Anda di halaman 1dari 3

Bahaya Hadits Dla’if Dan

Maudhu’ (Palsu)
Dikirim oleh Kontributor || Rabu, 06 Desember 2006 - Pukul: 04:01 WIB

Di antara bencana besar yang menimpa kaum Muslimin sejak periode-periode pertama
adalah tersebar luasnya hadits-hadits Dla’if (lemah) dan Mawdlu’ (palsu) di tengah
mereka. Tidak ada seorang pun yang dikecualikan di sini sekalipun mereka adalah
kalangan para ulama mereka kecuali beberapa gelintir orang yang dikehendaki Alloh
‘Azza wa Jalla, di antaranya para imam hadits dan Nuqqaad (Para Kritikus hadits)
seperti Imam al-Bukhary, Ahmad, Ibn Ma’in, Abu Hatim ar-Razy dan ulama lainnya.

Penyebaran yang secara meluas tersebut mengakibatkan banyak dampak negatif, di


antaranya ada yang terkait dengan masalah-masalah aqidah yang bersifat ghaib dan di
antaranya pula ada yang berupa perkara-perkara Tasyri’ (Syari’at).

Adalah hikmah Alloh ‘Azza wa Jalla Yang Maha Mengetahui, bahwa Dia tidak
membiarkan hadits-hadits yang dibuat-buat oleh orang-orang yang benci terhadap
agama ini untuk tujuan-tujuan tertentu menjalar ke tubuh kaum Muslimin tanpa
mengutus orang yang akan menyingkap kedok yang menutupi hakikatnya dan
menjelaskan kepada manusia permasalahannya. Mereka itulah para ulama Ahli hadits
dan pembawa panji-panji sunnah Nabawiyyah yang didoakan Rasululloh Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam sabdanya, yang artinya: “Semoga Alloh mencerahkan
(menganugerahi nikmat) seseorang yang mendengarkan perkataanku lalu menangkap
(mencernanya), menghafal dan menyampaikannya. Betapa banyak orang yang
membawa ilmu tetapi tidak lebih faqih (untuk dapat menghafal dan
menyampaikannya) dari orang yang dia sampaikan kepadanya/pendengarya (karena
ia mampu menggali dalil sehingga lebih faqih darinya).” (HR: Abu Daud dan at-
Turmudzy yang menilainya shahih).

Para imam tersebut telah menjelaskan kondisi kebanyakan hadits-hadits tersebut dari
sisi keshahihan, kelemahan atau pun kepalsuannya dan telah membuat dasar-dasar
yang kokoh dan kaidah-kaidah yang mantap di mana siapa saja yang menekuni dan
mempelajarinya secara mendalam untuk mengetahuinya, maka dia akan dapat
mengetahui kualitas dari hadits apa pun meski mereka (para imam tersebut) belum
memberikan penilaian atasnya secara tertulis. Itulah yang disebut dengan ilmu Ushul
Hadits atau yang lebih dikenal dengan Ilmu Mushthalah Hadits.

Para ulama generasi terakhir (al-Muta`akkhirin) telah mengarang beberapa buku yang
khusus untuk mencari hadits-hadits dan menjelaskan kondisinya, di antaranya yang
paling masyhur dan luas bahasannya adalah kitab al-Maqaashid al-Hasanah Fii Bayaan
Katsiir Min al-Ahaadiits al-Musytahirah ‘Ala al-Alsinah karya al-Hafizh as-Sakhawy.
Demikian juga buku semisalnya seperti buku-buku Takhriijaat (untuk mengeluarkan
jaluar hadits dan kualitasnya) yang menjelaskan kondisi hadits-hadits yang terdapat di
dalam buku-buku pengarang yang buku berasal dari Ahli Hadits (Ulama hadits) dan
buku-buku yang berisi hadits-hadits yang tidak ada asalnya seperti buku Nashb ar-
Raayah Li Ahaadiits al-Bidaayah karya al-Hafizh az-Zaila’iy, al-Mugny ‘An Haml al-
Asfaar Fii al-Asfaar Fii Takhriij Maa Fii Ihyaa` Min al-Akhbaar karya al-Hafizh
al-‘Iraqy, at-Talkhiish al-Habiir Fii Takhriij Ahaadiits ar-Raafi’iy al-Kabiir karya al-
Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalany, Takhriij Ahaadiits al-Kasysyaaf karya Ibn Hajar juga
dan Takhriij Ahaadiits asy-Syifaa` karya Imam as-Suyuthy, semua buku tersebut sudah
dicetak dan diterbitkan.

Sekalipun para imam tersebut telah melanggengkan jalan kepada generasi setelah
mereka, baik buat kalangan para ulama maupun para penuntut ilmu hingga mereka
mengetahui kualitas setiap hadits melalui buku-buku tersebut dan semisalnya, akan
tetapi sangat disayangkan sekali kita melihat mereka malah telah berpaling dari
membaca buku-buku tersebut. Maka karenanya, mereka pun buta terhadap kondisi
hadits-hadits yang telah mereka hafal dari para guru mereka atau yang mereka baca
pada sebagian buku yang tidak interes terhadap hadits yang shahih dan valid. Karena
itu pula, kita hampir tidak pernah mendengarkan suatu wejangan dari sebagian
Mursyid (penyuluh), ceramah dari salah seorang ustadz atau khuthbah seorang khathib
melainkan kita dapati di dalamnya sesuatu dari hadits-hadits Dla’if dan Mawdlu’
tersebut, dan ini amat berbahaya di mana karenanya dikhawatirkan mereka semua
akan terkena ancaman sabda beliau Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang
artinya: “Barangsiapa yang telah berdusta terhadapku secara sengaja, maka
hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya di api neraka.” (Hadits Shahih
Mutawatir)

Walau pun secara langsung mereka tidak menyengaja berdusta, namun sebagai
imbasnya mereka tetap berdosa karena telah menukil (meriwayatkan) hadits-hadits
yang semuanya mereka periksa padahal mengetahi secara pasti bahwa di dalamnya
terdapat hadits yang Dla’if atau pun hadits dusta. Mengenai hal ini, terdapat isyarat
dari makna hadits Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang artinya: “Cukuplah
seseorang itu berdusta manakala ia menceritakan semua apa yang didengarnya
(tanpa disaring lagi-red.,).” (HR: Muslim) dan hadits lainnya dari riwayat Abu
Hurairah.

Kemudian dari itu, telah diriwayatkan bahwa Imam Malik pernah berkata, “Ketahuilah
bahwa tidaklah selamat seorang yang menceritakan semua apa yang didengarnya dan
selamanya, ia bukan imam bilamana menceritakan semua apa yang didengarnya.”

Imam Ibn Hibban berkata di dalam kitab Shahihnya, “Pasal: Mengenai dipastikannya
masuk neraka, orang yang menisbatkan sesuatu kepada al-Mushthafa, Rasululloh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal ia tidak mengetahui keshahihannya,” setelah
itu, beliau mengetengahkan hadits Abu Hurairah dengan sanadnya secara marfu’, yang
artinya: “Barangsiapa yang berkata dengan mengatas namakanku padahal aku tidak
pernah mengatakannya, maka hendaklah ia mempersiapkan tempat duduknya di
neraka.” Kualitas sanad hadits ini Hasan dan makna asalnya terdapat di dalam kitab
ash-Shahiihain dan kitab lainnya.

Selanjutnya, Ibn Hibban berkata, “Pembahasan mengenai hadits yang menunjukkan


keshahihan hadits-hadits yang kami isyaratkan pada bab terdahulu,” kemudian beliau
mengetengahkan hadits dari Samurah bin Jundub dengan sanadnya, dia berkata,
Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersabda, yang artinya: “Barangsiapa yang
membicarakan suatu pembicaraan mengenaiku (membacakan satu hadits
mengenaiku) di mana ia terlihat berdusta, maka ia adalah salah seorang dari para
pendusta.” (Kualitas hadits ini Shahih, dikeluarkan oleh Imam Muslim di dalam
mukaddimahnya dari hadits Samurah dan al-Mughirah bin Syu’bah secara bersama-
sama). Ibn Hibban berkata, “Ini adalah hadits yang masyhur.” Kemudian dia
melanjutkan, “Pembahasan mengenai hadits kedua yang menunjukkan keshahihan
pendapat kami,” lalu dia mengetengahkan hadits Abu Hurairah yang pertama di atas.

Dari apa yang telah kami sampaikan di atas, jelaslah bagi kita bahwa tidak boleh
menyebarkan hadits-hadits dan meriwayatkannya tanpa terlebih dahulu melakukan
Tatsabbut (cek-ricek) mengenai keshahihannya sebab orang yang melakukan hal itu,
maka cukuplah itu sebagai kedustaan terhadap Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang bersabda, “Sesungguhnya berdusta terhadapku bukanlah berdusta
terhadap salah seorang diantara kamu; barangsiapa yang berdusta terhadapku
secara sengaja, maka hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya di api neraka.”
(HR: Muslim dan selainnya)

Wallahu A’lam.

(Sumber Rujukan: Mukaddimah Syaikh al-Albany di dalam bukunya Silsilah al-


Ahaadiits adl-Dla’iifah Wa al-Mawdluu’ah Wa Atsaruha as-Sayyi` Fi al-Ummah, jld.I,
h.47-51 dengan sedikit perubahan dan pengurangan)

Anda mungkin juga menyukai