Anda di halaman 1dari 11

PROJECT BASED LEARNING

APPENDICITIS
Untuk Memenuhi Tugas Mandiri Fundamental of
Phatophysiology Dygestive System

Disusun Oleh :
YULVIANA DWI OKTAVIA
145070200131007
Kelas 2 B
Kelompok 4B

PROGAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2017
1. DEFINISI
Appendicitis adalah infeksi pada appendiks karena tersumbatnya
lumen oleh fekalith (batu feces), hiperplasi jaringan limfoid, dan cacing usus.
Obstruksi lumen merupakan penyebab utama appendicitis. Erosi membran
mukosa appendiks dapat terjadi karena parasit seperti Entamoeba histolytica,
Trichuris trichiura, dan Enterobius vermikularis.
Apendisitis adalah inflamasi pada appendiks vermiformis (DynaMed,
2013).
Menurut definisi lain, apendisitis adalah inflamasi bagian dalam dari
apendiks vermiformis yang menyebar ke bagian-bagian lainnya (Craig, 2013)
Menurut Minkes (2013) apendisitis akut adalah inflamasi dan infeksi
akut dari apendiks vermiformis, yang secara sederhana sering disebut
sebagai apendiks.

2. KLASIFIKASI
Klasifikasi apendisitis terbagi menjadi dua yaitu, apendisitis akut dan
apendisitis kronik (Sjamsuhidayat, 2005).
a. Apendisitis akut.
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari
oleh radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda
setempat, disertai maupun tidak disertai rangsang peritonieum
lokal. Gajala apendisitis akut talah nyeri samar-samar dan tumpul
yang merupakan nyeri viseral didaerah epigastrium disekitar
umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang muntah.
Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan
berpindah ketitik mcBurney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan
lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat.
Apendisitis Akut dapat dibagi menjadi :
- Apendisitis Akut Sederhana
Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub
mukosa disebabkan obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk
dalam lumen appendiks dan terjadi peningkatan tekanan
dalam lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa
appendiks menebal, edema, dan kemerahan. (Rukmono,
2011).
- Apendisitis Akut Purulenta (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai
edema menyebabkan terbendungnya aliran vena pada
dinding apendiks dan menimbulkan trombosis. Keadaan ini
memperberat iskemia dan edema pada apendiks.
(Rukmono, 2011).
- Apendisitis Akut Gangrenosa
Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah
arteri mulai terganggu sehingga terjadi infark dan gangren.
Selain didapatkan tanda-tanda supuratif, apendiks
mengalami gangren pada bagian tertentu. Dinding apendiks
berwarna ungu, hijau 10 keabuan atau merah kehitaman.
Pada apendisitis akut gangrenosa terdapat mikroperforasi
dan kenaikan cairan peritoneal yang purulen (Rukmono,
2011).
- Apendisitis Infiltrat
Apendisitis infiltrat adalah proses radang apendiks yang
penyebarannya dapat dibatasi oleh omentum, usus halus,
sekum, kolon dan peritoneum sehingga membentuk
gumpalan massa flegmon yang melekat erat satu dengan
yang lainnya (Rukmono, 2011).
- Apendisitis Abses
Apendisitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk
berisi nanah (pus), biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari
sekum, retrosekal, subsekal dan pelvikal (Rukmono, 2011).
- Apendisitis Perforasi
Apendisitis perforasi adalah pecahnya apendiks yang
sudah gangren yang menyebabkan pus masuk ke dalam
rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum. Pada dinding
apendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan
nekrotik (Rukmono, 2011)
b. Apendisitis kronik.
Diagnosis apendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika
ditemukan adanya : riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2
minggu, radang kronik apendiks secara makroskopik dan
mikroskopik. Kriteria mikroskopik apendisitis kronik adalah fibrosis
menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen
apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama dimukosa , dan
adanya sel inflamasi kronik. Insiden apendisitis kronik antara 1-5%.

3. ETIOLOGI
Etiologi pasti apendisitis akut hingga saat ini belum diketahui. Jumlah
asupan makanan berserat, obstruksi lumen, dan faktor genetik diduga
berperan dalam proses terjadinya penyakit. Sejumlah penyakit infeksi dan
parasit diketahui melibatkan apendiks dan kadang-kadang dapat
menyebabkan inflamasi apendiks (Smallman-Raynor, 2010).
Apendisitis diawali obstruksi lumen apendiks diikuti oleh infeksi (Lee,
2013, DynaMed, 2013).
Obstruksi dapat disebabkan oleh hiperplasia limfoid (60 %), fekalit (35
%), benda asing (4 %), tumor (1 %) (Lee, 2013). Obstruksi juga dapat
disebabkan oleh parasit Enterobius vermicularis dengan proporsi 0,2 – 41,8
% di seluruh dunia (Maki, 2012 dan Minkes, 2013).
Pada penelitian lain dilaporkan bahwa insidensi apendisitis
berhubungan dengan infeksi mumps (95%)

4. EPIDEMIOLOGI
Apendisitis merupakan penyebab utama nyeri abdomen yang
membutuhkan tindakan operasi segera pada anak-anak (Lee, 2010, Maki,
2013, Huckins, 2013, Saucier, 2013).
Di Amerika Serikat dijumpai 77.000 kasus apendisitis akut pada anak
per tahun. Laki-laki lebih berisiko menderita apendisitis daripada perempuan
dengan rasio 1,4:1. Puncak insidensi apendisitis pada usia 10 – 20 tahun
(DynaMed, 2013).
Di negara-negara barat, sekitar 7 % populasi mengalami apendisitis
pada suatu waktu dalam kehidupannya (Lee, 2013). Di Inggris dilaporkan
40.000 pasien per tahun dirawat karena apendisitis (DynaMed, 2013). Di
Spanyol pada tahun 2003 dilaporkan bahwa kasus apendisitis sebanyak
132,1 kasus per 100.000 populasi di mana proporsi apendisitis perforasi
sebesar 12,1 % dan proporsi operasi apendektomi negatif sebesar 4,3 %,
sedangkan angka mortalitas 0,38 % (Ballester, 2009).
Di Korea Selatan dilaporkan bahwa insidensi apendisitis 22,71 kasus
per 10.000 populasi per tahun, yang dioperasi apendektomi 13,56 kasus per
10.000 populasi per tahun, dan insidensi apendisitis perforasi 2,91 kasus per
10.000 populasi per tahun. Risiko menderita apendisitis pada laki-laki tidak
berbeda secara bermakna dengan perempuan yaitu 16,33 % berbanding
16,34 % (Oguntola, 2010). Menurut sebuah penelitian pada anak-anak di
India Utara, jumlah kasus apendisitis meningkat pada musim hujan dengan
kelembaban tinggi, yaitu pada bulan Juli sampai awal September (Jangra,
2013)

5. FAKTOR RESIKO
Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya apendisitis akut ditinjau
dari teori Blum dibedakan menjadi empat faktor, yaitu faktor biologi, faktor
lingkungan, faktor pelayanan kesehatan, dan faktor perilaku.
- Faktor biologi antara lain usia, jenis kelamin, ras
- faktor lingkungan terjadi akibat obstruksi lumen akibat infeksi bakteri,
virus, parasit, cacing dan benda asing dan sanitasi lingkungan yang
kurang baik.
- Faktor pelayanan kesehatan juga menjadi resiko apendisitis baik dilihat
dari pelayan keshatan yang diberikan oleh layanan kesehatan baik dari
fasilitas maupun non-fasilitas
- Faktor perilaku seperti asupan rendah serat yang dapat mempengaruhi
defekasi dan fekalit yang menyebabkan obstruksi lumen sehingga
memiliki risiko apendisitis yang lebih tinggi (Sjamsuhidajat, De Jong,
2004).

a. Faktor sumbatan
Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis
(90%) yang diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh
hyperplasia jaringan lymphoid sub mukosa, 35% karena stasis fekal, 4%
karena benda asing dan sebab lainnya 1% diantaranya sumbatan oleh
parasit dan cacing.
b. Faktor Bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor pathogenesis primer pada
apendisitis akut. Adanya fekolith dalam lumen apendiks yang telah
terinfeksi memperburuk dan memperberat infeksi, karena terjadi
peningkatan stagnasi feses dalam lumen apendiks, pada kultur didapatkan
terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara Bacteriodes fragililis dan
E.coli, lalu Splanchicus, lacto-bacilus, Pseudomonas, Bacteriodes
splanicus. Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi adalah kuman
anaerob sebesar 96% dan aerob<10%.
c. Kecenderungan familiar
Hal ini dihubungkan dengan tedapatnya malformasi yang herediter
dari organ, apendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik
dan letaknya yang mudah terjadi apendisitis. Hal ini juga dihubungkan
dengan kebiasaan makanan dalam keluarga terutama dengan diet rendah
serat dapat memudahkan terjadinya fekolith dan mengakibatkan obstruksi
lumen.
d. Faktor ras dan diet
Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan
sehari-hari. Bangsa kulit putih yang dulunya pola makan rendah serat
mempunyai resikolebih tinggi dari Negara yang pola makannya banyak
serat. Namun saat sekarang, kejadiannya terbalik. Bangsa kulit putih telah
merubah pola makan mereka ke pola makan tinggi serat. Justru Negara
berkembang yang dulunya memiliki tinggi serat kini beralih ke pola makan
rendah serat, memiliki resiko apendisitis yang lebih tinggi.
e. Faktor infeksi saluran pernapasan
Setelah mendapat penyakit saluran pernapasan akut terutama
epidemi influenza dan pneumonitis, jumlah kasus apendisitis ini
meningkat. Tapi harus hati-hati karena penyakit infeksi saluran
pernapasan dapat menimbulkan seperti gejala permulaan apendisitis.
6. MANIFESTASI KLINIS
Beberapa gejala yang sering terjadi yaitu: (Jehan, 2001)
- Rasa sakit di daerah epigastrum, daerah periumbilikus, di seluruh
abdomen atau di kuadran kanan bawah merupakan gejala-gejala pertama.
Rasa sakit ini samar-samar, ringan sampai moderat, dan kadang-kadang
berupa kejang. Sesudah empat jam biasanya rasa nyeri itu sedikit demi
sedikit menghilang kemudian beralih ke kuadran bawah kanan. Rasa nyeri
menetap dan secara progesif bertambah hebat apabila pasien bergerak.
- Anoreksia, mual, dan muntah yang timbul selang beberapa jam dan
merupakan kelanjutan dari rasa sakit yang timbul permulaan.
- Demam tidak tinggi (kurang dari 380 C), kekakuan otot, dan konstipasi.
- Appendicitis pada bayi ditandai dengan rasa gelisah, mengantuk, dan
terdapat nyeri lokal. Pada usia lanjut, rasa nyeri tidak nyata. Pada wanita
hamil rasa nyeri terasa lebih tinggi di daerah abdomen dibandingkan
dengan biasanya.
- Nyeri tekan didaerah kuadran kanan bawah. Nyeri tekan mungkin
ditemukan juga di daerah panggul sebelah kanan jika appendiks terletak
retrocaecal. Rasa nyeri ditemukan di daerah rektum pada pemeriksaan
rektum apabila posisi appendiks di pelvic. Letak appendiks mempengaruhi
letak rasa nyeri.
8. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Pemeriksaan laboratorium
- Hitung jenis leukosit dengan hasil leukositosis.
- Pemeriksaan urin dengan hasil sedimen dapat normal atau terdapat
leukosit dan eritrosit lebih dari normal bila apendiks yang meradang
menempel pada ureter atau vesika. Pemeriksaan leukosit meningkat
sebagai respon fisiologis untuk melindungi tubuh terhadap
mikroorganisme yang menyerang. Pada apendisitis akut dan perforasi
akan terjadi leukositosis yang lebih tinggi lagi. Hb (hemoglobin)
nampak normal. Laju endap darah (LED) meningkat pada keadaan
apendisitis infiltrat. Urin rutin penting untuk melihat apakah terdapat
infeksi pada ginjal.
b. Pemeriksaan Radiologi
- Apendikogram
Apendikogram dilakukan dengan cara pemberian kontras
BaS04 serbuk halus yang diencerkan dengan perbandingan 1:3 secara
peroral dan diminum sebelum pemeriksaan kurang lebih 8-10 jam
untuk anak-anak atau 10-12 jam untuk dewasa, hasil apendikogram
dibaca oleh dokter spesialis radiologi.
- Ultrasonografi (USG)
USG dapat membantu mendeteksi adanya kantong nanah.
Abses subdiafragma harus dibedakan dengan abses hati, pneumonia
basal, atau efusi pleura
(Penfold, 2008)
c. Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase membantu mendiagnosa
peradangan hati, kandung empedu, dan pankreas
d. Pemeriksaan barium enema untuk menentukan lokasi sekum.
Pemeriksaan Barium enema dan Colonoscopy merupakan pemeriksaan
awal untuk kemungkinan karsinoma colon.
e. Pemeriksaan foto polos abdomen tidak menunjukkan tanda pasti
Apendisitis, tetapi mempunyai arti penting dalam membedakan Apendisitis
dengan obstruksi usus halus atau batu ureter kanan.
9. PENATALAKSAAN MEDIS
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita apendisitis
meliputi penanggulangan konservatif dan operatif.
a. Penanggulangan konservatif
Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita
yang tidak mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian
antibiotik. Pemberian antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada
penderita apendisitis perforasi, sebelum operasi dilakukan penggantian
cairan dan elektrolit, serta pemberian antibiotik sistemik (Oswari,
2000).
b. Operatif
Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan apendisitis maka
tindakan yang dilakukan adalah operasi membuang appendiks.
Penundaan appendektomi dengan pemberian antibiotik dapat
mengakibatkan abses dan perforasi. Pada abses apendiks dilakukan
drainase.
(Oswari, 2000).
Apendektomi merupakan terapi definitif pada apendisitis karena
dapat dicapai perbaikan spontan setelah apendektomi dan angka
kekambuhan setelah terapi konservatif dengan antibiotik cukup besar
(14 – 35 %)
(DynaMed, 2013)
c. Pencegahan Tersier
Tujuan utama dari pencegahan tersier yaitu mencegah
terjadinya komplikasi yang lebih berat seperti komplikasi intra-
abdomen. Komplikasi utama adalah infeksi luka dan abses
intraperitonium. Bila diperkirakan terjadi perforasi maka abdomen
dicuci dengan garam fisiologis atau antibiotik. Pasca appendektomi
diperlukan perawatan intensif dan pemberian antibiotik dengan lama
terapi disesuaikan dengan besar infeksi intra-abdomen.

Namun dari semua pemeriksaan pembantu ini, yang menentukan


diagnosis apendisitis akut adalah pemeriksaan secara klinis. Pemeriksaan CT
scan hanya dipakai bila didapat keraguan dalam menegakkan diagnosis.
Pada anak-anak dan orang tua penegakan diagnosis apendisitis lebih sulit
dan dokter bedah biasanya lebih agresif dalam bertindak (Sanyoto, 2007)
DAFTAR PUSTAKA

Price & Wilson. 2006. PATOFISIOLOGI Volume 1, Edisi 6. Jakarta : EGC

Guyton & Hall. 1997. Fisiologi Kedokteran, Edisi 9. Jakarta : EGC

Elizabeth, J, Corwin. (2009). Biku saku Fatofisiologi, EGC, Jakarta.

Johnson, M.,et all, 2002, Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition,
IOWA Intervention Project, Mosby.

Mansjoer, A. (2001). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius FKUI

Sjamsuhidajat, R., De Jong, W., 2005. Buku-Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: EGC

Oswari, E., 2000. Bedah dan Perawatannya. Balai penerbit FKUI. Jakarta.

Penfold, Et Al, 2008. Geographic Disparities In The Risk Of Perforated Appendicitis


Among Children In Ohio. International Journal Of Health Geographics

Jehan, E., 2001. Peran C Reaktive Protein Dalam Menentukan Diagnosa


Appendicitis Akut. Majalah Kedokteran Nusantara

Ballester, et al, 2009. The Epidemiolgy of Appendicitis in Valencia (Spanyol). Journal


of Digestive Surgery

Anda mungkin juga menyukai