A. Skizofrenia Paranoid
A. Skizofrenia Paranoid
PENDAHULUAN
A. SKIZOFRENIA PARANOID
1. Pengertian
Skizofrenia adalah suatu diskripsi sindrom dengan variasi penyebab (banyak
belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau
deteriorating) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada pertimbangan
pengaruh genetik, fisik dan sosial budaya (Rusdi Maslim, 1997; 46).
Skizofrenia paranoid adalah karakteristik tentang adanya delusi (paham)
karja atau kebesaran dan halusinasi pendengaran , kadang-kadang individu
tetrtekan, menjadi korban dan beanggapan diawasi, dimusuhi, dan agresif.
(Townsend, 2005)
Skizofrenia paranoid yaitu pada tipe ini adanya pikiran-pikiran yang absurd
(tidak ada pegangannya) tidak logis, dan delusi yang berganti-ganti. Sering diikuti
halusinasi dengan akibat kelemahan penilaian kritis (critical judgement)nya dan aneh
tidak menentu, tidak dapat diduga, dan kadang-kadang berperilaku yang berbahaya.
Orang-0rang dengan tipe ini memiliki halusinasi dan delusi yang sangat
mencolok,yang melibatkan tema-tema tentang penyiksaan dan kebesaran (toernry,
1995, Susan Nolen Hoeksema, 2004).
Skizofrenia merupakan kelompok gangguan psikosis atau psikotik yang
ditandai oleh distorsi-distorsi mengenai realitas, adanya perilaku menarik diri dari
interaksi social serta disorganisasi dan fragmentasi dalam hal persepsi, pikiran dan
kognisi (Carson dan Butcher, 1992).
Menurut MAramis:1982 skizofrenia paranoid sedikit berlainan dari jenis-jenis
yang lain dalam jalan penyakit. Hebrefenia dan Katatonia sering lama-kelamaan
Hebrefenia dan Katatonia bercampuran. Tidal demikian dengan skizofrenia paranoid
yang jalannya agak konstan. Gejala-gejala yang mencolok ialah waham primer ,
disertai waham-waham skunder, dan Halusinasi. Baru dengan pemeriksaan yang
teliti ternyata adanya gangguan proses berfikir dan adanya gangguan afek berfikir.
2. Etiologi
a. Faktor Biologis
1) Herediter ( Pengaruh Gen terhadap Skizofrenia)
Studi terhadap keluarga, anak kembar dan anak adopsi melengkapi
bukti-bukti bahwa gen terlibat dalam transmisi (penyebaran) skizofrenia
(Liohtermann, Karbe & Maier, 2000). Beberapa peneliti berpendapat bahwa
banyak gen (polygenic) model tambahan, yang membentuk jumlah dan
konfigurasi gen abnormal untuk membentuk skizofrenia (Gottensman, 1991,
Gottansman & Erlenmyer-kimling, 2001). Adanya lebih banyak gen yang
terganggu meningkatkan kemungkinan berkembangnya skizofrenia dan
menungkatakan kerumitan gangguan tersebut. Individu yang lahir dengan
beberapa gen tetapi tidak cukup untuk menunjukkan simtom-simtom bertaraf
sedang atau ringan skizofrenia, seperti keganjilan dalam pola bicara atau
proses berpikir dan keyakinan-keyakinan yang aneh.
Anak-anak yang memiliki kedua orang tuanya menderita skizofrenia
dan anak-anak kembar identik atau dari satu zigot (monozigot) dari orangtua
dengan skizofrenia, mendapat sejumlah besar gen skizofrenia, memiliki resiko
sangat besar mendapatkan skizofrenia. Sebaliknya penurunan kesamaan gen
dengan orang-orang skizofrenia, menurunkan resiko individu mengembangkan
gangguan ini.
Jika aman dari orang skizofrenia mengembangkan gangguan ini, tidak
berarti bahwa hal itu dikirimkan atau diwariskan secara genetic. Tumbuh
bersama orangtua skizofrenia dan secara khusus bersama dengan kedua
orangtua dengan gangguan tersebut, kemungkinan besar berarri tumbuh
berkembang dalam suasana yang penuh stress. Jika orangtua psikotik, anak
dapa terbuka untuk pemikiran-pemikiran yang tidak logis, perubahan suasana
hati dan perilaku yang kacau.
Bahkan jika orangtua bukanlah psikotik akut, sisa-sisa simtom
negative akut skizofrenia, kurangnya motivasi, dan disorganisasi mungkin
mengganggu kamampuan orangtua untuk peduli terhadap anak. Studi adopsi
yang dilakukan Leonard Heston di Amerika Serikat dan Kanada menunjukkan
bahwa anak-anak yang hidup bersama orangtua skizofrenia yang diadopsi jauh
dari ibu, mempunyai tingkat pengembangan skizofrenia yang lebih rendah.
2) Pembesaran Ventrikel
Struktur utama otak yang abnormal sesuai dengan skizofrenia adalah
pembesaran ventrikel. Ventrikel adalah ruang besar yang berisi cairan dalam
otak. Perluasan mendukung atropi (berhentinya pertumbuhan), deteriorasi di
jaringan otak lainnya. Orang-orang skizofrenia dengan pembesaran ventricular
cenderung menunjukkan penirinan secara social, ekonomi, perilaku, lama
sebelum mereka mengembangkan simtom utama atau inti dati skizofrenia.
Mereka juga cenderung untuk memiliki simtom yang lebih kuat dari pada orang
skizofrenialainnya dan kurang responsive terhadap pengobatan karena
dianggap sebagai pergantian yang buruk dalam pemfungsian otak, yang sulit
untuk ditangani/dikurangi melalui treatment. Perbedaan jenis kelamin mungkin
juga berhubungan dengan ukuran ventricular. Beberapa studi menemukan
bahwa laki-laki dengan skizofrenia memiliki pelebaran ventrikel yang lebih kuat.
3) Faktor Anatomis Neuron
Abnormalitas neuron secara otomatis pada skizofrenia memiliki
beberapa penyebab, termasuk abnormalitas gen yang spesifik (khas), cedera
otak berkaitan dengan cedera waktu kelahiran, cedera kepala, infeksi virus
defisiensi (penurunan) dalam nutrisi dan defisiensi dalam stimulus kognitif
(Conklin & Lacono, 2002).
4) Komplikasi Kehamilan
Komplikasi serius selama prenatal dan masalah-masalah berkaitan
dengan kandungan pada saat kelahiran merupakan hal yang lebih sering
dalam sejarah orang-orang dengan skizofrenia dan mungkin berperan dalam
membuat kesulitan-kesulitan secara neurologist. Komplikasi dalam pelepasan
berkombinasi dengan keluarga beresiko terhadap terjadinya karena menambah
derajad pembesaran ventricle. Penelitian epidemiologi telah menunjukkan
angka yang tinggi dari skizofrenia dikalangan orang-orang yang memiliki ibu
terjangkit virus influenza ketika hamil.
Selain itu, apabila ada gangguan pada perkembangan otak janin
selama kehamilan(epigenetic faktor), maka interaksi antara gen yang abnormal
yang sudah ada sebelumnya dengan faktor epigenetik tersebut dapat
memunculkan gejala skizofrenia.( Dadang Hawari,2007)
5) Neurotransmiter
Neurotransmiter dopamine dianggap memainkan peran dalam
skizpfrenia ( Coklin & Lacono, 2002 ). Teori awal dari dopamine menyatakan
bahwa simtom-simton skizofrenia disebabkan oleh kelebihan jumlah dopamine
di otak, khususnya di frontal labus dan system limbic. Aktivitas dopamine yang
berlebihan / tinggi dalam system mesolimbik dapat memunculkan simtom
positif skizofrenia : halusinasi, delusi, dan gangguan berfikir. Karena atipikal
antipsikotis bekerja mereduksi simtom-simtom skizofrenia dengan mengikat
kepada reseptor D4 dalam system mesolimbik. Sebaliknya jika aktivitas
dopamine yang rendah dapat mendorong lahirnya simtom negative seperti
hilangnya motivasi, kemampuan untuk peduli pada diri sendiri dalam aktivitas
sehari-hari. Dan tidak adanya responsivitas emosional. Hal ini menjelaskan
bahwa phenothiazines, yang mereduksi aktivitas dopamine, tidak meredakan
atau mengurangi simtom.
Dalam penelitian lain bahwa taraf abnormalitas nuotansmiter
glutamate dan gamma aminobutyric acid ( GABA ) tampak pada orang-orang
dengan skizofrenia (Goff & Coyle, 2001, Tsai & Coyle,2002 ). Glutamate dan
GABA terbesar di otak manusia dan defisiensi pada neurotransmitter akan
memberikan kontribusi terhadap simtom-simtom kognitif dan emosioanal.
Neuro glutamate merupakan pembangkit jalan kecil yang menghubungkan
kekortek, system limbic dan thalamus bagian otak yang membangkitkan
tingkah laku abnormal pada orang-orang dengan skizofrenia.
b. Faktor Psikososial
1) Teori Psikodinamika
Menurut Kohut & Wolf, ahli-ahli teori psikodinamika berpendapat
bahwa skizofrenia merupakan hasil dari paksaan atau tekanan kekuetan
biologis yang mencegah atau menghalangi individu untuk mengembangkan
dan mengintegrasikan persaan atau pemahaman atas dirinya. Freud(1942)
berargumen bahwa jika ibu secara ekstrim atau berlebihan kasar dan terus-
menerus mendominasi, anak akan mengalami taraf regresi dan kembali ke
taraf perkembangan bayi dalam hal pemfungsiannya, sehingga ego akan
kehilangan kemampuannya dalam membedakan realita.
Menurut Dadang Hawari, dalam teori homeostatis-deskriptif, diuraikan
gambaran gejala-gejala dari suatu gangguan jiwa yang menjelaskan terjadinya
gangguan keseimbangan atau homeostatis pada diri seorang, sebelum dan
seseudah terjadinya gangguan jiwa tersebut. Sedangkan dalam teori Fasilitatif
etiologik, diuraikan faktor yang memudahkan penyebab suatu penyakit itu
muncul, bagaimana perjalanan mekanisme psikologis dari penyakit yang
bersangkutan. Sebagai contoh misalnya menurut Melanie Klein (1926),bahwa
skizofrenia muncul karena terjadi fiksasi pada fase paranoid-schizoid pada
awal perkembangan masa bayi.
2) Pola-Pola Komunikasi
Menurur Gregory Bateson & koleganya bahwa orangtua (khususnya
ibu) pada anak-anak sklizofrenia menempatkan anak mereka dalam situasi
ikatan ganda (double binds) yang secara terus menerus mengkomunikasikan
pesan-pesan yang bertentangan pada anak-anak. Yang dimaksud ikatan
ganda adalah pemberian pendidikan dan informasi yang nilainya saling
bertentangan. Dalam teori doble-bind tentang pola-pola komunikasi dalam
keluarga orang-orang dengan skizofrenia, menampakkan keganjilan.
Keganjilan-keganjilan itu membentuk lingkungan yang penuh ketegangan yang
membuat lebih besar kemungkinan seorang anak memiliki kerawanan secara
biologis terhadap skizofrenia.
Selain itu, anak dalam berbicara sering tidak mneyambung atau kacau
atau tidak jelas arah pembicaraan, serta dalm berbicara disertai emosi yang
tinggi dan suara yang keras.
3) Stres dan Kekambuhan
Keadaan sekitar atau lingkungan yang penuh stress (stresfull)
mungkin tidak menyebabkan seseorang terjangkit skizofrenia, tetapi keadaan
tersebut dapat memicu episode baru pada orang-orang yang mudah terkena
serangan atau rawan terhadap skizofrenia. Berdasarkan penelitian bahwa lebih
dari 50 % orang yang mengalami kekambuhan skizofrenia adalah mereka yang
dalam kehidupannya telah mengalami kejadian-kejadian buruk sebelum
mereka kambuh.
Menurut danang Hawari, stresor yang menyebabkan stres atau
kekambuhan skizofrenia paranoid adalah perkawinan, masalah orang tua,
hubungan interpersonal, pekerjaan, lingkungan hidup, keuangan dan hukum.
4) Faktor Kesalahan Belajar
Yang dimaksud kesalahan belajar adalah tidak tepatnya mempelajari
yang benar atau dengan tepat mempelajari yang tidak benar. Dalam hal ini
penderita mempelajari dengan baik perilaku orang-orang skizofrenia atau
perilaku yang baik dengan cara yang tidak baik ( Wiramaharja,2005)
Respon Respon
Adaptif Maladaptif
Gambar 1. Rentang respon terhadap kemarahan (Stuart and Sundeen, 1995 dalam
Keliat, 2002).
Stress
Cemas
Marah
Depresi/psikosomatik Agresi/Amuk
Gambar 2. Proses terjadinya marah (Rawlins and Beck, 1986 dalam Keliat dkk, 2001)
4. Penatalaksanaan
a. Tindakan Keperawatan
Keliat dkk. (2002) mengemukakan cara khusus yang dapat dilakukan keluarga
dalam mengatasi marah klien yaitu :
1) Berteriak, menjerit, memukul
Terima marah klien, diam sebentar, arahkan klien untuk memukul barang
yang tidak mudah rusak seperti bantal, kasur
2) Cari gara-gara
3) Bantu klien latihan relaksasi misalnya latihan fisik maupun olahraga. Latihan
pernafasan 2x/hari, tiap kali 10 kali tarikan dan hembusan nafas.
4) Bantu melalui humor
Jaga humor tidak menyakiti orang, observasi ekspresi muka orang yang
menjadi sasaran dan diskusi cara umum yang sesuai.
b. Terapi Medis
Psikofarmaka adalah terapi menggunakan obat dengan tujuan untuk mengurangi
atau menghilangkan gejala gangguan jiwa.
Menurut Depkes (2000), jenis obat psikofarmaka adalah :
1) Clorpromazine (CPZ, Largactile)
Indikasi untuk mensupresi gejala-gejala psikosa : agitasi, ansietas,
ketegangan, kebingungan, insomnia, halusinasi, waham, dan gejala-gejala
lain yang bisanya terdapat pda penderita skizofrenia, manik depresif,
gangguan personalitas, psikosa involution, psikosa masa kecil. Cara
pemberian untuk kasus psikosa dapat diberikan per oral atau suntikan
intramuskuler. Dosis permulaan adalah 25 – 100 mg dan diikuti peningkatan
dosis hingga mencapai 300 mg perhari. Dosis ini dipertahankan selama satu
minggu. Pemberian dapat dilakukan satu kali pada malam hari atau dapat
diberikan tiga kali sehari. Bila gejala psikosa belum hilang, dosis dapat
dinaikkan secara perlahan-lahan sampai 600 – 900 mg perhari. Kontra
indikasi sebaiknya tidak diberikan kepada klien dengan keadaan koma,
keracunan alkohol, barbiturat, atau narkotika dan penderita yang hipersensitif
terhadap derifat fenothiazine. Efek samping yang sering terjadi misalnya lesu
dan mengantuk, hipotensi orthostatik, mulut kering, hidung tersumbat,
konstipasi, amenorrhae pada wanita, hiperpireksia atau hipopireksia, gejala
ekstrapiramida. Intoksikasinya untuk penderita non psikosa dengan dosis
yang tinggi menyebabkan gejala penurunan kesadaran karena depresi
susunan saraf pusat, hipotensi, ekstrapiramidal, agitasi, konvulsi, dan
perubahan gambaran irama EKG. Pada penderita psikosa jarang sekali
menimbulkan intoksikasi.
2) Haloperidol (Haldol, Serenace)
Indikasinya yaitu manifestasi dari gangguan psikotik, sindroma gilles de
la Tourette pada anak-anak dan dewasa maupun pada gangguan perilaku
yang berat pada anak-anak. Dosis oral untuk dewasa 1 – 6 mg sehari yang
terbagi menjadi 6 – 15 mg untuk keadaan berat. Dosis parenteral untuk
dewasa 2 – 5 mg intramuskuler setiap 1 – 8 jam, tergantung kebutuhan.
Kontra indikasinya depresi sistem saraf pusat atau keadaan koma, penyakit
parkinson, hipersensitif terhadap haloperidol. Efek samping yang sering
adalah mengantuk, kaku, tremor, lesu, letih, gelisah, gejala ekstrapiramidal
atau pseudo parkinson. Efek samping yang jarang adalah nausea diare,
konstipasi, hipersalivasi, hipotensi, gejala gangguan otonomik. Efek samping
yang sangat jarang yaitu alergi, reaksi hematologis. Intoksikasinya adalah bila
klien memakai dalam dosis melebihi dosis terapeutik dapat timbul kelemasan
otot atau kekakuan, tremor, hipotensi, sedasi, koma, depresi pernafasan.
3) Trihexiphenidyl (THP, Artane, Tremin)
Indikasinya untuk penatalaksanaan manifestasi psikosa khususnya
gejala skizofrenia. Dosis dan cara pemberian untuk dosis awal sebaiknya
rendah (12,5 mg) diberikan tiap 2 minggu. Bila efek samping ringan, dosis
ditingkatkan 25 mg dan interval pemberian diperpanjang 3 – 6 mg setiap kali
suntikan, tergantung dari respon klien. Bila pemberian melebihi 50 mg sekali
suntikan sebaiknya peningkatan perlahan-lahan. Kontra indikasinya pada
depresi susunan saraf pusat yang hebat, hipersensitif terhadap fluphenazine
atau ada riwayat sensitif terhadap phenotiazine. Intoksikasi biasanya terjadi
gejala-gejala sesuai dengan efek samping yang hebat. Pengobatan over
dosis; hentikan obat berikan terapi simptomatis dan suportif, atasi hipotensi
dengan levarterenol hindari menggunakan ephineprine.