Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Hipertensi pada kehamilan, termasuk pre-eklamsia, mempengaruhi 10% dari


kehamilan di seluruh dunia, sehingga kondisi ini menyebabkan angka mortalitas dan
morbiditas maternal dan perinatal terbesar.1 Hipertensi dalam kehamilan dibagi
menjadi dalam beberapa klasifikasi berdasarkan American Congress of Obstetricians
and Gynecologist (ACOG 2013) yakni, hipertensi kronik; pre-eklamsia; eklamsia;
hipertensi kronik dengan superimposed pre-eklamsia; hipertensi gestational.

Pada referat ini akan dibahas mengenai pre-eklamsia dan eklamsia. Pre-eklamsia
diperkirakan sebagai penyebab kematian pada 50,000 – 60,000 ibu hamil setiap
tahunnya dan insiden eklamsia terjadi pada 1-3 dari 1000 pasien pre-eklamsia. Pre-
eklamsia adalah keadaan dimana adanya hipertensi dan proteinuri sedangkan eklamsia
adalah keadaan dimana adanya hipertensi, proteinuri dan kejang pada kehamilan.

Hipertensi sendiri ialah kedaan dimana tekanan darah sistolik dan diastolik diatas atau
sama dengan 140/90. Proteinuri adalah adanya 300mg protein dalam urin selama 24
jam atau lebih besar sama dengan +1 pada urinalisis. Pada keadaan pre-eklamsia dan
eklamsia juga sebelumnya ditandai dengan edema pada kedua tungkai, namun
indikasi ini sudah tidak digunakan lagi karena edema pada tungkai banyak terjadi
pada wanita kehamilan normal lainnya.2

1
BAB II
ANATOMI PLASENTA

Placenta merupakan organ yang bertanggung jawab dalam hal pemberian nutrisi dan
pembuangan sisa-sisa metabolisme antara ibu dan fetus. Plasenta juga
merupakan kelenjar endokrin, plasenta mensekresi sejumlah estrogen dan progesteron
dan human chorionic gonadotrophin (hCG). Seluruh fungsi pernafasan, ekskresi dan
keperluan nutrisi fetus disediakan dengan difusi via plasenta. Chorda umbilikus atau
tali pusar merupakan menghubung antara plasenta dan umbilikus fetus yang dimana
mencakup satu vena umbilikalis dan dua arteri umbilikalis.

Hasil konsespsi akan menjadi blastokista yang dimana bagian luarnya adalah trofoblas
yang kemudian akan berkembang menjadi plasenta dan dibagian dalam disebut juga
inner cell mass yang akan berkembang menjadi janin. Trofoblas adalah jaringan yang
penting dalam keberhasilan kehamilan yang terkait dengan implantasi, produksi
hormon kehamilan, peningkatan aliran darah meternal ke plasenta dan kelahiran bayi.
Sejak trofoblas terbentuk, produksi hCG dimulai, suatu hormon yang akan
memastikan bahwa endometrium akan reseptif dalam proses implantasi.

2
Trofoblas yang mempunyai kemampuan menghancurkan dan mencairkan jaringan
endometrium. Implantasi diatur oleh proses yang kompleks antara trofoblas dan
endometrium, disatu sisi, trofoblas mempunyai kemampuan invasif dan disisi lain,
endometrium mengkontrol invasi dari trofoblas dengan mensekresi faktor aktif seperti
inhibitor sitokin dan protease. Keberhasilan implantasi dan plasentasi adalah hasil dari
keseimbangan proses antara trofoblas dan endometrium.

Pada hari kedelapan setelah fertilisasi, trofoblas akan berdeferensiasi menjadi


sinsisiotrofoblas yang menghasilkan hCG dan menjadi sitotrofoblas. Trofoblas yang
semakin dekat dengan endometrium menghasilkan kadar hCG yang rendah, sehingga
membuat trofoblas berdiferensiasi dalam sel – sel jangkar yang menhasilkan protein
perekat plasenta yaitu trofouteronektin. Apabila invasi trofoblas ke arteri spiralis
maternal lemah atau tidak terjadi, maka terjadi penurunan aliran darah uteroplasenta
dan menimbulkan sindroma pre-eklamsia. Sebaliknya, invasi trofoblas yang tidak
terkontrol akan menimbulkan penyakit trofoblas gestasional seperti mola hidatidosa
dan koriokarsinoma.

Setelah implantasi terjadi, trofoblas akan berdeferensiasi lebih jauh menjadi vili dan
ekstravili trofoblas. Vili akan menjadi vili korialis yang bertugas untuk transportasi
oksigen dan nutrisi antara fetus dan ibu, sedangkan ekstravili trofoblas akan
melakukan penetrasi pada desidua, miometrium dan vaskularisasi ibu.
Sinsisiotrofoblas akan membentuk lakuna yang akan terisi oleh plasma ibu yang
kemudian akan menjadi ruang intervili.

3
BAB III
PRE-EKLAMSIA DAN EKLAMSIA

Pre-eklamsia ditandai dengan adanya kenaikan pada darah tinggi dan protein pada
urin dalam 24 jam sedangkan eklamsia adalah keadaan dimana adanya hipertensi,
proteinuri dan kejang. Preeklamsia-eklamsia dapat terjadi setelah 20 minggu umur
kehamilan dan berjalan sampai 6 minggu postpartum.

Kondisi ini terjadi spesifik pada kehamilan karena yang dapat meresolusi kondisi ini
adalah dengan terlahirnya janin dan plasenta.2 Dengan alasan ini, dikatakan bahwa
preeklamsia dan eklamsia adalah keracunan kehamilan atau toxemia of pregnancy.3
Etiologi dari kondisi ini tidak diketahui dengan pasti, namun ada beberapa keadaan
yang menjadi faktor risiko yang dapat mengkontribusi terhadap terjadinya
preeklamsia-eklamsia, yakni:4
 Nulipara
 Hipertensi kronis
 Riwayat kehamilan dengan pre-eklamsia
 Riwayat pre-eklamsia pada keluarga
 Diabetes mellitus
 Usia ibu hamil kurang dari 17 tahun atau lebih dari 35 tahun
 Kehamilan multifetus
 Obesitas
 Riwayat penyakit autoimun: Systemic Lupus Erythematous

Preeklamsia lebih sering terjadi pada usia ibu hamil muda dan nulipara, berdasarkan
studi, insiden pre-eklamsia pada nulipara terjadi 3-10% pada populasi. 5 Obesitas juga
menjadi faktor risiko karena jika dibandingkan dengan ibu hamil dengan BMI kurang
dari 20, pada BMI yang lebih dari 35, risiko terjadinya pre-eklamsia meningkat 3 kali
lipat.6 Pada ibu hamil dengan multifetus, risiko pre-eklamsi juga meningkat secara
signifikan.6

4
Insiden eklamsia pada negara maju terjadi 1 dari 2000 kelahiran, karena pada negara
yang sudah berkembang, terjadinya eklamsia dapat dicegah dengan antenatal care
yang adekwat sehingga terjadi penurunan kasus.6
Menurut ACOG (2013), hipertensi pada kehamilan dapat dibagi menjadi hipertensi
kronik; pre-eklamsia; eklamsia; hipertensi kronik dengan superimposed pre-eklamsia;
hipertensi gestational.7 Penting bagi petugas medis untuk membedakan kondisi –
kondisi tersebut, berikut adalah penjabarannya:

Dari berbagai gejala, preeklampsia dibagi menjadi preeklampsia ringan dan


preeklampsia berat.8
 Kriteria preeklampsia ringan :
o Hipertensi dengan sistolik/diastolik > 140/90 mmHg, sedikitnya enam
jam pada dua kali pemeriksaan tanpa kerusakan organ.
o Proteinuria > 300 mg/24 jam atau > 1 + dipstik.

5
 Kriteria preeklampsia berat :
o Tekanan darah sistolik/diastolik > 160/110 mmHg sedikitnya enam jam
pada dua kali pemeriksaan. Tekanan darah ini tidak menurun meskipun
ibu hamil sudah dirawat di rumah sakit dan telah menjalani tirah
baring.
o Proteinuria > 5 gram/24 jam atau > 3 + dipstik pada sampel urin
sewaktu yang dikumpulkan paling sedikit empat jam sekali.
o Oliguria < 400 ml / 24 jam.
o Kenaikan kadar kreatinin plasma > 1,2 mg/dl.
o Gangguan visus dan serebral : penurunan kesadaran, nyeri kepala
persisten, skotoma, dan pandangan kabur.
o Nyeri epigastrium pada kuadran kanan atas abdomen akibat
teregangnya kapsula glisson.
o Edema paru dan sianosis.
o Hemolisis mikroangipatik karena meningkatnya enzim laktat
dehidrogenase. ~ Trombositopenia ( trombosit < 100.000 mm3).
o Oligohidroamnion, pertumbuhan janin terhambat, dan abrupsio
plasenta.
o Gangguan fungsi hepar karena peningkatan kadar enzim ALT dan AST.

Penurunan aliran darah ke plasenta mengakibatkan gangguan fungsi plasenta. Hal ini
mengakibatkan hipovolemia, vasospasme, penurunan perfusi uteroplasenta dan
kerusakan sel endotel pembuluh darah plasenta sehingga mortalitas janin meningkat. 9
Dampak preeklampsia pada janin, antara lain: Intrauterine growth restriction (IUGR)
atau pertumbuhan janin terhambat, oligohidramnion, prematur, bayi lahir rendah, dan
solusio plasenta.

6
BAB IV
PATHOGENESIS

Preeklamsia merupakan sebuah sindrom sistemik yang bermula dari plasenta, yang
dimana terjadi perkembangan yang buruk pada arteri spiralis sehingga terjadi
penurunan aliran darah uteroplacental. Mekanisme lain yang berjalan sehingga
berkontribusi pada terjadinya preeklamsia adalah kelainan genetik pada kromosom
13, kelainan imunologis, terjadinya iskemi atau infark pada plasenta dan adanya
radikal bebas.

Invasi trofoblas yang yang normal, adalah dengan menginvasi lapisan endotel dari
arteri spiralis dan kemudian akan terjadi remodelling dari pembuluh darah kecil
dengan resistensi tinggi menjadi lebar sehingga perfusi plasenta akan cukup. Ada teori
yang menjelaskan yakni, pada pre-eklamsia terjadi 2 tahap kelainan: Stage 1. Terjadi
kelainan pada remodelling dari pembuluh darah yang juga menyebabkan Stage 2.
Terlepasnya faktor plasental ke sirkulasi maternal yang menyebabkan inglamasi
sistemik dan aktivasi endotel.10

7
Menurut beberapa riset, pre-eklamsia bukanlah penyakit akibat dari satu kelainan,
melainkan dari beberapa faktor maternal, plasental dan fetal, yakni:
 Malformasi ketika trofoblas menginvasi pembuluh darah uterus
 Maladaptif dari sistem imun antara jaringan maternal, plasental dan fetal
 Maladaptasi terhadap inflamator akibat dari kehamilan
 Faktor genetik
Semua faktor diatas berkontribusi terhadap kelainan yang timbul saat plasentasi.

Kelainan saat trofoblas menginvasi arteri spiralis


Pada implantasi yang berjalan normal, remodelling terjadi pada arteri spiralis dengan
cara merubah diameter dari lumen pembuluh derah sehingga resistensi berkurang.
Namun, pada pre-eklamsia, terjadi incomplete trophoblastic invasion.11 Yang
dimaksud dengang inkomplit adalah terjadinya invasi yang dangkal, hanya sebatas
pembuluh darah pada desidua, tidak sampai miometrium. Pada proses ini,
mengakibatkan tidak berubahnya endotel dan lumen dari arteri spiralis.

Maladaptif dari sistem imun


Pada kehamilan normal, ada toleransi dari sistem imun maternal terhadap antigen dari
plasenta dan fetus, kehilangannya teloransi ini menjadi suatu teori yang berkontribusi
terhadap terjadinya pre-eklamsia. Pada kehamilan pre-eklamtik, terjadi penurunan
pada ekspresi gen yang bersifat imunosupresif terhadap human leukocyte antigen G

8
(HLA-G), sehingga ini menyebabkan defek pada tahap awal remodelling dari
vaskularisasi.12

Maladaptasi terhadap inflamator akibat kehamilan


Pada proses ini, terjadi disfungsi endotel akibat leukosit yang teraktivasi dan sitokin
seperti tumor necrosis factor-α (TNF-α) dan interleukin (IL) yang juga berkontribusi
terhadap terjadinya pre-eklamsia. Reaksi inflamasi ini juga diakibatkan karena adanya
oksigen yang reaktif sehingga menjadi radikal bebas yang toksik terhadap sel endotel
yang mengganggu produksi nitrogen monoksida dan keseimbangan prostaglandin. Sel
endotel padaAtas dasar teori inilah, muncul pemikiran bahwa risiko pre-eklamsia
akan berkurang dengan menambah asupan suplemen anti-oksidan, namun berdasarkan
riset yang sudah dilakukan, penelitian ini tidak memberikan hasil yang signifikan.13

Faktor Genetik
Proses terjadinya pre-eklamsia sangatlah multifaktorial dan merupakan kelaianan
yang poligenik. Dari seluruh kasus pre-eklamsia yang terjadi di Amerika, 20% - 40%
kasus nya memiliki riwayat ibu dari pasien yang juga mengalami pre-eklamsia, 11% -
37% kasus adalah pasien kakak beradik dan terlapor 60% kasus pre-eklamsia yang
dimana pasiennya adalah kembar monozigot.14

9
BAB V
PATOFISIOLOGI

10
Pada tubuh perempuan hamil dengan pre-eklamsia, terjadi beberapa perubahan
patofisiologis pada beberapa organ / sistem organ yang bermanifestasi pada tampilan
klinis. Perubahan – perubahan ini diperkirakan akibat dari vasospasme, disfungsi
endotel dan iskemia yang terjadi.
 Sistem kardiovaskuler: Hipertensi
Pada pre-eklamsia, endotel mengeluarkan vasoaktif yang didominasi oleh
vasokonstriktor seperti; endotelin, tromboksan A2, Pada pembuluh darah yang
vasokonstriksi, terjadi peningkatan resistensi perifer, sehingga menyebabkan
naiknya tekanan darah.

 Sistem perdarahan dan koagulasi


Pada kasus pre-eklamsia, terjadi trombositopenia, penurunan kadar faktor
koagulasi lain dan terdapat kelainan bentuk eritrosit sehingga terjadi
hemolisis. Hemolisis terjadi pada pre-eklamsia, kelainan ini akibat dari
perubahan lipid pada membran eritrosit sehingga menyebabkan sel yang
mudah beragregasi.15

 Homeostasis cairan tubuh


Pada pre-eklamsia terjadi retensi natrium karena meningkatnya sekresi
deoksikortikosteron (DOC) yang merupakan hasil konversi dari progesteron.

 Ginjal
Selama kehamilan normal, terjadi penurunan darah ke ginjal dan laju filtrasi
glomerulus. Pada pre-eklamsia terjadi perubahan seperti peningkatan resistensi
arteri aferen ginjal dan perubahan bentuk endotel pada glomerulus. Filtrasi
yang semakin menurun menyebabkan kadar kreatinin pada serum meningkat.
Proteinuria belum dapat dijelaskan dengan baik sampai saat ini.

 Hepar

11
Pada pre-eklamsia, ditemukan infark hepar dan nekrosis. Infark dapat
berlanjut menjadi pendarahan. Apabila hematom luas, dapat terjadi ruptur
subkapsular. Nyeri pada kuadran kanan atas diakibatkan karena meregangnya
kapsul.

 Serebrovaskular
Pada ibu dengan pre-eklamsia, dapat terjadi nyeri kepala dan gangguan
penglihatan serta kejang (eklamsia). Ini bisa terjadi karena vasospasme
serebral, edema dan hipertensi yang mengganggu autoregulasi serta sawar
darah-otak

 Mata
Pada kasus pre-eklamsia, dapat terjadi vasospasme retina, edema retina,
ablasio retina sampai kebutaan.

 Sistem Endokrin, metabolisme air dan elektrolit


Pada preeklampsia, sekresi renin oleh aparatus jukstaglomerulus berkurang,
proses sekresi aldosteron pun terhambat sehingga menurunkan kadar
aldosteron didalam darah. Pada ibu hamil dengan preeklampsia kadar peptida
natriuretik atrium juga meningkat. Hal ini terjadi akibat ekspansi volume yang
menyebabkan peningkatan curah jantung dan penurunan resistensi vaskular
perifer. Pada pasien preeklampsia terjadi pergeseran cairan dari intravaskuler
ke interstisial yang disertai peningkatan hematokrit, protein serum, viskositas
darah dan penurunan volume plasma. Hal ini mengakibatkan aliran darah ke
jaringan berkurang dan terjadi hipoksia.

12
BAB VI
DIAGNOSIS

Pada pasien dengan preeklamsia-eklamsia, dapat mengalami gejala dan tanda sebagai
berikut:
 Sakit kepala
 Gangguan penglihatan: kabur, skotoma
 Edema
 Nyeri perut
 Kejang (eklamsia)
 Hipertensi
Ini merupakan kriteria paling penting dalam mendiagnosis pre-eklamsia.
Hipertensi pada pasien pre-eklamsia terjadi sangat tiba-tiba. Peningkatan
diastolik sebesar 15mmHg dan sistolik sebesar 30mmHg harus
dipertimbangkan keadaan pre-eklamsia.16
 Proteinuria
 Hemoglobin dan hematokrit meningkat akibat hemokonsentrasi
 Trombositopeni
 Serum kreatinin meningkat pada keadaan pre-eklamsia berat

Pada pre-eklamsia ringan, biasanya tidak memiliki banyak keluhan selain hipertensi
140-160mmHg, bengkak, trombosit lebih dari 100,000/mcL, nyeri perut tidak
dirasakan, dan enzim hepar tidak meningkat.

Sedangkan pada pre-eklamsia berat, gejala dan tanda lebih jelas dan persisten. Pasien
bisa mengeluhkan nyeri kepala dan perubahan dalam penglihatan, hipertensi yang
lebih dari 160mmHg, trombositopeni yang kurang dari 100,00/mcL, nyeri perut
kuadran atas dirasakan, dan hemolysis,elevated liver enzimes, low platelets (HELLP
syndrome) adalah bentuk dari pre-eklamsia berat.17

Selain gejala dan tanda yang sudah disebutkan, pada eklamsia, ditambah dengan
kondisi kejang karena manifestasi dari gangguan sistem saraf pusat. Permulaan kejang
tonik ditandai dengan gerakan kejang twitching dari otot – otot muka khususnya

13
sekitar mulut, beberapa detik disusul kontraksi otot – otot tubuh menegang sehingga
seluruh tubuh kaku. Pada kondisi ini, wajah penderita mengalami distorsi, bola mata
menonjol, kedua lengan fleksi, tangan menggenggam, dan kedua tungkai posisi
inverse. Setelah berlangsung selama 15 – 30 detik, kejang tonik segera disusul kejang
klonik. Kejang klonik ditandai terbukanya rahang secara tiba – tiba dan tertutup
kembali dengan kuat, terbuka dan tertutupnya kelopak mata kemudian diikuti
kontraksi intermitten otot – otot muka maupun seluruh tubuh. Gejala – gejala yang
lain yaitu wajah membengkak karena kongesti, bintik – bintik perdarahan pada
konjungtiva, mulut mengeluarkan liur berbusa disertai bercak – bercak darah, dan
lidah tergigit akibat kontraksi otot rahang terbuka dan tertutup. Setelah lebih kurang 1
menit, kejang klonik berangsur melemah, diam dan penderita terjadi koma.

14
BAB VII
PENATALAKSANAAN

Tujuan utama penanganan preeklampsia adalah mencegah terjadinya eklampsia,


melahirkan bayi tanpa asfiksia dengan skor APGAR baik, dan mencegah mortalitas
maternal dan perinatal. Tatalaksana pre-eklamsia yang paling utama adalah terminasi
kehamilan.18 Namun, harus dipertimbangkan juga apakah usia janin sudah cukup
viable atau belum. Menurut ACOG, pasien yang hanya suspek pre-eklamsia
disarankan untuk melakukan antenatalcare secara rutin dan dengan frekuensi yang
ditingkatkan dengan tujuan mengevaluasi tekanan darah, urin, denyut jantung janin
dan aktifitas janin. Pemeriksaan laboratorium juga dapat dilakukan untuk memeriksa
hemoglobin, hematokrit, trombosit, fungsi hepar. Indikasi untuk merujuk pasien ke
instansi yang lebih memadai adalah sebagai berikut:
 Terdapat hipertensi dan proteinuria pada usia kehamilan >20 minggu
 Tanda – tanda pre-eklamsia berat
 Adanya kejang

Pada pre-eklamsia ringan, tirah baring merupakan terapi utama, dengan istirahat dapat
mengurangi kebutuhan volum darah yang bersirkulasi dan dapat menurunkan tekanan
darah. Kemudian bisa juga diberikan medikamentosa untuk membantu mengurangi
tekanan darah, ada beberapa pilihan obat yang bisa diberikan:
 Metildopa 500-2000mg dibagi dalam 2-4 dosis/hari
 Labetalol dengan dosis awal 2x100mg yang kemudian dapat dinaikkan secara
gradual sampai batas maksimal 2400mg/hari
 Nifedipin dengan dosis 30mg/hari. Pemberian nifedipin harus diperhatikan
pada pasien yang mendapat medikamentosa magnesium sulfat karena bisa
memblok kanal kalsium pada otot.
Pemberian obat untuk pengendalian hipertensi perlu diperhatikan agar tidak terlalu
rendah karena dapat mengganggu suplai darah ke janin.

Pada pre-eklamsia berat, bisa ditambah dengan pemberian MgSO 4 untuk pencegahan
kejang, diberikan dengan dosis 4g IV bolus pelan dalam 20 menit dilanjutkan dengan

15
dosis rumatan 1-2g/jam dalam infus ringer laktat drip pelan selama 24 jam. Pada
pemberian magnesium sulfat antidotum harus tersedia setiap saat, yakni Ca glukonas
(10mL dalam larutan 10%) yang diberikan jika terjadi hipermagnesaemia.
Hipermagnesaemia ditandai dengan hilangnya refleks patella sampai paralisis nafas.
Pasien dengan pre-eklamsia berat, pada pasca persalinan, MgSO4 diberikan drip
selama 24 jam.

Tujuan utama penanganan eklampsia adalah menstabilisasi fungsi vital penderita


dengan terapi suportif Airway, Breathing, Circulation (ABC), mengendalikan kejang,
mengendalikan tekanan darah khususnya jika terjadi hipertensi krisis sehingga
penderita mampu melahirkan janin dengan selamat pada kondisi optimal.
Pengendalian kejang dapat diterapi dengan pemberian magnesium sulfat pada dosis
muatan (loading dose) 4 – 6 gram IV diikuti 1,5 – 2 g/jam dalam 100 ml infus
rumatan IV. Diazepam atau lorazepam hanya boleh digunakan jika kejang tetap
bertahan.

Keputusan untuk terminasi, diputuskan atas beberapa pertimbangan seperti; beratnya


penyakit, kematangan janin dan kondisi janin dan ibu. Pada pre-eklamsia ringan atau
berat yang tidak terjadi perbaikan setelah perwatan di rumah sakit, terminasi
kehamilan disarankan demi kelangsungan hidup ibu dan janin. Pilihan cara
melahirkan pada kasus pre-eklamsia tidak selalu sectio caesaria, apabila
dimungkinkan, partus pervagina dengan induksi dapat dilakukan. Terdapat scoring
yang dinilai dari edema, proteinuri, kenaikan sistole dan diastole dinamakan Index
Gestosis apabila pada index ini terjadi penetapan atau meningkat, ini merupakan
indikasi untuk sectio caesaria.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ubalos E, Duley L, Steyn DW, et al: Antihypertensive drug therapy for mild to moderate
hypertension during pregnancy. Cochrane Database Syst Rev 1:CD002252, 2007

16
2. Abdul-Karim R, Assali NS: Pressor response to angiotonin in pregnant and nonpregnant
women. Am J Obstet Gynecol 82:246, 1961
3. Ebenhaim HA, Bujold E, Benjamin A, et al: Evaluating the role of bedrest on the prevention
of hypertensive disease of pregnancy and growth restriction. Hypertens Pregnancy 27(2):197,
2008
4. Obramovici D, Friedman SA, Mercer BM, et al: Neonatal outcome in severe preeclampsia at
24 to 36 weeks’ gestation: Does the HELLP (hemolysis, elevated liver enzyme, and low
platelet count) syndrome matter? Am J Obstet Gynecol 180:221, 1999
5. Airoldi J, Weinstein L: Clinical significance of proteinuria in pregnancy. Obstet Gynecol Surv
62:117, 2007
6. Ijne G, Wolff K, Fyhrquist F, et al: Endothelin converting enzyme (ECE) activity in normal
pregnancy and preeclampsia. Hypertens Pregnancy 22:215, 2003 Akkawi C, Kent E, Geary M,
et al: The incidence of eclampsia in a single de- fined population with a selective use of
magnesium sulfate. Abstract No 798. Presented at the 29th Annual Meeting of the Society for
Maternal-Fetal Medicine, January 26-31, 2000
7. Alanis MC, Robinson CJ, Hulsey TC, et al: Early-onset severe preeclampsia: Induction of
labor vs elective cesarean delivery and neonatal outcomes. Am J Obstet Gynecol 199:262.e1,
2008
8. Alexander JM, Bloom SL, McIntire DD, et al: Severe preeclampsia and the very low-
birthweight infant: Is induction of labor harmful? Obstet Gynecol 93:485, 1999
9. Alexander JM, McIntire DD, Leveno KJ, et al: Magnesium sulfate for the prevention of
eclampsia in women with mild hypertension. Am J Obstet Gynecol 189:S89, 2003
10. lexander JM, McIntire DD, Leveno KJ, et al: Selective magnesium sulfate prophylaxis for the
prevention of eclampsia in women with gestational hypertension. Obstet Gynecol 108:826,
2006
11. Alexander JM, Sarode R, McIntire DD, et al: Use of whole blood in the management of
hypovolemia due to obstetric hemorrhage. Obstet Gynecol, Inpress, 2009 American College of
Obstetricians and Gynecologists: Antepartum fetal surveillance. Practice Bulletin No. 9,
October 1999
12. American College of Obstetricians and Gynecologists: Diagnosis and management of
preeclampsia and eclampsia. Practice Bulletin No. 33, January 2002a
13. American College of Obstetricians and Gynecologists: Obstetric analgesia and
anesthesia. Practice Bulletin No. 36, July 2002
Amorim MMR, Santos LC, Faúndes A: Corticosteroid therapy for prevention
14. Knanth CV, Bowes WA, Savitz DA, et al: Relationship between pregnancy- induced
hypertension and placenta previa: A population-based study. Am J Obstet Gynecol 177:997,
1997
15. Ondersgaard AB, Herbst A, Johansen M, et al: Eclampsia in Scandinavia: Inci- dence,
substandard care, and potentially preventable cases. Acta Obstet Gynecol 85:929, 2006

17
16. Grango MF, Mejia-Mantilla JH: Magnesium for acute traumatic brain injury. Cochrane
Database Syst Rev 4:CD005400, 2006
17. Ascarelli MH, Johnson V, McCreary H, et al: Postpartum preeclampsia man- agement with
furosemide: A randomized clinical trial. Obstet Gynecol 105:29, 2005
18. Iskie LM, Henderson-Smart DJ, Stewart LA: Antiplatelet agents for the preven- tion of
preeclampsia: A meta-analysis of individual data. Lancet 369:179, 2007 Atkinson MW, Guinn
D, Owen J, et al: Does magnesium sulfate affect the length of labor induction in women with
pregnancy-associated hypertension? Am J Obstet Gynecol 173:1219, 1995

18

Anda mungkin juga menyukai