberikan contoh, atau segala sesuatu yang mendorong seorang siswa untuk tumbuh
dan menjadi pelajar yang mandiri dan memecahkan problem yang dihadapinya. Guru dapat
membantu belajar siswa dengan menunjukkan keterampilan-keterampilan, mengajak siswa
melalui tahap-tahap untuk menyelesaikan masalah, atau memberikan feedback terhadap hasil
kerja siswa, sehingga siswa mendapatkan masukan dari hasil kerjanya, dan selanjutnya dapat
digunakan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang telah dukuasainya.
Menurut Vygotsky, interaksi sosial dan bantuan belajar lebih dari sekedar metode mengajar,
keduanya merupakan sumber terjadinya proses-proses mental yang lebih tinggi seperti misalnya
memecahkan problem, mengalahkan memori dan perhatian, berpikir dengan simbol-simbol. Dia
mengasumsikan bahwa pandangan tentang fungsi mental sepatutnya dapat diaplikasikan dalam
kelompok seperti bentuk-bentuk aktivitas individual.
Dalam belajar dengan bantuan atau perantara ini, guru adalah seorang agen budaya yang dengan
bimbingan dan pengajarannya siswa dapat menginternalisasi dan menguasai keterampilan yang
membutuhkan fungsi kognitif yang lebih tinggi. Secara budaya, kemampuan untuk
menginternalisasikan ini berkaitan dengan usia dan tahap perkembangan kognitif.
Sementara secara teknis, scaffolding dalam belajar adalah membatu siswa pada awal belajar
untuk mencapai pemahaman dan keterampilan dan secara perlahan-lahan bantuan tersebut
dikurangi sampai akhirnya siswa dapat belajar sendiri serta dapat menemukan pemecahan bagi
problem atau tugas-tugas yang dihadapinya.

D. Active Learning
1. Pengertian Active Learning (Pembelajaran Aktif)
Active learning artinya pembelajaran aktif. Pembelajaran aktif secara sederhana didefinisikan
sebagai metode pengajaran yang melibatkan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran.
Menurut Melvin L. Silberman, belajar bukan merupakan konsekuensi otomatis dari penyampaian
informasi kepada siswa. Brlajar membutuhkan keterlibatan mental dan tindakan sekaligus. Pada
saat kegiatan belajar itu aktif, siswa memerlukan sebagian besarpekerjaan belajar. Mereka
mempelajari gagasan-gagasan, memecahkan berbagai masalah dan menerapkan apa yang mereka
pelajari (Silberman, 1996).
Menurut Silberman, cara belajar dengan cara mendengarkan akan lupa, dengan cara
mendengarkan dan melihat akan ingat sedikit, dengan cara mendengarkan, melihat dan
mendiskusikan dengan siswa lain akan paham, dengan cara mendengar, melihat, diskusi, dan
melakukan akan memperoleh pengetahuan dan keterampilan, dan cara untuk menguasai
pelajaran yang terbagus adalah dengan mengerjakan.
Belajar aktif merupakan langkah cepat, menyenangkan, dan menarik. Active learning
menyajikan 101 strategi pembelajaran aktif yang hampir dapat diterapkan untuk semua pelajaran.
2. Pembelajaran Aktif sebagai Induk Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran aktif mengkondisikan agar siswa selalu melakukan pengalaman belajar yang
bermakna dan senantiasa berpikir tentang apa yang dapat yang dapat dilakukannya selama
pembelajaran. Pembelajaran aktif melibatkan siswa/mahasiswa untu melakukan sesuatu dan
berpikir tentang sesuatu yang sedang dilakukannya. Dalam kaitannya dengan hal tersebut,
kegiatan aktif individual siswa di rumah seperti mengerjakan PR oleh sementara ahli justru tidak
dimasukan dalam kelompok pengajaran ini karena pembelajaran aktif didefinisikan terkait
pembelajaran yang dilakukan di sekolah. Pembelajaran individual diluar sekolah dapat
digolongkan sebagai pembelajaran aktif jika ada pertanggungjawaban berupa presentasi di dalam
kelas seperti dalam pembelajaran berbasis masalah atau dalam pembelajaran berbasis proyek.
Konsep pembelajaran aktif berkembang setelah sejumlah institusi melakukan riset tentang
lamanya ingatan siswa terhadap materi pembelajaran terkait dengan metode pembelajaran yang
digunakan. Hasil riset dari National Training Laboratories di Bethel, Maine (1954), Amerika
Serikat menunjukkan bahwa dalam kelompok pembelajaran berbasis guru mulai dari ceramah,
tugas membaca, presentasi guru dengan audiovisual dan bahkan demonstrasi oleh guru, siswa
hanya dapat mengingat materi pembelajaran maksimal sebesar 30%. Dan pembelajarab dengan
metode diskusi yang tidak di dominasi oleh guru siswa dapat mengingat sebanyak 50%. Jika para
siswa diberi kesempatan untuk melakukan sesuatu mereka dapat mengingat 75%. Praktik
pembelajaran belajar dengan cara mengajar (learning by teaching) menyebabkan mereka mampu
mengingat sebanyak 90% materi.

Menurut Charles C. Bonwell dan J.A. Eison (1991) seluruh bentuk pengajaran yang berfokus
pada siswa sebagai penanggung jawab pembelajaran adalah pembelajaran aktif. Jadi, menurut
kedua ahli tersebut, pembelajaran aktif mengacu kepada pembelajaran berbasis siswa. Dalam
hubungannya ini, Centre for Research on Learning and Teaching University of Michigan,
memberikan definisi yang lebih ketat lagi tentang pembelajaran aktif. Menurut lembaga tersebut,
pembelajaran aktif adalah suatu proses yang memberikan kesempatan kepada para siswa terlibat
dalam tugas-tugas pemikiran tingkat tinggi seperti menganalisis, melakukan sintesis dan
evaluasi.
Umumnya. Pembelajaran aktif individual diwujudkan dalam metode pemberian tugas mandiri
seperti menyusun karangan berupa cerpen, membuat puisi, membuat rangkuman, tugasc
membaca, membuat peta konsep, membuat diagram pohon, membuat resensi, meringkas,
menyusun karya ilmiah dan lain-lain, yang dapat dikerjakan siswa secara mandiri. Dalam
hubungan ini, kita akan sedikit membahas tentang pembelajaran aktif individual semacam ini.
Dari pembahasan di atas, terlihat bahwa pembelajaran aktif lebih menekankan pada pendekatan
pembelajaran, dengan esensi mengaktifkan siswa dalam pembelajaran, yang dilaksanakan
dengan strategi pembelajaran berbasis siswa. Jumlha siswa dalam pembelajaran aktif bebas,
boleh perseorangan atau kelompok belajar, yang penting siswa harus aktif, sedangkan
manifestasinyadalam pembelajaran berkelompok dapat diwujudkan dengan metode pembelajaran
kolaboratif, pembelajaran kooporatif, pembelajaran berbasis masalah, dan pembelajaran berbasis
proyek. Oleh sebab itu, tidak ada sintaks khusus pembelajaran aktif, bergantung pada metode
yang dipilih lebih lanjut. Sintaks adalah nama lain dari urutan langkah-langkah pembelajaran.
Terkait pembelajaran aktif, ada suatu hal yang patut dipahami berupa konsep yang
dikembangkan oleh L. Dee Fink. Menurut Fink (1999), pembelajaran aktif terdiri dari dua
komponen utama yakni, komponen pengalaman dan komponen dialog. Lebih lanjut komponen
pengalaman terdiri dari pengalaman melakukan (doing) dan pengalaman mengamati (observing),
sedangkan komponen dialog terdiri dari dialog dengan diri sendiri (dialogue with self) dan dialog
dengan orang lain (dialogue with others)
Dalam komponen melakukan (doing), siswa benar-benar melakukan sesuatu secara nyata oleh
dirinya sendiri, misalnya merancang dan melakukan eksperimen proses respirasi di sekolah,
meengarang cerpen atau puisi, membuat resensi, mengarang gurindam (dalam pembelajaran
bahasa indonesia), menyusun silsilah raja-raja Kesultanan Yogyakarta sejak perjanjian Giyanti
(sejarah), mendemonstrasikan bahwa kertas mengandung karbon (kimia), merancang dam
penampungan air (teknik), memimpin band sekolah (musik), presentasi oral (komunikasi), dan
sebagainya.
Dalam komponen mengamati (observing), siswa melihat dan mendengarkan ketika orang lain
melakukan sesuatu (doing something) atau berdemonstrasi atau memberi contoh gerakan
sesuatu. Guru olah raga memberi contoh bagaimana cara menggiring dan menendang bola
dengan baik, cara melakukan servis bola dalam permainan bola voli. Guru bioligi memberi
contoh bagaimana memindahkan anakan tanaman ke tempat yang lebih besar dan sebagainya.
Tindakan mengamati dapat dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung. Terjadinya
transaksi di pasar terkait pelajsran ekonomi atau IPS (di SD) dapat dipelajari siswa secara
langsung, atau dapat juga siswa mengamati secara tidak langsung kegiatan simulasi yang
dilakukan teman sekelasnya, atau melihatnya dari televisi, dari film video dan internet, dan lain
sebagainya.
Dialog dengan diri sendiri merupakan kegiatan refleksi terhadap suatu konsep pembelajaran
yang baru saja di lakukannyaatau diamatinya. Hal ini terkait dengan apa yang terjadi tatkala
siswa belajar berpikir secara reflektif terhadap suatu topik pembelajaran. Dengan melakukan apa
yang di sebut dengan thinking about my own thinking ini, siswa mengembara ke alam
abstraknya, mencoba mengingat kembali konsep terkait dengan konsep yang dipelajarinya, apa
kegunaan konsep tersebut, apa keterkaitannya dengan bidang studi secara keseluruhan, dan
sebagainya. Ini adalah contoh suatau metakognisi. Dalam hubungan ini guru dapat menugasi
siswa dalam skala kecil berupa membuat jurnal pertemuan/perkuliahan, sedangkan dalam skala
yang lebih besar misalnya menyusun portopolio pembelajaran. Dalam kasus lain, ia dapat
menuliskan apa saja yang telah dipelajarinya, bagaimana cara ia belajar untuk memahami bahan
ajar, dan sebagainya.
Dialog dengan orang lain dapat berupa kegiatan membaca buku, mendengarkan orang lain
brceramah, atau sedang menjelaskan sesuatu.dialog semacam ini abstrak dan sifatnya terbatas
karena tidak ada umpan balik serta pertukaran pemikiran. Fink menyebutnya sebagai partial
dialogue.
Jenis yang lain adalah dialog dalam diskusi, terutama dalam diskusi kelompok kecil. Hal ini
lebih bersifat dinamiskarena ada pertukaran pikiran dan masukan umpan balik. Disini guru dapat
mengembangkan cara-cara yang lebih kreatif, misalnya ketika karya wisata mengajak siswa
berdialog dengan narasumber, guide atau dalam penerapan metode pembicara tamu siswa dapat
berdialog dengan pakar atau narasumber yang sengaja diundang ke sekolah.
3. Peran Guru dalam Pembelajaran Aktif
Peran fungsional guru dalam pembelajaran aktif yang utama adalah sebagai fasilisator. Hal ini
sesuai dengan teori kontruktivisme. Fasilisator adalah seseorang yang membantu peserta didik
untuk belajar dan memiliki keterampilan-keterampilan yang diperlukan dalam mencapai tujuan
pembelajaran. Sebagai fasilisator guru menyediakan fasilitas pedagogis, psikologis, dan
akademik bagi pengembangan dan pembangunan struktur kognitif siswanya. Dengan kata lain,
guru wajib dan harus menguasai teori pendidikan dan metode pembelajaran serta mumpuni
dalam penguasaan bahan ajar agar pembelajaran aktif bergulir dengan lancar. Itulah kewajiban
mutlak guru abad XXI ini.
Fasilitasi dalam pembelajaran menggambarkan suatu proses dalam membawa seluruh seluruh
anggota kelompok untuk berpartisipasi dalam pembelajaran. Pendekatan ini berasumsi bahwa
setiap peserta didik memiliki sikap unik yang bernilai untuk saling dipertukarkan. Prinsip yang
harus dipegang disini adalah “Tanpa kontribusi dan kemampuan berbagai pengetahuan dari
setiap anggota kelompok, derajat pemahaman dan kemampuan merespons kelompok terhadap
masalah akan berkurang”.
• Seseorang yang mengetahui kekuatan dan kemampuan setiap anggota kelompok dan
membantunya untuk merasa nyaman dalam saling berbagi harapan, kepedulian, dan gagasan;
• Seseorang yang mendukung kelompok, memberikan partisipan rasa percaya diri dalam berbagi
dan mencoba gagasan-gagasan baru;
• Seseorang yang menyadari adanya beragam nilai dan kepekaan terhadap kebutuhan dan minat
yang berbeda dari setiap anggota kelompok. Perbedaan ini mungkin terkait jenis kelamin, usia,
ras, suku, status ekonomin, status sosial, dan lainnya;
• Seseorang yang memimpin dengan keteladanan melalui sikap, pembicaraan, pendekatan, dan
tindakan.
Dalam hubungan ini, Tylee (2000) menyatakan tugas pokok sorang fasilitator atau peran guru
pada saat tatap muka di kelas terutama, adalah:
• Menilai para siswa;
• Merencanakan pembelajaran
• Menimplementasikan rancangan pembelajaran; dan
• Melaksanakan evaluasi proses pembelajaran.
Dalam hubungannya dengan tugas menilai (mengases) siswa sebagai prasyarat awal agar
observasi terhadap siswa yang dinilai dapat secermat mungkin, guru harus berupaya akrab
dengan siswa. Dengan kata lain, ia mengenal dan mengetahui para siswanya dengan baik. Aspek
penting dari siswa yang harus dinilai antara lain lemauan belajar dan kecakapan siswa. Kedua hal
tersebut dapat membuka secara luas kesempatan belajar bagi siswa. Kemauan belajar siswa
terkait dengan nilai-nilai, sedangkan perasaan siswa terkait dengan proses pembelajaran. Setiap
kecakapan siswa dalam belajar mengacu kepada pemaham belajar dan keterampilan yang
diperlukan untuk menyelesaikan tugas-tugas pembelajaran, sedangkan mengetahui sistem nilai
yang dipegang para siswa diperlukan untuk mengetahui hal-hal apakah yang penting dan
menarik minat mereka.
Tugas fasilitator yang kedua, yakni menyusun rencana pembelajran, Rencana pembelajaran dapat
disusun lebih baik oleh para guru jika para guru telah memahami apa yang akan dinilai dari para
siswanya. Selain itu, rancangan pembelajaran juga harus dibuat sesuai dengan kebutuhan dan
minat para siswa. Dari hal tersebut, para guru dapat menemukan output pembelajaran sebagai
hasil dari saling menunjang antara isi bahan ajar, teori personal tentang pengajaran dan
pembelajaran yang dianut oleh guru, serta hasil penilaian guru terhadap kebutuhan dan minat
siswa.
Terkait implementasi rancangan pembelajaran, hal utama yang harus diperhatikan oleh guru
adalah bagaimana cara mengelola kelas (classroom management) dengan sebaik-baiknya, serta
mengimplementasikan strategi pembelajaran yang mengakomodasikan berbagai gaya belajar
siswa. Dalam hal ini termasuk bagaimana mengembangkan iklim emosional dari kelas dan
kualitas interaksi antara guru dengan para siswa.
Tugas yang terakhir dari fasilitator adalah melakukan evaluasi terhadap proses pembelajaran.
Dalam hal ini, guru sebagai fasilitator harus merivisi hasil asesmen siswa. Maksudnya hasil
asesmen kelas harus menjadi bahan perbaikan bagi pembelajaran berikutnya. Iklim emosi yang
terbangun pada saat pembelajaran harus menjadi perhatian pokok dari evaluasi yang
berkesinambungan, sehingga masalah-masalah yang timbul dapat diidentifikasi dan rancangan
pembelajaran yang dikembangkan selanjutnya telah mengakomodasikan penyelesaian masalah-
masalah tersebut.
Dalam konteks fasilitator ini, minimal ditemukan ada delapan peran alternatif yang dapat
dimainkan guru sesuai dengan kondisi dan situasi pembelajaran (Northern Ireland
Curriculum,2000), yakni sebagai :
1. Fasilitator netral (neutral facilitator), fasilitator yang membuat kelompok belajar mampu
mengeksplorasikan berbagai pandangan siswa tanpa menyatakan pendapatnya sendiri;
2. “Si Durna” (devil’s advocate), pengacara lancung, fasilitator yang secara sengaja
memposisikan dirinya berbeda pandangan dengan kelompok siswa, dengan tujuan agar situasi
diskusi lebih hidup dan muncul berbagai argumen dari siswa untuk mempertahankan
pendapatnya masing-masing.
3. Penyampai pandangan (declared interest), fasilitator yang pada suatu waktu yang tepat dan
memungkinkan juga menyampaikan juga pendapat pribadinya sehingga kelompok siswa
mengetahui pandangannya.
4. Sekutu (ally), fasilitator mendukung pandangan siswa tertentu, biasanya mendukung sebagian
kecil anggota kelompok atau subkelompok yang menjadi minoritas dalam kelompok.
5. Pemberi tahu pandangan resmi (official view), fasilitator memberitahukan kepada anggota
kelompok, pandangan dari organisasi resmi atau aturan dan hukum-hukum tentang isu terkait.
6. Penantang (challenger), fasilitator melalui sejumlah pertanyaan, memberikan tantangan
kepada siswa untuk mengekspresikan pendapatnya dan mendorong siswa untuk berani
menegaskan posisi pandangannya;
7. Provokator (provokator), fasilitator membawa argumen, pandangan dan informasi yang
diketahuinya untuk memprovokasi kelas bagi hadirnya diskusi yang lebih bergairah, serta
mempresentasikan argumen, pandangan, dan informasinya tersebut di depan kelas dengan penuh
keyakinan;
8. Pemain peran (in-role), fasilitator memainkan peran tertentu yang relevan dengan topik diskusi
(misalnya menjadi seorang kiai atau ustad, seorang pendeta, menjadi politikus, dalam konteks
peran ini fasilitator juga boleh menjadi karikaturis).
Untuk dapat memainkan berbagai peran tersebut seorang fasilitator harus menguasai sejumlah
kecakapan tertentu. Kecakapan tersebut antara lain adalah sebagai berikut.
a. Kecakapan mendengar, yaitu seorang fasilitator harus mampu mendengarkan dengan baik dan
hati-hati, dan secara kreatif memungut aspek-aspek positif dari suatu masalah.
b. Kecakapan mengamati, yaitu kemampuan untuk melihat apa yang sesungguhnya terjadi serta
memantau pelaksanaan kerja kelompok secara objektif.
c. Kepekaan/empatim yaitu kecakapan untuk melihat masalah dari titik pandang peserta didik.
Memahami perasaannya, gagasan, dan nilai-nilai mereka serta lebih berfokus kepada struktur
kerja kelompok daripada kepada pribadi dan kompetensi siswa.
d. Mendiagnosa, yaitu kecakapan untuk mendefinisikan masalah dan memilih intervensi serta
tindakan bagi penyelesaian masalah.
e. Mendukun/mendorong yaitu kecakapan untuk menyediakan indikator baik verbal maupun
nonverbal untuk memberikan dorongan, menyetujui, melakukan apresiasi, dan menyatakan
kepedulian. Hal semacam ini diperlukan untuk membantukelompok dalam mencari penyelesaian
masalah.
f. Menantang, yaitu kecakapan untuk melakukan konfrontasi menyatakan ketidaksetujuan, atau
memberhentikan proses yang menyimpang dari tujuan tanpa bertindak kasar.
g. Keterbukaan, yaitu kecakapan untuk mengundang adanya dialog, menerima umpan balik dan
kesiapan dalam mengamati sikap, nilai-nilai, dan gagasan setiap peserta didik, serta kemampuan
mengubah sikap, nilai, dan ide milik peserta didik tersebut jika diperlukan.
h. Menjadi model, yaitu kecakapan untuk menjadikan dirinya sebagai model bagi kelompok.
Sebagai seorang fasilitator, harus mampu membangun lingkungan pembelajaran yang kondusif
bagi terselanggaranya pembelajaran aktif yang baik.
Harrison (1998), dalam Tylee (2000) menghadirkan model SPACE bagi terciptanya kondisi
pembelajaran yang optimal. Pada prinsipnya, model yang harus dibangun guru tersebut adalah
membuat para siswanya mampu memanifestasikan hal-hal sebagai berikut:
• Self-affirmation, yaitu peserta didik harus memandang dirinya sendiri sebagai peserta didik
yang efektif, sedangkan tugas guru adalah memberikan masukan-masukan yang mampu
memperkuat pandangan tersebut.
• Personal meaning, yaitu siswa mampu menemukan makna pembelajaran, artinya pembelajaran
relevan dengan kebutuhan dirinya.
• Aktif learning, yaitu siswa aktif selama kegiatan pembelajaran, dapat berupa secara fisik
melakukan sesuatu atau secara intelektual melakukan sesuatu (sebagai abstraksi dari peserta
didik yang bersifat reflektif).
• Collaborative, yaitu siswa mampu berkolaborasi satu sama lain dalam proses pembelajaran dan
tidak berpandangan bahwa belajar itu merupakan pengalaman terisolasi.
• Empowering, yaitu siswa mampu membentuk proses belajar, mengontrol apa yang sudah
dipelajarinya dan mampu mengontrol arah pembelajaran.
Berkaitan dengan hal ini, Clarke (2005) menyatakan bahwa fasilitator yang baik harus memiliki
karakteristik pribadi tertentu yang mampu mendorong anggota kelompok untuk berpartisipasi.
Karakteristik pribadi itu termasuk sikap rendah hati, murah hati, dan kesabaran yang
digabungkan dengan pemahaman, kesediaan menerima dan menyetujui (afirmasi). Tekni-teknik
yang sering dilaksanakan oleh seorang fasilitator yang baik, adalah sebagai berikut:
• Meminta anggota kelompok untuk saling berbagi informasi melalui paparan yang
menggunakan gambar-gambar, diagram atau bantuan media visual lain ini akan membantu
anggota yang lambat belajar.
• Membagi kelompok menjadi kelompok-kelompok kecil untuk mendorong keberanian anggota
yang pemalu atau bersikap tertutup untuk berpartisipasi.
• Menggunakan diskusi kelompok dan kegiatan kelompok yang menyediakan kesempatan bagi
peserta yang lambat belajar untuk aktif terlibat dalam proses pembelajaran.
• Meminta kelompok untuk menyetujui aturan-aturan dasar permainan seperti tidak melakukan
interupsi saat anggota lain sedang berbicara, menghargai pandangan yang berbeda, serta
menyepakati keputusan yang telah disepakati oleh sebagian besar anggota kelompok.
• Memebrikan tugas khusus bagi peserta yang dominan sehingga ada ruang dan waktu
berpartisipasi bagi yang lain sambil menjaga agar setiap orang terlibat aktif.
• Menangani konflik dengan cara dan pendekatan yang sensitif, sehingga setiap perbedaan yang
ada selalu memiliki nilai dan dihargai`

E. The Accelerated Learning


The accelerated learning adalah pembelajaran yang dipercepat. Konsep dasar dari pembelajaran
ini adalah bahwa pembelajaran itu berlangsung secara cepat, menyenangkan, dan memuaskan.
Pemilik konsep ini, Dave Meier, menyarankan kepada guru agar dalam mengelola kelas
menggunakan pendekatan Somatic, Auditory, Visual, dan Intellectual (SAVI). Somatic
dimaksudkan sebagai learning by moving and doing (belajar dengan bergerak dan berbuat).
Auditory adalah learning by talking and hearing (belajar dengan berbicara dan mendengarkan).
Visual artinya learning by observing and picturing (belajar dengan mengamati dan
menggambarkan). Intellectual maksudnya adalah learning by problem solving and reflecting
(belajar dengan pemecahan masalah dan melakukan refleksi).
Bobbi De Porter menganggap accelerated learning dapat memungkinkan siswa untuk belajar
dengan kecepatan yang mengesankan, dengan upaya yang normaldan dibarengi kegembiraan.
Cara ini menyatukan unsur-unsur yang sekilas tampak tidak mempunyai persamaan, misalnya
hiburan, permainan, warna, cara berpikir positif, kebugaran fisik, dan kesehatan emosional.
Namun, sumua unsur ini bekerja sama untuk menghasilkan pengalaman belajar yang efektif
(DePorter, Hemacki, 2000).

F. Quantum Learning
Quantum didefinisikan sebagai interaksi yang mengubah energi menjadi cahaya. Semua
kehidupan adalah energi. Sedang learning artinya belajar. Belajar bertujuan meraih sebanyak
cahaya: interaksi, hubungan, dan inspirasi agar menghasilkan energi cahaya. Dengan demikian
quantum learning adalah cara penggubahan bermacam-macam interaksi, hubungan dan interaksi
yang ada di dalam dan disekitar moment belajar. (Bobbi DePorter dan Mike Hernacki, 2000).
Dalam praktiknya, quantum learning menggabungkan sugetologi, teknik pemercepatan belajar
dan neurolinguistik dengan teori, keyakinan, dan metode tertentu (Bobbi DePorter dan Mike
Hernacki, 2000).
Quantum learning mengasumsikan bahwa siswa, jika mampu menggunakan potensi nalar dan
emosinyasecara jitu, akan mampu membuat loncatan prestasi yang tidak bisa terduga
sebelumnya. Dengan metode belajar yang tepat, siswa dapat meraih prestasi belajar secara
berlipat ganda. Salah satu konsep dasar metode ini adalah belajar itu harus mengasyikan dan
berlangsung dalam suasana gembir, sehingga pintu masuk untuk informasi baru akan lebih lebar
dan terekam dengan baik.
Quantum learning berusaha mengubah suasana belajar yang monoton dan membosankan ke
dalam suasana belajar yang meriah dan gembira dengan memadukan potensi fisik, psikis, dan
emosisiswa menjadi suatu kesatuan kekuatan yang integral. Quantum learning berisi prinsip-
prinsip sistem perancangan pengajaran yang efektif, efisien, dan progresif berikut metode
penyajiannya untuk mendapatkan hasil belajar yang mengagumkan dengan waktu yang sedikit.
Dalam praktik quantum learning bersandar pada asas utama bawalah dunia mereka ke dunia kita,
dan antarkan dunia kita ke dunia mereka. Dengan demikian pembelajaran merupakan kegiatan
full-contact yang melibatkan sesuai aspek kepribadian siswa (pikiran, perasaan dan bahasa
tubuh) di samping pengetahuan, sikap, dan keyakinan sebelumnya, serta presepsi masa depan.
Semua ini harus dikelola sebaik-baiknya dan diselaraskan hingga mencapai harmoni
(diorkestrasi).
Ketika mengorkestrasi, hal yang perlu didengar adalah bahwa segala sesuatu di ruang kelas itu
“berbicara” suasana, aturan-aturan dan kesepakatan-kesepakatannya, tata letak sarananya dan
efek aroma serta bunyi yang ada. Setiap detail mencerminkan suatu lingkungan kelas yang
bertaburan isyarat yang, disadari atau tidak, akan diikuti oleh siswa. Semua isyarat ini mewarnai
pengharapan siswa dan seluruh pengalaman belajar mereka. Oleh karena itu, ruang kelas ini
perlu “didengarkan” dan kemudian dimanfaatkan dalam pembelajaran.
“Panggung” kelas atau pentas telah ditata. Kini saatnya para pemain (siswa dan guru) menggelar
“pertunjukkan” nya. Materi pelajaran akan disampaikan sesuai skenario “perencanaan belajar
holistik” . Prestasi ini harus efektif, ringkas tapi bergairah, anggun, dan menarik. Tiap bagian
dari materi pelajaran terasa dinamis dan menggebu. Penyaji yang piawai memiliki strategi dan
teknik yang jelas untuk memastikan bahwa kajian mereka berdampak. Ini dapat dicapai bila
potensi siswa dan potensi pelajaran disusun secara harmonis dan padu, sembari mengikuti
skenario rencana pembelajaran yang dinamis. Cara guru memfasilitasi siswa dapat menghasilkan
prestasi luar biasa. Guru dapat memperkaya kehidupan siswa dengan cara memperluas koleksi
keterampilan belajar dan keterampilan hidup mereka.

G. Contextual Teaching Learning (CTL)


1) Hubungan Konstrutivisme dan Kontekstual
Fondasi utama pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan adalah
kontruktivisme. Bertitik tolak pada proposisi-proposisi kontruktivisme berbagai model
pembelajaran dikembangkan yakni, model pembelajaran langsung, pembelajaran kooperatif, dan
pembelajaran berbasis masalah. Aplikasi model pembelajaran berhubungan erat dengan
pedekatan pembelajaran. Pendekatan merupakan perspektif mengenai tuk pembelajaran berbagai
strategi maupun metode pembelajaran untuk mengaplikasikan model-model pembelajaran.
Pendekatan yang cocok untuk pembelajaran berbasis konstruktivisme adalah kontekstual.
Asumsi penting dari konstruktivisme adalah situated cognition ( kognisi yang ditempatkan).
Konsep ini mengacu pada ide bahwa pemikiran selalu ditempatkan atau disituasikan dalam
konteks sosial dan fisik, bukan dalam pikiran seseorang. Pengetahuan diletakkan dan
dihubungkan dengan konteks dimana pengetahuan tersebut dikembangkan. Cobern menyatakan
konstruktivisme bersifat kontekstual. Berdasarkan pemikiran-pemikiran itu, maka pembelajaran
harus diciptakan semirip mungkin dengan situasi “dunia nyata.” Pembelajaran yang dimaksud
adalah pembelajaran kontekstual.
Proses kontekstual beraksentuasi pada pemrosesan informasi, individualisasi, dan interaksi
sosial. Pemrosesan informasi menyatakan bahwa peserta didik mengolah informasi,
memonitornya, dan menyusun strategi berkaitan dengan informasi tersebut. Inti pemrosesan
informasi adalah proses memori dan proses berpikir. Individualisasi beraksentuasi pada proses
individu membentuk dan menata realitas keunikannya. Mengajar dalam hal tersebut adalah
upaya membantu individu untuk mengembangkan sesuatu yang produktif dengan lingkungannya
dan memandang dirinya sebagai pribadi yang cakap, sehingga mampu memperkaya hubungan
antar-pribadi dan lebih cakap dalam pemrosesan informasi. Interaksi sosial menekankan pada
hubungan individu dengan orang lain atau masyarakat.interaksi sosial memusatkan pada proses
di mana kenyataan ditawarkan secara sosial.
2) Pengertian Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning)
Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep belajar yang
membantu guru untuk mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata
siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran
diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk
kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi
pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil (Nurhadi; Yasin, Burhan; Senduk, A Gared,
2004).
Dalam kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencpai tujuannya. Maksudnya,
guru lebih banyak berurusan dengan sterategi daripada memberi informasi. Tugas guru
mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan suatu yang baru
bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru datang dari “menemukan sendiri” bukan dari “apa
kata guru”. Begitulah peran guru dikelas dengan pendekatan kontekstual.
Pendekatan kontekstual memiliki tujuh komponen utama, yaitu konstruktivisme
(constructivisme), menemukan (inquiri), bertanya (questioning), masyarakat belajar (learning
community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan penilaian yang sebenarnya
(authentic assessment). Pendekatan ini dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidang studi
apa saja, dan kelas yang bagaimanapun keadaannya.

Penerapan CTL dalam kelas cukup mudah. Secara garis besar, langkahnya adalah sebagai berikut
ini:
1. Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri,
menemukan sendiri, dan mengkontruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya.
2. Langsungkan sejauh mungkin kegiatan inquiri untuk semua topuk.
3. Kembangkan sikap ingin tahu siswa dengan bertanya.
4. Ciptakan “masyarakat belajar” (dalam kelompok-kelompok).
5. Hardirkan model sebagai contoh pembelajaran.
6. Lakukan refleksi di akhir pertemuan.
7. Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara.
Tampaknya, kecenderungan masa depan yang semakin rumit dan kompleks mengharuskan
pendidikan untuk mampu menyiapkan siswa dalam menghadapi dunia nyata. Di sekolah, perlu
disadarkan tentang harapan yang mereka pikul, tantangan yang mereka hadapi, dan kemampuan
yang perlu mereka kuasai. Sekolah yang baik, menurut Dryden dan Vos, adalah sekolah tanpa
kegagalan. Semua siswa teridentifikasi bakat, keterampilan, dan kecerdasannya, sehingga
memungkinkan mereka menjadi apa saja yang mereka inginkan.
Setiap siswa memiliki gaya belajar unik, dann sekolah seharusnya dapat melayaninya. Sebagian
siswa lebih mudah belajar secara visual (melihat diagram dan gambar). Sebagian lain mungkin
dengan menggunakan indra perasa (haptic), atau menggerakkan tubuh (kinestetik). Beberapa
siswa berorientasi pada teks tercetak (membaca buku). Yang lainnya adalah kelompok interaktif
(berinteraksi dengan siswa-siswa lain).
Sama dengan Humanizing the Classroom yang menghargai adanya perbedaan dan keunikan yang
dimiliki oleh siswa, demikian juga dengan experiential learning yang dikembangkan oleh David
Kolb sangat memerhatikan adanya perbedaan atau keunikan yang dimiliki oleh masing-masing
individu.
Proses belajar dalam experiential learning juga didasarkan pada pengalaman, sama seperti
contextual teaching and learning (CTL). Kedua model belajar tersebut mempunyai konsep bahwa
ilmu pengetahuan diperoleh dari memahami dan mentransformasi pengalaman.
3) Dasar Teori Model Pembelajaran Konstektual (CTL)
Menurut Johnson (2004) terdapat tiga pilar dalam sistem CTL, yaitu sebagai berikut:
1. CTL mencerminkan prinsip kesalingtergantungan. Kesalingtergantungan mewujudkan diri,
misalnya ketika para siswa bergabung untuk memecahkan masalah dan ketika para guru
mengadakan pertemuan dengan teman sejawatnya. Hal ini tampak jelas ketika subjek yang
berbeda dihubungkan, dan ketika kemitraan menggabungkan sekolah dengan Dinas Purbakala
dan komunitas.
2. CTL mencerminkan prinsip diferensiasi. Diferensiasi menjadi nyata ketika CTL menantang
para siswa untuk saling menghormati keunikan masing-masing, untuk menghormati perbedaan-
perbedaan, untuk menjadi kreatif untuk bekerja sama, untuk menghasilkan gagasan dan hasil
baru yang berbeda, dan untuk menyadari bahwa keragaman adalah tanda pemantapan dan
kekuatan.
3. CTL mencerminkan prinsip pengorganisasian diri. Pengorganisasian diri terlihat ketika para
siswa mencari dan menemukan kemampuan dan minat mereka sendiri yang berbeda,
mendapatkan dari umpan balik yang diberikan oleh penilaian autentik, mengulas usaha-usaha
mereka dalam tuntuan tujuan yang jelas dan standar yang tinggi, dan berperan seta dalam
kegiatan-kegiatan yang berpusat pada siswa yang membuat hati mereka senang.
Landasan filosofis CTL adalah konstruktivisme, yakni belajar yang menekankan tidak sekedar
menghafal, melainkan mengontruksi pengetahuan di benak mereka sendiri.
4) Strategi Pembelajaran Kontekstual
Strategi pembelajaran merupakan kegiatan yang dipilih yang dapat memberikan fasilitas atau
bantuan kepada peserta didik untuk mencapai tujuan pembelajaran. Strategi berupa urut-urutan
kegiatan yang dipilih untuk menyampaikan metode pembelajaran dalam lingkungan tertentu.
Strategi pembelajaran mencakup juga pengaturan materi pembelajaran yang akan disampaikan
kepada peserta didik.
Berdasarkan Center for Occupational Research and Development (CORD) penerapan strategi
pembelajaran kontekstual di gambarkan sebagai berikut:
1. Relating, belajar dikaitkan dalam konteks pengalaman kehidupan nyata. Konteks merupakan
kerangka kerja yang dirancang guru untuk membantu peserta didik agar yang dipelajari
bermakna.
2. Experiencing, belajar adalah kegiatan “mengalami” peserta didik berproses secara aktif
dengan hal yang dipelajari dan berupaya melakukan eksplorasi terhadap hal yang dikaji,
berusaha menemukan dan menciptakan hal baru dari apa yang dipelajarinya.
3. Applying, belajar menekankan pada proses mendemonstrasikan pengetahuan yang dimiliki
dalam konteks dan pemanfaatannya.
4. Cooperating, belajar merupakan proses kolaboratif dan kooperatif melalui belajar belajar
berkelompok, komunikasi interpersonal atau hubungan intersubjektif.
5. Transferring, belajar menekankan pada terwujudnya kemampuan memanfaatkan pengetahuan
dalam situasi atau konteks baru.
Menurut Zahorik urut-urutan pembelajaran kontekstual adalah activating knowledge, acquiring
knowledge, understanding knowledge, applying knowledge, dan reflecting knowledge.
Pembelajaran kontekstual diawali dengan pengaktifan pengetahuan yang sudah ada atau telah
dimiliki peserta didik. Selanjutnya, perolehan pengetahuan baru dengan cara mempelajari secara
keseluruhan terlebih dahulu, kemudian memerhatikan detailnya. Integrasi pengetahuan baru ke
dalam pengetahuan yang sudah ada dan penyesuaian pengetahuan awal terhadap pengetahuan
baru merupakan urutan selanjutnya. Dengan cara merumuskan konsep sementara, melakukan
sharing, dan perevisian serta pengembangan konsep, integrasi, dan akomodasi menghasilkan
pemahaman pengetahuan. Urutan berikutnya adalah mempraktikkan pengetahuan yang telah
dipahami dalam berbagai konteks dan melakukan refleksi terhadap strategi pengembangan
selanjutnya terhadap pengetahuan tersebut.
5) Komponen Pembelajaran Kontekstual
Ada tujuh komponen pembelajaran kontekstual yaitu konstruktivisme, inkuiri, bertanya
(questioning), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modelling), refleksi, dan
penilaian autektik.
1. Konstruktivisme
Belajar berdasarkan konstruktivisme adalah “mengontruksi” pengetahuan. Pengetahuan
dibangun melalui proses asimilasi dan akomodasi (pengintegrasian pengetahuan baru terhadap
struktur kognitif yang sudah ada dan penyesuaian struktur kognitif dengan formasi baru) maupun
dialektika berpikir thesa-antithesa. Proses konstruksi melibatkan pengembangan logika deduktif-
induktif-hipotesis-verifikasi. Belajarcdalam konteks konstruktivistik berangkat dari kenyataan
bahwa pengetahuan itu terstruktur. Pengetahuan merupakan jalinan secara integratif dan
fungsional dari konsep-konsep pendukungnya. Pemahaman arti atau makna strktur merupakan
tesis penting dari pembelajaran berbasis konstruktivisme. Belajar berbasis konstruktivisme
menekankan pemahaman pada pola dari pengetahuan. Belajar dalam konstruktivisme pada
pertanyaan “mengapa”.

2. Inkuiri
Kata kunci pembelajaran kontekstual salah satunya adalah “penemuan”. Belajar penemuan
menunjuk pada proses dan hasil belajar. Belajar penemuan melibatkan peserta didik dalam
keseluruhan proses metode keilmuan sebagai langkah-langkah sistemik menemukan penemuan
baru atau memferivikasi pengetahuan lama. Belajar penemuan megintegrasikan aktifitas belajar
peserta didik ke dalam metode penelitian sebagai landasan operasional melakukan investasi.
Dalam investigasi peserta didik tidak hanya belajar memperoleh informasi, namun juga
pemrosesan informasi. Pemrosesan ini tidak hanya melibatkan kepiawaian peserta didik
berdialektika berpikir fakta ke konsep, konsep ke fakta, namun juga penerapan teori. Tidak kalah
sebagai penting hasil pemrosesan informasi adalah kemampuan peserta didik memecahkan
masalahdan mengonstruksikannya ke dalam bentuk laporan atau bentuk lainnya sebagai bukti
tindak produktif peserta didik dari belajar penemuan. Prosedur inkuiri terdiri dari tahapan yaitu
melontarkan permasalahan, mengumpulkan data, dan verifikasi, mengumpulkan data dan
eksperimentasi, merumuskan penjelasan, dan menganalisis proses inkuiri.

3. Bertanya
Pembelajaran kontekstual dibangun melalui dialog interaktif melalui tanya jawab oleh
keseluruhan unsur yang terlibat dalam komunitas belajar. Dalam rangka objektivikasi
pengetahuan yang dibangun melalui intersubjektif, bertanya sangatlah penting. Kegiatan
bertanya penting untuk menggali informasi, mengonfirmasikan apa yang sudah diketahui, dan
mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya. Bertanya sangat penting untuk
melakukan elaborasi yaitu proses penambahan rincian, sehingga informasi baru akan menjadi
lebih bermakna. Melalui berbagai pertanyaan peserta didik dapat melakukan probing, sehingga
informasi yang diperolehnya lebih mendalam. Bertanya adalah proses dinamis, aktif, dan
produktif. Bertanya adalah proses fondasi dari interaksi belajar mengajar.

4. Masyarakat Belajar
Pembelajaran kontekstual menekankan arti penting pembelajaran sebagai proses sosial. Melalui
interaksi dalam komunitas belajar proses dan hasil belajar menjadi lebih bermakna. Hasil belajar
diperoleh dari berkolaborasi dan berkooperasi. Dalam praktiknya “masyarakat belajar” terwujud
dalam pembentukan kelompok kecil, pembentukan kelompok besar, mendatangkan ahli kekelas,
bekerja sama dengan kelas paralel, bekerja kelompok dengan kelas di atasnya, bekerja sama
dengan masyarakat.

5. Pemodelan
Pembelajaran kontekstual menekankan arti penting pendemonstrasian terhadap hal yang
dipelajari oeserta didik. Pemodelan memusatkan pada arti penting pengetahuan prosedural.
Melalui pemodelan peserta didik dapat meniru terhadap hal yang dimodelkan. Model bisa berupa
cara mengoprasikan sesuatu, contoh kaya tulis, melafalkan bahasa dan sebagainya.

6. Refleksi
Refleksi adalah bagian penting dari pembelajaran kontekstual. Refleksi merupakan cara untuk
melihat kembali, mengorganisir kembali, menganalisis kembali, mengklarifikasi kembali, dan
mengevaluasi hal-hal yang telah dipelajari.

7. Penilaian Autentik
Penilaian autentik adalah upaya pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran
perkembangan belajar peserta didik. Data dikumpulkan dari kegiatan nyata yang dikerjakan
peserta didik pada saat melakukan pembelajaran.

6) CTL: Berakar pada Sebuah Pandangan Baru


Penting bagi kita untuk melihat bagaimana cara pandang baru, yang muncul dari ilmu
pendidikan, mengubah sikap kita tentang pendidikan. Pedidikan tradisional menekankan
pengusaan dan manipulasi isi. Para siswamenghafalkan fakta, angka, nama, tanggal, tempat dan
kejadian; mempelajari mata pelajaran secara terpisah satu sama lain; dan berlatih dengan cara
yang sama untuk memperoleh kemampuan yang dasar menulis dan berhitung. Kita beranggapan
jika siswa berkonsentrasi hanya untuk menguasai isi, mereka pasti memperoleh informasi
mendasar tentang subjek yang mereka pelajari. Anggapan ini dapat dimengerti jika kita
mempertimbangkan pandangan yang kita warisi dari ilmu pengetahuan ke-18 yang mendominasi
pemikiran Barat sampai saat ini. Menurut pandangan ala Newton tersebut, tugas kita adalah
memandang keseluruhan sebagai tidak lebih dari jumlah baguan-bagiannyayang terpisah dan
berdiri sendiri. Ilmu biologi dan fisika modern telah mengubah cara pandang tersebut.
Penemuan ilmiah terbaru saat ini memberitahu kita bahwa justru hubungan antara bagian-bagian
tersebutlah yaitu konteksnya yang memberikan makna. Lebih jauh lagi, makna yang berasal dari
hubungan-hubungan itu membuat gabungan dari semua bagian itu melampaui sekadar jumlah
dari bagian-bagiannya, seperti halnya air yang medukung kehidupan mempunyai ciri melebihi
gabungan bagian-bagiannya, yaitu oksigen dan hidrogen. Semua kenyataan yang ada di dalam
alam semesta saling berhubungan dalam jejaring-jejaring, dan semua makna diturunkan dari
hubungan-hubungan tersebut. Ahli fisika teoretis dan kosmolog matematikal, Brian Swimme,
beserta rekannya, Thomas Berry, menekankan pola hubungan ini dengan mengatakan, “Ada
berarti berhubungan karena hubungan adalah ini dari keberadaan. Setiap partikel di alam semesta
terhubung dengan partikel lain di dalam semesta. Keterasingan sebuah partikel adalah
kemustahilan teoretis. Demikian juga dengan galaksi-galaksi, hubungan adalah fakta keberadaan.
Setiap galaksi secara langsung terhubung dengan ratusan miliar galaksi alam semesta. Tidak satu
benda pu berdiri sendiri tanpa adanya yang lain” (Swimme & Berry, 1992).
Ahli biologi Lynn Margulis, bersama Darion Sagan (1995), memperkuat pandangan tesebut. Dia
menjelaskan bahwa segala sesuatu di bumi adalah bagian dari sebuah jejaring hubungan. Hewan-
hewan “terkait satu dengan yang lain dan dengan lingkungan hidupnya”. Tumbuh-tumbuhan
menyediakan makanan dan tempat berlindung bagi hewan. Jamur, pendaur ulang bumi yang tak
kenal lelah, membantu mempertahankan kehidupan di permukaan bumi. Salahnya, manusia
menganggap diri mereka sebagai bagian yang terpisah dari kesatuan ini. Pada kenyataannya
mereka seperti halnya semua bentuk kehidupan dan komunitas mikroba, terus-menerus
berinteraksi dengan lingkungannya. Tidak ada kemandirian di alam. Alam adalah
kesalingbergantungan; alam terbentuk dari banyak sekali pola hubungan. Jadi, kata konteks di
pahami sebagai pola hubungan-hubungan di dalam lingkungan langsung seseorang.
Dipengaruhi oleh pandangan ilmiah baru abad ke-20 yang beranggapan bahwa kenyataan ada
dalam hubungan-hubungan, yang melihat bahwa suatu kesatuan melebihi dari jumlah bagian-
bagiannya, para pendidk sekara merasa perlu berpikir ulang tentang cara kita mengajar.
Pembelajaran dan pengajaran kontekstual, sebagai sebuah sistem mengajar, didasarkan pada
pikiran bahwa makna muncul dari hubungan antara isi dan konteksnya. Konteks memberikan
makna pada isi. Semakin banyak keterkaitan yang ditemukan siswa dalam suatu konteks yang
luas, semakin bermaknalah isinya bagi mereka. Jadi, sebagian besar tugas seorang guru adalah
menyediakan konteks. Semakin mampu para siswa mengaitkan pelajaran-pelajaran akademis
mereka dengan konteks ini, semakin banyak makna yang mereka dapatkan dari pelajaran
tersebut. Mampu mengerti makna dari pengetahuan dan keterampilan akan menuntun pada
penguasaan pengetahuan dan kterampilan.
Pembelajaran dan pengajaran kontekstual melibatkan para siswa dan aktivitas penting yang
membatu mereka mengaitkan pelajaran akademis dengan konteks kehidupan nyata yang mereka
hadapi. Dengan mengaitkan keduanya, para siswa melihat makna di dalam tugas sekolah. Ketika
para siswa menyusun proyek atau menemukan permasalahan yang menarik, ketika mereka
membuat pilihan dan menerima tanggungjawab, mencari informasi dan menarik kesimpulan,
ketika mereka secara aktif memilih, menyusun, mengatur, menyentuh, merencanakan,
menyelidiki, mempertanyakan, dan membuat keputusan, mereka mengaitkan isi akademis
dengan konteks dalam situasi kehidupan, dengan cara ini mereka menemukan makna.
Penemuan makna adalah ciri utama dari CTL. Di dalam kamus “makna” diartikan sebagai “arti
penting dari sesuatu atau maksud”. Ketika diminta untuk mempelajari sesuatu yang bermakna,
para siswa biasanya bertanya, “Mengapa kami harus mempelajari ini?”. Wajar sekali jika mereka
mencari makna, arti penting dan maksud, serta melihat dari tugas yang mereka terima. Pencarian
makna merupakan hal yang alamiah. Menurut psikolog terkemuka, Viktor E. Frankl, “Tujuan
utama seseorang bukanlah mencari kesenangan maupun menghindari rasa sakit, melainkan
melihat sebuah makna di dalam hidupnya. Ilmu syaraf memastikan adanya kebutuhan otak untuk
menemukan makna. Otak berusaha memberi arti bagi suatu informasi baru dengan cara
menghubungkannya dengan pengetahuan dan keterampilan yang sudah ada.
Ketika kita diminta melakukan sesuatu yang belum pernah kita lakukan sebelumnya, saat itu juga
kita mencoba mengingat kembali apakah kita pernah mengalami sesuatu yang serupa. Otak
berusaha menghubungkan tugas baru tersebut dengan tugas-tugas yang telah dikenalnya.
Contohnya, seseorang yang diundang untuk berselancar di atas salju akan berpikir, “Walaupun
aku belum pernah menggunakan papan selancar di atas salju, aku adalah pemain papan selancar
air yang berpengalaman, jadi aku akan mencobanya.” Begitu otak menemukan makna, struktur
fisiknya akan berubah seiring dengan pembentukan hubungan saraf (Diamond & Hopson, 1998;
Greenfield, 1997).
Ketika otak terus-menerus mencari makna dan menyimpan hal-hal yang bermakna, proses harus
melibatkan para siswa dalam pencarian makna. Proses mengajar harus memungkinkan para
siswa memahami arti pelajaran yang mereka pelajari. Seperti yang dikatakan filsuf terkenal,
Alfred North Whitehied, “Si anak harus menjadikannya (ide-ide tersebut) milik mereka, dan
harus mengerti penerapannya dalam situasi kehidupan nyata mereka pada saat yang sama”
(Whitehied, 1929a/1967). Pembelajaran dan pengajaran kontekstual meminta para siswa
melakukan hal itu. Karena CTL mengajak para siswa membuat hubungan-hubungan yang
mengungkapkan makna, CTL memiliki potensi untuk membuat para siswa berminat belajar dan,
seperti, yang dikatakan Whitehied, “tidak akan ada perkembangan mental tanpa adanya minat.
Minat adalah dasar dari perhatian dan pemahaman” (Whitehied, 1929a/1967).
Sebelum para pendidik setuju akan nilai penting utama yang diberikan oleh pembelajaran dan
pengajaran kontekstual terhadap makna, merereka berada di dalam bahaya salah pengertian
tentang mengapa CTL menguntungkan semua siswa. Mereka berada dalam bahaya
mendefinisikan CTL secara sendiri-sendiri dan tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan
seperti: Mengapa belajar di dalam konteks dapat membantu semua siswa menguasai materi
akademis? Mengapa SCANS (Secretary of Labor’s Commision on Achieving Necessary Skills)
benar dalam merekomendasikan agar mengenal dan lakukan dosatukan? Apakah asl-usul dari
CTL? Apakah tanggung jawab guru terhadap setiap siswa? Bagaimanakah pemikiran-pemikiran
kritis dan kreatif muncul di dalam CTL? Apakah CTL?. Buku ini menjawab pertanyaan tersebut.
7) Asal Mula CTL: Sebagai Gerakan Akar Rumput
Jika dipahami dan dilaksanakan dengan benar, CTL memiliki kemampuan untuk memperbaiki
beberapa kekurangan yang paling serius dalam pendidikan tradisional. Kekurangan-kekurangan
ini telah di gambarkan dalam berbagai laporan pemerintah selama lebih dari 15 tahun. Desakan
yang kuat untuk reformasi yang disuarakan pada 1983 dalam sebuah makalah, A Nation at Risk:
The Imperative for Educational Reform (Negara dalam Bahaya Perlunya dilakukan Reformasi
Pendidikan), lantas diikuti pertemuan tingkat tinggi mengenai pendidikan pada 1989 di
Charlottesville, Virgina, yang dihadiri oleh para gubernur negara bagian dan presiden Amerika
Serikat. Mereka yang menghadiri pertemuan tersebut menginginkan sasaran-sasaran nasional
harus telah dicapai pada tahun 2000. Sasaran-sasaran yang harus telah dicapai pada tahun 2000
itu, antara lain;
Semua anak di Amerika akan memulai sekolah dalam keadaan siap belajar
Tingkat kelulusan sekolah menengah atas akan meningkat hingga setidaknya 90%
Siswa-siswa Amerika akan lulus dari kelas empat, delapan, dan dua belas setelah
menunjukkan prestasi menonjol dalam peajaran-pelajaran yang menantang termasuk bahasa
Inggris, matematika, ilmu pengetahuan, sejarah, geografi; dan setiap sekolah di Amerika akan
menjamin semua siswa belajar menggunakan pikirannnya dengan baik untuk mempersiapkan diri
menjadi warga negara yang bertanggung jawab, untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan
selanjutnya, dan agar bisa menjadi kerja produktif di dalam ekonomi modern.
Siswa Amerika akan menjadi terunggul di dunia dalam prestasi ilmu pengetahuan dan
matematika.
Semua orang dewasa Amerika akan bisa baca-tulis dan akan memiliki pengetahuan dan
keterampilan yang dibutuhkan untuk bersaing di dalam ekonomi global dan menjalankan hak
serta tanggung jawab kewarganegaraan.
Semua sekolah di Amerika akan bebas narkoba dan bebas kekerasan, serta akan memberikan
lingkungan penuh disiplin yang kondusif untuk belajar (U.S. DOL, 1992).
Pada 1990-an, Commission on the Skills of American Workforce mendesak pencapaian
keunggulan yang dituangkan dalam America’s Choice: High Skills or Low Wage (Pilihan
Amerika: Keterampilan Tinggi atau Gaji Rendah). Antara 1991 dan 1993, Secretary of Labor’s
Commission or Achieving Necessary Skills (SCAN) mengeluarkan empat laporan yang
berpengaruh, salah satunya adalah Learning a Living : A Blueprint for High Perfomance.
Laporan ini menganjurkan diselenggarakannya reformasi yang langsung disambut oleh para
pendidik.
Sebagai tambahan bagi laporan-laporan pemerintah itu, beberapa buku diterbitkan untuk para
pendidik menggantikan metode yang sudah biasa mereka dengan tujuan dan strategiyang baru.
Tema yang dominan dikumandangkan dalam buku-buku dan laporan-laporan tersebut, suatu
tema yang harus menjadi perhatian masyarakat demokratis, yaitu bahwa semua siswa tidak
hanya mereka yang mengikuti kuliah empat tahun di perguruan tinggi layak mendapatkan
pendidikan yang berkualitas. Tema tersebut, yang pada awalnya mengambil bentuk gerakan
Tech Prep, menarik perhatian masyarakat.
Selama akhir 1980-an dan awal 1990-an, gerakan Tech Prep/Associate Degree (TPAD)
mendapatkan momentumnya (Hull,1993). Gerakan Tech Prep menegaskan bahwa semua siswa,
bukan hanya yang mengikuti empat tahun pendidikan di perguruan tinggi, harus bisa tidak hanya
mempelajari materi-materi akademis yang maju, tetapi juga mencapai struktur akademis yang
tinggi. Frasa ‘Tech Prep’ kemudian diartikan sebagai reformasi yang dirancang untuk memberi
mahasiswa bukab hanya keunggulan akademis, melainkan juga keterampilan teknis.
Tujuan program tersebut adalah agar siswa menengah atas mencapai standar akadenik yang
tinggi. Setiap siswa berhak untuk mempelajari tidak hanya keterampilan, tetapi juga materi
akademis. Gerakan Tech Prep ini dengan cepat memperoleh dukungan antara 1990 dan 1992
saja; sebelas latihan kerja Tech Prep diadakan di seluruh Amerika. Latihan-latihan kerja ini
mengutamakan pesan yang ditekankan dalam laporan-laporan SCANS: menggabungkan
pengetahuan dan keterampilan; mempelajari konsep-konsep abstrak dengan melakukan kegiatan
praktis; menghubungkan tugas sekolah dengan dunia nyata (Hull,1993).
Tech Prep didukung oleh para pendidik yang sangat tertarik akan akademik terapan, yang juga
dikenal sebagai “belajar dengan melakukan (Learning by Boing)”. Mungkin akan lebih dari
publikasi yang lain Learning a Leaving: A Blueprint for High Perfomance, sebuah laporan dari
Komisi SCANS, telah menyalakan minat terhadap akademik terapan. Pesan dari SCANS
menghimbau untuk mengaitkan mata pelajaran akademik dengan dunia nyata. “Pelajaran
seharusnya diberikan dalam konteks.’Belajar agar tahu’ tidak boleh dilepaskan dari ‘Belajar agar
bisa melakukan’ ”(Departemen Tenaga Kerja AS [U.S DOL], 1992a).
Kata “konteks” dalam imbauan SCANS di atas menghasilkan terminologi pembelajaran
kontekstual. Kata kontekstual kemudian secara alami menggantikan kata “terapan” karena
“terapan” terlalu sempit untuk mencakup inovasi mengejutkan yang dicapai oleh gerakn
reformasi akar rumput ini. Kontekstual yang lebih menyeluruh di dalam konteks menyatakan
kesalingterhubungan. Segala sesuatu terhubung, termasuk gagasan-gagasan dan tindakan.
Kontekstual juga mengarahkan pemikiran kita pada pengalaman. Ketika gagasan-gagasan
dialami, digunakan di dalam konteks, mereka memiliki makna.
Desakan SCANS agar dunia pendidikan menggunakan CTL, yang selalu digaungkan bersama
komunitas politeknik, mulai diterima oleh mereka yang mengajarkan materi akademik. Secara
naluriah, para pendidik tahu bahwa adalah wajar mengerjakan pelajaran-pelajaran abstrak seperti
matematika dan kimia dengan memberi mereka tugas-tugas praktis dan yang ada di alam nyata.
Para siswa yang mengikuti program, misalnya otomotif dan teknik mesin, selalu bisa menguasai
keterampilan-keterampilan teknis melalui pembelajaran praktek langsung. Sekarang, pesan-
pesan SCANS dan Tech Prep mendesak agar keterampilan-keterampilan akademis juga diajarkan
dengan cara yang sama. Menerapkan muatan akademis ke dalam situasi dunia nyata menjadi
strategi pengajaran utama dari banyak pengajar perguruan tinggi dan politeknik. Untuk mencoba
CTL dan gagasan-gagasan Tech Prep para instruktur kejuruan teknik dan akademis bergabung
untuk memadukan mata pelajaran politeknik dan akademik. Akhirnya, para guru ilmu
pengethauan alam, bahasa Inggris dan matematika merevisi ajaran-ajaran mereka untuk
menghubungkannya dengan minat dan bakat para siswa politeknik.
Tidak lama kemudian sekolah-sekolah biasa mulai menerapkan pengajaran dan belajar dalam
konteks jurusan yang mengarah ke bidang akademi dan bidang pekerjaan mulai muncul di
sekolah-sekolah kecil maupun besar di seluruh negeri. Penjadwalan mulai diatur untuk
memberikan para siswa waktu “learning by doing” dan menerapkan pelajaran-pelajaran dalam
kehidupan sehari-hari. Kelas-kelas interdisipliner yang terpadu membantu para siswa untuk
menghubungkan pelajran-pelajaran yang sepertinya terpisah. Dibandingkan dengan masa lalu,
sekarang para pelaku bisnis, industri dan organisasi-organisasi nirlaba lebih sering memulai
bekerja sama dengan sekolah-sekolah.
Sejak pihak-pihak di luar sekolah tersebut mulai membentuk kemitraan dengan para pendidik,
hal luar biasa terjadi. Frasa “sistem pendidikan” yang pada masa lalu hanya merujuk kepada para
pendidik dan proses pendidikan yang terorganisasi, kini memiliki makna baru. Frasa tersebut
mulai memasukkan para orang tua, pelaku bisnis, pemimpin-pemimpin serikat, agen-agen
nirlaba dan yang lainnya yang berperan langsung dalam membantu mendidik remaja Amerika.
Yang disebut dengan “sistem pendidikan” berubah menjadi keseluruhan anggota masyarakat. Ini
memang sudah seharusnya, mengingat tantangan-tantangan yang dihadapi oleh para pendidik
adalah juga tantangan bagi masyarakat.
Kemitraan yang memungkinkan para siswa menerapkan pelajaran akademis ke dalam tempat
kerja; pelajaran-pelajaran yang mengaitkan tugas sekolah dengan pengalaman sehari-hari;
Restrukturisasi sekolah yang memungkinkan “learning by doing” semua kegiatan ini
menunjukkan kekuatan dari pesan pokok CTL. Pesan itu adalah bahwa “learning by doing”
menyebabkan kita membuat keterkaitan-keterkaitan yang menghasilkan makna, dan ketika kita
melihat makna, kita menyerap dan menguasai pengetahuan dan keterampilan.
8) CTL: Sebuah Sistem yang Cocok dengan Otak
Otak orang dewasa yang sehat berbobot sekitar 1,5 kg, memiliki kekentalan seperti bubur susum
yang padat, berukuran dua kepalan tangan yang ditempelkan pada tulang-tulang jarinya, dan
cukup kecil untuk dapat dipegang di atas satu telapak tangan. Walaupun syaraf-syaraf di dalam
otak orang dewasa yang sehat terus membuat sambungan-sambungan sampai saat kematian, otak
tersebut membuat sambungan dengan kecepatan yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan
yang dilakukan syaraf otak anak kecil. Otak seorang anak membuat sambungan-sambungan saraf
dengan kecepatan yang luar biasa. Kapasitas yang luar biasa pada otak anak-anak dalam
membuat sambungan yang sangat banyak berarti bahwa belajar seharusnya adalah urusan pada
masa anak-anak dan bahwa sekolah-sekolah harus menyediakan lingkungan belajar yang kaya
bagi anak-anak, yang membantu otak mereka menjadi lebih kuat dan cepat.
Lingkungan di luar diri memberikan informasi yang membentuk struktur fisik otak. Untuk
memahami dan menghargai kekuatan lingkungan dalam mengubah struktur fisik otak, kita harus
memiliki pengetahuan dasar tentang bagaimana sel-sel otak berfungsi. Lingkungan memutuskan
hubungan seperti apa, jika ada, yang terjadi antar saraf. Sel saraf, yang merupakan unit struktur
dasar otak, terdiri dari tiga bagian; badan sel, dendrit, dan satu akson. Badan sel terdiri dari
sebuah nukleus (inti sel) yang merupakan pusat kendali sel tersebut. Dari badan sel menonjol
perpanjangan seperti cabang pohon yang pendek dan gemuk, yang disebut dendrit, yaitu nama
yang diambil dari bahasa Yunani yang berarti “pohon”. Dendrit menerima sinyal yang berasal
dari akson milik sel saraf yang lain. Ketika mereka menerima sinyal kuat, mereka
menyampaikannya ke badan sel, yang kemudian meneruskan pesanji melalui serat panjang yang
bernama akson ke sel lain.

Sebuah sel saraf hanya memiliki sebuah akson yang terbentuk serat panjang kuat yang
memanjang dari badan sel dan membawa sinyal elektrokimia keluar menuju dendrit sel yang lain
bertugas menghubungkan bagian otak.”Terlihat sangat tangguh, tetapi rentan kembang gula,
bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi, sementara pada saat yang sama mampu
merasakan jalan yang ditempuhnya dengan menggunakan ujung beralurnya yang berombak-
ombak dan berputar ketika mereka membuat kemajuan yang tak terbendung” (Greenfield,1997),
akson bergerak menuju sel saraf yang ditujunya. Seperti halnya kabel listrik yang mampu bekerja
maksimal jika dilapisi dengan plastik isolasi, demikian juga akson memerlukan lapisan myelin,
yaitu sebuah substansi lemak, agar dapat bekerja secara efisien.
Jika sebuah rangsangan elektrik berjalan menyusuri akson, akan mencapai sebuah celah yang
bernama sinapsis. Celah sinapsis memisahkan ujung akson suatu sel saraf dengan dendrit sel
saraf yang lain. Sinyal harus menyeberangi celah ini. Hal itu akan terjadi jika rangsangan listrik
di dalam sebuah akson menyebabkan terbentuknya paket-paket yang terletak di titik-titik ujung
akson yang berbentuk seperti bantal. Paket-paket tersebut membuka untuk melepaskan molekul-
molekul kimia yang dikenal sebagai neurotransmiter ke dalam cairan encer di dalam celah.
Neurotransmiter kemudian menyebrangi celah tersebut dan mengantarkan sinyal dari sel saraf
menuju dendrit yang menunggu. Lingkungan kelas harus membantu otak membuat hubungan
sinapsis. Ketika hubungan sinapsis terjadi, jalan-jalan saraf yang kompleks akan terbentuk dan
meningkatkan kekuatan, kecepatan, dan kecerdasan otak (IQ). Karena lingkungan yang cocok
dengan otak menghasilkan hubungan-hubungan sinapsis, anak-anak akan berhasil belaja dalam
lingkungan itu.
Strategi Pembelajaran Kontruktivisme
Diposkan oleh Rini Andriani - Konstruktivisme, Strategi Pembelajaran

Strategi Pembelajaran Kontruktivisme - Strategi adalah pendekatan secara keseluruhan yang berkaitan
dengan pelaksanaan gagasan, perencanaan, dan eksekusi sebuah aktivitas dalam kurun waktu tertentu. Di
dalam strategi yang baik terdapat koordinasi tim kerja, memiliki tema, mengidentifikasi faktor pendukung
yang sesuai dengan prinsip-prinsip pelaksanaan gagasan secara rasional, efisien dalam pendanaan, dan
memiliki taktik untuk mencapai tujuan secara efektif.

Maka pada kesempatan kali ini, situs Dunia Pembelajaran akan share mengenai bagaimana strategi
pembelajaran konstruktivisme. Setelah pada postingan-postingan sebelumnya situs Dunia Pembelajaran
telah share mengenai pendekatan, prosedur dan kompetensi-kompetensi yang dikembangkan dalam
pembelajaran konstruktivisme.

Mengenai pendekatan, prosedur, dan kompetensi-kompetensi yang dikembangkan dalam pembelajaran


konstruktivisme, pembaca yang budiman bisa baca postingan:

 Pendekatan konstruktivisme dalam Pembelajaran


 Prosedur Pembelajaran Konstruktivisme
 Kompetensi dalam Pembelajaran Konstruktivisme

Macam-Macam Strategi Pembelajaran Konstruktivisme


Dalam strategi pembelajaran konstruktivisme, minimal ada dua macam strategi yaitu, strategi langsung
atau tatap muka dan strategi tidak langsung atau non tatap muka. Untuk lebih jelasnya, simak uraiannya
sebagai berikut:

Strategi Langsung (Tatap Muka)

Secara umum tatap muka terdiri dari tiga bagian, yaitu:

 Pendahuluan:

Memberikan "orientasi" dan "penggalian ide" untuk mengetahui pra-konsepsi pebelajar.

 Inti:

Merupakan bagian terbesar pembelajaran, digunakan untuk menfasilitasi "restrukturisasi ide" mengarah
ke perbaikan konsep, pembelajar menilai apakah ide-ide itu sudah mendekati konsep ilmiah yang
sesungguhnya. Selanjutnya memberi kesempatan kepada pebelajar untuk "mengaplikasikan ide-ide" yang
baru dipelajari untuk memecahkan berbagai masalah. Peman pebelajar atas ide-ide itu sebenamya baru,
namun akan mantap setelah digunakan untuk memecahkan masalah.

 Penutup:

Melakukan "review perubahan ide" untuk membandingkan ide yang telah dipelajari dengan ide awal yang
muncul saat penggalian ide.

Advertisement
Strategi Tidak Langsung (Non Tatap Muka)

Dalam pembelajaran non tatap muka "restrukturisasi ide" dan "aplikasi ide" dapat terus difasilitasi;
bedanya proses pembelajaran pebelajar, tanpa pengawasan pembelajar. Tugasnya bisa bersifat terstruktur
(sesuai dengan perencanaan pembelajar), dapat juga mandiri (sesuai dengan minat masing-masing
pebelajar). Secara skematik strategi pembelajaran yang mengadopsi konstruktivisme disajikan pada
gambar berikut:

Gambar. Strategi pembelajaran

Demikianlah uraian mengenai strategi pembelajaran konstruktivisme. Semoga dapat membantu dan
bermanfaat.

Anda mungkin juga menyukai