Sejarah Kerajaan Jeumpa
Sejarah Kerajaan Jeumpa
Page 1|3
BEBAS | XII TKJ 1
Berdasarkan silsilah keturunan sultan-sultan Melayu, yang dikeluarkan oleh Kerajaan Brunei
Darussalam dan Kesultanan Sulu-Mindanao, Kerajaan Islam Jeumpa pada 154 H atau tahun 777
M dipimpin oleh seorang pangeran dari Persia yang bernama Syahriansyah Salman atau Sasaniah
Salman yang kawin dengan Puteri Mayang Seuludong (Dialek Bireuen: Manyam Seuludang) dan
memiliki beberapa anak, antara lain Syahri Duli, Syahri Tanti, Syahri Nawi, Syahri Dito dan Puteri
Makhdum Tansyuri yang menjadi ibu dari sultan pertama Kerajaan Islam Perlak. Menurut
penelitian sejarawan Aceh, Sayed Dahlan al-Habsyi, syahri adalah gelar pertama yang digunakan
keturunan Nabi Muhammad di Nusantara sebelum menggunakan gelar meurah, habib, sayyid,
syarif, sunan, teuku dan lainnya. Syahri diambil dari nama istri Sayyidina Husein bin Ali, Puteri
Syahri Banun, anak Maha Raja Persia terakhir. Syahr Nawi adalah salah satu tokoh yang
berpengaruh dalam pengembangan Kerajaan Peureulak, bahkan dia dianggap arsitek pendiri kota
pelabuhan Peureulak pada tahun 805 M yang dipimpinnya langsung, dan diserahkan kepada anak
saudaranya Maulana Abdul Aziz.
Keberadaan Kerajaan Islam Jeumpa ini dapat pula ditelusuri dari pembentukan Kerajaan Perlak
yang dianggap sebagai Kerajaan Islam pertama di Nusantara. Perlak pada tahun 805 Masehi adalah
bandar pelabuhan yang dikuasai pedagang keturunan Parsi yang dipimpin seorang keturunan Raja
Islam Jeumpa Pangeran Salman al-Parsi dengan Putri Manyang Seuludong bernama Meurah Syahr
Nuwi. Sebagai sebuah pelabuhan dagang yang maju dan aman menjadi tempat persinggahan kapal
dagang Muslim Arab dan Persia. Akibatnya masyarakat muslim di daerah ini mengalami
perkembangan yang cukup pesat, terutama sekali lantaran banyak terjadinya perkawinan di antara
saudagar muslim dengan wanita-wanita setempat, sehingga melahirkan keturunan dari
percampuran darah Arab dan Persia dengan putri-putri Perlak. Keadaan ini membawa pada
berdirinya kerajaan Islam Perlak pertama, pada hari selasa bulan Muharram, 840 M. Sultan
pertama kerajaan ini merupakan keturunan Arab Quraisy bernama Maulana Abdul Azis Syah,
bergelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah. Menurut Wan Hussein Azmi,
pedagang Arab dan Persia tersebut termasuk dalam golongan Syi'ah. Wan Hussein Azmi dalam
Islam di Aceh mengaitkan kedatangan mereka dengan Revolusi Syi'ah yang terjadi di Persia tahun
744-747.
Kerajaan-kerajaan kecil di Aceh di masa lalu termasuk Jeumpa mengalami pasang surut.
Terutama setelah kehadiran Portugis di Malaka pada tahun 1511 yang diikuti oleh kedatangan
Page 2|3
BEBAS | XII TKJ 1
Belanda. Belanda mengambil alih Aceh pada tahun 1904, ketika Belanda mampu menduduki
benteng Kuta Glee di Batee Iliek, di bagian barat Kabupaten Bireuen.
Dengan Keputusan pemerintah Belanda Nederlands Indie pada 7 September 1934, Aceh dibagi
menjadi enam Afdeeling (distrik) yang dipimpin oleh Asisten Residen.
Selain Onder Afdeeling, ada juga beberapa daerah Ulee Balang (Zelf Bestuur) yang dapat
mengatur diri mereka sendiri, yaitu Ulee Balang Keureutoe, Geureugok, Jeumpa dan Peusangan,
yang dipimpin oleh Ampon Chik.
B. Tentang kerajaan-kerajaan kecil di bawah Sultan Aceh
Wilayah bagian barat Kerajaan Aceh Darussalam mulai dibuka dan dibangun pada abad ke-16
atas prakarsa Sultan Saidil Mukamil (Sultan Aceh yang hidup antara tahun 1588-1604), kemudian
dilanjutkan oleh Sultan Iskandar Muda (Sultan Aceh yang hidup tahun 1607-1636) dengan
mendatangkan orang-orang Aceh Rayeuk dan Pidie.
Daerah ramai pertama adalah di teluk Meulaboh (Pasi Karam) yang diperintah oleh seorang
raja yang bergelar Teuku Keujruen Meulaboh, dan Negeri Daya (Kecamatan Jaya) yang pada akhir
abad ke-15 telah berdiri sebuah kerajaan dengan rajanya adalah Sultan Salatin Alaidin Riayat Syah
dengan gelar Poteu Meureuhom Daya.
Dari perkembangan selanjutnya, wilayah Aceh Barat diakhir abad ke-17 telah berkembang
menjadi beberapa kerajaan kecil yang dipimpin oleh Uleebalang, yaitu : Kluang; Lamno; Kuala
Lambeusoe; Kuala Daya; Kuala Unga; Babah Awe; Krueng No; Cara’ Mon; Lhok Kruet; Babah
Nipah; Lageun; Lhok Geulumpang; Rameue; Lhok Rigaih; Krueng Sabee; Teunom; Panga;
Woyla; Bubon; Lhok Bubon; Meulaboh; Seunagan; Tripa; Seuneu’am; Tungkop; Beutong;
Pameue; Teupah (Tapah); Simeulue; Salang; Leukon; Sigulai.
Page 3|3