Anda di halaman 1dari 6

REFERAT

“RAPID SEQUEL INDUCTION ANESTHESIA ”

PEMBIMBING:

dr. Fauzi Abdilah Susman Sp.An

DISUSUN OLEH:

Arief Aulia Rahman

Cindy Sally

KEPANITERAAN KLINIK STASE ANESTESI


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SEKARWANGI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2017
BAB I
PENDAHULUAN

Penatalaksanaan pasien dengan jalan nafas yang normal adalah kunci penting
dalam latihan penanganan pasien. Pada pasien yang memiliki anatomi jalan nafasy ang
sulit penting untuk dilakukan penanganan. Berbagai penelitian melaporkan bahwa 1–18%
pasien memiliki anatomi jalan nafas yang sulit. Dari jumlah ini pasien tidak dapat
diintubasi dengan baik,bahkan sejumlah lainnya sulit untuk diventilasi dengan sungkup.
Manajemen jalan napas adalah keterampilan klinis yang paling penting untuk ahli
anestesi, dokter darurat, dan penyedia lainnya yang terlibat dalam oksigenasi dan ventilasi
paru-paru. Intubasi endotrakeal merupakan "gold standard " untuk penanganan jalan nafas.
indakan intubasi endotrakheal selama anestesi umum berfungsi sebagai sarana untuk
menyediakan oksigenke paru-paru dan sebagai saluran untuk obat-obat anestesi yang
mudah menguap. Prosedur ini dapat dilakukan pada sejumlah kasus pasien yang
mengalami penyumbatan jalan nafas, kehilangan reflek proteksi, menjaga paru-paru dari
sekret agar tidak terjadi aspirasi dan pada segala jenis gagal nafas
Intubasi sekuens cepat adalah metode yang disukai untuk mengamankan jalan
nafas pada pasien yang berisiko mengalami aspirasi karena menghasilkan ketidaksadaran
yang cepat (induksi) dan blokade neuromuskular (kelumpuhan).
Di antara banyak keterampilan klinis yang dikhususkan untuk pengelolaan jalan
nafas baik di ruang operasi (OR) maupun di luar OR, kemampuan untuk menyediakan
Intubasi Sekuens Cepat yang aman dan efisien dapat dibilang salah satu yang paling
banyak digunakan dan bermanfaat bila ditunjukkan secara klinis.
Dalam sebuah studi longitudinal multisenter terhadap 8.937 intubasi gawat
darurat (ED) intubasi dari 1997-2002, Walls dkk ., Melaporkan bahwa RSI adalah metode
awal yang dipilih di 6.138 dari 8.937 intubasi (69%). Sagarin dkk , mencatat bahwa RSI
digunakan pada 78% usaha awal dan menghasilkan 85-91% tingkat keberhasilan intubasi
trakea secara keseluruhan.

2
BAB II

RAPID SEQUENCE INDUCTION

A. Definisi
Rapid Sequence Induction adalah suatu metode yang digunakan untuk
mengontrol airway ( jalan napas) dengan waktu yang cepat untuk meminimalisirkan
terjadinya regurgitasi dan aspirasi dari isi lambung. Dalam pelaksaannya dilakukan
secara cepat mulai dari pemberian induksi intravena,penekanan terhadap krikoid dan
pemasangan ETT dengan segera. Tindakan ini memiliki prioritas yang tinggi dalam kasus
kegawat daruratan saat jalan nafas mulai terancam dan biasanya merupakan komponen
penting dari anestesi untuk intervensi bedah darurat.

B. Sejarah Rapid Sequence Induction


Rapid Sequence Induction mulai di perkenalkan pada tahun 1961 oleh Sellick
sebagai :
 Mengosongkan perut melalui tabung yang di masukan ke dalam lambung yang
kemudian dilepas
 Pre- Oxygenation
 Memposisikan pasien supine dengan “head- down-tilt”
 Induksi anestesi dengan barbiturat (mis. Thiopental) atau volatil, dan pelemas otot
yang bekerja cepat (misalnya suxamethonium)
 Melakukan penekanan terhadap krikoid
 Laringkospoy dan intubasi menggunakan cuffedI ETT

Metode klasik seperti yang telah disebutkan diatas sudah tidak lagi sepenuhnya di
gunakan. Terdapat beberapa modifikasi dalam pelaksanaan Rapid Sequnce Induction.
 Mengabaikan penempatan dari pipa esophagus (ETT)
 Posisi dalam kondisi supine atau ramped
 Melakukan titrasi dosis dalam induksi untuk membuat kesadaran menurun.

3
 Penggunaan propofol, ketamine, midazolam atau etomidate untuk induksi anestesi
 Penggunaan rocuronium dosis tinggi sebagai agen penghambat neuromuscular
 Mengesampingkan penekanan krikoid.

C. Indikasi dan Tujuan dan Prinsip


Rapid Sequence Induction di indikasikan untuk pasien yang akan menjalani
intubasi endotracheal dan hal itu dapat meningkat resiko terjadinya refluks dan aspirasi
dari isi lambung. Sehingga dapat dikatakan bahwa teknik induksi merupakan teknik yang
di gunakan dalam situasi emergency pelaksaan intubasi endotracheal. Indikasi dalam
pelaksanaan RSI adalah sebagai berikut :

 Pasien yang tidak berpuasa atau yang tidak diketahui berpuasa atau tidak seperti
pada pasien trauma, pasien dengan kasus bedah emergensi , resusitasi, dan pada
pasien-pasien yang mengalami penurunan kesadaran.
 Diketahaui memiliki refluks gastro-esofagus
 Kondisi yang menyebabkan pengosongan lambung tertunda mis. gastroparesis
otonom (diabetes, penyakit Parkinson), riwayat operasi lambung, pasien sakit
parah atau pasien dengan pemberian opioid pada beberapa waktu terahir
 Kehamilan (dari trimester kedua dan seterusnya)

Sedangkan untuk kontraindikasi dalam pelaksanaan Rapid Sequence Induction


sebagai berikut :

 Fraktur tulang belakang servikalis yang tidak stabil akan memerlukan kehati-
hatian dalam penerapan tekanan krikoid karena kemungkinan memperburuk
kerusakan.
 Cidera laring di kontaindikasikan untuk penekanan krikoid
 Kontraindikasi terhadap suxamethonium seperti alergi, kerentanan terhadap
hipertermia berat dan hiperkalemia harus segera digunakan pelemas otot alternatif
seperti rocuronium dosis tinggi.

4
Dalam praktik klinis, umumnya dipahami bahwa RSI digunakan saat intubasi
trakea harus dilakukan pada pasien yang dicurigai memiliki perut penuh atau berisiko
mengalami aspirasi paru isi lambung. Prosedur ini melibatkan tiga tujuan:

 Mencegah hipoksia selama induksi;


 Meminimalkan waktu antara induksi dan intubasi trakea, bila jalan napas tidak
terlindungi oleh refleks pasien atau oleh tabung trakea yang memiliki cuffed;
 Mengurangi kemungkinan aspirasi paru isi lambung.

Prinsip dalam pelaksaan RSI terbagi menjadi beberapa tahap, pertama di lakukan
pre-oksigenasi dengan menggunakan oksigen 100% memungkinkan pasien untuk
mempertahankan apnea selama 5-8 menit tanpa hipoksia. Tujuan kedua melibatkan
minimisasi interval antara induksi-intubasi menunjukkan bahwa pemberian agen hipnotis
kerja cepat harus diberikan bersamaan dengan agen pemblokiran neuromuskular kerja
cepat. Akhirnya, langkah-langkah untuk mengurangi kemungkinan aspirasi termasuk
menerapkan tekanan krikoid (CP) dan menunda pemberian ventilasi tekanan positif
sebelum intubasi trakea tercapai, dan menunggu sampai blokade neuromuskular selesai
melakukan laringoskopi dan intubasi trakea.

D. Penekan Krikoid

Tekanan krikoid adalah pemberian tekanan pada tulang rawan krikoid pasien
Alasannya adalah bahwa kerongkongan atas akan tersumbat dengan dikompres antara
trakea dan vertebra serviks, mencegah refluks pasif isi lambung dan perkembangan
pneumonitis aspirasi selanjutnya. Pemberian tekanan diterapkan oleh jempol dan jari
telunjuk seorang asisten. Tekanan ini dipertahankan sampai penempatan tabung
endotrakeal dikonfirmasi.

5
Pemberian penekanan terhadap krikoid masih menjadi kontrovesi dan di
perdebatkan karena beberapa hal, diantaranya yaitu :

 Mengurangi kualitas dalam laringongkopi


 Kurangnya bukti efektivitas dalam mencegah refluks dan aspirasi,
 Mengurangi sfingter esofagus yang lebih rendah sehingga meningkatkan
risiko refluks,
 Memburuknya cedera tulang belakang laring atau servikal yang tidak
terdeteksi,
 Lokasi, arah, dan tingkat kekerasan yang tidak terukur dan mungkin
sangat bervariasi yang diterapkan oleh operator
 Ketidaknyamanan pasien, tersedak atau batuk, dan
 Meningkatkan beban kerja fisik dan kognitif bagi operator

E. Rekomendasi Waktu dalam Melakukan RIS

Anda mungkin juga menyukai