Anda di halaman 1dari 9

RHEUMATOID ARTHRITIS

Definisi
Kata arthritis berasal dari dua kata Yunani. Pertama, arthron, yang berarti sendi. Kedua, itis
yang berarti peradangan. Secara harfiah, arthritis berarti radang sendi. Sedangkan rheumatoid
arthritis adalah suatu penyakit autoimun dimana persendian (biasanya sendi tangan dan kaki)
mengalami peradangan, sehingga terjadi pembengkakan, nyeri dan seringkali akhirnya
menyebabkan kerusakan bagian dalam sendi (Gordon, 2002). Engram (1998) mengatakan
bahwa, rheumatoid arthritis adalah penyakit jaringan penyambung sistemik dan kronis
dikarakteristikkan oleh inflamasi dari membran sinovial dari sendi di artroidial.

Epidemiologi
Rheumatoid arthritis secara global menyerang semua etnis dan usia, dengan angka
kejadian yang berbeda-beda sebesar 0,3-5 persen. Tapi gangguan itu cenderung meningkat
pada usia dewasa muda atau usia pertengahan dan usia produktif. Wanita 3-4 kali lebih
berisiko terkena, serta lebih banyak terjadi di negara berkembang. Prevalensi penyakit RA di
Indonesia saat ini belum diketahui secara pasti. Dalam penelitiannya, Darmawan et al., pada
tahun 1993 menyebutkan prevalensi RA di Indonesia 0,2% untuk penduduk di daerah
pedesaan dan 0,3% untuk penduduk di daerah kota.
Di Indonesia, diperkirakan, pada kelompok dewasa di atas 18 tahun ada 0,1-0,3
persen penderita. Sedangkan pada anak-anak dan remaja yang kurang dari 18 tahun ada 1 dari
100 ribu penduduk. Kini diperkirakan ada sekitar 360 ribu pasien rheumatoid arthritis dewasa
di Indonesia. Kendati prevalensinya rendah, penyakit ini sangat progresif dan paling sering
menyebabkan kecacatan. Kerusakan sendi sudah mulai terjadi pada enam bulan pertama
setelah terserang penyakit ini, sedangkan kecacatan terjadi 2-3 tahun kemudian bila tidak
diobati (Widowati, 2010).

Klasifikasi
Buffer (2010) mengklasifikasikan rheumatoid arthritis menjadi 4 tipe, yaitu:
1) Rheumatoid arthritis klasik pada tipe ini harus terdapat 7 kriteria tanda dan gejala
sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu.
2) Rheumatoid arthritis defisit pada tipe ini harus terdapat 5 kriteria tanda dan gejala
sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu.
3) Probable rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 3 kriteria tanda dan gejala
sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu.
4) Possible rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 2 kriteria tanda dan gejala
sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 3 bulan.

Etiologi
Penyebab penyakit rheumatoid arthritis belum diketahui secara pasti, namun faktor
predisposisinya adalah mekanisme imunitas (antigen-antibodi), faktor metabolik, dan infeksi
virus (Suratun, Heryati, Manurung & Raenah, 2008).

Patofisiologi
Pada rheumatoid arthritis, reaksi autoimun (yang dijelaskan sebelumnya) terutama
terjadi dalam jaringan sinovial. Proses fagositosis menghasilkan enzim-enzim dalam sendi.
Enzim-enzim tersebut akan memecah kolagen sehingga terjadi edema, proliferasi membran
sinovial dan akhirnya pembentukan pannus. Pannus akan menghancurkan tulang rawan dan
menimbulkan erosi tulang. Akibatnya adalah menghilangnya permukaan sendi yang akan

1
mengganggu gerak sendi. Otot akan turut terkena karena serabut otot akan mengalami
perubahan degeneratif dengan menghilangnya elastisitas otot dan kekuatan kontraksi otot
(Smeltzer & Bare, 2002).
Lamanya rheumatoid arthritis berbeda pada setiap orang ditandai dengan adanya masa
serangan dan tidak adanya serangan. Sementara ada orang yang sembuh dari serangan
pertama dan selanjutnya tidak terserang lagi. Namun pada sebagian kecil individu terjadi
progresif yang cepat ditandai dengan kerusakan sendi yang terus menerus dan terjadi
vaskulitis yang difus (Long, 1996).

Manifestasi Klinis
Gejala umum rheumatoid arthritis datang dan pergi, tergantung pada tingkat
peradangan jaringan. Ketika jaringan tubuh meradang, penyakit ini aktif. Ketika jaringan
berhenti meradang, penyakit ini tidak aktif. Remisi dapat terjadi secara spontan atau dengan
pengobatan dan pada minggu-minggu terakhir bisa bulan atau tahun. Selama remisi, gejala
penyakit hilang dan orang-orang pada umumnya merasa sehat ketika penyakit ini aktif lagi
(kambuh) ataupun gejala kembali (Reeves, Roux & Lockhart, 2001).
Ketika penyakit ini aktif gejala dapat termasuk kelelahan, kehilangan energi,
kurangnya nafsu makan, demam kelas rendah, nyeri otot dan sendi dan kekakuan. Otot dan
kekauan sendi biasanya paling sering di pagi hari. Disamping itu juga manifestasi klinis
rheumatoid arthritis sangat bervariasi dan biasanya mencerminkan stadium serta beratnya
penyakit. Rasa nyeri, pembengkakan, panas, eritema dan gangguan fungsi merupakan
gambaran klinis yang klasik untuk rheumatoid arthritis (Smeltzer & Bare, 2002). Gejala
sistemik dari rheumatoid arthritis adalah mudah capek, lemah, lesu, takikardi, berat badan
menurun, anemia (Long, 1996).
Pola karakteristik dari persendian yang terkena adalah : mulai pada persendian kecil
di tangan, pergelangan, dan kaki. Secara progresif mengenai persendian, lutut, bahu, pinggul,
siku, pergelangan kaki, tulang belakang serviks, dan temporomandibular. Awitan biasanya
akut, bilateral dan simetris. Persendian dapat teraba hangat, bengkak, kaku pada pagi hari
berlangsung selama lebih dari 30 menit. Deformitas tangan dan kaki adalah hal yang umum.
Jika ditinjau dari stadium penyakit, terdapat tiga stadium yaitu :

1. Stadium sinovitis
Pada stadium ini terjadi perubahan dini pada jaringan sinovial yang ditandai
hiperemi, edema karena kongesti, nyeri pada saat bergerak maupun istirahat,
bengkak dan kekakuan.

2. Stadium destruksi
Pada stadium ini selain terjadi kerusakan pada jaringan sinovial terjadi juga pada
jaringan sekitarnya yang ditandai adanya kontraksi tendon.

3. Stadium deformitas
Pada stadium ini terjadi perubahan secara progresif dan berulang kali, deformitas
dan gangguan fungsi secara menetap.

Keterbatasan fungsi sendi dapat terjadi sekalipun stadium pada penyakit yang dini
sebelum terjadi perubahan tulang dan ketika terdapat reaksi inflamasi yang akut pada sendi-
sendi tersebut. Persendian yang teraba panas, membengkak, tidak mudah digerakkan dan
pasien cendrung menjaga atau melinddungi sendi tersebut dengan imobilisasi. Imobilisasi
dalam waktu yang lama dapat menimbulkan kontraktur sehingga terjadi deformitas jaringan

2
lunak. Deformitas dapat disebabkan oleh ketidaksejajajran sendi yang terjadi ketika sebuah
tulang tergeser terhadap lainnya dan menghilangkan rongga sendi (Smeltzer & Bare, 2002).
Adapun tanda dan gejala yang umum ditemukan atau sangat serius terjadi pada lanjut
usia menurut Buffer (2010), yaitu: sendi terasa kaku pada pagi hari, bermula sakit dan
kekakuan pada daerah lutut, bahu, siku, pergelangan tangan dan kaki, juga pada jari-jari,
mulai terlihat bengkak setelah beberapa bulan, bila diraba akan terasa hangat, terjadi
kemerahan dan terasa sakit/nyeri, bila sudah tidak tertahan dapat menyebabkan demam, dapat
terjadi berulang.

Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium
Berikut adalah pemeriksaan laboratorium yang bisa dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnosa RA.

1. Pemeriksaan cairan synovial


a. Warna kuning sampai putih dengan derajat kekeruhan yang menggambarkan
peningkatan jumlah sel darah putih.
b. Leukosit 5.000 – 50.000/mm3, menggambarkan adanya proses inflamasi yang
didominasi oleh sel neutrophil (65%).
c. Rheumatoid faktor positif, kadarnya lebih tinggi dari serum dan berbanding
terbalik dengan cairan sinovium.
2. Pemeriksaan kadar sero-imunologi
a. Tes faktor reuma biasanya positif pada lebih dari 75% pasien artritis
rheumatoid terutama bila masih aktif. Sisanya dapat dijumpai pada pasien
lepra, tuberkulosis paru, sirosis hepatis, hepatitis infeksiosa, lues, endokarditis
bakterialis, penyakit kolagen, dan sarkoidosis.
b. Anti CCP antibody positif telah dapat ditemukan pada arthritis rheumatoid
dini.
3. Pemeriksaan darah tepi
a. Leukosit : normal atau meningkat sedikit
b. Anemia normositik atau mikrositik, tipe penyakit kronis.
c. Trombosit meningkat.
d. Kadar albumin serum turun dan globulin naik.
e. Protein C-reaktif biasanya positif.
f. LED meningkat.
Protein C-Reaktif (CRP)
Protein C-reactif (C-reactive protein, CRP) dibuat oleh hati dan dikeluarkan ke dalam
aliran darah. CRP beredar dalam darah selama 6-10 jam setelah proses inflamasi akut dan
destruksi jaringan. Kadarnya memuncak dalam 48-72 jam. Seperti halnya uji laju endap darah
(erithrocyte sedimentation rate, ESR), CRP merupakan uji non-spesifik tetapi keberadaan
CRP mendahului peningkatan LED selama inflamasi dan nekrosis lalu segera kembali ke
kadar normalnya.
CRP merupakan salah satu dari beberapa protein yang sering disebut sebagai protein
fase akut dan digunakan untuk memantau perubahan-perubahan dalam fase inflamasi akut
yang dihubungkan dengan banyak penyakit infeksi dan penyakit autoimun. Beberapa keadaan
dimana CRP dapat dijumpai meningkat adalah radang sendi ( rheumatoid arthritis), demam
rematik, kanker payudara, radang usus, penyakit radang panggung ( pelvic inflammatory
disease, PID), penyakit Hodgkin, SLE, dan infeksi bakterial. CRP juga meningkat pada

3
kehamilan trimester terakhir, pemakaian alat kontrasepsi intrauterus dan pengaruh obat
kontrasepsi oral.
Tes CRP seringkali dilakukan berulang-ulang untuk mengevaluasi dan menentukan
apakah pengobatan yang dilakukan efektif. CRP juga digunakan untuk memantau
penyembuhan luka dan untuk memantau pasien paska bedah sebagai sistem deteksi dini
kemungkinan infeksi.
Tes CRP dapat dilakukan secara manual menggunakan metode aglutinasi atau metode
lain yang lebih maju, misalnya sandwich imunometri. Tes aglutinasi dilakukan dengan
menambahkan partikel latex yang dilapisi antibodi anti CRP pada serum atau plasma
penderita sehingga akan terjadi aglutinasi. Untuk menentukan titer CRP, serum atau plasma
penderita diencerkan dengan buffer glisin dengan pengenceran bertingkat (1/2, 1/4, 1/8, 1/16
dan seterusnya) lalu direaksikan dengan latex. Titer CRP adalah pengenceran tertinggi yang
masih terjadi aglutinasi.
Tes sandwich imunometri dilakukan dengan mengukur intensitas warna menggunakan
Nycocard Reader. Berturut-turut sampel (serum, plasma, whole blood) dan konjugat
diteteskan pada membran tes yang dilapisi antibodi mononklonal spesifik CRP. CRP dalam
sampel tangkap oleh antibodi yang terikat pada konjugat gold colloidal particle. Konjugat
bebas dicuci dengan larutan pencuci (washing solution). Jika terdapat CRP dalam sampel
pada level patologis, maka akan terbentuk warna merah-coklat pada area tes dengan
intensitas warna yang proporsional terhadap kadar. Intensitas warna diukur secara Kuantitatif
menggunakan NycoCard reader II.
Nilai rujukan normal CRP dengan metode sandwich imunometri adalah <5 mg/L.
Nilai rujukan ini tentu akan berbeda di setiap laboratorium tergantung reagen dan metode
yang digunakan ( Laboratorium Kesehatan , 2009).

Laju Endap Darah (LED)


Laju endap darah (erithrocyte sedimentation rate, ESR) yang juga disebut laju
sedimentasi eritrosit adalah kecepatan sedimentasi eritrosit dalam darah yang belum
membeku, dengan satuan mm/jam. LED merupakan uji yang tidak spesifik. LED dijumpai
meningkat selama proses inflamasi akut, infeksi akut dan kronis, kerusakan jaringan
(nekrosis), penyakit kolagen, rheumatoid, malignansi, dan kondisi stress fisiologis (misalnya
kehamilan). Sebagian ahli hematologi, LED tidak andal karena tidak spesifik, dan
dipengaruhi oleh faktor fisiologis yang menyebabkan temuan tidak akurat.
Pemeriksaan LED dipertimbangkan kurang spesifik daripada CRP karena kenaikan
kadar CRP terjadi lebih cepat selama proses inflamasi akut, dan lebih cepat juga kembali ke
kadar normal daripada LED. Namun, beberapa dokter masih mengharuskan uji LED bila
ingin membuat perhitungan kasar mengenai proses penyakit, dan bermanfaat untuk mengikuti
perjalanan penyakit. Jika nilai LED meningkat, maka uji laboratorium lain harus dilakukan
untuk mengidentifikasi masalah klinis yang muncul.
Metode yang digunakan untuk pemeriksaan LED ada dua, yaitu metode Wintrobe dan
Westergreen. Hasil pemeriksaan LED dengan menggunakan kedua metode tersebut
sebenarnya tidak seberapa selisihnya jika nilai LED masih dalam batas normal. Tetapi jika
nilai LED meningkat, maka hasil pemeriksaan dengan metode Wintrobe kurang
menyakinkan. Dengan metode Westergreen bisa didapat nilai yang lebih tinggi, hal itu
disebabkan panjang pipet Westergreen yang dua kali panjang pipet Wintrobe. Kenyataan
inilah yang menyebabkan para klinisi lebih menyukai metode Westergreen daripada metode
Wintrobe. Selain itu, Internasional Committee for Standardization in Hematology (ICSH)
merekomendasikan untuk menggunakan metode Westergreen.

Evaluasi Diagnostik

4
Beberapa faktor yang turut dalam memberikan kontribusi pada penegakan diagnosis
rheumatoid arthritis, yaitu nodul rheumatoid, inflamasi sendi yang ditemukan pada saat
palpasi dan hasil-hasil pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaaan laboratorium menunjukkan
peninggian laju endap darah dan factor rheumatoid yang positif sekitar 70%; pada awal
penyakit faktor ini negatif. Jumlah sel darah merah dan komplemen C4 menurun.
Pemeriksaan C-reaktifprotein (CRP) dan antibody antinukleus (ANA) dapat menunjukan
hasil yang positif. Artrosentesis akan memperlihatkan cairan sinovial yang keruh, berwarna
mirip susu atau kuning gelap dan mengandung banyak sel inflamasi, seperti leukosit dan
komplemen (Smeltzer & Bare, 2002).
Pemeriksaan sinar-X dilakukan untuk membantu penegakan diagnosis dan memantau
perjalanan penyakitnya. Foto rontgen akan memperlihatkan erosi tulang yang khas dan
penyempitan rongga sendi yang terjadi dalam perjalanan penyakit tersebut (Smeltzer & Bare,
2002).

Penatalaksanaan
Tujuan Terapi RA
1. Mengurangi inflamasi
2. Meringankan rasa nyeri
3. Mempertahankan fungsi
4. Melindungi struktur artikulasi
5. Mengontrol keterlibatan sistemik

Terapi Farmakologik
Manajemen medis pasien RA memerlukan pertimbangan-pertimbangan tertentu, seperti:
a. Potensi inflamasi dalam mengakibatkan disabilitas
b. Hubungan antara inflamasi dan erosi tulang
c. Variabilitas penyakit
d. Pentingnya reevaluasi pasien untuk melihat respons terhadap terapi, kerusakan sendi,
efek samping terapi, dan perkembangan disabilitas.

Berikut adalah obat-obat yang dapat digunakan untuk terapi RA.

1. Kontrol gejala dari proses inflamasi lokal dengan NSAID


Penggunaan obat-obat seperti aspirin dan NSAID (Nonsteroidal Anti-Inflammatory
Drugs) lainnya memiliki efek minimal terhadap perkembangan penyakit, tetapi
mereka sangat efektif dalam mengurangi gejala inflamasi. Banyak NSAID selain
aspirin yang dapat digunakan untuk mengobati RA, dan obat-obat ini bekerja dengan
memblok aktivitas enzim COX. Dampaknya adalah produksi prostaglandin,
prostacyclin, dan thromboxane yang terhambat terhambat sehingga muncul efek yang
bersifat antiinflamasi, antipiretik, dan analgesik.

1.1 Farmakodinamik
Inhibisi biosintesis prostaglandin adalah mekanisme utama yang mendasari efek
antiinflamasi pada NSAID. NSAID juga mengurangi sensitivitas pembuluh
darah terhadap histamin dan bradikinin mempengaruhi produksi limfokin oleh
limfosit T, dan membalikkan proses vasodilatasi pada inflamasi.
Metabolisme asam arakidonat melibatkan kerja dua enzim yang
memiliki fungsinya masing-masing. COX-1 berada dalam banyak sel dan
jaringan (termasuk lambung dan platelet) sedangkan COX-2 dirangsang oleh
stimulus inflamasi dan tidak ada di lambung maupun platelet. Efek antiinflamasi

5
NSAID bekerja melalui inhibisi COX-2 sedangkan inhibisi COX-1
mengakibatkan kebanyakan toksisitas. Maka dari itu, efek antiinflamasi
didampingi pula dengan efek samping toksik. Efek samping NSAID terkait
dengan penghambatan COX di antaranya adalah iritasi gaster, azotemia,
disfungsi platelet, dan memburuknya rhinitis alergi dan asma. Selain itu,
terdapat pula efek samping yang tidak berkaitan dengan penghambatan COX
seperti ruam, abnormalitas fungsi liver, dan depresi sumsum tulang. NSAID
selain aspirin tidak lebih efektif daripada aspirin dalam mengobati RA, tetapi
obat-obat tersebut memiliki insidensi yang lebih rendah dalam menghasilkan
intoleransi gaster.
Kerja enzim COX-2 dapat diinhibisi secara spesifik menggunakan Coxib
(COX inhibitors) yang juga diterima sebagai terapi RA. Coxib dinilai sama
efektifnya dengan NSAID klasik dalam mensupresi gejala-gejala RA. Coxib
memiliki keunggulan mengakibatkan ulserasi gastroduoedenum yang jauh lebih
sedikit serta mengurangi insidensi pendarahan gastrointestinal, perforasi, dan
obstruksi yang terjadi pada NSAID klasik. Akan tetapi, penelitian menemukan
bahwa coxib dapat diasosiasikan dengan peningkatan risiko kejadian
kardiovaskular. Maka dari itu, dalam penanganan RA dibutuhkan pertimbangan
antara keuntungan dan risiko yang akan timbul, terutama dengan mengingat
bahwa penyakit kardiovaskular berperan penting dalam peningkatan mortalitas
pasien RA.

Farmakokinetik
Makanan tidak mengubah bioavailabilitas NSAID secara substansial dan kebanyakan
NSAID diserap dengan baik oleh tubuh. Metabolisme NSAID dapat berlangsung melalui fase
I yang diikuti fase II, tetapi ada juga yang dimetabolisme melalui fase II saja. Metabolisme
dilanjutkan dengan enzim P450 pada hati. Iritasi saluran gastrointestinal berkolerasi dengan
jumlah sirkulasi enterohepatik. Setelah dosis yang berulang-ulang, NSAID dapat ditemukan
pada cairan synovial.

Disease-Modifying Antirheumatic Drugs (DMARD)


Telah ditemukan agen-agen tertentu yang dapat mengubah perjalanan penyakit RA.
Agen-agen ini tidak memiliki kemiripan secara kimiawi maupun farmakologik, tetapi
semuanya memiliki kesamaan karakteristik tertentu, misalnya pemberian efek antiinflamasi.
Agen-agen ini mencakup methotrexate, gold compounds, D-penicillamine, antimalaria, dan
sulfasalazine.
DMARD memiliki mekanisme farmakokinetik dan farmakodinamik yang berbeda-
beda. DMARD memiliki efek antiinflamasi dan analgesik langsung yang minimal (kecuali
pada kasus terdapatnya remisi nyata). Keuntungan dari terapi DMARD biasanya tertunda
mulai bermingu-minggu sampai berbulan-bulan. Selain kemajuan dalam hal klinis, bukti
serologis aktivitas penyakit juga membaik. Titer faktor rheumatoid, protein C-reactive, dan
sedimentasi eritrosit juga seringkali menurun. DMARD juga dapat membantu penyembuhan
tulang dari erosi tulang atau menghambat terjadinya erosi tulang. Setiap DMARD
diasosiasikan dengan toksisitas tertentu sehingga pasien perlu dimonitor. Pasien yang kurang
merespon atau menunjukkan efek toksik dari DMARD tertentu dapat menggunakan DMARD
yang lain. Belum ditemukan karakteristik pasien tertentu yang memberi petunjuk terhadap
kemampuannya merespon terhadap DMARD tertentu.
Methotrexate adalah DMARD pilihan pertama penanganan RA (digunakan pada 60%
pasien) karena onset kerjanya yang cepat, kemampuannya memperbaiki keadaan, dan lebih

6
tingginya tingkatan retensi pasien pada terapi. Methotrexate memiliki respons klinik yang
lebih baik dan toksisitas yang lebih rendah.
Penelitian klinis berjangka waktu lama menunjukkan bahwa methotrexate tidak
menimbulkan remisi, tetapi menahan gejala-gejala selama ia masih digunakan. Akan tetapi,
perubahan yang maksimal akan mucul 6 bulan setelah terapi dan setelah itu diikuti oleh
perubahan-perubahan yang kecil. Toksisitas mencakup ulserasi oral, abnormalitas liver yang
berhubungan dengan dosis dan bersifat reversibel, fibrosis hepatik, dan pneumonitis.
Administrasi bersamaan asam folat atau folinic acid dapat mengurangi frekuensi beberapa
efek samping tanpa mengganggu efektivitas.
DMARD pada awal terjadinya RA memberi efek yang jelas pada erosi tulang dan
perkembangan terhadap disabilitas. Oleh karena itu, DMARD dianggap perlu dimulai
sesegara mungkin setelah diagnosis RA sudah ditegakkan.

Terapi Glukokortikoid
Glukokortikoid oral dosis rendah dapat mensupresi gejala inflamasi dan menghambat
perkembangan erosi tulang. Glukokortikoid intraartikular seringkali memberikan keringanan
transien terhadpa gejala apabila terapi sistemik medis gagal mengatasi inflamasi. Pulsasi
setiap bulan beserta glukokortikoid dosis tinggi dapat bermanfaat bagi pasien dan
mempercepat respons terapi DMARD. Terapi glukokortikoid sistemik dapat memberikan
terapi gejala yang efektif pada pasien dengan RA.

Farmakodinamik
Glukokortikoid berinteraksi dengan reseptor pada superfamily yang mengontrol transkripsi
sehingga menghasilkan represi atau induksi gen-gen tertentu. Contoh mekanisme
glukokortikoid dalam melaksanakan fungsinya sebagai antiinflamasi dan imunosupresan
adalah inhibisi transkripsi gen COX-2, sitokin-sitokin, dan lain-lain. Glukokortikoid juga
meningkatkan sintesis lipocortin 1 yang memiliki efek-efek umpan balik negatif dan dapat
bersifat antiinflamasi.

Farmakokinetik
Metabolisme glukokortikoid terjadi terutama di hati kemudian metabolitnya diekskresikan
lewat urin. Waktu paruh dari plasma bersifat pendek tetapi efek biologis baru muncul setelah
2-8 jam. Hal ini dikarenakan dibutuhkannya sintesis protein yang membutuhkan berbagai
mediator dan enzim.

Agen Antisitokin
Sitokin dijadikan sasaran obat antagonis dalam menangani penyakit inflamasi yang
dimediasi sel T, misalnya RA. Bentuk larutan reseptor TNF dan antibodi anti-TNF adalah
bukti kesuksesan pertama dari metode ini. Efeknya adalah penghambatan migrasi leukosit ke
lokasi inflamasi. Intervensi pada sitokin IL-1 juga memberikan efek yang sama. IL-6 dan
reseptor IL-6 juga bisa diberikan intervensi sehingga menghambat sintesis protein fase akut.
Contoh lain adalah penghambatan IL-17 yang kemudian menghambat rekrutmen leukosit
pada daerah inflamasi.
Agen antisitokin memegang peraman penting dalam peranan RA, karena agen ini
efektif dalam meringankan gejala pasien RA baik yang belum pernah diberikan DMARD
maupun yang gagal ditangani dengan DMARD. Agen antisitokin dapat dikombinasi dengan
DMARD. Efeknya mencakup perlambatan kerusakan sendi dan perbaikan disabilitas. Akan
tetapi, agen antisitokin memiliki efek samping seperti reaktivasi tuberculosis dorman,
pembentukan ANA dan antibodi anti-DNA, reaksi infusi dan injeksi, dan efek samping yang
jarang seperti demyelinisasi sistem saraf pusat.

7
Agen Biologis Lainnya
Imunomodulator biologis belum diterima secara resmi sebagai terapi RA, tetapi agen-agen ini
menunjukkan prospek yang menjanjikan. Contoh imunomodulator biologis adalah rituximab,
antibodi monoklonal yang berikatan dengan antigen CD20 pada limfosit B, dan CTLA4Ig
(
Cytotoxic T-lymphocyte-associated antigen 4- IgG1) yang dapat mencegah aktivasi sel T.
CTLA4Ig ditemukan membantu meringankan gejala RA secara signifikan pada pasien yang
telah menerima methotrexate.

Terapi Imunosupresif
Obat-obat imunosupresif seperti azathioprine, leflunomide, cyclosporine, dan
cyclophosphamide efektif dalam penanganan RA. Efek terapeutik yang dihasilkan sama
dengan DMARD dan tidak lebih baik dari DMARD. Obat-obat ini memberikan berbagai efek
samping (contoh: neoplasma akibat cyclophosphamide), oleh karena itu terapi imunosupresif
disimpan untuk pasien yang gagal diterapi dengan DMARD dan terapi antisitokin. Yang
paling sering digunakan sebagai imunosupresan pada RA adalah leflunomide.
Metabolisme leflunomide akan menghambat enzim pada jalur biosintesis pirimidin.
Kerja utama leflunomida adalah inhibisi proliferasi limfosit T. Efek pada pasien RA berupa
kontrol gejala RA dan perlambatan kerusakan sendi. Leflunomide juga bisa digunakan secara
kombinasi dengan methotrexate. Efek samping berupa pertambahan enzim hati terjadi pada
>50% pasien yang mengkombinasikan leflunomide dengan methotrexate dan 5% pasien yang
menerima leflunomide saja.

Terapi Nonfarmakologik

a. Istirahat akan meringankan gejala dan bisa menjadi salah satu faktor penting dalam
terapi.
b. Splinting dapat berguna dalam mengurangi pergerakan yang tidak diinginkan pada
sendi yang mengalami inflamasi.
c. Olahraga (exercise) bertujuan mempertahankan mobilitas sendi dan kekuatan otot.
d. Berbagai alat bantu gerak dapat membantu mengatasi sendi yang mengalami
deformitas sehingga rasa sakit berkurang dan fungsi dapat terdukung.
e. Edukasi pada pasien dan keluarganya akan membantu meningkatkan kesadaran akan
potensi akibat dari RA serta membuat penyesuaian gaya hidup.
f. Operasi

bertujuan melaksanakan pengurangan disabilitas serta pengurangan rasa nyeri. Operasi


tangan yang rekonstruktif juga dapat meningkatkan fungsi kosmetis dan fungsi pergerakan.
Bentuk-bentuk operasi di antaranya adalah
arthroscopic synovectomy
,
arthroplasty¸
dan penggantian sendi secara total.
1
2.3 Pola Aktivitas Pasien Rheumatoid Arthritis
Berdasarkan dari pengalaman para pasien rheumatoid arthritis aktivitas yang dilakukan
sehari-hari dapat terganggu. Hal ini disebabkan adanya gerakan sendi yang terbatas.
Rheumatoid arthritis mengurangi kemampuan seseorang untuk menggerakkan sendi mereka
dalam jangkauan gerakan yang penuh. Sumber utama dari perubahan aktivitas ini adalah rasa

8
tidak nyaman pada fisik penderita rheumatoid arthritis karena sendi yang kaku dan sakit. Saat
pasien mengeluh rasa lemah dan lelah pada dokter mereka, mereka disarankan untuk
mengurangi jumlah kegiatan mereka, dan bukannya mendorong untuk menambahnya tetapi
untuk istirahat yang banyak. Fakta lain menunjukkan bahwa istirahat yang berlebihan dapat
merusak kesehatan (Gordon, 2002). Pengaruh negatif dari sistem otot dan tulang yang tidak
bergerak, mencakup: terhentinya pertumbuhan otot, tendon, ligament dan tulang.
Melemahnya otot otot, tendon, ligament dan tulang. Merosotnya kondisi tulang rawan sendi,
bertambahnya risiko tulang yang patah karena hilangnya massa tulang, suatu kondisi yang
disebut dengan osteoporosis.

Pola aktivitas pasien rheumatoid arthritis yang terganggu diterjemahkan dalam kapasitas
fungsional yang semakin rendah atau kemampuan melakukan aktivitas semakin berkurang.
Kemampuan yang menurun seperti : membungkuk untuk memungut sesuatu, membersihkan
kebun, menyisir rambut, bangun dari tempat tidur pada pagi hari, berjalan, dan berdiri
(Gordon, 2002). Selain itu juga pasien dengan rheumatoid arthritis mengalami kesulitan
melakukan kegiatan normal sehari-hari dalam hal berpakaian, berdandan, mencuci,
menggunakan toilet, menyiapkan makanan, dan melakukan pekerjaan rumah. Gejala-gejala
rheumatoid arthritis dapat juga menganggu kerja bagi orang banyak. Setengah dari pasien-
pasien rheumatoid tidak lagi mampu bekerja 10-20 tahun setelah kondisi mereka didiagnosis.

Anda mungkin juga menyukai