Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

Osteoartritis adalah salah satu penyakit yang terkait dengan penuaan dan
kemungkinan besar akan mempengaruhi sendi yang digunakan terus-menerus seperti daerah
lutut, panggul, tangan dan tulang belakang. OA biasanya dimulai pada usia 40 tahun dan
prevalensi tertinggi pada usia diatas 60 tahun. OA juga lebih banyak terjadi pada wanita
dibandingkan dengan pria (Fauci et al., 2008).

Osteoartritis (OA) merupakan penyakit sendi yang banyak ditemukan di dunia dan
merupakan penyebab ke empat dari semua kecacatan (Fransen et al, 2011). Di Amerika, OA
menjadi penyebab utama hendaya (dissability) pada orang dewasa. Penelitian epidemiologi
pada tahun 2005 menunjukkan bahwa 27 juta orang atau lebih dari 10% jumlah orang dewasa
di Amerika menderita OA dan pada tahun 2009 OA menjadi penyebab keempat pasien
dirawat inap di rumah sakit (Murphy and Helmick, 2012).

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2007 prevalensi nasional


untuk penyakit sendi adalah 30,3% dan salah satu provinsi dari 11 provinsi yang mempunyai
prevalensi penyakit sendi di atas angka nasional adalah provinsi Aceh. Dari berbagai macam
jenis penyakit sendi yang ada, penyakit sendi yang paling umum dijumpai adalah OA.

Berdasarkan data Center for Disease Control and Prevention (CDC) (2011) prevalensi
OA secara keseluruhan di Amerika adalah 13,9% pada orang dewasa usia lebih dari 25 tahun
dan 33,6% pada orang dewasa usia lebih dari 65 tahun. Berdasarkan gejala OA yang
dirasakan (OA simptomatis) prevalensi OA pada tangan yakni 8% (8,9 % wanita; 6,7% laki-
laki) pada 2,9 juta penduduk berusia 60 tahun. Prevalensi OA pada kaki yakni 2% (3,6%
wanita; 1,6% laki) pada penduduk usia 15-74 tahun. Prevalensi OA pada lutut yakni 12%
(13,6% wanita; 10% laki-laki) pada 4,3 juta penduduk usia 60 tahun atau lebih dan 16%
(18,7% wanita; 13,5% laki) pada penduduk usia lebih dari 45 tahun. Prevalensi OA pada
pinggul yakni 4,4% (3,6% wanita; 5,5% laki-laki) pada penduduk usia lebih dari 55 tahun.

Menurut Soeroso et al. (2009) diperkirakan 1 sampai 2 juta orang berusia lanjut di
Indonesia menderita kecacatan karena OA. OA dapat mempengaruhi kualitas hidup
seseorang baik akibat rasa nyeri yang ditimbulkan maupun karena cacat fisik yang diderita,
sehingga OA memberikan dampak sosial-ekonomi yang besar, baik di negara maju maupun
di negara berkembang. Mengingat besarnya dampak yang dapat ditimbulkan akibat OA,
maka perlu dilakukan upaya pencegahan dengan meminimalisir faktor-faktor risiko yang
menyebabkan peningkatan beban biomekanis pada sendi antara lain : overweight, nutrisi,
penyakit metabolik, cedera sendi, dan kebiasaan olahraga. Faktor risiko lain seperti jenis
kelamin, usia, ras atau etnis dan genetik merupakan faktor risiko yang tidak bisa dicegah.

Penegakan diagnosis OA didasarkan pada gambaran klinis dan radiografis sendi.


Pada pasien OA terdapat perubahan-perubahan radiografis sendi diantaranya, penyempitan
celah sendi yang sering tidak simetris, peningkatan densitas (sklerosis) tulang subkondral,
kista tulang, osteofit pada pinggir sendi dan perubahan struktur anatomi sendi (Soeroso et al.,
2009).
BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Definisi Osteoartritis

(OA) merupakan penyakit sendi degeneratif yang berkaitan dengan kerusakan


kartilago sendi panggul, lutut, pergelangan tangan dan juga pada sendi tulang
vertebra. Penyakit ini secara klinis ditandai oleh keluhan nyeri pada waktu melakukan
aktivitas atau jika ada pembebanan pada sendi yang terkena (Soeroso et al.,2009).

2.2 Klasifikasi

Berdasarkan patogenesisnya, OA dibedakan menjadi 2 yaitu OA primer dan


OA sekunder. OA primer disebut juga OA idiopatik yaitu OA yang penyebabnya
tidak diketahui dan tidak ada hubungannya dengan penyakit sistemik maupun proses
perubahan lokal pada sendi (Soeroso et al., 2009). Menurut Brandt (2000) OA
idiopatik terlokalisir dibeberapa tempat yaitu:

1. Tangan: Heberden’s and Bouchard’s nodes, erosive interphalangeal


arthritis.

2. Kaki: hallux valgus, hallux rigidus.

3. Lutut: kompartemen medial, kompartemen lateral dan kompartemen


patelofemoralis.

4. Pinggul: eksentrik, kosentrik dan difus.

5. Tulang belakang: sendi intervertebra, spondilosis dan sendi apophyseal.

6. Bagian tunggal lainnya: glenohumeral, tibiotalar dan sakroiliak.

Secara patologis, OA sekunder tidak dapat dibedakan dari OA idiopatik,


namun OA sekunder memiliki penyakit yang mendasarinya, seperti : kelainan
endokrin, inflamasi, metabolik, pertumbuhan, herediter, jejas mikro dan makro, serta
immobilisasi yang terlalu lama. OA primer lebih sering ditemukan daripada OA
sekunder (Brandt, 2000; Soeroso et al., 2009).
2.3 Etiopatogenesis

OA merupakan penyakit gangguan homeostasis dari metabolisme kartilago


dengan kerusakan struktur proteoglikan kartilago yang penyebabnya belum diketahui
secara pasti. Jejas mekanik dan kimiawi pada sinovia sendi dapat terjadi 12 oleh
berbagai faktor, antara lain: faktor umur, stres mekanis atau penggunaan sendi yang
berlebihan, efek anatomik, overweight dan genetik. Jejas mekanik dan kimiawi ini
diduga merupakan faktor penting yang merangsang terbentuknya molekul abnormal
dan produk degradasi kartilago didalam cairan sinovial sendi yang mengakibatkan
terjadinya inflamasi sendi, kerusakan kondrosit dan nyeri (Soeroso et al., 2009).

OA terjadi sebagai hasil kombinasi antara degradasi tulang rawan sendi,


remodeling tulang dan inflamasi cairan sendi. Setelah adanya lesi pada tulang rawan
sendi, kondrosit akan mengalami replikasi memproduksi matriks baru sehingga tulang
rawan dapat melakukan perbaikan sendiri. Faktor pertumbuhan seperti IGF-1
memegang peranan penting dalam proses perbaikan rawan sendi. Namun, pada orang
tua matriks baru yang dihasilkan tidak sekuat matriks sebelumnya dalam menahan
beban mekanis sehingga peningkatan degradasi kolagen akan mengubah
keseimbangan metabolisme rawan sendi. Pada pasien OA sintesis matriks yang
terbentuk lebih rendah dari pada degradasi yang terjadi. Kelebihan produk degradasi
matriks rawan sendi ini cenderung berakumulasi di sendi dan menghambat fungsi
rawan sendi serta mengawali respon imun yang menyebabkan inflamasi sendi
(Soeroso et al., 2009; Fauci et al., 2008).

Pada rawan sendi pasien OA juga terjadi proses peningkatan aktifitas


fibrinogenik dan penurunan aktivitas fibrinolitik. Proses ini menyebabkan terjadinya
penumpukan trombus dan komplek lipid pada pembuluh darah subkondral sehingga
menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan subkondral tersebut. Hal ini
mengkibatkan dilepaskannya mediator kimiawi seperti prostaglandin dan interleukin
yang selanjutnya menimbulkan nyeri tulang (bone angina) lewat subkondral.
Penyebab rasa sakit itu dapat juga berupa akibat dari lepasnya mediator kimiawi
seperti kinin dan prostaglandin yang menyebabkan radang sendi. Kelainan disekitar
rawan sendi tergantung pada pada sendi yang terkena, namun prinsipnya adalah
adanya tanda-tanda inflamasi sendi, perubahan fungsi dan struktur rawan sendi seperti
persambungan sendi yang tidak normal, gangguan fleksibelitas, terjadinya instabilitas
sendi, timbulnya krepitasi baik pada gerakan aktif maupun pasif (Soeroso et al.,
2009).

2.4 Manifestasi klinis

Keluhan-keluhan yang dapat dijumpai pada pasien OA adalah:

a. Nyeri sendi
Pada umumnya gambaran klinis OA adalah nyeri sendi. Nyeri yang
dikeluhkan biasanya merupakan nyeri yang dalam dan terlokalisir pada
sendi yang terkena (Brandt, 2000). Nyeri sendi yang dirasakan terutama
pada saat sendi tersebut bergerak atau menanggung beban yang akan
berkurang bila penderita istirahat. Beberapa gerakan tertentu
kadangkadang menimbulkan rasa nyeri yang lebih dibanding gerakan lain.
Nyeri pada OA juga dapat berupa penjalaran atau akibat radikulopati,
misal pada OA servikal dan lumbal (Soeroso et al., 2009).

b. Kaku pagi
Selain nyeri juga terdapat kekakuan sendi. Kaku dan nyeri pada sendi
dapat timbul setelah imobilitas, seperti duduk di kursi atau mobil dalam
waktu yang cukup lama atau bahkan setelah bangun tidur (Soeroso et al.,
2009). Kekakuan ini biasanya akan menetap kurang dari 20 menit dan
menghilang setelah sendi digerakkan (Brandt, 2000; Price and Wilson,
2005).
c. Hambatan gerak sendi
Kesukaran bergerak pada sendi bisa disebabkan oleh berbagai macam
masalah seperti nyeri dan spasme otot. Hal ini sudah sering timbul
meskipun penyakitnya masih dini dan biasanya bertambah berat dengan
semakin beratnya penyakit, sampai sendi hanya bisa digoyangkan dan
menjadi kontraktur. Hambatan gerak dapat konsentris (seluruh arah
gerakan) maupun eksentris (salah satu arah gerakan saja) (Soeroso et al.,
2009).
d. Krepitasi
Krepitasi adalah bunyi gesekan tulang yang timbul pada sendi yang sakit.
Gejala ini umum dijumpai pada pasien OA lutut. Pada awalnya hanya
perasaan akan adanya sesuatu yang patah atau remuk oleh pasien atau
dokter yang memeriksa. Seiring dengan perkembangan penyakit, krepitasi
dapat terdengar hingga jarak tertentu. Gejala ini timbul karena 14 gesekan
kedua permukaan tulang sendi pada saat sendi digerakkan atau secara pasif
dimanipulasi (Soeroso et al., 2009).
e. Perubahan bentuk (deformitas) sendi yang permanen
Perubahan bentuk (deformitas) sendi yang permanen dapat timbul karena
adanya perubahan pada tulang dan permukaan sendi, kontraktur sendi,
berbagai kecacatan dan gaya berdiri (Soeroso et al., 2009).
f. Pembengkakan sendi yang asimetris
Pembengkakan sendi dapat timbul karena terjadinya efusi pada sendi yang
biasanya tidak banyak (< 100cc) atau karena adanya osteofit, sehingga
terjadi perubahan bentuk permukaan sendi (Soeroso et al., 2009).
g. Perubahan gaya berjalan
Pada pasien berusia lanjut, perubahan gaya berjalan merupakan gejala
yang menyusahkan dan menjadi ancaman yang besar untuk kemandirian
pasien OA. Keadaan ini selalu berhubungan dengan nyeri karena menjadi
tumpuan berat badan terutama pada OA lutut, panggul, tumit dan
pergelangan kaki (Soeroso et al., 2009).

2.5 Diagnosis

Diagnosis OA biasanya didasarkan pada anamnesis yaitu riwayat penyakit,


gambaran klinis dari pemeriksaan fisik dan hasil dari pemeriksaan radiologis.

2.6 Pemeriksaan Fisik

Lutut adalah sendi utama penahan berat badan, sehingga lutut menjadi sendi
yang paling sering terkena OA. Kriteria diagnosis OA lutut biasanya menggunakan
kriteria klasifikasi American College of Rheumatology yang berdasarkan gejala klinik
yaitu: nyeri lutut dengan minimal 3 dari 6 kriteria berikut: umur > 50 tahun, kaku pagi
< 30 menit, krepitasi, nyeri tekan, pembesaran tulang dan tidak panas pada perabaan,
sehingga mengakibatkan kesulitan untuk berjalan, menaiki tangga, bangkit dan duduk
(Altman et al., 1986).
Kriteria diagnosis OA pinggul adalah usia > 40 tahun, nyeri dirasakan ketika
menanggung beban, nyeri yang dirasakan hilang ketika duduk, nilai 15 erythrocyte
sedimentation rate (ESR) yang normal serta nilai negatif dari rhematoid factor test
(Altman et al., 1991).

Kriteria diagnosis OA tangan adalah nyeri atau kaku pada tangan dengan 3- 4
kriteria berikut : pembesaran 2 atau lebih jaringan dari 10 sendi pada tangan,
pembesaran 2 atau lebih dari sendi distal interphalangeal(DIP), kurang dari 3 sendi
metacarpophalangeal (MCP), deformitas minimal 1 dari 10 sendi pada tangan. 10
sendi pada tangan yang dinilai adalah DIP ke dua dan ke tiga, proximal
interphalangeal ke dua dan ke tiga, sendi pertama carpometacarpal dari ke 2 tangan
(Altman et al., 1990).

Radiografis sering dijadikan gold standar untuk diagnosis OA. Pada tahap
awal, mungkin dapat terlihat normal, tetapi seiring dengan berkurangnya kartilago
sendi maka akan tampak penyempitan ruang sendi. Temuan radiografis khas lainnya
adalah sklerosis tulang subkondral, kista subkondral dan osteofit marginalis. Dapat
dijumpai perubahan kontur sendi akibat remodeling tulang dan subluksasi (Brandt,
2000).

Walaupun menjadi gold standar, radiografis tidak menjadi satu-satunya


penanda untuk OA lutut. Enam manifestasi klinis seperti: nyeri lutut yang persisten,
kaku sendi pada pagi hari dan fungsi sendi yang berkurang dan krepitasi, gerakan
sendi yang terbatas dan pembesaran tulang merupakan gejala paling berguna dalam
menegakkan diagnosis. Kemungkinan menderita OA lutut yang positif secara
radiografis akan meningkat seiring dengan bertambahnya hasil positif dari manifestasi
klinis, bahkan bisa mencapai 99% jika keenam manifestasi klinis tersebut muncul
(Zhang et al., 2009).

2.7 Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan pada pasien OA dapat dilakukan dengan menggunakan foto


rontgen, MRI, artroskopi, artrografi dan mielografi (Soeroso et al., 2009). Radiografis
digunakan untuk mendiagnosa OA ditinjau dari aspek kartilago yang rusak serta
perubahan reaktif pada tepi sendi dan tulang subkondral. Walaupun banyak sistem
gradasi radiografis yang telah dimunculkan 20 tahun belakangan ini, metode yang
dikembangkan oleh Kellgren dan Lawrence pada tahun 1957 sudah diakui oleh WHO
di Roma sejak tahun 1961 dan sampai saat ini dipakai sebagai gold standar untuk
cross secsional dan longitudinal studi epidemiologi. 16 Sistem ini mengklasifikasikan
OA atas 5 grade yaitu grade 0 – 4 yang dibedakan berdasarkan adanya gambaran
osteofit, jarak antar sendi, sklerosis subkondral dan kista yang terbentuk (Majumdar,
2010).

Klasifikasi Derajat OA berdasarkan Kellgren-Lawrence (Majumdar, 2010;


Milne et al., 2010) Grade Klasifikasi Deskripsi:

0: Normal tidak ada gambaran osteoarthritis

1: Meragukan gambaran sendi normal, tetapi terdapat osteofit minimal

2: Ringan osteofit kecil, kemungkinan penyempitan sendi

3: Sedang osteofit sedang, deformitas ujung tulang, dan celah sendi sempit

4: Berat osteoartritis berat dengan osteofit besar, deformitas ujung tulang, celah
sendi hilang, serta adanya sklerosis dan kista subkondral

2.8 Penatalaksanaan

Menurut Brandt (2000) tidak terdapat pengobatan yang dapat menyembuhkan


OA. Pengobatan yang dilakukan ditujukan untuk mengurangi nyeri,
mempertahankan mobilitas dan memperkecil kecacatan. Kuat lemahnya
intervensi terapeutik tergantung pada keadaan tiap-tiap pasien.

17 Menurut Soeroso et al. (2009) penatalaksanaan OA dapat dibagi


berdasarkan distribusinya yaitu, sendi mana yang terkena dan berat ringannya
sendi yang terkena. Penatalaksanaan yang dapat dilakukan terhadap penderita
OA adalah terapi non farmakologis, terapi farmakologi dan terapi bedah.

Menurut Fauci et al. (2008) terapi non farmakologis yang paling


efektif bagi pasien OA adalah menghindari kegiatan yang memicu rasa sakit,
yakni menghindari kegiatan yang membebani sendi. Terapi farmakologis OA
bersifat simtomatis. NSAID merupakan obat yang paling populer dalam
pengobatan OA, namun asetaminofen (paracetamol) adalah analgesik pilihan
pertama untuk mengurangi nyeri pada OA lutut. NSAID memiliki efek
samping pada gastrointestinal seperti maag, mual, kembung, dan perdarahan
pada gastrointestinal. Strategi untuk meminimalkan risiko efek sampingnya
yakni :

1.Mengonsumsi obat setelah makan.

2.Menghindari mengonsumsi 2 jenis NSAID.

3.Menggunakan NSAID yang relatif aman untuk gastrointestinal seperti


nonacetylated salicylates, ibuprofen dan nabumetone.

4.Bagi pasien yang bersiko perdarahan gastrointestinal sebaiknya memberikan


obat-obat gastroprotektif. Terapi bedah dilakukan apabila terpai farmakologis
tidak berhasil mengurangi rasa nyeri dan juga untuk melakukan koreksi
apabila terjadi deformitas sendi. Osteotomi merupakan tindakan bedah yang
paling efektif terhadap pasien OA derajat sedang karena dapat
menghilangkan konsentrasi beban dinamik dan untuk mengurangi nyeri pada
pasien OA lutut. Untuk pasien OA stadium lanjut, artroplasti sendi total
dapat dipertimbangkan jika penatalaksanan medis agresif tidak berhasil.
BAB III

STATUS PASIEN

3.1 Identitas Pasien

Nama : Ny. M
Umur : 60 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : jl. Cendrawasih 2
Agama : Islam
Status : Menikah
Pekerjaan : Pensiunan Guru

3.2 Anamnesis

a. Keluhan Utama : Nyeri kedua lutut

b. Keluhan Tambahan : Nyeri kedua lutut, tidak bisa melipa tlutut saat shalat, tidak
bisa berdiri lama, susah berdiri jika sudah duduk
c. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke poli Lansia Puskesmas Air Tawar pada tanggal 10 April 2018
dengan keluhan nyeri kedua lutut sejak 5 tahun yang lalu, namun memberat dalam 3
bulan yang lalu, nyeri dirasakan berdenyut seperti di tusuk-tusuk. Nyeri dirasakan
hilang timbul, nyeri bertambah berat jika berdiri lama, namun berkurang jika duduk
atau beristirahat, dan nyeri hilang jika mengkonsumsi obat anti nyeri yang didapat
dari puskesmas. Pasien juga mengeluhkan lutut susah dilipat saat shalat, selama
setahun terakhir pasien shalat dengan posisi duduk di atas kursi. Jika pasien sudah
duduk lesehan susah untuk berdiri kembali.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat hipertensi disangkal
Riwayat DM disangkal
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Disangkal
f. Riwayat Pemakaian Obat
Sebelumnya pasien sudah berobat ke puskesmas dan diberikan obat anti nyeri, namun
pasien lupa apa nama obat yang dikonsumsi.

g. Riwayat Kebiasaan Sosial


pasien suka makan makanan berlemak, namun pasien malas berolahraga.

3.3 Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum : Sakit sedang


Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 120/70 mmHg
Nadi (HR) : 84 x/menit
Frekuensi Nafas : 18 x/menit
Temperatur : 36,7º C
TB : 152 cm
BB :65 Kg
IMT : 28,13 (Pra Obesitas)

Status General
Kulit
Warna : Sawo matang
Turgor : Kembali cepat
Ikterus : (-)
Pucat : (-)
Sianosis : (-)
Oedema : (-)

Kepala
Bentuk : Kesan Normocephali
Rambut : Berwarna hitam, sukar dicabut
Mata : Cekung (-), refleks cahaya (+/+), konj. Palp inf pucat (-/-),
Sklera : ikterik (-/-)
Telinga : Sekret (-/-), perdarahan (-/-)
Hidung : Sekret (-/-), perdarahan (-/-), NCH (-/-)

Mulut
Bibir : Pucat (-), Sianosis (-), mukosa lembab (+)
Gigi geligi : Karies (-)
Lidah : Beslag (-), Tremor (-)
Tenggorokan : Tonsil dalam batas normal
Faring : Hiperemis (-)

Leher
Bentuk : Kesan simetris
Kel. Getah Bening : Kesan simetris, Pembesaran KGB (-)
Peningkatan TVJ : R-2 cmH2O
Axilla : Pembesaran KGB (-)

Thoraks
Inspeksi : normochest, pergerakan simetris
Palpasi : taktil fremitus kiri dan kanan sama
Perkusi : sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : suara nafas vesikuler , Rh -/-, Wh -/-
Jantung
- Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
- Palpasi : Ictuscordis teraba ICS V linea midclavicula sinistra
- Perkusi :
Batas atas : ICS III LMCS
Batas kanan :ICS V Linea parasternalis dextra
Batas Kiri : ICS V linea midclavicula sinistra
- Auskultasi : BJ I > BJ II, reguler, bising (-)
Abdomen
- Inspeksi : Kesan simetris, distensi (-)
- Palpasi : Distensi abdomen (-), Nyeri tekan (-), hati, limpa dan ginjal tidak teraba
- Perkusi : Timpani (+), asites (-)
- Auskultasi : Peristaltik usus (+) normal.
Ekstremitas

Ekstremitas Superior Inferior


Kanan Kiri Kanan kiri
Sianotik - - - -
Edema - - - -
Ikterik - - - -
Gerakan Aktif Aktif terbatas terbatas
Tonus otot Normotonus Normotonus normotonus normotonus
Sensibilitas N N N N
Atrofi otot - - - -

3.4 Diagnosa Kerja

Osteoarthritis

3.5 Penatalaksanaan
Natrium diklofenat 25 mg 2x1 (sprn)
Ranitidin 150 mg 2x1

3.6 Edukasi
 Pasien harus segera kontrol apabila mengalami perburukan gejala ( mengalami nyeri
berlebihan hampir setiap hari atau nyeri tidak membaik dengan obat-obatan yang
diberikan
 Kontrol rutin sesuai dengan kesepakaan dokter
 Progresifitas penyakitnya dapat dihambat dengan modifikasi gaya hidup, contohnya :
diet
 Pencegahan dilakukan dengan modifikasi gaya hidup ( olah raga, penurunan berat
badan, dan diet rendah kalori).

3.7 Prognosis
Quo ad Vitam : dubia ad bonam
Quo ad Sanactionam : dubia ad bonam
Quo ad Functionam : dubia ad malam
Dinas Kesehatan Kodya Padang
Puskesmas Air Tawar
Dokter : dr. Indah

Tanggal : 23 maret 2018

R/ Natrium Diklofenat tab 25 mg

S 2 dd tab 1 £

R/ Ranitidin tab 150 mg

S2dd tab 1 £

Pro : Ny.M

Umur : 60tahun
BAB IV

ANALISA KASUS

Pasien datang ke poli Lansia Puskesmas Air Tawar pada tanggal 10 April
2018 dengan keluhan nyeri kedua lutut sejak 5 tahun yang lalu, namun memberat
dalam 3 bulan yang lalu, nyeri dirasakan berdenyut seperti di tusuk-tusuk. Nyeri
dirasakan hilang timbul, nyeri bertambah berat jika berdiri lama, namun berkurang
jika duduk atau beristirahat, dan nyeri hilang jika mengkonsumsi obat anti nyeri yang
didapat dari puskesmas. Pasien juga mengeluhkan lutut susah dilipat saat shalat,
selama setahun terakhir pasien shalat dengan posisi duduk di atas kursi. Jika pasien
sudah duduk lesehan susah untuk berdiri kembali.
Ekstremitas

Ekstremitas Superior Inferior


Kanan Kiri Kanan kiri
Sianotik - - - -
Edema - - - -
Ikterik - - - -
Gerakan Aktif Aktif terbatas terbatas
Tonus otot Normotonus Normotonus normotonus normotonus
Sensibilitas N N N N
Atrofi otot - - - -

Diagnosa Kerja

Osteoarthritis

Penatalaksanaan
Natrium diklofenat 25 mg 2x1 (sprn)
Ranitidin 150 mg 2x1

Anda mungkin juga menyukai