Yth.
LAPORAN KASUS
Senin, 15 Oktober 2018
Pukul : 13.00 WIB
Disusun oleh :
Dr.Fandi Argiansya
Pembimbing :
Narasumber :
dr. Ria Nova, Sp.A(K)
Dr. RM Aerul Chakra Alibasya, Sp.OG, (K)
Moderator :
DR.dr.Yulia Iriani, Sp.A (K)
Penilai :
dr. Syarif Darwin, Sp.A(K)
dr. Deny Salverra Yossy, Sp.A (K), M.Kes
Pubertas adalah suatu tahapan proses tumbuh kembang berkelanjutan yang dimulai
sejak dalam masa kandungan dan berakhir pada usia reproduktif. Namun demikian banyak
faktor yang dapat mengubah usia terjadinya pubertas, seperti obesitas, malnutrisi, aktivitas
yang berlebihan, dan faktor genetik15.
Pubertas pada wanita dimulai dengan awal berfungsinya ovarium dan berakhir pada
saat ovarium sudah berfungsi mantap dan teratur. Durasi pubertas adalah jarak waktu antara
usia awitan pubertas dan datangnya menstruasi.16 Menstruasi merupakan tanda penting
maturitas organ seksual seorang wanita. Secara umum amenore dibedakan menjadi 2 yaitu
amenore primer dan sekunder.
Tujuan dari dipresentasikan kasus ini yaitu untuk mengetahui penyebab dari amenore
sekunder yang terjadi pada pasien dengan Graves disease dan Penyakit Jantung Rematik.
2
LAPORAN KASUS
IDENTIFIKASI
Seorang remaja, usia 15 tahun, berat badan 43 kg, panjang badan 153 cm, tempat
tinggal di luar kota (Banyuasin). Dirawat pada tanggal 19 Maret 2018
ANAMNESIS (Dilakukan anamnesis terhadap pasien dan kedua orang tua penderita pada 19
Maret 2018)
Keluhan utama : Sesak napas dan cepat lelah
Keluhan tambahan : Berhenti menstruasi
Riwayat perjalanan penyakit :
± 2 hari SMRS penderita mengeluh sesak napas yang makin memberat dan , napas
seperti terengah-engah, Sesak setelah beraktivitas dan tidak dipengaruhi oleh cuaca, Keluhan
berkurang jika tidur dengan dua atau tiga bantal. Tidak ada nyeri dada maupun nyeri sendi
sendi juga demam. Tidak ada nyeri kepala dan kejang. Satu hari sebelumnya pasien
mengeluh batuk dan kaki dirasa mulai bengkak.
Pasien telah didiagnosis hipertiroid oleh Sp.PD sejak 3 tahun yang lalu dan mendapat
PTU serta propanolol (namun dosis tidak diketahui) yang diminum teratur. Keluhan saat itu
pasien sering berdebar disertai benjolan dileher yang merata , tidak berdungkul dan tidak
nyeri dengan mata menonjol, benjolan mengecil selama pengobatan. Sejak sakit, pasien
merasa sering lelah, capai dan tidak bisa berolah raga lagi di sekolah
Dua bulan yang lalu pasien dirawat selama 4 hari karena berdebar dan bengkak di kaki
dan perut dan didiagnosis sebagai penyakit jantung tiroid. Keluhan membaik setelah
mendapat terapi furosemid, PTU dan propanolol. BAB dan BAK seperti biasa. Tidak ada
riwayat ngilu di sendi-sendi kaki atau bengkak di sendi kaki. Batuk pilek yang hilang timbul
kadang dialami oleh pasien dan sembuh sendiri.
Saat umur 13 tahun, pasien pernah mengalami menstruasi selama 6 bulan berturut-turut,
dengan durasi sekitar 5-7 hari setiap bulannya, namun menstruasi berhenti bersamaan dengan
saat pasien didiagnosis dan mendapat terapi hipertiroid dan hingga saat ini pasien belum
menstruasi kembali dalam dua tahun ini. Tidak ada keluhan pada penciuman. Pasien juga
tidak mengeluhkan adanya penurunan berat badan walau awal sebelum sakit pasien terlihat
agak gemuk, namun kini pasien terlihat lebih kurus dan tinggi.
3
Riwayat penyakit dahulu
Riwayat mata menonjol sekitar 3 tahun SMRS tetapi sudah mulai normal
Riwayat benjolan pada leher ± 3 tahun SMRS yang sudah mulai mengecil
Riwayat biru dan kesulitan saat menyusu saat bayi disangkal
Penderita mengalami sesak setiap beraktivitas sejak tiga tahun yang lalu
Riwayat alergi makanan dan asma ,sakit kuning disangkal
Riwayat batuk pilek yang sring hilang timbul
4
Riwayat imunisasi
Vaksin I II III IV V
BCG √ (scar -)
DPT - - - -
Polio √ - - - -
Hepatitis B - - - -
Campak -
Penderita hanya mendapatkan imunisasi saat usia 1 bulan berupa BCG dan polio oral.
Penderita juga mendapatkan imunisasi saat anak sekolah kelas 1 (BIAS).
Kesan : Imunisasi dasar tidak lengkap. Imunisasi booster belum lengkap.
Riwayat nutrisi
Anak mendapatkan ASI sampai dengan usia 1 tahun. Mulai mendapatkan makanan
pendamping usia 6 bulan. Anak mulai makan nasi saat usia 1 tahun. Saat ini sehari-hari anak
makan nasi 3 kali sehari sebanyak 1 piring. Anak mendapatkan lauk telur, ikan, daging,
maupun tahu tempe. Anak mau makan buah-buahan seperti jeruk, pepaya, dan melon.
Kesan: Asupan nutrisi anak mencukupi dan sesuai dengan usia.
5
berupa BPJS kelas dua. Penderita kurang mengerti tentang penyakit anaknya, namun peduli
dan menerima terhadap penyakit anaknya.
Kesan : Sosial ekonomi kurang
PEMERIKSAAN FISIS
Keadaan umum : baik, compos mentis, tidak ada demam
Tanda vital :
Tekanan darah : 100/70 mmHg
Frekuensi nadi : 124 x/menit, regular, isi dan tegangan cukup
Pernapasan : 24x/menit
Suhu aksilla : 36,8ºC
Status gizi dan antopometri
BB 44 kg TB 158 cm
BB berdasarkan umur (CDC ) : P 10-25 (Normal)
TB berdasarkan umur ( CDC ) : P 25-50 (Normal)
BB berdasarkan TB (CDC ) : 44/46 x 100% = 95,6% ( Gizi Baik )
Kesan : Gizi baik
Status : Pubertas : P1M2
Kondisi spesifik :
Kepala : Pupil bulat isokor, Ø3 mm, refleks cahaya (+) normal, tidak terdapat
konjungtiva anemis, tidak terdapat sklera ikterik, tidak terdapat
napas cuping hidung, tidak terdapat edema palpebra, tidak terdapat
eksophtalmus, terdapat struma difus 2x2cm terletak di tengah trakea,
sianosis (-), nyeri tekan (-).
Tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening colli
Thorax : Simetris, tidak terdapat retraksi
Cor : Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus tidak teraba, thrill tidak teraba
Perkusi : batas kanan atas sela iga II linea parasternalis kanan, batas
kanan bawah sela iga IV linea parasternalis sinistra, batas kiri atas
sela iga II linea parasternalis sinistra, batas sinistra bawah sela iga
IV linea midklavikularis sinistra.
Auskultasi : Bunyi jantung I-II normal, murmur diastolik grade 3/6
6
ICS 5 linea midclavicula sinistra dan ICS 2 linea parasternalis
sinistra. Murmur sistolik grade 3/6 ICS 4 linea parasternalis sinistra,
gallop (-).
Kesan : pemeriksaan fisis jantung stenosis mitral.
Pulmo : Inspeksi : simetris, tidak ada gerak tertinggal, tidak ada retraksi.
Palpasi : stem fremitus paru kanan sama dengan paru sinistra
Perkusi : sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : vesikuler normal, tidak didapatkan ronkhi dan wheezing
Kesan : pemeriksaan fisis paru dalam batas normal
Abdomen : Datar, lemas, hepar teraba 2cm bawah arcus costae dan 2 cm bawah
proc.xyphoideus, permukaan hepar teraba tajam, tidak terdapat
benjolan. Lien tidak teraba membesar. Bising usus (+) normal
Ekstremitas : Akral hangat, capillary refill time < 3 detik, pucat (-), sianosis (-),
clubbing finger (-), edema pretibia (+/+) pitting edema (+), bengkak
sendi (-)
Status neurologis :
7
Saat umur 13 tahun, pernah menstruasi selama 6 bulan berturut-turut, namun
menstruasi berhenti bersamaan dengan saat pasien didiagnosis hipertiroid dan hingga saat ini
pasien belum menstruasi kembali.
Dari pemeriksaan fisis : kesadaran : compos mentis, tekanan darah 100/70 mmHg,
frekuensi nadi 124 kali permenit ( regular, isi dan tegangan cukup), suhu 36,8 C, laju nafas 24
kali permenit, CRT <3”, SpO : 99% tanpa O2, status gizi: gizi baik. Pada kepala/leher :
exopthalmus -/-, terdapat struma difus 2x2cm ,tidak nyeri . Toraks : simetris, retraksi tidak
ada. Pada pemeriksaan jantung didapatkan batas jantung melebar dan dari bunyi jantung I-II
normal, murmur diastolik grade 3/6 ICS 5 linea midclavicula sinistra dan ICS 2 linea
parasternalis sinistra. Murmur sistolik grade 3/6 ICS 4 linea parasternalis sinistra, gallop (-).
Pada pemeriksaan abdomen hepar teraba 2cm bawah arcus costae dan 2 cm bawah
proc.xyphoideus. Pada ekstremitas didapatkan edema pretibia (+/+). Dari pemeriksaan status
pubertas didapatkan status pubertas (P1M2).
8
Pada pasien ditemukan gejala amenore sekunder yaitu pasien pernah menstruasi selama 6
bulan berturut-turut namun berhenti hingga sekarang dan terjadi sesaat setelah pasien telah
didiagnosis hipertiroid, dipikirkan penyebabnya yaitu adanya amenore yang berhubungan
dengan kondisi hipertiroid dan diperberat dgn kelainan jantungnya. Penyebab amenore
sekunder yang disebabkan oleh hipertiroid dapat dipikirkan oleh kondisi amenore
hipotalamus.
PERMASALAHAN
1. Hipertiroid
2. Struma Difusa
3. Gagal Jantung
4. Susp Penyakit Jantung Rematik
5. Amenore Sekunder
6. Imunisasi tidak lengkap
DIAGNOSIS KERJA
Struma Difusa ec Hipertiroid + Gagal Jantung ec Penyakit Jantung Rematik + Amenore
Sekunder
RENCANA PENGELOLAAN
1. Gagal Jantung
Rencana diagnostik : Darah Lengkap, EKG, Echocardiography
Rencana terapi :
- Bed rest
- Mengurangi kongestif sistemik :
Furosemid 40mg tiap 12 jam, intravena (dosis 1mg//kgbb/kali)
Spironolacton 25 mg tiap 12 jam, per oral ( dosis 1-3mg/kgbb/hari)
Lisinopril 5mg tiap 24 jam, per oral (dosis 0,1mg/kgbb/hari)
Monitoring :
Evaluasi tanda-tanda edema paru
Evaluasi balans dan diuresis dan tanda vital
Edukasi :
Gagal Jantung dapat disebabkan oleh gangguan katup yang disebabkan oleh
penyakit jantung rematik
9
Menjelaskan kepada orang tua mengenai terapi dan evaluasi
Menjelaskan kepada orangtua mengenai komplikasi yang dapat terjadi jika
pengobatan yang inadekuat.
2. Penyakit Jantung Rematik
Rencana diagnostik :
- Rontgen thoraks
- EKG
- Echocardiography
- Laboratorium : LED, CRP, ASTO
Rencana terapi :
- Bed Rest
- Benzatin Penisilin 1,2 juta IU, intramuskular setiap 4 minggu
- Prednison 15 mg tiap 6 jam, per oral ( 2mg/kgbb/hari)
- Rencana pemberian Asetosal 500mg tiap 6jam, per oral ( 100mg/kgbb/hari)
setelah pemberian prednison tappering off selama 2 minggu.
Monitoring :
Rekurensi Penyakit Jantung Rematik
Gagal jantung kongestif
Edukasi :
Menjelaskan kepada orang tua mengenai terapi dan evaluasi
Menjelaskan kepada orangtua mengenai komplikasi yang dapat terjadi jika
pengobatan yang inadekuat.
3. Struma difusa ec Hipertiroid
Rencana diagnostik : Laboratorium TSH dan FT4, FT3, USG thyroid, TrAb
Rencana : Methimazol 10mg setiap 12 jam per oral ( dosis 0,5 mg/kgbb/hari)
Monitoring :
Evaluasi setiap bulan pada 3 bulan awal untuk evaluasi respon terapi
Evaluasi terhadap reaksi (rash, urtikaria dan gangguan gastrointestinal)
Edukasi :
Menjelaskan kepada orang tua mengenai Grave’s disease, pengobatan dan
pemantauannya.
Menjelaskan kepada orangtua mengenai komplikasi yang dapat terjadi jika
pengobatan yang inadekuat.
10
4. Amenorrhoe secunder
Rencana diagnostik :
- Hormon LH, FSH, Estradiol, Albumin
- USG genital
Rencana terapi :
- Induksi dengan Estradiol 0,25mg/hari
Monitoring :
- Pertumbuhan payudara dan pubis
- Menstruasi
Edukasi :
Menjelaskan kepada orang tua mengenai terapi dan evaluasi
Menjelaskan kepada orangtua mengenai komplikasi yang dapat terjadi jika
pengobatan yang inadekuat.
PROGNOSIS
Quo ad vitam : Bonam
Quo ad functionam : Bonam
11
3/6 ICS 4 linea parasternalis sinistra, gallop (-)
Abdomen : Datar, lemas, hepar teraba 2cm bawah arcus costae dan 2 cm bawah proc.xyphoideus,
permukaan hepar teraba tajam, tidak terdapat benjolan. Lien tidak teraba membesar.
Bising usus (+) normal
Genitalia : Perempuan
Status Pubertas : P1M2
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 3, tidak terdapat edema pretibia
12
43.8 - 211 (lutheal phase)
215-4300 (pregnancy 1th
semester)
7.6 – 43 (male)
SEROLOGY
TSHµU/ml 0.01 0.51-4.30
FT4ng/ml 7.77 0.98-1.63
T3nm/dl 6.51 0.91-2.18
Kesan : Hipertiroid + FSH , LH , estradiol rendah + peningkatan CRP dan ASTO (+)
Rontgen Thorax AP :
- Pembesaran jantung
- Aorta dan Mediastinum superior normal.
- Trakea berada di tengah.
- Kedua hilus normal
- Corakan bronchovaskuler meningkat pada kedua lapang paru.
- Tidak tampak adanya infiltrat, nodul dan lesi patologis lainnya.
- Kedua diafragma normal.
- Kedua sudut costophrenicus normal.
- Tulang beserta jaringan lunak normal.
Kesan: Kardiomegali
13
EKG :
- Ritme sinus
- Rate 1500/15=75 kali/menit
- Axis normal
- PR interval 0,20 detik
- Tidak ada RAH dan LAH
- LVH (+) and Tidak ada RVH
- Segmen ST : tidak ada depresi dan elevasi
Kesan: PR interval memanjang dan LVH
A 1. Congestive heart failure NYHA II
2. Penyakit Jantung Rematik
3. Struma difusa ec hipertiroid
4. sekunder amenorrhoe
5. Imunisasi tidak lengkap
P - Bed Rest
- Metimazole 10 mg tiap 12 jam (per oral)
- Lisinopril 5 mg tiap 24 jam (per oral)
- Propranolol 10 mg tiap 8jam (per oral)
- Prednison 15 mg tiap 6 jam (per oral)
- Furosemid 20 mg tiap 12 jam (per oral)
- Spironolakton 25 mg tiap 12 jam (per oral)
- Diet 1800 kkal and 80 gram protein dalam bentuk Nasi 3x1 porsi (350kkal) +
snack (200kkal) 2 kali sehari + susu (200cc) 2 kali sehari
- Monitor vital sign
- Edukasi pasien dan keluarga
- R/ : - Benzathin penicillin 1.2 juta IU intramuskular tiap 4 minggu
14
- Induksi pubertas dengan estradiol 0,25 mg
Echocardiography
15
- Situs solitus, AV-VA concordance
- Left atrium-left ventricle hypertrophy
- Moderate mitral regurgitasi, mitral stenosis, moderate tricuspid regurgitation,
moderatepulmonal regurgitation
- Normal aorta valve
- No VSD, ASD, and PDA
- Normal left ventricular systolic function (FS 37,7%, EF 66.6%)
- Normal arcus aorta in the left side
Kesan: Moderate mitral regurgitasi, mitral stenosis, moderate tricuspid regurgitation,
16
moderate pulmonal regurgitation
A Struma difusa ec hipertiroid
Congestive heart failure NYHA II
Regurgitasi Mitral moderate
Stenosis Mitral
Stenosis trikuspid moderate
Stenosis Pulmonal Moderate
Penyakit Jantung Rematik
Pubertas Terlambat
Imunisasi tidak lengkap
Amenore Sekunder
P - Bed Rest
- Metimazole 10 mg tiap 12 jam (per oral)
- Lisinopril 5 mg tiap 24 jam (per oral)
- Propranolol 10 mg tiap 8jam (per oral)
- Prednison 15 mg tiap 6 jam (per oral)
- Furosemid 20 mg tiap 12 jam (per oral)
- Spironolakton 25 mg tiap 12 jam (per oral)
- Diet 1800 kkal and 80 gram protein dalam bentuk Nasi 3x1 porsi (350kkal) +
snack (200kkal) 2 kali sehari + susu (200cc) 2 kali sehari
- Monitor vital sign
- Edukasi pasien dan keluarga
- R/ : - Benzathin penicillin 1.2 juta IU intramuskular tiap 4 minggu
- Induksi pubertas dengan estradiol 0,25 mg
- R/ USG Tiroid
- Cek TRAb
4 april 2018
S Sesak napas (-), batuk (+)
O Keadaan Umum:
Vital sign Compos mentis.Tensi100/60 mmHg, Nadi 80 x/menit, Respirasi rate 24 x/menit
(regular), Suhu 36,8°C, BB 44 kg. no anemia, dyspnea, no icterus, no cyanosis.
Keadaan Spesifik :
Sama seperti sebelumnya
17
A Grave’s disease
Congestive heart failure NYHA II
Regurgitasi Mitral moderate
Stenosis Mitral
Stenosis trikuspid moderate
Stenosis Pulmonal Moderate
Penyakit Jantung Rematik
Pubertas Terlambat
Amenore Sekunder
P - Bed Rest
- Metimazole 10 mg tiap 12 jam (per oral)
- Lisinopril 5 mg tiap 24 jam (per oral) stop
- Propranolol 10 mg tiap 8jam (per oral) stop
- Prednison 15 mg tiap 6 jam (per oral) tapp off
- Furosemid 20 mg tiap 12 jam (per oral)
- Spironolakton 25 mg tiap 12 jam (per oral) stop
- Diet 1800 kkal and 80 gram protein dalam bentuk Nasi 3x1 porsi (350kkal) +
snack (200kkal) 2 kali sehari + susu (200cc) 2 kali sehari
- Monitor vital sign
- Edukasi pasien dan keluarga
- Pasien diperbolehkan rawat jalan
- R/ : - Benzathin penicillin 1.2 juta IU intramuskular tiap 4 minggu
- Induksi pubertas dengan estradiol 0,25 mg
- Metimazole 10 mg tiap 12 jam (per oral)
- Prednison 15 mg tiap 6 jam (per oral) tapp off
- Furosemid 20 mg tiap 12 jam (per oral)
- Spironolakton 25 mg tiap 12 jam (per oral)
10 April 2018
S Sesak napas (-), batuk (-)
Menstruasi (-)
O Keadaan Umum:
Vital sign Compos mentis.Tensi100/60 mmHg, Nadi 80 x/menit, Respirasi rate 24 x/menit
(regular), Suhu 36,8°C, BB 44 kg.
Keadaan Spesifik :
Kepala : Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik, napas cuping hidung tidak ada
Leher : Tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening di leher, tidak terdapat edema
palpebra, tidak terdapat eksophtalmus, terdapat struma difus 2x2cm terletak di
tengah trakea, tekanan vena jugularis tidak meningkat,
Thoraks : Dinding dada tampak simetris, tidak terdapat retraksi.
18
Pulmo : Vesikuler normal, rhonki (-), wheezing (-)
Jantung : Inspeksi : Tampak iktus kordis pada ICS V linea midclavicula sinistra
Palpasi : Iktus cordis teraba pada ICS V linea midclavicula sinistra.thrill (-)
Perkusi : Batas kanan atas : ICS II linea parasternalis dextra.
Batas kanan bawah : ICSIV linea parasternalis sinistra.
Batas kiri atas : ICS II linea parasternalis sinistra.
Batas kiri bawah : ICS IV linea midklavikularis sinistra.
Auskultasi : Bunyi jantung I-II normal, murmur diastolik grade 3/6 ICS 5 linea
midclavicula sinistra dan ICS 2 linea parasternalis sinistra. Murmur sistolik
grade 3/6 ICS 4 linea parasternalis sinistra, gallop (-)
Abdomen : Datar, lemas, hepar teraba 2cm bawah arcus costae dan 2 cm bawah
proc.xyphoideus, permukaan hepar teraba tajam, tidak terdapat benjolan. Lien tidak
teraba membesar. Bising usus (+) normal
Genitalia : Perempuan
Status Pubertas : P1M2
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 3, tidak terdapat edema pretibia
Laboratorium Hasil Nilai Rujukan
Darah Perifer Lengkap
Hemoglobin (g/dL) 15,5 12-14.4
Hematokrit (vol%) 51 36-42
Leukost (/mm3) 18,200 4.500-13.500
Trombosit (/mm3) 380,000 150.000-450.000
LED (mm/jam) 5 <20
Diff count*
Basofil (%) 0 0-1
Eosinofil (%) 1 1-6
Neutrofil (%) 79 50-70
Limfosit (%) 12 20-40
Monosit (%) 8 2-8
IMUNOSEROLOGY
CRP (mg/L) <5 <5
SEROLOGY
TSHµU/ml <0.0025 0.51-4.30
FT4ng/ml 1,11 0.98-1.63
FT3nm/dl 2,83 2.56-5.01
19
A Amenore hipotalamus ec isolated hypogonadotrpin hypogonadism + grave’s disease
Rheumatic heart disease
P - Asetosal 4x500mg
- Methimazole 10 mg tiap 12 jam (per oral)
- Induksi pubertas dengan estradiol 0,25 mg
- R/ : - Benzathin penicillin 1.2 juta IU intramuskular tiap 4 minggu
- Pasien diperbolehkan rawat jalan
20 Juni 2018
S Sesak napas (-), batuk (-)
Menstruasi (-)
Mammae mulai tumbuh
O Keadaan Umum:
Vital sign Compos mentis.Tensi100/60 mmHg, Nadi 80 x/menit, Respirasi rate 24 x/menit
(regular), Suhu 36,8°C, BB 46 kg.
Keadaan Spesifik :
Kepala : Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik, napas cuping hidung tidak ada
Leher : Tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening di leher, tidak terdapat edema
palpebra, tidak terdapat eksophtalmus, terdapat struma difus 2x2cm terletak di
tengah trakea, tekanan vena jugularis tidak meningkat,
Thoraks : Dinding dada tampak simetris, tidak terdapat retraksi.
Pulmo : Vesikuler normal, rhonki (-), wheezing (-)
Jantung : Inspeksi : Tampak iktus kordis pada ICS V linea midclavicula sinistra
Palpasi : Iktus cordis teraba pada ICS V linea midclavicula sinistra.thrill (-)
Perkusi : Batas kanan atas : ICS II linea parasternalis dextra.
Batas kanan bawah : ICSIV linea parasternalis sinistra.
Batas kiri atas : ICS II linea parasternalis sinistra.
Batas kiri bawah : ICS IV linea midklavikularis sinistra.
Auskultasi : Bunyi jantung I-II normal, murmur diastolik grade 3/6 ICS 5 linea
midclavicula sinistra dan ICS 2 linea parasternalis sinistra. Murmur sistolik
grade 3/6 ICS 4 linea parasternalis sinistra, gallop (-)
Abdomen : Datar, lemas, hepar teraba 2cm bawah arcus costae dan 2 cm bawah
proc.xyphoideus, permukaan hepar teraba tajam, tidak terdapat benjolan. Lien tidak
teraba membesar. Bising usus (+) normal
Genitalia : Perempuan
Status Pubertas : P1M2
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 3, tidak terdapat edema pretibia
SEROLOGY
TSHµU/ml 0.003 0.51-4.30
FT4ng/ml 0,54 0.98-1.63
FT3nm/dl 1,26 2.56-5.01
20
A Amenore hipotalamus ec isolated hypogonadotrpin hypogonadism + grave’s disease
Rheumatic heart disease
23 Agustus 2018
S Sesak napas (-), batuk (-)
Menstruasi (-)
Mammae mulai tumbuh
O Keadaan Umum:
Vital sign Compos mentis.Tensi100/60 mmHg, Nadi 80 x/menit, Respirasi rate 24 x/menit
(regular), Suhu 36,8°C, BB 52 kg.
Keadaan Spesifik :
Kepala : Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik, napas cuping hidung tidak ada
Leher : Tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening di leher, tidak terdapat edema
palpebra, tidak terdapat eksophtalmus, terdapat struma difus 2x2cm terletak di
tengah trakea, tekanan vena jugularis tidak meningkat,
Thoraks : Dinding dada tampak simetris, tidak terdapat retraksi.
Pulmo : Vesikuler normal, rhonki (-), wheezing (-)
Jantung : Inspeksi : Tampak iktus kordis pada ICS V linea midclavicula sinistra
Palpasi : Iktus cordis teraba pada ICS V linea midclavicula sinistra.thrill (-)
Perkusi : Batas kanan atas : ICS II linea parasternalis dextra.
Batas kanan bawah : ICSIV linea parasternalis sinistra.
Batas kiri atas : ICS II linea parasternalis sinistra.
Batas kiri bawah : ICS IV linea midklavikularis sinistra.
Auskultasi : Bunyi jantung I-II normal, murmur diastolik grade 3/6 ICS 5 linea
midclavicula sinistra dan ICS 2 linea parasternalis sinistra. Murmur sistolik
grade 3/6 ICS 4 linea parasternalis sinistra, gallop (-)
Abdomen : Datar, lemas, hepar teraba 2cm bawah arcus costae dan 2 cm bawah
proc.xyphoideus, permukaan hepar teraba tajam, tidak terdapat benjolan. Lien tidak
teraba membesar. Bising usus (+) normal
Genitalia : Perempuan
Status Pubertas : P1M2
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 3, tidak terdapat edema pretibia
USG Genital
- Tampak uterus lebih kecil dari normal ukuran 3,8x1,9cm
- Ovarium kanan lebih kecil dari normal ukuran 1,6x0,9cm
- Ovarium kiri lebih kecil dari normal ukuran 1,2x1,4cm
- Asites (+)
- Saat ini tidak dapat dilakukan USG transrectal karena alat rusak
Kesan :
Hipoplasia genitalia interna
Saran : Induksi proginova 0,25mg/24 jam sampai dengan usia 18 tahun/menstruasi/secondary
sex development komplit
21
HORMON
3.5 - 12.5 (follicular phase),
4.7 – 21.5 (ovulatory phase)
FSH (MIU/ml) 713
1.7 – 7.7 ( lutheal phase)
25.8 –134.8 (postmenopuse)
12.5 - 166 (follicular phase),
85.5 - 498 (ovulatory phase)
43.8 - 211 (lutheal phase)
Estradiol (pg/ml) 18
215-4300 (pregnancy 1th
semester)
7.6 – 43 (male)
Prolaktin 12,25 5,18-26,53
SEROLOGY
TSHµU/ml 0.75 0.51-4.30
FT4ng/ml 0,62 0.98-1.63
22
TINJAUAN PUSTAKA
I. Definisi Pubertas
Pubertas merupakan suatu tahapan proses tumbuh kembang berkelanjutan yang sudah
dimulai sejak dalam kandungan dan berakhir pada usia reproduktif. Lalu, pada masa kanak-
kanak, proses in terhenti hingga terjadi aktivasi yang memicu perkembangan pubertas.
Pubertas dimulai dengan peningkatan sekresi gonadotropin-releasing hormon (GnRH) dari
hipotalamus, yang akan meningkatkan sekresi gonadotropin oleh hipofise, sehingga terjadi
peningkatan produksi dari hormone seksual. Pada proses ini, terjadi perkembangan
karakteristik hormon sekunder yang sejalan dengan pertumbuhan, perubahan komposisi
tubuh dan maturasi psikososial15.
Pada anak perempuan, apabila tidak terdapat perkembangan payudara pada usia 14
tahun atau ketika lebih dari lima tahun berlalu antara pertumbuhan awal jaringan payudara
dan menarke, maka hal ini disebut dengan pubertas terlambat. Perempuan remaja yang
mengembangkan karakteristik hormon sekunder tetapi gagal untuk mencapai menarke
dengan usia 16 tahun harus dievaluasi untuk amenore primer. Pada anak laki-laki, pubertas
terlambat didefinisikan sebagai tidak adanya pembesaran testis dengan usia 14 tahun atau
lima tahun berlalu antara awal dan perkembangan lengkap alat kelamin.16
Pubertas adalah suatu tahapan proses tumbuh kembang berkelanjutan yang dimulai
sejak dalam masa kandungan dan berakhir pada usia reproduktif. Pubertas pada perempuan
biasanya dimulai pada usia 8-13 tahun. Namun demikian banyak faktor yang dapat mengubah
usia terjadinya pubertas, seperti obesitas, malnutrisi, aktivitas yang berlebihan, dan faktor
genetik.
23
Perubahan endokrin yang terjadi selama pubertas :15
GnRH dihasilkan oleh hipotalamus, yang disekresikan dalam waktu yang singkat
rata-rata sekali setiap 1-3 jam. GnRH akan merangsang kelenjar hipofisis anterior
untuk meningkatkan produksi gonadotropin, yaitu LH dan FSH.
24
Pada pubertas, jumlah estrogen yang disekresi meningkat sampai 20 kali atau lebih.
Pada saat ini, ovarium, tuba fallopii, uterus dan vagina membesar dengan deposisi
lemak pada mons pubis dan labia mayora dan disertai pembesaran labia minora.
b. Fungsi Progesteron.
25
Selama masa intrauterin, janin telah mendapat pengaruh rangsangan estrogen,
progesteron dan gonadotropin dari ibu, sehingga ketika bayi perempuan lahir dapat terlihat
adanya pembesaran payudara. Pengaruh dari estrogen maternal juga mengakibatkan
proliferasi dari mukosa vagina dan endometrium. Epitel vagina mengandung glikogen dalam
jumlah besar. PH vagina bernilai 4,5 – 5 mirip nilai PH pada perempuan usia reproduksi.
Setelah lahir, kadang – kadang terjadi perdarahan dari uterus bayi dikenal dengan perdarahan
lucut estrogen.
Pada tingkat awal pertumbuhan genitalia (umur 1 – 8 tahun), kadar gonadotropin dan
hormon steroid dalam darah serta urin sangat rendah. Pada umur 3 – 7 tahun, masih dijumpai
FSH, LH dan estrogen dalam serum. Tingkat kematangan gonad dan organ genitalia tidak
berubah nyata sampai mencapai usia pubertas.
Hingga kini belum diketahui faktor apa saja yang dapat menjadi pencetus
pertumbuhan alat genitalia pada seorang anak. Pertumbuhan itu diperkirakan diakibatkan
oleh adanya perubahan-perubahan yang terjadi pada reseptor – reseptor di hipotalamus.
Hormon steroid yang berasal dari adrenal maupun ovarium membuat reseptor – reseptor
hipotalamus menjadi peka, sehingga memudahkan pengeluaran FSH dari hipofisis anterior.
Kemudian FSH membangkitkan pematangan folikel, yang berakibat pada peningkatan sekresi
estrogen. Dimulainya sekresi estrogen menjadi tanda awitan proses pubertas pada seorang
perempuan. Selanjutnya produksi estrogen terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada umur
10 – 11 tahun payudara mulai berkembang, dan ini dikenal sebagai telars ( telarche ).
Pertumbuhan payudara yang sempurna akan berakhir pada 2 – 4 tahun pascamenarke.
Estrogen yang terus terbentuk itu selain menyebabkan penumpukan lemak dipaha,
payudara dan otot- otot lainnya, juga menyebabkan pertumbuhan tulang-tulang panggul.
Pertumbuhan tulang-tulang lain dipicu oleh androgen yang berasal dari adrenal.
26
Dibawah pengaruh FSH, berangsur-angsur ovarium pun mulai berkembang.
Meningkatnya fungsi ovarium mengakibatkan sekresi estrogen bertambah sehingga terjadi
pertumbuhan organ genitalia interna.
Perdarahan pertama dari uterus yang terjadi pada seorang perempuan disebut sebagai
menars (menarke), dan biasanya rata-rata pada umur 11 – 13 tahun.
Usia di mana tercapai awal pubertas bervariasi dan dipengaruhi oleh banyak hal,
seperti tingkat aktivitas, status gizi, genetik, dan sebagainya. Obesitas dapat mempercepat
pubertas, sedangkan penyakit kronis dan malnutrisi dapat memperlambat pubertas.2
Normalnya pubertas pada anak laki-laki dimulai usia antara 9 hingga 14 tahun. Distribusi
rambut kemaluan dijadikan tahapan pada pubertas, bersama dengan ukuran dan volume testis
anak laki-laki.
Dua proses yang berkontribusi pada manifestasi fisik dari pubertas: adrenarke dan
gonadarche. Adrenarke biasanya terjadi antara 6 dan 8 tahun dengan meningkatnya sekresi
androgen adrenal; peran biologis pastinya tidak dipahami dengan baik. Hal ini disertai
dengan perubahan dalam unit, pilosebaseous, percepatan pertumbuhan transien dan
penampilan rambut aksila dan pubis di beberapa anak, tetapi tidak ada perkembangan sexual.
Gonadarche dirangsang oleh hipotalamus makroneuron yang mengeluarkan gonadotropin-
releasing hormon (GnRH) yang mengatur pelepasan follicle-stimulating hormon (FSH) dan
luteinizing hormon (LH) oleh pituitari anterior. Pada anak laki-laki, LH merangsang produksi
testosteron oleh sel Leydig dan, setelah spermarche, FSH membantu pematangan
spermatozoa.
27
Pada awalnya, anak laki-laki mengalami pembesaran testis dikarnakan pembesaran
dari sel Sertoli. diikuti oleh munculnya rambut kemaluan, pembesaran penis dan spermarche
yang diatur oleh sekresi androgen. Pada laki-laki pubertas diawali bertambahnya ukuran testis
menjadi 2,5 cm atau volume melebihi 3ml, diiringi dengan pertumbuhan rambut pubis dan
aksila. Adanya sperma dalam urin pagi terjadi rerata pada usia 13,4 tahun. Pada laki-laki
masa otot dan tulang meningkat 1,5 kali lebih banyak dibanding perempuan.
GnRH adalah sebuah suatu peptida 10 asam amino yang disekresikan oleh neuron-neuron
yang sel-sel induknya terletak dalam nukleus arkuatus dari hipotalamus. Bagian ujung dari
neuron-neuron ini berakhir terutama dalam eminensia mediana dari hipotalamus, tempat
neuron-neuron tersebut melepaskan GnRH ke dalam sistem pembuluh porta dan merangsang
pelepasan dari 2 jenis gonadotropin.
GnRH disekresi secara intermiten selama berapa menit setiap 1 sampai 3 jam. Intensitas
perangsangan hormon ini ditentukan dalam 2 cara oleh (1) oleh frekuensi dari siklus sekresi
dan (2) oleh jumlah GnRH yang dilepaskan pada setiap siklus. Sekresi LH oleh kelenjar
hipofisis anterior juga merupakan suatu siklus, yaitu sekresi LH hampir selalu mengikuti
pelepasan bertahap dari GnRH. Sebaliknya, peningkatan dan penurunan sekresi FSH hanya
sedikit mengikuti fluktuasi sekresi GnRH; di samping itu, sekresi FSH berubah lebih lambat
setelah beberapa jam sebagai respons terhadap perubahan jangka panjang dari GnRH. Karena
hubungan antara sekresi GnRH dan sekresi LH yang jauh lebih dekat, GnRH juga telah
dikenal dengan secara luas sebagai hormon pelepas LH.
2. Pituitary gonadotropins
Kedua hormon gonadotropik, LH dan FSH, disekresikan oleh sel-sel yang sama, disebut
gonadotropin, dalam kelenjar hipofisis anterior. Bila tidak ada GnRH dari hipotalamus,
gonadotropin dalam kelenjar hipofisis tidak menyekresikan LH atau FSH.
LH dan FSH adalah glikoprotein, akan tetapi jumlah karbohidrat yang berikatan dengan
protein dalam molekul sangat bervariasi di bawah keadaan yang berbeda-beda, yang dapat
mengubah kemampuan aktivitas. Baik LH dan FSH mengeluarkan pengaruhnya pada
28
jaringan target di dalam testis terutama melalui aktivasi sistem second messenger cyclic
adenosine monofosfat, yang selanjutnya akan mengaktifkan sistem enzim khusus dalam sel-
sel target berikutnya.
FSH berikatan dengan reseptor FSH spesifik yang melekat pada sel-sel Sertoli di dalam
tubulus seminiferus. Pengikatan ini mengakibatkan sel-sel tumbuh dan menyekresikan
berbagai unsur spermatogenik. Untuk membangkitkan spermatogenesis, dibutuhkan FSH
maupun testosteron.
Konsentrasi gonadotropin serum berubah-berubah selama masa pubertas (lihat table). Ini
dikarenakaan episode alami dari sekresi gonadotropin, penentuan gonadotropin tunggal tidak
akan mendapatkan sekresi dari hormon yang dinamis.
Tabel 1. Konsentrasi LH, FSH dan Steroid pada stadium pubertas yang berbeda
3. Hormon steroid
Testis menyekresi beberapa hormon kelamin pada laki-laki, yang disebut androgen,
termasuk testosteron, dihidrotestosteron, dan androstenedion. Testosteron jumlahnya lebih
banyak dari yang lainnya sehingga dapat dianggap sebagai hormon testikular terpenting,
walaupun sebagian besar testosteron diubah menjadi hormon dihidrotestosteron yang lebih
aktif pada jaringan target. Testosteron dibentuk oleh sel-sel interstisial Leydig, yang terletak
di antara interstisial tubulus seminiferus dan terdiri atas sekitar 20% pada masa testis dewasa.
Sel-sel Leydig hampir tidak ditemukan dalam testis pada masa kanak-kanak. Hormon
29
testosteron dalam jumlah yang banyak pada bayi laki-laki yang baru lahir dan juga pada laki-
laki dewasa setelah pubertas, saat testis menyekresi sejumlah besar testosteron.
Sekresi testosteron kembali setelah pubertas menyebabkan penis, skrotum, dan testis
membesar kira-kira delapan kali lipat sampai sebelum usia 20 tahun. Di samping itu,
testosteron menyebabkan “sifat kelamin sekuder” laki-laki berkembang pada waktu yang
sama, dimulai saat pubertas dan berakhir pada maturitas. Sifat hormon sekunder ini
membedakan pria dan perempuan sebagai berikut :
Testosteron menyebabkan pertumbuhan rambut di atas pubis, ke atas sepanjang linea alba
kadang-kadang sampai ke umbilicus dan di atasnya, pada wajah, biasanya pada dada.
Testosteron menyebabkan rambut pada bagian tubuh lainnya menjadi lebih menyebar.
Testosteron yang disekresi oleh testis bisa menyebabkan hipertrofi mukosa laring dan
pembesaran laring. Pengaruh pada suara pada awlnya secara relative menjadi tidak sinkron,
suara serak, tetapi secara bertahap berubah menjadi suara bas maskulin yang khas.
30
merupakan salah satu gambaran umum dari remaja ketika tubuh laki-laki pertama kali
mengenai peningkatan sekresi testosteron.
Banyak perubahan pada kulit juga disebabkan oleh penumpukan protein di kulit, dan
perubahan pada suara mungkin juga terutama disebabkan oleh fungsi anabolic protein
testosteron. Karena pengaruh yang besar pada tubuh, testosteron (androgen sintetik)
digunakan secara luas oleh atlet untuk meningkatkan kinerja otot mereka.
Ketika testosteron disuntikkan pada laki-laki, jumlah sel darah merah per millimeter kubik
meningkat 15 sampai 20 persen. Juga, rata-rata laki-laki memiliki 700.000 sel-sel darah per
millimeter kubik lebih banyak daripada rata-rata perempuan. Perbedaan ini mungkin
disebabkan oleh peningkatan kecepatan metabolisme setelah pemberian testosteron, dan
bukan efek langsung testosteron terhadap pembentukan sel darah merah
31
h. Pengaruh pada elektrolit dan keseimbangan cairan
Testosteron memiliki pengaruh terhadap peningkatan reabsorbsi natrium pada tubulus distal
ginjal, walaupun sedikit. Setelah pubertas, darah dan volume cairan ekstraselular pada laki-
laki sedikit meningkat dalam hubungannya dengan berat badan.
1. Epidemiologi
Secara statistik, sebanyak 2,5% populasi remaja pada kedua jenis kelamin mengalami
keterlambatan pubertas. Keterlambatan pubertas ini terjadi lebih banyak pada laki-laki yang
dibandingkan dengan perempuan. Kebanyakan dari keterlambatan pubertas tersebut masih
normal dan dikenal dengan istilah constitutional delay in growth and puberty (CDGP).
2. Etiologi
Pubertas terlambat dapat disebabkan oleh defek fungsi hipotalamus dan atau pituitari (kadar
gonadotropin dan hormon hormon yang rendah) atau kegagalan gonad secara primer (kadar
gonadotropin tinggi dan kadar hormon seksual yang rendah). Penyebabnya dapat berbagai
macam termasuk variasi jinak yang normal dan banyak penyebab hipogonadisme sekunder.
Berdasarkan kadar gonadotropin, pubertas terlambat dikelompokkan atas 2 tipe, yaitu:18
1. Hipergonadotropik hipogonadisme
32
Pada keadaan ini ditemukan kadar hormon gonadotropin (FSH dan LH) meningkat,
namun kadar hormon hormon steroid seperti testosteron dan estrogen tetap rendah, hal ini
menandakan kerusakan tidak pada aksis hipotalamus hipofise.
Disgenesis gonad dan variannya sangat penting dan kasusnya banyak pada kelompok
hipergonadotropik hipogonadisme khususnya pada anak perempuan. Terdapat proporsi yang
signifikan pada anak dengan keterlambatan onset maturasi hormon tanpa diikuti perubahan
yang khas pada keadaaan somatiknya. Kelainan ini sering ditemukan berupa sindrom Turner,
dimana selain terdapat disgenetik gonad juga disertai perawakan pendek.
b. Sindroma Klinefelter
Kejadiannya 1:1000 laki-laki, gambaran klinisnya sepertin anak prapubertas dengan testis
yang kecil, kaki dan tangan panjang-panjang, penurunan IQ verbal 10-20 poin. Pubetas tidak
terlambat, namun pelan atau berhenti, terjadi penurunan testosteron serum serta peningkatan
rasio estrogen/testosteron sehingga terjadi ginekomastia pada remaja. Testis kecil dengan
hialinisasi fibrosis pada tubulus seminiferus, terjadi penurunan dari cadangan sel Leydig dan
terjadi perubahan pseudoadenomatous setelah pubertas.
Anak laki-laki dengan kerusakan gonad bilateral jumlahnya banyak pada remaja, dimana
terjadi keterlambatan pubertas dan ditemukan gejala hipergonadotropik hipogonadisme.
Anak laki-laki dengan kerusakan gonad bilateral harus dibedakan dengan anak laki-laki
dengan kriptorkismus bilateral, karena pada kelompok ini pubertas biasanya normal. Pada
anak dengan kriptorkismus bilateral intraabdominal biasanya kadar testosteron masih
normal, tapi dapat terjadi kenaikan kadar gonadotropin. Peningkatan kadar FSH dan LH
biasanya diketahui saat berumur 12-15 tahun pada penyakit gonad primer. Kerusakan gonad
bilateral diantaranya: kerusakan ovarium primer, kerusakan testis primer, sindrom Noonan,
sindrom resistensi androgen parsial, sindrom sel Sertoli, distrofi miotonik, telangiektasis
ataksia, sindrom Bloom’s.
33
d. Toksin-toksin pada gonad
Pengaruh dari bahan toksin, khususnya siklofosfamid pada penyakit gonad primer
menyebabkan gangguan fungsi testis dan ovarium saat mulai pengobatan dan dipengaruhi
oleh lamanya pengobatan.
Secara genetik, laki-laki remaja yang mengalami androgen insensifitas secara komplit
(sindrom feminisasi testiskular) akan menunjukkan fenotip perempuan remaja dengan
amenore primer, tidak berkembangnya payudara dan tidak ada rambut pada pubis. Pada
insensifitas androgen yang tidak komplit akan menghasilkan gambaran klinis secara fenotip
laki-laki dengan gangguan mulainya pubertas serta ditemukannya ginekomastia, hipospadia
dan sering terjadi kriptorkismus serta derajat dari resistensi androgen sedang sampai berat.
Peningkatan kadar LH merupakan akibat dari reflex resistensi androgen pada tingkat
hipotalamus-hipofise. Pengukuran kadar FSH biasanya normal.
2. Hipogonadotropik hipogonadisme
34
b. Defisiensi hormon tropik yang multiple
Penderita dengan defisiensi GH-isolated akan diikuti dengan pubertas terlambat, disamping
itu terjadi gangguan sekresi dari tirotropin, adrenocorticotropic hormon (ACTH) dan
gonadotropin. Kebanyakan pasien mengalami penyakit idiopatik dan kelihatan sebagai
remaja dengan gagal pertumbuhan. Defisiensi GH-isolated yang idiopatik kebanyakan dari
tipe hipopituarisme selama remaja dan kejadiannya 1:4000 kelahiran. Beberapa penderita
dengan keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan karena adanya gangguan sekresi GH
Defisiensi gonadotropin tanpa disertai gangguan hormon lain pada hipofise anterior
kebanyakan merupakan kelainan genetik. Seperti defek pada bulbus olfaktorius (sindrom
Kallmann). Defisiensi dari gonadotropin bervariasi dalam bentuk klasik, rendahnya kadar
FSH dan LH dan tidak adanya tanda maturasi hormon.
Sindrom Prader Willi terjadi secara sporadik dan berhubungan hipotonia fetal dan infantil,
perawakan pendek, obesitas masif, wajah yang khas dengan mata berbentuk almond-
shape, tangan dan kaki kecil, retardasi mental, dan emosi yang tidak stabil, menarche
yang lambat pada perempuan, mikropenis dan kriptorkismus pada pria. sering terjadi
osteoporosis pada pasien ini selama usia remaja, tapi terapi penggantian dengan hormon
steroid dengan indikasi dapat membantu.
35
Sindrom Laurence-Moon-Biedl
Kondisi autosomal resesif ini memiliki karakteristik seperti: obesitas, perawakan pendek,
retardasi mental, dan retinitis pigmentosa.
Sindroma Kallmann
f. Keadaan sistemik
Keadaan sistemik yang sering dijumpai oleh pubertas terlambat adalah, seperti
gagal ginjal, hipotiroid, anoreksia nervosa, penyakit radang usus dan penyakit celiac,
infeksi berulang dan penyakit neoplasma, penyakit psikosomatik yang serius.
Hipogonadotropik Hipogonadisme
Tumor
Infeksi
Trauma
Radiasi
36
Defek genetic dari aksis hipotalamik-pituitari
Sindrom Kallmann
Sindrom Prader-Willi
Penyakit kronis
Anoreksia Nervosa
Hipotiroid
Hipergonadotropik hipogonadisme
Laki-laki
Sindrom Klinifelter
Wanita
Sindrom Turner
Sindrom Pseudo-Turner
Sindrom Noonan
37
3. Patogenesis
Bagian utama dari pengaturan fungsi hormon baik pada laki-laki maupun perempuan
dimulai dengan sekresi hormon pelepas gonadotropin (GnRH) oleh hipotalamus. Hormon ini
selanjutnya merangsang kelenjer hipofisis anterior untuk menyekresikan dua hormon lain
yang disebut hormon-hormon gonadotropin : (1) hormon lutein (LH) dan (2) hormon
perangsang folikel (FSH). Selanjutnya, LH merupakan rangsangan utama untuk sekresi
testosteron oleh testis, dan FSH terutama merangsang spermatogenesis pada laki-laki.
Sedangkan pada perempuan LH dan FSH merangsang produksi estrogen dan progesteron
oleh ovarium. Hormon testosteron, estrogen dan progesteron mempengaruhi perkembangan
hormon sekunder pada anak.
4. Manifestasi klinis
Kebanyakan anak memberikan gambaran keterlambatan pertumbuhan selama fase anak-
anak kemudian terjadi peningkatan kecepatan tumbuh yang terlambat meskipun akhirnya
tingginya normal. Sedangkan pada pasien dengan hipogonadotropik hipogonadisme biasanya
pertumbuhannya normal selama fase anak tetapi terjadi sedikit peningkatan pertumbuhan
pada masa pubertas. Perlu ditanyakan mulainya terjadi perubahan tanda-tanda hormon
sekunder. Disamping itu perlu ditanyakan kemungkinan adanya sindrom tertentu.
38
Remaja dengan defisiensi hormon gonadotropin memberikan karakteristik keterlambatan
pertumbuhan tinggi badan dibanding berat badan, keadaan ini berbeda dengan yang
disebabkan oleh psikososial dimana terjadi keterlambatan pertumbuhan berat badan
dibanding tinggi badan. Beberapa manifestasi androgen seperti rambut pubis
pertumbuhannya lebih banyak dipengaruhi sekresi steroid adrenal dibandingkan dengan
sekresi gonad. Pengaruh estrogen dapat dimonitor pada rata-rata perkembangan payudara,
warna vagina serta sekresinya dan ukuran uterus. Perlu diperiksa fungsi saraf olfaktorius
dimana 80% anak laki-laki dengan sindrom Kallman menunjukkan gejala anosmia atau
hiposmia, kadang-kdang diikuti oleh ginekomastia dan galaktorea pada sindrom klinefelter.
Pada pemeriksaan payudara dan volume testis perlu ditambahkan status pubertasnya.
Pengukuran panjang serta volume testis untuk mengevaluasi peningkatan produksi
gonadotropin endogen. Kelainan komplek pada pubertas terlambat mungkin merupakan suatu
sindrom tertentu, seperti sindrom Kallman, sindrom Prader-willi, sindrom turner.
5. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan sinar X untuk melihat umur tulang, imaging skull (jika
hipogonadotropik)
b. Pengukuran hormon adrenal dan steroid gonad
c. Penilaian fungsi tiroid, TSH, T3 dan T4
d. Penilaian sekresi hormon pertumbuhan dan fungsi tiroid, diindikasikan jika kecepatan
pertumbuhan dibawah normal walaupun kecepatan pertumbuhan lambat sebentar
sebelum onset pubertas pada laki-laki normal.
e. Jika ditemukan testis kecil dan lunak dan ditemukan bukti yang mencurigakan adanya
sindrom klinefelter maka diindikasikan pemeriksaan kariotip.
6. Penatalaksanaan
A. Constitutional Delay And Growth And Adolescence (CDGA)
1. Dukungan psikologi
Biasanya remaja sangat malu dengan adanya perawakan pendek dan belum
adanya perkembangan seksual sekunder, sehingga mereka memiliki masalah
psikologis signifikan yang membutuhkan bantuan khusus, terutama bila mereka telah
melewati usia 13 tahun pada perempuan atau 14 tahun pada laki-laki. Pasien dengan
constitusional delay and growth harus diyakinkan bahwa perkembangan pubertas
normal akan terjadi secara spontan.
39
2. Hormon steroid
Preparat baru steroid seksual topikal, yang memiliki efek sistemik dan masa kerja
yang panjang dibanding preparat streroid seksual parenteral atau oral telah meluaskan
efek terapeutik untuk pubertas terlambat. Rekomendasi klasik untuk perempuan
adalah penggunaan estrogen konjugasi selama 3 bulan (0,3mg) atau estradiol (5-10
µg) yang dapat diberikan secara oral setiap hari. Estradiol topikal juga diketahui
memiliki resiko yang lebih kecil terhadap hipertensi, batu empedu, penambahan berat
badan, penurunan sensitifitas terhadap insulin, peningkatan trigliserida.
B. Hipogonadisme permanen
Pasien dengan pubertas terlambat yang disebabkan oleh hipogonadisme primer atau
sekunder perlu dilakukan terapi pengganti. Laki-laki dengan hipogonadisme dapat diterapi
dengan gel testosteron, atau testosteron enantat atau sipionat yang diberikan secara
intramuskular tiap bulannya, seperti yang telah dijelaskan diatas. Terapi harus dimulai
secepat mungkin dan ditingkatkan secara bertahap hingga dosis dewasa dicapai, terapi dapat
berlangsung selama berbulan-bulan hingga bertahun-tahun untuk menyerupai progres normal
dari pubertas dan untuk menghindari paparan dosis androgen tinggi yang tiba-tiba dan
kemungkinan ereksi yang sering pada pria atau priapismus.
Pada wanita, terapi dapat diberikan dengan oral etinil estradiol (ditingkatkan mulai dari 5
µg/hari hingga 10-20µg/hari bergantung kepada hasil klinis) atau estrogen terkonjugasi (0,3
40
atau 0,625/hari). Dosis dimulai dari hari ke1-21 dalam sebulan dan dilakukan selama
beberapa bulan.
41
ISOLATED HYPOGONADOTRPIN HYPOGONADISM
Amenore Sekunder
Amenore adalah tidak terjadinya atau abnormalitas siklus menstruasi seorang wanita
pada usia reproduktif. Menstruasi merupakan tanda penting maturitas organ seksual seorang
wanita. Dimana definisi menstruasi adalah keluarnya darah, mukus dan debris – debris seluler
yang berasal dari uterus secara periodik dengan siklus teratur. Siklus menstruasi pada wanita
normal berlangsung teratur, yaitu 21 – 35 hari dengan volume darah yang dikeluarkan selama
menstruasi sebanyak 40 ml dan cairan serosa sebanyak 35 ml. Menstruasi merupakan suatu
proses yang kompleks, karena melibatkan berbagai organ, sistem endokrin, hormon – hormon
reproduksi dan enzim. Proses menstruasi diregulasi oleh sistem endokrin dan perubahan
hormonal yang terjadi melalui mekanisme timbal balik (feed back mechanism) antara
hipotalamus, pituitari dan ovarium atau yang dikenal dengan axis endokrin Hipotalamus –
Pituitary – Ovarium (HPO).
Secara umum amenore dibedakan menjadi 2 yaitu amenore primer dan sekunder.
Amenore primer adalah tidak terjadinya menstruasi pertama kali (menarche) pada usia 13
tahun dengan pertumbuhan seks sekunder normal atau tidak terjadinya menarche dalam
waktu lima tahun setelah pertumbuhan payudara, apabila terjadi sebelum usia 10 tahun.
Sedangkan, amenore sekunder adalah berhentinya siklus menstruasi yang teratur selama 3
bulan atau berhentinya siklus menstruasi yang tidak teratur selama 6 bulan.
42
Gambar 3. Etiologi Amenorea 19
Dikatakan amenorea sekunder bila seorang wanita usia reproduktif yang pernah
mengalami haid, tiba-tiba haidnya berhenti untuk sedikitnya 3 bulan berturut-turut. Prinsip
dasar yang mendasari fisiologi dari fungsi menstruasi memungkinkan penyusunan beberapa
sistem kompartemen yang tepat di mana siklus menstruasi bergantung, yaitu: kompartemen I
gangguan pada uterus, kompartemen II gangguan pada ovarium, kompartemen III gangguan
pada hipofisis anterior, dan kompartemen IV gangguan pada sistem saraf pusat
(hipotalamus). Gangguan ini sering berhubungan dengan keadaan stres (wanita pengungsi,
dipenjara, hidup dalam ketakutan), atlit wanita, atau anoreksia nervosa dan bulimia. Mencari
penyebab amenorea dapat diperoleh dengan melakukan beberapa uji atau percobaan.
Penentuan lokasi defek anatomis spesifik sangat bermanfaat untuk mendapatkan penanganan
yang sesuai dengan penyebab amenore.
43
WHO mengklasifikasikan gangguan ovulasi menjadi tiga kelompok yaitu amenore
hipothalamus (hipogonadotropin hipogonadism, amenore sentral), disfungsi hipothalamus
hipofisis dan kegagalan ovarium. Amenore sentral terjadi bila hipothalamus dan hipofisis
gagal untuk memberikan stimulasi gonadotropin yang adekuat ke ovarium sehingga terjadi
kegagalan ovulasi atau produksi estradiol dan progesteron yang tidak normal.
44
Gambar 5. Evaluasi Amenorea Sekunder19
Amenore Hipotalamus
45
Gambar 3. Patofisiologi amenorrhea hipotalamus fungsional
46
seksual dapat dideteksi pada pemeriksaan fisik pada remaja dan orang dewasa yang memiliki
IGD.
47
dan gonadotropin eksogen merupakan terapi yang diterima oleh FDA untuk membantu
kesuburan pada wanita dengan IGD, selain dengan cara fertilisasi in vitro.
Bila pasien menginginkan fertilitas maka induksi ovulasi dapat dilakukan dengan
hormon gonadotropin atau dengan pemberian GnRH pulsatil, sedangkan pada wanita yang
tidak ingin hamil maka kontrasepsi oral dapat diberikan untuk menimbulkan mentruasi dan
sebagai substitusi estrogen.
Ovulasi yang disertai kehamilan normal setelah terapi dengan GnRH pulsatil
diperkirakan lebih dari 90% setelah enam siklus sedangkan dengan gonadotropin angka
kehamilan kumulatif 72% setelah enam siklus. Kesrouni dkk, melakukan penelitian untuk
menilai efektifitas protokol GnRH pulsatil dalam mengobati infertilitas pada 44 wanita
dengan amenore hipothalamus primer menggunakan 5 ug bolus tiap 90 menit. Angka ovulasi
mencapai 95%. Folikel tunggal dihasilkan pada 91% siklus dengan angka kehamilan rata-rata
tiap kehamilan persiklus adalah 45%. Pada pasien-pasien pernah mendapat gonadotropin
eksogen diperoleh hasil yang lebih jelek. Mereka menyimpulkan bahwa GnRH pulsatil
adalah metoda yang efektif dan aman karena stimulasi ovulasi yang normal.
Tujuan terapi substitusi estrogen adalah untuk menginduksi perkembangan seks
sekunder. Pada sebagian besar individu yang menggunakan pil kontrasepsi menunjukkan
terjadinya perkembangan seks sekunder baik parsial maupun lengkap dan pasien harus
dimonitor selama interval 2 sampai 3 bulan. Estrogen tunggal dapat diberikan oral atau
dengan transdermal. Bila perdarahan bercak terjadi atau setelah satu tahun pemakaian
estrogen, progesteron harus ditambahkan. Pil kontrasepsi dapat diberikan, alternatif lain ada
lah pemberian estrogen saja selama sebelas hari pertama dan selanjutnya ditambahkan
progesteron mulai hari ke 12 sampai 21 pada tiap bulan, setelah itu sampai akhir bulan tidak
diberikan terapi apapun. Setelah perkembangan seks sekunder optimal, tetap diperlukan dosis
minimal estrogen untuk mencegah perdarahan, mempertahankan siklus mentruasi yang
teratur dan mempertahankan deposit kalsium.
Penyakit jantung rematik adalah gejala sisa dari demam rematik dan merupakan jenis
penyakit jantung didapat yang paling banyak dijumpai pada populasi anak-anak dan dewasa muda.
Puncak insiden demam rematik terdapat pada kelompok usia 5-15 tahun; penyakit ini jarang dijumpai
pada anak dibawah usia 4 tahun dan penduduk di atas 50 tahun. 8
48
Prevalensi demam rematik/penyakit jantung rematik yang diperoleh dan penelitian WHO
mulai tahun 1984 di 16 negara sedang berkembang di Afrika, Amerika Latin, Timur Jauh, Asia
Tenggara dan Pasifik Barat berkisar 0,1 sampai 12,6 per 1.000 anak sekolah, dengan prevalensi rata-
rata sebesar 2,2 per 1.000. Prevalensi pada anak-anak sekolah di beberapa negara Asia pada tahun
1980-an berkisar 1 sampai 10 per 1.000. Dari suatu penelitian yang dilakukan di India Selatan
diperoleh prevalensi sebesar 4,9 per 1.000 anak sekolah, sementara angka yang didapatkan di
Thailand sebesar 1,2 sampai 2,1 per 1.000 anak seko1ah. Prevalensi demam rematik di Indonesia
belum diketahui secara pasti, meskipun beberapa penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan
bahwa revalensi penyakit jantung rematik berkisar 0,3 sampai 0,8 per 1.000 anak sekolah.10
Kurang lebih 39 % pasien dengan demam reumatik akut bisa terjadi kelainan pada jantung
mulai dari insufisiensi katup, gagal jantung, perikarditis bahkan kematian. Dengan penyakit jantung
reumatik yang kronik, pada pasien bisa terjadi stenosis katup dengan derajat regurgitasi yang berbeda-
beda, dilatasi atrium, aritmia dan disfungsi ventrikel. Penyakit jantung reumatik masih menjadi
penyebab stenosis katup mitral dan penggantian katup pada orang dewasa di Amerika
Serikat.Menurut Hudak dan Gallo (1997), adanya malfungsi katup dapat menimbulkan kegagalan
pompa baik oleh kelebihan beban tekanan (obstruksi pada pengaliran keluar dari pompa ruang ,
seperti stenosis katup aortik atau stenosis pulmonal), atau dengan kelebihan beban volume yang
menunjukan peningkatan volume darah ke ventrikel kiri sehingga sebagai produk akhir dari malfungsi
katup akibat penyakit jantung reumatik adalah gagal jantung kongestif.13
49
Kriteria mayor terdiri dari beberapa tanda klinis, antara lain:
1. Paroksismal nokturnal dispnea
2. Distensi vena leher
3. Ronki paru
4. Kardiomegali
5. Edema paru akut
6. Gallop S3
7. Peningkatan tekanan vena jugularis
8. Refluks hepatojugular
Kriteria minor
Kriteria minor terdiri dari beberapa gejala, antara lain:
1. Edema ekstremitas
2. Batuk malam hari
3. Dispnea d’effort
4. Hepatomegali
5. Efusi pleura
6. Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
7. Takikardia (lebih dari 120 kali per menit)
Diagnosis gagal jantung kongestif ditegakkan jika terdapat minimal 1 kriteria mayor
dan 2 kriteria minor.
50
Kriteria Jones memuat kelompok kriteria mayor dan minor yang pada dasarnya merupakan
manifestasi klinik dan laboratorik demam rematik. Pada perkembangan selanjutnya, kriteria ini
kemudian diperbaiki oleh American Heart Association dengan menambahkan bukti adanya infeksi
streptokokus sebelumnya. Apabila ditemukan 2 kriteria mayor, atau 1 kriterium mayor dan 2 kriteria
minor, ditambah dengan bukti adanya infeksi streptokokus sebelumnya, kemungkinan besar
menandakan adanya demam rematik. Tanpa didukung bukti adanya infeksi streptokokus, maka
diagnosis demam rematik harus selalu diragukan, kecuali pada kasus demam rematik dengan
manifestasi mayor tunggal berupa korea Syndenham atau karditis derajat ringan, yang biasanya terjadi
jika demam rernatik baru muncul setelah masa laten yang lama dan infeksi strepthkokus.
Perlu diingat bahwa kriteria Jones tidak bersifat mutlak, tetapi hanya sebagai suatu pedoman
dalam menentukan diagnosis demam rematik. Kriteria ini bermanfaat untuk memperkecil
kemungkinan terjadinya kesalahan diagnosis, baik berupa overdiagnosis maupun underdiagnosis.
Kriteria Mayor
1) Karditis merupakan manifestasi klinik demam rematik yang paling berat karena merupakan
satu-satunya manifestasi yang dapat mengakibatkan kematian penderita pada fase akut dan dapat
menyebabkan kelainan katup sehingga terjadi penyakit jantung rematik. Diagnosis karditis rematik
dapat ditegakkan secara klinik berdasarkan adanya salah satu tanda berikut: (a) bising baru atau
perubahan sifat bising organik, (b) kardiomegali, (c) perikarditis, dan gagal jantung kongestif. Bising
jantung merupakan manifestasi karditis rematik yang seringkali muncul pertama kali, sementara tanda
dan gejala perikarditis serta gagal jantung kongestif biasanya baru timbul pada keadaan yang lebih
berat. Bising pada karditis rematik dapat berupa bising pansistol di daerah apeks (regurgitasi mitral),
bising awal diastol di daerah basal (regurgitasi aorta), dan bising mid-diastol pada apeks (bising
Carey-Coombs) yang timbul akibat adanya dilatasi ventrikel kiri.
2) Poliartritis ditandai oleh adanya nyeri, pembengkakan, kemerahan, teraba panas, dan
keterbatasan gerak aktif pada dua sendi atau lebih. Artritis pada demam rematik paling sering
mengenai sendi-sendi besar anggota gerak bawah. Kelainan ini hanya berlangsung beberapa hari
sampai seminggu pada satu sendi dan kemudian berpindah, sehingga dapat ditemukan artritis yang
saling tumpang tindih pada beberapa sendi pada waktu yang sama; sementara tanda-tanda radang
mereda pada satu sendi, sendi yang lain mulai terlibat. Perlu diingat bahwa artritis yang hanya
mengenai satu sendi (monoartritis) tidak dapat dijadikan sebagai suatu kriterium mayor. Selain itu,
agar dapat digunakan sebagai suatu kriterium mayor, poliartritis harus disertai sekurang-kurangnya
dua kriteria minor, seperti demam dan kenaikan laju endap darah, serta harus didukung oleh adanya
titer ASTO atau antibodi antistreptokokus lainnya yang tinggi.
3) Korea secara khas ditandai oleh adanya gerakan tidak disadari dan tidak bertujuan yang
berlangsung cepat dan umumnya bersifat bilateral, meskipun dapat juga hanya mengenai satu sisi
tubuh. Manifestasi demam rematik ini lazim disertai kelemahan otot dan ketidak-stabilan emosi.
51
Korea jarang dijumpai pada penderita di bawah usia 3 tahun atau setelah masa pubertas dan lazim
terjadi pada perempuan. Korea Syndenham merupakan satu-satunya tanda mayor yang sedemikian
penting sehingga dapat dianggap sebagai pertanda adanya demam rematik meskipun tidak ditemukan
kriteria yang lain. Korea merupakan manifestasi demam rematik yang muncul secara lambat, sehingga
tanda dan gej ala lain kemungkinan sudah tidak ditemukan lagi pada saat korea mulai timbul.
4) Eritema marginatum merupakan wujud kelainan kulit yang khas pada demam rematik dan
tampak sebagai makula yang berwarna merah, pucat di bagian tengah, tidak terasa gatal, berbentuk
bulat atau dengan tepi yang bergelombang dan meluas secara sentrifugal. Eritema marginatum juga
dikenal sebagai eritema anulare rematikum dan terutama timbul di daerah badan, pantat, anggota
gerak bagian proksimal, tetapi tidak pernah ditemukan di daerah wajah. Kelainan ini dapat bersifat
sementara atau menetap, berpindah-pindah dari satu bagian tubuh ke bagian tubuh yang lain, dapat
dicetuskan oleh pemberian panas, dan memucat jika ditekan. Tanda mayor demam rematik ini hanya
ditemukan pada kasus yang berat.
5) Nodulus subkutan pada umumnya hanya dijumpai pada kasus yang berat dan terdapat di
daerah ekstensor persendian, pada kulit kepala serta kolumna vertebralis. Nodul ini berupa massa
yang padat, tidak terasa nyeri, mudah digerakkan dari kulit di atasnya, dengan diameter dan beberapa
milimeter sampai sekitar 2 cm. Tanda ini pada umumnya tidak akan ditemukan jika tidak terdapat
karditis.
Kriteria Minor
1) Riwayar demam rematik sebelumnya dapat digunakan sebagai salah satu kriteria minor
apabila tercatat dengan baik sebagai suatu diagnosis yang didasarkan pada kriteria obyektif yang
sama. Akan tetapi, riwayat demam rematik atau penyakit jantung rematik inaktif yang pernah diidap
seorang penderita seringkali tidak tercatat secara baik sehingga sulit dipastikan kebenarannya, atau
bahkan tidak terdiagnosis
2) Artralgia adalah rasa nyeri pada satu sendi atau lebih tanpa disertai peradangan atau
keterbatasan gerak sendi. Gejala minor ini harus dibedakan dengan nyeri pada otot atau jaringan
periartikular lainnya, atau dengan nyeri sendi malam hari yang lazim terjadi pada anak-anak normal.
Artralgia tidak dapat digunakan sebagai kriteria minor apabila poliartritis sudah dipakai sebagai
kriteria mayor.
3) Demam pada demam rematik biasanya ringan,meskipun adakalanya mencapai 39°C,
terutama jika terdapat karditis. Manifestasi ini lazim berlangsung sebagai suatu demam derajat ringan
selama beberapa minggu. Demam merupakan pertanda infeksi yang tidak spesifik, dan karena dapat
dijumpai pada begitu banyak penyakit lain, kriteria minor ini tidak memiliki arti diagnosis banding
yang bermakna.
4) Peningkatan kadar reaktan fase akut berupa kenaikan laju endap darah, kadar protein C
reaktif, serta leukositosis merupakan indikator nonspesifik dan peradangan atau infeksi. Ketiga tanda
52
reaksi fase akut ini hampir selalu ditemukan pada demam rematik, kecuali jika korea merupakan satu-
satunya manifestasi mayor yang ditemukan. Perlu diingat bahwa laju endap darah juga meningkat
pada kasus anemia dan gagal jantung kongestif. Adapun protein C reaktif tidak meningkat pada
anemia, akan tetapi mengalami kenaikan pada gagal jantung kongestif. Laju endap darah dan kadar
protein C reaktif dapat meningkat pada semua kasus infeksi, namun apabila protein C reaktif tidak
bertambah, maka kemungkinan adanya infeksi streptokokus akut dapat dipertanyakan
5) Interval P-R yang memanjang biasanya menunjukkan adanya keterlambatan abnormal
sistem konduksi pada nodus atrioventrikel dan meskipun sering dijumpai pada demam rematik,
perubahan gambaran EKG ini tidak spesifik untuk demam rematik. Selain itu, interval P-R yang
memanjang juga bukan merupakan pertanda yang memadai akan adanya karditis rematik.
ANALISA KASUS
Pasien didiagnosis Grave disease berdasarkan gejala klinis adanya struma difusa, gejala
klinis hiperthiroid dan exopthalmus ditunjang hasil laboratorium yang menunjukkan primary
hiperthiroid. Pemeriksaan USG dengan kesan pembesaran difus kelenjar thyroid dengan
ekoparenkim yang menurun serta hasil TRAb yang tinggi secara spesifik menegakkan suatu
Grave disease. Kadar TRAb cukup tinggi didapati pada 94% pasien anak dengan Grave
disease dan merupakan hal yang cukup spesifik. Pada kondisi tidak spesifik , klinis dan lab
tidak jelas bisa dilakukan pemeriksaan patologis anatomi dimana pemeriksaan PA dapat
ditemukan hyperplastic folikuler epitelium dari sediaan tiroidnya.
53
Tujuan tatalaksana terapi hipertiroid adalah menghambat terbentuknya hormon tiroid
dengan pemberian obat anti tiroid, radioterapi dan pembedahan serta terapi tambahan untuk
mengatasi efek samping hipertiroid pada sistem kardiovaskuler. Pilihan terapi berupa:
2. Terapi tambahan
Pemberian propranolol pada pasien ini diindikasikan karena adanya gejala takikardi.
Pemberian propranolol diharapkan dapat mengurangi efek merugikan hipertiroid pada
sistem kardiovaskular, bila takikardi dibiarkan tanpa terapi tentu kedepannya dapat
menimbulkan keadaan kardiomiopati.
Durasi terapi dengan obat anti tiroid pada anak dan remaja adalah berkisar 2 tahun.
Penggunaan obat anti tiroid dapat lebih lama dibandingkan dewasa untuk mencapai remisi.
Beberapa faktor yang berkaitan dengan relaps dan remisi pada anak dan remaja dengan
Graves disease adalah usia yang lebih muda, body mass index yang rendah, kadar hormon
tiroid yang lebih tinggi saat pemeriksaan awal berkaitan dengan kemungkinan relaps yang
lebih tinggi.
Gagal jantung adalah suatu kondisi di mana jantung tidak mampu memompa cukup
darah ke tubuh untuk memenuhi kebutuhannya, untuk membuang sistemik pulmonary venous
return secara adekuat, atau kombinasi dari keduanya yang dicirikan oleh kesulitan bernapas,
54
3
takikardia dan kardiomegali. Gagal jantung pada pasien ini adalah gagal jantung kongestif
yang diindikasikan oleh dyspnued'effort, tachypnea, orthopnea, tachycardia, peningkatan
JVP, dan hepatomegali. Kami menyimpulkan bahwa gagal jantung pada pasien ini
kemungkinan komplikasi pada penyakit jantung yang didapat. Berdasarkan gejala itu muncul
pada 2 minggu terakhir, tidak ada riwayat sianosis dan berhenti-berhenti ketika menyusu
pada waktu bayi. Kami menganggap penyakit jantung rematik sebagai etiologi karena
timbulnya penyakit terjadi pada usia sekolah dan pasien mengalami karditis berat, yang
disertai dengan arthritis, dan demam. Namun demikian, kami pemeriksaan laboratorium dan
radiologi masih diperlukan untuk membuat diagnosis definitif
Demam rematik akut (ARF) dan penyakit jantung rematik (RHD) adalah penyebab
umum penyakit jantung yang didapat di negara berkembang. Prevalensi RHD di Indonesia
diperkirakan 0,3-0,8 per 1000 pada anak-anak berusia 5-15 tahun. Faktor predisposisi yang
penting termasuk riwayat keluarga demam rematik, usia antara 6 dan 15 tahun (dengan
insiden puncak pada usia 8 tahun), dan status sosial ekonomi rendah (kemiskinan, kebersihan
yang buruk, kekurangan medis). ARF diyakini sebagai respons imunologis yang terjadi
sebagai sekuel tertunda infeksi Streptococcus beta hemolyticus grup A (SGA) di faring.
Riwayat faringitis streptokokus pada 1-5 minggu (rata-rata 3 minggu) sebelum timbulnya
gejala adalah umum. ARF dan RHD didiagnosis menggunakan kriteria WHO 2003. 9-10
Pada pasien ini, ada riwayat karditis (murmur karena regurgitasi, dan stenosis,
kardiomegali pada pemeriksaan x-ray dada dan tanda-tanda gagal jantung). Temuan
laboratorium termasuk peningkatan LED dan protein C-reaktif (CRP), yang merupakan bukti
objektif dari proses inflamasi. Antistreptolisin O positif (ASTO) pada pasien ini adalah bukti
laboratorium yang dapat diandalkan dari infeksi streptokokus yang mampu menggambarkan
demam rematik akut. Pada pemeriksaan EKG interval PR memanjang dan terdapat LVH.
Berdasarkan temuan dan menurut kriteria WHO 2003, pasien didiagnosis sebagai penyakit
jantung rematik. Hasil swab faring pada pasien ini tidak dapat mengisolasi mikroorganisme
SGA. Isolasi SGA jarang positif pada swab faring. Markowitz dan Gordis (1972) dikutip dari
AM Cilliers, menemukan swab positif hanya 25% pasien dengan demam rematik akut (ARF),
sementara Padmavati (1978) dikutip dari Cilliers AM, ditemukan hanya 16%. Pemeriksaan
penting lainnya untuk penyakit jantung rematik adalah ekokardiografi. Hasil pemeriksaan
ekokardiografi pada pasien ini adalah stenosis mitral, regurgitasi trikuspid sedang, dan
regurgitasi paru sedang. Selain skrining untuk kelainan katup, yang mungkin tidak jelas
termanifestasi pada temuan klinis, ekokardiografi juga dapat membantu untuk secara obyektif
55
menentukan tingkat keparahan pembesaran jantung, tingkat kelainan katup, respon
pengobatan serta adanya efusi perikardial. Kepatuhan yang baik untuk pengobatan PJR
dengan antibiotik profilaksis sekunder akan membantu mengurangi perkembangan penyakit,
yang harus dievaluasi dengan echocardiography setidaknya setiap 2 tahun.
Pada pasien ini ditemukan adanya riwayat menstruasi pada saat usia 12 tahun yang
berlangsung selama 6 bulan, namun kemudian berhenti hingga saat ini. Keadaan ini
menunjukkan adanya amenore sekunder. Dikatakan amenorea sekunder bila seorang wanita
usia reproduktif yang pernah mengalami haid, tiba-tiba haidnya berhenti untuk sedikitnya tiga
bulan berturut-turut. Penyebab tidak datangnya haid ialah gangguan pada organ-organ yang
bertanggung jawab terhadap proses terjadinya siklus haid, yaitu: hipotalamus-hipofisis
(amenorea sentral), ovarium (amenorea ovarium), dan uterus (amenorea uteriner). Pervalensi
amenorea sekunder sekitar 3-4% wanita usia reproduktif, sebagian besar kasus disebabkan
oleh sindroma ovarium polikistik (SOPK), amenorea hipotalamik, hiperprolaktinemia, dan
kegagalan ovarium dini.
Pada pasien ini tidak ditemukan adanya gangguan diet atau pola makan, latihan yang
berat, penggunaan obat antipsikotik atau antidepresan, serta tidak ditemukan adanya
gangguan penciuman. Pada literatur disebutkan bahwa amenore yang berasal dari gangguan
hipotalamus dapat disebabkan oleh ( gangguan makan, latihan berat, obat-obatan, stress,
penyakit kronik dan kallman syndrome). Pada pasien ini ditemukan adanya penyakit kronik
berupa hipertiroid yang dapat juga mengakibatkan stress pada penderita sehingga menjadi
predisposisi amenore pada penderita. Pada pasien dengan stress, amenore dapat dicetuskan
56
dengan meningkatnya sekresi CRH yang dapat menghambat pelepasan GnRH di
hipotalamus.
Pada kasus amenore dengan gangguan tiroid, terdapat dua penyebab yaitu amenore
karena hipotiroid ataupun hipertiroid. Pasien dengan hipotiroid lebih banyak menyebabkan
hipermenore ataupun oligomenore dibandingkan dengan amenore. Prevalensi pasien
hipotiroid dengan amenore sejumlah 20-70%. Mekanisme yang disebabkan yaitu adnya
pelepasan TSH yang merangsang pelepasan dari hormon prolaktin sehingga menyebabkan
hiperprolaktinemia. Pada pasien ini terdapat hipertiroid, dimana prevalensinya mencapai 20%
pada pasien dengan amenore. Walaupun mekanismenya belum jelas, namun pasien amenore
dengan hipertiroid berhubungan dengan stress dan kondisi gizi yang kurang. Hipertiroid
dapat meningkatkan hormon pengikat globin yang menyebabkan peningkatan estrogen.
Pada pasien ini direncanakan untuk diperiksa kadar prolaktin yang bertujuan untuk
menyingkirkan adanya amenore karena gangguan hipofisis yang dapat disebabkan oleh
hiperprolaktinemia. Pemeriksaan MRI kepala direncanakan untuk menyingkirkan adanya
kraniofaringioma yang juga dapat menyebabkan gangguan di hipofisis. Pemeriksaan USG
transrektal juga direncanakan pada pasien ini untuk menyingkirkan amenore karena adanya
gangguan di gonad maupun di uterus.
57
SO
105****
M
P
H
58
REFERENCES
1. Susanto R, Julia M. Gangguan Kelenjar Tiroid. In: Batubara RL, Tridjaja B, Pulungan
BA, editors. Buku ajar endokrinologi anak. First edition. Jakarta: Badan Penerbit
IDAI;2010.pp.205-47
2. Bansai S, Umpaichitra V, Desai N, dkk. Pediatric graves’ disease. Int J Endocrinol
Metab Disord;2015:vol;pp
3. Leger J, Kaguelidou F, Alberti C, Carel JC. Graves’ disease in children. Best practice
and research clinical endocrinology and metabolism. Philadelphia: Elsevier.
2014;28:233-43
4. Nakamura H, Yoshimura J. Comparison of Methimazole and Propylthiouracil in Patients
with Hyperthyroidism Caused by Graves’ Disease. J Clin Endocrinol Metab, June 2007,
92(6):2157–62.
5. Bahn RS, Burch HB, Cooper DS, dkk. Hyperthyroidism and other causes of
thyrotoxicosis: management guidelines of the American Thyroid Association and
American Association of Clinical Endocrinologists. Endocr Pract. 2011; 17:456-70.
6. Cristina T, Vicente M, Robazzi l, Fernando L, Adan F. Autoimmune thyroid disease in
patients with rheumatic diseases. Elsevier Editorial. 2012; 417-29
7. Cicero FA, Ertek S. Hyperthyroidism and cardiovascular complications: a narrative
review on the basis of pathophysiology. Arch Med Sci. 2013;9:944-52.
8. Park MK. Congestive heart failure. In: Park’s pediatric cardiology for practitioners.
Philadelphia, PA: Elsevier Saunders;2014.pp.451–64.
9. Park MK. Acute rheumatic fever. In:Park’s pediatric cardiology for practitioners.
Philadelphia, PA: Elsevier Saunders, 2014. pp. 367–74.
10. Kaplan E, Martin D, et al. rheumatic fever and rheumatic heart disease. report of a WHO
study group. WHO, Genewa. 2004.
11. Robertson KA, Volmink JA, Mayosi BM. Antibiotics for the primary prevention of acute
rheumatic fever: a meta-analysis. BMC Cardiovasc Disord;2005;5:pp
12. Joseph N, Madi D, Kumar G, et al. Clinical spectrum of rheumatic fever and rheumatic
heart disease: A 10 year experience in an urban area of south. North Am J Med Sci 2013;
5: 647.
13. Marino BS, Tomlinson RS, Drotar D, et al. Quality-of-Life Concerns Differ Among
Patients, Parents, and Medical Providers in Children and Adolescents With Congenital
and Acquired Heart Disease. PEDIATRICS 2009; 123: e708–15.
59
14. Karsdorp PA, Everaerd W, Kindt M, et al. Psychological and cognitive functioning in
children and adolescents with congenital heart disease: A meta-analysis. J Pediatr
Psychol 2006; 32: 527–41.
15. Crowley WF, Jr, Pitteloud N, MD. Diagnosis and treatment of delayed puberty. Upto
date.date 2016.
16. Rosenfield RL, Cooke DW. Puberty and its disorders in the female. In: editor, editors.
Pediatric endocrinology. Fourth Ed. Town: Saunders of Elsevier Inc;2014.pp.569-642.
17. Ines L, Sedlemeyer, Palmer M. Delayed Puberty: Analysis of a Large Case Series from
an Academic Center. J of Clinical Endocrinology & Metabolism. 2002; 1613–20
18. Prawirohardjo, Sarwono. 2002. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.
19. Master-Hunter, T., & Heiman, D. L. Amenorrhea: Evaluation and treatment. American
Family Physician. 2006. 73;8: 1374−82.
20. Baziad A. Endokrinologi ginekologi. Edisi kedua. Jakarta: Media Aesculapius, 2003: 35-
39
60