Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

ACUTE RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME (ARDS)

A. DEFENISI
Sindrom gangguan pernapasan akut (Acute respiratory distress syndrome-ARDS)
merupakan manifestasi cedera akut paru-paru, biasanya akibat sepsis, trauma, dan infeksi
paru berat. Secara klinis, hal ini ditandai dengan dyspnea, hipoksemia, fungsi paru-paru
yang menurun, dan infiltrat difus bilateral pada radiografi dada (Udobi et al, 2003).
Sindrom distres respiratorik akut merupakan bentuk edema pulmoner yang
menyebabkan gagal respiratorik akut dan disebabkan oleh meningkatnya permeabilitas
membran alveolokapiler. Cairan terakumulasi dalam interstisium paru-paru dan ruang
alveolar. ARDS parah bisa menyebabkan hipoksemia yang sulit disembuhkan dan fatal,
tetapi pasien yang sembuh mungkin hanya mengalami sedikit kerusakan paru-paru atau
tidak sama sekali (Farid, 2006).

B. ETIOLOGI
Beberapa penyebab terjadinya akut respiratori distres sindrom ialah
 Syok sepsis , hemoragis, kardiogenik dan analfilatik
 Trauma ; kontusio pulmonal dan non pulmonal
 Infeksi : pneumonia dan tuberculosis
 Koagulasi intravaskuler diseminata
 Emboli lemak
 Aspirasi kandungan lambung yang sangat asam
 Menghirup agen beracun, asap dan nitrogen oksida dan atau bahan korosif
 Pankreatitis
 Toksisitas oksigen
 Penyalahgunaan obat-obatan dan narkotika
Sindrom sepsis tampaknya menjadi faktor resiko paling umum, tetapi secara
keseluruhan risiko akan meningkat secara multifaktor. Transfusi darah merupakan risiko
independen faktor. Usia lanjut dan rokok berhubungan dengan peningkatan risiko ARDS,
sementara konsumsi alkohol tampaknya tidak memiliki pengaruh. Sebuah studi menunjukkan
bahwa kematian akibat ARDS pertahun mengalamipenurunan, tetapi pria dan orang kulit
hitam memiliki angka kematian lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan dan groups. ras
lainnya(Udobi et al, 2003).
Tabel 1 Kondisi Klinis yang berkaitan dengan kejadian ARDS
Cedera paru-paru langsung Cedera paru-paru tidak langsung
 Pneumonia  Sepsis
 Aspirasi gaster  Trauma berat
 Trauma inhalasi  Pankreatitis Akut
 Tenggelam  Bypass kardiopulmonal
 Kontusi paru  Tranfusi massif
 Emboli lemak  Overdosis obat
 Reperfusi edema paru pasca
transplantasi paru-paru atau
embolectomy paru

C. PATOFISIOLOGI
Berdasarkan patofisiologinya, ARDS dideskripsikan sebagai gagal nafas akut yang
merupakan akibat dari edema pulmoner oleh sebab non kardiak. Edema ini disebabkan
oleh karena adanya peningkatan permeabilitas membrane kapiler sebagai akibat dari
kerusakan alveolar yang difus. Selain itu, protein plasma diikuti dengan makrofag,
neutrofil, dan beberapa sitokin akan dilepaskan dan terakumulasi dalam alveolus, yang
kemudian akan menyebabkan terjadinya dan berlangsungnya proses inflamasi, yang pada
akhirnya dapat memperburuk fungsi pertukaran gas yang ada. Pada keadaan ini membrane
hialin (hialinisasi) juga terbentuk dalam alveoli (Amin & Purwoto,2007)
Secara lebih terperinci patofisiologi ARDS berjalan melalui 3 fase, yaitu fase
eksudatif, fase proliteratif, fase fibrinolitik.
Fase-fase patologi ARDS

1. Fase eksudatif
Fase eksudatif merupakan fase pertama yang timbul pada pasien ARDS,
muncul lebih kurang 12 hingga 36 jam, atau hingga 7 hari sejak paparan pertama pasien
dengan factor risiko. Pada fase ini terjadi kerusakan dari sel endothelial kapiler alveolar
dan pneumosit tipe I, mengakibatkan penurunan kemampuan sawar alveolar untuk
menahan cairan dan makromolekul. Gambaran histologis berupa eosinofilik padat
membrane hialin dan kolaps alveoli. Sel endotel membesar, sambungan interselular
melebar dan vesikel pinocytic meningkat, menyebabkan membrane kapiler terganggu
dan mengakibatkan kebocoran kapiler. Pneumosit tipe I juga membesar dengan vacuola
sitoplasmik, yang sering terlihat di membrane basal. Lebih lanjut lagi kelainan ini akan
mengakibatkan terjadinya edema alveolar yang disebabkan oleh akumulasi sel-sel
radang, debris selular, protein plasma, surfaktan alveolar yang rusak, menimbulkan
penurunan aerasi dan atelektaksis. Keadaan tersebut kemudian akan diperburuk dengan
adanya oklusi mikrovascula dan menyebabkan penurunan dari kemampuan perfusi
darah menuju ke daerah ventilasi (Lorrain et al, 2010)
Kondisi tersebut di atas akan menyebabkan terjadinya sintas (shunting)
interpulmonal dan hipoksemia ataupun pada keadaan lanjut hiperkarbia, disertai dengan
peningkatan kerja nafas yang ditandai dengan gejala dispnea, takipnea, atau gagal nafas
pada pasien. Secara radiologis, kalainan ronsen thorax yang dapat dijumpai pada fase
awal perkembangan ARDS ini, dapat berupa opasitas alveolar dan interstisial yang
melibatkan setidaknya dua per tiga dari keseluruhan lapangan paru (Udobi et al, 2003).
2. Fase Proliferatif
Fase perkembangan selanjutnya dari ARDS adalah fase proliferative yang
terjadi pada hari ke-7 hingga ke-21 dari awal gejala.Fase proliferatif ditandai dengan
organisasi eksudat dan fibrosis. Paru-paru yang tetap berat dan solid, dan secara
mikroskopik integritas arsitektur paru-paru menjadi lebih kaku, kapiler jaringan rusak
dan ada progresifitas penurunan profil kapiler di jaringan. Proliferasi intimal jelas
dalam pembuluh darah kecil lebih lanjut mengurangi daerah luminal. Ruang interstisial
menjadi nekrosis yang melebar, dan mengisi lumen alveolar dengan leukosit, sel darah
merah, fibrin, dan puing-puing sel. Sel alveolus tipe II berkembang dalam upaya untuk
menutupi epitel permukaan yang gundul dan berdiferensiasi menjadi sel tipe I.
Fibroblas menjadi jelas dalam ruang interstisial dan kemudian di alveolar lumen. Hasil
dari proses ini adalah penyempitan ekstrem atau bahkan kolapnya ruang udara. Fibrin
dan puing-puing sel digantikan oleh fibril kolagen. Tempat utama fibrosis adalah ruang
intra-alveolar, tetapi juga terjadi di dalam interstitium (Levy et al, 2007).
3. Fase Fibrotik (Fibrosis Alveolitis)
Fase terakhir dari perkembangan ARDS adalah fase fibrotic yang hanya akan
dialami oleh sebagian kecil dari pasien, yakni pada minggu ke-3 atau ke-4 penyakit.
Pada fase ini, edema alveolar dan eksudat inflamasi yang terlihat pada fase awal
penyakit akan mengalami perubahan menuju fibrosis duktal dan interstisial yang
intensif. Struktural asiner akan mengalami kerusakan yang berat, mengakibatkan
terjadinya perubahan mirip emfisema dengan munculnya bula-bula yang besar.
Fibroproliferasi intimal juga akan terjadi pada jaringan mikrosirkulasi pulmoner yang
pada akhirnya akan menyababkan terjadinya oklusi vaskular yang progresif dan
hipertensi pulmoner. Pada akhirnya konsekuensi fisiologis yang muncul dari perubahan
perubahan yang terjadi ini adalah adanya peningkatan resiko dari pneumothoraks,
reduksi dari komplians paru, dan peningkatan dari ruang mati (dead space) pulmoner
(Price & Wilson, 2002).
PATHWAY

TRAUMA KELAINAN NEUROLOGIS

GANGGUAN SYARAF PERNAFASSAN


DAN OTOT PERNAFASAN

PENINGKATAN PERMEABILITAS
MEMBRAN ALVEOLAR KAPILER

GANGGUAN EPHITELIUM GANGGUAN


ALVEOLAR ENDHOTELIUM KAPILER

PENUMPUKAN CAIRAN
CAIRAN MASUK KE
ALVEOLI
INTERSTISIAL

OEDEMA PULMO
PENINGKATAN TAHANAN
JALAN NAFAS
PENURUNAN COMLAIN PARU

KEHILANGAN FUNGSI SEL


CAIRAN SURFAKTAN MENURUN SILIA PERNAFASAN

GANGGUAN PENGEMBANGAN PARU BERSIHAN JALAN NAFAS


(ATELEKTASIS) KOLAPS ALVEOLI TIDAK EFEKTIF

VENTILASI DAN PERFUSI TIDAK SEIMBANG GANGGUAN PERTUKARAN GAS

HIPOKSIA, HIPOSKOPNIA O2 MENURUN, CO2 MENURUN


DYSPNEA, CYIANOCIS
TINDAKAN PRIMER A, B, C, D, E

A,
VENTILASI MEKANIK

A,
RESIKO INFEKSI RESIKO CIDERA

A, A,
D. MANIFESTASI KLINIS
ARDS biasanya timbul dalam waktu 24 hingga 48 jam setelah kerusakan awal
pada paru. Setelah 72 jam 80% pasien menunjukkan gejala klinis ARDS yang jelas.
Awalnya pasien akan mengalami dispnea, kemudian biasanya diikuti dengan pernapasan
yang cepat dan dalam. Sianosis terjadi secara sentral dan perifer, bahkan tanda yang khas
pada ARDS ialah tidak membaiknya sianosis meskipun pasien sudah diberi oksigen.
Sedangkan pada auskultasi dapat ditemui ronkhi basah kasar, serta kadang wheezing
(Farid, 2006).
Analisa gas darah pada awalnya menunjukkan alkalosis respiratorik (PaO2 sangat
rendah, PaCO2 normal atau rendah, serta peningkatan pH). Foto toraks biasanya
memperlihatkan infiltrat alveolar bilateral difus yang mirip dengan edema paru atau batas-
batas jantung, namun siluet jantung biasanya normal (Ware et al,2000).
PaO2 yang sangat rendah kadang-kadang bersifat menetap meskipun konsentrasi
oksigen yang dihirup (FiO2) sudah adekuat. Keadaan ini merupakan indikasi adanya
pintas paru kanan ke kiri melalui atelektasis dan konsolidasi unit paru yang tidak terjadi
ventilasi. Keadaan inilah yang menandakan bahwa paru pasien sudah mengalami bocor di
sana-sini, bentuk yang tidak karuan, serta perfusi oksigen yang sangat tidak adekuat
(Farid, 2006)

E. KOMPLIKASI
Superinfeksi bakteri paru berupa bakteri gram negatif (Klebsiella, Pseudomonas,
dan Proteus spp) serta bakteri gram positif Staphylococcus aureus yang resisten
merupakan penyebab utama meningkatnya mortalitas dan morbiditas akibat ARDS.
Tension pneumothorax juga bisa terjadi akibat pemasangan kateter vena sentral dengan
positive pressure ventilation (PPV) serta positive end-expiratory pressure (PEEP). Pasien
ARDS yang dirawat dengan bantuan ventilasi mekanis akan mengalami penurunan
volume intravaskular serta penekanan curah jantung hingga berakibat penurunan transpor
O2 dan kegagalan organ. Lemah, lesu, tak bergairah, seakan di ambang kematian,
merupakan gejala umum yang dirasakan pasien ARDS (Farid, 2006).

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.Laboratorium
Selain hipoksemia, gas darah arteri sering awalnya menunjukkan alkalosis
pernapasan. Namun, jika ARDS terjadi dalam konteks sepsis, asidosis metabolik yang
dengan atau tanpa kompensasi respirasi dapat terjadi (Harman, 2011).
Bersamaan dengan penyakit yang berlangsung dan pernapasan meningkat, tekanan
parsial karbon dioksida (PCO2) mulai meningkat. Pasien dengan ventilasi mekanik
untuk ARDS dapat dikondisikan untuk tetap hiperkapnia (hiperkapniapermisif) untuk
mencapai tujuan volume tidal yang rendah yang bertujuan menghindaricedera paru-
paruterkait ventilator (Harman, 2011).
Kelainan lain yang diamati pada ARDS tergantung pada penyebab yang
mendasarinya atau komplikasi yang terkait dan mungkin termasuk yang berikut
(Harman, 2011).
a. Hematologi. Pada pasien sepsis, leukopenia atau leukositosis dapat dicatat.
Trombositopenia dapat diamati pada pasien sepsis dengan adanya koagulasi
intravaskular diseminata (DIC). Faktor von Willebrand (vWF) dapat meningkat
pada pasien beresiko untuk ARDS dan dapat menjadi penanda cedera endotel.
b. Ginjal. Nekrosis tubular akut (ATN) sering terjadi kemudian dalam perjalanan
ARDS, mungkin dari iskemia ke ginjal. Fungsi ginjal harus diawasi secara ketat.
c. Hepatik. Kelainan fungsi hati dapat dicatat baik dalam pola cedera hepatoseluler
atau kolestasis.
d. Sitokin. Beberapa sitokin, seperti interleukin (IL) -1, IL-6, dan IL-8, yang
meningkat dalam serum pasien pada risiko ARDS.
2.Radiologi
Pada pasien dengan onset pada paru langsung, perubahan fokal dapat terlihat sejak
dini pada radiograf dada. Pada paien dengan onset tidak langsung pada paru, radiograf
awal mungkin tidak spesifik atau mirip dengan gagal jantung kongestif dengan efusi
ringan. Setelah itu, edema paru interstisial berkembang dengan infiltrat difus. Seiring
dengan perjalanan penyakit, karakteristik kalsifikasi alveolar dan retikuler bilateral
difus menjadi jelas.Komplikasi seperti pneumotoraks dan pneumomediastinum
mungkin tidak jelas dan sulit ditemuakn, terutama pada radiografi portabel dan dalam
menghadapi kalsifikasi paru difus. Gambaran klinis pasien mungkin tidak parallel
dengan temuan radiografi. Dengan resolusi penyakit, gambaran radiografi akhirnya
kembali normal (udobi et al, 2003)
ARDS menunjukkan perubahan interstisial dan bercak infiltrat
3. Bronkoskopi
Bronkoskopi dapat dipertimbangkan untuk mengevaluasi kemungkinan infeksi
pada pasien akut dengan infiltrat paru bilateral. sampel dapat diperoleh dengan
bronkoskop bronkus subsegmental dalam dan mengumpulkan cairan yang dihisap
setelah meberikan cairan garam nonbacteriostatic (bronchoalveolar lavage; UUPA).
Cairan dianalisis untuk diferensial sel, sitologi, perak noda, dan Gram stain dan
pemeriksaan kuantitatif (Harman, 2011).

G. PENATALAKSANAAN
Tujuan terapi
1. Tidak ada terapi yang dapat menyembuhkan, umumnya bersifat suportif
2. Terapi berfokus untuk memelihara oksigenasi dan perfusi jaringan yang
adekuat
3. Mencegah komplikasi nosokomial (kaitannya dengan infeksi)
Farmakologi
1. Inhalasi NO2 (nitric oxide) memberi efek vasodilatasi selektif pada area
paru yan terdistribusi, sehingga menurunkan pirau intrapulmoner dan
tekanan arteri pulmoner, memperbaiki V/Q matching dan oksigenasi
arterial. Diberikan hanya pada pasien dengan hipoksia berat yang refrakter
2. Kortikosteroid pada pasien dengan usia lanjut ARDS / ALI atau fase
fibroproliferatif, yaitu pasien dengan hipoksemia berat yang persisten,
pada atau sekitar hari ke 7 ARDS. Rekomendasi mengenai hal ini masih
menunggu hasil studi multi senter RCT besar yang sedang berlangsung.
3. Ketoconazole: inhibitor poten untuk sintesis tromboksan dan menghambat
biosintesisleukotrienes mungkin bisa digunakan untuk mencegah ARDS
Non-farmakologi
1. Ventilasi mekanisdgn berbagai teknik pemberian, menggunakan ventilator,
mengatur PEEP (positive-end expiratory pressure)
2. Pembatasan cairan. pemberian cairan harus menghitung keseimbangan
antara :
 Kebutuhan perfusi organ yang optimal
 Masalah ekstra vasasi cairan ke paru dan jaringan : peningkatan tekanan
hidrostatik intravascular mendorong akumulasi cairan di alveolus.
ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
1. Airway :
DS: Pasien mengeluh sesak nafas
DO:Terlihat pasien kesulitan bernafas, mungkin terjadi crakles, ronchi, dan suara
nafas bronkhial.
2. Breathing:
DS : pasien mengeluh sesak nafas
DO: pernafasan cepat dan dangkal, Peningkatan kerja nafas ; penggunaan otot bantu
pernafasan seperti retraksi intercostal atau substernal, nasal flaring, meskipun
kadar oksigen tinggi. Suara nafas : biasanya normal, mungkin pula terjadi
crakles, ronchi, dan suara nafas bronkhial. Perkusi dada : Dull diatas area
konsolidasi. Penurunan dan tidak seimbangnya ekpansi dada. Peningkatan
fremitus (tremor vibrator pada dada yang ditemukan dengan cara palpasi.
Sputum encer, berbusa.
3. Circulation :
DS: pasien mengeluh sesak nafas
DO:Tekanan darah bisa normal atau meningkat (terjadinya hipoksemia), hipotensi
terjadi pada stadium lanjut (shock). Heart rate : takikardi biasa terjadi. Bunyi
jantung : normal pada fase awal, S2 (komponen pulmonic) dapat terjadi.
Disritmia dapat terjadi, tetapi ECG sering menunjukkan normal. Kulit dan
membran mukosa : mungkin pucat, dingin. Cyanosis biasa terjadi (stadium lanjut)
4. Blood
DS : -
DO: Kulit terlihat sianosis, hipotensi, Pemeriksaan hasil Analisa Gas Darah:
Hipoksemia ( pe ↓ PaO2 ), Hipokapnia ( pe ↓ PCO2 ) pada tahap awal karena
hiperventilasi, Hiperkapnia ( pe ↑ PCO2 ) menunjukkan gagal ventilasi,
Alkalosis respiratori ( pH > 7,45 ) pada tahap dini, Asidosis respiratori /
metabolik terjadi pada tahap lanjut
5. Brain
DS : pasien mengeluh kepala terasa sakit
DO : terjadi penurunan kesadaran mental.
6. Bladder
DS : -
DO : -
7. Bowel
DS : pasien mengeluh mual, dan kehilangan nafsu makan.
DO : hilang atau melemahnya bising usus, perubahan atau penurunan berat badan.
8. Bone
DS : -
DO : terdapat sianosis pada kulit dan kuku.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Bersihan Jalan Nafas Tak Efektif berhubungan dengan Meningkatnya tahanan jalan
nafas (edema interstisisial).
2. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan Kehilangan surfaktan menyebabkan
kolaps alveoli
3. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan aliran balik vena, dan
penurunan curah jantung.
4. Ansietas berhubungan dengan penyakit kritis, takut kematian, atau kecatatan,
perubahan peran dalam sosial, atau kecatatan permanen.

C. RENCANA/ INTERVENSI KEPERAWATAN


1. Bersihan Jalan Nafas Tak Efektif berhubungan dengan Meningkatnya tahanan jalan
nafas (edema interstisisial).
Diagnosa Keperawatan/ Rencana keperawatan
Masalah Kolaborasi
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

Bersihan Jalan Nafas tidak NOC:


efektif berhubungan dengan:  Respiratory status :  Pastikan kebutuhan oral / tracheal
- Infeksi, disfungsi Ventilation suctioning.
neuromuskular, hiperplasia  Respiratory status : Airway  Berikan O2 ……l/mnt,
dinding bronkus, alergi jalan patency metode………
nafas, asma, trauma  Aspiration Control  Anjurkan pasien untuk istirahat dan
- Obstruksi jalan nafas : spasme Setelah dilakukan tindakan napas dalam
jalan nafas, sekresi tertahan, keperawatan selama  Posisikan pasien untuk
banyaknya mukus, adanya jalan …………..pasien memaksimalkan ventilasi
nafas buatan, sekresi bronkus, menunjukkan keefektifan jalan  Lakukan fisioterapi dada jika perlu
adanya eksudat di alveolus, nafas dibuktikan dengan  Keluarkan sekret dengan batuk atau
adanya benda asing di jalan kriteria hasil : suction
nafas.  Mendemonstrasikan batuk  Auskultasi suara nafas, catat adanya
DS: efektif dan suara nafas yang suara tambahan
bersih, tidak ada sianosis  Berikan bronkodilator :
- Dispneu
dan dyspneu (mampu - ………………………
DO:
mengeluarkan sputum, - ……………………….
- Penurunan suara nafas
bernafas dengan mudah,
- Orthopneu tidak ada pursed lips) - ………………………
- Cyanosis  Menunjukkan jalan nafas  Monitor status hemodinamik
- Kelainan suara nafas (rales, yang paten (klien tidak  Berikan pelembab udara Kassa
wheezing) merasa tercekik, irama basah NaCl Lembab
- Kesulitan berbicara nafas, frekuensi pernafasan  Berikan antibiotik :
- Batuk, tidak efekotif atau tidak dalam rentang normal, tidak …………………….
ada ada suara nafas abnormal) …………………….
- Produksi sputum  Mampu  Atur intake untuk cairan
- Gelisah mengidentifikasikan dan mengoptimalkan keseimbangan.
- Perubahan frekuensi dan irama mencegah faktor yang  Monitor respirasi dan status O2
nafas penyebab.  Pertahankan hidrasi yang adekuat
 Saturasi O2 dalam batas untuk mengencerkan sekret
normal
 Jelaskan pada pasien dan keluarga
 Foto thorak dalam batas
tentang penggunaan peralatan : O2,
normal
Suction, Inhalasi.

2. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan Kehilangan surfaktan menyebabkan


kolaps alveoli
Diagnosa Keperawatan/ Rencana keperawatan
Masalah Kolaborasi
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

Gangguan Pertukaran gas NOC: NIC :


Berhubungan dengan :  Respiratory Status : Gas  Posisikan pasien untuk
 ketidakseimbangan perfusi exchange memaksimalkan ventilasi
ventilasi  Keseimbangan asam Basa,  Pasang mayo bila perlu
 perubahan membran kapiler- Elektrolit  Lakukan fisioterapi dada jika perlu
alveolar  Respiratory Status :  Keluarkan sekret dengan batuk atau
DS: ventilation suction
 sakit kepala ketika bangun  Vital Sign Status  Auskultasi suara nafas, catat
 Dyspnoe Setelah dilakukan tindakan adanya suara tambahan
 Gangguan penglihatan keperawatan selama ….  Berikan bronkodilator ;
DO: Gangguan pertukaran pasien -………………….
 Penurunan CO2 teratasi dengan kriteria hasi: -………………….
 Takikardi  Mendemonstrasikan
 Barikan pelembab udara
 Hiperkapnia peningkatan ventilasi dan
 Atur intake untuk cairan
 Keletihan oksigenasi yang adekuat
mengoptimalkan keseimbangan.
 Iritabilitas  Memelihara kebersihan paru
 Monitor respirasi dan status O2
 Hypoxia paru dan bebas dari tanda
 kebingungan tanda distress pernafasan  Catat pergerakan dada,amati
 sianosis  Mendemonstrasikan batuk kesimetrisan, penggunaan otot
 warna kulit abnormal (pucat, efektif dan suara nafas yang tambahan, retraksi otot
kehitaman) bersih, tidak ada sianosis supraclavicular dan intercostal
 Hipoksemia dan dyspneu (mampu  Monitor suara nafas, seperti
 hiperkarbia mengeluarkan sputum, dengkur
 AGD abnormal mampu bernafas dengan  Monitor pola nafas : bradipena,
 pH arteri abnormal mudah, tidak ada pursed takipenia, kussmaul, hiperventilasi,
frekuensi dan kedalaman nafas lips) cheyne stokes, biot
abnormal  Tanda tanda vital dalam  Auskultasi suara nafas, catat area
rentang normal penurunan / tidak adanya ventilasi
 AGD dalam batas normal dan suara tambahan
 Status neurologis dalam  Monitor TTV, AGD, elektrolit dan
batas normal ststus mental
 Observasi sianosis khususnya
membran mukosa
 Jelaskan pada pasien dan keluarga
tentang persiapan tindakan dan
tujuan penggunaan alat tambahan
(O2, Suction, Inhalasi)
 Auskultasi bunyi jantung, jumlah,
irama dan denyut jantung

3. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan aliran balik vena, dan
penurunan curah jantung.
Diagnosa Keperawatan/ Rencana keperawatan
Masalah Kolaborasi
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

Perfusi jaringan NOC : NIC :


kardiopulmonal tidak efektif  Cardiac pump  Monitor nyeri dada (durasi,
b/d gangguan afinitas Hb oksigen, Effectiveness intensitas dan faktor-faktor
penurunan konsentrasi Hb,  Circulation status presipitasi)
Hipervolemia, Hipoventilasi,  Tissue Prefusion :  Observasi perubahan ECG
gangguan transport O2, gangguan cardiac, periferal  Auskultasi suara jantung
aliran arteri dan vena  Vital Sign Statusl dan paru
Setelah dilakukan asuhan  Monitor irama dan jumlah
DS: selama………ketidakefektifan denyut jantung
- Nyeri dada perfusi jaringan  Monitor angka PT, PTT
- Sesak nafas kardiopulmonal teratasi dengan dan AT
DO kriteria hasil:  Monitor elektrolit
- AGD abnormal  Tekanan systole dan (potassium dan
- Aritmia diastole dalam rentang magnesium)
- Bronko spasme yang diharapkan  Monitor status cairan
- Kapilare refill > 3 dtk  CVP dalam batas normal  Evaluasi oedem perifer dan
- Retraksi dada  Nadi perifer kuat dan denyut nadi
- Penggunaan otot-otot tambahan simetris  Monitor peningkatan
 Tidak ada oedem perifer kelelahan dan kecemasan
dan asites  Instruksikan pada pasien
 Denyut jantung, AGD, untuk tidak mengejan
ejeksi fraksi dalam batas selama BAB
normal  Jelaskan pembatasan intake
 Bunyi jantung abnormal kafein, sodium, kolesterol
tidak ada dan lemak
 Nyeri dada tidak ada  Kelola pemberian obat-
 Kelelahan yang ekstrim obat: analgesik, anti
tidak ada koagulan, nitrogliserin,
 Tidak ada vasodilator dan diuretik.
ortostatikhipertensi  Tingkatkan istirahat (batasi
pengunjung, kontrol
stimulasi lingkungan)
4. Ansietas berhubungan dengan penyakit kritis, takut kematian, atau kecatatan,
perubahan peran dalam sosial, atau kecatatan permanen.

Diagnosa Keperawatan/ Rencana keperawatan


Masalah Kolaborasi
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

Kecemasan berhubungan dengan NOC : NIC :


Krisis situasional, perubahan - Kontrol kecemasan Anxiety Reduction
status kesehatan, perubahan - Koping (penurunan kecemasan)
konsep diri. Setelah dilakukan asuhan  Gunakan pendekatan
selama ……………klien yang menenangkan
DO/DS: kecemasan teratasi dgn kriteria  Nyatakan dengan jelas
- Insomnia hasil: harapan terhadap pelaku
- Kontak mata kurang  Klien mampu pasien
- Kurang istirahat mengidentifikasi dan  Jelaskan semua prosedur
- Berfokus pada diri sendiri mengungkapkan gejala dan apa yang dirasakan
- Iritabilitas cemas selama prosedur
- Takut  Mengidentifikasi,  Temani pasien untuk
- Nyeri perut mengungkapkan dan memberikan keamanan
- Penurunan TD dan denyut nadi menunjukkan tehnik untuk dan mengurangi takut
- Diare, mual, kelelahan mengontol cemas  Berikan informasi faktual
- Gangguan tidur  Vital sign dalam batas mengenai diagnosis,
- Gemetar normal tindakan prognosis
- Anoreksia, mulut kering  Postur tubuh, ekspresi  Libatkan keluarga untuk
- Peningkatan TD, denyut nadi, wajah, bahasa tubuh dan mendampingi klien
RR tingkat aktivitas
 Instruksikan pada pasien
- Kesulitan bernafas menunjukkan
untuk menggunakan
- Bingung berkurangnya kecemasan
tehnik relaksasi
- Bloking dalam pembicaraan
 Dengarkan dengan penuh
- Sulit berkonsentrasi
perhatian
 Identifikasi tingkat
kecemasan
 Bantu pasien mengenal
situasi yang
menimbulkan kecemasan
 Dorong pasien untuk
mengungkapkan
perasaan, ketakutan,
persepsi
 Kelola pemberian obat
anti cemas:........
DAFTAR PUSTAKA

Amin Zulkifli, Purwoto J. (2007). ‘Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)’ Dalam :
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II; Edisi IV. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
Dalam FKUI

Farid (2006). Acute Respiratory Distress Syndrome. Maj Farm vol 4 (12).
<http://content.ebscohost.com/pdf 1821/pdf/2010/IJM/01Feb06/4949718.pdf>diakses pada
01 april 2013

Guntur AH. (2007). ‘Sepsis’ Dalam : buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II; Edisi IV. Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam : FKUI

Harman EM. (2011). Acute Respiratory Distress Syndrome Overview.


http://emedicine.medscape.com/article/165139-overview diakses pada 01 april 2013

Udobi KF, Touijer K. (2003). Acute Respiratory Distress Syndrome. Am Fam Physician. Vol.
67 (2) :315-322.http://www.biomedcentral.com/1471-230X/11/35diakses pada 01 april
2013

Ware LB, Matthay MA.(2000)The Acute Respiratory Distress Syndrome. N Engl J Med vol
(342) 1334-1349. www.nejm.org

Wilkinson,J & Ahern, N (2012). Buku Saku Diagnosa Keperawatan Nanda, Intervensi Nic,
Kriteria Hasil Noc. Jakarta : Prima Medika.

Anda mungkin juga menyukai